Anda di halaman 1dari 3

Land Reform dari Masa ke Masa : Manifestasi Keadilan Sosial dalam Land

Reform
Oleh :
An Nisa Tri Astuti (1306459423)

Referensi : Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta:
Tanah Air Beta
Land Reform dari Masa ke Masa menggambarkan secara historis sebuah
perjalanan dari kebijakan agraria di Indonesia sejak tahun 1945 hingga 2009 yang
tentunya melewati berbagai rezim kepemimpinan yang berbeda. Mulai dari masa
feodalisme dimana sistem kepemilikan tanah cenderung berpihak kepada raja-raja dan
bangsawan, yang ketika zaman kolonial kepemilikan ini berganti tangan kepada para
penjajah ataupun tuan tanah pada masa itu. Pada masa itu, rakyat tak pernah memiliki
otoritas atas hak kepemilikan tanah, dimana rakyat selalu hanyalah penggarap saja.
Dari kecenderungan inilah, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 digunakan oleh
Soekarno sebagai manifesto politik di tahun 1960 yang akan merombak struktur agraria
feodal dan kolonial secara radikal. Undang-undang ini berangkat dari kearifan lokal atau
konsep masyarakat indonesia mengenai "Ibu Pertiwi", dimana Tanah bukanlah benda
mati. Tanah memiliki nilai dan sifat seperti makhluk hidup lainnya..
Dalam buku ini, Noer Fauzi berpendapat bahwa terdapat banyak sekali konflik
agraria yang muncul ke media massa. Hal ini merupakan indikator bahwa orang-orang
yang dirampas tanahnya sudah tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional dalam
memperjuangkan apa yang mereka rasa sebagai hak mereka. Kondisi ini tentunya
menjadi sebuah landasan berpikir akan terjadinya kekeliruan dalam paradigma
pembangunan serta implementasinya yang berdasarkan pada pengadaan tanah skala
luas.
Disini ditekankan bahwa paradigma pembangunan sedikit demi sedikit
bertransformasi dari pembangunan berbasis agraria menjadi pembangunan akan
industri-industri ekstraktif. Dari perubahan ini, ternyata muncul dampak yang
signifikan, yaitu terjadinya degradasi dari layanan alam yang telah tersedia dan dijaga

oleh petani-petani kecil dan masyarakat adat pada masa itu. Industri-industri ekstraktif
tersebut mengalihkan kepemilikan tanah oleh para petani kecil dan masyarakat lokal
tersebut dalam industri perkebunan raksasa yang selain menghilangkan kearifan lokal
yang tertanam kuat pada model pengelolaan tanah oleh para petani kecil dan masyarakat
lokal tersebut juga semakin menggembungkan kantong-kantong pemilik modal.
Bergantinya prinsip-prinsip local wisdom menjadi neoliberal, tentunya memberikan
dampak yang signifikan bagi masyarakat maupun bagi layanan alam itu sendiri.
Peningkatan faktor produksi menjadi alasan bagi pemberlakuan berbagai kebijakan
agraria yang sebenarnya lebih memiliki tendensi pada para pemilik modal, bukan pada
masyarakat.
Maka dari itu, dalam usaha merealisasikan sustainable economy atau ekonomi
berkelanjutan, kita tidak bisa stagnan kepada sistem kepemilikan tanah dewasa ini,
dimana sama sekali tidak terdapat penghargaan atas sumber daya alam dan manusia
sebagai entitas dari alam semesta yang sudah sepatutnya dihargai eksistensinya, namun
malah hanya berfokus pada peningkatan faktor produksi dan tunduk pada mekanisme
pasar yang berujung pada pemenuhan kepentingan pemilik modal.
Dalam ulasan Noer Fauzi mengenai perkembangan kebijakan agraria dari masa
kolonial hingga reformasi yang dibahas secara historis dan struktural, dapat ditemukan
adanya pola yang konsisten dalam permasalahan agraria di Indonesia, khususnya pada
kebijakan land reform dan implementasinya. Pada masa awal kemerdekaan dimana
masyarakat sangat antusias melakukan proses dekolonialisasidengan semangat
berbenah untuk lepas dari pengaruh penjajah, usaha implementasi kebijakan land
reform berjalan dengan landasan sosialisme dan revolusi dari Soekarno, yang sayangnya
belum sempat terimplementasikan lantaran tersendat peristiwa G30S/PKI. Setelah
Soekarno lengser, Orde Baru dengan sistem politik yang sentralistik menjadikan
permasalahan land reform sebagai sebuah kesempatan untuk industrialisasi, dimana
banyak lahan-lahan petani lokal dan masyarakat adat yang berubah menjadi lahan-lahan
industri ekstraktif. Selanjutnya, pada masa Reformasi terjadi berbagai pembenahan
secara struktural maupun dari segi implementasi. Namun, pembenahan yang terjadi
masih belum dilaksanakan secara menyeluruh dari top-down

maupun bottom up.

Birokrasi dan implementasi kebijakan masih belum menyentuh grass-root

dari

permasalahan agraria itu sendiri. Dalam hal ini, pemenuhan kepentingan pasar dan
pemilik modal menjadi pemicu utama stagnannya proses pembenahan tersebut.
Berbagai permasalahan terkait dengan aktor-aktor yang bermain dalam
perpolitikan agraria dan implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara tak
dapat lepas dari pengaruhnya terhadap permasalahan ekonomi yang dihadapi bangsa
Indonesia. Di era globalisasi ini, mekanisme pasar bebas adalah salah satu faktor utama
yang harus diperhitungkan dalam menganalisis permasalahan ekonomi. Pada era
reformasi ini, kecenderungan pemerintah untuk berpihak kepada para pemegang modal
semakin jelas terlihat, sehingga kebijakan-kebijakan yang dibuat pun cenderung
menguntungkan mereka. Disini terjadi usaha marjinalisasi masyarakat agraria,
khususnya petani dan masyarakat adat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sebenarnya
usaha reformasi permasalahan agraria yang selama ini dilaksanakan bukannya
memberikan kemajuan bagi proses pemberdayaan masyarakat agraria khususnya petani
dan masyarakat, namun malah membuka peluang bagi pihak-pihak berkepentingan
untuk turt melakukan campur-tangan dalam proses implementasi kebijakan agraria
khususnya pada permasalahan land reform.
Dari ulasan di atas mengenai permasalahan konflik agraria yang diangkat oleh
Noer Fauzi, dapat disimpulkan bahwa kebijakan agraria dari suatu wilayah merupakan
sebuah indikator bagi keberpihakan sebuah pemerintahan; apakah pemerintahan tersebut
mendasarkan paradigma pembangunannya kepada kepentingan masyarakat atau malah
tunduk akan hegemoni pasar? Pergulatan ini tentunya berdampak besar pada agenda
pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat dari negara ini, hingga
muncullah sebuah pertanyaan mendasar mengenai apakah kebijakan-kebijakan yang
muncul setelah ini

dapat menciptakan sebuah kondisi sustainable economy dan

kesejahteraan sosial atau malah menciptakan keadaan yang memarginalkan masyarakat


agrariakhususnya para petani lokal dan masyarakat adat?

Anda mungkin juga menyukai