Anda di halaman 1dari 21

BELLS PALSY

OLEH :

AMORDEKHAI I. P. SIHOMBING
212 210 011

DEFINISI
Bells Palsy adalah kelumpuhan fasialis perifier akibat proses non-supuratif,
non-neoplasmatik, non-degenatif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak
pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari
foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri.1
Dalam definisi tersebut, penekanan pada proses edema bagian nervus fasialis di sekitar
foramen stilomastoideus. Mungkin sekali edema tersebut merupakan gejala reaksi
terhadap proses yang disebut masuk angin (catch cold, exposed to chill), oleh karena
pada kebanyakan klien dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah duduk
di mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah begadang. Pada hampir
semua kasus, keadaan Bells Palsy hampir selalu unilateral.1
Bells Palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis primer, terjadi secara akut, dan
penyebabnya tidak diketahui atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat
mengakibatkan lesi nervus fasialis.2
Bells Palsy adalah paralisis fasialis LMN ( Lower Motor Neuron ) unilateral
idiopatik yang dihubungkan dengan infeksi virus atau pasca infeksi virus, dengan
beberapa bukti yang secara spesifik menunjukkkan keterlibatan virus herpes simpleks.3
Bells Palsy adalah disfungsi nervus fasialis, saat saraf ini berjalan di dalam
canalis fasialis, kelainan ini biasanya unilateral.4
Bells Palsy merupakan kelumpuhan saraf fasialis unilateral akut yang tidak
disertai dengan neuropati kranial lain atau disfungsi batang otak.5
Bells Palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan
saraf fasialis, yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi wajah, paralisis ini
menyebabkan asimetri wajah serta menggangu fungsi normal seperti menutup mata dan
makan.6

EPIDEMIOLOGI
Gangguan saraf fasialis merupakan sindrom neurologis umum, dan 70 %
biasanya akan didiagnosis sebagai Bells Palsy. Kejadian tahunan Bells Palsy sekitar 25
kasus per 100.000 orang dengan resiko seumur hidup 1 dari 60 70 orang. Pria dan
wanita mempunyai resiko yang sama terkena Bells Palsy dengan rentang umur antara
10 70 tahun. Tidak ada preferensi antara sisi wajah kiri atau kanan yang terkena,
keadaan Bells Palsy bilateral jarang terjadi sekitar 0.3 2 %.7
Insidensi Bells Palsy sekitar 20 30 kasus dari 100.000 orang per tahun, dan
sekitar 60-75 % keadaannya unilateral paralisis fasialis. Rata rata usia yang terkena
sekitar 40 tahun, tetapi bisa juga terjadi pada semua usia. Insidensi terendah terjadi pada
anak dibawah usia 10 tahun, kemudian meningkat pada usia 10 sampai 29 tahun, tetap
stabil pada usia 30 sampai 69 tahun, dan insidensi tertinggi pada usia diatas 70 tahun.
Kedua sisi wajah terlibat frekuensi yang sama. Kebanyakan pasien dapat sembuh
dengan sempurna, meskipun beberapa mengalami cacat permanen pada wajah.8
Bells Palsy merupakan ganggunan neurologis yang paling sering dijumpai,
wanita muda usia 10 sampai 19 tahun lebih sering terkena dibanding laki-laki. Wanita
hamil memiliki 3,3 kali resiko lebih tinggi dibandingkan dengan wanita tidak hamil.6
Di Indonesia, insiden Bells Palsy sangat sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells Palsy
sekitar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 31 tahun.
Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat
terpapar udara dingin atau angin berlebihan.9

ETIOLOGI
Banyak kontroversi mengenai etiologi dari Bells Palsy, tetapi ada 4 teori yang
dihubungkan dengan etiologi Bells Palsy yaitu :9
1. Teori Iskemik Vaskular
Menurut teori ini, terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N VII. Terjadi
vasokonstriksi arteriol yang memperdarahi N VII sehingga terjadi iskemik,
kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat,
dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudasi ini akan menekan kapiler
limfe sehingga menutup. Keadaan ini akan menyebaban pengeluaran cairan
makin bertambah dan akan makin menekan kapiler dan venula dalam kanalis
fasialis sehingga terjadi iskemik,
2. Teori Virus
Penderita Bells Palsy sering terjadi setelah infeksi virus, sehingga menurut teori
ini penyebab Bells Palsy adalah virus. Perjalanan penyakit ini juga menyerupai
viral neuropathy pada saraf perifer lainnya.
3. Teori Herediter
Keadaan ini mungkin karena kanalis fallopii yang sempit pada keturunan
tersebut sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya Balls Palsy.
4. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Balls Palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi
virus yang timbul sebelumnya atau akibat dari pemberian imunisasi.
Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain,
proses edema bagian nervus fasialis di sekitar foramen stilomastoideus, mungkin sekali
edema tersebut merupakan gejala reaksi terhadap proses yang disebut masuk angin, oleh
karena pada kebanyakan klien dapat diperoleh data bahwa paresis fasialis timbul setelah
duduk di mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, atau setelah begadang.1

PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu
satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau
kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya
proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus
fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan
infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer
atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang
dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris cold. Paparan udara
dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis
bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelopontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada
cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti
nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN
tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke
arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan
tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah

reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak
dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam
mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir
tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air
mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.10
Bells Palsy dipertimbangkan dengan beberapa paralisis tekanan. Saraf yang
radang dan edema saraf pada titik kerusakan, atau pembuluh nutriennya tersumbat pada
titik yang menghasilkan nekrosis iskemik dalam kanal panjangnya saluran yang paling
baik sangat sempit. Ada penyimpangan wajah berupa paralisis otot wajah; penungkatan
lakrimalis (air mata); sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga, dan pada klien
mengalami kesukaran bicara dan kelemahan otot wajah pada sisi yang terkena. Pada
kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui paresis fasialisnya ialah teman
sekantor atau orang terdekat/keluarganya.
Pada observasi sudah dapat disaksikan juga, bahwa gerakan kelopak mata yang tidak
sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat.
Fenomena tersebut dikenal sebagai lagoftalmos. Lipatan nasolabial pada sisi
kelumpuhan, mendatar. Pada saat menggembungkan pipi terlihat bahwa sisi yang
lumpuh tidak menggembung. Pada saat mencibirkan bibir, gerakan bibir tersebut
menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Bila klien disuruh untuk memperlihatkan gigi
geliginya atau disuruh meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat sehingga
mulut tampaknya moncong ke arah yang sehat.
Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi tidak didapati gangguan lain
mengiringinya, bila paresisnya benar benar bersifat Bells Palsy. Tetapi ada dua hal
harus disebut sehubungan dengan ini. Pertama, air mata yang keluar secara berlebihan

di sisi kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
Gejala yang tersebut pertama timbul karena konjungtiva bulbi tidak dapat penuh
ditutupi oleh kelopak mata yang lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu,
dan sebagainya.
Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di tingkat
foramen stilomastoideus meluas sampai begian nervus fasialis, dimana khorda timpani
menggabungkan diri padanya. Setelah paralisis fasialis perifier sembuh, masih sering
terjadi gejala sisa. Pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah,
sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain.
Gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu dinamakan sinkinesis.
Gerakan sinkinetik tersebut ialah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata
ditutup dan fisura palpebrale sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu
rahang bawah ditarik ke atas atau ke bawah, seperti sewaktu bicara atau mengunyah.
Dalam hal ini, di luar serangan spasmus fasialis, sudut mulut sis yang pernah lumpuh
tampaknya lebih tinggi kedudukannya dari yang sehat. Karena itu banyak kekhilafan
dibuat mengenai sisi mana yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama bila klien
pernah engidap Bells Palsy kemudian mengalami stroke.11, 12

GAMBARAN KLINIK
Gambaran klinik pada Bells Palsy bergantung pada lokasi lesi, sebagai
berikut:13

Lesi di luar foramen stylomastoideus


Mulut turun dan mencong ke sisi yang lain. Makanan berkumpul di antara pipi
dan gusi; dan sensasi wajah menghilang. Penderitanya tidak dapat bersuit,

mengedia atau mengatubkan mata, atau mengerutkan dahi. Lacrimasi akan


terjadi kalau mata tidak terlindungi. Tipe paralisisnya lower motor neuron yang
flaccid. Reaksi degenerasi timbul dalam waktu 10 14 hari, bergantung pada
luasnya kerusakan.

Lesi pada canalis fasialis dan mengenai nervus chorda tympani


Seluruh gejala di atas terdapat, di samping hilangnya sensasi pengecap pada dua
per tiga anterior lidah dan berkurangnya salivasi di sisi yang terkena.

Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenai musculus stapedius
Gejala pertama dan kedua ditambah dengan hyperacusis.

Lesi lebih tinggi yang mengenai ganglion geniculatum


Onsetnya acap kali akut, dengan rasa nyeri di belakang dan di dalam telinga.
Herpes pada tympanum dan concha dapat mendahului keadaan palsy. Sindrom
Ramsay Hunt merupakan Bells Palsy yang disertai Herpes Zoster pada ganglion
geniculatum; lesi lesi herpetic terlihat pada membran tympani, canalis
auditorius externa dan pada pinna.

Lesi di dalam meatus auditorius internus


Gejala gejala Bells Palsy dan ketulian akibat terkenanya nervus VIII.

Lasi pada tempat keluarnya nervus fasialis dari pons


Bells Palsy dengan terkenanya nervus nervus yang lain, yaitu V dan VIII,
kadang kadang pula, VI, XI, dan XII. Pada fenomena Marcus Gunn (jawwinking) yang terlihat pada ptosis kongenital, elevasi kelopak mata yang ptosis
terjadi pada gerakan rahang ke sisi kontralateral. Sindroma Marin-Amat
biasanya dijumpai setelah paralisis fasialis perifier dan dihubungkan sebagai

suatu inversi fenomena Marcus Gunn. Terjadi penutupan mata ketika pasien
membuka mulutnya kuat kuat dan maksimal.

Gambaran klinik Bells Palsy :6

Gejala pada wajah ipsilateral :


-

Kelemahan otot wajah ipsilateral

Kerutan dahi menghilang ipsilateral

Tampak seperti orang letih

Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata

Hidung terasa kaku

Sulit berbicara

Sulit makan dan minum

Sensitif terhadap suara (hiperakusis)

Ssalivasi yang berlebihan atau berkurang

Pembengkakan wajah

Berkurang atau hilangnya rasa kecap

Nyeri di dalam atau disekitar telinga

Air liur sering keluar

Gejala pada mata ipsilateral :


-

Sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral

Air mata berkurang

Alis mata jatuh

Kelopak mata bawah jatuh

Sensitif terhadap cahaya

Residual
-

Mata terlihat lebih kecil

Kedipan mata jarang atau tidak sempurna

Senyum yang asimetri

Spasme hemifasial pascaparalitik

Otot hipertonik

Sinkinesia

Berkeringat saat makan atau saat beraktivitas

Otot menjadi lebih flaksid jika lelah

Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan

Secara klinis, saraf lain kadang kadang ikut teriritasi, misalnya, rasa nyeri atau
baal pada wajah yang bisa disebabkan oleh iritasi nervus V.
Gejala dan tanda Bells Palsy :16

Hampir selalu unilateral

Timbul mendadak; penderita sering terbangun pada pagi hari dengan paralisis

Dapat didahului atau disertai nyeri di belakang atau di dalam telinga atau pada
sudut rahang

Otot otot wajah bagian atas dan bawah terkena bersamaan

Fenomena Bell (bila mata ditutup, bola mata berputar ke atas dan sedikit ke
dalam)

Gambaran klinik pada lesi paralitik di susunan nervus fasialis yang dapat diungkapkan
oleh pemeriksaan :11

Lesi unilateral di korteks frontalis area psikomotorik


Gerakan otot wajah yang mengekspresikan emosi menunjukkan asimetri, karena
adanya defisit motorik pada belahan wajah sisi kontralateral. Pada waktu
ketawa, sudut mulut sisi kontralateral berkedudukan lebih rendah daripada
belahan wajah sisi lainnya. Tetapi gerakan otot wajah atas perintah dan voluntar
dapat dilaksanakan secara simetrik.

Lesi unilateral di korteks somatomotorik menimbulkan kelemahan gerakan otot


wajah bagian bawah sisi kontralateral. Otot wajah bagian atas, berikut muskulus
orbikularis okuli, tidak paretik, sehingga tanda Bell dan lagoftalmus tidak
dijumpai.

Lesi unilateral nuklearis menimbulkan paresis nervus fasialis jenis lower motor
neuron pada sisi ipsilateral tanpa gejala pengiring lainnya.

Lesi unilateral di radiks nervus fasialis, tepat pada kolikulus fasialisnya


menimbulkan paralisis nervus fasialis lower motor neuronipsilateral yang
bergandengan dengan paralisis nervus abdusen dan tidak jarang disertai juga
oleh sindroma fasikulus longitudinalis medialis.

Lesi unilateral pada nervus fasialis di sekitar meatus akustikus internus sampai
genu kanalis fasialis menimbulkan paralisis nervus fasialis lower motor neuron
ipsilateral

yang

bergandengan dengan adanya

gangguan pendengaran,

keseimbangan, pengecapan, dan sekresi air liur di rongga mulut.

Lesi unilateral pada nervus fasialis di sekitar tebing lateral os petrosum


membangkitkan paralisis fasialis lower motor neuron ipsilateral yang disertai
oleh

gangguan

pengecapan

dan

hiperakusis

dengan

utuhnya

pendengaran/keseimbangan dan sekresi air liur di mulut.

Lesi unilateral pada nervus fasialis di sekitar mastoid dan membrana timpani
menimbulkan

paralisis

fasialis

lower

motor

neuron

ipsilateral

yang

bergandengan dengan gangguan pengecapan.

Lesi pada nevus fasialis di sekitar foramen stilomastoideus baik yang masih
berada di sebelah dalam maupun disebelah luar foramen tersebut, menimbulkan
paralisis nervus fasialis lower motor neuron ipsilateral tanpa gejala pengiring.

PENATALAKSANAAN
Bells Palsy diobati sebagai kasus neuritis. Dalam tahap akut corticosteroid
dapat digunakan. Vitamin B1, B6, dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatansia per os
dengan ACTH i.m. 40 sampai 60 satuan per/hari selama 2 minggu dapat mempercepat
penyembuhan. Dalam 5 hari sampai 2 bulan 95 % kasus kasus Bells Palsy dapat
disembuhkan. Setelah 1 minggu, otot yang lumpuh boleh dirangsang secara galvanik.1
Pengobatan Bells Palsy dilakukan dengan cara menenangkan penderita bahwa
kesembuhan akan terjadi dalam waktu 2 8 minggu (atau pada pasien yang lebih tua, 12 tahun). Jaga agar muka tetap hangat dan selanjutnya hindarkan agar tidak terbuka,

terutama terhadap angin dan debu. Lindungi mata dengan kasa steril jika perlu. Muka
dapat ditahan dengan mengaitkan pita atau kawat pada sudut mulut dan dikaitkan
disekitar telinga. Stimulasi listrik (dua hari sekali sesudah hari keempat belas) dapat
dikerjakan untuk membantu mencegah atrofi otot. Lakukan massage perlahan lahan ke
arah atas pada otot otot yang terkena selama 5 10 menit, dua tiga kali sehari, untuk
menjaga tonus otot. Pemanasan dengan memakai lampu infra merah dapat mempercepat
penyembuhan.13
Pengobatan Bells Palsy :16

Minggu pertama, prednison 40 60 mg setiap hari lalu diturunkan dengan cepat,


akan mempercepat kembalinya fungsi nervus fasialis

Perlindungan terhadap mata penting yaitu dengan pemberian tetes mata pada
siang hari dan salep dan plester penutup mata pada waktu tidur

Bila tidak menyembuh, mungkin perlu dilakukan anastomosis fasial-hipoglosus


Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi

dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada
pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding
Bells palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya
setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan dokter umum
dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti dijelaskan di bawah
ini.14
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat
dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur),
kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan
bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).

Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah
ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas
dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan
pada kasus yang berat dalam 14 hari onset.
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset
terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula
bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa terapi
fisik. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro muskular, masase,
meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang
dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol
gerakan, dan relaksasi.
Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat
dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan
berupa masase superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10
kali yang dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.
Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringansedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif
dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual) dengan melakukan
gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk
gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali
dengan 2-4 set per hari.
Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri
wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam
otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori
fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah
lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi.

Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan
seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan
berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi
neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi
dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot
yang sinkinesis. Latihan ini cukup dilakukan 1-2 kali per hari.
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan, pasien
dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani kemodenervasi
untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi sosial, dan ekspresi emosi
wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan ke bagian kulit atau bedah plastik.
Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu
dipertimbangkan apabila terdapat kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan
glandula parotis dan hipertensi secara berurutan pada pasien.
Terapi Farmakologis
Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam
patogenesis Bells palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis
permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid,
terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan
untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60
mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama
enam hari diikuti empat hari tappering off.
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka panjang
(lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum,
osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome.
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat antivirus
digunakan dalam penanganan Bells palsy. Namun, beberapa percobaan kecil
menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan

kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato mengindikasikan bahwa hasil yang lebih


baik didapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/valasiklovir dan prednisolon
dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.
Axelsson juga menemukan bahwa terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki
hasil yang lebih baik. de Almeida menemukan bahwa kombinasi antivirus dan
kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar
dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral
dan steroid pada 48-72 jam pertama setelah onset.
Namun, hasil analisis Cochrane dan Quant dengan 1145 pasien menunjukkan tidak
adanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal
angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan
penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi
lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapi kombinasi.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui
oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa
diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali
pemberian selama 7-10 hari.
Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk
dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek
samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat
ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.
Untuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednison dan antiviral
sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari
sejak awitan. Prednison diberikan jika muncul tanda tanda radang. Istirahat
merupakan bagian dari terapi yang sangat penting.
Pemakaian kacamata dengan lensa berwarna atau kaca mata hitam kadang diperlukan
untuk menjaga mata tetap lembab saat bekerja. Pemijitan wajah boleh dilakukan. Untuk

rasa nyeri atau tidak nyaman, kompres hangat akan membantu. Obat yang dapat
menghilangkan nyeri ini diantaranya gabapentin.
Famsiklovir dan asiklovir sering diresepkan sebagai obat antiviral. Saat ini dapat
digunakan antiviral baru seperti valasiklovir yang bekerja cepat.6

KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang
salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke
kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.9
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri;
selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata,
maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma,
atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf
yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang
salah.15
3. Hemifacial spasm
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi

lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.


Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.15
4. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih
jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila
kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot
wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.15
Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy,
adalah:14
(1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis,
(2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi
atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
(3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan :
(1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya
timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau
pengerutan dahi saat memejamkan mata,
(2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat
regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar
pada saat mengkonsumsi makanan, dan

(3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba
(shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada
stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi
bersamaan).

PROGNOSIS
Antara 80 85 % penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.
Paralisis ringan atau sedang pada saat awitan merupakan tanda prognosis baik.
Denervasi otot otot wajah sesudah 2 3 minggu menunjukkan bahwa terjadi
degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan
tidak sempurna. Pulihnya daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan
biasanya berkaitan dengan pulihnya paralisis secara sempurna. Apabila lebih dari 14
hari, maka hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.2
Prognosisnya sangat baik. Lebih dari 85 % kasus sembuh secara spontan tanpa sisa
kelemahan wajah; 10 % yang lain menderita kelemahan wajah ringan sebagai sekuele;
hanya 5 % yang masih dengan kelemhan wajah yang berat dan permanen. Pada kasus
kronis yanag tidak sembuh dalam beberapa minggu, pemeriksaan elektrofisiologi saraf
fasialis membantu menentukan derajat neuropati dan regenerasi. Pada kasus kronis,
penyebab lain neuropati fasialis harus dipikirkan, termasuk tumor saraf fasialis oleh sel
leukimia atau oleh rhabdomiosarkoma telinga tengah, tumor atau infark batang otak,
dan luka traumatis saraf fasialis.5
Perjalanan alamiah Bells Palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells
Palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3
minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele
berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan

pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells Palsy, bukti denervasi mulai
setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang
jelas.
Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada
fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal
dan/atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.
Kimura menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam
14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan
prognosis perbaikan klinis yang positif.
Selain menggunakan pemeriksaan neurofisiologi untuk menentukan prognosis, HouseBrackmann Facial Nerve Grading System dapat digunakan untuk mengukur keparahan
dari suatu serangan dan menentukan prognosis pasien Bells Palsy.14
Jika dengan prednison dan fisioterapi selama tiga minggu belum mengalami
penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala sisa berupa kontraktur otot otot
wajah, sinkinesis, tic fasialis, dan sindrom air mata buaya.15

1. Sidharta, Priguna.2009.Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.Jakarta:PT.Dian


Rakyat
2. Harsono DSS.2009.Kapita Selekta Neurologi.Edisi 2.Yogyakarta:Gajah Mada
University Press
3. Ginsberg, Lionel.2005.Lecture Notes Neurologi.Edisi 8.Jakarta:Erlangga
4. Snell, Richard S.2007.Neuroantomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Edisi
6.Jakarta:EGC
5. Nelson.2012.Ilmu Kesehatan Anak Volume 3.Edisi 15.Jakarta:EGC
6. George Dewanto, Wita Suwono, Budi Riyanto, Yuda Turana.2009.Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf.Jakarta:EGC
7. Ross, Karen. L.2012.Emergency Neurology.New York:Springer
8. Richard Tidball Johnson, John W. Griffin, Justin C. Mc. Athur.2006.Current
Theraphy in Neurologic Diseases.USA:Mosby Elsevier
9. Sabirin J. Hadinoto dkk.1990.Gangguan Gerak.Cetakan I.Semarang : Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro
10. Marjono, Mahar.Priguna Sidharta.2006.Neurologi Klinis Dasar.Jakarta:PT.Dian
Rakyat
11. Sidharta, Priguna.2006.Tata Pemeriksan Klinis dalam Neurologi.Jakarta:PT.Dian
Rakyat
12. Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan.Jakarta:Salemba Medika
13. Chusid, J.G.1993.Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional Bagian
Satu.Yogyakarta:Gajah Mada University Press
14. Lowis, Handoko.Maula Gaharu.2012.Bells Palsy, Didiagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer:Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan
15. Lumbantobing,
SM.2012.Neurologi
Klinik
Pemeriksaan
Fisik
Dan
Mental.Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
16. Saputra, Lyndon.2009.Kapita Selekta Kedokteran Klinik.Tangerang:Binarupa
Aksara Publisher

Anda mungkin juga menyukai