Hisprung 1 PDF
Hisprung 1 PDF
Latar Belakang
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa
aganglionik usus, mulai dari spinkter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997;Fonkalsrud,1997). Penyakit ini
pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, namun
patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas hingga tahun
1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang
dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian
distal usus akibat defisiensi ganglion (Kartono, 1993; Fonkalsrud, 1997;
Lister, 1996).
Beberapa metoda penatalaksanaan bedah definitif untuk kelainan
Hirschsprung ini telah pula diperkenalkan, mula-mula oleh Swenson dan Bill
(1946) berupa prosedur rektosigmoidektomi, Duhamel (1956) berupa
prosedur retrorektal, Soave (1966) berupa prosedur endorektal ekstramukosa
serta Rehbein yang memperkenalkan tekhnik deep anterior resection.
Sejumlah komplikasi pasca operasi telah diamati oleh banyak peneliti, baik
komplikai dini berupa infeksi, dehisensi luka, abses pelvik dan kebocoran
anastomose, maupun komplikasi lanjut berupa obstipasi, inkontinensia dan
enterokolitis. Namun secara umum diperoleh gambaran hasil penelitian bahwa
ke-empat prosedur bedah definitif diatas memberikan komplikasi yang hampir
sama, namun masing-masing prosedur memiliki keunggulan tersendiri
dibanding dengan prosedur lainnya, tergantung keahlian dan pengalaman
operator yang mengerjakannya (Kartono,1993; Heikkinen dkk,1997,
Teitelbaum,1999).
Namun hingga saat ini, belum ada satupun parameter atau sistem
penilaian fungsi anorektal yang diterima secara universal guna mengevaluasi
tingkat keberhasilan tindakan bedah definitif (Heikkinen dkk,1997). Padahal
keberhasilan mengembalikan fungsi anorektal tersebut ketingkat normal atau
mendekati normal merupakan hakikat utama tujuan penatalaksanaan
penyakit Hirschsprung. Menurut H.A.Heij, parameter terbaik untuk menilai
fungsi anorektal adalah kemampuan untuk menahan defekasi sehingga
diperoleh tempat dan waktu yang tepat untuk defekasi (Heij dkk,1995).
Kartono mengusulkan empat katagori gangguan fungsi spinkter (kecipirit,
kontinensia kurang, inkontinensia dan obstipasi berulang) tanpa membuat
skala sehingga tidak dapat dipakai untuk menilai derajat kerusakan fungsi
anorektal tersebut(Kartono,1993). Ludman L, dkk (2002) mengusulkan 3
parameter, yakni : frekwensi buang air besar, frekwensi kecipirit dan
kekuatan otot spinkter ani(Ludman dkk,2002). Sedangkan sistem skoring
Perumusan Masalah
Belum ada penelitian mengamati fungsi anorektal penderita penyakit
Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-through di kota Medan.
I.3.
Tujuan Penelitian
Mengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan bedah definitif pullthrough terhadap penderita penyakit Hirschsprung di rumah sakit pendidikan
kota Medan melalui pengamatan fungsi anorektal memakai sistem skoring
Hekkinen.
I.4.
Kontribusi Penelitian
Diharapkan dengan penelitian ini diperoleh data base fungsi anorektal
penderita penyakit Hirschsprung yang telah menjalani tindakan bedah
definitif, menilai keberhasilan operasi pull-through prosedur modifikasi
Duhamel dan menerapkan sistem skoring Hekkinen dalam mengevaluasi
fungsi anorektal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Sejarah
Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus
yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon (Fonkalsrud,1997; Swenson dkk,1990). Namun baru 2 abad
kemudian Harald Hirschsprung (1886) melaporkan secara jelas gambaran
klinis penyakit ini, yang pada saat itu diyakininya sebagai suatu megakolon
kongenital. Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang
pasiennya masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi
kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah
diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini,
sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi
(Swenson dkk,1990).11 Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan
perbaikan yang signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya
kelainan patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion
parasimpatis pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu
pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade
kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa
megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltik
Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior (Yamada,1999;
Shafik,2000). (Gambar 1)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh
spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial
dan depan (Shafik,2000) . (Gambar 2 )
II.4.
Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia
200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun
akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40
pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto
Mangunkusomo Jakarta (Kartono,1993).
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah
laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%). Hanya
saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi seperti
refluks vesikoureter,hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria (mencapai
1/3 kasus) (Swenson dkk,1990).
II.5. Diagnosa
II.5.a. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
(1). Periode Neonatal. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)
merupakan tanda klinis yang signifikans. Swenson (1973) mencatat angka
94% dari pengamatan terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat
angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah
lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini,
yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia
2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya
berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan
manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah
dilakukan kolostomi (Kartono,1993; Fonkalsrud dkk,1997; Swenson
dkk,1990). (Gambar 6)
Gambar 7. Foto anak yang telah besar, sebelum dan sesudah tindakan
definitif bedah. Terlihat status gizi anak membaik setelah operasi.
II.5.b.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus
halus dan usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan
dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
(Kartono,1993).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium,
yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces
kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung
10
11
12
II.5.d.Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter
anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil
pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada dasarnya, alat
ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti
poligraph atau komputer (Shafik,2000; Wexner,2000; Neto dkk,2000).
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit
Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada
segmen usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi
spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan feces.
Tidak dijumpai relaksasi spontan (Kartono,1993; Tamate,1994;
Neto,2000).
13
14
Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari
setiap operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas
penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik
fungsi spinkter ani dan kontinen (Swenson dkk,1990).
15
16
17
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Yang Diamati
Frekensi buang air dalam 1 hari
a. 1 2 kali
b. 3 5 kali
c. lebih dari 5 kali
Bentuk (konsistensi) tinja
a. Padat
b. Lunak
c. Cair
Buang air besar tanpa disadari :
a. Tidak pernah
b. Selalu, jika sedang stres
c. Selalu setiap waktu
Perasaan ingin buang air besar (kebelet)
a. Ada
b. Terus menerus, meski feces sudah keluar
c. Tidak pernah ada
Lamanya kemampuan menahan perasaan
ingin buang air besar sebelum mendapat
tempat (WC) yang diinginkan :
a. Beberapa menit
b. Beberapa detik
c. Tidak mampu sama sekali
Kemampuan
mengenali/memisahkan
bentuk tinja yang akan keluar (Apakah
padat, cair atau gas ) :
a. Mampu
b. Mampu kalau sedang buang air besar saja
c. Tidak mampu
Pemakaian
obat-obatan
untuk
memperlancar buang air besar :
a. Tidak perlu
b. Kadang-kadang
c. Selalu
Skor
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
2
1
0
BAB III
METODOLOGI
III.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat cross sectional deskriptif analitik dengan menilai
fungsi anorektal penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan definitif
bedah prosedur modifikasi Duhamel memakai sistem skoring menurut
Hekkinen.
III.2 Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada sub-bagian bedah anak RSUP H.Adam
Malik dan RSUD Dr. Pirngadi Medan serta melakukan kunjungan rumah
terhadap penderita yang berdomisili di daerah Medan sekitarnya.
18
III.3.c
Kriteria Inklusi :
1. Semua penderita penyakit Hirschsprung yang telah menjalani
tindakan bedah definitif pull through di RSUP H.Adam Malik dan
RSUD Dr. Pirngadi Medan dengan memakai prosedur Duhamel
modifikasi.
2. Berusia sekurang-kurangnya 2 tahun saat mengikuti penelitian dan
telah menjalani operasi definitif sekurang-kurangnya 6 bulan.
3. Berdomisili di kota Medan dan sekitarnya.
III.3.d
Kriteria Ekslusi :
1. Pasien berusia lebih dari 14 tahun saat menjalani tindakan bedah
definitif pull-through.
2. Pasien menderita kelainan bedah lain.
19
Evakuasi Mekonium
Dari semua penderita Hirschsprung yang telah dilakukan tindakan
bedah, 39 orang diantaranya tidak tercatat data waktu pengeluaran
mekonium pertama. Dari 57 penderita yang terdata, dijumpai hanya 7 %
yang mekoniumnya keluar dalam 24 jam pertama, bahkan 35 kasus (61,4%)
mekonium keluar sudah diatas 48 jam. Hanya sangat disayangkan, tidak
ditemukan data mengenai apakah mekonium keluar spontan atau dengan
bantuan manual.
20
Komplikasi
Penelusuran komplikasi pasca tindakan bedah definitif pada penderita
Hirschsprung ini kami lakukan melalui 2 cara, yakni mencatat dari rekam
medik untuk sebagian besar kasus, sedangkan dari kasus yang kami lakukan
kunjungi melalui pengamatan langsung dan wawancara (24 kasus).Tabel 5
memperlihatkan daftar komplikasi pasca tindakan definitif tersebut.
Tabel 5. Komplikasi pasca tindakan bedah definitif. n = 67
Komplikasi
Kasus
%
Bocor anastomose
3
4,4
Obstruksi usus
2
2,9
Enterokolitis
5
7,5
Kecipirit
3
4,4
Meninggal
1
1,4
Jumlah
14
20,9
IV.4
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
%
54,2
8,3
8,3
12,5
8,3
8,3
100,0
21
15
62,5
3 5 kali
33,3
>5
kali
Jumlah
4,2
24
100,0
Parameter kedua adalah menilai konsistensi feces, berupa padat, lunak atau
berbentuk cair saja. Konsistensi tinja yang dimaksud adalah konsistensi feces yang
paling sering dikeluarkan penderita sehari-harinya disaat penderita sehat. Jikalau
sulit menilai konsistensi mana yang sebenarnya dimaksud penderita atau
orangtuanya (misal : padat bercampur lunak),maka penulis memilih konsistensi yang
paling dominan atau yang paling tinggi skornya. Tabel 8 memperlihatkan distribusi
konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan definitif. Tercatat bahwa
tidak satupun penderita mengalami konsistensi fecesnya selalu cair.
Tabel 8. Konsistensi tinja penderita Hirschsprung pasca tindakan bedah
definitif pull-through.
Konsistensi Tinja
Skor
Jumlah
%
Padat
Lunak
Cair
Jumlah
2
1
0
14
10
0
24
58,3
41,7
0
100,0
22
2
1
0
12
12
0
24
50,0
50,0
0
100,0
Perasaan ingin buang air besar adalah salah satu fungsi dari sampling reflex
dimana kita mampu mengenali adanya isi rektum setelah propulsi massa feces ke
rektum dalam jumlah yang signifikans. Namun dengan sampling reflex pula kita
tidak perlu setiap saat melakukan defekasi, dimana terdapat refleks hambatan
rektoanal sehingga defekasi hanya terjadi 1-2 kali sehari. Fungsi sampling reflex
terdapat pada rektum sebagai reservoar feces. Kegagalan membuat rektum baru
baik secara anatomis maupun fisiologis akan mengakibatkan kegagalan refleks ini
dengan salah satu manifestasinya adalah tidak mengenal adanya rangsangan ingin
defekasi (kebelet). Pada prosedur Duhamel modifikasi (Adang) ,membuat rektum
baru adalah salah satu hal yang krusial yakni dengan memotong septum memakai
klem lurus atau klem Ikeda. Jika septum tidak terpotong sempurna atau rektum
yang aganglionik tersisa cukup panjang, maka dapat menimbulkan stenosis,
hilangnya sensasi rektum dan defekasi tanpa disadari (kecipirit). Tabel 10
memperlihatkan distribusi sensasi rektum pada penderita penyakit Hirschsprung
pasca pull-through .
Tabel 10. Perasaan ingin buang air besar (kebelet) pada penderita
Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif pull-throgh.
Perasaan ingin defekasi Skor
Jumlah
%
Ada
Terus menerus
Tidak pernah ada
Jumlah
2
1
0
15
6
3
24
62,5
25,0
12,5
100,0
23
2
1
0
13
10
1
24
54,1
41,7
4,2
100,0
24
%
33,3
41,7
50,0
25,0
41,7
37,5
29,2
Skor 0
Jumlah
1
0
0
3
1
1
0
%
4,2
0
0
12,5
4,2
4,2
0
25
V.3.
Komplikasi
Dari tabel 7 terlihat sejumlah komplikasi yang dijumpai pasca tindakan
bedah definitif pull-through, yakni kebocoran anastomose 3 kasus (4,4%),
obstruksi usus 2 kasus (2,9%), enterokolitis 4 kasus (7,5%), kecipirit 3 kasus
(4,4,%), dan kematian 1 kasus (1,4%).
Kebocoran anastomose merupakan komplikasi yang paling serius
pasca tindakan bedah definitif, yang dapat diikuti dengan terbentuknya abses
di rongga pelvik, peritonitis umum, sepsis dan kematian. Apabila anastomose
dilakukan secara langsung, maka insidens terjadinya kebocoran tinggi. Jikalau
dipakai anastomose tidak langsung, artinya anastomose ditunda 10 hingga 14
hari kemudian, seperti pada prosedur Duhamel modifikasi Adang, maka
dalam laporannya Kartono mendapatkan angka yang fantastik, yakni tanpa
satupun kebocoran anastomose pada 65 pasiennya (Kartono,1993).
Stenosis rekti merupakan masalah yang harus segera dikenali dan
diatasi pada penderita penyakit Hirschsprung pasca tindakan bedah definitif.
Pada prosedur Duhamel modifikasi, stenosis disebabkan oleh pemotongan
septum yang tidak tuntas atau tidak adekuat. Oleh sebab itu,
penatalaksanaannya
cukup
berupa
pemotongan
ulang
septum
(Kartono,1993).
Pada penelitian ini, dijumpai kejadian enterokolitis pasca tindakan
bedah definitif hanya pada 4 kasus (7,5%), jauh lebih rendah dari angka yang
diperoleh Swenson (12,5%), Kleinhaus (10%) maupun
Kartono sendiri
(14,5%). Hal ini mungkin disebabkan oleh 2 hal : jumlah sampel penelitian
yang relatif kecil, atau adanya under reported mengingat sistem pencatatan
rekam medik yang masih kurang baik (Fujimoto dkk,1996).
26
27
V.4.
28
29
30
31