Anda di halaman 1dari 2

PETERNAKAN RAKYAT, SEBAB ATAU AKIBAT?

Oleh: Rochadi Tawaf


Pub

Publikasi HU Pikiran Rakyat 13 Nopember 2013


Forum Agribisnis halaman 25

Disadari bahwa usaha peternakan rakyat di negeri ini sebagian besar masih
bersifat subsisten dengan ciri skala usahanya yang kecil dan tidak ekonomis dan
dilakukan dengan cara tradisional dengan teknologi sederhana. Pada umumnya, ternak
merupakan aset hidup (livestock) dalam tata kehidupan masyarakat peternak. Ternak
bukan merupakan komoditi bisnis, tapi lebih berfungsi kepada status sosial masyarakat,
atau juga merupakan sumber tenaga kerja. Akibatnyanya, peternak akan menjual
ternaknya jika mereka memerlukan uang tunai. Oleh karenanya, fluktuasi dan gejolak
harga ternak biasanya terjadi bersamaan dengan terjadinya gejolak kebutuhan sosial atau
keluarga, terutama pada kegiatan hari-hari besar keagamaan, sosial dan kebudayaan.
Atas dasar kondisi tersebut, jika pemenuhan kebutuhan konsumen yang dari tahun ke
tahun terus meningkat seiring dengan peningkatan kesejahteraannya, maka diperlukan
suatu sistem industri peternakan yang tangguh dan mapan. Namun demikian, sanggupkah
usaha peternakan rakyat di negeri ini memenuhi kebutuhan konsumen akan produkproduk peternakan?. Sebab dalam perjalanannya selama puluhan tahun terakhir ini,
fluktuasi harga produk peternakan cukup memprihatikan. Misalnya; harga daging sapi
yang tidak kunjung turun, demikian pula halnya produk susu hasil produksi peternakan
sapi perah, fluktuasi harga telur dan daging ayam yang sangat tajam, sehingga
kesemuanya cukup mengganggu perkembangan perekonomian negara.
Apabila kita melihat sejarah perkembangannya, usaha peternakan sapi potong, sapi perah,
domba dan kambing sebagian besar dikuasai oleh peternakan rakyat, kecuali ayam ras.
Keseluruhan usaha ini, selama ini kondisi peternakan rakyat seolah tidak beranjak bahkan
cenderung jalan ditempat. Yaitu, skala usahanya tetap kecil dan masih tetap tradisional.
Demikian juga halnya terjadi pada usaha peternakan ayam ras yang sebagian besar
volumenya dikuasai oleh industri (korporasi besar), sedangkan pada usaha peternakan
rakyat pada umumnya peternak merupakan buruh dikandangnya sendiri. Mereka
menjadi peternak yang sepenuhnya tergantung kepada korporasi, bukan lagi menjadi
peternak yang mampu berusaha mandiri..
Melihat kondisi tersebut di atas, pertanyaannya adalah; apakah peternakan rakyat ini akan
mampu bergerak ke arah industri peternakan yang mandiri dan mampu meningkatkan
kesejahteraan peternak? Ataukah akan tetap menjadi status quo sebagai akibat dari ke
tradisionalannya?
Ada sementara pendapat, bahwa sulitnya berkembang industri peternakan yang berbasis
sistem agribisnis di negeri ini didasarkan kepada kalahnya daya saing produk industri
peternakan jika berhadapan dengan usaha peternakan rakyat. Sebab, sebagian besar
usaha peternakan rakyat hampir tidak pernah menghitung seluruh biaya produksinya.
Sementara industri peternakan menghitung seluruh komponen biayanya. Alhasil, industri

peternakan akan kalah bersaing di pasar. Atau sebaliknya; akibat dari strategi
pengembangan industri peternakan yang memanfaatkan peternakan rakyat sebagai bagian
dari penyebaran resiko, dalam suatu sistem usaha. Atau para industri peternakan
memanfaatkan skala kecil sebagai pendukung industri besarnya, mereka tidak mungkin
akan menjadi industri dan harus tetap merupakan bagian dari sistem industri. Sehingga,
peternakan rakyat malah menjadi sulit untuk mengembangkan usahanya.
Terlepas dari sebab atau akibat tidak atau sulitnya berkembang peternakan rakyat yang
mungkin pula disebabkan oleh kehadiran korporasi, maka upaya yang harus ditempuh
untuk meningkatkan taraf hidup dan kehidupan peternakan rakyat adalah sebagai berikut :
(a) diperlukan intervensi dengan konsep pengembangan industri peternakan berbasis
bahan baku produksi dalam negeri. Seluruh komoditi peternakan, khususnya di bidang
perbibitan harus dikuasai negera, baik komoditi unggas maupun ternak lainnya. Sebab,
perbibitan ini menjadi bisnis krusial yang akan mampu menekan biaya produksi dan
produktivitas. (b) perlu kebijakan-kebijakan operasional di tingkat kabupaten/kota yang
sangat strategis mengenai lahan untuk peternakan, rasio ternak dengan lahan usahatani
dan penegakkan hukum mengenai pemotongan betina produktif bagi ternak ruminansia.
Kesemua kebijakan ini, akan memperkuat keberadaan ternak di suatu wilayah sehingga
peternak akan terlindungi skala usahanya. (c) perlu inovasi teknologi adaptif pada
berbagai struktur usahaternak, sehingga teknologi yang diadopsi sama halnya dengan
teknologi di negera lainnya yang produk peternakannya diimpor ke dalam negeri. Dengan
kata lain perlu perlindungan teknologi bagi peternakan rakyat sekala kecil. (d) perlu
intervensi permodalan melalui pendekatan kelompok usaha (kluster). Disadari bahwa
pendekatan individu usaha tidak akan lebih baik dan efisien bila dibandingkan dengan
pendekatan kelompok. (e) perlindungan pasar dalam negeri terhadap serangan produk
impor melalui berbagai kebijakan fiscal maupun produk akhir teknologi. (f) diperlukan
intervensi kelembagaan ekonomi perdesaan berbasis kearifan lokal. Sebenarnya, kearifan
lokal merupakan suatu unsur keunggulan komparatif yang harus digali dan
dikembangkan dalam suatu proses produksi, sehingga akan mampu menekan biaya
produksi dan meningkatkan daya saing. (g) sebagai negara kepulauan, maka perbaikan
infrastruktur logistik sebagai pendukung utama produksi seperti; moda transportasi laut
dan darat, sistem pergudangan dan revitalisasi RPH (rumah potong hewan) maupun RPU
(rumah potong unggas).
Kiranya ketujuh butir tersebut diatas, harus dilaksanakan secara bersamaan, guna dapat
secara efektif membangun peternakan rakyat yang berdaya saing di era perdagangan
bebas..semoga.

Anda mungkin juga menyukai