Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi
1. Definisi
Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan
darah. Tekanan darah (TD) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung
dan resistensi perifer. Curah jantung adalah hasil kali denyut jantung dan isi
sekuncup. Besar ini sekuncup ditentukan oleh kekuatan kontraksi miokard dan
alir balik vena. Resistensi perifer merupakan gabungan resistensi pada pembuluh
darah

(arteri dan arteriol) dan viskositas darah. Resistensi pembuluh darah

ditentukan oleh tonus otot polos arteri dan arteriol dan elastisitas dinding
pembuluh darah (Ganiswara,1995:50).
Diagnosis

hipertensi

tidak

boleh

ditegakan

berdasarkan

sekali

pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) 120 mmHg dan atau
tekanan darah sistolik (TDS) 210 mmHg.

Pengukuran pertama harus

dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai
beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis
hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai
rata-rata TDD 90 mmHg dan atau TDS 140 mmHg (Ganiswara, 1995:316).
Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut The Sevent Joint National
Committee on Prevention Detection Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure (JNC7).
KLASIFIKASI
SISTOLIK (mmHg)
Normal
< 120
Prehipertensi
120-139
Hipertensi tingkat 1
140-159
Hipertensi tingkat 2
160
(Sumber : Dipiro et al, 2006).

DIASTOLIK (mmHg)
< 80
80-89
90-99
100

2. Etiologi Hipertensi
4

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibedakan menjadi dua golongan


yaitu:
a. Hipertensi Primer atau Esensial
Hipertensi yang tidak atau belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar
90% - 95% kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah
multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan. Faktor keturunan
bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler
dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa sensitifitas
terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas vaskuler
(terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin (Setiawati dan Bustami,
1995:315-342).
b. Hipertensi sekunder atau Renal
Hipertensi yang disebabkan atau sebagai akibat dari adanya penyakit lain
(terdapat sekitar 5% - 10% kasus) penyebabnya antara lain hipertensi akibat
penyakit ginjal (hipertensi renal), hipertensi endokrin, kelainan saraf pusat,
obat-obat dan lain-lain.
3. Patogenesis
Pada geriatri patogenesis terjadinya hipertensi usia lanjut sedikit berbeda
dengan yang terjadi pada dewasa muda. Faktor yang berperan pada geriatri
adalah:
a.

Penurunan kadar rennin karena menurunya jumlah nefron akibat proses


menua.

b.

Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium.

c.

Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer akibat proses menua akan


meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer yang pada akhirnya akan
mengakibatkan hipertensi

d.

Sistolik saja (ISH = Isolated Systolic Hypertension). (Darmojo dan


Martono, 2006:45)

4. Manifestasi klinik
a.

Gejala hipertensi
Peninggian tekanan darah kadang kadang merupakan satu-satunya
gejala (Mansjoer, 2001). Hipertensi tidak memberikan gejala khas, baru
setelah beberapa tahun adakalanya pasien merasakan nyeri kepala pagi hari
sebelum bangun tidur, nyeri ini biasanya hilang setelah bangun (Tan dan
Raharja, 2001). Pada survai hipertensi di Indonesia tercatat berbagai
keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi seperti pusing, cepat marah,
telinga berdenging, sukar tidur, sesak nafas, rasa berat ditekuk, mudah lelah,
sakit kepala, dan mata berkunang-kunang. Gejala lain yang disebabkan oleh
komplikasi hipertensi seperti : gangguan penglihatan, gangguan neurologi,
gagal jantung dan gangguan fungsi ginjal tidak jarang dijumpai. Timbulnya
gejala tersebut merupakan pertanda bahwa tekanan darah perlu segera
diturunkan (Susalit et al, 2001:453-472).

b. Hasil Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada pasien
hipertensi meliputi:
1) Pemeriksaan ureum dan kreatinin dalam darah dipakai untuk menilai
fungsi ginjal.
2) Pemeriksaan kalium dalam serum dapat membantu menyingkirkan
kemungkinan aldosteronisme primer pada pasien hipertensi.
3) Pemeriksaan kalsium penting untuk pasien hiperparatiroidisme primer
dan dilakukan sebelum memberikan diuretik karena efek samping
diuretik adalah peningkatan kadar kalsium darah.
4) Pemeriksaan glukosa dilakukan karena hipertensi sering dijumpai pada
pasien diabetes mellitus.
5) Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membantu menegakan
diagnosis penyakit ginjal, juga karena proteinuria ditemukan pada
hamper separuh pasien. sebaiknya pemeriksaan dilakukan pada urine
segar.

6) Pemeriksaan elektrokardiogram dan foto pada yang bermanfaat untuk


mengetahui apakah hipertensi telah berlangsung lama. Pembesaran
ventrikel kiri dan gambaran kardiomegali dapat dideteksi dengan
pemeriksaan ini (Suyono, 2001:461-462).
5. Diagnosis Hipertensi
Diagnosis hipertensi didasarkan pada peningkatan tekanan darah yang
terjadi pada pengukuran yang berulang. Joint National Committee VII
menuliskan diagnosis hipertensi ditegakan berdasarkan sekurang-kurangnya dua
kali pengukuran tekanan darah pada saat yang berbeda. pengukuran pertama
harus dikonfirmasi pada sedikitnya dua kunjungan lagi dalam waktu satu sampai
beberapa minggu (tergantung dari tingginya tekanan darah tersebut). Diagnosis
hipertensi ditegakan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai
rata-rata tekanan darah diastolik 90 mmHg dan atau tekanan darah sistolik
140 mmHg. Diagnosis hipertensi boleh ditegakan bila tekanan darah sistolik
210 mmHg dan atau tekanan darah diastolik 120 mmHg (Ganiswara,
1995:317).
Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:
a.

Mengidentifikasi penyebab hipertensi.

b.

Menilai

adanya

kerusakan

organ

target

dan

penyakit

kardiovaskuler,beratnya penyakit,serta respon terhadap pengobatan.


c.

Mengidentifikasi adanya faktor resiko kardiovaskuler lain atau penyakit


penyerta, yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan
pengobatan. Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan
cara anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan penunjang
(Susalit et al, 2001).

6. Terapi Hipertensi
Terapi pengobatan hipertensi adalah untuk mencegah terjadinya
morbiditas dan mortalitas akibat tekanan darah tinggi, ini berarti tekanan darah
harus diturunkan serendah mungkin yang tidak mengganggu fungsi, ginjal, otak,
jantung maupun kualitas hidup.

Terapi hipertensi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi Non
farmakologi (tanpa obat) dan terapi farmakologi (dengan obat)
a.

Terapi non farmakologi ditujukan untuk menurunkan tekanan darah pasien


dengan jalan memperbaiki pola hidup pasien. Terapi ini sesuai untuk segala
jenis hipertensi. Modifikasi pola hidup terbukti dapat menurunkan tekanan
darah lain penurunan tekanan darah pada kasus obesitas, diet asupan kalium
dan kalsium, pengurangan asupan natrium, melakukan kegiatan fisik, dan
mengurangi konsumsi alcohol (Chobanian et al, 2003).

b.

Terapi farmakologi sedikit berbeda dibanding dengan pasien usia muda.


Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada usia lanjut menyebabkan
konsentrasi obat menjadi tinggi dan waktu eliminasi menjadi panjang. Juga
terjadi penurunan fungsi dan respon organ-organ, adanya penyakit lain,
adanya obat-obat untuk penyakit lain yang sementara dikonsumsi, harus
diperhitungkan dalam pemberian obat anti-hipertensi.
Prinsip pemberian obat pada pasien usia lanjut:
1) Sebaiknya dimulai dengan satu macam obat dengan dosis kecil.
2) Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan,untuk penyesuaian
autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.
3) Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari.
4) Antisipasi efek samping obat.
5) Pemantauan tekanan darah itu sendiri di rumah untuk evaluasi
efektivitas pengobatan.
Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila
terdapat kelainan target organ. Oleh karena itu fungsi ginjal telah menurun
dan terdapat gangguan metabolisme obat,sebaiknya dosis awal dimulai
dengan dosis yang lebih rendah pada hipertensi tanpa komplikasi.
Hipertensi pada usia lanjut perlu diobati seperti pada usia yang lebih
muda,secara hati-hati sampai tekanan sistolik 140 mmHg dan diastolik 80
mmHg atau kurang. Selain itu perlu diobati faktor resiko kardiovaskuler
yang lain: dislipedemia, merokok, obesitas, diabetes melitus dan lain-lain
(Suharjono,Syakib,2001:

484-485).

7. Obat-Obat Antihipertensi
Semua obat antihipertensi bekerja pada salah satu atau lebih dari empat
tempat kontrol

anatomis dan efek tersebut terjadi dengan mempengaruhi

mekanisme normal regulasi tekanan darah. Obat-obat antihipertensi yang sering


digunakan diklasifikasikan sebagai berikut:
a.

Diuretik
Khasiat hipertensi diuretik berawal dari efeknya meningkatkan
ekskresi natrium, klorida, dan air, sehingga mengurangi volume plasma dan
cairan ekstrasel. Tekanan darah turun akibat berkurangnya curah jantung,
sedangkan resistensi perifer tidak berubah pada awal terapi. pada pemberian
kronik, vo lume plasma kembali tetapi masih kira-kira 5% dibawah nilai
sebelum pengobatan curah jantung kembali mendekati normal. Tekanan
darah tetap turun karena sekarang resistensi perifer menurun. Vasodilatasi
perifer yang terjadi kemudian ini tampaknya bukan efek langsung tetapi
karena adanya penyesuaian pembuluh darah perifer terhadap pengurangan
volume plasma yang

terus menerus. Kemungkinan lain adalah

berkurangnya volume cairan intestisial yang berakibat pada berkurangnya


kekakuan. Dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur
(Ganiswara, 1995).
b. -Bloker (beta-bloker).
Mekanisme kerja beta-bloker sebagai antihipertensi masih belum
jelas, diperkirakan ada beberapa cara, cara pertama adalah pengurangan
denyut jantung dan kontraktilitas miokard menyebabkan denyut berkurang.
Refleks baroreseptor serta hambatan reseptor B2 Vaskuler menyebabkan
resistensi perifer menurun, mungkin sebagai penyesuaian terhadap
pengurangan curah jantung yang kronik. Cara yang kedua adalah hambatan
sekresi rennin melalui reseptor B1 di ginjal (Ganiswara, 1995:330).
Penurunan tekanan darah oleh beta bloker yang diberikan per oral
berlangsung lambat. Efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu
setelah terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan tekanan darah lebih
lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Efek samping obat golongan

beta bloker dapat diperkirakan selain itu juga terdapat banyak pilihan
sehingga beta bloker sering digunakan sebagai obat pilihan pertama.
Khususnya pada kasus hipertensi dengan aritmia atau ischaemia heart
disease. Kontra indikasi pemakaian beta bloker adalah obstruksi saluran
nafas (asma bronkhial), penyakit pembuluh darah perifer, dan gagal jantung
(Raharjo, 2001).
c.

- Bloker (Alfa-bloker).
Antagonis adrenoreseptorm memblok reseptor adrenergic
dipembuluh darah sehingga vasodilatasi. obat ini tidak menimbulkan
toleransi pada penggunaan janka panjang sebagai antihipertensi. Alfa bloker
merupakan satu-satunya golongan antihipertensi yang memberikan efek
positif terhadap lipid darah (menurunkan kolesterol LDL dan trigliserida
dan meningkatkan kolesterol HDL). Alfa bloker juga dapat menurunkan
resistensi insulin (disamping penghambat ACE), memberikan sedikit efek
bronkodilatasi dan mengurangi serangan asma akibat latihan fisik, dan tidak
berinteraksi dengan AINS. Karena itu, alfa bloker dianjurkan penggunaanya
pada penderita hipertensi yang disertai diabetes, dislipidemia, obesitas,
gangguan resistensi perifer, asma, dan perokok. Merokok meningkatkan
trigliserida dan menurunkan kolesterol HDL dalam darah. Alfa bloker juga
dapat dianjurkan untuk penderita muda yang aktif secara fisik, dan mereka
yang menggunakan AINS (Ganiswara,1995:321).

d. Antagonis kalsium
Pada otot jantung ada otot vaskuler, ion kalsium terutama berperan
dalam peristiwa kontraksi. Meningkatnya kadar ion kalsium dalam sitosol
akan meningkatkan kontraksi. Masuknya ion kalsium dalam ruang ekstrasel
kedalam ruang intrasel dipacu oleh perbedaan kadar

(kadar kalsium

ekstrasel 10. 000 kali lebih tinggi disbanding kadar ion kalsium intrasel
sewaktu diastole). Obat antihipertensi golongan antagonis kalsium bekerja

dengan jalan memblok kanal kalsium yang terletak pada otot polos sehingga
mencegah terjadinya vasokonstriksi (Ganiswara, 1995:325).
Antagonis

kalsium

makin

banyak

digunakan

karena

efek

sampingnya pada kardiovaskuler, bronkus, dan metabolism tubuh lebih


kecil dibandingkan dengan beta bloker. Berdasarkan efek tersebut,
antagonis kalsium ini terutama digunakan pada hipertensi, apabila diuretik
dan atau beta bloker kurang efektif. Golongan obat antihipertensi ini
menurunkan darah secara efektif, dan umumnya dapat ditoleransi dengan
baik serta menekan kejadian stroke. Indikasi terutama hipertensi sistolik
pada lansia.
e.

Penghambat Enzim konversi Angiotensin (ACE-inhibitor)


Mekanisme

kerja

penghambat

ACE

adalah

mengurangi

pembentukan angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan


sekresi aldostero yang menyebabkan terjadinya ekresi natrium dan air, serta
retensi kalium. Akibatnya terjadi penurunan tekanan darah

akibat

penghambat ACE disertai dengan penurunan resistensi perifer. Tampaknya


kerja golongan obat ini tidak hanya melalui system rennin-angiotensinaldosteron, tetapi juga melalui system rennin. Hambatan inaktivasi
bradikinin

oleh

penghambat

ACE

meningkatkan

bradikinin

dan

prostaglandin vasodilator sehingga meningkatkan vasodilatasi akibat


hambatan pembentukan angiotensin II (Ganiswara,1995).

f.

Obat Antihipertensi Kerja Sentral


Kelompok ini termasuk metildopa, yang mempunyai keuntungan
karena aman bagi pasien asma, gagal jantung, dan kehamilan. Efek
sampingnya diperkecil jika dosis perharinya dipertahankan tetap dibawah
1g.
Klonidin mempunyai kerugian karena penghentian pengobatan
secara tiba-tiba bisa menyebabkan krisis hipertensif. Maksonidin, obat yang

bekerja sentral, belum lama ini diperkenalkan untuk hipertensi esensial


ringan sampai sedang (DepKes RI, 2000).
g.

Antagonis Reseptor Angiotensin II.


Ada dua tipe reseptor angiotensin

II. tipe I Mengontrol

vasokonstriksi dan sintesis aldosteron, dan tipe 2 yang aksinya kurang


spesifik. Antagonis angiotensin II menghambat pada reseptor tipe I dan
memiliki tipe yang sama dengan penghambat ACE dan menurunkan
tekanan darah namun efek sampingnya lebih kecil (Clarke and Hebron,
1999).
h. Vasodilator
Obat antihipertensi golongan ini dapat mengembangkan dindingdinding arteriola sehingga daya tahan pembuluh perifer berkurang dan
tekanan darah menurun. Mekanisme kerjanya langsung terhadap obat-obat
licin pembuluh yang daya kontraksinya dikurangi, tanpa hubungan dengan
saraf-saraf adrenergic.
(Tan Raharja, 2002).

Beberapa contoh obat anti hipertensi dari tiap golongan dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Tabel: 2 Golongan obat Antihipertensi
No

Obat Antihipertensi

1. Diuretik
- Diuretik kuat
- Diuretik hemat kalium

Contoh obat (Generik)


Furosemid,Torsemid.
Bumetamid

- Diuretik Thiazid

2.
3.
4.
5.
6.

Beta Bloker
Alfa Bloker
Antagonis Kalsium
ACE inhibitor
Obat Antihipertensi kerja
sentral
7. Antagonis reseptor
Angiotensin II
8. Vasodilator

Spinorolakton
Hidroklortiazid,Indapamid,
Metolazol.
Propanolol,Atenolol,Bisoprolol
Doxazosin, Prazosin,Terazosin
Amlodipin,Diltiazem, Nifedipin
Kaptropil,Enalapril,Lisinopril
Klonidin,Metildopa
Losartan Kalium,Valsartan
Hidralazin,Dihidralazin
Minoksidil
(Tatro, 2006)

Evaluasi pasien dengan riwayat hipertensi memiliki 3 tujuan yaitu:


1) Untuk menilai gaya hidup dan mengidentifikasikan faktor resiko
kardiovaskuler atau dengan penyakit yang mungkin mempengaruhi
prognosis dan pedoman pengobatan.
2) Untuk menyatukan penyebab tingginya tekanan darah.
3) Menilai parahnya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler.
Pemberian dua atau lebih obat pada waktu bersamaan dapat
memberikan efeknya tanpa saling mempengaruhi atau bisa jadi saling
berinteraksi. Kemungkinan interaksi obat yang dapat terjadi pada terapi
pasien hipertensi.

Tabel 3. Interaksi obat yang mungkin terjadi antara obat yang


mungkin terjadi antara obat Antihipertensi dengan
Antihipertensi yang lain.
No
1.

Obat Antihipertensi
Interaksi obat yang terjadi
dengan Antihipertensi
Golongan -Bloker X Reaksi kardiovaskuler
Golongan Loop Diuretik
Propanolol lebih tinggi

2.

3.
4.

Golongan -Bloker X
Golongan antihipertensi
Kerja sentral ( klonidin)
Golongan Loop Diuretik X
ACE Inhibitor
Golongan Diuretik
Diuretik Tiazid

Berpotensi mempertinggi
pada Ancaman jiwa
Tekanan darah
Efek diuretik dapat dikurangi
Oleh ACE inhibitor sehingga
Terjadi hipotensi mendadak
X Kedua kelompok mempunyai
Kelompok sinergetis dan dapat
Menghasilkan dieresis pro dan
Menghasilkan elektrolitis
Abnormali yang serius.

Tabel 4. Interaksi obat yang mungkin terjadi obat Antihipertensi


dengan obat lain.
No
1.

2.
3.

Obat Antihipertensi dengan


obat lain
Golongan Diuretik X
Golongan Digitalis
Glikosidis
Golongan ACE-Inhibitor X
Antasid
Golongan ACE-Inhibitor X
Golongan

4.

Golongan ACE-Inhibitor X
golongan

5.

Golongan Loop diuretik X


golongan asetaminofen

Interaksi obat yang terjadi


Induksi diuretic Elektrolis dapat
menggangu aritmias induksi
digitalis
Keefektifitasan
antihipertensi
dari kaptropil dapat dikurangi
Resiko reaksi hipersensitifitas
dapat
meningkat
ketika
allopurinol dalam On kaptropil
diberikan bersamaan ketika
setiap obat diberikan sendirisendiri.
Kombinasi penghalang ACE
dengan Diuretic rendah kalium
dapat Menghasilkan konsentrasi
elevasi
Serum potassium akan beresiko
Tinggi pada pasien.
Efek
dari
diuretik
dapat
dikurangi.
(Tatro,2006)

8. Komplikasi Hipertensi
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat yaitu jika
tekanan darah (TD) diastolik 130 mmHg atau kenaikan tekanan darah (TD)
yang terjadi mendadak dan tinggi. Pada hipertensi ringan dan

sedang komplikasi yang sering terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung, dan
otak. Pada mata berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan sampai dengan
kebutaan. Gagal jantung merupakan kelainan yang sering dijumpai pada
hipertensi berat disamping kelainan koroner dan miokard. pada otak sering
terjadi pendarahan yang disebabkan pecahnya mikroaneurisma yang dapat
mengakibatkan

kematian.

Kelainan

lain

yang

terjadi

adalah

proses

tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara. Gagal ginjal sering


dijumpai sebagai komplikasi hipertensi
(Susalit et al, 2001).

B. Penggunaan Obat.
Dampak negatif pemakaian obat yang tidak rasional sangat luas dan
kompleks seperti halnya faktor-faktor pendorong atau penyebab terjadinya. Tetapi
secara ringkas dampak tersebut dapat digambarkan seperti berikut:
1. Dampak terhadap mutu pengobatan dan pelayanan.
2. Dampak terhadap biaya pelayanan pengobatan.
3. Dampak terhadap kemungkinan efek samping obat.
4. Dampak psikososial.
Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa criteria tertentu.
Kriteria ini mungkin akan bervariasi tergantung interpretasi masing-masing, Tetapi
paling tidak akan mencangkup hal-hal berikut:
1. Ketepatan indikasi
Indikasi pemakaiann obat secara khusus adalah indikasi medik dimana
intervensi dengan obat (farmakoterapi) memang diperlukan dan telah diketahui
memberikan manfaat terapetik. Pada banyak keadaan, Ketidak-rasionalan
pemakaian obat terjadi oleh karena keperluan intervensi farmakoterapi dan
kemanfaatanya tidak jelas.

2. Ketepatan Pemilihan obat


Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa segi pertimbangan yakni:
a.

Kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti.

b.

Risiko dari pengobatan dipilih yang paling kecil untuk pasien dan imbang
dengan manfaat yang akan diperoleh.

c.

Biaya obat paling sesuai untuk alternatif-alternatif obat dengan manfaat dan
keamanan yang sama dan paling terjangkau oleh pasien (affordable).

d.

Jenis obat yang paling mudah didapat (available).

e.

Cara pemakaian paling cocok dan paling mudah diikuti pasien.

f.

Sedikit mungkin kombinasi obat atau jumlah jenis obat.

3. Ketepatan cara pemakaian dan dosis obat


Banyak ketidakrasionalan bersumber pada pemilihan obat-obat dengan
manfaat dan keamanan yang samar-samar atau obat-obat yang mmahal pada
alternatif yang sama dengan harga lebih murah juga tersedia. Cara pemakaian
obat memerlukan pertimbangan farmakokinetika yakni : Cara pemberian, besar
dosis, frekuensi pemberian dan lama pemberian, Sampai kepemilihan cara
pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman serta efektif
untuk pasien.
4. Ketepatan penilaian terhadap kondisi pasien atau tindak lanjut efek pengobatan.
Ketepatan pasien serta penilaianya mencangkup pertimbangan apakah
ada kontraindikasi atau adakah kondisi-kondisi khusus yang memerlukan
penyesuaian dosis secara individual. Apakah ada keadaan yang merupakan
faktor konstitusi terjadinya efek samping obat pada penderita. Jika kemudian
terjadi efek samping tertentu, bagaimana menentukan dan menanganinya
(Anonim).

C. Drug Related Problems (DRPs).


Drugs Related Problems (DRPs) didefinisikan sebagai peristiwa yang tidak
diinginkan yang dialami oleh pasien yang melibatkkan atau kemungkinan melibatkan
terapi obat dan berpotensi bertentangan dengan hasil yang diinginkan pasien. Drugs
Related Problems (DRPs) sering juga disebut Drugs Therapy Problems atau
masalah-masalah yang berhubungan dengan obat. Drugs Related Problems (DRPs)

terdiri dari aktual DRPs, yaitu masalah yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi
yang sedang diberikan pada penderita dan potensial DRPs, yaitu masalah yang
diperkirakan akan terjadi berkaitan dengan terapi yang sedang diberikan pada
penderita.
(Strand, et al, 1998)
Ketika DRPs aktual terjadi, farmasis sebaiknya mengambil suatu tindakan
untuk memecahkan masalah yang terjadi. Bila DRPs potensial terjadi maka farmasis
sebaiknya mengambil tindakan seperlunya saja untuk mencegah masalah-masalah
yang akan muncul (Roverse dkk, 2003:20).
Masalah-masalah dalam kajian DRPs dapat ditunjukan oleh kemungkinan
penyebab DRPs dibawah ini:
1. Butuh obat (need for additional drug)
Jika pasien dengan kondisi yang membutuhkan kombinasi obat, kondisi
kronis membutuhkan kelanjutan terapi obat, kondisi baru yang membutuhkan
obat, dan kondisi yang berisiko sehingga membutuhkan obat untuk
mencegahnya. Pasien akan mendapat risiko tinggi bila tidak mendappatkan
terapi tambahan (Strand, et al, 1998).
2. Tidak perlu obat (unnecessary drug)
Jika tidak ada indikasi pada saat itu, pemakaian multiple drug yang
seharusnya cukup dengan single drug terapi, dan pasien minum obat untuk
mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan. Pasien
akan mengalami komplikasi akibat akan mendapatkan obat yang tidak
dibutuhkan ( Strand, et al , 1998).

3. Obat tidak tepat (wrong drug)


Jika obat yang diberikan bekerja tidak efektif (kurang sesuai dengan
indikasinya), pasien mempunyai alergi terhadap obat-obbat tertentu, obat yang
diberikan memiliki faktor risiko kontraindikasi dengan obat lain yang juga
dibutuhkan, efektif namun tidak ekonomis, pemnggunaan antibiotik yang sudah

resisten terhadap infeksi pasien, dan adanya kombinasi obat yang tidak perlu (
Strand, et al , 1998)
4. Dosis kurang (inadequate dosage)
Jika dosis yang diberikan terlalu rendah untuk memberikan efek dan
konsentraso obat dibawah jendela terapi ( Strand, et al, 1998)
5. Dosis berlebih (over dosage)
Jika dosis yang diberikan terlalu tinggi untuk memberikan efek dan
konsentrasi obbat diatas jendela terapi ( Strand, et al , 1998)
6. Interaksi obat ( adverse drug reaction)
Jika ada reaksi alergi terhadap obat, ada faktor risiko yang
membahayakan bagi pasien, dan ada interaksi dengan obat lain, dan hasil
laboratorium berubah akibat penggunaan obat ( Strand, et al , 1998)
7. Ketidaktaatan pasien (uncomplience)
Jika pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena medication error
(peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), tidak taat pada intruksi,
pasien tidak membeli obat yangdisarankan karena mahal, tidak mengambil obat
karena tidak memahami pemakaian obat, pasien tidak menggunakan obat karena
tidak kepercayaan dengan obat yang dianjurkan ( Strand, et al , 1998).

Tabel 5. Penyebab kejadian Drug Related Problems (DRPs).


Kategogi DRPs
Butuh obat

Penyebab DRPs
1. Kondisi baru membutuhkan terapi obat
2. Kondisi butuh kelanjutan terapi obat
3. Kondisi yang membutuhkan kombinasi obat
4. Kondisi dengan resiko tertentu dan butuh obat
untuk mencegahnya

Tidak perlu obat

Obat salah

Dosis rendah

Interaksi Obat

Dosis tinggi

1. Tidak ada indikasi pada saat itu


2. Menelan obat dengan jumlah obat yang toksik
3. Kondisi akibat drug abuse
4. Lebih baik disembuhkan dengan non drug
therapy
5. Pemakaian multiple drug yang seharusnya
cukup dengan sigle drug
6. Minum obat untuk mencegah efek samping obat
lain
1. Kondisi menyebabkan obat tidak efektif
2. Alergi
3. Obat yang bukan paling efektif untuk indikasi
4. Faktor resiko yang dikontraindikasikan dengan
obat
5. Efektif tapi bukan yang paling aman
6. Efektif tapi bukan yang paling murah
7. Antibiotik resisten terhadap infeksi pasien
karena perilaku penggunaan
8. Refractory (sukar disembuhkan)
9. Kombinasi yang tidak perlu
1. Dosis obat terlalu rendah menghasilakn respon
2. Kadar obat dalam darah dibawah kisaran terapi
3. Frekuensi pemberian, durasi terapi dan cara
pemberian obat pada pasien tidak tepat
4. Waktu pemberian profilaksis tidak tepat (misal
antibiotik profilaksis untuk pembedahan
diberikan terlalu awal)
1. Obat yang diberikan terlalu tinggi kecepatannya
2. Pasien mengalami reaksi alergi terhadap obat
3. Pasien mempunyai resiko mengalami efek
samping obat
4. Pasien mengalami reaksi idiosinkrasi terhadap
obat
5. Bioavaibiltas obat berubah akibat interaksi obat
lain atau dengan makanan
6. Efek obat berubah akibat inhibisi atau induksi
enzim oleh obat lain
7. Efek obat berubah akibat penggantian ikatan
antara obat dengan protein atau oleh obat lain
8. Hasil laboraturium berubah karena obat
1. Dosis obat yang diberikan terlalu tinggi
2. Kadar obat dalam darah pasien melebihi kisaran
terapi
3. Dosis obat dinaikkan terlalu cepat
4. Frekuensi pemberian, durasi terai, dan cara
pemberian obat pada pasien tidak tepat

Ketidaktaatan pasien

1. Pasien tidak menerima obat sesuai regimen


karena adanya medication error (prescribing,
dispensing, administrasi, monitoring)
2. Tidak taat instruksi, berkaitan dengan kepatuhan
pasien dalam mengkonsumsi obat
3. Harga obat mahal
4. Tidak memahami cara pemakaian obat yang
benar
5. Keyakinan pasien dalam menggunakan obat.

D. Geriatri
Geriatri berasal dari kata-kata geros (usia lanjut) dan iatreia (mengobati).
Geriatri merupakan cabang Gerontologi. Gerantologi ini dibagi menjadi tiga yaitu
Biology of aging, social gerontology, dan geriatri medicine, yang mengupas problem
klinik orang-orang lanjut usia
(Darmojo dan pranaka, 2001).
Menua (menjadi tua=aging) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan
mempertahankan struktur serta fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan kerusakan yang diderita (Darmojo dan
Martono, 2006).
Prinsip dan tujuan terapi pada usia lanjut antara lain:
1. Menghindari obat yang tidak perlu, misalnya pada pasien hipertensi yang belum
begitu parah mungkin bisa diberi tanpa obat yang telah terbukti efikasinya.
Penggunaan obat golongan sedative hipnotik sebaiknya dihindari.
2. Tujuan terapi dari para pasien usia lanjut antara lain tidak hanya memperpanjang
umurnya tetapi juga mengubah kualitas hidupnya.
3. Terapi sebaiknya ditujukan pada penyebab penyakit, bukan terhadap gejala yang
timbul.
4. Riwayat penggunaan obat, untuk memastikan bahwa pasien tidak alergi terhadap
obat tersebut.
5. Sejarah penyakit dan komplikasi yang ada.

6. Pemilihan obat, obat yang diberikan pada usia lanjut hendaknya yang sudah
terbukti efikasinya dan mungkin terjadinya Adverse Drug Reactions kecil atau
tidak ada.
7. Titrasi dosis (walker dan Edwards, 2003).

E. Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan
gabungan alat ilmiah khususnya dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan
personel terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik
modern yang semuanya terikat bersama-sama dalam magsud yang sama, untuk
pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik
( Siregar, Lia 2003).
Klasifikasi Rumah Sakit Umum pemerintah
Rumah sakit umum pemerintah pusat dan daerah diklasifikasikan menjadi rumah
sakit kelas A,B,C,dan D. Klasifikasi tersebut didasarkan pada unsur pelayanan
ketenagaan fisik dan peralatan.
1. Rumah sakit umum

kelas A adalah rumah sakit umum yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan yang pelayanan medis spesialitik luas dan


subspesialitik luas.
2. Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan fasilitas pelayanan medis sekurang-kurangnya 11 spesialistik
dan subspesialistik terbatas.
3. Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik dasar spesialistik dasar.
4. Rumah sakit umum

kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan medic dasar (Siregar dan Lia, 2003).

Jenis Perawatan
1. Perawatan penderita rawat tinggal

Dalam perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit ada lima unsure tahap
pelayanan yaitu:
a.

Perawatan intensif adalah perawatan bagi penderita kesakitan hebat yang.


memerlukan pelayanan khusus selama waktu krisis kesakitanya atau
lukanya, suatu kondisi apabila ia tidak mampu melakukan kebutuhanya
sendiri. ia dirawat dalam dalam ruangan perawatan intensif oleh staf medic
dan perawatan khusus.

b.

Perawatan intermediet adalah perawatan bagi penderita setelah kondisi kritis


membaik, yang dipindahkan dari ruang perawatan intensif ke ruang
perawatan biasa. perawatan intermediet merupakan bagian terbesar dari
jenis perawatan dikebanyakan rumah sakit.

c.

Perawatan Swarawat adalah perawatan yang dilakukan penderita yang dapat


merawat diri sendiri, yang dating ke rumah sakit untuk diagnostic saja atau
penderita yang kesehatanya sudah cukup pulih dari kesakitan iintensif atau
intermediet,dapat tinggal dalam suatu unit perawatan sendiri (self-care unit).

d.

Perawatan kronis adalah perawatan penderita dengan kesakitan atau


ketidakmampuan jasmani jangka panjang. Mereka dapat tinggal dalam
bagian terpisah rumah sakit atau dalam fasilitas perawatan tambahan atau
rumah perawatan yang juga dapat dioperasikan oleh rumah sakit.

e.

Perawatan rumah adalah perawatan penderita dirumah yang dapat menerima


layanan seperti biasa tersedia dirumah sakit, dibawah suatu program yang
diseponsori oleh rumah sakit. perawatan rumah ini adalah penting tetapi
sangat sedikit yang diterapkan. perawatan ini lebih mudah, dan merupakan
jenis perawatan yang efektif secara psikologis.

2. Perawatan penderita Rawat jalan


Perawatan ini diberikan pada penderita melalui klinik, yang menggunakan
fasilitas rumah sakit tanpa terikat secara fisik dirumah sakit. Mereka datang
kerumah sakit untuk pengobatan atau untuk diagnosis atau dating sebagai kasus
darurat (Siregar, Lia,2003).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyumas atau yang dikenal
masyarakat RSU Banyumas, didirikan pada tanggal 01 Januari 1924 dengan

Burgerzeikenhais te Banyumas lengkapnya Juliana Burgerzeikenhais atau


Rumah Sakit Juliana, RSU Banyumas juga sebagai Rumah Sakit Kelas B
Pendidikan yang berdasarkan SK Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
800/Men.Kes./SK/VIII/2001 yang kerjasama dengan Fakultas Kedokteran UGM.
RSU Banyumas sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan bentuk
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten
Banyumas No.12 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis
Daerah (Lembaran daerah No. 3 Seri D) dan Peraturan Bupati Nomor 62 Tahun 2008
tentang penjabaran tugas, dan fungsi RSUD Banyumas, yaitu RSUD Banyumas
mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di
bidang pelayanan
1. Visi
Visi RSU Banyumas adalah Menjadi Rumah Sakit Pendidikan yang Bermutu
tinggi, Seimbang dan Komprehensif
2. Misinya
a. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan, dan riset bidang kesehatn yang
bermutu tinggi, manusiawi, dan terjangkau bagi masyarakat
b. Menyelenggarakan pelayanan, pendidikan dan riset bidang kesehatan yang
seimbang, komprehensif dan terintegrasi
c. Mengembangkan profesionalisme Sumber Daya Manusia
d. Meningkatkan kesejahteraan pihak terkait.
3. Fasilitas Pelayanan
Fasilitas pelayanan yang tersedia di RSUD Banyumas adalah :
a. Pelayanan rawat jalan di Instalasi Rawat Jalan (IRJA)
b. Pelayanan emergensi di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
c. Pelayanan Perawatan Intensif/khusus di Instalasi Care Unit (ICU)
d. Pelayanan Operasi di Instalasi Bedah Sentral (IBS)
e. Pelayanan Rawat Inap di Instalasi Rawat Inap (IRNA).
f. Pelayanan Jenazah di Instalasi Pemulasaran Jenazah (IPJ)
g. Pelayanan Penunjang yang diselenggarakan pada :
1) Instalasi Laboratorium

2) Instalasi Farmasi
3) Instalasi Radiologi
4) Instalasi Sterilisasi Sentral
5) Instalasi Security dan Tranportasi
6) Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Aset
7) Instalasi Pemasaran, Customer servise dan Promosi
8) Instalasi Teknologi Informatika
9) Instalasi Rekam Medis

F. Rekam Medik.
Setiap rumah sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara rekam medik
dan memadai dari setiap penderita, baik untuk penderita rawat tinggal maupun
penderita rawat jalan. Rekam medik ini harus secara akurat didokumentasikan,
segera tersedia, dapat dipergunakan, mudah ditelusuri kembali (retrieving) dan
lengkap informasi. Rekam medik adalah sejarah ringkas, jelas dan akurat dari
kehidupan dan kesakitan penderita, ditulis dari sudut pandang medik.
Definisi rekam medik menurut surat keputusan Direktur jendral pelayanan
medik

adalah

Berkas

yang

berisikan

catatan

dan

dokumen

tentang

identitas,anamnesia, pemeriksaan, diagnosis, pengobatan tindakan dan pelayanan


lain yang diberikan kepada seorang penderita selama dirawat dirumah sakit, baik
rawat jalan maupun rawat tinggal (Siregar dan Lia, 2003).
Keggunaan Rekam Medik
1. Digunakan sebagai dasar perencanaan dan berkelanjutan perawatan penderita.
2. Merupakan suatu sarana komunikasi antar dokter dan setiap professional yang
berkontribusi pada perawatan penderita.
3. Melengkapi bukti dokumen terjadinya atau penyebab kesakitan atau penderita
dan penanganan atau pengobatan selama tiap tinggal dirumah sakit.
4. Digunakan sebagai dasar untuk kajian ulang studi dan evaluasi perawatan yang
diberikan kepada pasien.
5. Membantu perlindungan kepentingan hokum penderita, rumah sakit dan praktisi
yang bertanggung jawab.

6. Menyediakan data untuk digunakan dalam penelitian dan pendidikan.


7. Sebagai dasar perhitungan biaya, dengan menggunakan data dalam rekam
medik, bagian keuangan dapat menetapkan besarnya biaya pengobatan seorang
penderita.

Anda mungkin juga menyukai