Pruritus (gatal-gatal) merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling sering
dijumpai gangguan dermatologik yang menimbulkan gangguan rasa nyaman dan perubahan
integritas kulit jika pasien meresponnya dengan garukan (Brunner dan Suddarth, 2002 :
1854).
Pruritus dapat merefleksikan kondisi dermatologi dan patologi sistemik. Penyebab
pasti dari pruritus sampai saat ini masih belum jelas. Banyak faktor yang telah disebutkan
dalam patogenesis gatal, seperti misalnya protease, histamin, prostaglandin, dan asam
empedu (Hayes, 1997).
Pruritus biasanya melibatkan seluruh kulit (pruritus generalisata) atau hanya pada
daerah tertentu, seperti kulit kepala, punggung atas, lengan, dan pangkal paha (pruritus
lokal) (Yosipovitch & Bernhard, 2013).
Pruritus merupakan sensasi yang tidak nyaman. Kondisi ini berhubungan gangguan
pola tidur, gangguan mood
Penyebab
Infectious disease (chicken pox)
Allergic reactions
Kidney disease
Liver disease with jaundice, e.g., hepatitis
Iron deficiency anaemia
Allergy caused by food or drugs such as antibiotics (penicillin,
sulphonamides), gold griseofulvin, isoniazid, opiates, phenothiazines, or
vitamin A
7
8
9
10
11
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Penyebab
Scabies
Contact dermatitis
Atopic dermatitis
Pruritus vulvae and pruritus ani
Pediculosis (body lice, head lice, pubic lice)
Parasites such as pinworm
Dermatitis herpetiformis
Lichen simplex
Insect bites and stings
Encironmental factors such as sunburn
Hives
Superficial skin infections such as folliculitis and impetigo
Pityriasis rosea
Psoriasis
Seborrhoeic dermatitis
urticaria
Tabel Penyebab Pruritus Generalisata (Sharma dkk, 2009)
ETIOLOGI
Uremia merupakan penyebab metabolik pruritus yang paling sering. Uremia terjadi
karena peningkatan kadar urea dalam tubuh. Seperti yang telah kita ketahui, urea nitrogen
adalah produk akhir dari metabolisme protein. Normalnya urea nitrogen ini diekskresikan
lewat ginjal. Namun pada pasien gagal ginjal, urea nitrogen tidak mampu diekskresikan.
Akibatnya, kadar urea nitrogen ini menumpuk dalam tubuh dan menimbulkan berbagai
manifestasi. Kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) yang tinggi ini dapat memicu pruritus dengan
mekanisme merangsang kulit dan kelenjar sebasea, dan selanjutnya menyebabkan atrofi
mukosa kelenjar sebasea. Kondisi inilah yang mendasari terjadinya kulit kering dan pruritus
pada pasien gagal ginjal (Schwartz & Iaina, 1999).
Faktor yang mengeksaserbasi pruritus termasuk panas, waktu malam hari (night
time), kulit kering dan keringat. Penyebab pruritus pada penyakit ginjal tidak jelas dan dapat
multifaktorial. Sejumlah faktor diketahui menyebabkan pruritus uremik namun etiologi
spesifik pada umumnya belum diketahui pasti. Beberapa kasus pruritus lebih berat selama
atau setelah dialisis dan dapat berupa reaksi alergi terhadap heparin, eritropoetin,
formaldehid atau asetat. Pada pasien tersebut, penggunaan gamma ray-sterilized dialiser,
diskontinuasi
penggunaan
formaldehid,
mengganti
cairan
dialisat
bikarbonat
dan
penggunaan dialisat rendah kalsium dan magnesium dapat menghilangkan rasa gatal.
Reaksi eksematosa terhadap cairan antiseptik, sarung tangan karet atau komponen jarum
punksi, jarum punksi atau cellophane sebaiknya juga dipertimbangkan (Evenepoel, 2010;
Harrison Nephrology and Acid Base Disorders).
Penyebab pruritus yang lain termasuk di antaranya adalah hiperparatiroid sekunder,
dry skin (disebabkan atrofi kelenjar keringat), hiperfosfatemia dengan meningkatnya deposit
kalsium-fosfat
di
kulit
dan
peningkatan
produk
kalsium-fosfat,
dialisis
inadekuat,
Sampai saat ini, hubungan jenis kelamin dengan pruritus masih belum jelas dan
diperdebatkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berkorelasi
dengan pruritus, sementara studi lain yang dilakukan oleh Mistik (2006) dan Narita
(2006) menemukan bahwa pada pasien hemodialisa yang berjenis kelamin laki-laki lebih
cenderung untuk mengalami pruritus. Selain itu, pada studi besar yang dilakukan pada
1037 pasien dengan pruritus menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
laki-laki dan perempuan yang mengalami pruritus. Laki-laki memiliki resiko yang lebih
besar untuk mengalami pruritus dari pada wanita (Stander, 2013).
3. Post-menopause
Pruritus persisten atau episodik dikaitkan dengan adanya hot flashes yang terjadi
pada perempuan pasca menopause. Kondisi ini sering dirasakan pada malam hari.
Pruritus lokal pada wanita post-menopause sering terjadi pada daerah genetalia dan
dapat menyebabkan mucucutaneus candidiasis. Terapi pengganti hormon (Hormon
replacement Therapy) yang dikombinasikan dengan nistatin atau obat-obatan antijamur dapat membantu. (Greaves, 1993).
4. Lama menjalani dialisis
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara lama
menjalani dialisis dengan pruritus. Namun pada penelitian lain menyebutkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara lama menjalani dialisis dengan terjadinya pruritus.
Hubungan antara lama menjalani dialisis dengan terjadinya pruritus dikaitkan kondisi
inflamasi yang mendasari. Kontak dengan membran dialisis secara terus menerus
dapat menstimulus aktivasi komplemen dan sitokin pro-inflamasi. Peningkatan sitokin
ini selanjutnya dapat memicu terjadinya pruritus (Mettang, 2000).
PATOFISIOLOGI
Patofifiologi uremic pruritus masih belum jelas dan dapat multifaktorial. Ada
beberapa hipotesis mencoba untuk menjelaskan patofisiologi uremic pruritus seperti:
kelainan dermatologis, kelainan metabolik, kelainan neurologis, kondisi inflamasi dan
ketidakseimbangan dalam sistem opioid. Besar kemungkinan semua hipotesis ini berperan
dalam perkembangan uremic pruritus dan bahwa tidak ada faktor etiologi tunggal (Acolu
dkk, 2011).
1. Xerosis
Xerosis (kulit kering) terjadi pada sebagian besar pasien yang menjalani dialisis.
Xerosis ini disebabkan karena atrofi kelenjar keringat, gangguan sekresi keringat dan
terganggunya hidrasi pada kulit. Beberapa penelitian telah menunjukkan adanya
korelasi antara xerosis dan pruritus. Pasien pruritus yang menjalani dialisis memiliki
hidrasi lebih rendah dari pada mereka yang tidak mengalami uremic pruritus.
2. Peningkatan kadar Hormon Paratiroid
Efek hormon paratiroid terhadap pruritus masih menjadi kontroversi. Hal ini
disebabkan karena pruritus lebih sering terjadi pada pasien dengan hiperparatiroid
dengan produk kalsium dan fosfor yang tinggi (Kuypers, 2009). Hormon paratiroid ini
menstimulus sel mast untuk melepaskan histamin dan memicu terjadinya
pengendapan kalsium dan magnesium garam di kulit (Narita dkk, 2008). Dalam studi
lain juga menjelaskan bahwa tingkat PTH terkait dengan perkembangan pruritus
berat, sedangkan dengan tingkat PTH yang lebih rendah terkait dengan penurunan
risiko pruritus (Narita, 2006). Peranan PTH terhadap pruritus juga dibuktikan dengan
hilangnya rasa gatal setelah melakukan paratiroidektomi (Massry dkk, 1968; Chou
dkk, 2000). Namun tidak semua pasien dengan hiperparatiroidisme parah mengalami
pruritus dan kebanyakan studi telah gagal untuk menunjukkan hubungan antara
tingkat PTH dan uremic pruritus (Cho dkk,1997; Carmichael dkk, 1988). Menurunkan
kalsium dialisat dan konsentrasi magnesium telah terbukti bermanfaat dalam
menurunkan uremic pruritus (Urbonas dkk ,2001; Kyriazis, 2000).
3. Sel mast, histamin dan serotonin
Peranan sel mast dan histamin telah dikonfirmasi menjadi mediator ampuh untuk
pruritus. Pada pasien pruritus, terdapat peningkatan kadar sel mast dan histamin
pada kulit. Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) baru-baru ini menarik perhatian
karena peningkatan kadar pada pasien dengan terapi dialisis. Serotonin dapat
menyebabkan gatal-gatal dengan merangsang reseptor 5-HT3.
4. Mekanisme neuropatik
Mekanisme gatal bermula dari lapisan epidermis dan dermal-epidermal junction
kemudian ditransmisikan lewat serabut C. Beberapa serat syaraf ini sensitif terhadap
histamin, namun ada juga yang tidak. Interaksi yang kompleks antara sel T, sel mast,
neutrofil, eosinofil, keratinosit, dan serabut syaraf C (bersama dengan peningkatan
pelepasan sitokin, protease, dan neuropeptida) menyebabkan eksaserbasi gatal.
Serat C ini kemudian bersinapsis dengan dorsal horn di spinal cord, dan sinyal gatal
naik di traktus spinotalamikus kontralateral, dengan proyeksi ke talamus. Dari
thalamus, gatal ditransmisikan ke beberapa daerah otak (Yosipovitch & Bernhard,
2013).
mengganggu tidur, dan menurunkan kualitas hidup. Pruritus dapat bersifat menyeluruh atau
lokal (Keithi-Reddy dkk, 2007 dalam Pardede, 2010).
bervariasi dengan derajat keparahan bergantung pada beratnya. Intensitas pruritus mulai
dari yang ringan yang timbul sporadik sampai dengan yang berat hingga tidak dapat istirahat
baik siang maupun malam hari (Mettang dkk, 2002 dalam Pardede, 2010).
Gejala pertama yang terjadi pada uremia adalah penurunan tenaga dan stamina,
nyeri kepala, susah berkonsentrasi, dan malaise. Jika perjalanan penyakit berlangsung
lama, dapat terjadi pigmentasi kulit yang diaksentuasi oleh sinar matahari. Pruritus berat
menimbulkan ekskoriasi linier yang khas pada kulit yang dapat disertai perdarahan dan
infeksi, yang diperberat dengan gangguan fungsi pembekuan dan fungsi imunologis yang
terjadi pada uremia. Uremic frost, ditandai dengan adanya kristal urea yang tertinggal
setelah berkeringat, umumnya terlihat di area intertriginosa kulit terutama jika pasien jarang
mandi (Depner, 1994). Garukan berulang akan menimbulkan ekskoriasi, yang dapat
menimbulkan kelainan dermatologik, seperti liken simpleks, prurigo modularis, papula
keratotik, dan hiperkeratosis folikular (Roswati, 2013). Pada mulanya pasien dengan pruritus
uremik tidak menunjukkan perubahan pada kulit, ekskoriasi akibat garukan dengan atau
tanpa impetigo dapat terjadi secara sekunder. Sekitar 25%-50% pasien dengan pruritus
uremik memperlihatkan pruritus generalisata. Pruritus terutama terjadi di punggung, wajah,
dan lengan. Pada 25% pasien, pruritus lebih berat selama atau segera setelah dialisis.
Penelitian
membuktikan
bahwa
beratnya
pruritus
berkorelasi
dengan
rendahnya
kelangsungan hidup dan dialisis yang adekuat (Keithi-Reddy dkk, 2007 dalam Pardede,
2010).
PENATALAKSANAAN
Evaluasi dan manajemen pasien dengan CKD terkait pruritus menjadi sebuah
tantangan. Berdasarkan pengalaman, aspek penting dari evaluasi dan pendekatan yang
disarankan ditunjukkan pada gambar berikut. Karena mekanisme patofisiologi yang sampai
saat ini masih belum jelas dan kurang dipahami, pengembangan modalitas pengobatan
yang efektif untuk pasien dengan CKD terkait pruritus telah terbukti sangat sulit. Banyak
terapi dicobakan berdasarkan potensi mekanisme yang mendasari dan tercantum dalam
Tabel 1. Namun, ada pula terapi definitif yang telah disusun. Berikut merupakan beberapa
pengobatan alternatif untuk pasien dengan CKD terkait pruritus.
lunak dan emolient moistuirizing minimal dua kali sehari; 16 membaik dan 9 di
antaranya mengalami kesembuhan tanpa gejala pruritus (Keithi-Reddy dkk, 2007).
Capsaicin topikal
Capsaicin (trans-8-metil-N-vanilil-6-nonenamida), suatu alkaloid alami yang terdapat
di berbagai spesies Solanacea, diekstraksi dari red chili pepper dan telah banyak
digunakan untuk terapi pruritus. Capsaicin efektif menghilangkan pruritus uremik
melalui inhibisi neuropeptida, substansi P. Substansi P merupakan neuropeptida
yang berfungsi sebagai mediator nyeri dan impuls rasa gatal dari perifer ke sistem
syaraf pusat. Efek farmakologik terutama deplesi substansi P dari neuron sensorik.
Dari penelitian, pemberian krim capsaicin 0,025% lebih efektif secara bermakna
2. Pengobatan sistemik
Antihistamin
Antihistamin mempunyai efikasi yang terbatas dan tidak berbeda dibandingkan
emolien. Antihistamin generasi terbaru belum pernah diujicobakan pada pruritus
uremik. Ketotifen (2-4 mg/hari), suatu penstabil sel mast dilaporkan bermanfaat
2004).
Imunomodulator dan imunosupresif
Pemberian talidomid selama 7 hari mengurangi intensitas pruritus uremik sampai
80% pada 29 pasien hemodialisis. Namun karena efek samping yang sangat
teratogenik, talidomid sebaiknya diberikan pada pasien dengan pruritus berat yang
resisten. Efek samping talidomid, seperti neuropati perifer dan kardiovaskuler,
membatasi penggunaannya.
Antagonis 5-hidroksitriptamin
Ondansetron, suatu antagonis selektif 5-HT3, bermanfaat pada suatu studi pasien
yang menjalani dialisis peritoneal. Namun, studi acak dengan subjek yang lebih
besar tidak menunjukkan superioritas pemakaian ondansetron dibandingkan
plasebo.
3. Pengobatan fisik
Pengobatan fisik dengan menggunakan sinar ultraviolet mengurangi keluhan pruritus
melalui mekanisme yang belum jelas. Penelitian 18 pasien pruritus berat yang
persisten mendapatkan keluhan pruritus berkurang secara bermakna pada pasien
yang mendapatkan sinar spektrum. Penelitian lainnya pada 14 pasien yang
mendapat terapi sinar UVB (panjang gelombang 280-315 nm) selama 2 bulan, 8