Anda di halaman 1dari 6

Pemekaran Wilayah

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing
mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluasluasnya. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.1
Ketersediaan peluang regulasi bagi pemekaran daerah otonom, atau
pembentukan daerah otonom baru, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam
sejarah pemerintahan daerah di Indonesia. Sejak sistem pemerintahan sentralistis
pada masa Orde Baru, pemerintah juga telah banyak melakukan pembentukan
daerah otonom baru. Kecamatan-kecamatan yang semakin kuat karakter urban-nya
kemudian dijadikan Kota Administratif, sebuah unit pemerintahan wilayah
dekonsentratif (field administration). Selanjutnya bila karakter tersebut telah
semakin menguat, daerah tersebut dijadikan Kota Madya yang setingkat dengan
Pemerintahan Kabupaten. Di luar itu juga dimungkinkan pembentukan pemerintah
kabupaten ataupun provinsi baru.
Namun, selama periode Orde Baru tahun 1966 - 1998, tidak terdapat
penambahan daerah otonom baru yang signifikan. Ledakan penambahan daerah
otonomi baru, atau yang biasa disebut pemekaran daerah, baru terjadi pasca 1999.
Ditengah keinginan berbagai pihak untuk merasionalisasi pemekaran daerah, proses
pemekaran daerah terus berlangsung hampir setiap tahun pada periode 1998 - 2008
sebagaimana terlihat di tabel berikut.
Tabel Pemekaran Daerah Tahun 1999 2008
Tahun

Bulan

Jmlh Provinsi Baru

Jmlh Kabupaten
Baru

Jmlh Kota Baru

Total
27

1999

Oktober

26

2000

Juni

Oktober

Desember

Juni

12

12
22

2001
2002

April

19

Oktober

Februari

12

April

17

17

Mei

12

12

Desember

23

23

2004

Oktober

2007

Januari

14

16

2003

2008

Maret

Agustus

Januari

Juli

134

23

169

TOTAL

Sumber : Diolah dari UU Pembentukan Daerah Baru, Sekretariat DPR 1999-2008.

Pasal 1 Angka 5 UU Pemda.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

Usulan untuk membentuk daerah baru ini masih terus terjadi sampai sekarang,
bahkan sebagian diantaranya sedang dibahas oleh DPR.
Dilihat dari segi regulasi, pemekaran daerah diberi peluang oleh
pemerintahan Orde Baru dan pasca Orde Baru. Perbedaannya terletak pada proses
pengusulan pemekaran. Di masa Orde Baru pemerintah pusat mempunyai peran
yang besar untuk menyiapkan pembentukan daerah otonom (dari ibukota
Kecamatan, menjadi Kota Administratif lalu Kotamadya) dan menginisiasi
pembentukannya. Di masa pasca Orde Baru, regulasi yang ada menekankan pada
usulan daerah untuk memekarkan diri dalam rangka membentuk daerah otonom
baru. Namun pun demikian, regulasi yang ada berusaha untuk menyaring usulan
pemekaran dengan mempertimbangkan kapasitas daerah yang akan dibentuk.
Selain itu, bukan hanya pemekaran yang dimungkinkan. Tetapi penggabungan
beberapa daerah menjadi satu daerah otonompun diberi peluang.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya ditulis UU Pemda), pembentukan daerah pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Pembentukan daerah dapat berupa pemekaran dari satu
daerah menjadi dua daerah atau lebih, atau penggabungan bagian daerah yang
bersandingan, atau penggabungan beberapa daerah.2 Pemekaran daerah adalah
pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua daerah atau lebih.3
Sementara dalam prakteknya sampai dengan tahun 2008, Indonesia belum pernah
mempunyai pengalaman penggabungan daerah.
Sebelumnya, tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan
daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 diganti
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (selanjutnya ditulis PP 78/07). Dalam PP
78/07 mengatur mengenai proses pembentukan daerah yang didasari pada 3 (tiga)
persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
1. Persyaratan administratif didasarkan atas aspirasi sebagian besar masyarakat.
2. Persyaratan secara teknis didasarkan pada faktor kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi
daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan
keuangan,
tingkat
kesejahteraan
masyarakat,
dan
rentang
kendali
penyelenggaraan pemerintahan.
3. Persyaratan fisik kewilayahan dalam pembentukan daerah meliputi cakupan
wilayah, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk
dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam
rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam memperkokoh keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam pembentukan daerah, tidak boleh
mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi

2
3

Pasal 4 Ayat (3) UU Pemda.


Pasal 1 Angka 10 PP No. 78/07.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud dengan dilengkapi


dengan kajian daerah.
Kajian daerah ini merupakan hasil kajian Tim yang dibentuk oleh kepala
daerah yang bersangkutan untuk menilai kelayakan pembentukan daerah otonom
baru secara obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor
teknis. Penilaian kuantitatif ini dilengkapi dengan proyeksi faktor-faktor dominan
(kependudukan, potensi daerah, kemampuan ekonomi dan kemampuan keuangan)
selama 10 (sepuluh) tahun dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Induk serta
penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri
antara lain potensi sumber daya alam yang belum tergali, kondisi etnik, potensi
konflik dan historis.
Aturan mengenai tata cara pembentukan daerah, baik yang diatur dalam PP
No. 129/00 maupun PP No. 78/07 sangat kental menekankan kuatnya dukungan dan
inisiatif daerah dalam proses inisiasi pembentukan daerah. Hal ini terlihat jelas jika
kita mengikuti alur proses inisiasi pemekaran daerah sesuai dengan Pasal 14 sampai
21 PP No. 78 Tahun 2007.
Gambar Proses Pengusulan Pemekaran Wilayah di Tingkat Daerah

Sedangkan prosedur pembahasan ditingkat pusat untuk meloloskan usulan proposal


pembentukan daerah otonom baru secara teknokratis dapat digambarkan sebagai
berikut :

Sie Infokum Ditama Binbangkum

Dalam wacana publik dan kajian akademis diuraikan dorongan pemekaran


selama ini lebih banyak muncul dari tuntutan daerah. Beberapa alasan utama daerah
mengajukan pemekaran antara lain adalah :
1. Kebutuhan untuk pemerataan ekonomi daerah. Menurut data IRDA, kebutuhan
untuk pemerataan ekonomi menjadi alasan paling populer digunakan untuk
memekarkan sebuah daerah.
2. Kondisi geografis yang terlalu luas. Banyak kasus di Indonesia, proses delivery
pelayanan publik tidak pernah terlaksana dengan optimal karena infrastruktur
yang tidak memadai. Akibatnya luas wilayah yang sangat luas membuat
pengelolaan pemerintahan dan pelayanan publik tidak efektif.
3. Perbedaan Basis Identitas. Alasan perbedaan identitas (etnis, asal muasal
keturunan) juga muncul menjadi salah satu alasan pemekaran. Tuntutan
pemekaran muncul karena biasanya masyarakat yang berdomisili di daerah
pemekaran merasa sebagai komunitas budaya tersendiri yang berbeda dengan
komunitas budaya daerah induk.
4. Kegagalan pengelolaan konflik komunal. Kekacauan politik yang tidak bisa
diselesaikan seringkali menimbulkan tuntutan adanya pemisahan daerah.
5. Adanya insentif fiskal yang dijamin oleh Undang-Undang bagi daerah-daerah
baru hasil pemekaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU), bagi hasil Sumber
Daya Alam, dan Pendapatan Asli Daerah.4
Secara umum, beberapa implikasi pemekaran daerah antara lain adalah :
1. Implikasi di bidang Politik Pemerintahan
Dari sisi politis, pemekaran wilayah dapat menumbuhkan perasaan homogen
daerah pemekaran baru yang akan memperkuat civil society agar lebih aktif
dalam kehidupan politik.
2. Implikasi di bidang Sosio Kultural
Dari dimensi sosial, kultural, bisa dikatakan bahwa pemekaran daerah
mempunyai beberapa implikasi positif, seperti pengakuan sosial, politik dan
kultural terhadap masyarakat daerah. Melalui kebijakan pemekaran, sebuah
entitas masyarakat yang mempunyai sejarah kohesivitas dan kebesaran yang
panjang, kemudian memperoleh pengakuan setelah dimekarkan sebagai daerah
otonom baru.5
3. Implikasi Pada Pelayanan Publik
Dari dimensi pelayanan publik, pemekaran daerah memperpendek jarak
geografis antara pemukiman penduduk dengan sentra pelayanan, terutama
ibukota pemerintahan daerah. Pemekaran juga mempersempit rentang kendali
antara pemerintah daerah dengan unit pemerintahan di bawahnya.

Putra, R Alam Surya, 2006,Pemekaran Daerah di Indonesia : Kasus di Wilayah Penelitian IRDA,
Makalah Seminar Internasional Percik ke-7, Salatiga, Juli 2006. Pratikno, 2007,Policy Paper : Usulan
Perubahan Kebijakan Penataan Daerah (Pemekaran dan Penggabungan Daerah),Kajian Akademik
Penataan Daerah di Indonesia Kerja sama Dengan DRSP-Depdagri.
5
Kana & Suwondo, 2007 dalam www.ugm.ac.id, Rasionalisasi Pemekaran & Penggabungan Wilayah
Sie Infokum Ditama Binbangkum

4. Implikasi Bagi Pembangunan Ekonomi


Pemekaran dianggap sebagai cara untuk meningkatkan pembangunan di daerah
miskin, khususnya dalam kasus pembentukan kabupaten baru. Adanya
pemekaran dinilai akan memberi kesempatan kepada daerah miskin untuk
memperoleh lebih banyak subsidi dari pemerintah pusat (khususnya melalui
skema DAU dan beberapa DAK), hal ini akan mendorong peningkatan
pendapatan per kapita di daerah tersebut.
5. Implikasi Pada Pertahanan, Keamanan dan Integrasi Nasional
Pembentukan daerah otonom baru, bagi beberapa masyarakat pedalaman dan
masyarakat di wilayah perbatasan dengan negara lain, merupakan isu politik
nasional yang penting.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu motivasi untuk
membentuk daerah baru tidak terlepas dari adanya jaminan dana transfer dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam era desentralisasi ini, bentuk
dana transfer ini dikenal sebagai dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Dana Bagi Hasil (DBH) baik bagi
hasil pajak maupun bagi hasil sumber daya alam. Komponen terbesar dalam dana
transfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah adalah DAU. Dampak dari
adanya pemekaran daerah terhadap alokasi DAU dan akhirnya membebani APBN
sebenarnya lebih bersifat tidak langsung. Hal ini dikarenakan DAU yang dialokasikan
didasarkan pada perhitungan daerah induk dan baru kemudian dibagikan
berdasarkan proporsi tertentu antara daerah induk dan daerah pemekaran.
Tentunya sebagai daerah baru, penerimaan DAU tersebut lebih diarahkan
pada pembangunan prasarana pemerintah seperti kantor pemerintahan, rumah
dinas, serta pengeluaran lain yang berkaitan dengan belanja pegawai. Pengeluaran
yang berkaitan dengan aparatur pemerintahan ini jelas memiliki pengaruh yang
sedikit kepada masyarakat sekitar. Penyediaan barang publik kepada masyarakat
tentunya akan menjadi berkurang dikarenakan pada tahun-tahun awal pemekaran
daerah, pembangunan lebih difokuskan pada pembangunan sarana pemerintahan.
Karena itu, aliran DAU kepada daerah pemekaran, menjadi opportunity loss
terhadap penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik kepada masyarakat. Jumlah
ini tentunya tidaklah sedikit. Berdasarkan hasil evaluasi Departemen Keuangan
(Depkeu) terhadap 145 daerah otonomi baru menunjukkan bahwa sekitar 80% tidak
berdampak positif, baik dalam konteks pelayanan publik maupun kesejahteraan
masyarakat. Mayoritas (86%) sumber pendapatan APBD kabupaten/kota dan 53%
APBD provinsi dari dana perimbangan yang dialokasikan Depkeu. Sebagian besar
alokasi APBD (58%) digunakan untuk belanja pegawai, sedangkan biaya
pembangunan cuma 21%.6 Dalam APBN 2009, dana transfer ke daerah ditetapkan
sebesar Rp 303,1 triliun yang terdiri dari dana perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun
dan dana otonomi khusus dan penyesuaian sebesar Rp 23,7 triliun. Dana
perimbangan sebesar Rp 279,3 triliun terdiri dari DBH sebesar Rp 68,1 triliun, DAU
sebesar Rp186,4 triliun, dan DAK sebesar Rp24,8 triliun.7

6
7

www.puspen.depdagri.go.id, 80% Pemekaran Wilayah Gagal


www.kppod.org, Pemekaran Daerah Hamburkan Uang Negara

Sie Infokum Ditama Binbangkum

Dengan demikian, BPK mempunyai peranan strategis membantu DPR, DPRD,


dan DPD dalam mengawasi anggaran belanja pemerintah agar efisien dan efektif
sehingga terciptanya good governance dengan melaksanakan pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara.

Sie Infokum Ditama Binbangkum

Anda mungkin juga menyukai