Anda di halaman 1dari 5

Kelompok Kuliah Perumahan dan Perkotaan: Chapter I dan V

Anggota Kelompok:
1.
2.
3.
4.

Ita Roihanah 25213002


Nurfadhilah Aslim 25213013
Christy Vidiyanti 25213015
Hibatullah Hindami - 25213022

Mengapa Proyek Swadaya Hunian Informal Konvensional Tidak


Berhasil?
Kebijakan hunian informal swadaya sangat menari bagi berbagai lapisan
masyarakat, dengan berbagai alasan. Kebijakan tersebut memenuhi kebutuhan
hukum moral, efisien, ekonomis, estetis, menyumbang kontribusi pada
pembangunan ekonomi, mengakomodasi kebebasan, ekspresi diri, kepercayaan
diri, kontrol pada lingkungan masing-masing manusia. Selain itu, kebijakan
tersebut juga fleksibel dan mempromosikan inovasi, demokratis, memimpin
ekspansi demokrasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai area, baik dari sisi
bisnis maupun politik, belajar dari bangunan mereka sendiri.
Satu-satunya masalah yang terjadi adalah kebijakan ini tidak bekerja
sebagaimana mestinya. Hal ini bergantung pada definisi yang dipakai (berdasar
perspektif yang digunakan). Perspektif pertama, kebijakan ini akan bekerja,
ketika segala yang erkaitan dengan hunian informal swadaya kecuali kebutuhan
sosialnya telah dibangun oleh pemerintah. Perspektif kedua, jika pengertian
bekerja hanya dimaknai pada pemenuhan kebutuhan maka kebijakan ini telah
memenuhi. Perspektif ketiga, jika hunian informal swadaya diartikan sebagai
hunian yang dibangun oleh individu-individu, dengan tenaga kerja dari mereka
sendiri, tanpa pendampingan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hunian
mereka, dan apabila diartikan mampu mengakomodasi kebutuhan berhuni
hingga kelas masyarakat paling minim(rendah), maka kebijakan ini tidak akan
bekerja, atau dengan kata lain tidak mampu berhasil.
Tulisan ini akan menjelaskan beberapa alasan mengapa jkebijakan mengenai
Hunian Informal Swadaya belum mampu bekerja optimal pada realitas di
lapangan. Alasan-alasan yang disampaikan merupakan usaha yang coba
dirangkai untuk membangun perspektif apa yang bisa dan apa yang tidak bisa
menyelesaikan kebutuhan aktivitas hunian informal, dnegan kata lain, ini
merupakan garis besar dari persoalan-persoalan dari hunian infromal yang asli
(murni).
Persoalan-persoalan Hunian Informal Swadaya
1. Hunian informal swadaya tidak mampu mensubtitusi kebutuhan yang
sangat diperlukan untuk menunjang ketersediaan perumahan.
2. Hunian informal swadaya tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
yang membutuhkan solusi-solusi integral pada hunian itu sendiri; karena
itu melanggar suara dan prinsip penting dalam perancangan.

3. Hunian informal swadaya mungkin hanya memproduksi solusi temporal


untuk persoalan perumahan.
4. Hunian informal swadaya tidak memiliki mekanisme evaluatif, tidak ada
pencapaian prestasi bangunan (perbaikan kualitas bangunan) di masa
mendatang, dan tidak ada pelajaran dari masa lalu.
5. Hunian informal swadaya tidak efisien.
6. Hunian informal swadaya memberlakukan pemungutan ekonomi secara
tidak langsung; hal tersebut tidak memberikan timbal baik pada sumber
daya sosial, bergantung pada kebutuhan.
7. Hasil hunian informal swadaya lebih rendah daripada standar hunian
perumahan pada umumnya.
8. Hunian informal swadaya lebih reaksioner secara politik.
9. Hunian swadaya informal dapat memecah belah secara sosial.
10.Hunian informal swadaya mengeksploitasi tenaga kerja dari pasrtisipan
mereka sendiri.
Semua kelemahan diatas telah diketahui oleh pembuat kebijakan yang
memposisikan hunian informal swadaya sebagai batu pertama (dasar)
kebijakan perumahan.hunian infromal swadaya muncul sebagai kebijakan
pemerintah dimana timbal balik dan keadilan sosial merupakan prioritas
rendah. Faktanya, hunian informal swadaya memiliki kontribusi signifikan
terhadap peningkatan kondisi perumahan untuk masyarakat miskin di
berbagai bagian di dunia, tetapi itu hanya bisa terjadi apabila kebijakan ini
menjadi suplemen bagi kebijakan yang lain, sebuah pendekatan dari bagian
kecil yang redistributif, demokratis, mampu mengubah fitu fundamental dari
sistem produksi perumahan, dan itu secara umum, dapat menganngulangi
kondisi kekurangan perumahan.
Ada beberapa hal spesifik yang penting untuk membuat hunian informal
swadaya menjadi progresif dan memiliki kontribusi solusi yang layak dari
permasalahan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, diantaranya:
1. Hunian informal yang kolektif, bukan individual;
2. Kepemilikan terbatas, dengan kontrol sewa dan sistem jual kembali
(resale);
3. Struktur pengambilan keputusan yang kolektif demokratis, yang terbuka
bagi siapa saja yang mencari rumah tinggal/perumahan;
4. Tidak eksklusif, ekpansionis, terstruktur, melibatkan orang-orang yang
membutuhkan perumahan namun tidak berpartisipasi dalam proyek
langsung, agar dapat terpenuhi ekspansi lingkup aktivitas yang diwadahi;
5. Asosiasi yang kuat dengan gerakan sosial atau kelompok politik untuk
mempengaruhi tindakan pemerintah.
Dalam konteks diatas, hunian informal swadaya akan memiliki kontibusi yang
riil dan dapat diwujudkan. Sebaliknya, maka hunian informal swadaya akan
sulit untuk berkembang/berhasil, setidaknya untuk meningkatkan kualitas
kondisi hunian paling buruk di masa sekarang.
Posisi Perumahan Swadaya: Catatan Bibiliograf

Sejak perumahan swadaya diterima sebagai strategi pernaungan dalam


berhuni pada negara-negara berkembang, debat-debat kontroversial banyak
terjadi, saling tumpang tindih. Para akademisi menganalisis dari sisi spasial
arsitektural dan proses sosial yang dinamis, sedangkan para politisi
cenderung fokus pada manajemen kepentingan kontroversial dari pihak-pihak
yang trelibat. Di sisi lain, para manager mencari formula terbaik untuk
mengelola perencanaan dan proses pembangunan, yang melibatkan banyak
aktor dari skema pembangunan perumahan secara massal, dan bagaimana
agar penyelenggaraan perumahan berada di dalam kontrol. Pada bagian ini,
berisi simpulan dari perdebatan masa lalu dan yang sedang berlangsung
untuk mengevaluasi hasil penelitian.
Terdapat beberapa kelompok pandangan mengenai posisi perumahan
swadaya, diantaranya:
1. Sisi Protagonis (Mendukung Perumahan Swadaya)
Para antropolog dan beberapa profesi terkait merupakan pihak pertama
yangtelah melakukan studi terkait perumahan swadaya ketika fenomena
yang terjadi adalah menjamurnya permukiman kumuh dan liar di kota-kota
besar pada negara berkembang. Terdapat beberapa pemikiran dari tokohtokoh yang bergerak pada sisi ini, antara lain:
a. Charles Stokes (1962)
Tokoh ini menyarankan klasifikasi permukiman kumuh menjadi dua
kelompok, yakni kelompok kumuh harapan dan kelompok kumuh putus
asa. Pada dua tipe tersebut, ia mengidentifikasi grup eskalator dan
grup non-eskalator. Menurut Charles Stokes, grup pertama memiliki
kapasitas improvisasi sosial dan mampu mengintegrasi diri ke dalam
masyarakat. Sedangkan grup kedua merupakan grup dengan kondisi
sosial yang negatif dan berisi individu-individu yang agresif. Stokes
menyiratkan dua asumsi, yang pertama, terkait adanya posibilitas dari
kaum marginal dan terpinggirkan dari masyarakat untuk meningkatkan
kondisi situasi mereka tanpa bantuan pihak luar; yang kedua,
ekspektasi dari pengakuan, pemantauan, dan sangat mungkin
mengontrol sisi sosial antara kelompok-kelompok yang kurang mampu
(strategi kooptasi dan pengamanan).
b. Anthony Leeds (1969) dan Marshall Clinard (1966), Oscar Lewis (1964)
dan Lisa Pettie (1968)
Tokoh ini memiliki anggapan bahwa aktivitas perumahan swadaya,
yang merupakan permukiman kumuh, mampu meningkatkan kualitas
kehidupan mereka sendiri dan memiliki pengalaman positif dari prose
berhuni yang dilakukan dalam lingkungannya, walaupun perumahan
seperti ini jarang ada. Hal ini disampaikan juga oleh Lewis dan Peattie
bahwa perumahan swadaya memiliki potensi mobilisasi sumber daya
manusia dan material dalam komunitas miskin, dimana mereka mampu
mempelajari kondisi lingkunngan mereka sendiri.
c. Charles Abrams (1966, dipublikasikan sejak 1964)
Tokoh ini fokus pada solusi praktis permukiman., yang
mempertanyakan kelayakan program perumahan swadaya pada settng
urban. Abrams menyarankan pembangunan kembali pada permukiman

murah, pengembangan rumah inti, dan skema atap pinjaman bagi


yang tidak mampu memiliki rumah yang terjangkau. Ia juga memiliki
istilah site dan utilitas yang memfokuskan pada kualitas servise dari
lingkungan permukiman. Selain itu, ia juga sepakat bahwa rumah yang
tidak selesai (seadanya) dapat diterima sebagai bentuk pernaungan
bagi masyarakat miskin dan menjadi bapak dalam konsep
pembangunan progresif.
d. John Turner (1965, 1968, 1976, 1978, 1981, 1983, 1986, 1988,
kemudian bergabung dengan antropolog William Mangin 1963, 1969)
John Turner sangat dikenal mengedepankan aspek positif dari
pembangunan rumah swadaya dan pemukiman yang mampu
mengorganisir dirinya sendiri. Argumen utama yang dibangun oleh
Turner meliputi 4 hal, yakni bahwa pengguna telah tau kondisi
kebutuhan mereka sendiri, jauh lebih baik daripada birokrat dan ahli .
kemudian, pengguna dapat menggunakan sumber daya yang langka
berdasar kondisi lokal, dengan cara yang jauh lebih baik daripada
solusi yang standar. Berikutnya, hasil perumahan swadaya lebi baik
karena tidak berorientasi pasar, lebih pada kebutuhan penggunaan
masyarakatnya. Terakhir, dibandingkan perumahan massal
monofungsi, warga di perumahan swadaya memiliki posisi yang baik
untuk meningkatkan keuangan mereka, dengan lokasi yang
menguntungkan, sehingga mampu untuk menggabungkan pekerjaan
dan ruang hidup pada bangunan yang sama.
2. Sisi Teoritis
Dari sisi akademis, pandangan mengenai perumahan swadaya lebih pada
upaya analisis sebab-sebab sosial dan ekonomi beserta implikasinya , juga
terkait dengan kebijakan perumahan swadaya, bukan pada sisi
keberhasilan maupun kegagalan strategi rumah tangga individu atau
proyek percontohan. Tokoh yang bergerak pada sisi ini diantaranya adalah
Alfredo Rodriguez dan Diego Rivas Robles (1972), yang mempertanyakan
peran organisasi internasional dalam melakukan kontrol sosial dan
mobilisasi politik kaum miskin. Tokoh lainnya seperti Manuel Castel (1976),
Joan Nelson (1979) dan sebagainya lebih fokus pada perjuangan sosial di
bidang reproduksi tempat tinggal. Sedangkan Rod Burgers (1977)
menawarkan konsep analitis yang menempatkan perumahan swadaya di
dalam ekonomi kapitalis.
3. Sisi Studi-studi Empiris
Tokoh-tokoh pada sisi ii menyampaikan wawasan bahwa aspek-aspek
budaya dan iklim-geografis telah diabaikan dalam perbincangan
perumahan swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian-penelitian
pada negara tertentu belum tentu dapat diterapkan pada negara lain.
Roland Ziss dan Joanna Kotowski (1986) menyampaikan bahwa tidak
sedikit perumahan swadaya yang tidak mampu memiliki lokasi, desain,
teknoogi dan bahan yang tepat di lapangan, didasarkan dengan
penggunaan bahan dari produksi industri dan tidak memanfaatkan sumber
daya lokal. Hal tersebut terjadi di Meksiko. Pada studi lain, tidak sedikit
praktek membangun yang yang hanya menggunakan jasa pembangun
kecil untuk banyak pekerjaan. Kesenjangan antara biaya perumahan dan

kemampuanuntuk membayar menjadi persoalan perumahan menjadi


masalah utama dan mengarah pada isu program perumahan
berpenghasilan rendah.
Kesimpulan
Perdebatan pada diskusi kelimuan ini, dari masing-masing sisi pandangan
terhadap persoalan perumahan swadaya, mampu merangsang perhatian para
politisi untuk peduli terhadap penampungan orang miskin, menghentikan banyak
program pemberantasan dan mengakui hak masyarakat miskin secara
internasional. Persoalan dan solusi yang ditawarkan harus menjadi pertimbangan
baik pada skala perumahan kecil maupun proyek perumahan besar, dengan
heterogenitas kelompok msasaran yang telah disampaikan, harus mampu
dituntaskan.

Anda mungkin juga menyukai