Mengapa Proyek Swadaya Hunian Informal Konvensional Tidak
Berhasil? Kebijakan hunian informal swadaya sangat menari bagi berbagai lapisan masyarakat, dengan berbagai alasan. Kebijakan tersebut memenuhi kebutuhan hukum moral, efisien, ekonomis, estetis, menyumbang kontribusi pada pembangunan ekonomi, mengakomodasi kebebasan, ekspresi diri, kepercayaan diri, kontrol pada lingkungan masing-masing manusia. Selain itu, kebijakan tersebut juga fleksibel dan mempromosikan inovasi, demokratis, memimpin ekspansi demokrasi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai area, baik dari sisi bisnis maupun politik, belajar dari bangunan mereka sendiri. Satu-satunya masalah yang terjadi adalah kebijakan ini tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hal ini bergantung pada definisi yang dipakai (berdasar perspektif yang digunakan). Perspektif pertama, kebijakan ini akan bekerja, ketika segala yang erkaitan dengan hunian informal swadaya kecuali kebutuhan sosialnya telah dibangun oleh pemerintah. Perspektif kedua, jika pengertian bekerja hanya dimaknai pada pemenuhan kebutuhan maka kebijakan ini telah memenuhi. Perspektif ketiga, jika hunian informal swadaya diartikan sebagai hunian yang dibangun oleh individu-individu, dengan tenaga kerja dari mereka sendiri, tanpa pendampingan pemerintah untuk meningkatkan kualitas hunian mereka, dan apabila diartikan mampu mengakomodasi kebutuhan berhuni hingga kelas masyarakat paling minim(rendah), maka kebijakan ini tidak akan bekerja, atau dengan kata lain tidak mampu berhasil. Tulisan ini akan menjelaskan beberapa alasan mengapa jkebijakan mengenai Hunian Informal Swadaya belum mampu bekerja optimal pada realitas di lapangan. Alasan-alasan yang disampaikan merupakan usaha yang coba dirangkai untuk membangun perspektif apa yang bisa dan apa yang tidak bisa menyelesaikan kebutuhan aktivitas hunian informal, dnegan kata lain, ini merupakan garis besar dari persoalan-persoalan dari hunian infromal yang asli (murni). Persoalan-persoalan Hunian Informal Swadaya 1. Hunian informal swadaya tidak mampu mensubtitusi kebutuhan yang sangat diperlukan untuk menunjang ketersediaan perumahan. 2. Hunian informal swadaya tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang membutuhkan solusi-solusi integral pada hunian itu sendiri; karena itu melanggar suara dan prinsip penting dalam perancangan.
3. Hunian informal swadaya mungkin hanya memproduksi solusi temporal
untuk persoalan perumahan. 4. Hunian informal swadaya tidak memiliki mekanisme evaluatif, tidak ada pencapaian prestasi bangunan (perbaikan kualitas bangunan) di masa mendatang, dan tidak ada pelajaran dari masa lalu. 5. Hunian informal swadaya tidak efisien. 6. Hunian informal swadaya memberlakukan pemungutan ekonomi secara tidak langsung; hal tersebut tidak memberikan timbal baik pada sumber daya sosial, bergantung pada kebutuhan. 7. Hasil hunian informal swadaya lebih rendah daripada standar hunian perumahan pada umumnya. 8. Hunian informal swadaya lebih reaksioner secara politik. 9. Hunian swadaya informal dapat memecah belah secara sosial. 10.Hunian informal swadaya mengeksploitasi tenaga kerja dari pasrtisipan mereka sendiri. Semua kelemahan diatas telah diketahui oleh pembuat kebijakan yang memposisikan hunian informal swadaya sebagai batu pertama (dasar) kebijakan perumahan.hunian infromal swadaya muncul sebagai kebijakan pemerintah dimana timbal balik dan keadilan sosial merupakan prioritas rendah. Faktanya, hunian informal swadaya memiliki kontribusi signifikan terhadap peningkatan kondisi perumahan untuk masyarakat miskin di berbagai bagian di dunia, tetapi itu hanya bisa terjadi apabila kebijakan ini menjadi suplemen bagi kebijakan yang lain, sebuah pendekatan dari bagian kecil yang redistributif, demokratis, mampu mengubah fitu fundamental dari sistem produksi perumahan, dan itu secara umum, dapat menganngulangi kondisi kekurangan perumahan. Ada beberapa hal spesifik yang penting untuk membuat hunian informal swadaya menjadi progresif dan memiliki kontribusi solusi yang layak dari permasalahan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, diantaranya: 1. Hunian informal yang kolektif, bukan individual; 2. Kepemilikan terbatas, dengan kontrol sewa dan sistem jual kembali (resale); 3. Struktur pengambilan keputusan yang kolektif demokratis, yang terbuka bagi siapa saja yang mencari rumah tinggal/perumahan; 4. Tidak eksklusif, ekpansionis, terstruktur, melibatkan orang-orang yang membutuhkan perumahan namun tidak berpartisipasi dalam proyek langsung, agar dapat terpenuhi ekspansi lingkup aktivitas yang diwadahi; 5. Asosiasi yang kuat dengan gerakan sosial atau kelompok politik untuk mempengaruhi tindakan pemerintah. Dalam konteks diatas, hunian informal swadaya akan memiliki kontibusi yang riil dan dapat diwujudkan. Sebaliknya, maka hunian informal swadaya akan sulit untuk berkembang/berhasil, setidaknya untuk meningkatkan kualitas kondisi hunian paling buruk di masa sekarang. Posisi Perumahan Swadaya: Catatan Bibiliograf
Sejak perumahan swadaya diterima sebagai strategi pernaungan dalam
berhuni pada negara-negara berkembang, debat-debat kontroversial banyak terjadi, saling tumpang tindih. Para akademisi menganalisis dari sisi spasial arsitektural dan proses sosial yang dinamis, sedangkan para politisi cenderung fokus pada manajemen kepentingan kontroversial dari pihak-pihak yang trelibat. Di sisi lain, para manager mencari formula terbaik untuk mengelola perencanaan dan proses pembangunan, yang melibatkan banyak aktor dari skema pembangunan perumahan secara massal, dan bagaimana agar penyelenggaraan perumahan berada di dalam kontrol. Pada bagian ini, berisi simpulan dari perdebatan masa lalu dan yang sedang berlangsung untuk mengevaluasi hasil penelitian. Terdapat beberapa kelompok pandangan mengenai posisi perumahan swadaya, diantaranya: 1. Sisi Protagonis (Mendukung Perumahan Swadaya) Para antropolog dan beberapa profesi terkait merupakan pihak pertama yangtelah melakukan studi terkait perumahan swadaya ketika fenomena yang terjadi adalah menjamurnya permukiman kumuh dan liar di kota-kota besar pada negara berkembang. Terdapat beberapa pemikiran dari tokohtokoh yang bergerak pada sisi ini, antara lain: a. Charles Stokes (1962) Tokoh ini menyarankan klasifikasi permukiman kumuh menjadi dua kelompok, yakni kelompok kumuh harapan dan kelompok kumuh putus asa. Pada dua tipe tersebut, ia mengidentifikasi grup eskalator dan grup non-eskalator. Menurut Charles Stokes, grup pertama memiliki kapasitas improvisasi sosial dan mampu mengintegrasi diri ke dalam masyarakat. Sedangkan grup kedua merupakan grup dengan kondisi sosial yang negatif dan berisi individu-individu yang agresif. Stokes menyiratkan dua asumsi, yang pertama, terkait adanya posibilitas dari kaum marginal dan terpinggirkan dari masyarakat untuk meningkatkan kondisi situasi mereka tanpa bantuan pihak luar; yang kedua, ekspektasi dari pengakuan, pemantauan, dan sangat mungkin mengontrol sisi sosial antara kelompok-kelompok yang kurang mampu (strategi kooptasi dan pengamanan). b. Anthony Leeds (1969) dan Marshall Clinard (1966), Oscar Lewis (1964) dan Lisa Pettie (1968) Tokoh ini memiliki anggapan bahwa aktivitas perumahan swadaya, yang merupakan permukiman kumuh, mampu meningkatkan kualitas kehidupan mereka sendiri dan memiliki pengalaman positif dari prose berhuni yang dilakukan dalam lingkungannya, walaupun perumahan seperti ini jarang ada. Hal ini disampaikan juga oleh Lewis dan Peattie bahwa perumahan swadaya memiliki potensi mobilisasi sumber daya manusia dan material dalam komunitas miskin, dimana mereka mampu mempelajari kondisi lingkunngan mereka sendiri. c. Charles Abrams (1966, dipublikasikan sejak 1964) Tokoh ini fokus pada solusi praktis permukiman., yang mempertanyakan kelayakan program perumahan swadaya pada settng urban. Abrams menyarankan pembangunan kembali pada permukiman
murah, pengembangan rumah inti, dan skema atap pinjaman bagi
yang tidak mampu memiliki rumah yang terjangkau. Ia juga memiliki istilah site dan utilitas yang memfokuskan pada kualitas servise dari lingkungan permukiman. Selain itu, ia juga sepakat bahwa rumah yang tidak selesai (seadanya) dapat diterima sebagai bentuk pernaungan bagi masyarakat miskin dan menjadi bapak dalam konsep pembangunan progresif. d. John Turner (1965, 1968, 1976, 1978, 1981, 1983, 1986, 1988, kemudian bergabung dengan antropolog William Mangin 1963, 1969) John Turner sangat dikenal mengedepankan aspek positif dari pembangunan rumah swadaya dan pemukiman yang mampu mengorganisir dirinya sendiri. Argumen utama yang dibangun oleh Turner meliputi 4 hal, yakni bahwa pengguna telah tau kondisi kebutuhan mereka sendiri, jauh lebih baik daripada birokrat dan ahli . kemudian, pengguna dapat menggunakan sumber daya yang langka berdasar kondisi lokal, dengan cara yang jauh lebih baik daripada solusi yang standar. Berikutnya, hasil perumahan swadaya lebi baik karena tidak berorientasi pasar, lebih pada kebutuhan penggunaan masyarakatnya. Terakhir, dibandingkan perumahan massal monofungsi, warga di perumahan swadaya memiliki posisi yang baik untuk meningkatkan keuangan mereka, dengan lokasi yang menguntungkan, sehingga mampu untuk menggabungkan pekerjaan dan ruang hidup pada bangunan yang sama. 2. Sisi Teoritis Dari sisi akademis, pandangan mengenai perumahan swadaya lebih pada upaya analisis sebab-sebab sosial dan ekonomi beserta implikasinya , juga terkait dengan kebijakan perumahan swadaya, bukan pada sisi keberhasilan maupun kegagalan strategi rumah tangga individu atau proyek percontohan. Tokoh yang bergerak pada sisi ini diantaranya adalah Alfredo Rodriguez dan Diego Rivas Robles (1972), yang mempertanyakan peran organisasi internasional dalam melakukan kontrol sosial dan mobilisasi politik kaum miskin. Tokoh lainnya seperti Manuel Castel (1976), Joan Nelson (1979) dan sebagainya lebih fokus pada perjuangan sosial di bidang reproduksi tempat tinggal. Sedangkan Rod Burgers (1977) menawarkan konsep analitis yang menempatkan perumahan swadaya di dalam ekonomi kapitalis. 3. Sisi Studi-studi Empiris Tokoh-tokoh pada sisi ii menyampaikan wawasan bahwa aspek-aspek budaya dan iklim-geografis telah diabaikan dalam perbincangan perumahan swadaya. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian-penelitian pada negara tertentu belum tentu dapat diterapkan pada negara lain. Roland Ziss dan Joanna Kotowski (1986) menyampaikan bahwa tidak sedikit perumahan swadaya yang tidak mampu memiliki lokasi, desain, teknoogi dan bahan yang tepat di lapangan, didasarkan dengan penggunaan bahan dari produksi industri dan tidak memanfaatkan sumber daya lokal. Hal tersebut terjadi di Meksiko. Pada studi lain, tidak sedikit praktek membangun yang yang hanya menggunakan jasa pembangun kecil untuk banyak pekerjaan. Kesenjangan antara biaya perumahan dan
kemampuanuntuk membayar menjadi persoalan perumahan menjadi
masalah utama dan mengarah pada isu program perumahan berpenghasilan rendah. Kesimpulan Perdebatan pada diskusi kelimuan ini, dari masing-masing sisi pandangan terhadap persoalan perumahan swadaya, mampu merangsang perhatian para politisi untuk peduli terhadap penampungan orang miskin, menghentikan banyak program pemberantasan dan mengakui hak masyarakat miskin secara internasional. Persoalan dan solusi yang ditawarkan harus menjadi pertimbangan baik pada skala perumahan kecil maupun proyek perumahan besar, dengan heterogenitas kelompok msasaran yang telah disampaikan, harus mampu dituntaskan.