Anda di halaman 1dari 7

Balon Harapan

Oleh Puti Karina Puar

Pak Sugeng adalah penjual balon yang biasa berdagang di


dekat rumah Ciya. Memang di dekat rumah Ciya ada taman
kanak-kanak. Adik Ciya bersekolah di situ. Waktu kecil dulu,
Ciya sering merengek kepada ibunya minta dibelikan balon
dagangan Pak Sugeng. Itu sebabnya Pak Sugeng cukup kenal
pada Ciya. Apalagi Ciya sering menjemput Remi, adiknya,
pulang sekolah.
Suatu hari saat Ciya menjemput Remi, ia melihat Pak
Sugeng berwajah muram. Padahal biasanya Pak Sugeng selalu
tersenyum bahagia. Saat Ciya bertanya, Pak Sugeng
menjawab,
Sudah beberapa hari ini tidak ada yang membeli balon
jualan bapak. Bapak bingung. Bapak enggak dapat uang, Neng.
Padahal anak bapak belum bayar uang sekolah.
Hati Ciya tersentuh mendengar jawaban Pak Sugeng.
Memang kelihatannya anak-anak sekarang lebih senang
membeli mainan. Lebih tahan lama. Tidak seperti balon yang
mudah meletus. Karena sangat kasihan pada Pak Sugeng, Ciya
akhirnya membelikan sebuah balon untuk Remi.
Di rumah, Ciya masih terus memikirkan nasib Pak Sugeng.
Namun, ia tidak berhasil juga mendapatkan jalan keluar untuk
masalah Pak Sugeng. Pikiran Ciya pun lalu berpindah. Ia
memikirkan rencananya dan kawan-kawan sekelasnya untuk
menjenguk Kinanti. Sudah seminggu Kinanti dirawat di rumah
sakit karena sakit tipus. Ciya menimbang-nimbang, oleh-oleh
apa yang hendak mereka bawa besok. Jika mereka membawa
makanan, tentu kinanti belum boleh makan makanan dari luar.
Tiba-tiba Ciya mendapat ide cemerlang saat melihat Remi
bermain dengan balon merahnya.

Keesokan harinya Ciya ke sekolah membawa balon Remi.


Ia memberitahu tentang rencananya utuk menjenguk Kinanti
nanti. Teman-temannya sangat setuju. Sepulang sekola, mereka
pun berangkat ke rumah sakit tempat Kinanti dirawat. Ciya,
Tara, Dika, dan Rendi tiba d rumah sakit pada jam besuk. Saat
itu para pasien diperbolehkan menerima tamu dan berjalanjalan di sekitar halaman rumah saki. Kinanti sangat senang
teman-temannya datang menjenguknya. Ibu kinanti juga
bahagia melihat anaknya diperhatikan teman-temannya.
Kenapa kamu membawa balon? Kinanti menatap aneh
ke Ciya yang memgang balon.
Ciya lalu menjelaskan,
Kin, kami sudah menyiapkan kertas untuk diikat di balon ini.
Sekarang kamu boleh tulis harapan kesembuhanmu di kertas
ini. Nanti balon dan kertas ini kita terbangkan sambil berdoa.
Harapan kesembuhanmu akan dibawa naik ke atas langit, Ciya
menunjuk ke atas langit.
Wow! Itu ide yang bagus. Kutulis sekarang, ya! Terus,
secepatnya kita terbangkan! seru Kinanti senang. Ia lalu
menulis..
Tuhan Yang Maha Baik, aku mau cepat sembuh sehingga
bisa sekolah lagi. Tolong kabulkan doaku. Kinanti
Setelah itu mereka berlima pergi ke halaman untuk
menerbangkan balon itu sambil berdoa. Ibu Kinanti tersenyum
melihat dari jauh.
Lusanya, kinanti sudah masuk sekolah. Wajahnya segar
pertanda ia sudah kembali sehat. Ciya sangat bahagia. Apalagi,
ia juga sudah berhasil menemukan jalan keluar untuk masalah
Pak Sugeng. Sudah tak sabar ia ingin memberi tahu
rencananya pada Pak Sugeng.
Sambil menunggu Remi, Ciya berbincang dengan Pak
Sugeng tampak ceria setelah mendengar ide Ciya.

Besoknya, Pak Sugeng tidak lagi mangkal di depan taman


kanak-kanak dekat rumah Ciya. Ia menjual balonnya di rumah
sakit. Pak Sugeng juga menghias sepedanya dengan meriah,
dan membuat papan bertuliskan BALON HARAPAN.
Dengan balon harapan itu, setiap pasien di rumah sakit
dapat menuliskan harapan kesembuhannya di sepotong kertas.
Kemudian diikat ke balon. Sambil berdoa, balon itu dilepaskan
ke langit.
Betapa bahagianya Pak Sugeng karena jualannya laku
keras di rumah sakit. Apalagi banyak yang merasakan
khasiatnya. Rahasianya sebenernya bukan pada balonnya.
Namun pada doa dan semangat seseorang untuk sembuh.
Balon-balon harapan menumbuhkan harapan. Membuat pasien
yang sedang sakit bersemangat untuk sembuh.
Jadi, jika kamu melihat balon yang terbang ke langit, bisa
saja itu balon harapan seseorang. Atau kamu berencana
membuat balon harapan juga?

Kue-Kue Winda
Oleh Diana Silfiani

Enak lo, Win....


Rasti mengunyah kue nastar pemberian Winda
Itu Cuma contoh, lo, Ras, Winda tersenyum kecil. Besok
sudah tidak bisa makan gratis. Harus beli.
Rasti manggut-manggut.
Harganya sama dengan kaastangel?
Iya, satu bungkus isi tiga, tetap Rp500,00, Winda
membuka kotak bekalnya yang besar, yang sekaligus
digunakannya untuk menyimpan jualannya.
Rasti menggigit kue nastarnya sedikit-sedikit. Sudah
sebulan ini sahabatnya membuka warung kaget di kelas. Rasti
menjual kue-kue kering buatannya yang sudah dibungkus
plastik. Cantik-cantik. Dulu, sewaktu baru memulai usahanya
itu, winda membawa contoh terlebih dahulu. Lalu ditawarkan ke
teman-teman sekelasnya sambil berpromosi.
Pertama Winda hanya menawarkan kaastangel dan kue
semprit coklat. Sekarang kue dagangan Winda sudah ada lima
macam : kaastangel, kue semprit coklat, putri salju, kue kenari,
dan kue terbarunya adalah nastar.

Rasti suka kue buatan Winda. Enak. Murah lagi. Temantemannya juga begitu. Setiap waktu istirahat, dagangan Winda
laris manis. Dibangdingkan jajan di kantin sekolah sekolah, kue
Winda lebih sehat dan bermutu. Paling tidak, kue Winda tidak
menggunakan bahan pengawet dan penguat rasa sehingga
lebih sehat.
Hari ini laku banyak, Win? Rasti penasaran melihat kotak
dagangan Winda. Sekarang langganan kue Winda bukan hanya
dari kelas 6C saja. Murid-murid kelas lain, bahkan Bu Harti pun
sering membeli kue Winda.
Hari ini sudah terjual 20 bungkus, Winda tersenyum
cerah. Bisnis kueku akhir-akhir ini berkembang pesat.
Rasti tertawa dan maenjajari langkah Winda keluar kelas.
Mereka biasa pulang berdua, karena rumah meraka berada di
kompleks yang sama did ekat sekolah
Bahasa bisnis, nih yeee.... Rasti menggoda.
Sekalian praktek pelajaran Bahasa Indonesia, kan...
Rasti manggu-manggut.
Win, aku boleh nanya sesuatu, ya. Tapi kamu janji jangan
marah, ya...
Tanya saja Ras, aku tidak akan marah. Masa sama
pelangganku yang paling setia, marah. Bisa tidak laku
daganganku nanti... Winda tersenyum nakal.
Rasti tersenyum malu.
Apa kamu tidak malu jualan kue di sekolah, Win? Atau
uang sakumu kurang, makanya kamu jualan kue?
Uang sakuku cukup kok, Ras, Winda menggeleng, sambil
menata plastik-plastik kue di kotak dagangannya. Dan aku
juga tidak malu berjualan kue. Aku pikir, ada baiknya aku cobacoba usaha dan belajar mencari uang dari sekarang. Lagipula,
hasilnya lumayan untuk menambah tabunganku.

Belajar cari uang sendiri? Rasti keheranan.


Memangnya kamu bercita-cita jadi penjual kue? Kenapa tidak
bercita-cita yang keren, Win, misalnya jadi dokter...
Winda tertawa.
Sebenarnya aku bercita-cita jadi doker hewan. Tapi ini
sekedar jaga-jaga, siapa tahu ada halangan dan aku tidak bisa
menjadi dokter hewan seperti cita-citaku. Jualan seperti ini juga
membuatku sadar, mencari uang itu tidak gampang. Jadi,
sekarang aku semakin hemat dan tidak menghamburhamburkan uang.
Rasti jadi malu sendiri, teringat bagaimana ia selalu
merengek pada mamanya bila uang sakunya habis, padahal ia
ingin membeli sesuatu.
Aapa orang tuamu tahu kamu berjualan kue? ujar Rasti.
Apa mereka mengizinkan?
Tentu saja. Mama tahu kalua aku senang membuat kue,
dan sangat mendukung usahaku ini. Syaratnya satu, aku tidak
boleh lupa belajar, karena sekolah tetap nomor satu.
Rasti mengangguk setuju.
Kenapa kamu memilih berjualan kue, Win?
Sebenarnya ide berjualan ini munculkarena aku hobi membuat
kue. Sayangnya, di rumah tidak ada orang yang menghabiskan
kue-kue buatnku. Jadi aku tidak bisa sering membuat kue, urai
Winda panjang lebar.
Enak dong, hobi jalan terus, dapat uang lagi!
Winda tersenyum.
Kmau juga bisa kok, Ras. Asal jangan jualan kue juga.
Bisa-bisa kueku tidak laku lagi gara-gara ada saingan!
Rasti tertawa juga. Di persimpangan jalan, mereka
berpisah.

Sampai besok ya, Ras!


Rasti tersenyum. Ia mengagumi pikiran Winda yang
dewasa, dan tindakannya yang berani. Aku perlu meniru sikap
baiknya, pikir Rasti. Aku kurang menyukai masak-memasak.
Lalu apa hobiku?
Mm, mungkin aku bisa membuat kalung manik-manik,
mengarang cerita dan mengirimkannya ke majalah, atau....

Anda mungkin juga menyukai