terus tumbuh dalam kavum peritonei. Pada keadaan semacam ini, plasenta ditemukan dalam
bagian tuba yang umum serta akhirnya akan kehilangan identitasnya, dan pada permukaan
posterior ligamentum latum serta uterus. Pada kasus-kasus yang lebih jarang lagi, hasil
konsepsi tampak terlepas dari dalam tuba setelah terjadi ruptur dan kemudian mengalami
implantasi kembali apda salah satu bagian di dalam kavum peritonei.
Sedangkan menurut Pernoll (1994) klasifikasi dari ekhamilan abdominal terdiri dari Primer,
Sekunder, Abdominoovarial, Tuboovarial.
DIAGNOSIS
Diagnosis kehamilan abdominal tetap emnjadi masalha yang sulit, meskipun berbagai
kemajuan teknologi telah dicapai, namun keterlambatan dalam diagnosis masih sering terjadi.
Hal ini dikarenakan angka kehamilan abdominal yang sangat jarang.
ANAMNESE
Untuk menegakkan diagnosis, pada anamnesis didapatkan adanya kehamilan yang disertai
keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah (70%), kembung, konstipasi, diare, dan nyeri
abdomen (100%), nyeri saat janin bergerak (40%) serta gerakan ajnin yang dapat dirasakan
secara nyata. Keluhan nyeri abdomen dapat dirasakan pad awl kehamilan yang disebabkan
adanya ruptur tuba atau abortus tuba, sedangkan pad ausia kehamilan lanjut disebabkan oleh
ekhamilan yang mendesak struktur abdominal dari etmpat yang normal.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada ekhamilan abdominal lanjut dengan pemeriksan fisik seringkali bagian-bagian janin
dapat diraba dengan mudah, karena janin bersentuhan dengan peritoneeum tanpa dibatasi oleh
dinding uterus. Dengan palpasi abdomen posisi janin yang abnormal (70%) yaitu sering letak
lintang atau miring. Pada pemeriksaan dalam, uterus membesar sesuai umur kehamilan 10-12
minggu dapat teraba terpisah dari massa kehamilan. Serviks dapat terdorong ke arah mana
tergantung posisi janin (40%). Pada palpasi forniks bagian ekcil janin atau kepala kadangkadang ditemukan dengan ejlas berada di luar uterus.
STIMULASI DENGAN OKSITOSIN
Tes ini berdasarkan terdapatnya respon myometrium terhadap oksitosin selama kehamilan.
Jika didinding uterus berkontraksi maka kemungkinan kehamilan abdominal dapat
disingkirkan. Hertz dkk (1977) tidak menemukan aktivitas uterus sekalipun sudah
memberikan infus oksitosin dengan takaran yang melebihi 50 miliunit per menit. Pemeriksaan
ini deisebut Oxytocin Challenge test.
2
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Dapat dilakukan tes kehamilan. Apabila tesnya positif, itu dapat membantu diagnosis
khususnya terhadap tumor-tumor adneks yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan.
Tes kehamilan negatif tidak banyak artinya, umumnya tes ini menjadi negatif beberapa hari
setelah meninggalnya mudigah.
PEMERIKSAAN SONOGRAFI
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) sangat berguna untuk mengenali adanya kehamilan
abdominal, walaupun diagnosis kehamilan dengan pemeriksaan USG mempunyai tingkat
kesalahan 50% kasus. Kriteria diagnostik yang dapat ditemukan untuk menduga adanya
kehamilan abdominal adalah adanya gambaran kantung kehamilan ekstra uterin atau gambaran
fetus dengan posisi yang abnormal dan yang terpisah dari uterus, tampak bagian fetus deeekat
dengan dinding perut ibu.
Pada umur kehmailan muda uterus tampak memebsar, kantung kehamilan atau fetus
teridentifasi di bagian bawah.
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Kepstian adanya ekhamilan abdominal dapat diperoleh deeengan peemriksaan sinar-X dengan
bahan kontras radioopaq atau probe di dalam uterus. Janin akan terlihat jelas berada di luar
kavum uteri. Namun teknik ini bukan merupakan prosedur diagnostik yang aman jika janin
berada dalam uterus khususnya bila janin tersebut masih hidup.
DILATASI DAN KEROKAN
Kerokan tidak mempunyai tempat untuk kehamilan ektopik. Biasanya kerokan dilakukan
apabila sesudah amenorhea terjadi perdarahan yang cukup lama tanpa ditemukan kelainan
nyata disamping uterus. Apabila ditemukan desidua tanpa villus korialis dari sediaan yang
diperoleh dari kerokan dapat emembawa pikiran ke arah kehamilan ektopik.
KEADAAN JANIN
Kehamilan abdominal dapat mencapai aterm dan anak dapat hidup, namun hal ini jarang
terjadi. Suter dan Wicher menemukan bahwa seper empat dari kasus kehamilan aabdominal
terdiagnosis setelah umur ekhamilan 5 bulan dengan janin yang masih hidup. Namun
kebanyakan janin mati sebelum mencapai maturitas (bulan ke 5 atau ke 6) karena pengambilan
makanan kurang sempurna atau akrena tempat pertumbuhan janin yang tidak sempurna. Bila
janin mencapai cukup bulan, prognosisnya kurang baik, bila keadaan ini terjadi maka janin
3
sering menjadi cacat tubuh (kelainan kongenital) atau pertumbuhannya terhambat (30%).
Kelainan kongenital yang dijumpai terutama adanya deformitas akibat penekanan yang
disebabkan oleh oligohidramnion dan desakan lingkungan. Eklainan tersebut meliputi
deformitas bentuk kepala, tortikolis, malformasi thoraks, talipes equinovarus.
Namun biasanya janin sudah meninggal sebelum cukup bulan. Jika janin meninggal setelah
mencapai suatu ukuran yang cukup besar maka dapat terjadi degenerasi dan maserasi, infiltrasi
lemak (adipocere) sehingga janin berubah menjadi massa lemak yang berwarna kekuningan
menjadi membantu (mumifikasi dan klasifikasi) atau menjadi fetus papyracelis.
PENATALAKSANAAN
Setelah diagnosis ditegakkan sedini mungkin maka harus segera dilakukan laparotomi
eksplorasi. Pertimbangan untuk menunda janin sampai viable tidak dibenarkan.
Laparotomi harus dikerjakan dengan hati-hati karena kantung amnion, omentum, usus dan
plasenta dapat saling mengadakan perlekatan dan bannya terdapat pembuluh darah yang besar
dan rapuh yang akdang tepat berad di abwah dinding abdomen. Setelah janin dikelurakan
harus diidentifikasikan letak plasenta, dimana plasenta dapat melekat dan meluas sampai
dinding panggul, rektum, sigmoid serta sekum. Kemudian yang paling aman tali pusat
dipotong sedekat mungkin dari plaenta dna plasenta dibiarkan berada di dalam rongga
abdomen karena untuk mencegah terjadinya perdarahan yang dapat berakibat fata.
Meskipun komplikasi meninggalnya plasenta cukup menyulitkan dan dapat meneybabkan
tindakan laparotomi yang berikutnya namun komplikasi ini lebih ringan dibandingkan
perdarahan yang mungkin terjadi akibat pengangkaran plasenta pada pemebdahan. Komplikasi
plasenta yang ditinggalkan adlah ileus, peritonitis, obstruksi intenstinal dan perlengketan.
Plasenta tersebut dapat direbsorbsi dalam waktu beberapa bulan bahkan lebih dari 5tahun.
Resiko pembedahan adalah perdarahan masif yang sering terjadi terutama setelah
pengangkatan plaenta dan yang ekdua adalah karena ketidakmampuan pembuluh darah
plasenta bag untuk berkontraksi seperti yang normal terjadi pad akehamilan intra uterin.
Metrotreksat telah digunakan pada bebrapa kasus namun pemakaian metotreksat masih
kontroversial. Disatu sisi metotrexate dapat mempercepat absorbsi jaringan plasenta, namun
disisi lain dapat meneybabkan infeksi serta pembentukan abses.