Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih terdapat disana sini
ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi
baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjjukkan Renmdahnya kesadaran
manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan
sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka
saya yakin tidak tidak akan terjadi perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang
bekepanjangan, peranpokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi
karen konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan
keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan
mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya
dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakan diatas maka, kita dapat
rumuskan masalah konsep keadilan
1) Bagaimanakah konsep keadilan yang ideal ?
2) Sejauh mana keadilan diterapkan di Indonesia ?
3) Siapa sajakah orang yang diperlakukan adil dan diperlakukan tidak adil ?
BAB II
PEMBAHASAN

Tidak dapat dipungkiri, Al-qur’an meningkatkan sisi keadilan dalam kehidupan


manusia, baik secara kolektif maupun individual. Karenanya, dengan mudah kita lalu
dihinggapi semacam rasa cepat puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan temuan
yang mudah diperoleh secara gamblang itu Sebagai hasil lanjutan dari rasa puas diri itu,
lalu muncul idealisme atas Al-qur’an sebagai sumber pemikiran paling baik tentang
keadilan. Kebetulan persepsi semacam itu sejalan dengan doktrin keimanan Islam sendiri
tentang Allah sebagai Tuhan Yang Maha Adil. Bukankah kalau Allah sebagai sumber
keadilan itu sendiri, lalu sudah sepantasnya Al-qur’an yang menjadi firmanNya kalamu
'l-Lah juga menjadi sumber pemikiran tentang keadilan?
Cara berfikir induktif seperti itu memang memuaskan bagi mereka yang biasa
berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang
sangat kompleks dan rumit. Mengapakah kita harus sulit-sulit mencari pemikiran dengan
kompleksitas sangat tinggi tentang keadilan? Bukankah lebih baik apa yang ada itu saja
segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah
refleksi yang lebih jauh hanya akan menimbulkan kesulitan belaka?
"Kecenderungan praktis" tersebut, memang sudah kuat terasa dalam wawasan teologis
kaum skolastik mutakallimin Muslim sejak delapan abad terakhir ini.
Argumentasi seperti itu memang tampak menarik sepintas lalu. Dalam kecenderungan
segera melihat hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata.
Apalagi dewasa ini justru bangsa-bangsa Muslim sedang dilanda masalah ketidakadilan
dalam ukuran sangat massif. Demikianjuga, persaingan ketat antara Islam sebagai sebuah
paham tentang kehidupan, terlepas dari hakikatnya sebagai ideologi atau bukan, dan
paham-paham besar lain di dunia ini, terutama ideologi-ideologi besar seperti sosialisme,
komunisme, nasionalisme, dan liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba
praktis seperti itu adalah sebuah pelarianyang tidak akan menyelesaikan masalah.
Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah yang disederhanakan, justru akan menambah
parah keadaan. Kaum Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan
yang hakiki dan berdayaguna penuh untuk jangka panjang, dan merasa puas dengan
"pemecahan" sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.
Ketika Marxisme dihadapkan kepada masalah penjagaan hak-hak perolehan warga
masyarakat, dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang masyarakat untuk memiliki
alat-alat produksi, pembahasan masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan
menekankan slogan "demokrasi sosial" sebagai pemecahan praktisyang
menyederhanakan masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka pendek, terbukti
dengan kemauan mendirikan negara-negara Komunis dalam kurun waktu enam
dasawarsa terakhir ini. Namun, "pemecahan masalah" seperti itu ternyata membawa hasil
buruk, terbukti dengan "di bongkar pasangnya" Komunisme dewasa ini oleh para
pemimpin mereka sendiri dimana-mana. Rendahnya produktivitasindividual sebagai
akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga masyarakat yang sudah
berwatak kronis, akhirnya memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan
total seperti diakibatkan oleh perestroika dan glasnost di Uni Soviet beberapa waktu lalu.
Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga meninjau masalah
keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada
persoalan, bahkan yang paling rumit sekalipun, haruslah diangkat ke permukaan dan
selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan
kemasyarakatanIslam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia
di masa-masa mendatang. Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh
paham yang dikembangkan Islam, juga akan dihadapkan kepada nasib yang sama dengan
yang menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya
secara baik dan tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.
Pembahasan berikut akan mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus
dijawab oleh Islam tentang wawasan keadilan sebagaimana tertuang dalam Al-qur’an .
Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian dicoba pula
untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi
umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal pokok dan sosok kasar dari
apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.
A. PENGERTIAN KEADILAN
Al-qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau istilah yang
bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan
sisi atau wawasan keadilan juga tidak selalu berasal dari akar kata 'adl. Kata-kata
sinonim seperti qisth, hukm dan sebagainya digunakan oleh Al-qur’an dalam
pengertian keadilan. Sedangkan kata 'adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa
saja kehilangan kaitannyayang langsung dengan sisi keadilan itu (ta'dilu, dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan 'adl dalam arti tebusan).
Allah SWT. Berfirman :
 
 
 

 

  

  
  


 
  

   


  
 

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarangdari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar
kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl : 90)

Kalau dikatagorikan, ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan


dalam Al-qur’an dari akar kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak
memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil
keputusan hendaknya kalian menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar
keadilan. Secara keseluruhan, pengertian-pengertian di atas terkait langsung dengan
sisi keadilan, yaitu sebagai penjabaran bentuk-bentuk keadilan dalam kehidupan. Dari
terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan wawasan atau sisi keadilan secara
langsung itu saja, sudah tampak dengan jelas betapa porsi "warna keadilan" mendapat
tempat dalam Al-qur’an , sehingga dapat dimengerti sikap kelompok Mu'tazilah dan
Syi'ah untuk menempatkan keadilan ('adalah) sebagai salah satudari lima prinsip
utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.
Kesimpulan di atas juga diperkuat dengan pengertian dan dorongan Al-qur’an agar
manusia memenuhi janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang
menderita, lemah dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan
sesame warga masyarakat, jujur dalam bersikap, dan seterusnya.
Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim itu
menunjukkan orientasi yang sangat kuat akar keadilan dalam Al-qur’an. Demikian
pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro dari
kehidupan warga masyarakat secara perorangan, melainkan juga lingkup makro
kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut bagi kaum Muslim
saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi sikap adil
dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk
mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama masing-masing. Hal ini
sesuai denga firman Allah SWT, sebagai berikut :





 

  
  
 
 
 
  

      


    
    
 
      
 
     
  
  
 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil
itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Maidah : 8)

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan atau
sisi keadilan oleh Al-qur’an dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan
peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan
lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin,
janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami perceraian. Juga sanak keluarga
(dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai pengejawantahan keadilan.
Orientasi sekian banyak "wajah keadilan" dalam wujud konkrit itu ada yang berwatak
karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial, dan dengan demikian
sedikit banyak berwatak straktural. Fase terpenting dari wawasan keadilan yang
dibawakan Al-qur’an itu adalah sifatnya sebagai perintah agama, bukan sekedar
sebagai acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan
pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian akan diperhitungkan dalam amal
perbuatan seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak. Dengan
demikian, wawasan keadilan dalam Al-qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu
yang ideologis, sebagaimana terbukti dari revolusi yang dibawakan Ayatullah
Khomeini di Iran. Sudah tentudengan segenap bahaya-bahaya yang ditimbulkannya,
karena ternyata dalam sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang
mengingkari keadilan itu.

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal ini: bahwa sifat dasar
wawasan keadilan yang dikembangkan Al-qur’an ternyata bercorak mekanistik,
kurang bercorak reflektif. Ini mungkin karena "warna" dari bentuk konkrit wawasan
keadilan itu adalah "warna" hukum agama, sesuatu yang katakanlah legal-formalistik.
Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu konsep keadilan yang menitipberatkan pada
kepentingan ammah, dan bukan semata-mata kepentingan pribadi dan golongan,
sebagai mana yang difirmankan Allah SWT, dalam surah Al-An’an ayat 152, sebagai
berikut

    


  
   
     
   

   
      
   
       
    
  
   

Artinya : “Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
kendatipun ia adalah kerabat(mu)[519], dan penuhilah janji Allah[520].
yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu inga” (QS. Al-
An’am : 152)

B. PERMASALAHAN
Mengingat sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam Al-qur’an
itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu
keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri, dan bentuk
penuangannya yang terasa "sangat berbalasan" (talionis, kompensatoris).
Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk tindakan telah
dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat adil, walaupun dalam sisi-sisi yang
lain justru wawasan keadilan itu dilanggar. Dapat dikemukakan sebagai contoh,
umpamanya, seorang suami telah "bertindak adil" jika "berbuat adil" dengan menjaga
ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa
mempersoalkan apakah memiliki dua orang isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan
yang adil. Dengan demikian, pemenuhan tuntutan keadilan yang seharusnya berwajah
utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung kepada pelaksanaan di satu sisinya
belaka.
Warna kompensatoris dari wawasan keadilan yang dibawakan Al-qur’an itu juga
terlihat dalam sederhananya perumusan apa yang dinamakan keadilan itu sendiri.
Wanita yang diceraikan dalam keadaan hamil berhak memperoleh santunan hingga ia
melahirkan anak yang dikandungnya, cukup dengan jumlah tertentu berupa uang atau
bahan makanan. Sangat terasa watak berbalasan dari "pemenuhan keadilan" yang
berbentuk seperti ini, karena ada "pertukaran jasa" antara mengandung anak (bagi
suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri). Dari pengamatan akan kedua
hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan
dalam pandangan Al-qur’an itu masih memerlukan pengembangan lebih jauh, apalagi
jika dikaitkan dengan perkembangan wawasa keadilan dalam kehidupan itu sendiri.
Sampai sejauh manakah dapat dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila
dipandang dari sudut wawasan keadilan yang dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah
kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang dari sudut wawasan keadilan
yang
dimiliki Al-qur’an itu? Dapatkah kepada kelompok minoritas agama diberikan hak
yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan? Dapatkah wawasan keadilan itu
menampung kebutuhan akan persamaan derajat agama dikesampingkan oleh
kebutuhan akan hukum yang mencerminkan kebutuhan akan persamaan perlakuan
hukum secara mutlak bagi semua warga negara tanpa melihat asal-usul agama, etnis,
bahasa dan budayanya? Dapatkah dikembangkan sikap untuk membatasi hak milik
pribadi demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya
demokrasi ekonomi? Deretan pertanyaan fundamental, yang jawaban-jawabannya
akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam
Al-qur’an memenuhi kebutuhan sebuah masyarakat modern dimasa datang.
Diperlukan kajian-kajian lebih lanjut tentang peta permasalahan seperti dikemukakan
di atas, namun jelas sekali bahwa visi keadilan yang ada dalam Al-qur’an dewasa ini
harus direntang sedemikian jauh, kalau diinginkan relevansi berjangka panjang dari
wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi rumit dan memerlukan refleksi
filosofis, di samping kejujuran intelektual yang tinggi untuk merampungkannya
secara kolektif. Masalahnya, masih punyakah umat Islam kejujuran intelektual seperti
itu, atau memang sudah tercebur semuanya dalam pelarian sloganistik dan "kerangka
operasionalisasi" serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

C. MEMBONGKAR AKAR KETIDAKADILAN MELALUI PESANTREN


Telah 77 tahun berlalu sejak Kongres Wanita Indonesia I berlangsung di
Yogyakarta. Sebagian isu yang diperjuangkan saat itu masih belum berhasil
memuaskan dan terus diperjuangkan: perdagangan perempuan dan anak, perburuhan,
poligami, dan kesehatan.

Belum selesai masalah yang diperjuangkan perempuan Indonesia sejak awal abad
lalu, kini datang isu globalisasi, lingkungan, hak asasi manusia, perdagangan bebas,
konflik bersenjata, konservatisme, bencana alam, kemiskinan, kekerasan berbasis
jender, dan pluralisme.
Dalam konteks Indonesia, pesantren menjadi salah satu tempat di mana
transformasi sosial dan budaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan demokratis.
Ada beberapa alasan mengapa pesantren menjadi tumpuan harapan itu. Ny Sinta
Nuriyah Wahid, Pimpinan Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan (Puan) Amal
Hayati dalam seminar ”Memantapkan Langkah Pemberdayaan Perempuan Berbasis
Pesantren” di Jakarta, Selasa (20/12), mengatakan, dalam sejarahnya pesantren ada
untuk merespons persoalan sosial budaya di masyarakat. Pesantren Tebu Ireng di
Jombang, misalnya, didirikan KH Hasyim Ashari untuk membangun tandingan
praktik kapitalisme kolonial atas buruh pabrik gula dengan menyediakan rumah
madat dan tempat prostitusi.
Alasan lain, di pesantren diajarkan nilai moral berdasarkan agama yang ada di
antaranya diskriminatif terhadap perempuan. Kajian tim Forum Kajian Kitab Kuning
(FK3) pimpinan Sinta Nuriyah memperlihatkan, ada kitab fikih yang diajarkan di
pesantren yang membolehkan kekerasan terhadap perempuan. FK3 di bawah Puan
lalu melahirkan buku yang mendekonstruksi fikih hubungan suami-istri dalam kitab
Uqud Al-Lujjayn.
Di luar itu, menurut pengamat pesantren Prof Dr Zamahsyari Dhofir, MA,
terdapat lebih 15.000 pesantren di Tanah Air dengan mayoritas santrinya berasal dari
keluarga miskin. Ini pula peluang dan tantangan memberdayakan perempuan berbasis
pesantren. Pesantren dan Perempuan Di dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia,
pesantren tidak dapat dilepaskan dari gerakan perempuan. Abdul Muqsith Ghazali
dari The Wahid Institute Jakarta menyebutkan, feminisme dalam Islam telah ada
sejak akhir abad ke-19, meskipun istilah itu tidak digunakan. RA Kartini, Dewi
Sartika, Rohana Koedoes, Rahmah el-Yunisiyah menggugat tertinggalnya pendidikan
perempuan, praktik poligami, pernikahan dini, dan perceraian sewenang-wenang oleh
suami.
Gelombang kedua feminisme (1920-1950-an) ditandai dengan munculnya
organisasi perempuan seperti Persaudaraan Istri, Wanita Sejati, Persatuan Ibu, Putri
Sedar, dan Putri Indonesia. Inti perjuangan mereka masih sama seperti periode
pertama, tetapi diperjuangkan melalui organisasi. Perjuangan ini membuahkan hasil.
”Konferensi besar Syuriah Nahdlatul Ulama 1957 membolehkan perempuan duduk di
lembaga legislatif,” ujar Muqsith. Menurut anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ny
Aisyah Hamid Baidlowi, hal itu merupakan hasil perjuangan Kongres Muslimat NU
1954 di Surabaya yang merekomendasi perempuan dapat duduk di legislatif,
menunda usia pernikahan, dan memberi pendidikan bagi perempuan.
Tahun 1930 KH Bisri Syansuri mendirikan pesantren perempuan di Denayar,
Jombang. Pada tahun 1946 lahir Undang-Undang (UU) Nomor 22 yang salah satu
pasalnya mengatakan perkawinan, perceraian, dan rujuk harus dicatatkan. UU ini
merupakan kemajuan karena sebelumnya perceraian tidak membutuhkan saksi dan
sepenuhnya tergantung keputusan suami. Gelombang feminisme ketiga terjadi tahun
1960-1980-an, di mana perempuan terlibat dalam pembangunan yang dipromosikan
Orde Baru.Pada periode ini ormas keagamaan tradisional seperti NU—sebagian besar
pesantren berafiliasi dengan NU—mulai menempatkan perempuan seperti Nyai
Fatimah, Nyai Mahmudah Mawardi, dan Nyai Khoriyah Hasyim, di dalam
kepengurusan Syuriah NU.
Gelombang keempat dimulai dari tahun 1990-an hingga saat ini yang ditandai
terjadinya sinergi antara feminis Muslim dengan feminis sekuler. ”Feminis sekuler
yang mengalami hambatan teologis dalam gerakannya, mendapat suntikan moral
keagamaan dari feminis Muslim, dan sebaliknya,” kata Muqsith.
Keduanya memiliki tujuan sama, yaitu penguatan masyarakat madani (civil society),
demokratisasi, dan penegakan hak asasi di mana keadilan dan kesetaraan jender
termasuk di dalamnya. Pada gelombang ini ada tokoh seperti Saparinah Sadli, Lies
Marcoes-Natsir, Sinta Nuriyah Wahid, Mansour Faqih, KH Husein Muhammad,
Nasaruddin Umar, Siti Musdah Mulia, Ruhainy Dzuhayatin dan lainnya. Adapun
generasi yang lebih muda, antara lain Faqihuddin Abdul Qodir, Badriyah Fayumi,
Ratna Batara Munti, dan Marzuki Wahid.
Tantangan ke depan
Belajar dari pengalaman selama ini, kelemahan gerakan perempuan Islam,
menurut Muqsith adalah gerakannya yang sempit: berkutat pada isu domestik dan
komunal umat Islam. Padahal, persoalan perempuan seperti diskriminasi dan
dehumanisasi adalah masalah umum kemanusiaan.Karena itu, tantangannya adalah
bergandengan lebih erat dengan gerakan perempuan dari agama lain dan isunya pun
dilebarkan menyangkut pluralisme, agama, hak asasi, dan demokrasi. ”Menggunakan
argumen agama (saja) untuk menolak poligami tidak selalu produktif. Karena itu,
harus dipakai argumentasi lain yang lebih universal, yaitu hak asasi,” tambah
Muqsith.
Dalam kenyataannya, sejumlah pesantren telah merambah isu-isu ini. Puan,
misalnya, sejak tahun 2000 selalu melakukan sahur Ramadhan bersama agama-agama
lain. Kembali pada isu perempuan dan pesantren, Ny Aisyah Hamid Baidlowi yang
anggota Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar pesantren tidak hanya
melahirkan lulusan yang beroreintasi menjadi ustad dan ustadzah. Para santri tak
terkecuali perlu juga dibekali ilmu ”dunia”, yaitu keterampilan untuk bersaing di
dalam lapangan kerja sehingga lulusannya, seperti disebutkan Ketua Fatayat NU
Maria Ulfah, tidak hanya menjadi pekerja rumah tangga di luar negeri dan dapat
menjawab persoalan kemiskinan dan kebodohan. Yogyakarta (Kompas: 16/12/04)
Saat ini masalah buta huruf telah menjadi sesuatu yang menimbulkan frustrasi,
membosankan, dan mengundang sinisme. Sebab, sudah begitu banyak program dan
dana dialokasikan, tetapi jumlah penduduk yang mengalami buta huruf tetap tinggi.
Oleh karena itu, perlu dicari strategi baru agar pemberantasan buta huruf
menjadi kegiatan yang punya daya tarik. Pemberantasan buta huruf tidak bisa
dilepaskan dari isu hak-hak warga negara dan keadilan sosial karena mereka yang
mengalami buta huruf pada umumnya merupakan lapisan masyarakat yang
termarjinalkan.
Demikian persoalan utama yang mengemuka dalam lokakarya "Adult Literacy
and Social Justice". Lokakarya diselenggarakan dalam rangkaian Festival
Pembelajaran "Belajar adalah Kemerdekaan", diselenggarakan Biro Asia Pasifik
Selatan untuk Pendidikan Orang Dewasa (Asia South Pacific Bureau for Adult
Education/ASPBAE) di Yogyakarta, Rabu (15/12). Sebanyak 150 peserta dari 20
negara di Asia dan Pasifik Selatan menghadiri acara untuk memperingati 40 tahun
ASPBAE tersebut. Hari kedua Festival Pembelajaran, para peserta diajak
mengunjungi komunitas-komunitas pembelajaran untuk orang dewasa yang tersebar
di Yogyakarta. Lalita Ramdas, mantan Presiden Dewan Internasional untuk
Pendidikan Orang Dewasa (International Council for Adult Education), mengatakan
bahwa masyarakat melek huruf yang dicita-citakan ternyata sampai kini tidak
tercapai. Di berbagai belahan bumi masalah buta huruf terus berlanjut. "Lokakarya,
pertemuan, dan berbagai macam kegiatan diadakan untuk membicarakan masalah
buta huruf, tetapi kenyataannya tetap saja kita tidak bisa menghapus buta huruf," kata
Lalita. Menurut Lalita, masalah buta huruf tak bisa lepas dari siapa dan mengapa hal
itu terjadi. Buta huruf pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat miskin yang
tak memiliki akses yang cukup baik terhadap pendidikan. Mereka adalah kelompok
yang ditinggalkan oleh masyarakat. Karena itu, kegiatan pemberantasan buta huruf
tak boleh dilepaskan dari isu keadilan sosial. Melepaskan kegiatan ini dari isu
keadilan sosial mengakibatkan kegiatan tersebut tidak relevan dengan kebutuhan
masyarakat bersangkutan. Tidak percaya Teeka Bhattarai dari Global Circle of
Reflect Practitoners, yang terlibat dalam aktivitas pendidikan untuk orang dewasa di
Nepal, menyatakan ketidakpercayaannya pada kegiatan pemberantasan buta huruf. Ia
berpendapat, program pemberantasan buta huruf hanya suatu cara untuk
menumbuhkan kesadaran sosial di kalangan masyarakat marjinal.
Shaheen Attiq Ur Rahman, yang telah puluhan tahun bergerak dalam memerangi buta
huruf yang dialami kaum perempuan di Pakistan, mengatakan bahwa yang lebih
urgen dilakukan bukan pemberantasan buta huruf, tetapi menyediakan air bersih bagi
desa-desa miskin di Pakistan. Sejumlah peserta juga menggugat pemahaman melek
huruf yang bias konsep modernisasi di Barat. Mereka yang tidak bisa baca-tulis huruf
atau angka dikategorikan sebagai masyarakat terbelakang, dan tidak
memperhitungkan pengetahuan mereka terhadap nilai-nilai dan budaya tradisional.
Terlepas dari berbagai gugatan itu, lokakarya menyimpulkan bahwa pemberantasan
buta huruf tetap harus menjadi prioritas pendidikan untuk orang dewasa.
Pemberantasan buta huruf juga harus menjadi perhatian pemerintah maupun
organisasi-organisasi di luar pemerintah.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari paparan tentang konsep keadilan diatas dapat kita tarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Keadilan merupakan peringkat tertinggi dalam menentukan segala bentuk
permasalahan yang ada hubungannya dengan kepentingan orang banyak. Perintah
berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian
berlaku adil pun mesti ditegakkam di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu
sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.
Maka hanya dengan menerapkan konsep keadilan yang ideal seperti itu, maka
umat Islam pada khususnya akan terbebas dari belenggu perbudakan kaum
impratif modern.
2. Keadilan : itu adalah amar ma’ruf nahi mungkar. Amar ma’ruf berarti
hukum Islam digerakkan untuk dan merekayasa umat manusia untuk menuju
tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhoi Allah. Konsep keadilan
di Indonesia saat ini telah menjadi suatu perdebatan yang hangat di antara
penegak keadilan itu sendiri, yang pada akhirnya penegak keadilan sendiri
kesulitan untuk merumuskan konsep keadilan ala Indonesia. Isu yang sangat
popular dilingkungan pengadilan di Indonesia sendiri ada istilah tebang pilih.
3. Banyak Ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita (umatnya) untuk
berbuat adil, sementara kita (hambanya), lalai terhadap perintah itu, dikarenakan
karena adanya kepentingan-kepentingan lain, dan kadangkala keadilan dalam
Islam hanya dalam tataran wacana akademis, yang hanya diperdebatkan dalam
forum-forum keadilan ansih. Terlepas dari itu semua implikasi dan
implementasinya masih jauh dari harapan.
DAFTAR PUSTAKA

- Ali Hasan, Usman, (2001) Penyimpangan Aqidah dari Manhaj


Ahlussunnah, Solo: Al-Qowam
- Budi Utomo, Setiawan, (2003) Fiqih Aktual, Jakarta: Gema
Insani S. Praja, Juhaya, (1995) Filsafat Hukum Islam, Bandung: LPPM, UNISBA,
- Syaltut, Mahmud (2000), Fiqih Tujuh Madzhab, Bandung: CV.
Pustaka SetiaKOMPAS: Edisi 16 Desember 2004, Membongkar Akar Ketidakadilan
Nata, Abuddin, (20)
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang……………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………… 2
A. Pengertian Keadilan………………………………………………….. 4
B. Permasalahan…………………………………………………………. 6
C. Membongkar Akar Ketidakadilan Melalui Pesantren……………….. 7

BAB III PENUTUP……………………………………………………………….. 12


A. Kesimpulan…………………………………………………………… 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………. 13
PENIKAHAN DINI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Pendidikan Agama Islam

DOSEN PENGAJAR
Bapak H. Abdul Mutolib

DISUSUN OLEH:
YULITA SARI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE)


BINA BANGSA
SERANG-BANTEN 2010
KATA PENGANTAR

Rasa syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
keridhoannya saya bisa menyelesaikan makalah ini sesuai yang diharapkan.
Dalam makalah ini saya membahas tentang “PERNIKAHAN DINI”
Makalah in saya buay untuk memenuhi tugas pendidikan agama Islam guna untuk
memperdalam pemahaman kita tentang pernikahan dini, suatu harapan dari saya agar
makalah in diterima dan sebagai ilmu pengetahuan bagi para pembaca semua.
Dalam proses pembuatan makalah ini,tentunya saya mendapatkan
bimbingan,arahan,koreksi dan saran,untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya
saya sampaikan:
1) Allah swt yang selalu memberikan kemudahan dalam pembuatan makalah ini.
2) Bpk.H.Abdul Mutholib selaku dosen mata kuliah “Pendidikan Agama Islam”
3) Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah
ini
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
Serang,16 januari 2010
PENYUSUN

YULITA SARI

Anda mungkin juga menyukai