Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbankan syariah atau perbankan Islam (Arab: alMashrafiyah al-Islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum Islam (syariah). Pembentukan sistem ini berdasarkan adanya
larangan dalam agama Islam untuk meminjamkan atau memungut pinjaman
dengan mengenakan bunga pinjaman (riba), serta larangan untuk berinvestasi
pada usaha-usaha berkategori terlarang (haram). Sistem perbankan konvensional
tidak dapat menjamin absennya hal-hal tersebut dalam investasinya, misalnya
dalam usaha yang berkaitan dengan produksi makanan atau minuman haram,
usaha media atau hiburan yang tidak Islami, dan lain-lain.
Meskipun prinsip-prinsip tersebut mungkin saja telah diterapkan dalam
sejarah perekonomian Islam, namun baru pada akhir abad ke-20 mulai berdiri
bank-bank Islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta
atau semi-swasta dalam komunitas muslim di dunia.
Di Indonesia keberadaan perbankan Syariah secara hukum dimulai melalui
Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang kemudian diikuti
dengan pendirian bank syariah pertama di Indonesia, yaitu Bank Muamalat
Indonesia pada tahun 1992, yang kemudian diikuti dengan pembukaan pelayanan
bank Syariah dengan menampilkan Islamic Windows dari banyak bank
konvensional. Semakin berkembangnya perbankan syariah di Indonesia dirasakan
semakin perlunya sosialisasi atas apa dan bagaimana operasional Bank Syariah,
karena operasional perbankan syariah sangat berbeda dengan perbankan
konvensional.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah,
adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.

Apa yang dimaksud dengan bank syariah?

2.

Apa saja prinsip-prinsip bank syariah?

3.

Apa saja dasar hukum bank syariah di Indonesia?

4.

Apa saja produk-produk bank Syariah?

C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan
pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1.

Mengetahui pengertian bank syariah

2.

Mengetahui prinsip-prinsip bank syariah

3.

Mengetahui dasar hukum bank syariah di Indonesia

4.

Mengetahui produk-produk bank syariah

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Perbankan Syariah
Perbankan syariah atau perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari
oleh larangan dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam dengan bunga
atau yang disebut dengan riba serta larangan untuk melakukan investasi untuk

usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal usaha perjudian, pelacuran, dll)


dimana hal ini tidak dapat dijamin dalam sistem perbankan konvensional.
Adapun Bank syariah adalah bank yang dalam menjalankan operasinya
dengan sistem hukum islam (syariah). Fungsinya sama dengan bank konvensional
yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang dan jasa keuangan lainnya,
tetapi yang membedakan adalah cara operasi, produk, kesepakatan, dan sistemnya.
Berkembangnya bank-bank syariah di Indonesia dimulai sejak awal tahun
1990-an. Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalah
Indonesia. Berdiri tahun 1992, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) dan pemerintah serta dukunagan dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Saat ini keberadaan bank
syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya perbankan syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank
Muamalat Indonesia dengan tujuan mengakomodir berbagai aspirasi dan pendapat
di masyarakat terutama masyarakat Islam yang banyak berpendapat bahwa bunga
bank itu haram karena termasuk riba dan juga untuk mengambil prinsip kehatihatian. Apabila dilihat dari segi ekonomi dan nilai bisnis, ini merupakan terobosan
besar karena penduduk Indonesia 80% beragama islam, tentunya ini bisnis yang
sangat potensial. Meskipun sebagian orang islam berpendapat bahwa bunga bank
itu bukan riba tetapi faedah, karena bunga yang diberikan atau diambil oleh bank
berjumlah kecil jadi tidak akan saling dirugikan atau didzolimi, tetapi tetap saja
bagi umat islam berdirinya bank-bank syariah adalah sebuah kemajuan besar.
Meskipun bank syariah telah berdiri sejak awal tahun 1990-an, namun
keberadaanya masih kurang diminati masyarakat pada umumnya. Hal ini mungkin

berkaitan dengan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap produk atau jasa


yang ditawarkan dari bank-bank syariah tersebut dan atau kurangnya sosialisasi
dari produk dan jasa tersebut. Padahal dalam kaitannya dengan produk dan jasa,
ada perbedaan yang menyolok antara prinsip-prinsip pada produk dan jasa bank
syariah dengan prinsip dalam produk dan jasa bank konvensional.
Adapun beberapa daftar perbankan syariah di Indonesia antara lain:
1. PT. Bank Syariah Mandiri
2. PT. Bank Syariah Muamalat Indonesia
3. PT. Bank Syariah BNI
4. PT. Bank Syariah BRI
5. PT. Bank Syariah Mega Indonesia
6. PT. Bank Jabar dan Banten
7. PT. Bank Panin Syariah
8. PT. Bank Syariah Bukopin
9. PT Bank Victoria Syariah
10. PT BCA Syariah
11. PT Maybank Indonesia Syaria
B. Prinsip-prinsip Bank Syariah
Ada prinsip-prinsip dalam bank syariah yang membedakannya dengan bank
konvensional, antara lain :
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-wadiah)
Al-wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak
yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Aplikasinya dalam produk
perbankan, di mana bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan prinsip
ini yang dalam bank konvensional dikenal dengan produk giro. Sebagai
konsekuensi, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut
menjadi milik bank (demikian pula sebaliknya). Sebagai imbalan, si penyimpan
mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya, dan juga fasilitas-fasilitas giro
lain. Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus dapat
diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini dilakukan

dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan sekaligus


sebagai indikator kesehatan bank.
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Pada dasarnya prinsip ini terbagi atas :
a. Al-Mudharabah
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua
pihak,di mana pihak pertama menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain
menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung
oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si
pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pola
transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada:
tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah,
diterapkan untuk: pembiayaan modal kerja.
b. Al-Musyarakah
Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal.
Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Dalam sistem ini, terkandung apa yang biasa disebut di bank
konvensional sebagai sarana pembiayaan. Secara konkret, bila Anda memiliki
usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, Anda bisa menggunakan produk
al-musyarakah ini. Inti dari pola ini adalah, bank syariah dan Anda secara
bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan untuk
menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai penyertaan

dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Dalam bank


konvensional, pembiayaan seperti ini mirip dengan kredit modal kerja.
3. Prinsip Al-Murabahah
Dalam sistim ini, terjadi jual beli suatu barang pada harga asal dengan
tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual dalam
hal ini harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahan. Misalkan Anda membutuhkan kredit untuk
pembelian mobil. Dalam bank konvensional Anda akan dikenakan bunga dan
Anda diharuskan membayar cicilan bulanan selama waktu tertentu. Di sektor
perbankan, suku bunga yang berlaku mungkin saja berubah. Dalam sistem bank
syariah, tentu saja produk seperti ini juga tersedia. Namun bentuknya bukan
kredit, melainkan menggunakan prinsip jual-beli, yang diistilahkan dengan
Murabahah. Dalam hal ini, bank syariah akan membeli mobil yang Anda inginkan
terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada Anda. Tapi, karena bank
syariah menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada Anda, harganya
sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan buat bank syariah. Karena bentuk
keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka nilai cicilan yang harus
Anda bayarkan relative lebih tetap.
C. Dasar Hukum Bank Syariah di Indonesia
Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia
memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan
hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib
memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar
peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,

jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum


di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Adapun dasar hukum dari perbangkan syariah di Indonesia antara lain:
1. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut
sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi
teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan
kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat
terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar
dikategorikan sebagai norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan
yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam
Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan

prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan,

berwawasan

lingkungan,

kemandirian,

serta

dengan

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.


e. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini

menjaga

diatur dalam

undang-undang.
2. UU No.7 Tahun 1992
Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank
Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar
kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai
beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan
modal awal Rp.106.126.382.000,00.
Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama
di Indonesia adalah BPR Mardatillah (BPRMD) dan BPR Berkah Amal
Sejahtera. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di
Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus
1991.
Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan
pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang
diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan
bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud
dan kandungan peraturan tersebut.
3. UU No.10 Tahun 1998
Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank
nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
dengan prioritas koperasi, pengusaha kecil, dan menengah serta seluruh lapisan
masyarakat tanpa diskriminasi. Karena itu, UU No.10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan

kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan


kebutuhan masyarakat.
Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:
a. Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha
secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan
usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
b. Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat
untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka
kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip
Syariah.
Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan
Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10
Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan
kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah,
antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(ijarah wa iqtina).
4. UU No.23 Tahun 2003

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI


untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya
yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan
dual bank sistem.
5. UU No.21 Tahun 2008
Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah
adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul
setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan
yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undangundang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenisjenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan
pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut
Bank Perkreditan Rakyat sedangkan poin ke-9 menyebutkan dengan Bank
Pembiayaan Rakyat.
Usaha Bank Syariah dalam menjalankan fungsinya adalah menghimpun dana
dari nasabah dan menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad-akad yang terdapat
dalam ekonomi Islam. Seperti mudharabah, wadiah, masyarakah, murabahah,
atau akad-akad lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
6. Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah:
a. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam
kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa
bank syariah.
b. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia
No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah

10

c. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan


usaha berdasarkan prinsip syariah
7. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam
yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008:
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan
Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan
fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang
ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI
belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam
peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa
tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa
sepakat dengan pendapat mufti.
MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang
maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah
mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah. Di
antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem wadhiah, yaitu
pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang
berdasarkan Wadhiah ditentukan bahwa:
a. Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan
b. Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)

11

c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian


yang bersifat sukarela dari pihak bank
Meskipun demikian, kedudukan fatwa lebih cocok jika dikategorikan sebagai
doktrin hukum yang tidak terlalu kuat jika dijadikan sumber rujukan untuk
membuat suatu hukum apabila tidak dikonversi menjadi salah satu jenis produk
hukum yang terdapat dalam heirarki perundang-undangan.
8. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah
Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa
beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan
agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami
perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi
syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah
ekonomi Islam lainnya.
Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang
terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun
2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana
memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah
sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip
Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini
tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwafatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.
9. Dasar Hukum Islam (Rujukan)

12

a. Al-baqarah ayat 275


Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum
datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya.
b. Ar-Rum ayat 39
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya).
D. Produk-produk Bank Syariah
Secara garis besar produk perbankan syariah terbagi atas produk penyaluran
dana, penghimpunan dana dan produk jasa. Adapun penjelasan lebih rinci adalah
sebagai berikut :
1. Penghimpun Dana
Produk penghimpunan dana dibank syariah dapat berupa giro, tabungan, dan
deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana
masyarakat adalah wadiah dan mudharabah.
a. Wadiah

13

Prinsip Wadiah yang diterapkan dalam Perbankan syariah adalah


Wadiah Yad Dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam
konsep Wadiah Yad Dhamanah, Bank dapat mempergunakan dana yang
dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari dana
yang dititipkan.
b. Mudharabah
1) Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah yang tidak disertai dengan
pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal.
2) Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet adalah Aqad Mudarabah
yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal untuk
investasi-investasi tertentu.
3) Mudarabah of Balance Sheet
Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank bertindak sebagai arranger,
yang mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan
menjadi mudharib.
c. Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan syariah dilakukan apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
2. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar produk
pembiayaan syariah terbagi kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan
tujuan penggunaan yaitu :
a. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang yang
dilakukan dengan prinsip jual beli.
b. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan
dengan prinsip sewa.

14

c. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerja sama yang dituju guna


mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan
didepan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang
termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli
seperti murabahah, salam dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip
sewa atau ijarah. Sedangkan kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan
dari besarnya usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil
keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk
perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan
mudhrabah.
1) Prinsip jual beli (Bai)
Prinsip jual beli diadakan sehubungan dengan diadakannya perpindahan
kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank
ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu
penyerahan barang seperti :
a) Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli, dimana bank mendapat sejumlah
keuntungan. Dalam hal ini, bank menjadi penjual dan nasabah menjadi
pembeli. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu
pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah
disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
b) Salam
Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada, sehingga
barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh.
Dalam transaksi ini, bank menjadi pembeli dan nasabah menjadi penjual.

15

c) Istishna
Alur trankasksi Istishna mirip dengan Salam, hanya saja dalam Istishna,
Bank dapat membayar harga pembelian dalam beberapa kali termin
pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2) Prinsip Sewa (Ijarah)
Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli. Hanya saja yang
menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir
masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya
selama masa sewa akan dijual belikan antra Bank dan nasabah yang menyewa
(Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya
kepemilikan).
3) Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan dengan prinsip bagi hasil
adalah :
a) Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Dalam kerjasama
ini para pihak secara bersama-sama memadukan sumber daya baik yang
berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal proyek kerjasama,
dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.
b) Mudarabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan
bertindak sebagai pemilik modal, dan bank sebagai mudharib (pengelola).
Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau
ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan
oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan
dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
4) Akad Pelengkap

16

Untuk memudahkan pelaksanan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad


pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun
tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan
untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan
akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang
benar-benar timbul.
a) Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek
perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier
mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan
bank mendapat ganti biaya atas jasa.
b) Rahn
Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal dengan Gadai. Tujuan akad
Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank
dalam memberikan pembiayaan.
c) Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya dalam hal seorang calon haji
membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran
biaya perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada nasabah calon haji
tersebut dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan Hajinya.
d) Wakalah
Wakalah dalam praktek Perbankan syariah terjadi apabila nasabah
memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e) Kafalah
Kafalah dalam bahasa umum lebih dikenal dengan istilah Bank Garansi,
yang ditujukan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.

17

Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk


fasilitas ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan
prinsip wadiah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan
3. Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan pelayanan jasa perbankan kepada para
nasabahnya dengan mendapatkan imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa
perbankan tersebut antara lain berupa :
a. Sharf (Jual beli valuta asing)
Islam membolehkan jual beli valuta asing baik pada mata uang yang
sejenis maupun yang tidak sejenis tetapi dengan ketentuan jual beli tersebut
dilakukan dalam waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual
beli valuta asing ini.
b. Ijarah (sewa)
sebagaimana telah dijelaskan seperti diatas bahwa secara prinsip ijarah ini
sama dengan jual beli, hanya saja yang menjadi objek adalah manfaatnya. Pada
akhir masa sewanya dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil
manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antara bank dan nasabah yang
menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya
kepemilikan).
c. Pengiriman uang (Transfer) antar bank dan kliring
Jasa transfer dan kliring sudah biasa diindustri perbankan. Jasa ini
mempermudah transaksi yang dilakukan oleh pengguna (nasabah maupun bukan
dengan bank lain. Atas jasa ini, bank mengenakan biaya tertentu sesuai ketentuan
pihak bank sendiri
d. Penggunaan ATM bersama dengan bank lain
Penggunaan ATM bersama dengan bank lain akan memudahkan baik
nasabah bank tersebut maupun nasabah bank lain dalam melakukan transaksi-

18

transaksi keuangan. Imbalan yang diterima bank biasanya berupa biaya per
transaksi.
e. Pembayaran dan pembelian beberapa produk via bank.
Ketersedian layanan yang memudahkan nasabah dalam berbagai kegiatan
merupakan salah satu daya tarik bank. Saat ini, banyak bank yang telah bekerja
sama dengan pihak lain dalam memberikan kemudahan pembayaran dan
pembelian produk-produk tertentu, seperti pembayaran telepon, pajak, listrik,
biaya sekolah, pembelian voucher telepon pra bayar, premi asuransi dan angsuran
pinjaman/hutang. Dari transaksi ini, bank memperoleh keuntungan berupa
tambahan likuiditas semu dan fee tertentu sesuai kesepakatan bank dengan pihak
lain tersebut.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bank syariah adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

19

pembayaran. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan


prinsip syariah, demokrasi ekokomi, dan prinsip kehati-hatian. Di dalam bank
syariah terdapat suatu badan yang tidak ada di dalam bank-bank konvesional yaitu
Dewan Pengawas Syariah. Dewan ini memiliki tugas untuk meneliti produkproduk baru bank syariah dan memberikan rekomendasi terhadap produk-produk
baru tersebut serta membuat surat pernyataan bahwa bank yang diawasinya masih
tetap menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
B. Saran
Perbankan Syariah harus lebih banyak melakukan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai produk-produk maupun jasa Perbankan Syariah karena
masih banyak masyarakat yang kurang mengetahui tentang produk mapun jasa
perbankan syariah sehinga masyarakat enggan untuk memanfaatkannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Ascarya. (2008), Akad dan Produk Bank Syariah. PT RajaGrafindo Persada;
Jakarta.
Perwataatmadja, Karnaen A. (1992), Apa dan Bagaimana Bank Islam. DANA
BHAKTI WAKAF;Yogyakarta
Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga yang
terkait. Jakarta : PT.Raja Grafindo. 1996.
http://ekiszone.co.cc/category/perbankan-islam
http://lathifahbahrun.blogspot.com/2012/01/bank-syariah.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah

20

http://mochtohir.com/index.php?
option=comcontent&view=article&id=96:pengertian-hukum-perbankansyariah&catid=44:syariah&Itemid=170.
http://suriyadiadhi.blogspot.com/2012/07/perbankan-syariah-dan-asuransidalam.html
https://fakagamauisu.wordpress.com/admistrasi/pandangan-islam-terhadapkeberadaan-bank-syari%E2%80%99ah-dan-bank-konvensional/
http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1383143419&title=bank-syariah-samasaja-dengan-bank-konvensional-benarkah.html

21

Anda mungkin juga menyukai