PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Empowerment atau pemberdayaan adalah salah satu strategi atau
merupakan paradigma pembangunan yang dilaksanakan dalam kegiatan
pembangunan masyarakat, khususnya pada negara-negara yang sedang
berkembang. Pemberdayaan ini muncul dikarenakan adanya kegagalankegagalan yang dialami dalam proses dan pelaksanaan pembangunan yang
cenderung sentralistis seperti community development atau pengembangan
komunitas. Model ini tidak memberi kesempatan langsung kepada rakyat untuk
terlibat dalam proses pembangunan, terutama dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut pemilihan pejabat, perencanan, pelaksanaan dan
evaluasi program pembangunan.
Friedmann (1992) menawarkan konsep atau strategi pembangunan yang
populer
disebut
dengan
empowerment
atau
pemberdayaan.
Konsep
bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya,
yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Pada aspek dan sisi yang tertinggal
dalam masyarakat harus ditingkatkan nilainya dengan mengembangkan dan
mendinamisasikan potensinya, atau dengan kata lain memberdayakannya.
Pemberdayaan adalah perspektif yang lebih luas dari hanya sekedar
memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk
mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Kartasasmita (1996),
dengan mengutip pendapat beberapa ahli, melukiskan konsep pemberdayaan itu
sebagai suatu konsep yang tidak mempertentangkan antara pertumbuhan dengan
pemerataan, tetapi memadukan antara keduanya, karena sebagaimana dikatakan
oleh Brown (1995), kedua konsep tersebut tidak harus diasumsikan sebagai
tidak cocok atau berlawanan (incompatible or antithetical). Konsep
pemberdayaan bertitik tolak dari pandangan bahwa melalui pemerataan akan
tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan sekaligus akan
menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Karena konsep pemberdayaan tidak
mempertentangkan antara pertumbuhan dan pemerataan, maka dalam strategi
pembangunan harus ditujukan pada dua arah, yakni pada lapisan masyarakat
maju dan berada pada sektor modern, dan pada kelompok yang tertinggal dan
berada di sektor tradisional. Strategi pembangunan untuk kedua sektor tersebut
tidak dapat disamakan begitu saja.Jadi, intinya adalah bagaimana upaya untuk
membantu rakyat agar lebih berdaya, sehingga tidak hanya dapat meningkatkan
kapasitas dan kemampuannya dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki, tetapi
juga sekaligus akan meningkatkan kemampuan ekonomi nasional.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengertian
pemberdayaan masyarakat, unsure-unsur pemberdayaan masyarakat, proses
pemberdayaan masyarakat, tujuan dan pendekatan pemberdayaan masyarakat
serta metodologi evaluatif dalam pemberdayaan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan
mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang
kajian, artinya belum ada definisi yang tegas mengenai konsep tersebut. Namun
demikian, bila dilihat secara lebih luas, pemberdayaan sering disamakan dengan
perolehan daya, kemampuan dan akses terhadap sumber daya untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang
pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan
yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat.
1. Robinson (1994) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses
pribadi dan sosial; suatu pembebasan kemampuan pribadi, kompetensi,
kreatifitas dan kebebasan bertindak. Sedangkan Ife (1995) mengemukakan
bahwa pemberdayaan mengacu pada kata empowerment, yang berarti
memberi daya, memberi power (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang
kurang berdaya.
2. Payne (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan pada hakekatnya
bertujuan untuk membantu klien mendapatkan daya, kekuatan dan
kemampuan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang akan
dilakukan dan berhubungan dengan diri klien tersebut, termasuk
mengurangi kendala pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan..
Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui
kemandiriannya,
bahkan
merupakan
keharusan
untuk
lebih
good
governance,
dimana
dalam
salah
satu
Peran masyarakat madani harus dipandang sebagai hal yang dinamis dan
memberikan suatu peluang bagi pemerintah yang bermaksud membangun
kredibilitas negara (goo governance) melalui potensinya dalam membangun
koalisi dan aksi kolektif.
6. Mengalihkan Wewenang
Untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat yang sebenarnya suatu
birokrasi harus mampu dan rela mengalihkan wewenangnya pada masyarakat
apabila merasa sudah tidak mampu bekerja sebagai mana yang diamanatkan
oleh masyarakat supaya masyarakat mampu dan bisa melaksanakan
keinginannya sesuai dengan apa yang telah ia amanatkan kepada birokrasi itu
sendiri.
7. Perlindungan
Pemberdayaan masyarakat mengandung pula arti perlindungan, dalam proses
pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi bertambah yang lemah oleh
karena, kekurangan berdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu,
perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya
dalam konsep pemberdayaan mastarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi
atau menutupi dari interaksi. Karena hal itu justru akan mengerdilkan yang
kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upyah
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta eksploitasi
yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat
masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian.
Karena pada dasarnya setiap upa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha
sendiri (yang hasilnya dapat dikeluarkan dengan pihak lain). Dengan demikian
tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan dan
membangun kemampuan untuk mewujudkn diri kearah kehidupan yang lebih
baik secara sinambung.
8. Kesadaran
Untuk mencapai masyarakat yang berdaya,masyarakat harus menyadari dan
memahami apa yang ingin dan harus ia lakukan demi untuk bisa
mengembangkan dirinya dan kemampuannya serta kreativitasnya dalam
membuat dan menghasilkan sesuatu yang berguna bukan hanya untuk dirinya
tapi juga untuk masyarakat banyak.
C. Proses Pmberdayaan Masyarakat
Pranarka & Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan
mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan
atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan
pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna
pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungansekunder
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu
agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apayang
menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Sumardjo (1999) menyebutkan
ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu:
1
Mampu
memahami
diri
dan
potensinya,mampu
merencanakan
masyarakat
berdaya
adalah
termotivasi,berkesempatan,
masyarakat
memanfaatkan
yang
tahu,
peluang,
mengerti,
berenergi,
faham
mampu
Dua
metoda penelitian evaluatif yang bersifat bottom-up adalah rapid rural appraisal
(RRA), dan participatory rural appraisal (PRA).
1. Metode Rapid Rural Appraisal (RRA)
Metoda RRA digunakan untuk pengumpulan informasi secara akurat
dalam waktu yang terbatas ketika keputusan tentang pembangunan perdesaan
harus diambil segera. Dewasa ini banyak program pembangunan yang
dilaksanakan sebelum adanya kegiatan pengumpulan semua informasi di
daerah sasaran. Konsekuensinya, banyak program pembangunan yang gagal
atau tidak dapat diterima oleh kelompok sasaran meskipun program-program
tersebut sudah direncanakan dan dipersiapkan secara matang, karena
masyarakat tidak diikutsertakan dalam penyusunan prioritas dan pemecahan
masalahnya.
2. Metode Participatory Rural Appraisal (PRA)
Konsepsi dasar pandangan PRA adalah pendekatan yang tekanannya
pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan. Metoda PRA
10
diberdayakan
dapat
memberikan
sumbangsih
signifikan
bagi
pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal ini ditunjukkan oleh hasil kajian
berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for Agriculture
(IFAD) yang menunjukkan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasilkan
masyarakat lapisan bawah telah memberikan sumbangan bagi pertumbuhan
11
yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor
yang skalanya lebih besar. Pertumbuhan tersebut dihasilkan bukan hanya
dengan biaya yang lebih kecil, tetapi juga dengan devisa yang lebih kecil
(Kartasasmita, 1996). Hal yang demikian ini sudah barang tentu besar artinya
bagi negara-negara berkembang yang sering mengalami kelangkaan devisa
dan lemah posisi neraca pembayaran luar negerinya.
Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Brautigam (1995) di Taiwan
juga menunjukkan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan
beriringan. Taiwan adalah salah satu negara dengan tingkat kesenjangan yang
paling rendah, tetapi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, dan kondisi ini
dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Konsepnya adalah pembangunan
ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya
pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumberdaya
manusia.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa
masyarakat tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi
merupakan subyek dari upaya pembangunannya sendiri. Implementasi konsep
pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan telah banyak diterapkan di
berbagai negara. Salah satu contohnya adalah hasil penelitian yang dilakukan
Babajanian di Armenia (2005), yang menunjukkan bahwa partisipasi
masyarakat melalui organisasi sosial lokal memegang peranan penting dalam
keberhasilan proyek-proyek pembangunan di negara tersebut.
BAB III
PENUTUP
Konsep pemberdayaan mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang
memiliki karakteristik dengan berfokus pada rakyat (people-centered), partisipatif
12
(participatory),
memberdayakan
(empowering),
dan
berkesinambungan
(sustainable) (Chambers, 1995). Karena itu konsep ini merupakan sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang di dalamnya mencakup nilai-nilai sosial.
Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat
tidak dijadikan obyek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subyek
dari upaya pembangunannya sendiri. Implementasi konsep pelibatan masyarakat
dalam proses pembangunan telah banyak diterapkan di berbagai negara.
Daya kemampuan yang dimaksud untuk pemberdayaaan masyarakat adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya
yang bersifat fisik/material. Kondisi kognitif pada hakikatnya merupakan
kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang
dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif
merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk dan diarahkan pada
perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai pemberdayaan masyarakat. Kondisi afektif
adalah merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu yang diharapkan dapat
diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan
psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai
upaya mendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
Friedman, John, Empowerment: The Politics of Alternative Development. Cambridge:
Blackwell, 1992.
13
Goulet, Denis, The Cruel Choice: A New Concept in the Theory of Development;
New York: Atheneum, 1977.
Kartasasmita, Ginandjar. Makalah: Dewan Perwakilan Daerah dan Otonomi Daerah.
Disampaikan pada Seminar Nasional, Institut Teknologi Bandung (ITB) Dalam
Rangka Memperingati Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Bandung, 17 Mei
2008.
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Robert Chambers. 1992. Participatory Rural Appraisal. Memahami Desa Secara
Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.
14