keempat belas ataupun hari keduapuluh satu. Sedangkan Imam Malik berpendapat
bahwa sembelihan 'Aqiqah pada hari ketujuh hanya sekedar sunnah, jika 'Aqiqah
disembelih pada hari keempat, atau kedelapan ataupun kesepuluh ataupun
sesudahnya maka hal itu dibolehkan.
Menurut hemat penulis, jika seorang ayah mampu untuk menyembelih 'Aqiqah
pada hari ketujuh, maka sebaiknya ia menyembelihnya pada hari tersebut.
Namun, jika ia tidak mampu pada hari tersebut, maka boleh baginya untuk
menyembelihnya pada waktu kapan saja. 'Aqiqah anak laki-laki berbeda dengan
'Aqiqah anak perempuan. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sesuai Hadits
yang telah kami sampaikan di atas. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
'Aqiqah anak laki-laki sama dengan 'Aqiqah anak perempuan, yaitu sama-sama 1
ekor kambing. Pendapat ini berdasarkan riwayat bahwa Rasulullah saw
meng-'Aqiqah- i Sayyidina Hasan dengan 1 ekor kambing, dan Sayyidina Husein
'keduanya adalah cucu beliau saw' dengan 1 ekor kambing.
***
Bisa kita simpulkan bahwa jika seseorang berkemampuan untuk menyembelih 2
ekor kambing bagi 'Aqiqah anak laki-lakinya, maka sebaiknya ia melakukannya,
namun jika tidak mampu maka 1 ekor kambing untuk 'Aqiqah anak laki-lakinya
juga diperbolehkan dan mendapat pahala. Wallahu A'lam.
Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara
'Aqiqah anak laki-laki dan anak perempuan, maka bisa kita jawab, bahwa seorang
muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah swt, meskipun ia tidak
tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Barangkali juga
kita bisa mengambil hikmahnya yaitu untuk memperlihatkan kelebihan seorang
laki-laki dari segi kekuatan jasmani, juga dari segi kepemimpinannya
(qawwamah) dalam suatu rumah tangga. Wallahu A'lam.
Dalam penyembelihan 'Aqiqah, banyak hal yang perlu diperhatikan, di antaranya,
sebaiknya tidak mematahkan tulang dari sembelihan 'Aqiqah tersebut, dengan
hikmah tafa'ul (berharap) akan keselamatan tubuh dan anggota badan anak
tersebut. 'Aqiqah sah jika memenuhi syarat seperti syarat hewan Qurban, yaitu
tidak cacat dan memasuki usia yang telah disyaratkan oleh agama Islam. Seperti
dalam definisi tersebut di atas, bahwa 'Aqiqah adalah menyembelih kambing pada
hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah.
Tetapi boleh juga mengganti kambing dengan unta ataupun sapi dengan syarat
unta atau sapi tersebut hanya untuk satu anak saja, tidak seperti kurban yang mana
dibolehkan untuk 7 orang. Tetapi, sebagian ulama berpendapat bahwa 'Aqiqah
hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang
dari Rasulullah saw. Wallahu A'lam.
Ada perbedaan lain antara 'Aqiqah dengan Qurban, kalau daging Qurban dibagibagikan dalam keadaan mentah, sedangkan 'Aqiqah dibagi-bagikan dalam
keadaan matang. Kita dapat mengambil hikmah syariat 'Aqiqah. Yakni, dengan
'Aqiqah, timbullah rasa kasih sayang di masyarakat karena mereka berkumpul
dalam satu walimah sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt. Dengan 'Aqiqah
pula, berarti bebaslah tali belenggu yang menghalangi seorang anak untuk
memberikan syafaat pada orang tuanya. Dan lebih dari itu semua, bahwasanya
'Aqiqah adalah menjalankan syiar Islam. Wallahu A'lam.
Referensi utama : Tarbiyatul Awlid, DR. Abdullah Nashih Ulwan.
Hukum Aqiqah
Pertanyaan
Assalamualaikum wr. Wb.
Kami ingin bertanya tentang masalah aqiqah :
1.
Bagaimana hukumnya aqiqah?
( )
Dari Ibnu Abbas r.a., sesungguhnya rasulullah s.a.w. mengaqiqahkan
(cucunya) Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing HR.
Abu Dawud
( )
Dari Aisyah r.a., sesungguhnya rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada
para sahabat untuk mengaqiqahkan anak laki-lakinya dengan dua
kambing yang besar dan anak perempuan satu kambing HR. al-Tirmidzi,
dan menurutnya hadis ini shahih.
( )
Dari Samurah r.a., nabi s.a.w. bersabda: setiap anak digadaikan dengan
aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke 7 kelahirannya, dan
dicukur rambutnya dan diberi nama HR. Ahmad, dan dianggap shahih
oleh at-Tirmidzi.
Menjawab pertanyaan bapak tentang hukum aqiqah, perlu bapak
ketahui bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Secara
ringkas bisa saya uraikan sbb:
Pelaksanakan aqiqah wajib hukumnya. Pendapat ini merupakan
pendapat mazhab Zhahiriyah. Alasannya, hadis-hadis di atas dengan jelas
memuat kata perintah untuk melaksanakan aqiqah bagi anak yang
dilahirkan. Setiap kata perintah dalam nash menunjukkan hukum wajib
terhadap suatu hal yang diperintahkan, selagi tidak ada nash lain yang
menyatakan bahwa hal yang diperintahkan tadi tidak wajib. Menurut
mazhhab ini, dalam hal aqiqah tidak ditemukan nash yang menunjukkan
bolehnya tidak melaksanakan aqiqah. Oleh karenanya hukumnya tetap
wajib. Dalam hal ini Ibnu Hazm, ulama mazhab Zhahiriyah, menyatakan:
(526 7 )
perintah rasulullah s.a.w. untuk melaksanakan aqiqah menunjukkan
bahwa hukumnya wajib, karenanya tidak boleh bagi siapapun untuk
mengartikan lain dari perintah beliau, misalnya menyatakan bolehnya
tidak melaksanakannya, kecuali ada nash yang jelas menunjukkan hal
tersebut. Jika tidak ada nash, maka pendapat seperti itu jelas keliru, yang
tidak didasarkan atas ilmu
2.
3.
"
(447 8 " )
Dalam hal aqiqah ada dua kelompok orang yang kebablasan, pertama yang
menyatakan aqiqah wajib, dan kedua yang menyatakan aqiqah bidah
Pertanyaan kedua tentang Manfaat aqiqah. Perlu kita yakini bahwa setiap
yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti akan membawa manfaat bagi yang
melaksanakannya, termasuk aqiqah. Para ulama telah mengungkap berbagai
hikmah dari aqiqah, misalnya sebagaimana yang diuraikan oleh imam ar-Ramli,
salah satu ulama besar mazhab Syafiiyyah, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj
syarh al-Minhaj sbb:
hikmah dari aqiqah adalah untuk menampakkan rasa gembira dan rasa syukur
atas nikmat yang telah dianugerahkan. Dan untuk menyiarkan kepada publik
tentang adanya ikatan nasab (antara orang tua dan anak yang dilahirkan)
Keterangan imam ar-Ramli tersebut menegaskan bahwa selain sebagai ungkapan
rasa syukur orang tua atas nikmat dianugerahi seorang anak, aqiqah juga dapat
menjadi media untuk mengumumkan kepada publik bahwa anak yang telah
dilahirkan tersebut adalah bagian dari keluarga tersebut, sehingga di kemudian
hari jika ada perkara perdata, misalnya masalah waris ataupun pernikahan, maka
publik bisa menjadi saksi dari hal tersebut. Tentu saja ini sangat bermanfaat bukan
saja bagi orang tua, tapi juga bagi si anak.
Pertanyaan ketiga, yakni bila seorang bayi yang baru lahir meninggal, apakah
kedua orang tuanya juga beraqiqah?
Sebelum menjawab, saya ingin mengingatkan bahwa sebagaimana disebutkan
dalam hadis di atas bahwa aqiqah sebaiknya dilakukan pada hari ke tujuh setelah
kelahiran. Namun demikian, setelah hari ke tujuh lewat tetap saja disunnahkan
untuk melaksanakan aqiqah, karena menurut sebagian riwayat yang shahih bahwa
rasululah s.a.w. sendiri melaksanakan aqiqah bagi dirinya ketika umur 40 tahun.
Nah, waktu tujuh hari dari masa kelahiran inilah yang menjadi titik pangkal
perbedaan ulama dalam menghukumi apakah masih tetap disunnahkan aqiqah
ketika bayinya meninggal. Menurut sebagian besar ulama Syafiiyyah, jika bayi
meninggal, baik sebelum atau setelah umur tujuh hari, tetap disunnahkan untuk
diaqiqahkan. Tetapi ada juga ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa syariat
aqiqah menjadi gugur seiring dengan meninggalnya si anak tersebut.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah apabila umur anak yang meninggal tersebut
kurang dari tujuh hari, maka tidak disunnahkan untuk diaqiqahkan, karena belum
mencapai usia tujuh hari yang merupakan waktu dianjurkannya untuk
melaksanakan aqiqah, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis di atas. Akan tetapi
Dalam kitab Badai as-Shanai, kitab mazhab Hanafiyah, disebutkan sbb:
apabila meninggalnya setelah umur 7 hari maka tetap disunnahkan untuk
11 ) .
diaqiqahkan.
Pertanyaan terakhir, dapatkah biaya pembelian kambing untuk aqiqah didapatkan
(12
Aqiqah disyariatkan sebelum datangnya syariat kurban, setelah turun dari meminjam?
syariat kurban maka syariat aqiqah digantikan oleh syariat kurban. Perlu saya sampaikan bahwa aqiqah, sebagaimana uraian di atas, hukumnya
Sebelum turunnya syariat kurban, hukum aqiqah tidaklah wajib, tapi hanya adalah sunnah. Artinya, bagi orang yang tidak mempunyai kelebihan dana untuk
merupakan keutamaan saja. Suatu keutamaan jika telah diganti oleh syariat beraqiqah, maka tidak usah dipaksakan, misalnya dengan meminjam. Allah SWT
tidak mentaklifkan (membebankan) sesuatu kecuali sesuai kemampuanya.
lainnya maka hukumnya menjadi makruh.
Dari ketiga pendapat tersebut MUI lebih condong kepada pendapat Di samping itu, kalau belum mampu diaqiqahkan pada saat umur 7 hari, maka
kedua yang menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah. Menurut MUI, boleh dilaksanakan setelah itu, ketika kondisi keuangan sudah memungkinkan.
dalil dan argumentasi (hujjah) kelompok kedua ini lebih kuat. Hadis yang Bahkan kalau misalnya orang tua belum mampu mengaqiqahkan anaknya sampai
dipakai dalil oleh mazhab Hanafiyah adalah hadis yang dhaif (lemah) oleh orang tua tersebut meninggal, maka juga tidak berdosa. Si anak setelah besar dan
karenanya tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan suatu hakum. Al- mampu tetap disunnahkan untuk mengaqiqahkan dirinya, sebagaimana yang
dilakukan oleh rasulullah s.a.w. Namun demikian apabila orang tua tetap
Imam as-Syafii rahimahumullah menyatakan:
Hukumnya Sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat sebagian
besar ulama (jumhur ulama), misalnya mazhab Syafiiyyah, mazhab
Malikiyah, dan sebagian besar Mazhab Hanabilah. Alasannya, bahwa
kalimat perintah dalam hadis-hadis di atas tidak menunjukkan hukum wajib,
tapi menunjukkan hukum sunnah, karena ada hadis lain yang menunjukkan
bahwa aqiqah tidak wajib, sbb:
( )
Dari Amr bin Syuaib, dari bapaknya, dari kakeknya, radhiallahu anhum,
ketika ditanya tentang aqiqah, rasulullah s.a.w. menjawab: Allah SWT tidak
menyukai kata aqiqah (seakan beliau tidak suka menyebut istilah tersebut),
beliau melanjutkan: siapa yang mempunyai anak dan ingin mendapatkan
pahala, maka lakukanlah (aqiqah tersebut), bagi anak laki-laki dua ekor
kambing dan bagi anak perempuan satu ekor kambing HR. Abu Dawud
Selain itu, kelompok ini juga beralasan bahwa aqiqah tidak disebabkan oleh
nazar dan pelaksanaan hukum pidana, oleh karenanya hukumnya tidak
wajib, sebagaimana disampaikan oleh al-Imam an-Nawawi sbb:
)
(342 8
(tidak wajib) karena (aqiqah adalah) mengalirkan darah (menyembelih
kambing) tidak disebabkan oleh adanya hukum pidana, dan tidak
disebabkan oleh nazar, karenanya hukumnya tidak wajib, seperti hukum
berkurban
Hukumnya Makruh. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab
Hanafiyah. Alasannya, bahwa aqiqah merupakan tradisi jahiliyah dan
diteruskan ketika datang Islam, akan tetapi kemudian tradisi ini dihapus
dengan syariah kurban (udhhiyah). Dalilnya adalah hadis berikut:
- -
.
Dari Ali r.a., rasulullah s.a.w. bersabda: kurban mengganti (hukum) setiap
sembelihan (misalnya untuk aqiqah), puasa Ramadhan mengganti semua
puasa, mandi janabah menganti setiap mandi, dan zakat menasakh semua
sedekah HR. Daru Quthni
Aqiqah
Pengertian
Aqiqah berasal dari kata Aqq yang berarti memutus dan melubangi, dan
ada yang mengatakan bahwa aqiqah adalah nama bagi hewan yang
disembelih, dinamakan demikian karena lehernya dipotong, dan dikatakan
juga bahwa ia adalah rambut yang dibawa si bayi ketika lahir. (Lihat:
Subulussalam 4/189, dan Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/33).
Adapun maknanya secara syariat adalah hewan yang disembelih untuk
menebus bayi yang dilahirkan.(Lihat: Ibid, dan Mukhtashar Al Fiqhil
Islamiyy
600).
Hukum
Hukum aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunnah
muakkadah, dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama, berdasarkan anjuran
Rasulullah
SAW
dan
praktek
langsung
beliau
SAW.
Artinya :Bersama anak laki-laki ada aqiqah, maka tumpahkan
(penebus)darinya darah (sembelihan) dan bersihkan darinya kotoran
(Maksudnya cukur rambutnya). ( HR Ahmad,Al Bukhari dan Ashhabus
Sunan)
Perkataannya, maka tumpahkan (penebus) darinya darah (sembelihan),
adalah perintah, namun bukan bersifat wajib, karena ada sabdanya yang
memalingkan
dari
kewajiban
yaitu
:
Artinya : Barangsiapa di antara kalian ada yang ingin menyembelihkan
bagi anaknya, maka silahkan lakukan.(Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan
An
Nasai
dengan
sanad
yang
hasan).
Perkataan beliau, ingin menyembelihkan, merupakan dalil yang
memalingkan perintah yang pada dasarnya wajib menjadi sunnah.(Lihat:
Subulussalam
4/190).
Hikmah
Hikmah
aqiqah
adalah
sebagai
berikut
:
Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim AS, tatkala Allah menebus putra
Ibrahim
yang
tercinta
Ismail
AS.
Dalam aqiqah ini mengandung unsur pengusiran syaithan dari
mengganggu anak yang terlahir itu, dan ini sesuai dengan makna hadits :
Artinya :Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.(Hadits shahih riwayat
Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Dan Ibnu Majah)
Maksudnya bahwa lepasnya dia dari syaithan tergadai oleh aqiqahnya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah
rahimahullah.( Lihat: Tuhfatul Wadud Fi Ahkamil Maulud, Ibnu Al Qayyim
46-47).
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan : Dia tergadai dari memberikan
Syafaat
bagi
kedua
orang
tuanya
(dengan
aqiqahnya).
Merupakan bentuk taqarrub kepada Allah dari si anak di saat awal dia
keluar di dunia, dan si anak sangat mengambil manfaat darinya sebagaimana
dia mengambil manfaat dengan doa.(Lihat: Al Asilah Wal Ajwibah Al
Fiqhiyyah
3/39-40).
Dan sebagai ungkapan syukur nikmat atas dikaruniakan anak.
Hewan
sembelihannya
:
Hewan yang dibolehkan disembelih untuk aqiqah adalah sama seperti hewan
yang dibolehkan disembelih untuk qurban, dari sisi usia dan kriteria. (Lihat:
Mukhtashar
Al
Fiqhil
Islamiyy
600).
Imam Malik rahimahullah berkata : Aqiqah itu seperti layaknya nusuk
(sembelihan denda larangan haji) dan udhhiyah (qurban), tidak boleh dalam
aqiqah ini hewan yang picak, kurus, patah tulang, dan sakit. (Lihat: Tuhfatul
Wadud
97).
Imam Asy Syafiiy rahimahullah berkata : Dan harus dihindari dalam hewan
aqiqah ini cacat-cacat yang tidak diperbolehkan dalam qurban.(Lihat:
Tuhfatul
Wadud
94).
Ibnu Abdul Barr berkata : Para ulama telah ijma bahwa di dalam aqiqah ini
tidak diperbolehkan apa yang tidak diperbolehkan di dalam udhhiyah,
(harus) dari Al Azwaj Ats Tsamaniyyah (kambing, domba, sapi dan unta),
kecuali pendapat yang ganjil yang tidak dianggap. (Lihat: Tuhfatul Wadud
94).
Namun di dalam aqiqah tidak diperbolehkan berserikat sebagaimana dalam
udhhiyah, baik kambing/domba, atau sapi atau unta.(Lihat: Mukhtashar Al
Fiqhil Islamiyy 600). Sehingga bila seseorang aqiqah dengan sapi atau unta,
itu hanya cukup bagi satu orang saja, tidak boleh bagi tujuh orang.
Kadar
jumlah
hewan
:
Kadar aqiqah yang mencukupi adalah satu ekor baik untuk laki-laki atau pun
untuk perempuan, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas :
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW mengaqiqahi Hasan dan Husain satu
domba satu domba. (Hadits shahih riwayat Abu Dawud dan Ibnu Al Jarud)
Ini adalah kadar cukup dan boleh, namun yang lebih utama adalah
mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua ekor, ini berdasarkan hadits-hadits
berikut
ini
:
Ummu
Kurz
Al
Kabiyyah
berkata
:
Artinya : Nabi SAW memerintahkan agar disembelihkan aqiqah dari anak
laki-laki dua ekor domba dan dari anak perempuan satu ekor.(Hadits
Dari
Aisyah
radhiyallahu
'anha
berkata
:
Artinya : Nabi SAW memerintahkan mereka agar disembelihkan aqiqah dari anak
laki-laki dua ekor domba yang sepadan dan dari anak perempuan satu ekor.
(
Shahih
riwayat
At
Tirmidzi)
Dan karena kebahagian dengan mendapatkan anak laki-laki adalah berlipat dari
dilahirkannya anak perempuan, dan dikarenakan laki-laki adalah dua kali lipat
wanita dalam banyak hal.(Lihat: Al Asilah Wal Ajwibah Al Fiqhiyyah 3/35).
Dan ketika menyembelihnya si tukang sembelih mengatakan : Bismillah laka wa
ilaika, Allahumma hadzihi aqiqatu fulan (disebut nama si anak), berdasarkan
perkataan Nabi SAW di dalam hadits Aisyah radhiyallahu 'anha :
Artinya : Sembelihlah atas namanya, maka katakanlah : Dengan nama Allah,
karena-Mu, untuk-Mu, Ya Allah ini aqiqah sifulan.(HR Ibnu Al Mundzir, beliau
berkata
:
Ini
hasan)
Ibnu Al Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah berkata : Dan bila telah berniat aqiqah
dan dia tidak mengucapkan ucapan itu maka itu juga cukup Insya Allah. (Lihat: Al
Ajwibah
3/41,
Tufatul
Wadud
111).
Waktu
pelaksanaannya
:
Pelaksanaan aqiqah disunnahkan pada hari yang ketujuh dari kelahiran, ini
berdasarkan
sabda
Nabi
SAW
:
Artinya : Setiap anak itu tergadai dengan hewan aqiqahnya, disembelih darinya
pada hari ke tujuh, dan dia dicukur, dan diberi nama.(Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Ashhabus Sunan, dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)
Dan bila tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh, maka bisa dilaksanakan
pada hari ke empat belas, dan bila tidak bisa, maka pada hari ke dua puluh satu,
ini berdasarkan hadits Abdullah Ibnu Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW,
beliau
berkata
:
Artinya : Hewan aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh, ke empat belas, dan ke
dua puluh satu.(Hadits riwayat Al Baihaqiy dan Ibnu As Sunniy serta Al Hafidh
menyebutkannya
dalam
At
Talkhish
dan
tidak
mencelanya)
Namun setelah tiga minggu masih tidak mampu maka kapan saja pelaksanaannya
di kala sudah mampu. (Lihat: Al Ajwibah 3/34, Al Muntaqaa 5/195, Mukhtashar
Al Fiqhil Islamiy 600, Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy 1/318, Fatawa Islamiyyah
2/325). Karena, pelaksanaan pada hari-hari ke tujuh, ke empat belas dan ke dua
puluh satu adalah sifatnya sunnah dan paling utama bukan wajib. Dan boleh juga
melaksanakannya sebelum hari ke tujuh. (Lihat: Mulakhkhash Al Fiqhil Islamiy
1/318).
Bayi yang meninggal dunia sebelum hari ketujuh disunnahkan juga untuk
disembelihkan aqiqahnya, bahkan meskipun bayi yang keguguran dengan syarat
sudah berusia empat bulan di dalam kandungan ibunya. (Lihat: Fatawa
Islamiyyah
2/327).
Aqiqah adalah syariat yang ditekan kepada ayah si bayi. Namun bila seseorang
yang belum di sembelihkan hewan aqiqah oleh orang tuanya hingga ia besar,
maka dia bisa menyembelih aqiqah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan
berkata : Dan bila tidak diaqiqahi oleh ayahnya kemudian dia mengaqiqahi
dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa menurut saya, wallahu Alam. (Lihat:
Al Muntaqaa 5/196)