Rindu itu masih membekas, jiwa yang sepi tersayat penyesalan Engkau puisi yang tak sempat aku maknai Hangat cintamu tertuang laksana secangkir kopi Legam di mata, pahit rasa terlanjur larut dalam persepsi Tiada tersentuh oleh jemari, hingga dinding cangkir melepas panas energi Hangatnya tersapu oleh badai imaji yang derunya ideal sekali Masih engkau tunggui aku Dalam kehampaan mencoba menghibur diri Ceriamu mulai luntur seiring asap hangat kopi yang perlahan berhenti mengepul Tak jua ku pahami arti pucat pasi, sembunyi menepi kau tulis puisi Secarik kertas usang tempat mencurah Rasa terpendam kau paksa congkel ke permukaan lewat tajam pena Kau acuhkan egomu namun tiada bergeming aku terbuai imaji Dengan segenap cinta yang masih tersisa kau tampar agar aku tersadar Cangkir keramik pun akan retak bila terlalu lama menampung harapan Kini engkau pergi Meninggalkan noda pada secarik kertas bergoreskan larik puisi Perlahan coba ku pahami, aksara isyaratkan cinta Namun engkau terlanjur pergi wahai puisi Berlari dan mendekap jiwa merela diri mengemis apresiasi Larut dalam hangatnya nafsu dunia seperti serbuk kopi lupa diri Mungkin kau telah membenci Meski sempat aku seruput cicipi secangkir dingin kopi Bagimu nikmatnya tlah tumpah percuma Tinggallah kini hambar ampas residu Seperti tak pernah kita tambahkan gula dan mengaduknya rata Manis cinta hanya ujung lidah yang peka Andai engkau kembali, tamparlah aku dan caci maki Akan ku balas dengan dekap hangat dari hati Agar malaikat cinta menjadi saksi, berkenan hadir sekali lagi Hangatkan kembali kopi dingin basi, terbitkan mentari di wajah pucat pasi Selarik puisi ternoda kopi, kini aku mengerti arti cinta suci.