Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronis


1. Definisi Gagal Ginjal Kronis
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi
pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal
(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut Nursalam (2006), gagal ginjal kronis (chronic renal
failure) adalah kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan
ditandai dengan uremia (urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar
dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal. Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap
akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel
dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Smeltzer dan Bare, 1997
dalam Suharyanto dan Madjid, 2009).
Menurut Brunner & Suddarth (2002), gagal ginjal kronis atau
penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal
yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk

mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,


menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam
darah). Gagal ginjal kronis menurut The Kidney Outcomes Quality
Initiative (K/DOQI) of National Kidney Foundation (NKF) pada tahun
2009 adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama atau lebih tiga bulan
dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/men./1,73 m2
(Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2003).

2. Kalsifikasi Gagal Ginjal Kronis


Menurut Suharyanto dan Madjid (2009), gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu :
Klasifikasi Penyakit
Penyakit infeksi dan peradangan

Penyakit
Pielonefritis kronik
Glomerulonefritis
Penyakit vaskuler hipertesif
Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan penyambung
Lupus eritematosus sistemik
Poliartritis nodusa
Sklerosis sistemik progresif
Gangguan kongenital dan herediter Penyakit ginjal polikistik
Asidosis tubulus ginjal
Penyakit metabolik
Diabetes Melitus
Gout Disease
Hipertiroidisme
Nefropati toksi
Penyalahgunaan analgesic
Nefropati timbale
Nefropati obstruksi
Saluran kemih bagian atas : kalkuli,
neoplasma, fibrosis retroperineal.
Saluran kemih bagian bawah :
hipertropi prostat, striktur uretra,
anomali leher kandung kemih dan
uretra.
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi
tiga stadium (Suharyanto dan Madjid, 2009), yaitu :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal


Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan
penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat
diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti.
b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal
Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi
telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan
kreatinin serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia
atau seting berkemih di malam hari sampai 700 ml dan poliuria
(akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.
c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya
sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 %
dari keadaan normal. Kreatinin serum dan BUN akan meningkat
dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit
dalam tubuh, yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom
uremik.
Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI)
(dalam Desita, 2010), gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan
berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke waktu sebagai berikut :
Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2)
Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2)
Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2)

Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2)


Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda
kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang
abnormal (Arora, 2009 dalam Desita, 2010).

3. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronis


Menurut

Perhimpunan

Dokter

Spesialis

Penyakit

Dalam

Indonesia (2006) patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya


tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang
masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokinin dan growth faktor.
Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh
peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron
yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi,
sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor seperti
transforming growth factor (TGF-). Beberapa hal juga yang dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas


interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus
maupun tubulointerstitial.
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal
LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang
ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30 % mulai terjadi keluhan pada
seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan
berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien memperlihatkan
gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah
dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi
saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga
akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia,
gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius
dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini
pasien dikataan sampai pada stadium gagal ginjal.

4. Etiologi Gagal Ginjal Kronis


Menurut Brenner dan Lazarus (1987, dalam Suharyanto dan
Madjid, 2009) penyebab penyakit ginjal stadium terminal yang paling
banyak di New England adalah :
Penyebab
Glomerulonefritis
Nefropati Diabetik
Nefrosklerosis Hipertensif
Penyakit ginjal polikistik
Pielonefritis kronis dan nefritis
interstitial lain

Perhimpunan

Nefrologi

Indonesia

Insiden
24 %
15 %
90 %
8%
8%

(Pernefri)

tahun

2000

(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006)


mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia,
yaitu :
Penyebab
Glomerulonefritis
Diabetes Melitus
Obstruksi dan infeksi
Hipertensi
Sebab lain

5.

Insiden
46, 39 %
18,65 %
12,85 %
8,46 %
13,65 %

Manifestasi Klinis Gagal Ginjal Kronis


Pada gagal ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh

kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan


gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari dan usia pasien (Brunner
& Suddarth, 2002).

Menurut Nursalam (2006), manifestasi klinis yang terjadi :


a. Gastrointestinal

: ulserasi saluran pencernaan dan


perdarahan.

b. Kardiovaskuler

: hipertensi, perubahan EKG, perikarditis,


efusi pericardium, tamponade pericardium.

c. Respirasi

: edema paru, efusi pleura, pleuritis.

d. Neuromuskular

: lemah, gangguan tidur, sakit kepala, letargi,


gangguan muskular, neuropati perifer,
bingung dan koma.

e. Metabolik/ endokrin

: inti glukosa, hiperlipidemia, gangguan


hormon seks menyebabkan penurunan
libido, impoten dan ammenore.

f. Cairan-elektrolit

: gangguan asam basa menyebabkan


kehilangan sodium sehingga terjadi
dehidrasi, asidosis, hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipokelemia.

g. Dermatologi

: pucat, hiperpigmentasi, pluritis, eksimosis,


uremia frost.

h. Abnormal skeletal

: osteodistrofi ginjal menyebabkan


osteomalaisia.

i. Hematologi

: anemia, defek kualitas flatelat, perdarahan


meningkat.

j. Fungsi psikososial

: perubahan kepribadian dan perilaku serta


gangguan proses kognitif.

B. Konsep Hemodialisa
1. Definisi
Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien
dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisys jangka pendek
(beberapa hari hingga beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD) yang
memerlukan terapi jangka panjang atau permanen. Tujuan hemodialisa
adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah
dan mengeluarkan air yang berlebihan (Suharyanto dan Madjid, 2009).
Menurut

Nursalam

(2006)

hemodialisa

adalah

proses

pembersihan darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisa


digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien
berpenyakit akut yang membutuhkan dialisis waktu singkat.
Bagi penderita gagal ginjal kronis, hemodialisa akan mencegah
kematian. Namun demikian, hemodialisa tidak menyembuhkan atau
memulihkan penyakit ginjal dan tidak mampu mengimbangi hilangnya
aktivitas metabolik atau endokrin yang dilaksanakan ginjal dan dampak
dari gagal ginjal serta terapinya terhadap kualitas hidup pasien (Brunner
& Suddarth, 2002).

2. Prinsip yang Mendasari Kerja Hemodialisa


Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan toksin dan
limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah
tersebut dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien.

Sebagian besar dializer merupakan lempengan rata atau ginjal serat


artificial berongga yang berisi ribuan tubulus selofan yang halus dan
bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan melewati
tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui
membrane semipermeabel tubulus (Brunner & Suddarth, 2002).
Terdapat tiga prinsip yang mendasari kerja hemodialisa, yaitu
difusi, osmosis, ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah
dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang
memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang
lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting
dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan
dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak
dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan
yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan
melalui penambahan tekanan negative yang dikenal sebagai ultrafiltrasi
pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada alat ini sebagai
kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Suharayanto dan Madjid, 2009).

3. Akses pada Sirkulasi Darah Pasien


Akses pada sirkulasi darah pasien terdiri atas kateter subklavikula
dan femoralis, fistula, tandur (Suharayanto dan Madjid, 2009).

a. Kateter subklavikula dan femoralis


Akses segera ke dalam sirkulasi darah

pasien pada

hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavikula untuk


pemakaian sementara. Kateter femoralis dapat dimasukkan ke dalam
pembuluh darah femoralis untuk pemakaian segera dan sementara.
b. Fistula
Fistula yang lebih permanen dibuat melalui pembedahan
(biasanya dilakukan pada lengan bawah) dengan cara menghubungkan
atau menyambung (anastomosis) pembuluh arteri dengan vena secara
side to side (dihubungkan antara ujung dan sisi pembuluh darah).
Fistula tersebut membutuhkan waktu 4 sampai 6 minggu menjadi
matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk
memberikan kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula
berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen
besar dengan ukuran 14-16. Jarum ditusukkan ke dalam pembuluh
darah agar cukup banyak aliran darah yang akan mengalir melalui
dializer. Segmen vena fistula digunakan untuk memasukkan kembali
(reinfus) darah yang sudah didialisis.
c. Tandur
Dalam menyediakan lumen sebagai tempat penusukan jarum
dialisis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepotong
pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-tex (heterograft)
atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut

dibuat bila pembuluh darah pasien sendiri tidak cocok untuk dijadikan
fistula.

4. Sistem Kerja Dializer


Terdapat 2 (dua) tipe dasar dializer (Suharyanto dan Madjid, 2009),
yaitu :
a. Pararel plate dializer
Pararel plate dializer, terdiri dari dua lapisan selotan yang dijepit oleh
dua penyokong. Darah mengalir melalui lapisan-lapisan membran,
dan cairan dialisa dapat mengalir dalam arah yang sama seperti darah,
atau dengan daerah berlawanan.
b. Hollow Fiber atau capillary dializer
Darah mengalir melalui bagian tengah tabung-tabung kecil, dan cairan
dialisa membasahi bagian luarnya. Aliran cairan dialisa berlawanan
dengan arah aliran darah.
Suatu sistem dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan
satu lagi untuk cairan dialisa. Bila sistem ini bekerja, darah mengalir dari
penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui dializer hollow fiber
dan kembali ke penderita melalui jalur vena.
Dialisat kemudian dimasukkan ke dalam dializer, dimana cairan
akan mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi di sepanjang membrane
dialisis melalui proses difusi, osmosis dan ultrafiltrasi.

Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa sehingga


mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal
ginjal. Unsur-unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat
dan glukosa. Urea, kreatinin, asam urat, dan fosfat dapat berdifusi dengan
mudah dari darah ke dalam cairan dialisis karena unsur-unsur ini tidak
terdapat dalam cairan dialisis. Natrium asetat yang lebih tinggi
konsentrasinya dalam cairan dialisis, akan berdifusi ke dalam darah.
Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis penderita
uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh penderita menjadi bikarbonat.
Glikosa dalam konsentrasi yang rendah (200 mg/100 ml) ditambahkan ke
dalam bak dialisis untuk mencegah difusi glukosa ke dalam bak dialisis
yang dapat mengakibatkan kehilangan kalori.
Heparin secara terus menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui
infuse lambat untuk mencegah pembekuan. Bekuan darah dan gelembung
udara dalam jalur vena akan menghalangi udara atau bekuan darah
kembali ke aliran darah. Waktu yang dibutuhkan seseorang untuk
melakukan hemodialisa adalah tiga kali seminggu, dengan setiap kali
hemodialisa 3 sampai 5 jam.

5. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Hemodialisa


Hemodilisa merupakan hal yang sangat membantu pasien sebagai
upaya

memperpanjang

usia

penderita.

Hemodialisa

tidak

dapat

menyembuhkan penyakit ginjal yang diderita pasien tetapi hemodialisa

dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan pasien yang gagal ginjal


(Wijayakusuma, 2008 dalam Desita, 2010).
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup
agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang
penting untuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisa. Asupan
protein diharapkan 1-1,2 gr/kgBB/hari dengan 50 % terdiri atas asupan
protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70
meq/hari. Pembatasan kalium sangat diperlukan, karena itu makanan
tinggi kalium seperti buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan
untuk dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah air
kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium
dibatasi 40-120 meq.hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema.
Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus yang selanjutnya
mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka
selama periode di antara dialisis akan terjad kenaikan berat badan yang
besar (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2006).
Menurut Lumenta (1992) anjuran pemberian diet pada pasien
hemodialisa 2 x/ minggu :
Protein

: 1 1,2 gr/kgBB/hari

Kalori

: 126 147 kj/ kgBB (30 35 kal/kgBB/hari)

Lemak

: 30 % dari total kalori

Hidrat arang : sedikit gula (55 % total kalori)


Besi

: 1,8 mmol/hari (100 mg)

Air

: 750 1000 ml/hari (500 + sejumlah urin/24 jam)

Ca

: 25 50 mmol/hari (1000 2000)


Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui

ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung,


antibiotik, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau dengan ketat untuk
memastikan agar kadar obat-obatan ini dalam darah dan jaringan dapat
dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Risiko timbuknya
efek toksik akibat obat harus dipertimbangkan (Brunner & Suddarth,
2002).

6. Indikasi dan Komplikasi Terapi Hemodialisa


Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(2006) umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila laju filtrasi
glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit) sehingga dialisis baru
dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di bawah :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/L
c. Ureum darah > 200 mg/L
d. Ph darah < 7,1
e. Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
f. Fluid overloaded.
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut
(Brunner & Suddarth, 2002) :
a. Hipotensi

dapat

dikeluarkan.

terjadi

selama terapi

dialisis

ketika cairan

b. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja


terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.
c. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2 menurun bersamaan dengan
terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.
d. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir
metabolisme meninggalkan kulit.
e. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan
serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini
kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang
berat.
f. Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat
meninggalkan ruang ekstrasel.
g. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
(2006) komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibirum,
reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial,
kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis
dan hipoksemia.

C. Konsep Kualitas Hidup


1. Definisi Kualitas Hidup
Mc Carney & Lason (1987, dalam Yuwono, 2000) mendefinisikan
kualitas hidup sebagai derajat kepuasan hati karena terpenuhinya
kebutuhan ekternal maupun persepsinya. WHO (1994, dalam Desita,

2010) kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu sebagai lakilaki atau perempuan dalam hidup, ditinjau dari konteks budaya dan sistem
nilai dimana mereka tinggal, dan hubungan dengan standart hidup,
harapan, kesenangan, dan perhatian mereka. Hal ini dipadukan secara
lengkap mencakup kesehatan fisik, psikologis, tingkat kebebasan,
hubungan sosial dan hubungan mereka dengan segi ketenangan dari
lingkungan mereka.
Menurut Suhud (2009) kualitas hidup adalah kondisi dimana pasien
kendati penyakit yang dideritanya dapat tetap merasa nyaman secara fisik,
psikologis, sosial maupun spiritual serta secara optimal memanfaatkan
hidupnya untuk kebahagian dirinya maupun orang lain. Kualitas hidup
tidak terkait dengan lamanya seseorang akan hidup karena bukan domain
manusia untuk menentukannya. Untuk dapat mencapai kualitas hidup
perlu perubahan secara fundamental atas cara pandang pasien terhadap
penyakit gagal ginjal terminal (GGT) itu sendiri.

2. Kualitas Hidup dari Berbagai Aspek


Kualitas hidup bisa dipandang dari segi subjektif dan objektif. Dari
segi subjektif merupakan perasaan enak dan puas atas segala sesuatu
secara umum, sedangkaan secara objektif adalah pemenuhan tuntutan
kesejahteraan materi, status social dan kesempurnaan fisik secara social
atau budaya (Trisnawati, 2002 dalam Fatayi, 2008). Menurut Cella (1994,
dalam Fatayi, 2008), penilaian kualitas hidup penderita gagal ginjal dapat

dilihat pada aspek kesehatan fisik, kesehatan mental, fungsi sosial, role
function dan perasaan sejahtera.
Menurut Ventegodt (2003, dalam Desita, 2010) kualitas hidup
dapat dikelompokkan dalam tiga bagian yang berpusat pada aspek hidup
yang baik, yaitu :
a. Kualitas hidup subjektif yaitu suatu hidup yang baik yang dirasakan
oleh masing-masing individu yang memilikinya. Masing-masing
individu

secara

personal

mengevaluasi

bagaimana

mereka

menggambarkan sesuatu dan perasaan mereka.


b. Kualitas hidup eksistensial yaitu seberapa baik hidup seseorang
merupakan level yang berhak untuk dihormati dan dimana individu
dapat hidup dalam keharmonisan.
c. Kualitas hidup objektif yaitu bagaiman hidup seseorang dirasakan
oleh dunia luar. Kualitas hidup objektif dinyatakan dalam kemampuan
seseorang untuk beradaptasi pada nilai-nilai budaya dan menyatakan
tentang kehidupannya.

3. Dimensi Kualitas Hidup


Menurut WHOQoL (The World Health Organization Quality of
Life) group (Yuliaw, 2010) kualitas hidup terdiri dari 4 bidang. Keempat
bidang dari WHOQoL BREF meliputi :
a.

Kesehatan fisik berhubungan dengan kesakitan dan kegelisahan,


ketergantungan pada perawatan medis, energi dan kelelahan, mobilitas,
tidur dan istirahat, aktifitas kehidupan sehari-hari, dan kapasitas kerja.

b.

Kesehatan psikologis berhubungan dengan pengaruh positif dan negatif


spiritual, pemikiran pembelajaran, daya ingat dan konsentrasi, gambaran
tubuh dan penampilan, serta penghargaan terhadap diri sendiri.

c.

Hubungan sosial terdiri dari hubungan personal, aktifitas seksual dan


hubungan sosial.

d.

Dimensi lingkungan terdiri dari keamanan dan kenyamanan fisik,


lingkungan

fisik,

sumber

penghasilan,

kesempatan

memperoleh

informasi, dan keterampilan baru, partisipasi dan kesempatan untuk


rekreasi, atau aktifitas pada waktu luang.

4.

Komponen Kualitas Hidup


Ada tiga macam komponen utama kualitas hidup (Yuwono, 2000)
yaitu kapasitas fungsional, persepsi, dan keluhan penderita akibat
penyakit yang dideritanya. Kapasitas fungsional atau status fisiologis
meliputi kemmpuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, fungsi sosial,
sungsi intelektual, dan fungsi emosional. Kapasitas fungsional merupakan
kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang biasa
dilakukannya. Elemen terpenting adalah mobilitas, ketidaktergantungan
dan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari. Fungsi intelektual
meliputi kapabilitas mental seperti memori dan ketajaman perhatian,
kemampuan berkomunikasi, dan kemampuan membuat keputusan. Status
emosional dan kesehatan mental termasuk perubahan perasaan hati,
marah, rasa bersalah, rasa permusuhan, kecemasan, depresi.

Universitas of Toronto pada tahun 2004 (dalam Desita, 2010;


Diana, 2010) menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi dalam tiga bagian
yaitu :
a. Kesehatan
Kesehatan dalam kualitas hidup dapat dibagi menjadi tiga bagian
yaitu secara fisik, psikologis dan spiritual. Secara fisik yang terdiri
dari kesehatan fisik, personal hiegine, nutrisi, olah raga, pakaian dan
penampilan fisik secara umum. Secara psikologis yang terdiri dari
kesehatan dan penyesuaian psikologis, kesadaran, perasaan, harga diri,
konsep diri dan kontrol diri. Secara spiritual terdiri dari nilai-nilai
pribadi, standar-standar pribadi dan kepercayaan spiritual.
b. Kepemilikan
Kepemilikan (hubungan individu dengan lingkungannya) dalam
kualitas hidup dibagi menjadi dua bagian yaitu secara fisik dan social.
Secara fisik terdiri dari rumah, tempat kerja/ sekolah, tetangga/
lingkungan dan masyarakat. Secara sosial dekat dengan orang lain,
keluarga, teman/ rekan kerja, lingkungan dan masyarakat.
c. Harapan
Merupakan keinginan dan harapan yang akan dicapai sebagai
perwujudan dari individu seperti terpenuhinya nilai (prestasi dan
aspirasi individu) sehingga individu tersebut merasa berharga atau
dihargai di dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitarnya
melalui suatu tindakan nyata yang bermanfaat dari hasil karyanya.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien Gagal Ginjal


Kronis
Avis (2005, dalam Desita, 2010) menyatakan bahwa ada beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dimana faktor ini dapat
dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah sosio demografi
yaitu jenis kelamin, umur, suku/ etnik, pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan. Bagian kedua adalah medis yaitu lama menjalani hemodialisa,
stadium penyakit, dan penatalaksanaan medis yang dijalani. Penelitian
Yuliaw (2010) menemukan bahwa karakateristik individu yang terdiri dari
terdiri dari pendidikan, pengetahuan, umur dan jenis kelamin merupakan
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik.
Yuwono (2000) dalam penelitiannya mengatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien gagal ginjal adalah umur, jenis kelamin,
etiologi gagal ginjal, cara terapi pengganti, status nutrisi dan kondisi
komorbid.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup pasien GGK
menurut Avis (2005, dalam Desita, 2010), Yuliaw (2010), Yuwono (2000)
yaitu :
1.

Umur
Pada umumnya kualitas hidup menurun dengan meningkatnya
umur. Penderita GGK usia muda akan mempunyai kualitas hidup yang
lebih baik oleh karena biasanya kondisi fisiknya yang lebih baik
dibanding yang berusia tua. Penderita yang dalam usia produktif merasa
terpacu untuk sembuh mengingat dia masih muda mempunyai harapan

hidup yang tinggi, sebagai tulang punggung keluarga, sementara yang tua
menyerahkan keputusan pada keluarga atau anak-anaknya. Tidak sedikit
dari mereka merasa sudah tua, capek hanya menunggu waktu, akibatnya
mereka kurang motivasi dalam menjalani terapi haemodialisis. Usia juga
erat kaitannya dengan prognose penyakit dan harapan hidup mereka yang
berusia diatas 55 tahun kecenderungan untuk terjadi berbagai komplikasi
yang memperberat fungsi ginjal sangat besar bila dibandingkan dengan
yang berusia dibawah 40 tahun (Indonesiannursing, 2008).
2.

Jenis Kelamin
Laki-laki mempunyai kualitas hidup lebih jelek dibanding
perempuan dan semakin lama menjalani hemodialisa akan semakin
rendah kualitas hidup penderita.

3.

Etiologi gagal ginjal terminal


Penderita gagal ginjal terminal karena nefropati diabetik
mempunyai kualitas hidup yang lebih jelek dibanding dengan penderita
gagal ginjal terminal karena sebab lain (Bergstrom, 1985). Hanya 20 %
penderita non DM yang tidak mempu merawat dirinya sendiri dibanding
dengan 50 % penderita DM.

4.

Status nutrisi
Penderita gagal ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa kronis
sering mengalami protein kalori malnitrisi. Malnutrisi akan menyebabkan
defisiensi respon imun, sehingga penderita mudah mengalami infeksi dan
septikemia. Ternyata semakin jelek status nutrisi semakin jelek kualitas
hidup penderita gagal ginjal terminal.

Malnutrisi pada gagal ginjal terminal disebabkan oleh toksin


uremi dan oleh prosedur hemodialisa. Anoreksi pada penderita gagal
ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa kronis sering terjadi, hal ini
disebabkan oleh hemodialisa yang kurang memadai, sehingga toksin
uremi masih menumpuk di dalam tubuh. Selain itu, toksik uremi juga
memacu pemecahan protein dan menghambat sintesis protein. Uremi
menyebabkan aktivitas hormon anabolik seperti insulin dan somatomedin
menurun, sedang hormon katabolik seperti glukagon dan hormon
paratiroid kadarnya meningkat. Adanya kelainan asam amino akan
menyebabkan sintesis protein terganggu.
Pada saat dilakukan hemodialisa ternyata banyak protein dan
vitamin yang terbuang bersama dialisat. Selama hemodialisa penderita
dapat kehilangan 10-12 gr asam amino, karena masuk ke dalam cairan
dialisat dan toksin lainnya. Sepertiga asam amino yang terbuang tadi
adalah asam amino esensial. Disamping apabila sewaktu hemodialisa
digunakan cairan dialisat yang tidak mengandung glukosa, maka setiap
kali hemodialisa akan dikeluarkan glukosa sebanyak 20-30 gr, masuk ke
dalam dialisat untuk kemudian dibuang keluar. Oleh karena itu penderita
gagal ginjal terminal yang dilakukan hemodialisa kronis, wajar bila
mengalami malnutrisi protein dan kalori yang telah dilaporkan banyak
peneliti.
Seperti diketahui untuk evaluasi status nutrisi berdasarkan
antropometri dan laboratorium antara lain :
a. Berkurangnya cadangan lemak subkutan

b. BMI (body mass index) rendah


c. Penurunan konsentrasi albumin, prealbumin, transferin dan protein
visceral lainnya.
Antropometri dapat menunjukkan kadar protein serum (kecuali
immunoglobulin), respon imun biasanya lebih rendah dari orang normal
yang menunjukkan penderita mengalami malnutrisi. Masukan protein
biasanya normal, tapi masukan kalori cenderung rendah dibanding orang
normal. Masukan protein mempunyai korelasi secara bermakna dengan
urea nitrogen serum predialisis. Malnutrisi biasanya terjadi pada
penderita

uremia

kronis,

baik

yang

mendapat

dialisis

namun

prevalensinya tidak diketahui. Dengan dasar tersebut diatas, penderita


perlu diberikan asam amino essensial.
Saat ini konsep protein catabolic rate (PCR) digunakan sebagai
maker untuk status nutrisi pada penderita dengan dialisis. Hasil penelitian
NCDS (National Cooperative Dialiyis Study) terdapat hubungan antara
PCR dan tingkat morbiditas dan mortalitas. PCR < 0,6 berhubungan
dengan kenaikan morbiditas dan mortalitas, PCR > 1 angka kesakitan
dan kematian menurun.
5.

Kondisi komorbid
Telah dikemukakan di atas bahwa pada penderita gagal ginjal
terminal diperlukan terapi pengganti, sebab bila tidak diberi terapi
penderita akan segera meninggal. Hemodialisa merupakan salah satu
terapi pengganti, namun sayang tidak semua toksin uremi dapat
dikeluarkan, sehingga masih dapat menyebabkan kelainan sistem organ

yang lain, antara lain kelainan sistem kardiovaskuler, sistem pernafasan,


gastrointestinal, kelainan neurologis, kelainan muskuloskletal, kelainan
hematologi, dan lain-lain. Menurut Brunner & Suddarth (2002),
manifestasi klinis akibat kondisi uremi pada kardiovaskuler (hipertensi,
piting edema), pulmoner (nafas dangkal, pernafasan kusmaul),
gastrointestinal ( nafas bau ammonia, ulserasi atau pendarahan pada
mulut, mual dan muntah), neurologis (lemah, letih, disorientasi, kejang,
kelemahan pada otot), muskuloskletal (kram otot, kekuatan otot hilang).
Selain itu penderita gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisa
kronis mempunyai insiden hepatitis yang lebih tinggi dibanding dengan
populasi umum. Semakin banyak kondisi kormoboid yang diderita oleh
penderita gagal ginjal terminal semakin jelek kualitas hidup penderita.
6.

Pendidikan
Pada penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan
mempunyai pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu
dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di hadapi,
mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan
mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta
mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan,
akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu
tersebut dalam membuat keputusan (Sapri, 2008). Hasil penelitian ini
didukung dengan teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku

yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak


didasari pengetahuan (Notoatmodjo, 1985 dalam Sapri, 2008).
7.

Pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas
seseorang yang bekerja pada orang lain atau instasi, kantor, perusahaan
untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang
maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(Rohmat, 2010). Penghasilan yang rendah akan berhubungan dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan maupun pencegahan. Seseorang
kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada mungkin karna
tidak mempunyai cukup uang untuk membeli obat atau membayar
tranportasi (Notoadmodjo,1997 dalam Indonesiannursing, 2008)).

8.

Lama menjalani hemodialisa


Pada awal menjalani HD respon pasien seolah-olah tidak
menerima atas kehilangan fungsi ginjalnya, marah dengan kejadian yang
ada dan merasa sedih dengan kejadian yang dialami sehingga
memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap lingkungan yang baru
dan harus menjalani HD dua kali seminggu. Waktu yang diperlukan
untuk beradaptasi masing-masing pasien berbeda lamanya, semakin lama
pasien menjalani HD adaptasi pasien semakin baik karena pasien telah
mendapat pendidikan kesehatan atau informasi yang diperlukan semakin
banyak dari petugas kesehatan (Sapri, 2008). Hal ini didukung oleh
pernyataan bahwa semakin lama pasien menjalani HD, maka semakin
patuh pasien tersebut karena pasien sudah mencapai tahap accepted

(menerima) dengan adanya pendidikan kesehatan dari petugas kesehatan


(Kubler-Ross, 1998 dalam Sapri 2008).
9. Penatalaksanaan Medis
Sartika (2009) mengatakan bahwa penatalaksanaan medis pada
pasien hemodialisa meliputi terapi diet baik itu makanan ataupun cairan
dan juga pertimbangan medikasi. Diet merupakan faktor penting bagi
pasien yang menjalani hemodialisa mengingat adanya efek uremi.
Dengan penggunaan hemodialisa yang efektif, asupan makanan dan
cairan pasien harus dapat disesuaikan sesuai dengan diet yang
dianjurkan. Pembatasan asupan makanan dapat berupa penyesuaian atau
pembatasan pada asupan protein, natrium, kalium, karbohidrat. Pada
pembatasan cairan bertujuan untuk meminimalkan resiko kelebihan
cairan karena jika jumlah cairan tidak seimbang dapat menyebabkan
terjadinya edema paru ataupun hipertensi. Pemberian medikasi pada
pasien hemodialisa haruslah dipertimbangkan dengan cermat dan
pemberian obat pada pasien hemodialisa harus diturunkan dosisnya agar
kadar obat dalam darah dan jaringan tidak menjadi racun karena
metabolismenya yang toksik misalnya digoksin, aminiglikoliosid,
analgesic opiat (Mansjoer, 2001 dalam Bogor Kidney Care Forum,
2009). Pada penatalaksanaan medis ini perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang (Suharjono, 2001 dalam Bogor Kidney Care Forum, 2009)
seperti pemeriksaan labolatorium (BUN, kalium, Mg, kalsium, protein),
pemeriksaan foto dada (edema paru), pemeriksaan EKG.

Ibrahim (2009) mengatakan bahwa dalam penelitiannya ia tidak


menemukan perbedaan yang bermakna pada kualitas hidup pasien
menurut tingkat usia, tingkat pendidikan dan lamanya menjalani
hemodialisa. Ia mengatakan bahwa yang merupakan kunci penting dalam
menumbuhkan persepsi positif terhadap kualitas hidup adalah dengan
mengoptimalkan status kesehatan pasien atau meminimalisir masalah
kesehatan yang menyertai.
Yuliaw (2010) menyatakan dalam penelitiannya bahwa beberapa
peneliti lain menemukan bahwa faktor yang

mempengaruhi kualitas

kehidupan secara signifikan adalah pendidikan, ras, status perkawinan. Ia


juga menyatakan bahwa penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi
akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan juga memungkinkan
pasien itu dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang di
hadapi, mempunyai rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan
mempunyai perkiraan yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta
mudah mengerti tentang apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan,
akan dapat mengurangi kecemasan sehingga dapat membantu individu
tersebut dalam membuat keputusan. Hasil penelitian ini didukung dengan
teori dimana pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya suatu tindakan, perilaku yang didasari
pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari
pengetahuan (Sapri, 2004).
Pada usia yang lebih tua belum tentu akan lebih mengetahui bila
tidak ditunjang dengan pengetahuan dan pengalaman yang pernah

dialami, sementara pada penderita yang tidak patuh dipandang sebagai


seorang

yang

lalai

lebih

mengalami

depresi,

ansietas,

sangat

memperhatikan kecemasannya , dan memiliki keyakinan ego yang lebih


lemah ditandai dengan kekurangan dalam hal pengendalian diri sendiri
dan kurangnya penguasaan terhadap lingkungan, dan bukan hanya karena
pengaruh tingkat usia penderita (Sapri, 2004).
Menurut Ketua YGDI (Yayasan Ginjal Diatrans Indonesia) Dr
Mohamad Suhud (2009), pengukuran kualitas hidup terdiri dari beberapa
faktor. Faktor tersebut meliputi simptom yang dialami selama terapi,
kualitas interaksi sosial, fungsi kognitif pasien dan kualitas tidur.

Anda mungkin juga menyukai