dimaksud adalah kepemilikan perseorangan yang didapat dari membeli satuan unit
rumah susun (sarusun).
WNA dan Hak Milik Atas Sarusun
Mengenai kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing ("WNA")
berkaitan dengan asas yang dianut oleh Indonesia, yakni yang dikenal sebagai
asas Larangan Pengasingan Tanah. Irma Devita Purnamasari dalam bukunya
yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum
Pertanahan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asas Larangan
Pengasingan Tanah adalah tanah-tanah di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh
Badan Hukum Indonesia atau orang perserorangan Indonesia. Jika mengacu pada
asas tersebut, tentu saja orang asing tidak bisa memiliki tanah di Indonesia (hal.
41). Namun, apakah orang asing mutlak tidak dapat memiliki hak atas tanah di
Indonesia? Untuk menjawab ini, perlu mengacu pada sejumlah peraturan yang
mengatur tentang kepemilikan hak atas tanah oleh WNA. Berikut beberapa
peraturan-peraturan yang terkait.
Pengaturan kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
(HMSRS) memiliki keterkaitan dengan adanya sertifikat hak milik satuan
rumah susun (SHM sarusun). Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan
Anda, kita perlu mengetahui terlebih dahulu yang dimaksud dengan SHM
sarusun. Mengenai definisi SHM sarusun dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah
Susun) yang berbunyi:
Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun
adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak
guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna
bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
Kepemilikan WNA terhadap hak milik atas satuan rumah susun itu
merujuk pada ketentuan hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
2.
Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai
atas tanah Negara.
Selain persyaratan tersebut, terdapat satu persyaratan lagi yang diatur oleh
peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang
mengenai
HGU
selanjutnya
terdapat
pada
Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah. Menurut pasal 8 ayat 2 PP No. 40/1996, setelah
perpanjangan jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU Agraria, dapat
diberikan pembaruan hak.
Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat
diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama. Demikian
pasal 8 ayat (2) PP No. 40/1996.
Jadi, HGU hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 kali. Apabila pemegang
HGU masih ingin mempergunakan tanah tersebut, maka harus mengajukan
permohonan pembaruan HGU.
Izin Lokasi
Izin Lokasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh suatu
perusahaan yang memerlukan tanah untuk keperluan penanaman modal, tidak
terkecuali dalam hal pembangunan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan Pasal 3
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2
Tahun 1999 tentang Izin Lokasi (Permen 02/1999), tanah yang dapat ditunjuk
dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan
rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Permen 02/1999, Izin Lokasi diberikan
berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna
tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan,
penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Izin Lokasi sebenarnya diatur melalui
peraturan daerah setempat. Namun, selama Pemerintah Daerah setempat belum
memiliki pengaturan mengenai Izin Lokasi, maka Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Lokasi dan Hak atas Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka
Penanaman Modal tetap menjadi acuan mengenai tata cara perolehan Izin Lokasi.
Permohonan
untuk
mendapatkan
Izin
Lokasi
disampaikan
kepada
Badan
Perencanaan
dan
Pembangunan
Daerah
Kabupaten/Kota;
c) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Kabupaten/Kota;
d) Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota; dan
e) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.