Anda di halaman 1dari 7

Hak Milik atas Rumah Susun

Mengenai kepemilikan atas satuan rumah susun, bentuk kepemilikan yang


dikenal adalah Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun (SHMRS). SHMRS
adalah bentuk kepemilikan yang diberikan terhadap pemegang hak atas Rumah
Susun. Bentuk Hak milik atas rumah susun ini harus dibedakan dengan jenis hak
milik terhadap rumah dan tanah pada umumnya.
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
(UU Rumah Susun) berbunyi:
Hak kepemilikan atas satuan rumah susun merupakan hak milik
atas satuan rumah susun yang bersifat perseorangan yang terpisah
dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama.
Terkait dengan hak bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan
tanah bersama yang memiliki hubungan erat dengan kepemilikan satuan unit
rumah susun ini, Erwin Kallo dkk dalam buku berjudul Panduan Hukum untuk
Pemilik/Penghuni Rumah Susun (Kondominium, Apartemen, dan Rusunami),
menjelaskan bahwa kepemilikan perseorangan ialah hak kepemilikan seseorang
yang telah membeli satuan unit rumah susun. Unit di sini adalah ruangan dalam
bentuk geometrik tiga dimensi yang dibatasi oleh dinding dan digunakan secara
terpisah atau tidak secara bersama-sama. Hak perseorangan ini biasanya akan
tergambar dalam pertelaan rumah susun. Pertelaan adalah penunjukan yang jelas
atas batas masing-masing satuan rumah susun, bagian bersama, benda bersama,
tanah bersama, beserta Nilai Perbandingan Proporsionalnya (NPP) beserta
uraiannya. Mengenai luas/ukuran unit satuan rumah susun (sarusun) akan
terlihat terlihat dan diuraikan dalam SHM Sarusun masing-masing pemilik (hal.
59).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hak milik dalam UUPA
adalah hak terkuat dan terpenuh yang dimiliki orang atas tanah. Sedangkan, yang
dimaksud dengan hak milik dalam UU Rumah Susun adalah Hak Milik Atas
Rumah Susun (HMRS), yakni kepemilikan yang terpisah dari tanah bersama,
bagian bersama, dan benda bersama. Dengan demikian, kepemilikan yang

dimaksud adalah kepemilikan perseorangan yang didapat dari membeli satuan unit
rumah susun (sarusun).
WNA dan Hak Milik Atas Sarusun
Mengenai kepemilikan hak atas tanah oleh Warga Negara Asing ("WNA")
berkaitan dengan asas yang dianut oleh Indonesia, yakni yang dikenal sebagai
asas Larangan Pengasingan Tanah. Irma Devita Purnamasari dalam bukunya
yang berjudul Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum
Pertanahan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan asas Larangan
Pengasingan Tanah adalah tanah-tanah di Indonesia hanya dapat dimiliki oleh
Badan Hukum Indonesia atau orang perserorangan Indonesia. Jika mengacu pada
asas tersebut, tentu saja orang asing tidak bisa memiliki tanah di Indonesia (hal.
41). Namun, apakah orang asing mutlak tidak dapat memiliki hak atas tanah di
Indonesia? Untuk menjawab ini, perlu mengacu pada sejumlah peraturan yang
mengatur tentang kepemilikan hak atas tanah oleh WNA. Berikut beberapa
peraturan-peraturan yang terkait.
Pengaturan kepemilikan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
(HMSRS) memiliki keterkaitan dengan adanya sertifikat hak milik satuan
rumah susun (SHM sarusun). Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan
Anda, kita perlu mengetahui terlebih dahulu yang dimaksud dengan SHM
sarusun. Mengenai definisi SHM sarusun dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (UU Rumah
Susun) yang berbunyi:
Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun
adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak
guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna
bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.
Kepemilikan WNA terhadap hak milik atas satuan rumah susun itu
merujuk pada ketentuan hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Berdasarkan undang-undang tersebut, WNA hanya diperbolehkan memiliki hak


pakai.
Oleh karena itu, WNA yang ingin memiliki HMSRS harus cermat sebelum
membeli unit rumah susun. Harus mengetahui apakah bangunan rumah susun
yang hendak dimiliki itu berdiri di atas tanah yang berstatus hak pakai atau tidak.
Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 42 UUPA yang hanya
membolehkan WNA untuk memiliki hak pakai. Menurut Pasal 17 UU Rumah
Susun, rumah susun dapat dibangun di atas tanah dengan status Hak Milik, Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Negara, dan Hak Guna Bangunan
atau Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan.
Pengaturan mengenai WNA hanya boleh memiliki HMSRS yang
bangunan rumah susun itu dibangun di atas tanah dengan hak pakai atas tanah
negara juga dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996
tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang Berkedudukan Di Indonesia (PP 41/1996). WNA dapat memiliki
HMSRS dengan mengacu pada ketentuan Pasal 2 PP No. 41/1996 yang berbunyi:
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
1.

Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:


a. Hak Pakai atas tanah Negara;
b. Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak
atas tanah.

2.

Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai
atas tanah Negara.

Selain persyaratan tersebut, terdapat satu persyaratan lagi yang diatur oleh
peraturan turunan PP No. 41/1996, yaitu Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 7 Tahun 1996 tentang

Persyaratan Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang


Asing (Peraturan MNA/BPN 7/1996).
Pasal 2 ayat (2) Peraturan MNA/BPN 7/1996 berbunyi:
Rumah yang dapat dibangun atau dibeli dan satuan rumah susun
yang dapat dibeli oleh orang asing dengan hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah rumah atau satuan
rumah susun yang tidak termasuk klasifikasi rumah sederhana
atau rumah sangat sederhana.

Hak Guna Usaha


Hak Guna Usaha (HGU) diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UU Agraria). Berdasarkan pasal
29 UU Agraria, HGU dapat diberikan untuk jangka waktu maksimal 25 tahun
(untuk perusahaan dengan kebutuhan tertentu, dapat diberikan dengan jangka
waktu maksimal 35 tahun). Setelah habis jangka waktunya, HGU dapat
diperpanjang untuk waktu yang paling lama 25 tahun.
Pengaturan

mengenai

HGU

selanjutnya

terdapat

pada

Peraturan

Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai atas Tanah. Menurut pasal 8 ayat 2 PP No. 40/1996, setelah
perpanjangan jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU Agraria, dapat
diberikan pembaruan hak.
Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada pemegang hak dapat
diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas tanah yang sama. Demikian
pasal 8 ayat (2) PP No. 40/1996.
Jadi, HGU hanya dapat diperpanjang sebanyak 1 kali. Apabila pemegang
HGU masih ingin mempergunakan tanah tersebut, maka harus mengajukan
permohonan pembaruan HGU.

Izin Lokasi
Izin Lokasi merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh suatu
perusahaan yang memerlukan tanah untuk keperluan penanaman modal, tidak
terkecuali dalam hal pembangunan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan Pasal 3
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2
Tahun 1999 tentang Izin Lokasi (Permen 02/1999), tanah yang dapat ditunjuk
dalam Izin Lokasi adalah tanah yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan
rencana penanaman modal yang akan dilaksanakan oleh perusahaan.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Permen 02/1999, Izin Lokasi diberikan
berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah dan teknis tata guna
tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan,
penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah.
Pengaturan lebih lanjut mengenai Izin Lokasi sebenarnya diatur melalui
peraturan daerah setempat. Namun, selama Pemerintah Daerah setempat belum
memiliki pengaturan mengenai Izin Lokasi, maka Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara
Memperoleh Izin Lokasi dan Hak atas Tanah Bagi Perusahaan dalam Rangka
Penanaman Modal tetap menjadi acuan mengenai tata cara perolehan Izin Lokasi.
Permohonan

untuk

mendapatkan

Izin

Lokasi

disampaikan

kepada

Bupati/Walikota setempat, dengan tembusan kepada:


a) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
b) Kepala

Badan

Perencanaan

dan

Pembangunan

Daerah

Kabupaten/Kota;
c) Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Kabupaten/Kota;
d) Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten/Kota; dan
e) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota.

Berdasarkan regulasi tersebut di atas, dalam menerbitkan Izin Lokasi,


Bupati/Walikota tidak memerlukan pertimbangan teknis dari Badan Pertanahan
Nasional (BPN), melainkan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat. Dengan demikian, Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota
tetap sah dan berlaku, meskipun tidak meminta pertimbangan dari BPN. Adapun
peran BPN adalah ketika badan usaha pemegang Izin Lokasi dan Izin Usaha
Perkebunan akan mengajukan hak atas tanah.

Hak Guna Bangunan


Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan untuk jangka waktu tertentu,
yaitu untuk jangka waktu maksimal 30 tahun. Setelah 30 tahun, HGB tersebut
dapat diperpanjang jangka waktunya untuk maksimal 20 tahun (lihat pasal 35
ayat [1] dan ayat [2] UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria).
Bagaimana dengan HGB yang sudah habis masa berlakunya dan sudah
pula habis masa perpanjangannya? Untuk HGB seperti ini dimungkinkan untuk
diberikan pembaharuan, sebagaimana diatur dalam pasal 25 PP No. 40 Tahun
1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas
Tanah (PP 40/1996):
Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang
hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah
yang sama.
Syarat permbaruan tersebut selanjutnya diatur dalam pasal 26 PP 40/1996, yaitu:
1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut;
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak;
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang HGB;

4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah


yang bersangkutan;
5. Mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
Permohonan pembaharuan HGB harus diajukan selambat-lambatnya dua
tahun sebelum berakhir jangka waktu HGB tersebut (lihat pasal 27 PP 40/1996).
Jadi, untuk tanah HGB yang sudah habis jangka waktunya dan sudah pula
diperpanjang, bisa diberikan pembaruan HGB atas tanah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai