Anda di halaman 1dari 13

Kebijakan Pemerintah Indonesia Menyongsong EksporImpor Dalam

Produk Agribisnis
Andrea Abdul Rahman Azzqy S.Kom., M.Si., M.Si(Han)., MCTS

Abstraksi & Analisis


Pemerintah Indonesia dan juga pemerintah beberapa negara tetangga di regional asia
tenggara, memandang globalisasi lebih sebagai sebuah fenomena ekonomi, sehingga fokus
perhatian utama adalah pada kebijakan ekonomi yang ditandai serangkaian kebijakan yang
diarahkan untuk membuka ekonomi domestik dalam rangka memperluas dan memperdalam
integrasi dengan pasar internasional. Langkah tersebut diistilahkan dengan first order adjusment
(penyesuaian tahap pertama) terhadap globalisasi.
Langkah untuk memasuki globalisasi juga dapat dilihat sebagai kelanjutan kebijakan
liberalisasi ekonomi yang telah dimulai oleh pemerintah sejak dekade 1980an sampai paruh
pertama 1990an. Sepanjang masa tersebut , negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia
relatif berhasil dalam menjalankan penyesuaian tahap pertama globalisasi, yang diindikasikan
dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, tingginya arus perdagangan barang dan jasa serta
modal yang menggambarkan kinerja ekonomi yang berhasil di kawasan tersebut.
Namun demikian beberapa negara tersebut, tidak terlalu memberikan perhatian terhadap
penyesuaian tahap kedua globalisasi (second order adjusment). Ada sejumlah masalah berkaitan
dengan penyesuaian tahap kedua tersebut di Indonesia, yang terangkat ke permukaan oleh
adanya krisis:
a) Pertama, Kerentanan perekonomian domestik terhadap arus modal global. Krisis yang
terjadi beberapa waktu yang lalu, seolah-olah membenarkan bahwa ekonomi Indonesia
tumbuh karena mengandalkan sektor finasiil dan arus modal jangka pendek (bubble
economy), sehingga pada saat kedua sektor tersebut goncang secara global, Indonesiapun
terimbas karenanya.

b) Kedua, Kerapuhan institusi ekonomi-politik domestik, disebabkan oleh moral-hazard


yang meluas disektor perbankan, miskinnya kepastian dan penegakan hukum dan praktek
perburuan rente ekonomi (economic rent seeking).
c) Ketiga, Kemajuan ekonomi ternyata tidak diimbangi dengan kebijakan kesejahteraan. Hal
ini ditunjukan dengan distribusi pendapatan yang timpang, perlindungan sosial minim,
akibatnya masyarakat segmen terbawah menjadi sangat rentan terhadap guncangan dalam
ekonomi.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, memunculkan perdebatan disekitar penyebab krisis
tersebut, yang dikaitkan dengan globalisasi. Ada tuduhan bahwa globalisasi penyebab krisis, dan
ada pula yang berpendapat bahwa tahap penyesuaian terhadap globalisasi tersebut yang tidak
seimbang, karena terlalu premateur memaksakan liberalisasi pasar modal dan sektor perbankan
di Asia. Namun demikian globalisasi tetap tidak dapat dihindari baik oleh pemerintah Indonesia
maupun negaranegara sekawasan.
Peningkatan kerjasama ekonomi kawasan menjadi diperlukan, karena perekonomian dunia
yang ikut mengalami penurunan kinerja. Salah satu penyebabnya adalah menurunnya kinerja
ekonomi Amerika Serikat (AS), yang masih menjadi lokomotif perekonomian dunia. Kerjasam
kawasan akan mengurangi ketergantungan ekonomi pada satu negara, dan sekali gus
membangun landasan ekonomi kawasan yang kuat. Langkah ini dapat dimulai dengan
meningkatkan perdagangan dan investasi intra kawasan. Dalam jangka panjang diarahkan untuk
merumuskan strategi pembangunan baru yang lebih berkelanjutan.
Bentuk kerjasa ekonomi di kalangan negara-negara ASEAN, ASEAN Free Trade Area
(AFTA), telah berlaku efektif untuk enam anggota mulai th 2003, dan untuk empat anggota yang
lain dimulai tahun 2006. Di lingkup yang lebih luas, ada upaya untuk membangun kerjasama
antara ASEAN dengan negara-negara lain di Asia Timur, seperti Free Trade Area (FTA), antara
ASEAN dan Cina, juga ASEAN dengan Jepang dan dengan Korea Selatan. Semua bentuk
kerjasama antar negara tersebut, dimaksudkan untuk memperkuat sistim perdagangan kawasan
dengan kebijakan yang mengarah pada dikuranginya hambatan-hambatan masuk barang dan jasa
antar negara anggota.

Implikasi globalisasi paling tidak, justru telah memperkuat regionalisme perdagangan.


Globalisasi menuntut semakin banyak negara yang membuka pintu masuk negaranya terhadap
barang dan jasa dari negara lain, dilain pihak ditanggapi dengan lebih dulu memperkuat ekonomi
kawasan oleh tidak saja negara-negara berkembang, tetapi juga negara yang telah maju seperti
Uni Eropa (Europe Economic community = ECC). Hal ini mengindikasikan bahwa, dengan
globalisasi banyak negara tidak ingin pada akhirnya bergantung hanya kepada satu negara yang
secara ekonomi kuat, seperti AS.
Indonesia sebagai anggota ASEAN, telah turut menandatangani Piagam pembentukan
Asean Free Trade Area (AFTA), yang pembentukannya dilandasi pemikiran bahwa AFTA akan
menaikan daya saing negara-negara Asean dalam rangka mempersiapkan diri dalam pasar global.
Diharapkan melalui penghilangan hambatan tarif maupun non tarif terhadap sesama negara
anggota, sektor manufaktur negara-negara Asean akan menjadi lebih efisien dan berdaya saing.
Realisasi AFTA ini didasarkan pada mekanisme Cammon Effective Preferensial Tarif (CEPT),
yaitu penerapan tarif khusus untuk beberapa komoditi tertentu, yang telah diepakati 15 komoditi
masuk program CEPT tersebut.
Di Indonesia setelah mengalami krisis dan sekaligus tuntutan agar pelaksanaan AFTA ditunda,
sebenarnya yang perlu untuk dikaji adalah kesiapan untuk menghadapi era tersebut (yang sudah
berjalan selama satu tahun). Jika komoditas ekspor tidak mempunyai keunggulan kompetitif,
maka sulit akan mampu menembus pasar internasional, bahkan sebaliknya Indonesia akan
menjadi pasar besar bagi produk-produk luar negeri. Seperti yang dilaporkan penelitian tentang
efek daya saing komoditi ekspor Indonesia ke negara-negara Asean, terutama 15 komoditi yang
masuk CEPT,( permasalahan ini akan disampaikan lebih luas pada bab berikut ), selama 1994
1998, adalah :
a) Komoditas yang tetap mempunyai daya saing positif di pasar Asean adalah bahan kimia
dan tembaga
b) Kelompok komoditas yang mempunyai daya saing negatif adalah, kertas, minyak nabati,
dan furnitur kayu serta rotan.
c) Kelompok yang mengalami peningkatan daya saing adalah, obat-obat-an, tekstil, semen
dan kelompok batu mulia dan perhiasan. Sedangkan yang mengalami penurunan adalah,
pupuk, produk dari karet, keramik, dan produk dari kaca, elektronik serta plastik

d) Konsentrasi pasar kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor Indonesia di pasar


Asean.

Dengan demikian, dapat dijelaskan sebenarnya komoditi ekspor Indonesia sangat rentan
terhadap kondisi permintaan Asean dan belum mampu melakukan penetrasi pasar dengan baik,
hal ini karena pertumbuhan permintaan Asean masih sangat berperan besar terhadap kinerja
ekspor Indonesia ke pasar Asean. Patut pula dicatat, bahwa produk-produk yang terkait dengan
agribisnis, belum memiliki daya saing yang tinggi dipasar Asean, padahal banyak negara Asean
memiliki komoditi ekspor yang sama dengan komoditi yang di ekspor oleh Indonesia.
Dalam kaitan memperkuat ekonomi kawasan , sebagai landasan untuk memasuki pasar
global, AFTA, haruslah menjadi ajang ujian bagi komoditi Indonesia, apakah kelak mampu
masuk dipasaran internasional yang lebih luas atau tidak. Oleh karena itu momentum harus
ditangkap dengan mempersiapkan berbagai kebijakan-kebijakan yang lebih memberikan peluang
terciptanya daya saing bagi komoditi ekspor.
Dengan melihat gambaran tersebut diatas, maka permasalahan yang muncul, terutama berkaitan
dengan kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis adalah:
a) Bagaimanakah gambaran peta perdagangan internasional Indonesia selama ini untuk
komoditi yang berhubungan agribisnis.
b) Konsep kebijakan perdagangan yang bagaimana yang dapat mendukung daya saing
komoditikomoditi Indonesia di pasar internasional.
c) Globalisasi dari Pendekatan Teori Perdagangan Internasional.
Tuntutan globalisasi berkembang sejalan dengan perkembangan tehnologi dalam transportasi
dan komunikasi yang tumbuh dengan pesat ditandai dengan terdistribusinya barang-barang atau
jasa secara internasional. Tingkat keterlibatan suatu negara dalam perdagangan internasional
diukur dengan rasio-rasio : perdagangan dunia terhadap pendapatan nasional; pertumbuhan arus
modal dan penanaman modal asing terhadap pendapatan nasional. Dilain pihak, kerjasama
ekonomi regional juga semakin menemukan bentuknya, justru untuk menghadapi globalisasi
tersebut. Implikasi dari kedua tuntutan tersebut, globalisasi dan regionalisasi, adalah tarik

menarik antara kebijakan perdagangan yang biasanya dilakukan negara-negara dalam derajat
kerjasama regional, dan kebijakan persaingan sebagai konsekuensi adanya tuntutan globalisasi.
Kebijakan persaingan mempunyai arah utuk membuka pasar, mengawasi praktek-praktek
anti persaingan, dan menghapuskan berbagai hambatan masuk ke dalam pasar. Kebijakan yang
mengarah pada liberalisasi kompetitif tingkat global ini, diharapkan tidak mengacaukan skema
kebijakan regional, meskipun beberapa kasus telah menunjukan konflik, ketika skema global
goyah. Sedangkan kebijakan perdagangan biasanya lebih menitik beratkan kepentingan industriindustri nasional dari pada kondisi pasar.
Dalam merumuskan konsep kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis di
Indonesia, maka akan didekati dengan beberapa teori yang mendasari. Teori-teori tersebut
meliputi:
a) Teori yang menjelaskan arus barang secara internasional
b) Teori-teori yang menjelaskan arus investasi internasional.
c) Teori- teori tentang kerjasama regional.
Teori Arus Barang Internasional
Disamping Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo dan Teori Proporsi dari HechserOhlin, sebagai teori yang paling luas dijadikan acuan mendasari terjadinya perdagangan
internasional, akan disampaikan beberapa teori yang lebih akhir, untuk dapat menjelaskan
perdagangan internasional di era globalisasi
Teori Skala Ekonomi dan Diferensiasi Produk
Secara garis besar teori ini menjelaskan
a) Perdagangan internasional dapat bersumber dari imbalan yang meningkat (increasing
return ) atau skala ekonomis artinya biaya makin turun dengan meningkatnya output.
Skala ekonomis memberikan dorongan bagi negara-negara untuk melakukan spesialisasi
dan berdagang meskipun sumber daya dan tehnologi tidak berbeda.

b) Skala ekonomis lazimnya menyebabkan persaingan sempurna tidak terwujud, sehingga


perdagangan dalam konteks skala ekonomis harus dianalisis dengan menggunakan
model-model persaingan tak sempurna.
c) Perdagangan internasional menciptakan suatu pasar terpadu yang lebih besar dari pasar
suatu negara manapun, dan karena itu memungkinkan secara serentak untuk menawarkan
pada konsumen produk-produk yang makin beragam (differentiated products) dengan
harga yang lebih rendah.
d) Dalam model persaingan monopolistik perdagangan bisa dibagi ke dalam dua jenis.
Perdagangan dua arah dalam produk-produk yang berbeda di dalam satu industri disebut
perdagangan intraindustri; perdagangan yang mempertukarkan produk-produk suatu
industri dengan produk-produk industri lainya disebaut perdagangan antarindustri.
Perdagangan intraindustri mencerminkan skala ekonomis, perdagangan antarindustri
mencerminkan keunggulan komparatif. Perdagangan intraindustri tidak menciptakan
dampak yang kuat pada distribusi pendapatan sebagaimana perdagangan antarindustri.
e) Keuntungan eksternal ialah skala ekonomis yang terjadi pada tingkat industri, bukan
perusahaan. Gejala ini memberikan peranan penting dalam pola penentuan perdagangan
internasional. Jika ekonomis eksternal penting, suatu negara yang memulai dengan suatu
industri yang besar bisa memelihara keunggulan tersebut sekalipun negara lain secara
potensial dapat memproduksi barang-barang yang sama jauh lebih murah.
Garis besar teori skala ekonomis dan diferensiasi produk tersebut diatas sedikit menjelaskan
mengapa dalam era globalisasi, arus perdagangan antar negara menjadi semakin pesat.
Teori Stefan Linder
Stefan Linder dengan teori orientasi-permintaan menjelaskan bahwa selera konsumen sangat
dipengaruhi oleh tingkat pendapatannya, dan karenanya tingkat pendapatan per kapita suatu
bangsa menentukan jenis barang yang akan dimintanya. Karena industri akan memproduksi
barang-barang untuk memenuhi permintaan tersebut, jenis-jenis produk yang dibuat
mencerminkan tingkat pendapatan perkapita negara tersebut. Barang-barang yang dikonsumsi
untuk domestik akhirnya akan di ekspor.

Teori Linder mengambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dalam beberapa barang
manufaktur akan menjadi lebih besar antara negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita
yang sama daripada antara negara yang tidak sama tingkat pendapatan perkapitanya. Barang
yang diperdagangkan adalah barang-barang dimana terdapat permintaan yang tumpang tindih
(overlaping demand), yang berarti konsumen di kedua negara meminta barang yang sama.
Perbedaan Teori Linder dengan keunggulan komparatif adalah bahwa teori Linder tidak
menentukan arah kemana barang tertentu akan pergi. Secara teoritis barang dapat pergi kemana
saja sesuai dengan teori perdagangan intraindustri dan karena adanya diferensiasi produk
Teori Kompetitif Michael Porter
Garis besar Teori Porter, menyatakan bahwa empat jenis variabel akan mempunyai dampak atas
kempampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber
negara itu guna memperoleh keunggulan kompetitif:
Kondisi-kondisi permintaan- sifat dasar dari permintaan domestik. Apabila para pelanggan
sebuah perusahaan sedang mempunyai permintaan, ia akan memproduksi produk yang
berkualitas tinggi dan inovatif, dan akan memperoleh keunggulan kompetitif dimana tekanan
domestik lebih kecil.
a) Kondisi-kondisi faktor- level dan komposisi faktor produksi.Kekurangan karunia alam
telah menyebabkan bangsa-bangsa melakukan investasi dalam penciptaan faktor-faktor
lanjutan, seperti pendidikan angkatan kerjanya, pelabuhan bebas dan sistim komunikasi
maju, untuk memungkinkan industri-industri mereka bersaing secara global.
b) Industri-industri terkait dan pendukung para pemasok dan jasa dukungan industri.
c) Strategi, struktur dan persaingan perusahaan perluasan persaingan domestik, adanya
hambatan masuk, serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Perusahaanperusahaan yang terkena persaingan berat di pasar-pasar domestiknya, secara konstan
akan meningkatkan efisiensinya, yang membuat mereka lebih kompetitif secara
internasional.
Porter membangun teorinya dengan meneliti, industri-industri (manufakturing) di beberapa
negara yang memiliki kemiripan dalam hal komparatif relatif. Identifikasi terhadap industri-

industri yang ternyata memiliki daya saing walaupun mereka datang dari negara yang secara
alamiah tidak berlimpah sumber daya. Tetapi sumber daya bukanlah satu-satu-nya faktor yang
dapat meningkatkan daya saing industri suatu negara, dan Porter telah merumuskan model
bagaimana, daya saing dapat tercipta, oleh faktor-faktor penentu yang lain.
Teori Porter yang dikenal dengan diamond tunggal, selanjutnya mendapat kritikan karena
tidak mempertimbangkan aktivitas perusahaan multinasional dan pula peranan pemerintah kecil.
Teori ini diperbaiki oleh Moon,Rugman dan Verbeke, dengan memasukan pertimbangan
aktivitas multinasional, menjadi diamond ganda. Teori Moon, Rugman dan Verbeke ,
menekankan dua elemen, pertama, nilai tambah yang berkesinambungan dalam sebuah negara
dihasilkan dari perusahaan yang dimiliki secara domestik maupun yang dimiliki asing,kedua,
kemampuan berkesinambungan memerlukan konfigurasi nilai tambah yang tersebar di banyak
negara. Oleh karenanya, aktivitas multinasional, baik didalam batas wilayah maupun diluar batas
wilayah, penting bagi kemampuan bersaing suatu negara. Perbaikan terhadap teori Porter juga
dilakukan Dong Sung Cho, dengan model sembilan faktor. Faktor manusia mencakup pekerja,
politisi, wirausahawan dan profesional bersama faktor fisik mencakup sumber daya yang
merupakan anugrah, permintaan domestik, industri terkait dan pendukung dan lingkungan bisnis
lainnya, menjadi faktor internal yang mempengaruhi daya saing. Selanjutnya ditambahkan faktor
eksternal, yaitu peluang kedalam model, menjadi model sembilan faktor.
Gambaran perdagangan komoditas pertanian Indonesia
Gambaran mengenai peta perdagangan komoditi pertanian, sepenuhnya mendasarkan pada
analisa dan laporan LP IBII tahun 2004. Dimana sektor pertanian dikelompokan menjadi 5 sub
sektor: (1) tanaman bahan makanan; (2) tanaman perkebunan; (3) peternakan; (4) kehutanan dan
(5) perikanan. Tanaman bahan makanan mencakup, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang
tanah, kacang kedelai dan hortikultura.
a) Dalam perdagangan internasional, ekspor dan impor bahan makan dikelompokan atas
dasar 4 SITC ( Standard International Trade Classification ), sebagai berikut :
b) SITC 0 untuk bahan makanan dan binatang hidup ;
c) SITC 1 untuk minuman dan tembakau ;

d) SITC 22 untuk biji-biji-an mengandung minyak berkulit keras ( kelapa ) maupun berkulit
lunak ( kedelai ) dan
e) SITC 4 untuk minyak atau lemak nabati atau hewani.
Secara keseluruhan hasil yang dapat dilaporkan adalah sebagai berikut:
a) Transaksi perdagangan bahan makanan Indonesia selalu surplus, sejak tahun 1988-2002,
dimana nilai ekspor melebihi nilai impor.
b) Surplus tersebut terutama diakibatkan relatif besarnya surplus perdagangan ,minyak
nabati berupa minyak sawit ( CPO ); perikanan (SITC 03) ; kopi,teh,coklat dan remapahrempah ( SITC 07 ).
Surplus tersebut, dialami oleh negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Ini
mengindikasikan negara berpendapatan tinggi tidak memiliki keunggulan dalam memproduksi
bahan makanan. Kecuali untuk tahun 2001, Amerika Serikat dan Uni Erpa mengalami surplus,
karena pemberian subsidi kepada petani di kedua negara tersebut. Jika dilihat dari rasio nilai
ekspor dan impor terhadap total nilai ekspor dan impor, maka sejak tahun 1988 2002, rasio
impor naik, tetapi rasio ekspor turun. Ini mengindikasikan dalam jangka panjang perdagangan
bahan makanan bisa mengalami defisit. Transaksi perdagangan tanaman hortikultura berupa
sayur-sayur-an dan buah-buah-an, sejak th 1988-2002, selalu mengalami surplus dengan proporsi
yang menurun. Hal ini karena kenaikan nilai ekspor yang cenderung melambat dibandingkan
nilai impornya.
Transaksi perdagangan komoditi tanaman bahan makanan sejak tahun 1988-2002 selalu
mengalami defisit, terutama untuk komoditi gandum, beras, jagung, dan kacang kedelai.
Transaksi untuk sub sektor peternakan dan komoditi gula, perdagangan Indonesia selalu
mengalami defisit, hal ini karena besarnya impor susu dan ternak hidup berupa sapi dan
konsumsi gula yang meningkat.
Peta Daya Saing Komoditi Indonesia di Asean
Daya saing komoditi Indonesia yang masuk dalam program CEPT, terdiri dari 15 komoditi,
yaitu:
a) Kertas (pulp & paper)

b) Minyak nabati
c) Bahan kimia
d) Obat-obat-an
e) Pupuk
f) Produk dari kulit
g) Produk dari karet
h) Tekstil
i) Semen
j) Keramik dan produk dari kaca
k) Tembaga
l) Elektronik
m) Furnitur katu dan rotan
n) Plastik
o) Batu mulia dan perhiasan
Dari kelima belas, komoditi tersebut, kinerja selama tahun 19941998, diteliti dan dilaporkan
sebagai berikut;
Dari kelima belas kelompok komoditas terdapat 2 kelompok yang memiliki daya saing
tinggi yaitu bahan kimia dan tembaga. Kinerja ekspor kedua kelompok komoditas tersebut tidak
tergantung pada permintaan Asean. Artinya walaupun permintaan Asean turun , komoditas
tersebut masih tetap tumbuh karena kemampuan penetrasi pasar yang bagus. Kelompok
komoditas semen sangat rentan terhadap perubahan permintaan Asean.
Kinerja kelompok komoditas kertas, obat-obat-an, minyak nabati, pupuk, produk karet,
tekstil, keramik dan kaca, elektronik, furnitur kayu dan rotan, plastik serta batu mulai dan
perhiasan , dipengaruhi oleh efek daya saing, efek pertumbuhan permintaan, yang berperanan
cukup besar. Efek pertumbuhan permintaan Asean masih berperan sangat besar terhadap kinerja
ekspor Indonesia. Hal ini berarti kinerja ekspor Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
permintaan Asean. Konsentrasipasar kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor
Indonesia di pasar Asean.

Dari gambaran mengenai peta perdagangan dan peta daya saing produk-produk yang berhungan
dengan agribisnis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum perdagangan komoditas
pertanian Indonesia mengalami surplus. Ini berarti pasar untuk komoditas pertanian tersebut
masih terbuka baik itu di Asean ( 20 % ), maupun diluar Asean ( AS, Uni Eropa, Jepang ).
Indonesia lebih mendekati apa yang dikemukakan Ricardo dan teori H-O. Di Pasar Asean
produk-produk pertanian Indonesia kurang memiliki daya saing, karena pesaing-pesaing dipasar
ini, memiliki produk yang sama seperti yang dijual Indonesia,( kondisi alam tak jauh berbeda )
Dengan demikian kebijakan perdagangan yang perlu dipertimbangkan, paling tidak
secara teoritis, haruslah memperhatikan, bahwa komoditas pertanian ,masih dapat dipandang
memiliki keunggulan komparatif, karena karunia alam, yang negara-negara lain tidak
memilikinya. AFTA sebagai langkah awal untuk memasuki globalisasi lebih lanjut, merupakan
instrumen untuk menilai bagaimana kebijakan persaingan Indonesia dapat diterapkan, sesuai
dengan pendapat Park dan Goh. Dimana rangsangan pertumbuhan komoditas pertanian, perlu
didorong terutama, untuk merangsang tumbuhnya sektor agroindustri, yang memperluas pasaran
di Asean.

Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa globalisasi sebagai fenomena ekonomi, menuntut penyesuaian-penyesuaian
kebijakan ekonomi nasional yang mengarah pada penyusunan fondasi ekonomi yang tidak rentan
sekaligus terjadi keseimbangan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama
kebanyakan masyarakat yang berbasisi pertanian.
Peta perdagangan produk agribisnis mengindikasikan peta daya saing produk domestik
yang lemah di pasar Asean dibandingkan dengan negara-negara yang menghasilkan produk yang
sama. Namun demikian pasar diluar Asean masih memiliki keunggulan komparatif. Diperlukan
kebijakan dalam perdagangan internasional - terutama untuk produk-produk agribisnis,
mengingat skala usaha produsen produk tersebut umumnya berskala kecil, antara kebijakan

dorongan ekspor seperti: kredit ekspor, subsidi ekspor, serta proteksi relatif terutama untuk
produk yang sama dari negara Asean.
Kebijakan yang lebih spesifik, terutama kebijakan persaingan, sehingga tercipata iklim
kompetisi yang sehat, khususnya dengan beberapa negara penghasil produk sama, dan oleh
karena itu akan menciptakan produktifitas dan efisiensi.

Daftar Referensi dan Pustaka:


1. Michael Porter. E, Alih Bahasa,gus Maulana, Strategi Bersaing,Tehnik menganalisis
Indusri dan Pesaing, Erlangga ,Jakarta 1992.
2. Paul Krugman dan Maurice Obstfeld, Ekonomi Internasional,Teori dan Kebijakan, PAUUI dan Harper-Collins Publishers, Jakarta, 1997.
3. Peter F Drucker, The Frontiers Management, Manajemen Lintas Peluang, Elex Media
Komputindo, Jakarta, 1997.
4. Y.B.Kadarusman, Silvia Mila Arini, Bernadetta Dwi Suatmi, Makro Ekonomi Indonesia,
Perkembangan Terkini dan Prospek 2003, Lembaga Penelitian Ekonomi IBII
bekerjasama dengan PT Gramedia Pustaka Utama,2002
5. Y.B.Kadarusman, Silvia Mila Arini, Bernadetta Dwi Suatmi, Makro Ekonomi Indonesia,
Perkembangan Terkini dan Prospek 2005, Lembaga Penelitian Ekonomi IBII
bekerjasama dengan PT Gramedia Pustaka Utama,2004.
6. Agus Pakpahan, DR, Politik Ekonomi Kebangkitan Perkebunan Di Indonesia, Gaperindo,
Jakarta, 2004.
7. Donald A Ball dan Wendell H McCulloch, Bisnis Internasional,Buku Satu, Salemba
Empat- McGraw-Hill Co,Jakarta ,2000

8. Donald A Ball dan Wendell H McCulloch, Bisnis Internasional,Buku Dua, Salemba


Empat- McGraw-Hill Co,Jakarta ,2001
9. Mari Pangestu, Syahrir, Ari A Perdana (penyunting), Indonesia dan Tantangan Ekonomi
Global, CSIS, Jakarta, 2003.

Anda mungkin juga menyukai