Produk Agribisnis
Andrea Abdul Rahman Azzqy S.Kom., M.Si., M.Si(Han)., MCTS
Dengan demikian, dapat dijelaskan sebenarnya komoditi ekspor Indonesia sangat rentan
terhadap kondisi permintaan Asean dan belum mampu melakukan penetrasi pasar dengan baik,
hal ini karena pertumbuhan permintaan Asean masih sangat berperan besar terhadap kinerja
ekspor Indonesia ke pasar Asean. Patut pula dicatat, bahwa produk-produk yang terkait dengan
agribisnis, belum memiliki daya saing yang tinggi dipasar Asean, padahal banyak negara Asean
memiliki komoditi ekspor yang sama dengan komoditi yang di ekspor oleh Indonesia.
Dalam kaitan memperkuat ekonomi kawasan , sebagai landasan untuk memasuki pasar
global, AFTA, haruslah menjadi ajang ujian bagi komoditi Indonesia, apakah kelak mampu
masuk dipasaran internasional yang lebih luas atau tidak. Oleh karena itu momentum harus
ditangkap dengan mempersiapkan berbagai kebijakan-kebijakan yang lebih memberikan peluang
terciptanya daya saing bagi komoditi ekspor.
Dengan melihat gambaran tersebut diatas, maka permasalahan yang muncul, terutama berkaitan
dengan kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis adalah:
a) Bagaimanakah gambaran peta perdagangan internasional Indonesia selama ini untuk
komoditi yang berhubungan agribisnis.
b) Konsep kebijakan perdagangan yang bagaimana yang dapat mendukung daya saing
komoditikomoditi Indonesia di pasar internasional.
c) Globalisasi dari Pendekatan Teori Perdagangan Internasional.
Tuntutan globalisasi berkembang sejalan dengan perkembangan tehnologi dalam transportasi
dan komunikasi yang tumbuh dengan pesat ditandai dengan terdistribusinya barang-barang atau
jasa secara internasional. Tingkat keterlibatan suatu negara dalam perdagangan internasional
diukur dengan rasio-rasio : perdagangan dunia terhadap pendapatan nasional; pertumbuhan arus
modal dan penanaman modal asing terhadap pendapatan nasional. Dilain pihak, kerjasama
ekonomi regional juga semakin menemukan bentuknya, justru untuk menghadapi globalisasi
tersebut. Implikasi dari kedua tuntutan tersebut, globalisasi dan regionalisasi, adalah tarik
menarik antara kebijakan perdagangan yang biasanya dilakukan negara-negara dalam derajat
kerjasama regional, dan kebijakan persaingan sebagai konsekuensi adanya tuntutan globalisasi.
Kebijakan persaingan mempunyai arah utuk membuka pasar, mengawasi praktek-praktek
anti persaingan, dan menghapuskan berbagai hambatan masuk ke dalam pasar. Kebijakan yang
mengarah pada liberalisasi kompetitif tingkat global ini, diharapkan tidak mengacaukan skema
kebijakan regional, meskipun beberapa kasus telah menunjukan konflik, ketika skema global
goyah. Sedangkan kebijakan perdagangan biasanya lebih menitik beratkan kepentingan industriindustri nasional dari pada kondisi pasar.
Dalam merumuskan konsep kebijakan perdagangan, khususnya untuk komoditi agribisnis di
Indonesia, maka akan didekati dengan beberapa teori yang mendasari. Teori-teori tersebut
meliputi:
a) Teori yang menjelaskan arus barang secara internasional
b) Teori-teori yang menjelaskan arus investasi internasional.
c) Teori- teori tentang kerjasama regional.
Teori Arus Barang Internasional
Disamping Teori Keunggulan Komparatif dari David Ricardo dan Teori Proporsi dari HechserOhlin, sebagai teori yang paling luas dijadikan acuan mendasari terjadinya perdagangan
internasional, akan disampaikan beberapa teori yang lebih akhir, untuk dapat menjelaskan
perdagangan internasional di era globalisasi
Teori Skala Ekonomi dan Diferensiasi Produk
Secara garis besar teori ini menjelaskan
a) Perdagangan internasional dapat bersumber dari imbalan yang meningkat (increasing
return ) atau skala ekonomis artinya biaya makin turun dengan meningkatnya output.
Skala ekonomis memberikan dorongan bagi negara-negara untuk melakukan spesialisasi
dan berdagang meskipun sumber daya dan tehnologi tidak berbeda.
Teori Linder mengambil kesimpulan bahwa perdagangan internasional dalam beberapa barang
manufaktur akan menjadi lebih besar antara negara-negara dengan tingkat pendapatan per kapita
yang sama daripada antara negara yang tidak sama tingkat pendapatan perkapitanya. Barang
yang diperdagangkan adalah barang-barang dimana terdapat permintaan yang tumpang tindih
(overlaping demand), yang berarti konsumen di kedua negara meminta barang yang sama.
Perbedaan Teori Linder dengan keunggulan komparatif adalah bahwa teori Linder tidak
menentukan arah kemana barang tertentu akan pergi. Secara teoritis barang dapat pergi kemana
saja sesuai dengan teori perdagangan intraindustri dan karena adanya diferensiasi produk
Teori Kompetitif Michael Porter
Garis besar Teori Porter, menyatakan bahwa empat jenis variabel akan mempunyai dampak atas
kempampuan perusahaan-perusahaan lokal di suatu negara untuk menggunakan sumber-sumber
negara itu guna memperoleh keunggulan kompetitif:
Kondisi-kondisi permintaan- sifat dasar dari permintaan domestik. Apabila para pelanggan
sebuah perusahaan sedang mempunyai permintaan, ia akan memproduksi produk yang
berkualitas tinggi dan inovatif, dan akan memperoleh keunggulan kompetitif dimana tekanan
domestik lebih kecil.
a) Kondisi-kondisi faktor- level dan komposisi faktor produksi.Kekurangan karunia alam
telah menyebabkan bangsa-bangsa melakukan investasi dalam penciptaan faktor-faktor
lanjutan, seperti pendidikan angkatan kerjanya, pelabuhan bebas dan sistim komunikasi
maju, untuk memungkinkan industri-industri mereka bersaing secara global.
b) Industri-industri terkait dan pendukung para pemasok dan jasa dukungan industri.
c) Strategi, struktur dan persaingan perusahaan perluasan persaingan domestik, adanya
hambatan masuk, serta organisasi dan gaya manajemen perusahaan. Perusahaanperusahaan yang terkena persaingan berat di pasar-pasar domestiknya, secara konstan
akan meningkatkan efisiensinya, yang membuat mereka lebih kompetitif secara
internasional.
Porter membangun teorinya dengan meneliti, industri-industri (manufakturing) di beberapa
negara yang memiliki kemiripan dalam hal komparatif relatif. Identifikasi terhadap industri-
industri yang ternyata memiliki daya saing walaupun mereka datang dari negara yang secara
alamiah tidak berlimpah sumber daya. Tetapi sumber daya bukanlah satu-satu-nya faktor yang
dapat meningkatkan daya saing industri suatu negara, dan Porter telah merumuskan model
bagaimana, daya saing dapat tercipta, oleh faktor-faktor penentu yang lain.
Teori Porter yang dikenal dengan diamond tunggal, selanjutnya mendapat kritikan karena
tidak mempertimbangkan aktivitas perusahaan multinasional dan pula peranan pemerintah kecil.
Teori ini diperbaiki oleh Moon,Rugman dan Verbeke, dengan memasukan pertimbangan
aktivitas multinasional, menjadi diamond ganda. Teori Moon, Rugman dan Verbeke ,
menekankan dua elemen, pertama, nilai tambah yang berkesinambungan dalam sebuah negara
dihasilkan dari perusahaan yang dimiliki secara domestik maupun yang dimiliki asing,kedua,
kemampuan berkesinambungan memerlukan konfigurasi nilai tambah yang tersebar di banyak
negara. Oleh karenanya, aktivitas multinasional, baik didalam batas wilayah maupun diluar batas
wilayah, penting bagi kemampuan bersaing suatu negara. Perbaikan terhadap teori Porter juga
dilakukan Dong Sung Cho, dengan model sembilan faktor. Faktor manusia mencakup pekerja,
politisi, wirausahawan dan profesional bersama faktor fisik mencakup sumber daya yang
merupakan anugrah, permintaan domestik, industri terkait dan pendukung dan lingkungan bisnis
lainnya, menjadi faktor internal yang mempengaruhi daya saing. Selanjutnya ditambahkan faktor
eksternal, yaitu peluang kedalam model, menjadi model sembilan faktor.
Gambaran perdagangan komoditas pertanian Indonesia
Gambaran mengenai peta perdagangan komoditi pertanian, sepenuhnya mendasarkan pada
analisa dan laporan LP IBII tahun 2004. Dimana sektor pertanian dikelompokan menjadi 5 sub
sektor: (1) tanaman bahan makanan; (2) tanaman perkebunan; (3) peternakan; (4) kehutanan dan
(5) perikanan. Tanaman bahan makanan mencakup, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang
tanah, kacang kedelai dan hortikultura.
a) Dalam perdagangan internasional, ekspor dan impor bahan makan dikelompokan atas
dasar 4 SITC ( Standard International Trade Classification ), sebagai berikut :
b) SITC 0 untuk bahan makanan dan binatang hidup ;
c) SITC 1 untuk minuman dan tembakau ;
d) SITC 22 untuk biji-biji-an mengandung minyak berkulit keras ( kelapa ) maupun berkulit
lunak ( kedelai ) dan
e) SITC 4 untuk minyak atau lemak nabati atau hewani.
Secara keseluruhan hasil yang dapat dilaporkan adalah sebagai berikut:
a) Transaksi perdagangan bahan makanan Indonesia selalu surplus, sejak tahun 1988-2002,
dimana nilai ekspor melebihi nilai impor.
b) Surplus tersebut terutama diakibatkan relatif besarnya surplus perdagangan ,minyak
nabati berupa minyak sawit ( CPO ); perikanan (SITC 03) ; kopi,teh,coklat dan remapahrempah ( SITC 07 ).
Surplus tersebut, dialami oleh negara-negara yang berpendapatan rendah dan menengah. Ini
mengindikasikan negara berpendapatan tinggi tidak memiliki keunggulan dalam memproduksi
bahan makanan. Kecuali untuk tahun 2001, Amerika Serikat dan Uni Erpa mengalami surplus,
karena pemberian subsidi kepada petani di kedua negara tersebut. Jika dilihat dari rasio nilai
ekspor dan impor terhadap total nilai ekspor dan impor, maka sejak tahun 1988 2002, rasio
impor naik, tetapi rasio ekspor turun. Ini mengindikasikan dalam jangka panjang perdagangan
bahan makanan bisa mengalami defisit. Transaksi perdagangan tanaman hortikultura berupa
sayur-sayur-an dan buah-buah-an, sejak th 1988-2002, selalu mengalami surplus dengan proporsi
yang menurun. Hal ini karena kenaikan nilai ekspor yang cenderung melambat dibandingkan
nilai impornya.
Transaksi perdagangan komoditi tanaman bahan makanan sejak tahun 1988-2002 selalu
mengalami defisit, terutama untuk komoditi gandum, beras, jagung, dan kacang kedelai.
Transaksi untuk sub sektor peternakan dan komoditi gula, perdagangan Indonesia selalu
mengalami defisit, hal ini karena besarnya impor susu dan ternak hidup berupa sapi dan
konsumsi gula yang meningkat.
Peta Daya Saing Komoditi Indonesia di Asean
Daya saing komoditi Indonesia yang masuk dalam program CEPT, terdiri dari 15 komoditi,
yaitu:
a) Kertas (pulp & paper)
b) Minyak nabati
c) Bahan kimia
d) Obat-obat-an
e) Pupuk
f) Produk dari kulit
g) Produk dari karet
h) Tekstil
i) Semen
j) Keramik dan produk dari kaca
k) Tembaga
l) Elektronik
m) Furnitur katu dan rotan
n) Plastik
o) Batu mulia dan perhiasan
Dari kelima belas, komoditi tersebut, kinerja selama tahun 19941998, diteliti dan dilaporkan
sebagai berikut;
Dari kelima belas kelompok komoditas terdapat 2 kelompok yang memiliki daya saing
tinggi yaitu bahan kimia dan tembaga. Kinerja ekspor kedua kelompok komoditas tersebut tidak
tergantung pada permintaan Asean. Artinya walaupun permintaan Asean turun , komoditas
tersebut masih tetap tumbuh karena kemampuan penetrasi pasar yang bagus. Kelompok
komoditas semen sangat rentan terhadap perubahan permintaan Asean.
Kinerja kelompok komoditas kertas, obat-obat-an, minyak nabati, pupuk, produk karet,
tekstil, keramik dan kaca, elektronik, furnitur kayu dan rotan, plastik serta batu mulai dan
perhiasan , dipengaruhi oleh efek daya saing, efek pertumbuhan permintaan, yang berperanan
cukup besar. Efek pertumbuhan permintaan Asean masih berperan sangat besar terhadap kinerja
ekspor Indonesia. Hal ini berarti kinerja ekspor Indonesia sangat rentan terhadap perubahan
permintaan Asean. Konsentrasipasar kurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekspor
Indonesia di pasar Asean.
Dari gambaran mengenai peta perdagangan dan peta daya saing produk-produk yang berhungan
dengan agribisnis tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum perdagangan komoditas
pertanian Indonesia mengalami surplus. Ini berarti pasar untuk komoditas pertanian tersebut
masih terbuka baik itu di Asean ( 20 % ), maupun diluar Asean ( AS, Uni Eropa, Jepang ).
Indonesia lebih mendekati apa yang dikemukakan Ricardo dan teori H-O. Di Pasar Asean
produk-produk pertanian Indonesia kurang memiliki daya saing, karena pesaing-pesaing dipasar
ini, memiliki produk yang sama seperti yang dijual Indonesia,( kondisi alam tak jauh berbeda )
Dengan demikian kebijakan perdagangan yang perlu dipertimbangkan, paling tidak
secara teoritis, haruslah memperhatikan, bahwa komoditas pertanian ,masih dapat dipandang
memiliki keunggulan komparatif, karena karunia alam, yang negara-negara lain tidak
memilikinya. AFTA sebagai langkah awal untuk memasuki globalisasi lebih lanjut, merupakan
instrumen untuk menilai bagaimana kebijakan persaingan Indonesia dapat diterapkan, sesuai
dengan pendapat Park dan Goh. Dimana rangsangan pertumbuhan komoditas pertanian, perlu
didorong terutama, untuk merangsang tumbuhnya sektor agroindustri, yang memperluas pasaran
di Asean.
Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut:
Bahwa globalisasi sebagai fenomena ekonomi, menuntut penyesuaian-penyesuaian
kebijakan ekonomi nasional yang mengarah pada penyusunan fondasi ekonomi yang tidak rentan
sekaligus terjadi keseimbangan dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat, terutama
kebanyakan masyarakat yang berbasisi pertanian.
Peta perdagangan produk agribisnis mengindikasikan peta daya saing produk domestik
yang lemah di pasar Asean dibandingkan dengan negara-negara yang menghasilkan produk yang
sama. Namun demikian pasar diluar Asean masih memiliki keunggulan komparatif. Diperlukan
kebijakan dalam perdagangan internasional - terutama untuk produk-produk agribisnis,
mengingat skala usaha produsen produk tersebut umumnya berskala kecil, antara kebijakan
dorongan ekspor seperti: kredit ekspor, subsidi ekspor, serta proteksi relatif terutama untuk
produk yang sama dari negara Asean.
Kebijakan yang lebih spesifik, terutama kebijakan persaingan, sehingga tercipata iklim
kompetisi yang sehat, khususnya dengan beberapa negara penghasil produk sama, dan oleh
karena itu akan menciptakan produktifitas dan efisiensi.