Anda di halaman 1dari 5

Alexandra Josephine M.

Prasedyoko
07110028
UAS Take Home Skenario Pak Mumin

1.
Gross Revenue
Gross Revenue= (Oil Sale x Oil Price) + (Gas Sales x Gas Price)
FTP (First Tranche Petroleum)
Pada PSC dan usaha biasa terdapat Cost Recovery dan Recovery. Bedanya, pada PSC
pendapatan dari produksi dibagi dimana Pemerintah menerima Government Take dan
Kontraktor memperoleh Recovery serta Net Contractor Share. Besarnya Cost
Recovery dan Recovery perlu persetujuan BP Migas. Pada usaha biasa pendapatan
diterima pengusaha, sehingga dia menghitung Cost Recovery dan Recovery sendiri
untuk pembayaran Bagian Pemerintah. Pada PSC manajemen ditangan pemerintah
dan pada usaha biasa pada pengusaha.
Recoverable cost pada suatu tahun tidak mencerminkan apakah usaha tersebut hemat
biaya atau tidak. Pada awal produksi, sesudah investasi yang besar, recoverable cost
selalu tinggi. Apabila tidak ada royalty atau FTP (First Tranche Petroleum), bisa saja
recoverable cost sama dengan pendapatan. Pada lapangan yang tidak mengeluarkan
investasi lagi, dimana produksinya pasti turun, justru recoverable cost rendah karena
dia hanya mengeluarkan biaya operasi. Royalty (awalnya berasal dari upeti kepada
royal family atau keluarga kerajaan) adalah presentase dari pendapatan yang
dibayarkan kepada pemerintah. Sedangkan FTP adalah royalty yang di share (bagi)
antara pemerintah dan kontraktor. Dengan royalty dan FTP pemerintah mendapat
jaminan pendapatan sejak awal produksi.
Equity to be split
Setelah hasil produksi/lifting digunakan untuk membayar jatah FTP, Investment
Credit dan Cost Recovery, maka nilai yang masih tersisa akan dibagi antara negara
dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Porsi pembagian ini disesuaikan
dengan kesepakatan yang telah tertuang dalam Production Sharing Contract (PSC).
Porsi standar pembagian produksi minyak adalah 85:15, dimana: negara akan
mendapat jatah 85% nilai produksi/lifting, dan KKKS mendapat 15%. Adapun porsi
standar pembagian produksi gas adalah 70:30, dimana negara akan menerima jatah
70% dan KKS 30%. Namun tidak menutup kemungkinan adanya porsi pembagian
produksi migas yang lain, terkait dengan jenis kontrak yang berbeda, atau jenis
lapangan, atau cara produksi dll.
Perlu dicatat bahwa porsi bagi hasil produksi sebesar 85:15 atau 70:30 tersebut adalah
nilai bersih setelah memperhitungkan pajak (net after tax). Sehingga, berapapun tariff
pajak penghasilan yang berlaku di Indonesia, investor akan selalu terjamin untuk
mendapatkan porsi 15% (dalam kondisi bagi produksi 85:15) atau 30% (dalam
kondisi bagi produksi 70:30) dari pembagian hasil produksi.

Terdapat beberapa tarif pajak penghasilan yang telah berlaku dalam PSC sesuai tax
regime pada saat itu, yaitu 56%, 48% dan 44%. Namun, dalam berbagai tariff pajak
penghasilan tersebut, investor tetap mendapatkan jaminan porsi pembagian hasil
produksi yang tetap sesuai kontrak PSC. Bagi investor, hal ini tentu merupakan
keuntungan tersendiri. Setidaknya akan sedikit lebih mudah bagi mereka untuk
melakukan analisis atas portfolio investasi yang mereka miliki di berbagai penjuru
dunia.
Untuk mengetahui besaran porsi pembagian produksi secara gross up (sebelum
pajak), maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut:
Misal:
- Porsi pembagian produksi = 85:15.
- Pajak Penghasilan = 44%
- Bagian kontraktor sebelum pajak = X
Maka:
Produksi setelah pajak = 56% (1-44%)
Bagian Kontraktor = 56% x X = 15%
X = 15% x 100/56 = 26.78%
PPh = 44% x 26.78% = 11.78%
Bagian Kontraktor setelah pajak = 15% (26.78%-11.78%).
Jadi angka Gross Up dari pembagian produksi sebesar 15% bagi kontraktor dengan
tariff pajak 44% adalah 26.78%
Sebaliknya bagi negara, porsi 85% yang diterima adalah nilai setelah ditambah
penerimaan pajak. Dengan demikian penerimaan negara dari hasil pembagian
produksi adalah lebih kecil daripada 85% tsb, yakni 73.22% (1 26.78%) atau (85% 11.78%).

Government Share
Prinsip PSC generasi pertama (1966 1975) adalah :
1. Cost Recovery dibatasi sebesar 40% dari total pendapatan per tahun.
2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery (60%) dibagi
antara Pertamina dan Kontraktor sebesar 65% : 35% (dimana 65% bagian Pemerintah
sudah termasuk pajak Kontraktor).
3. Kontraktor diwajibkan memasok 25% dari bagian produksinya untuk keperluan
DMO dengan harga USD 0.20/barrel.
Pada PSC generasi pertama, aspek perpajakan belum jelas pengaturannya, bagian
Pemerintah sebesar 65% dianggap sudah termasuk pajak yang dibayar oleh
Kontraktor. Perubahan PSC term menjadi PSC generasi kedua ini dilakukan untuk
mengakomodasi perubahan yang terjadi di negara asal Kontraktor. Perubahan tersebut
adalah tidak diakuinya pajak penghasilan Kontraktor di Indonesia oleh kantor pajak
negara asal, dengan demikian tax credit Kontraktor tidak diizinkan lagi. Oleh
karena itu PSC term perlu dimodifikasi sehingga tidak merugikan Kontraktor dalam

rangka memanfaatkan fasilitas tax credit di negara asalnya.


Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 1988) ini adalah sebagai
berikut :
1. Cost recovery tidak lagi dibatasi dan didasarkan pada Generally Accepted
Acounting principle (GAAP).
2. Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi
antara Pemerintah dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak)
31.82% : 68.18% (gas).
3. Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak
pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak
adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).
4. Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari 56%
menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian
produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan
42.31% : 57.69% (gas).
5. Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari
pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi.
6. Pengeluaran kapital dapat didepresiasi selama 7 tahun dengan metoda Double
Declining Balance (DDB).
Anjloknya harga minyak menjadi masalah bagi Pemerintah mengingat minyak
menyumbang kontribusi besar bagi APBN. Untuk lapangan lapangan yang sudah
mulai menurun produksinya, minyak yang akan dibagi sudah tinggal sedikit, dengan
tidak dibatasinya Cost Recovery, bisa jadi sudah tidak ada lagi minyak yang dibagi,
hal ini bertentangan dengan semangat berbagi produksi (production sharing) itu
sendiri.
Perlunya jaminan pendapatan bagi Pemerintah melandasi lahirnya PSC generasi 3
(PSC generasi 3 dimulai sejak 1988). Untuk itulah pada PSC generasi 3 diperkenalkan
istilah First Tranche Petroleum (FTP) yang besarnya 20%. Ini berarti 20% dari
produksi (sebelum dikurangi Cost Recovery) akan dibagi antara Pemerintah dan
Kontraktor.
Taxable Income
Pendapatan bersih pada usaha biasa disebut taxable income dan pada PSC disebut
Equity to Split (ES).

2. a). Bagi hasil dari produksi (profit oil split)

Proporsi minyak sesudah dipotong oleh costs oil disebut profit oil. Pada
awalnya produksi dibagi atas dasar yang tetap. Di Indonesia 65 35 % split antara
pemerintah dan kontraktor diubah menjadi 85 15 % untuk minyak dan 70 30 %
untuk gas. Kemudian pada 1979 split tergantung pada produksi, 50-50% untuk
produksi rendah dan 85 15 % untuk produksi tinggi. Di Angola pada 1979 skala
progresif diberlakukan untuk komulatif produksi dari suatu lapangan minyak
skalanya tergantung dari geografi (onshore, offshore, dangkal atau dalam).
85 : 15 (untuk oil) dan 70 : 30 (untuk gas) adalah prosentase yang dihitung
dari Equity to be split. Ini bagi hasil yang dijamin dalam kontrak bagi hasil. Namun
untuk mendapatkan angka ini, terdapat perhitungan DMO, DMO fee dan Tax.
Sehingga perlu dilakukan perhitungan gross up atas prosentase di bagian ETBS
ssehingga secara bottom nilai prosentasenya mencapai 85 : 15 dan 70 : 30
b).
Perubahan yang dilakukan pada PSC generasi kedua (1976 1988)
Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak
pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak
adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).
Dengan adanya undang undang pajak tahun 1984 dimana total pajak turun dari
56% menjadi 48%, maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas,
pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak)
dan 42.31% : 57.69% (gas).

3. Harga rental equipment terutama akan ditentukan oleh cost untuk memiliki /
mengoperasikan alat tersebut.
Dalam cost management, dikenal istilah depresiasi. Angka ini dihitung untuk :
- menentukan biaya memiliki / mengoperasikan alat
- menentukan kewajiban pajak
Secara sederhana, depresiasi bisa dihitung dengan menggunakan straight line method,
dimana :depreciation = ( cost salvage value ) / useful life
Pertimbangannya adalah mana yang lebih murah antara membeli dengan menyewa.
Kalau kebutuhannya besar & continue, mungkin membeli equipment + biaya
maintenance dept akan lebih murah dari menyewa. Demikian juga sebaliknya.

4. Empat faktor tersebut yakni, pertama, berdasarkan laporan OPEC dan International
Energy Agency (IEA) Agustus 2014, kilang-kilang pengolahan minyak mentah di
kawasan Atlantic Basin beroperasi tinggi dan mengakibatkan inventory beberapa jenis
produk mengalami peningkatan.
Demikian pula di Asia, kondisi kilang pengolahan yang telah kembali beroperasi
normal dan masa maintenance mengakibatkan suplai distillate ringan meningkat.
Sementara tingkat keuntungan (margin) kilang pengolahan di kawasan Amerika dan
Asia melemah pada Juli hingga awal Agustus.

Kedua, berdasarkan laporan OPEC Agustus 2014, produksi minyak mentah OPEC
pada Juli 2014 mengalami kenaikan sebesar 167.000 ton barel per hari dibandingkan
dengan Juni 2014.
Serta berdasarkan laporan IEA Agustus 2014, produksi minyak mentah dunia di Juli
2014 secara umum mengalami kenaikan menjadi 93,04 juta barel per hari atau lebih
tinggi sebesar 230.000 barel per hari dibanding bulan sebelumnya.
Ketiga, berdasarkan laporan OPEC Agustus 2014, proyeksi permintaan minyak
mentah 2014 sedikit lebih rendah sebesar 20.000 barel per hari dibanding dengan
proyeksi pada bulan sebelumnya.
Demikian pula pertumbuhan permintaan 2014 diproyeksikan 1,1 juta barel per hari
atau lebih rendah 0,03 juta barel per hari dibandingkan perkiraan pada bulan
sebelumnya.
Keempat, berdasarkan laporan EIA di Agustus, rata-rata produksi minyak mentah AS
di Juli mencapai 8,5 juta barel per hari yang merupakan angka produksi tertinggi sejak
April 1987.
Adapun untuk kawasan Asia Pasifik, penurunan harga minyak terjadi karena
penurunan permintaan minyak mentah dan hampir seluruh produk turunannya di
Jepang dan Korea Selatan serta kondisi kilang yang telah beroperasi normal dengan
kondisi margin rendah dan stok olahan distillate ringan yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai