Anda di halaman 1dari 3

Munali Berharap, Remo ala Dirinya Lestari

SEKALIPUN usia sang penari remo dan seniman ludruk ini sudah cukup renta dan
lapuk, tetapi gairah dan semangatnya masih membara. Cak Munali Patah yang
berusia 83 tahun tetap ingin memberikan suatu pengabdian hidup kepada
masyarakatnya, teristimewa dunia seni tradisi ludruk.
LOYALITAS hidupnya terhadap seni tari yang satu ini memang sangat luar biasa,
sehingga tari Remo atau tarian tunggal yang dimainkan untuk pembukaan
pertunjukan ludruk sangat melekat pada dirinya. Bahkan, dalam usia yang sudah
mendekati seabad ini, tokoh ludruk Jawa Timur ini masih dikenal dengan baik,
hampir semua tukang becak di pinggiran Jalan Raya Buduran, Sidoarjo
mengenalinya.
Ketika masih menjadi bintang panggung, tarian Remo yang diperagakan sering
membuat penonton terkagum-kagum. Itulah secuil kenangan sang seniman ludruk,
kelahiran Desa Banjar Kemantren, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.
"Sewaktu ngremo (menari Remo) mata penonton tak berkedip, karena eman kalau
sampai kelewatan ndak lihat gerakan-gerakan tari Remo ala Cak Munali," kata
Munali Patah mengenang masa lampaunya sebagai penari remo sekaligus seniman
ludruk kesohor di Jawa Timur ini.
Sebagai seniman ludruk, Cak Munali menaruh keprihatinan besar terhadap
kesenimanan ludruk era sekarang ini, terlebih pada tarian Remo yang terkesan asalasalan, sehingga terasa hambar. "Ngremo ludruk sekarang ini seperti gado-gado
mambu (busuk), gak kenek dipangan (tak dapat dimakan)," ujarnya.
"Saya sendiri sekarang sangat prihatin melihat kesenian sekarang yang bertumpuktumpuk dan dimuntahkan di negeri ini, sehingga anak sekarang ini sukanya trekjreng dan lihat udel-nya (pusarnya) penyayi," katanya.
Melihat realitas itu, Cak Munali Patah, sang tokoh seniman ludruk ini hanya prihatin,
terlebih melihat kesenian ketoprak dan ludruk yang sudah mengacak-acak pakem
kesenian tradisi bersangkutan. "Ya, mau bagaimana lagi, padahal apa yang dilihat
anak sekarang di televisi itu sudah kacau-balau dan tidak lagi pakem," ujarnya.
Cak Munali, kini tak lagi mampu beraksi di atas pentas panggung ludruk, apalagi
menari Remo sebagaimana saat-saat masih gagah-perkasa dulu. Jika, tari Remo
bisa berkembang seperti sekarang ini, hal itu tak lepas dari kiprahnya sebagai penari
Remo sekaligus pengembangnya.
SELAIN dikenal sebagai penari Remo yang andal pada zamannya, Munali Patah
pun tak bisa lepas dari pemeran karakter orang Madura yang melekat pada setiap
pertunjukan ludruk. "Sampai sekarang watak Madura itu masih melekat, misalnya,
kalau ada pengendara motor tanya saya ndak mau turun dan mematikan mesinnya,
ya saya abaikan saja," ujarnya.
Selama berkecimpung dan bergelut dalam seni tradisi ludruk, suami, Supiyatun,
mantan seniwati ludruk RRI Surabaya, hanya bisa berharap apa yang telah ia

berikan untuk kesenian ludruk, teristimewa tari Remo ala Munali Patah, tak ikut
lenyap ketika Sang Maha Pencipta memanggil dirinya. "Saya cuma berharap milik
saya, tidak ikut katut punah," ujarnya.
Cak Munali bercerita, masa lalu tatkala kehidupan kesenian tidak tumpah-ruah
seperti sekarang ini, hampir setiap kampung di Kota Surabaya ini memiliki
seperangkat gamelan, walaupun terbuat dari besi. Ini berarti pula, hampir setiap
anak muda kota ini bisa memainkan gending-gending.
Ada perasaan berbinar-binar dan bangga dari raut wajah Cak Munali Patah ini
sewaktu dia menceritakan sebuah pengalaman pementasan tari Remo, tahun 1970an, di Festival Ramayana di Prambanan, Jawa Tengah. "Persisnya ndak ingat, ya
sekitar tahun 1970-an, saya ngremo bersama 20 orang penari di Festival Ramayana
itu," ujarnya.
"SEJAK pensiun dari RRI Surabaya, saya curahkan kemampuan saya untuk
pengabdian masyarakat. Kalau sebelumnya, tercurah pada negara, sekaranglah
waktunya untuk mengabdi kepada masyarakat," ujar bapak tiga orang anak, satu di
antaranya adalah anak tiri.
Sebelum bergabung dengan ludruk RRI Surabaya, tahun 1963, kakek lima cucu ini,
mengawali kehidupan kesenimanan pada grup ludruk LRM (Ludruk Rukun Makono),
tahun 1938, lalu berhimpun dengan grup ludruk JB (Jelmaan Baru), akhir tahun
1949. "Seniman ludruk segenerasi saya semuanya sudah meninggal dunia, dan
tinggal saya satu-satunya yang masih hidup," ujarnya.
Sebagai salah seorang tokoh seniman ludruk generasi tahun 1920-an, Munali agak
kesulitan mengingat-ingat nama-nama seniman seangkatannya, karena tampaknya
ia tak terlampau mementingkan persoalan nama seorang teman atau orang lain
ketika bertemu, berkenalan, berteman, atau berhimpun dalam komunitas kesenian
tradisi.
"Ya, sudah ndak ingat lagi nama-namanya, tapi ada tiga seniman yang masih saya
ingat betul namanya," tuturnya. Ketiga seniman yang sudah almarhum yang masih
diingat sang tokoh ludruk asal kota petis ini, adalah Cak Manan, seniman ludruk dari
grup Aliran Massa, Cak Minin, seniman ludruk dari grup Durasim, dan Minun,
seniman ludruk dari grup Ludruk Tresno Enggal.
Cak Munali adalah satu dari sedikit tokoh seniman tradisi yang mampu melahirkan
sebuah karya yang amat monumental, walaupun hasil ciptaannya itu merupakan
suatu pengembangan dari karya itu sendiri.
Dan, karya ciptanya itu tak lain adalah tari Remo ala Munali Patah, yang sampai
sekarang ini menjadi salah satu materi pengajaran tari di Sekolah Menengah
Kesenian Indonesia (SMKI/SMKN 9) Surabaya, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta
(STKW) Surabaya, dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Dan, sebuah karya
tari Cokronegoro.

"Bukan saya yang menciptakan tari Remo, tapi saya lah yang mengembangkannya
sehingga tidak punah, dan sampai sekarang ini tari Remo versi Munali itu masih
diajarkan di SMKI, STKW, dan IKIP (Unesa-Red)," ujarnya.
TARI Remo versi Munali ini tak saja diajarkan di ketiga lembaga pendidikan di Kota
Surabaya itu. Melainkan juga diajarkan pada sanggar-sanggar tari, di antaranya
Laboratorium Tari Remo Surabaya, pimpinan Dini Ariati.
"Kekuatan tari Remo yang saya kembangkan itu pada tumpuan kedua kaki, dan
gerakannya lebih mantap, tidak gampang goyang, dan unsur silatnya tujuh puluh
persen. Jadi, sangat dinamis, lincah, tegap, dan lebih luwes," jelasnya panjang lebar
penuh semangat.
Sampai sekarang sang tokoh seniman ludruk yang sempat menerima anugerah
penghargaan dari Pusat Lembaga Kesenian Jawa, Solo, Jawa Tengah, dan
anugerah penghargaan seniman dan budayawan Jawa Timur dari Pemerintah
Provinsi Jawa Timur, dan sebuah penghargaan dari Taman Budaya Jawa Timur,
tetap tinggal di rumah sederhana.
"Mestinya pengabdian saya lebih dahulu diketahui orang-orang Jawa Timur, justru
orang Solo yang lebih dahulu tahu dan barangkali pengabdian saya pada kesenian
lebih didengar orang-orang Solo," ujar Munali. (TIF)
Teko Kompas, 11 Januari 2003

-WASSALAM,
ANDRI-JOGJA

Anda mungkin juga menyukai