Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis atau TB paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri berbentuk batang yaitu Mycobacterium tuberculosis. Biasanya yang paling
umum terinfeksi adalah paru-paru tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya.
Penyakit ini dapat menular dari orang ke orang melalui droplet dari orang yang
terinfeksi TB paru.1
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia, tapi saat ini TB
masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993
WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. Menurut2 World
Health Organization (WHO) menyatakan bahwa penyakit Tuberkulosis Paru (TB)
saat ini telah menjadi ancaman global, karena hampir sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi. Sebanyak 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,
terjadi pada negara-negara berkembang. TB merupakan penyebab kematian
nomor satu diantara penyakit menular. Tingginya insidens dan prevalens TB
terutama kasus TB BTA positif merupakan ancaman penularan TB yang serius di
masyarakat, karena sumber penularan TB adalah penderita TB BTA positif.3,4
Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan masalah besar dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah Cina dan India.
Diperkirakan secara kasar bahwa setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penderita baru TB paru BTA positif. Setiap satu penderita TB positif akan
menularkan kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya. Penemuan penderita
dan pengobatannya merupakan suatu kunci penting dalam menangani tuberculosis
paru.5,6

BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 42 tahun, suku Minahasa masuk rumah sakit Prof.
Dr. R.D. Kandou pada tanggal 18 Oktober 2014 dengan keluhan utama sesak
napas. Sesak napas dialami penderita 5 hari yang lalu, memberat pada 1 hari
terakhir. Penderita mengalami demam sejak 1 minggu yang lalu dirasakan hilang
timbul. Penderita juga mengeluh batuk berlendir sejak 1 bulan lalu. 2 hari yang
lalu penderita batuk disertai strip darah. Penderita juga mengeluh mengalami
penurunan berat badan 5 kg dalam 1 bulan terakhir. Berkeringat pada malam
hari juga dialami oleh penderita. Buang air besar cair sejak 3 hari lalu, dengan
frekuensi tiga kali perhari. Hari ini hanya sekali buang air besar cair. Ada ampas
dan lendir, tidak ada darah. Buang air kecil tidak ada keluhan. Pada riwayat
penyakit dahulu, penderita sempat masuk Rumah Sakit Advent 1 minggu yang
lalu dengan keluhan yang sama, namun tidak ada perubahan. Riwayat penyakit
hipertensi, DM, asam urat, kolesterol, ginjal, jantung, paru dan liver disangkal
oleh penderita. Pada riwayat penyakit keluarga, ayah penderita pernah minum
OAT selama 6 bulan. Riwayat sosial, penderita tidak merokok juga tidak minum
minuman beralkohol.
Pada pemeriksaan fisik saat penderita masuk rumah sakit didapatkan
keadaan umum tampak sakit sedang dan kesadaran kompos mentis. Tekanan
darah 100/60 mmHg, nadi 90 kali permenit, reguler, isi cukup, frekuensi
pernapasan 28 kali permenit dan suhu badan aksiler 37,8 celcius, tinggi badan
150 cm, berat badan 42 kg, habitus astenikus. Pada pemeriksaan kulit didapatkan
kulit tidak ikterik, lapisan lemak kurang dan turgor kulit kembali cepat. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan rambut tebal dan tidak mudah dicabut.
Konjungtiva tampak anemis, sklera tidak tampak ikterik, pupil bulat isokor
dengan diameter 3 mm, refleks cahaya positif normal, gerakan bola mata aktif dan
mata cowong tidak ada. Pada pemeriksaan telinga tidak tampak tophi, lubang
normal, cairan tidak ada, selaput pendengaran intak. Pada pemeriksaan hidung
tidak didapati deviasi, tidak ada sekret. Pada pemeriksaan mulut didapatkan bibir
tidak sianosis, gigi geligi dalam batas normal, lidah beslag tidak ada, mukosa

basah, pembesaran tonsil tidak ada dan faring tidak hiperemis. Pada pemeriksaan
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening dan trakea letak tengah.
Pada pemeriksaan thoraks, inspeksi dada terlihat simetris, tidak ada
retraksi, dan tidak ada kelainan kulit. Pada inspeksi punggung terlihat simetris,
tidak ada kelainan kulit. Pada palpasi, stem fremitus kiri kurang dari kanan dan
saat diperkusi paru kiri terdengar redup daripada kanan. Pada auskultasi toraks
suara pernapasan vesikuler paru kiri menurun, tidak ada rhonki dan wheezing.
Pada pemeriksaan jantung didapatkan inspeksi, iktus kordis tidak tampak. Pada
palpasi, iktus kordis tidak teraba. Pada perkusi didapatkan batas kanan jantung di
sela iga IV linea sternalis dekstra, batas jantung kiri di sela iga V linea
midklavikularis sinistra. Pada auskultasi irama teratur, denyut jantung 94 kali
per menit, bunyi jantung (BJ) I dan II regular, tidak ditemukan bising dan gallop.
Pada pemeriksaan abdomen, saat inspeksi perut terlihat datar dan tidak
ada kelainan kulit. Pada auskultasi didapatkan bising usus normal. Pada palpasi,
perut terasa lemas, hati tidak teraba, lien tidak teraba, ballottement ginjal tidak
teraba, tidak ada nyeri tekan epigastrium. Pada perkusi terdengar timpani, nyeri
ketok angulus kostovertebra tidak ada.
Pada ekstremitas warna kulit sawo matang, ekstremitas hangat, tidak ada edema,
tidak ada tremor, tidak ada deformitas pada jari-jari, kuku sianosis tidak ada,
waktu pengisian ulang kapiler kurang dari 2 detik.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 9 g/dL, leukosit
13.600/mm3, trombosit 376.000/mm3, hematokrit 27,3%, MCV 69,1 fl, MCH 22,8
pg, MCHC 33 g/dL, LED 60 mm. Pada pemeriksaan kimia klinik protein total 7,2
g/dL, gula darah sewaktu 90 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL, ureum 10 mg/dL, asam
urat 1,5 mg/dL, albumin 4,1 g/dL, globulin 3,9 g/dL, SGOT 13 U/L, SGPT 8 U/L,
natrium 137 mmol/L, kalium 2,65 mmol/L, klorida 99,5 mmol/L. Pada foto thorax
terlihat gambaran efusi pleura pada paru dextra dan bercak nodular.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium
serta pemeriksaan penunjang lainnya maka ditegakkan diagnosis kerja efusi
pleura dextra et causa suspek TB paru dengan infeksi sekunder, anemia et causa
chronic disease dan hipokalemi. Pasien diberikan pengobatan dengan infus NaCl
0,9% dengan tetesan 20 teter permenit, ceftriaxone dua kali satu gram sehari
intravena (dilakukan skin test sebelum pemberian), asam traneksamat 500

miligram tiga kali sehari intravena, codein tablet sepuluh miligram tiga kali
sehari, parasetamol 500 miligram tablet tiga kali sehari, KSR tablet tiga kali
sehari, serta diet tinggi kalori tinggi protein. Direncanakan akan dilakukan pungsi
pleura dextra setelah pasien beserta keluarga memberikan persetujuan dan
dilakukan pemeriksaan sputum BTA.
Pada hari perawatan ketiga, penderita mengeluh sesak napas mulai
berkurang, batuk strip darah sudah tidak ada dan tidak ada BAB cair. Dilakukan
pungsi pleura dextra atas persetujuan keluarga dan didapatkan cairan kurang lebih
sebanyak 100cc dengan warna kekuningan. Terapi asam traneksamat 500
miligram tiga kali sehari intravena dihentikan, terapi lain dilanjutkan.
Pada perawatan hari keempat, penderita mengeluh sesak napas dan batuk
mulai berkurang. Hasil pemeriksaan sputum BTA 3 kali didapatkan hasil positif
(+/+/+). Penderita kemudian didiagnosa dengan efusi pleura et causa TB Paru
dengan TB Paru infeksi sekunder dan hipokalemia. Pada penderita ditambahkan
terapi Rimstar tablet tiga kali sehari, terapi lain dilanjutkan.
Pada hari perawatan kelima, penderita tidak lagi mengeluh sesak napas
dan batuk sudah mulai berkurang. Hasil laboratorium Hb 11,6 g/dL, leukosit
11.700/mm3, trombosit 572.000/mm3, hematokrit 35,3%, MCV 79,7 fl, MCH 27,8
pg, MCHC 34,8 g/dL. Terapi dilanjutkan.
Pada hari perawatan ketujuh, batuk banyak berkurang, sesak napas tidak
ada. Hasil pemeriksaan sputum BTA tiga kali positif. Dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya maka
pasien didiagnosis dengan TB Paru infeksi sekunder. Penderita diberikan
antibiotik oral cefixime 100 miligram tablet dua kali sehari, Rimstar tablet tiga
kali sehari, codein sepuluh miligram tablet tiga kali sehari, paracetamol 500
miligram tablet tiga kali sehari, dan diberikan terapi OAT kategori I yaitu 2 bulan
HRZES dan 4 bulan HR dan direncanakan pulang keesokan harinya dan
dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik paru RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado.

BAB III
PEMBAHASAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri


berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis.
Penularan penyakit ini melalui dahak penderita yang mengandung basil
tuberkulosis paru tersebut. Pada waktu penderita batuk, butir-butir air ludah
beterbangan di udara yang mengandung basil TB dan terhisap oleh orang yang
sehat dan masuk ke dalam paru yang kemudian menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru.7,8
Hampir sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi. Sebanyak 95% kasus
TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara berkembang.
TB merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit menular. Di
antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu usia 20-49 tahun.2 Tingginya
insidens dan prevalens TB terutama kasus TB BTA positif merupakan ancaman
penularan TB yang serius di masyarakat, karena sumber penularan TB adalah
penderita TB BTA positif.3
Tuberkulosis (TB) di Indonesia masih merupakan masalah besar dan
merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia setelah Cina dan India.
Diperkirakan secara kasar bahwa setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130
penderita baru TB paru BTA positif. Setiap satu penderita TB positif akan
menularkan kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya.1,3
Keluhan yang dirasakan pasien TB dapat bermacam-macam, dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena
adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori, antara lain:2,9,10
1. Batuk 2 minggu karena terjadi iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut berupa
batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan
batuk darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada
ulkus dinding bronkus.
2. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Nyeri timbul akibat gesekan pleura parietal dan
viseral saat inspirasi dan ekspirasi.

Gejala sistemik antara lain: demam biasanya subfebril tetapi kadang-kadang


panas badan dapat mencapai 40-41C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan
makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, dan keringat
malam.1,3,4,7 Pada kasus ini, penderita berusia 42 tahun. Penderita tinggal bersama
anggota keluarga yang menderita TB Paru. Penderita datang dengan keluhan sesak
napas, batuk berlendir selama 1 bulan disertai strip darah, demam tinggi,
penurunan nafsu makan, serta penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemis, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Tempat kelainan lesi Tb Paru
yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru. Bila tuberkulosis
mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga pada perkusi didapatkan
suara redup atau pekak, pada auskultasi terdengar melemah sampai tidak
terdengar pada sisi yang terdapat cairan, akan didapatkan juga suara napas
tambahan berupa ronkhi. Pada kasus ini, ditemukan suara redup pada paru dextra
saat perkusi, suara nafas melemah pada paru kanan saat auskultasi.2,3
Pemeriksaan laboratorium darah kurang mendapat perhatian, karena
hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak
spesifik. Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali normal.
Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi. Pada pemeriksaan sputum
secara mikroskopis ditemukan BTA sekurang-kurangnya pada dua kali
pemeriksaan. Pada kasus ini, ditemukan jumlah leukosit yang meninggi yaitu
13.600/mm3, laju endap darah yang meningkat (LED) yaitu 60 mm dan hasil
sputum BTA 3 kali positif (+/+/+).
Pada pemeriksaan radiologi, pemeriksaan foto toraks merupakan
pemeriksaan standar pada pasien TB, namun juga bisa dilakukan pemeriksaan lain
atas indikasi yaitu foto lateral dekubitus (lateral recumbent), top-lordotic, oblic
atau CT-Scan. Foto lateral dekubitus (lateral recumbent) digunakan untuk

membuktikan adanya cairan pada rongga pleura atau di dalam bula. Pada kasus
ini, ditemukan gambaran efusi pleura paru dextra dan bercak nodular pada
pemeriksaan foto thorax.
Diagnosis TB Paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Kriteria pasien Tuberkulosis menurut WHO tahun1991.2
Pasien dengan sputum BTA positif :
1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan, atau
2. Satu sediaan sputumnya (+) disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan
gambaran TB aktif, atau
3. Satu sediaan sputumnya (+) disertai biakan yang positif.
Pasien dengan sputum BTA negatif :
1. Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA, sedikitnya pada 2 kali pemeriksaan, tetapi gambaran
radiologis sesuai dengan TB aktif, atau
2. Pasien yang pemeriksaan sputumnya tidak ditemukan BTA sama sekali,
tetapi pada biakannya positif (+).
Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara
mikroskopik biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis TB Paru, karena
kekerapan mycobacterium atipik di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu
hanya 30-70% saja dari seluruh kasus TB Paru yang dapat didiagnosis secara
bakteriologis. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang
positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien
tidak bisa membatukkan sputumnya dengan baik. Kelainan baru jelas setelah
penyakit berlanjut sekali.2,5
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi
disebabkan oleh strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan
debilitas, atau mengalami gangguan kekebalan, yang berisiko menderita
tuberkulosis milier. Pada kasus ini, prognosis penderita baik karena infeksi masih
terbatas pada bagian paru.

BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien dengan Tuberkulosis Paru pada laki-laki
usia produktif. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda klinis dimana
ditemukan sesak napas, batuk berlendir selama 1 bulan disertai strip darah,
demam tinggi, penurunan nafsu makan, serta penurunan berat badan. Pemeriksaan

fisik ditemukan suara redup pada perkusi dan suara napas melemah pada paru
dextra. Pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit yang meninggi, LED yang
meningkat serta pemeriksaan sputum BTA yang positif. Pasien diberikan terapi
antibiotik, antifibrinolitik, antitusif dan diberikan antipiretik. Prognosis TB pada
pasien ini baik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pertiwi RN, Wuryanto MA, Sutingsih D. Hubungan antara karakteristik individu,
praktek hygiene dan sanitasi lingkungan dengan kejadian tuberculosis di
Kecamatan Semarang Utara tahun 2011. JKM. 2012; 2(1):435-45.

2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. 2009. Hal.2230-47.
3. Sarwani SR, Nurlaela S, Zahrotul A. faktor resiko multidrug resistant tuberculosis.
KEMAS. 2012; 8(1):60-6.
4. Pemantauan Efektivitas Obat Anti Tuberculosis Berdasarkan Pemeriksaan
Sputum pada Penderita Tuberculosis Paru. Jurnal Kesehatan. 2010; 1(3):1-5.
5. Isbaniyah F, Thabrani Z, Soepandi PZ, Burhan E, Reviona, Soedarsono, dkk.
Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011.6.
6. Ratnasari NY. Hubungan dukungan sosial dengan kualitas hidup pada penderita
tuberkulosis paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta
Unit

Minggiran.

Perkumpulan

Pemberantas Tuberkulosis Indonesia. Jurnal

Tuberkulosis Indonesia. 2012; 1(8):7-11.


7. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indoensia. Panduan Pelayanan
Medik. Jakarta: InternaPublising, 2009. h. 109-11.
8. Manalu HSP. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru dan Upaya
Penanggulanggannya. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol.9. No.4. Desember 2010. h.
1340-6.
9. Lyanda A. Rapid TB Test. Perkumpulan Pemberantas Tuberkulosis Indonesia.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol.8. Maret 2012. h. 12-7.
10. Luthfi A, Sardikin GP. Tuberkulosis nosokomial. Perkumpulan Pemberantas
Tuberkulosis Indonesia. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Vol.8. Maret 2012. h. 30.
11. KumarV, Cotran R, Robbin S. Buku Ajar Patologi, Edisi VII. Jakarta: EGC; 2007.
h. 551.

10

Anda mungkin juga menyukai