Anda di halaman 1dari 30

KEPERAWATAN GERONTIK

KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gerontik
yang dibina oleh R.Endro S. S.Kep.,Ns

Oleh:
KELOMPOK 6, 3A

Anisa Zulmi Maghfirroh


Belia Lofty
Maria Ulfa
Reszeta Berliana N
Tri Astuti Wulandari

AKADEMI KEPERAWATAN LUMAJANG


Jalan Brigjen Katamso Telp (0334) 882262 Lumajang

Tahun 2014-2015
1

KONSEP LEGAL DAN ETIK KEPERAWATAN GERONTIK

1. Konsep legal keperawatan gerontik


1.1 Prinsip Etik
1.1.1. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien
1.1.2. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya
1.1.3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien/ orang lain
dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya
1.1.4. Non-Maleficence (utamakan-tidak mencederai orang lain)
kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau
cidera
Prinsip :Jangan membunuh, menghilangkan nyawa orang lain, jangan
menyebabkab nyeri atau penderitaan pada orang lain, jangan membuat
orang lain berdaya dan melukai perasaaan orang lain.
1.1.5. Confidentiality (hak kerahasiaan)
menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien
yang dipercayakan pasien kepada perawat.
1.1.6. Justice (keadilan)
kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri
berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.
1.1.7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1.1.7.1. Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan yang telah diambil
1.1.7.2. Era modern , pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak
hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan pt dipenuhi perawat
1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
1.1.7.4. Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang
disepakati.
2

1.1.8. Veracity (Truthfullness & honesty)


Kewajiban untuk mengatakan kebenaran.
1.1.8.1. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent
1.1.8.2. Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan
kebenaran.
1.2. Pemecahan masalah etik
1.2.1. Identifikasi masalah etik
1.2.2. Kumpulkan fakta-fakta
1.2.3. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.
1.2.4. Buat keputusan dan uji cobakan
1.2.5. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb

1.3. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik


Keperawatan gerontik secara holistic menggabungkan aspek pengetahuan
dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan
kondisi kesehatan fisik, mental, social dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan
untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum,
dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia
baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,
nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik
diharapkan

dapat

memberikan

manfaat

yang

sebesar-besarnya

bagi

pengembangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di


atas. Namun dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara
kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi dan kepatuhan pelayanan. Dalam
mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspekaspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.

1.4. Area Prioritas


1.4.1. Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area prioritas:
ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat, stimulasi mental,
tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit vaskularisasi periver, masalah
respiratori, masalah gastrointestinal, masalah diabetes, masalah muskulusskeletal,
masalah genitourinary, masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik,
masalah dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan
dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri dan
higienitas, pengawasan menelan obat.
1.4.2. Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Subarea
prioritas:diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat ukur geriatric.
1.4.2.1. factor-faktor organisasi yang berdampak pada system pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di
rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),
model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan
jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.
1.4.2.2. factor-faktor social yang berdampak pada tingkat kesehatan lansia. Sub
area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi, kelenturan kesehatan
yang berbasis budaya dan kepercayaan, social ekonomi, konsep-konsep
gerontology (aspek kesehatan, aspek spiritual, aspek etika dan moral,
aspek nutrisi, aspek psikologis, aspek fisiologis dan aspek social).
1.4.2.3. kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko social. Sub
area prioritas:penilaian status fungsional, psikologis, senile demensia,
olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap risiko kecelakaan, interaksi
social, spiritual, manajemen stress, sakaratul maut, support keluarga,
aktivitas dan disfungsi seksual.
1.4.2.4. promosi kesehatan. Sub area prioritas:pesan, teknologi

2. PRINSIP ETIKA PELAYANAN KESEHATAN PADA LANSIA

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada


penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
2.1.

Empati : istilah empati menyangkut pengertian : simpati atas dasar


pengertian yang dalam. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga
tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu
semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik

dari penderita lansia.


2.2.
Yang harus dan yang jangan : prinsip ini sering dikemukakan sebagai
non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada
keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita.
Terdapat adagium primum non nocere (yang penting jangan membuat
seseorang menderita). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring
yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu
dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan
merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk
dikerjakan.
2.3.
Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu
saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal
tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan
secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu
(atau menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara
hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional
masih kapabel (sedanagkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat
melindungi penderita yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang ayah membuat
keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).

2.4.

Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan


yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar

karakteristik yang tidak relevan.


2.5.
Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita.
Mengenai keharusan untuk berbuat baik dan otonomi, Meier dan Cassel
menulis sebagai berikut : ..............although the medical community has
ferquently been attacked for its attitude toward patients, it is usually conceded that
paternalism can be justified if certain criteria are met; if the dangers averted or
benefits gained for the person outweigh the loss of autonomy resulting from
intervention;

if

the

person

is

too

ill

to

choose

the

same

intervention.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan
geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai
hal sebagai berikut :
1) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
2) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik)
atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak
tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih
tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan
yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum
yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan

penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas
dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari :
1. Apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai
pilihan yang ada) ?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah
terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu
waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional
penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita
untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut
demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan
bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau
pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission
maker.
2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
Dalam

kenyatannya

pengambila

keputusan

ini

sering

dilakukan

berdasarkan keadaan de-facto yaitu oleh suami/istri/anggota kelurga, dinbanding


keadaan de-jure oleh pengacara, karena hal yang terkhir ini sering tidak praktis,
waktu lama, dan sering melelahkan baik secara fisik maupun emosional.

Oleh Karena suatu hal, misalnya gangguan komunikasi, salah pengertian,


kepercayaan penderita atau latar belakang budaya dapat menyebabkan penderita
mengambil keputusan yang salah ( antara lain menolak tramfusi / tindakan bedah
yagn live saving). Dalam hal ini, dokter dihadapkan pada keadaan yang sulit,
dimana atas otonomi penderita tetap harus dihargai.Yang penting adalah bahwa
dokter mau mendengar semua keluhan atau alas an penderita dan kalau mungkin
memperbaiki keputusan penderita tersebut denagn pemberian edukasi. Seringkali
perlu diambil tindakan kompromi antara apa yang baik menurut pertimbangan
dokter dan apa yang diinginkan oleh penderita.
ARAHAN KEINGINAN PENDERITA (ADVANCE DIRECTIVES) (Reuben et
al, 1996, Kane et al, 1994)
Dalam hal menghargai hak otonomi penderita, dikenal apa yang disebut
sebagai arahan keinginan penderita, yaitu ucapan atau keingginan penderita yang
diucapkan pada saat penderita masih dalam keadaan kapasitas fungsional yagn
baik. Arahan keinginan yang diucapkan ini sebaiknya dicatat/direkam untuk
kemudian digunakan sebagai pedoman bilamana diperlukan untuk pengam,bilan
keputusan pada saat kapasitas fungsional penderita terganggu atau menurun.
Bahkan apabila arahan tersebut tidak dicatat/direkam, tetap mempunyai kekuatan
hukum, asalkan terdapat saksi-saksi yang cukup pada saat arahan tersebut
diucapkan.
Yang lebih kuat dari arahan keinginan pendeita adalah apa yang disebut
sebagai testament kematian (living will), yaitu suatu pernyataan dari penderita
saat masih kapabel secara fungsional didepan seorang petugas hukum
(pengacara/notaries). Testament kematian ini bisa memberi kekuatan hokum atas
tindakan dokter unruk memberikan, menghentikan atau melepas segala tindakan
pemberian alat Bantu perpanjangan hidup.
PEMBERIAN PERALATAN PERPANJANGN HIDUP (Life Sustaining Device)
Salah satu aspek etika yang penting dan tetpa controversial dalam
pelayanan geriatric adalah penggunaan perpanjangan hidup, antara lain ventilator
dan upaya perpanjangan hidup yang lai (resusitasi kardio-pulmoner dll). Pada

penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering
diharapkan hidup penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa
ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced)
pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan
yang kejam (futile treatment).
Dikatakan sebagai kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan yang
diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada
kesehatan penderita. kekejaman kuantitatif bila tindakan atau terapi tampaknya
tidak ada gunanya. Kekejaman kualitatif bila tindakan atau terapi perpanjangn
hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup
penderita.
Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga,
penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi
pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu
dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi
untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi
pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu
dihentikan.
PERUMATAN PENDERITA TERMINAL DAN HOSPIS (Shaw, 1984; Kane et
al, 1994; Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak
terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa
sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan
hospis atau erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan
bagian yang penting dari pelayanan geriatri.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi
organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal
dan keadaan yang jelas tidak memberi harapan, masalhnya mungkin tidak
begitu sulit. Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas
dengana berbagai fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum

menjadi lebih rumit. Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma
metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
1. Apakah penderita perlu diberitahu
2. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah
ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap
memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?
Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya
hospis menjadi penting
Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus
dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas
pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.
3. ASPEK HUKUM DAN ETIKA
Poduk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara
merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut
Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu
Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila
dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian
terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),
Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program
(1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care
(1992), Charter for Residents Right (1992), Community Option Program (1994),
dan Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi older
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social
Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI).
Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus
Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care
(1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).

10

Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan


telah ditetapkan standardisasi pelaytanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga
telah ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care.
Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of
Elders (SAGE) dan The Elders Village.
4. LANDASAN HUKUM DI INDONESIA
Berbagai produk hokum dan perundang-undangan yang langsung
mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan
Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :
4.1.

Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi


Orang Jompo (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32

4.2.

dan tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2747).


Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok

Mengenai Tenaga Kerja.


4.3.
Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
4.4.

Kesejahteraan Sosial.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi

4.5.
4.6.
4.7.

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.


Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga

Kerja.
4.8.
Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
4.9.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.
4.10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4.11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
4.12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
4.13.

Pembangunan Keluarga Sejahtera.


Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan

Perkembangan Kependudukan.
4.14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undangUndang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
4.15. Pasal 27 UUD 45
Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
11

pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu


dengan tidak ada kecualinya. Tiap tiap warga negara berhak atas
pekerjaannya dan penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan
4.16.

Pasal 34 UUD 45
Fakir miskin dan anakanak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat

bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud


dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi.
Sedangkan pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di
rumah, perlindungan hukum dan perawatan dirumah.
Jenis jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 1988)
1) Penyiksaan suami istri
2) Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual)
3) Penyiksaan terhadap lansia
4) Peniksaan terhadap orang tua
5) Penyiksaan terhadap sibling
4.17.

Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan


Sosial

4.18.

UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19:


Kesehatan

manusia

usia

lanjut

diarahkan

untuk

memelihara

dan

meningkatkan kesehatan agar tetap produktif dengan bantuan pemerintah


dalam upaya penyelenggaraannya
4.19.

UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 :


Pelayanan kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan
derajad kesehatan dan kemamouan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan
sosialnya

dapat

berfungsi

secara

wajar

melalui

upaya

penyuluhan,penyembuhan, dan pengembangan lembaga


4.20.

Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan


masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya
masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang
mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi,
12

yaitu: anak, orang tua dan kakek / nenek


4.21.

UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Seseorang yang telah lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan
kesehatan yang diakui pemerintah,Tenaga keperawatan adalah perawat dan
bidan

4.22.

UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah


Kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4.23.

UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan

4.24.

Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah

4.25.

Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan


Nasional

4.26.

Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya.

4.27.

PP No. 25 tahun 2000 tentang kewengan Pemerintah dan Kewenangan

4.28.

Propinsi sebagai daerah otonomi

4.29.

PP No. 32 tahun 1992 tentang tenaga kesehatan

4.30.

PP No. 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan


Kesejahteraan

4.31.

Sosial Lanjut Usia Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi
dan Praktik Keperawatan

4.32.

Keppres No.452 th 2004 tentang Komite Nasional Lanjut Usia

4.33.

Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional

4.34.

Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa.

4.35.

Keputusan

Menteri

Sosial

No.10/HUK/1998

tentang

Lembaga

Kesejahteraan Lanjut Usia


4.36.

SK Men Kes RI No. 1346 tahun 1990 tentang pembentukkan Tim Kerja

4.37.

Geriatri : Bertugas merumuskan program pembinaan kesehatan usia lanjut

4.38.

Dokrin-dokrin

4.39.

Kebijakan Institusi

Sumber Etik Keperawatan:


1) PPNI - code of ethics

13

2) Personal ethics
3) General standart
4.40.

Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain :

4.40.1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan
kelembagaan.
4.40.2. Upaya pemberdayaan.
4.40.3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4.40.4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
4.40.5. Perlindungan sosial.
4.40.6. Bantuan sosial.
4.40.7. Koordinasi.
4.40.8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
4.40.9. Ketentuan peralihan.
5. PERMASALAHAN
Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari
aspek hokum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
5.1.
Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hokum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu
pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya,

sehingga

penerapannya

di

lapangan

sering

menimbulkan

permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang


Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga
perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.
5.2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,
sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga
sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang menaruh
minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para

14

Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya
menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
5.3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu
permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya
mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan
terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain :
5.3.1 Tenaga ahli gerontology
5.3.2 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri,
dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist,
5.3.3

perawat terlatih.
Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case

5.3.4

managers), petugas sosial masyarakat, konselor.


Ahli hukum: sarjana hokum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih,

5.3.5
5.3.6

jaksa penunutut umum, hakim terlatih.


Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor.
Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga
ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT

terlatih.
5.4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika
yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
5.4.2. Tindak kejahatan (crime)
5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)
5.4.4. Persetujuan tertulis (informed consent)
5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)
5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang
menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan,

15

pelayanan

kesehatan,

pribadi,

hak

memutuskan,

kepemilikan

maupun

pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau
perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.
Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi
akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United
Ntions-Malta, 1996) adalah :
5.4.1.1. Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.
5.4.1.2. Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.
5.4.1.3. Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
5.4.1.4. Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
5.4.1.5. Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
1) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
2)

Ketidaksiapan dari orang yang akan merawat Lanjut Usia.

3)

Konflik lama di antara Lanjut Usia dengan keluarganya.

4)

Perilaku psikopat dari Lanjut Usia dan atau keluarganya.

5)

Tidak adannya dukungan masyarakat.

6)

Keluarga mengalami kehilangan pekerjaan/pemutusan hubungan kerja.


7)

Adanya riwayat kekerasan dalam keluarga.

Gejala yanag terlihat pada pelecehan atau ditelantarkan antara lain :


a. Gejala fisik berupa memar, patah tulang yang tidak jelas sebabnya, higiena
jelek, malnutrisi dan adanya bukti melakukan pengobatan yang tidak benar.
b. Kelainan perilaku berupa rasa ketakutan yang berlebihan menjadi penurut atau
tergantung, menyalahkan diri, menolak bila akan disentuh orang yang
melecehkan, memperlihatkan tanda bahwa miliknya akan diambil orang lain
dan adanya kekurangan biaya transpor, biaya berobat atau biaya memperbaikik
rumahnya.
c. Adanya gejala psikis seperti stres, cara mengatasi suatu persoalan secara tidak
benar serta cara mengungkapkan rasa salah atau penyesalan yang tidak sesuai,
baik dari Lanjut Usia itu sendiri maupun orang yang melecehkan.
Jenis pelecehan dan ditelantarkan adalah :
a.

Pelecehan fisik atau menelantarkan fisik.

b.

Pelecehan psikis atau melalui tutur kata.


16

c.

Pelanggaran hak.

d.

Pengusiran.

e.

Pelecehan di bidang materi atau keuangan.

f.

Pelecehan seksual.
Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect)

dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan
sebagai berikut :
1. Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:

Mendapatkan orang yang di[ercaya untuk melakukan tindakan hukum atau


melakukan transaksi keuangan.

Mengusahakan bantuan hukum dari seorang pengacara.

2. Terhadap keterlantaran aktif atau tindak pelecehan:

Mengusahakan agar Lanjut Usia tidak terisolir.

Anggota keluarga tetap dekat dan memperhatikan Lanjut Usia selalu


mendapatkan informasi baik tentang keadaan fisi, emosi, maupiun keadaan
keuangan Lanjut Usia tersebut.

Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak raguragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada
fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi
merawatnya.

Masyarakat mengemban sistem pengamatan terhadap tindak pelecehan


kepada Lanjut Usia (neighbourhood watch).

Melaksanakan program pelatihan tentang perawatan Lanjut Usia jompo di


rumah, pengenalan tanda-tanda terjadinya tidak pelecehan, pemberian
bantuan kepada Lanjut Usia, cara melakukan intervensi dan melakukan
rujuakn kepada fasilitas yang lebih mampu.
Tindak intervensi bila telah terjadi tindak pelecehan terhadap Lanjut Usia

adalah sebagai berikut :


1. Memberikan dukungan kepada korban pelecehan.
2. Lanjut Usia di rumah dan panti Tresna Wredha berhak menolak tindakan
intervensi tertentu.
3. Melatih keluarga untuk melaksanakan tindakan pelayanan tertentu.
17

4. Memberikan pertolongan dan pengobatan kepada orang yang melecehakan


Lanjut Usia tersebut.
5. Mengajukan tuntutan hukum kepada orang yagn melecehakan Lanjut Usia
tersebut.
5.4.2. Tindak kejahatan (crime)
Lanjut usia pada umumnya lebih takut terhadap tindak kejahatan bila
dibandingakan dengan ketakutan terhadap penyalit dan pendapatan yang
berkurang. Kerugian yang diderita oleh mereka tidak melebihi penderitaan yang
dialami oleh kaum muda. Hanya akibat yang ditimbulkan pada Lanjut Usia lebih
parah, berupa rasa ketakutan, kesepian, merasa terisolasi dan tidak berdaya.
Faktor yang mempengaruhi tindak kejahatan berupa factor fisik, keuangan
dan kedaan lingkungan di sekitar Lanjut Usia tersebut.
Jenis tindak kejahatan adalah:
5.4.2.1.
5.4.2.2.
5.4.2.3.
5.4.2.4.
5.4.2.5.
5.4.2.6.

Penodongan.
Pencurian dan perampokan.
Penjambretan.
Perkosaan.
Penipuan dalam pengobatan penyakit.
Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.

5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)


Pelayanan perlindungan adalah pelayanan yang dibeikan kepada para
Lanjut Usia yang tidak mempu melindungi dirinya terhadap kerugian yang terjadi
akibat mereka tidak dapat merawat diri mereka sendiri atau dalam melakukan
kiegiatan sehari-hari.
Pelayanan perlindungan bertujuan memberikan perlindungan kepada para
Lanjut Usia, agar kerugian yang terjadi ditekan seminimal mungkin. Pelayanan
yang diberikan akan menimbulkan keseimbangan di antara kebebasan dan
keamanan.
5.4.3.1. Perlindungan hokum
Perlindungan hokum uang dapat diberikan kepada Lanjut Usia dapat berupa:
1) Bantuan pengacara (power of attorney).

18

Lanjut Usia harus cukup kompeten untuk mengambil inisitif dalam


menyerahkan urusannya kepada orang lain.
2)

Joint Tenancy.
Joint tenancy merupakan suatu produk hokum yang memungkinkan Lanjut
Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut
Usia.

3)

Intervivos trust.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.

4) Conservatorship.
Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha
milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten,
pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau
instansi.
Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat
bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya
atau mengambil suatu keputusan penting lainnya.
5)

Informal guardianship.
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hokum, akan tetapi meruakan suatu
kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya,
panti atau suatu perusahaan.

5.4.4. Persetujuan tertulis (Informed consent).


Persetujuan tertulis merupakan suatu persetujuan yang diberikan sebelum
prosedur atau pengobatan diberikan kepada seorang lanjut usia atau penghuni
panti. Syarat yang diperlukan bila seorang lanjut usia memberikan persetujuan
ialah ia masih kompeten dan telah mendapatkan informasi tentang manfaat dan
risiko dari suatu prosedur atau pengobatan tertentu yang diberikan kepadanya.
Bila seoang lanjut usia inkompeten, persetujuan diberikan oleh pelindung atau
seorang walui.

19

5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issue).
Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang
mempengaruhi kualitas kehidupan lanjuy usia adalah:
5.4.5.1. Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan
katerisasi jantung, MRI, dsb.
5.4.5.2. Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi
5.4.5.3. Bertambahnya risiko pengobatan.
5.4.5.4. Biaya pengobatan yang meningkat.
5.4.5.5. Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
5.4.5.6. Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah
atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya :
1) Untukm mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang
sakit berat.
2)

Mempertahankan atau melepaskan infuse atau tube feeding. Melakukan


tindakan yang biayanya mahal.

3)

Euthanasia.
Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri,

tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini
bertentangan denagn hokum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran
di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
a.

Keinginan lanjut usia dan keluarganya.

b.

Derajat penderitaan dan derajat gangguan kognitif lanjut usia tersebut.

c.

Prognosa penyakit yang diderita.

d.

Kualitas kehidupan dari lanjut usia.

e.

Perawatan yang sedang diberikan.


Jenis euthanasia yang diberikan adalah active euthanasia (orang luar

mempercepat lanjut usia untuk mengakhiri hidupnya) dan passive euthanasia


(orang lain atau petugas kesehatan menolak memberikan pertolongan ytertentu
kepada penderita terminal)

20

6.

ASPEK LEGAL DAN ETIS KEPERAWATAN GERONTIK PRAKTEK

KEPERAWATAN PROFESIONAL
6.1 Aspek Legal
peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat : indonesia
6.1.1 GBHN98 2003, tentang kesra, pendidikan dan kebudayaan.
6.1.2 UU RI NO. 13 TH 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia GBHN98
2003
6.1.2.1. Arah

pembangunan;

peningkatan

kualitas

penduduk

lansia

u/

mewujudkan integritas sosial penduduk lansia dg masyarakat


lingkungannya
6.1.2.1. Pelayanan lansia untuk penghargaan;
1) Kemudahan pelayanan umum
2) Bantuan kesra bagi yg memerlukan
Pengembangan ilmu pengetahuan tentang lansia UU RI NO 13 1998
A. Hak Lanjut Usia
1. Meningkatkan kesejahteraan social, meliputi:
a. Pelayann keagaamaan & mental spiritual
b. Pelayanan kesehatan
c. kesempatan kerja
d. diklat
e. kemudahan & penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana umum
f. sama dlm kehidupan bermasy., berbangsa & bernegara
g. mengamalkan & mentransformasikan kemmpuannya ke generasi penerus.
h. memberikan keteladanan dlm segala aspek kehidupan u/ generasi penerus
2. Sama dalam kehidupan bermasyarakat Berbangsa & bernegara
B. Kebijakan Khusus Untuk Lanjut Usia
a.
PBB NO 045/206 TH 1991; 1 OKTOBER International Day For The
Elderly
b. PERGERI (The Indonesian Society Of Gerontology), 14 desember 1984
c. GBHN 1993 ; lansia dapat didayagunakan untuk pembangunan
d. HALUN ; mulai th 1996, 29 mei 1945, radjiman widiodiningrat (lansia) :
perlunya falsafah negara (pancasila), pandangan jauh ke depan &
wawasan luas
ASPEK ETIS
Askep
Dilaksanakan

Sesuai

Dengan

Kode

Etik

Keperawatan

(Nasional/Internasional)
Prinsip Etik Dalam Keperawatan/Universal
6.2. Kode Etik dalam Praktik Keperawatan
6.2.1. Tanggung jawab terhadap klien
6.2.2. Tanggung jawab terhadap tugas
21

6.2.3. Tanggung jawab terhadap sesama prawat


6.2.4. Tanggung jawab terhadap profesi keperawatan
6.2.5. Tanggung jawab terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.
6.3.

Hal - hal yang harus diperhatikan oleh perawat berkaitan dengan


kode etik

6.3.1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan
suku, ras, golongan, pangkat, jabatan, status social, maslah kesehatan.
6.3.2. Menjaga rahasia klien
6.3.3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak
etis, praktek illegal.
6.3.4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya
6.3.5. Perawat menjaga kompetensi keperawatan
6.3.6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.
6.3.7. Kompetensi individu serta kualifikasi daalm memberikan konsultasi
6.3.8. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanya perkembangannya body of
knowledge
6.3.9. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional
6.3.10. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang
salah dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat
6.3.11. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau
ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh masyarakat termasuk pada lansia.

6.4.

Fungsi kode etik (Kozier & Erb, 1980)

6.4.1. Memberikan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, pasien,


tenaga kesehatan lain, dan masyarakat.
6.4.2. Memberikan dasar dalam menilai tindakan keperawatan
6.4.3. Menjadi dasar dalam membuat kurikulum pendidikan keperawatan dan
untuk mengenalkan kepada lulusan tenaga keperawatan baru tentang
praktik keperawatan profesional
6.4.4. Membantu masyarakat untuk mengetahui pedoman dalam melaksanakan
praktik keperawatan

22

6.5.

Prinsip etik

6.5.1. Fidelity
Lebih terpusat pada kode etik keperawatan dimana perawat harus respek
kepada klien sebagai keutuhan manusia
6.5.2. Autonomi
Lebih mementingkan keputusan klien atas tindakan yang diberikan
6.5.3. Beneficience
Punya prinsip berbuat baik
6.5.4. Justice
Kewajiban moral
6.6.

Upaya Meminimalkan Risiko Dengan Penuh Tanggung Jawab

6.6.1. Lakukan tindakan yang sistematis, logis dan ilmiah yaitu :


Pengkajian, diagnosa keperawatan yang benar, perencanaan yang benar,
implementasi yang sesuai, evaluasi sesua kondisi
6.6.2. Lakukan research untuk pengembangan keperawatan gerontik
6.7.

Pekerjaan Sosial
Pekerjaan Sosial adalah profesi yang mendasarkan diri sebagai disiplin
normatif. Jadi profesi ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dan norma sosial
yang selalu mengarahkan kepada kebaikan secara sosial. Teori-teori Pekerjaan
sosial adalah normatif yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat. Jadi penting kiranya meningkatkan kemampuan pekerjaan
sosial untuk memperlihatkan secara langsung aspek-aspek moral dan normatif
dari teori dan praktek pekerjaan sosial.
Prisip-prinsip etika praktek yang berasal dari filosofi idiologi dan prinsipprinsip teknik praktek yang berasal dari landasan pengetahuan adalah komponen
utama dari teori praktik pekerjaan social.

6.8.

Prinsip Etik Praktek


Pekerja sosial menggunakan seperangkat prinsip-prinsip etik praktek

untuk membimbing dan membatasi tindakan-tindakan pertolongan yang dilakukan

23

prisip etik praktek dipandang sebagai kewajiban-kewajiban,standar-standar, tugastugas, tanggung jawab untuk diterapkan dalam praktek.
6.9.

Kode Etik Profesi


Prinsip etik praktek dituangkan dalam kode etik profesi dalam bentuk

petunjuk dan kewajiban. (kode etik internasional bagi pekerja sosial profesional).
6.10.

Prinsip-Prinsip Dasar Etik

6.10.1. Acceptance (penerimaan)


Pekerja sosial harus dapat menerima klien secara apa adanya.
6.10.2. Individualization (individualisasi)
Klien merupakan pribadi unik yang harus dibedakan dengan yang lainnya.
6.10.3. Non-judgemental attitude (sikap tidak menghakimi)
Pekerja sosial harus mempertahankan sikap tidak menghakimi terhadap
kedudukan apapun dari klien dan tingkah laku klien
6.10.4. Rationality (rasionalitas)
Pekerja sosial memberikan pandangan yang obyektif dan faktual terhadap
kemungkinan-kemungkinang terjadi, serta mampu mengambil keputusan.
6.10.5. Emphaty (empati)
Kemampuan memahami apa yang dirasakan orang lain / klien
6.10.6. Genuiness (ketulusan /kesungguhan)
Ketulusan dalam komunikasi verbal
6.10.7. Impartiality (kejujuran)
Tidak menghadiahi ataupun tidak merendahkan sesorang dan kelompok
(tidak menganak-emaskan atau menganak-tirikan)
6.10.8. Confidentiality (kerahasiaan)
Pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan data klien kepada orang lain
6.10.9. Self-awareness (mawas diri)
Pekerja

sosial

harus

sadar

akan

potensinya

dan

keterbatasan

kemampuannya.
6.11.

Idiologi dalam Pekerjaan Sosial


24

6.11.1. Pekerjaan Sosial adalah Humansitik


Humanistik dalam pengertian bahwa dalam prakteknya akan menjunjung
tinggi martabat dan harga diri manusia, perwujudan diri, otonomi pribadi
6.11.2. Pekerjaan Sosial adalah Positivistik
Positivistik dalam pengertian bahwa pekerjaan sosial memiliki nilai
obyektif dan ilmu pengetahuan, seperti rasionalitas logis, keterbukaan,
obyektivitas, universalisme dan kemajuan.
6.11.3. Pekerjaan Sosial adalah Utopian
Utopia adalah suatu keadaan pikiran yang tidak sesuai dengan keadaan
realitas yang mendorong manusia untuk mengubah realitas tersebut sesuai
dengan keinginan dalam pikiran menuju masyarakat yang baik dan
bertanggung jawab. Pekerjaan sosial ditandai oleh adanya suatu keyakinan
yang

pasti

untuk

menciptakan

masyarakat

yang

baik

dan

bertanggungjawab.
6.12.

Sifat Pelayanan
Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang

dilaksanakan oleh pemerintah maupun maupun masyarakat mengandung sifat


preventif , kuratif dan rehabilitatif.
Preventif
Pelayanan sosial yang diarahkan untuk pencegahan timbulnya masalah
baru dan meluasnya permasalahan lanjut usia, maka dilakukan melalui upaya
pemberdayaan keluarga, kesatuan kelompok kelompok di dalam masyarakat dan
lembaga atau organisasi yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan lanjut
usia, seperti keluarga terdekat, kelompok pengajian, kelompok arisan karang
werdha, PUSAKA, PERGERI
6.12.1. Kuratif
Pelayanan sosial lanjut usia yang diarahkan untuk penyembuhan atas
gangguan yang dialami lanjut usia, baik secara fisik, psikis maupun sosial.
6.12.2. Rehabilitatif
Proses pemulihan kembali fungsi-fungsi sosial setelah individu mengalami
berbagai gangguan dalam melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.

25

6.13.

Prisip Pelayanan
Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi

PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi
lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut
usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan
martabat.
6.13.1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat lansia
6.13.2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia
6.13.3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri
6.13.4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya
6.13.5. Mengupayakan kehidupan lansia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan
masyarakat
6.13.6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan
dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta
meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak.
6.13.7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar
dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana
serta perlindungan sosial dan hukum.
6.13.8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan
sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial
& hukum.
6.13.9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana
pendidikan, budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat
6.13.10. Memberikan kesempatan bekerja pada lansia sesuai minat dan
kemampuan
6.13.11. Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya
6.13.12. Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat
kekeluargaan
6.14.

Proses Pelayanan

6.14.1. Persiapan
6.14.1.1. Sosialisasi program dan kegiatan Panti/Orsos bagi lanjut usia penerima
pelayanan, keluarga dan masyarakat.
26

6.14.1.2. Kontak (Pertemuan pertama antara pihak panti/orsos dengan lanjut usia
dan keluarganya/yang mewakili).
6.14.1.3. Kontak (kesepakatan pelayanan atau bantuan secara tertulis antara klien
dengan pihak panti/pekerja sosial/orsos.
6.14.1.4. Pengungkapan masalah lanjut usia.
6.14.1.5. Rencana tindak/intervensi.
6.14.2. Pelaksanaan Pelayanan.
6.14.2.1.
6.14.2.2.
6.14.2.3.
6.14.2.4.
6.14.2.5.

6.15.

Pelayanan sosial
Pelayanan fisik
Pelayanan psikososial
Pelayanan ketrampilan
Pelayanankeagamaan/

spiritual
6.14.2.6. Pelayanan pendampingan
6.14.2.7. Pelayanan bantuan hukum
6.14.2.8. Monitoring dan evaluasi
6.14.2.9. Terminasi
6.14.2.10. Pembinaan lanjut

Kesejahteraan Sosial (pasal 2 ayat 1/UU 6/74) :


Suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materiil dan spriritual yang

diliputi oleh rada keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri ,
keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.
6.16.

Fungsi Pekerjaan Sosial (orientasi praktek)


Meningkatkan kemampuan orang (capacity building) agar dapat

memecahkan masalahnya secara lebih efektif. Menghubungkan orang dengan


sistem-sistem sumber pelayanan Melaksanakan kontrol sosial dan perubahan
distem pelayanan sosial

(Memperbaiki kinerja jaringan pelayanan sosial)

Pemerataan distribusi sistem sumber pelayanan


6.17.

Fungsi Peksos Secara Metodologis

6.17.1. Fungsi pencegahan

6.17.4. Fungsi suportif

6.17.2. Fungsi pengembangan

6.17.5. Fungsi pengganti

6.17.3. Fungsi rehabilitatif


27

6.18.

Pendekatan dalam Pekerjaan Sosial

6.18.1. Pendekatan Mikro


Pendekatan berbasis pada masalah yang dihadapi oleh orang per orang.
atau secara metodologis disebut dengan case work
6.18.2. Pendekatan Mezzo
Pendekatan berbasis kelompok , yaitu pembentukan kelompok secara
terencanakan untuk berbagai kepentingan.
6.18.3. Pendekatan Makro
Planing, adminstration, evaluation and community organizing
6.19.

Bentuk UPKS Lansia (PP nomor 43 tahun 2004)

6.19.1. Pelayanan keagamaan dan mental spiritual


6.19.2. Pelayanan kesehatan
6.19.3. Pelayanan kesempatan kerja (tidak berlaku bagi LU non potensial)
6.19.4. Kemudahan dalam penggunaan fasilitas, saran dan prasarana umum
6.19.5. Kemudahan dalam layanan dan bantuan hokum
6.19.6. Perlindungan sosial (tidak berlaku bagi LU potensial)
6.19.7. Bantuan sosial

LU Potensial
mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.
LU tidak potensial
tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup tergantung pada bantuan orang lain

28

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan
Sosial. 2010
Anonim. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nurse Idea. 2009.
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Darmojo, Boedi. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1999.
Kiswanto, Eka A. Trend dan Isu Legal dalam Keperawatan Profesional. Jakarta:
Pro-Health. 2009.

29

Mardjono, Mahar. Beberapa Masalah dalam Geriatri dan Aspek Medik pada Usia
Lanjut. Jakarta: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1982.
Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2000.
R, Rully. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif
HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan. 2002.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tim Keperawatan Gerontik AKPER Lumajang. 2012. Handout Keperawatan
gerontik Asuhan Keperawatan pada Lanjut Usia. Akadmi Keperawatan Lumajang

30

Anda mungkin juga menyukai