Tugas Gerontik Kel.6 3A 2014
Tugas Gerontik Kel.6 3A 2014
Oleh:
KELOMPOK 6, 3A
Tahun 2014-2015
1
dapat
memberikan
manfaat
yang
sebesar-besarnya
bagi
2.4.
if
the
person
is
too
ill
to
choose
the
same
intervention.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan
geriatric berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai
hal sebagai berikut :
1) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus bersifat
sukarela.
2) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
3) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap kapabel.
Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi ini kemudian
ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan meik (pertindik)
atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka penderita berha menolak
tindakan medik yang disarankan oleh dokter, tetapi tidak berarti boleh memilih
tindakan, apabila berdasarkan pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan
yang dipilih tersebut tidak berguan (useless) atau bahkan berbahaya (harmful).
Kapasitas untuk mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum
yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan
penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas
dasar label diagnosis, antara lain terlihat dari :
1. Apakan penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar ?
2. Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat ?
3. Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar) ?
4. Apakah penderita mengerti implikasi bagi dirinya ? (misalnya tentang
keuntungan dan kerugian dari tindakan tersebut ? dan mengerti pula berbagai
pilihan yang ada) ?
Pendekatan fungsional tersebut memang sukar, karena seringkali masih
terdapat fungsi yagn baik dari 1 aspek, tetapi fungsi yagn lain sudah tidak baik,
sehingga perlu pertimbangan beberapa faktor. Pada usia lanjut serinkali sudah
terdapat gangguan komunikasi akibat menurunnya pendengaran, sehingga perlu
waktu, upaya dan kesabaran yang lebih guna mengetahui kapasitas fungsional
penderita.
Pada dasarnya prinsip etika ini mnyatakan bahwa kapasitas penderita
untuk mengambil/menentukan keputusan (prinsip otonomi) dibatasi oleh :
1. Realitas klinik adanya gangguan proses pengambilan keputusan (misalnya pada
keadaan depresi berat, tidak sadar atau dementia). Bila gangguan tersebut
demikian berat, sedangakan keputusan harus segera diambil, maka keputusan
bisa dialihkan kepada wakil hukum atau walimkeluarga (istri/suami/anak atau
pengacara). Dalam istilah asing keadaan ini disebut sebagai surrogate decission
maker.
2. Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai aspek
medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll) maka
sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
Dalam
kenyatannya
pengambila
keputusan
ini
sering
dilakukan
penderita dewasa muda hal ini sering klai tidak menjadi masalah, karena sering
diharapkan hidup penderita masihj akan berlangsung lama bila jiwanya bisa
ditolong. Pada usia lanjut apalagi kalau penyakitnya sudah meluas (advanced)
pemberian peralatan tersebut seringkali diperdebatkan justru merupakan tindakan
yang kejam (futile treatment).
Dikatakan sebagai kekejaman fisiologik bila terapi/tindakan yang
diberikan tidaka akan memberikan perbaikan (plausible effect) sama sekali pada
kesehatan penderita. kekejaman kuantitatif bila tindakan atau terapi tampaknya
tidak ada gunanya. Kekejaman kualitatif bila tindakan atau terapi perpanjangn
hidup tidak menunjukan perbaiakan atau justru mengurangi kualitas hidup
penderita.
Walaupun sering menimbulakan tanggapan emosional dari keluarga,
penghentian peralatan penpanjangan hidup (ventilator dsb) harus diberi
pertimbangan yang sama dengan pertimbangan apakah alat tersebut perlu
dipasang atau tidak. Pemasangan alat ini tidak dengan sendirintya menghalangi
untuk suatu saat menghentikannya bila dianggap tidak ada gunannya lagi.
Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga penderita dan memberi
pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian peralatan tersebut perlu
dihentikan.
PERUMATAN PENDERITA TERMINAL DAN HOSPIS (Shaw, 1984; Kane et
al, 1994; Ruben et al, 1996; Pearlman, 1990)
Penderita yang secara medik di dignosis dalam keadaa terminal tidak
terbatas hanya pada penderita lanjut usia, akan tetapi tidak bisa dimungkiri bahwa
sebagaian besar merupakan penderita berusia lanjut. Oleh karena itulah perawatan
hospis atau erawatan bagi penderita terminal atau menuju kematian merupakan
bagian yang penting dari pelayanan geriatri.
Bagi penderita yang keadaannya tidak sadar/koma dalam, semua fungsi
organ sudah jelas tidak bisa membaik dengan berbagai pengobatan, nafas agonal
dan keadaan yang jelas tidak memberi harapan, masalhnya mungkin tidak
begitu sulit. Akan tetapi pada penderita yang masih sadar penuh, masih mobilitas
dengana berbagai fungsi organ masih cukup baik, persoalan etika dan hukum
menjadi lebih rumit. Pada penderita ini (misalnya dengan diagnosis karsinoma
metastasis lanjut), beberapa hal perlu ditimbangkan :
1. Apakah penderita perlu diberitahu
2. Kalau jelas-jelas semua tindakan medis/operatif tidak bisa dikerjakan, apakah
ada hal lain yang perlu dilakukan, atau apakah etis kalau dokter tetap
memaksakan pemberian sotostatika atau tindakan lain ?
Hal-hal seperti diatas merupakan masalah yang kemudian menimbulkan upaya
hospis menjadi penting
Dari prinsip otonomi seperti dijelaskan diatas jelas bahwa penderita harus
dibertahu keadaan yang sebenarnya. Walaupun di Indonesia, seringkali atas
pertimbangan keluarga hal ini sering tidak dilaksanakan.
3. ASPEK HUKUM DAN ETIKA
Poduk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara
merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut
Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu
Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila
dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian
terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),
Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program
(1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care
(1992), Charter for Residents Right (1992), Community Option Program (1994),
dan Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi older
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social
Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI).
Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus
Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care
(1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).
10
4.2.
Kesejahteraan Sosial.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
4.5.
4.6.
4.7.
Kerja.
4.8.
Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
4.9.
Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan keluarga Sejahtera.
4.10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
4.11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
4.12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
4.13.
Perkembangan Kependudukan.
4.14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undangUndang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
4.15. Pasal 27 UUD 45
Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan
11
Pasal 34 UUD 45
Fakir miskin dan anakanak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat
4.18.
manusia
usia
lanjut
diarahkan
untuk
memelihara
dan
dapat
berfungsi
secara
wajar
melalui
upaya
4.22.
4.23.
4.24.
4.25.
4.26.
4.27.
4.28.
4.29.
4.30.
4.31.
Sosial Lanjut Usia Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi
dan Praktik Keperawatan
4.32.
4.33.
4.34.
4.35.
Keputusan
Menteri
Sosial
No.10/HUK/1998
tentang
Lembaga
SK Men Kes RI No. 1346 tahun 1990 tentang pembentukkan Tim Kerja
4.37.
4.38.
Dokrin-dokrin
4.39.
Kebijakan Institusi
13
2) Personal ethics
3) General standart
4.40.
4.40.1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan
kelembagaan.
4.40.2. Upaya pemberdayaan.
4.40.3. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak
potensial.
4.40.4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia.
4.40.5. Perlindungan sosial.
4.40.6. Bantuan sosial.
4.40.7. Koordinasi.
4.40.8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi.
4.40.9. Ketentuan peralihan.
5. PERMASALAHAN
Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari
aspek hokum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut :
5.1.
Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hokum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu
pula, belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya,
sehingga
penerapannya
di
lapangan
sering
menimbulkan
14
Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya
menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
5.3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu
permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya
mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan
terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain :
5.3.1 Tenaga ahli gerontology
5.3.2 Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri,
dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist,
5.3.3
perawat terlatih.
Tebaga sosisal : sosiolog, petuga syang mengorganisasi kegiatan (case
5.3.4
5.3.5
5.3.6
terlatih.
5.4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hokum dan etika
yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
5.4.2. Tindak kejahatan (crime)
5.4.3. Pelayanan perlindungan (protective services)
5.4.4. Persetujuan tertulis (informed consent)
5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues)
5.4.1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
Pelecehan dan ditelantarkan merupakan keadaan atau tindakan yang
menempatkan seseorang dalam situasi kacau, baik mencakup status kesehatan,
15
pelayanan
kesehatan,
pribadi,
hak
memutuskan,
kepemilikan
maupun
pendapatannya. Pelaku pelecehan dapat dari pasangan hidup, anak lelaki atau
perempuan bila pasangan hidupnya telah meninggal dunia atau orang lain.
Pelecehan atau ditelantarkan dapat berlangsung lama ata8u dapat terjadi reaksi
akut, bila suasana sudah tidak tertanggungkan lagi.
Penyebab pelecehan menurut International Institute on Agening (INIA, United
Ntions-Malta, 1996) adalah :
5.4.1.1. Beban orang yang merawat Lanjut usia tersebut sudah terlalu berat.
5.4.1.2. Kelainan kepribadian dan perilaku Lanjut usia atau keluarganya.
5.4.1.3. Lanjut Usia yang diasingkan oleh keluarganya.
5.4.1.4. Penyalahgunaan narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
5.4.1.5. Faktor lainnya yang terdapat di keluarga seperti :
1) Perlakuan salah terhadap Lanjut Usia.
2)
3)
4)
5)
6)
b.
c.
Pelanggaran hak.
d.
Pengusiran.
e.
f.
Pelecehan seksual.
Upaya pencegahan terhadap terjadinya kelantaran pasif (passive neglect)
dan keterlantaran aktif (active neglect) pada lanjut Usia dapat dekelompokan
sebagai berikut :
1. Terhadap keterlantaran pasif atau tak disengaja:
Orang yang merawat lanjut Usia menyadari keterbatasannya tidak raguragu mencari pertolongan atau melimpahkan tanggung jawaabnya kepada
fasilitas yang lebih mampu, manakala mereka tidak sanggup lagi
merawatnya.
Penodongan.
Pencurian dan perampokan.
Penjambretan.
Perkosaan.
Penipuan dalam pengobatan penyakit.
Penipuan oleh orang tak dapat dipercaya, pemborong, sales, dll.
18
Joint Tenancy.
Joint tenancy merupakan suatu produk hokum yang memungkinkan Lanjut
Usia lain atau seorang pengacara untuk mengurus urusan seorang Lanjut
Usia.
3)
Intervivos trust.
Pada keadaan ini seorang lanjut usia menunjuk orang lain sebagai pewaris.
4) Conservatorship.
Perorangan atau sebuah badan ditunjuk oleh pengadilan untuk melindungi ha
milik seorang lanjut usia yang telah dianggap ta sanggup atau inkompeten,
pada umumnya bila lanjut usia tersebut berusia lebih dari 75 tahun.
Permohonan suatu Conservatorship biasanya diajukan oleh keluarga atau
instansi.
Dengan adanya Conservatorship ini, seorang lanjut usia tak lagi dapat
bersuara dan megurus keuangannya serta menentukan tempat tinggalnya
atau mengambil suatu keputusan penting lainnya.
5)
Informal guardianship.
Pengaturan jenis ini berdasakan suatu hokum, akan tetapi meruakan suatu
kesepakatan bahwa pelindung bagi lanjut usia tersebut adalah tetangganya,
panti atau suatu perusahaan.
19
5.4.5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issue).
Berbagai factor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yang yang
mempengaruhi kualitas kehidupan lanjuy usia adalah:
5.4.5.1. Kemajuan ilmu kedoktean di bidang diagnostic seperti CT-scan dan
katerisasi jantung, MRI, dsb.
5.4.5.2. Kemajuan dibidang pengobatan seperti transplatasi organ, raidasi
5.4.5.3. Bertambahnya risiko pengobatan.
5.4.5.4. Biaya pengobatan yang meningkat.
5.4.5.5. Manfaat pengobatan yang masih diragukan.
5.4.5.6. Database yang diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Isu etika muncul bila terjadi suatu pertentangan antara pendapat ilmiah
atau ilmu kedokteran dengan pandangan etika atau perikemanusiaan, misalnya :
1) Untukm mengawali atau melanjutkan pengobatan terhadap lanjut usia yang
sakit berat.
2)
3)
Euthanasia.
Isu euthanasia merupakan isu yang hangat dipertentangan di luar negeri,
tetapi belum merupakan hal yang penting di Indonesia, mengingat hal ini
bertentangan denagn hokum dan perundang-undangan serta kode etik kedokteran
di Indonesia. Di luar negeri keputusan yang diambil berupa :
a.
b.
c.
d.
e.
20
6.
KEPERAWATAN PROFESIONAL
6.1 Aspek Legal
peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu tempat : indonesia
6.1.1 GBHN98 2003, tentang kesra, pendidikan dan kebudayaan.
6.1.2 UU RI NO. 13 TH 1998, tentang kesejahteraan lanjut usia GBHN98
2003
6.1.2.1. Arah
pembangunan;
peningkatan
kualitas
penduduk
lansia
u/
Sesuai
Dengan
Kode
Etik
Keperawatan
(Nasional/Internasional)
Prinsip Etik Dalam Keperawatan/Universal
6.2. Kode Etik dalam Praktik Keperawatan
6.2.1. Tanggung jawab terhadap klien
6.2.2. Tanggung jawab terhadap tugas
21
6.3.1. Perawat harus memberikan rasa hormat kepada klien tanpa memperhatikan
suku, ras, golongan, pangkat, jabatan, status social, maslah kesehatan.
6.3.2. Menjaga rahasia klien
6.3.3. Melindungi klien dari campur tangan pihak yang tidak kompeten, tidak
etis, praktek illegal.
6.3.4. Perawat berhak menerima jasa dari hasil konsultasi dan pekerjaannya
6.3.5. Perawat menjaga kompetensi keperawatan
6.3.6. Perawat memberikan pendapat dan menggunakannya.
6.3.7. Kompetensi individu serta kualifikasi daalm memberikan konsultasi
6.3.8. Berpartisipasi aktif dalam kelanjutanya perkembangannya body of
knowledge
6.3.9. Berpartipitasi aktif dalam meningkatan standar professional
6.3.10. Berpatisipasi dalam usaha mencegah masyarakat, dari informasi yang
salah dan misinterpretasi dan menjaga integritas perawat
6.3.11. Perawat melakukan kolaborasi dengan profesi kesehatannya yang lain atau
ahli dalam rangka meningkatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
oleh masyarakat termasuk pada lansia.
6.4.
22
6.5.
Prinsip etik
6.5.1. Fidelity
Lebih terpusat pada kode etik keperawatan dimana perawat harus respek
kepada klien sebagai keutuhan manusia
6.5.2. Autonomi
Lebih mementingkan keputusan klien atas tindakan yang diberikan
6.5.3. Beneficience
Punya prinsip berbuat baik
6.5.4. Justice
Kewajiban moral
6.6.
Pekerjaan Sosial
Pekerjaan Sosial adalah profesi yang mendasarkan diri sebagai disiplin
normatif. Jadi profesi ini berkaitan dengan nilai-nilai moral dan norma sosial
yang selalu mengarahkan kepada kebaikan secara sosial. Teori-teori Pekerjaan
sosial adalah normatif yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat. Jadi penting kiranya meningkatkan kemampuan pekerjaan
sosial untuk memperlihatkan secara langsung aspek-aspek moral dan normatif
dari teori dan praktek pekerjaan sosial.
Prisip-prinsip etika praktek yang berasal dari filosofi idiologi dan prinsipprinsip teknik praktek yang berasal dari landasan pengetahuan adalah komponen
utama dari teori praktik pekerjaan social.
6.8.
23
prisip etik praktek dipandang sebagai kewajiban-kewajiban,standar-standar, tugastugas, tanggung jawab untuk diterapkan dalam praktek.
6.9.
petunjuk dan kewajiban. (kode etik internasional bagi pekerja sosial profesional).
6.10.
sosial
harus
sadar
akan
potensinya
dan
keterbatasan
kemampuannya.
6.11.
pasti
untuk
menciptakan
masyarakat
yang
baik
dan
bertanggungjawab.
6.12.
Sifat Pelayanan
Setiap jenis pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia baik yang
25
6.13.
Prisip Pelayanan
Prinsip kesejahteraan sosial sosial lanjut usia didasarkan pada resolusi
PBB NO. 46/1991 tentang principles for Older Person ( Prinsip-prinsip bagi
lanjut usia) yang pada dasarnya berisi himbauan tentang hak dan kewajiban lanjut
usia yang meliputi kemandirian, partisipasi, pelayanan, pemenuhan diri dan
martabat.
6.13.1. Memberikan pelayanan yang menjujung tinggi harkat dan martabat lansia
6.13.2. Melaksanakan, mewujutkan hak azasi lanjut usia
6.13.3. Memperoleh hak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri
6.13.4. Pelayanan didasarkan pada kebutuhan yang sesungguhnya
6.13.5. Mengupayakan kehidupan lansia lebih bermakna bagi diri, keluarga dan
masyarakat
6.13.6. Menjamin terlaksananya pelayanan bagi lanjut usia yang disesuaikan
dengan perkembangan pelayanan lanjut usia secara terus menerus serta
meningkatkan kemitraan dengan berbagai pihak.
6.13.7. Memasyarakatkan informasi tentang aksesbilitas bagi lanjut usia agar
dapat memperoleh kemudahan dalam penggunaan sarana dan prasarana
serta perlindungan sosial dan hukum.
6.13.8. Mengupayakan lanjut usia memperoleh kemudahan dalam penggunaan
sarana dan prasarana dalam kehidupan keluarga, serta perlindungan sosial
& hukum.
6.13.9. Memberikan kesempatan kepada lanjut usia untuk menggunakan sarana
pendidikan, budaya spriritual dan rekreasi yang tersedia di masyarakat
6.13.10. Memberikan kesempatan bekerja pada lansia sesuai minat dan
kemampuan
6.13.11. Memberdayakan lembaga kesejahteraan sosial dalam masyarakat untuk
berpartisipasi aktif dalam penanganan lanjut usia dilingkungannya
6.13.12. Khusus untuk panti, menciptakan suasana kehidupan yang bersifat
kekeluargaan
6.14.
Proses Pelayanan
6.14.1. Persiapan
6.14.1.1. Sosialisasi program dan kegiatan Panti/Orsos bagi lanjut usia penerima
pelayanan, keluarga dan masyarakat.
26
6.14.1.2. Kontak (Pertemuan pertama antara pihak panti/orsos dengan lanjut usia
dan keluarganya/yang mewakili).
6.14.1.3. Kontak (kesepakatan pelayanan atau bantuan secara tertulis antara klien
dengan pihak panti/pekerja sosial/orsos.
6.14.1.4. Pengungkapan masalah lanjut usia.
6.14.1.5. Rencana tindak/intervensi.
6.14.2. Pelaksanaan Pelayanan.
6.14.2.1.
6.14.2.2.
6.14.2.3.
6.14.2.4.
6.14.2.5.
6.15.
Pelayanan sosial
Pelayanan fisik
Pelayanan psikososial
Pelayanan ketrampilan
Pelayanankeagamaan/
spiritual
6.14.2.6. Pelayanan pendampingan
6.14.2.7. Pelayanan bantuan hukum
6.14.2.8. Monitoring dan evaluasi
6.14.2.9. Terminasi
6.14.2.10. Pembinaan lanjut
diliputi oleh rada keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang
memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri ,
keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta
kewajiban manusia sesuai dengan pancasila.
6.16.
6.18.
LU Potensial
mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang menghasilkan barang atau jasa.
LU tidak potensial
tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidup tergantung pada bantuan orang lain
28
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Lansia Masa Kini dan Mendatang. Jakarta: Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Kedeputian I Bidang Kesejahteraan
Sosial. 2010
Anonim. Konsep Dasar Keperawatan Gerontik. Jakarta: Nurse Idea. 2009.
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Darmojo, Boedi. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1999.
Kiswanto, Eka A. Trend dan Isu Legal dalam Keperawatan Profesional. Jakarta:
Pro-Health. 2009.
29
Mardjono, Mahar. Beberapa Masalah dalam Geriatri dan Aspek Medik pada Usia
Lanjut. Jakarta: Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 1982.
Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta: EGC. 2000.
R, Rully. Fasilitas dan Pelayanan Kesehatan Lansia di RSU dalam Perspektif
HAM. Jakarta: Harian Suara Pembaharuan. 2002.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Tim Keperawatan Gerontik AKPER Lumajang. 2012. Handout Keperawatan
gerontik Asuhan Keperawatan pada Lanjut Usia. Akadmi Keperawatan Lumajang
30