Anda di halaman 1dari 3

Hukum Pajak

Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum paja
k dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi
hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebag
ai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hu
kum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasi dan sanksi pi
dana.
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerin
tah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro,
1979). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan:
a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);
b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak);
c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;
d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak;
e. Cara penagihan pajak;
f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak
Undang-undang No. 16 Tahun 2009 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum paja
k, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai ketentuan umum bagi peraturan p
erundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi
sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral.
Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam men
ggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya, dap
at dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunak
an hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai konsekuensi dari peneg
akan hukum pajak.
Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga perad
ilan pajak maupun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga
peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Le
mbaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Paj
ak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum
tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Neg
eri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di l
uar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang b
erupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan
penagihan pajak.
2. Tugas Hukum Pajak
Tugas umum yang harus diemban oleh hukum pajak adalah:
a. Menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak;
b. Merumuskannya kedalam peraturan-peraturan hukum;
c. Menafsirkan peraturan-peraturan hukum tersebut;
d. Mengatur ketentuan-ketentuan pidana;
e. Mengatur ketentuan-ketentuan administrasi;
f. Mengatur ketentuan peradilan administrasi dan peradilan pajak.
Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan poli
tik perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.
3. Kegunaan (Fungsi) Hukum Pajak
Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi dari negara. Beberapa fungsi dar
i negara seperti:
a. Mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat
Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia s
ecara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
b. Melaksanakan ketertiban
Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yag kondusif dan damai diperlukan pemel

iharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.


c. Pertahanan dan keamanan
Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan
ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar.
d. Menegakkan keadilan
Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan
di segala bidang.
Untuk menjalankan fungsi tersebut di atas, negara membutuhkan biaya yang besar j
umlahnya dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap wargany
a yang dinilai mampu memberikan sumbangsih yang kemudian dikenal sebagai pajak.
Sumbangsih dari warga negara tersebut harus dibuat aturan yang jelas dalam pelak
sanaannya, sehingga dibuatlah hukum pajak yang berfungsi mengatur perpindahan ha
rta dari masyarakat (wajib pajak) kepada publik (dengan melalui kas negara) ters
ebut berjalan dengan baik, teratur, tertib dan adil serta tidak menimbulkan kese
wenang-wenangan dari pelaksana hukum.
Melalui fungsi dari hukum pajak, maka diharapkan fungsi budgetair (mengisi kas n
egara untuk kemudian digunakan membiayai pengeluaran negara/melaksanakan pembang
unan) dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil. Dalam pembent
ukan hukum pajak harus nampak pula fungsi regulerent (mengatur) sehingga pemerin
tah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak seperti mengg
iring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri dengan pemberian berb
agai keringanan pajak.
Reformasi di bidang perpajakan yang dimulai tahun 1983 mengubah sistem
perpajakan di Indonesia, semula menganut sistem pemungutan official assessment
menjadi sistem self assessment. Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang
ditunjuk oleh Undang-undang untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan
dan penegakan hukum terhadap masyarakatWajib Pajak.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyarakat mengal
ami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas t
ernyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat uns
ur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pe
rwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada de
ngan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket unda
ng-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta
tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menja
di lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment di
ubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami peru
bahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang,
yaitu:
a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaita
n dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
a. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
b. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;


d. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
e. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberik
an rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerint
ah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
e. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
g. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meter
ai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Paj
ak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentu
klah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No.
17 Tahun 1997.

Anda mungkin juga menyukai