Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah keperawatan yang paling sering ditemukan di RS. Jiwa
adalah perilaku kekerasan, halusinasi, menarik diri, harga diri rendah, waham,
bunuhdiri, ketergantungan napza, dan defisit perawatan diri. Perilaku
kekerasan sendiri adalah suatu keadaan dimanan seorang individu mengalami
perilakuyang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri / orang lain.
(Townsend,1998).
Umumnya klien dengan perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke
rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat secara tidak manusiawi disertai
bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak
alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling
banyak dikemukakan oleh keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh
keluarga belum memadai sehingga selama perawatan klien seyogyanya
sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien
manajemen perilaku kekerasan (MPK).
Asuhan keperawatan yang diberikan di rumah sakit jiwa terhadap
perilaku kekerasan perlu ditingkatkan serta dengan perawatan intensif di
rumah sakit umum. Asuhan keperawatan perilaku kekerasan (MPK) yaitu
asuhan keperawatan yang bertujuan melatih klien mengontrol perilaku
kekerasannya dan pendidikan kesehatan tentang MPK pada keluarga. Seluruh
asuhan keperawatan ini dapat dituangkan menjadi pendekatan proses
keperawatan
Walau demikian meskipun perilaku kekerasan kadang bernilai
negative tapi tetap ada karena sebenarnya marah juga berguna yaitu untuk
meningkatkan

energi

dan

membuat

seseorang

lebih

berfokus/bersemangatmencapai tujuan. Kamarahan yang ditekan atau purapura tidak marah akanakan mempersulit diri sendiri dan mengganggu
hubungan intra personal. (Harnawatiaj,2008,3,http://www.gaya hidup sehat

online.com,27 januari2008). Untuk itu Askep yang professional pada pasien


perilaku kekerasan sangat diharapkan oleh pasien atau keluarga.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Perilaku Kekerasan ?
2. Bagaimana rentang respon marah pada Perilaku Kekerasan?
3. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi dari Perilaku Kekerasan
4. Bagaimana proses pembuatan Asuhan Keperawatan Jiwa pada pasien
dengan Perilaku Kekerasan
1.3 Tujuan
1.3.1

Tujuan umum
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa pada
semester 4. Dan diharapkan untuk dapat memahami tentang asuhan

1.3.2

keperawatan jiwa khususnya pada klien dengan perilaku kekerasan.


Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu memahami perilaku kekerasan
2. Mahasiswa mampu memahami rentang respon marah pada
3.

Perilaku Kekerasan.
Mahasiswa mampu

memahami

faktor

apa saja yang

mempengaruhi dari perilaku kekerasan.


4. Mahasiswa mampu membuat Asuhan Keperawatan pada pasien
dengan perilaku kekerasn

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2

2.1 Definisi
Menurut Stuart & Sundeen, Marah merupakan perasaan jengkel yang
timbul sebagai respons terhadap kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi
yang dirasakan sebagai ancaman. Perasaan marah normal bagi tiap individu,
namun perilaku yang dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktuasi
sepanjang rentang adaptif dan maladaftif.
Rentang respon marah:
a. Asertif

: mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang

lain dan merasa lega.


b. Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan
yang tidak realistis.
c. Pasif
: Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang sedang dialami.
d. Agresif
: Tindakan destruktif terhadap lingkungan yang masih
terkontrol.
e. Amuk
: tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak
terkontrol.
Adaptif
Asertif

Maladaptif
Frustasi

Pasif

Agresif

Amuk/PK
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan
tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif. (Stuart dan Sundeen, 1995)
Perilaku kekerasan/amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut,
manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik
emosional yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga
menggambarkan

rasa

tidak

aman,

kebutuhan

akan

perhatian

dan

ketergantungan pada orang lain.


2.2 Faktor Predisposisi
3

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan faktor


pridisposisi,artinya mungkin terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika
factor berikut dialami oleh individu:
1. Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian dapat
timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu
perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau saksi penganiayaan.
Psychoanalytical Theory adalah teori mendukung bahwa perilaku agresif
merupakan akibat dari instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku
manusia dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang diekspresikan
dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang diekspresikan dengan
agresivitas.
Frustration- aggresion Theory adalah teori yang dikembangkan oleh
pengikut Freud ini berawal dari asumsi, bahwa bila usaha seseorang untuk
mencapai suatau tujuan mengalami hambatan maka akan timbul dorongan
agresif yang pada gilirannya akan memotivasi perilaku yang dirancang untuk
melukai orang atau objek yang menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang
yang melakukan tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif.
Pandangan psikologi lainnya mengenai perlaku agresif, mendukung
pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman hidup. Ini
menggunakan pendekatan bahwa manusia mampu memilih mekanisme koping
yang sifatnya tidak merusak.

2. Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
3. Sosial budaya
Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan kontrol
sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah
perilaku kekerasan diterima (permisive).

Social Learning Theory; Teori yang dikembangkan oleh Bandura (1977)


ini mengemukakan bahwa agresi tidak berbeda dengan respon respon yang
lain. Agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi
seseorang akan berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajari. Pembelajaran ini bisa internal atau
eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan seksual karena
mennton film erotis menjadi lebih agresif dibandingkan mereka yang tidak
menonton film tersebut; seorang anak yang marah karena tidak boleh beli es
kemudian ibunya memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut
akan belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia
inginkan. Contoh eksternal: seoranga nak menunjukkan perilaku agresif setelah
melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai bentuk perilaku agresif
terhadap sebuah boneka.
Cultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma
dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang dapat diterima atau
tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu individu untuk mengekspresikan
marah dengan cara yang asertif.
4. Bioneurolgis
Banyak pendapat bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmiter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
dorongan

agresif

mempunyai

dasar

biologis.

Penelitian

neurobilogi

mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan pada


hipotalamus (yang berada ditengah system limbic) binatang ternyata
menimbulkan perlaku agresif. Perangsangan yang diberikan terutama pada
nucleus

periforniks

hipotalamus

dapat

menyebabkan

seekor

kucing

mengeluarkan cakarnya, mengangkat ekornya, mendesis, bulunya berdiri,


menggeram, matanya terbuka lebar, pupil berdilatasi dan hendak menerkam
tikus atau objek yang ada di sekitarnya.
Jadi kerusakan fungsi system limbic (untuk emosi dan perilaku), lobus
frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal (untuk interpretasi indera
penciuman dan

memori). Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan

perilaku agresif: serotonin, dopamine, norepinephrine, acetilkolin, dan asam


amino GABA.
2.3 Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi
dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik),
keputusasaan, ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi
penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang
ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang
dicintai/pekerjaan dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi
sosial yang provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku
Secara umum, seseorang akan berespon dengan marah apabila merasa
dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara psikis, atau lebih
dkenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri seseorang. Ketika seseorang
merasa terancam, mungkin dia tidak menyadari sama sekali apa yang menjadi
sumber kemarahannya. Oleh karena itu, baik perawat maupun klien harus
bersama-sama mengidentifikasinya. Ancaman dapat berupa internal ataupun
ekstrenal. Contoh stressor eksternal: serangan secara psikis, kehilangan hubungan
yang dianggap bermakna, dan adanya kritikan dari orang lain. Sedangkan contoh
dari stressor internal: meras gagal dalam bekerja, merasa kehilangan orang yang
dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang diderita.
Bila dilihat dari sudut perawat-klien, maka faktor yang mencetuskan
terjadinya perlaku kekerasan terbagi dua yaitu:
a. Klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang percaya diri.
b. Lingkungan: ribut, kehilangan orang/objek yang berharga, konflik interaksi
social.
2.4 Tanda dan Gejala
Pada pengkajian awal dapat diketahui alasan utama klien masuk kerumah sakit
adalah perilaku kekerasan di rumah.Dapat dilakukan pengkajian dengan cara :
a. Observasi

Muka merah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara yang tinggi,
berdebat.
Sering pula tampak klien memaksakan kehendak : merampas makanan,
memukul jika tidak senang.
b. Wawancara
Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang
dirasakan klien.
a. Emosi : Tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah (dendam),
jengkel
b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit
fisik, penyalahgunaan obat, dan tekanan darah.
c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaraan diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
e. Social : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan
humor.

2.5 Proses Terjadinya Masalah


Perilaku kekerasan atau amuk dapat disebabkan karena frustasi, takut,
manipulasi atau intimidasi. Perilaku kekerasan merupakan hasil konflik emosional
yang belum dapat diselesaikan. Perilaku kekerasan juga menggambarkan rasa
tidak aman, kebutuhan akan perhatian dan ketergantungan pada orang lain.
Perilaku kekerasan juga dapat diartikan sebagai agresi berkaitan dengan
trauma pada masa anak saat lapar, kedinginan, basah, atau merasa tidak nyaman.
Bila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi secara terus menerus, maka ia
menampakan reaksi berupa menangis, kejang, atau kontraksi otot, perubahan
ekspresi warna kulit, bahkan mencoba menahan nafasnya (Barry, 1998). Setelah

anak bertambah dewasa, maka ia akan menampakkan reaksi yang lebih keras pada
saat kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, seperti melempar barang, menjerit,
menahan nafas, mencakar, merusak atau bersikap agresif terhadap barang
mainannya. Bila reward dan punishment tidak dijalankan, maka ia cenderung
mengganggap perbuatan tersebut benar.
Kontrol lingkungan seputar anak yang tidak berfungsi dengan baik,
menimbulkan reaksi agresi pada anak yang akan bertambah kuat sampai dewasa.
Sehingga bila ia merasa benci dan frustasi dalam mencapai tujuannya ia akan
bertindak angesif. Hal ini akan bertambah apabila ia merasa kehilangan orangorang yang ia cintai atau orang yang berarti. Perilaku kekerasan dianggap sebagai
suatu akibat yang ekstrim dari marah atau kepanikan (takut). Perilaku agresif dan
perilaku kekerasan itu sendiri sering dipandang sebagai suatu rentang, dimana
agresif verbal disuatu sisi dan kekerasan disisi yang lain.
2.6 Penatalaksanaan
a. Tindakan keperawatan (Keliat, dkk. 2002), mengemukaan cara khusus
yang dapat dilakukan keluarga dalam mengatasi marah klien:
1. Berteriak, menjerit, memukul, menerima marah klien, diam
sebentar, arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah
rusak seperti bantal atau kasur.
2. Bantu klien latihan relaksasi, misalnya, latihan fisik atau olah
raga. Latihan pernapasan 2x/hari, tiap kali 10x tarikan dan
hembusan napas.
3. Bantu melalui humor. Jaga humor tidak menyakiti orang,
observasi ekspresi muka orang yang menjadi sasaran dan diskusi
cara umum yang sesuai.
b. Terapi medis

Psikofarmaka adalah tearpi menggunakan obat dengan tujuan untuk


mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut DepKes
(2000), jenis obat psikofarmaka adalah:
1. Chlorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa: agitasi,
ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia, halisinasi, waham
dan gejala-gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita
skizofrenia, manic depresif, gangguan personalitas, psikosa
involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian untuk kasus psikosa, dapat diberikan per
oral atau suntikan intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25-100
mg dan diikuti peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg per
hari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu. Pemberian
dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan 3x
sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan-lahan sampai 600-900 mg perhari.
Kontraindikasi, sebaiknya tidak diberikan kepada klien
dengan keadaan koma, keracunan alcohol, barbiturate atau
narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap derivate
fenothiazine.
Efek samping yang sering terjadi misalnya, lesu dan
mengantuk, hipotensi orthostatic, mulut kering, hidung tersumbat,
konstipasi,

amenorrhea

pada

wanita,

hiperpireksia

atau

hipopireksia, gejala ekstrapiramida.


Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis
tinggi menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi
susunan saraf pusat, hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi,

dan perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa


jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
2. Haloperidol (haldol, serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik,
sindrom gilles de la Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun
pada gangguan perilaku yang berat pada anak-anak
Dosis oral untuk dewasa 1-6 mg sehari yang terbagi
menjadi 6-15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk
dewasa 2-5 mg intramuskuler setiap 1-8 jam tergantung
kebutuhan.
Kontraindikasinya, depresi system saraf pusat atau keadaan
koma, penyakit Parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor,
lesu, letih, gelisah, gejala ekstra pyramidal atau pseudo Parkinson.
Efek samping yang jarang adalah nausea, diare, konstipasi,
hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek samping
yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis. Intoksikasinya
adalah bila klien memakainya dalam dosis melebihi dosis
terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor,
hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
3. Trihexiphenidyl (THP, artane, tremin)
Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa
khususnya gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian, dosis
awal sebaiknya rendah (12,5 mg) diberikan tiap 2 minggu. Bila
efek samping ringan dosis ditingkatkan 25 mg dan interval
pemberian diperpanjang 3-6 mg setiap kali suntikan, tergantung

10

dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan


sebaiknya peningkatan perlahan-lahan.
Kontraindikasinya pada depresi susunan saraf pusat yang
hebat, hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat
sensitive terhadap phenothiazine.
Intoksikasi biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan
efek samping yang hebat. Pengobatan over dosis; hentikan obat,
berikan terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan
levarterenol, hindari menggunakan ephineprine.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Identitas
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa atau latar
belakang kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat.
2. Keluhan utama
3. Keluhan utama atau sebab utama yang menyebbkan klien datang berobat
(menurut klien dan atau keluarga). Gejala utama adalah kesadaran
menurun.
4. Faktor predisposisi
5. Menemukan gangguan jiwa yang ada sebagai dasar pembuatan diagnosis
serta menentukan tingkat gangguan serta menggambarkan struktur
kepribadian yang mungkin dapat menerangkan riwayat dan perkembangan
gangguan jiwa yang terdapat. Dari gejala-gejala psikiatrik tidak dapat
diketahui etiologi penyakit badaniah itu, tetapi perlu dilakukan
pemeriksaan intern dan nerologik yang teliti. Gejala tersebut lebih
ditentukan oleh keadaan jiwa premorbidnya, mekanisme pembelaaan
psikologiknya, keadaan psikososial, sifat bantuan dari keluarga, teman dan
petugas kesehatan, struktur sosial serta ciri-ciri kebudayaan sekelilingnya.
Gangguan jiwa yang psikotik atau nonpsikotik yang disebabkan oleh
gangguan jaringan fungsi otak. Gangguan fungsi jaringan otak ini dapat
disebabkan oleh penyakit badaniah yang terutama mengenai otak

11

(meningoensephalitis, gangguan pembuluh darah ootak, tumur otak dan


sebagainya) atau yang terutama di luar otak atau tengkorak (tifus,
endometriasis, payah jantung, toxemia kehamilan, intoksikasi dan
sebagainya).

6. Psikososial
a. Genogram
b. Konsep diri
1. Gambaran diri, stressor yang menyebabkan berubahnya
gambaran diri karena proses patologik penyakit.
2. Identitas, bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan
individu.
3. Peran, transisi peran dapat dari sehat ke sakit, ketidak
sesuaian antara satu peran dengan peran yang lain dan
peran yang ragu diman aindividu tidak tahun dengan jelas
perannya,

serta

peran

berlebihan

sementara

tidak

mempunyai kemmapuan dan sumber yang cukup.


4. Ideal diri, keinginann yang tidak sesuai dengan kenyataan
dan kemampuan yang ada.
5. Harga diri, ketidakmampuan dalam mencapai tujuan
sehingga klien merasa harga dirinya rendah karena
kegagalannya.
c. Hubungan sosial
Berbagai faktor yang memicu seseorang melakukan tindakan
kekerasan baik diri, orang lain maupun lingkungan yang selanjutnya
tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti resiko
mencederai diri, orla dan lingkungan. Konsep diri dibentuk oleh pola
hubungan sosial khususnya dengan orang yang penting dalam kehidupan
individu. Jika hubungan ini tidak sehat maka individu dalam kekosongan
internal.

Perkembangan

hubungan

sosial

yang

tidak

adekuat

menyebabkan kegagalan individu untuk belajar mempertahankan

12

komunikasi dengan orang lain, akibatnya klien cenderung memisahkan


diri dari orang lain dan hanya terlibat dengan pikirannya sendiri yang
tidak memerlukan kontrol orang lain. Keadaan ini menimbulkan
kesepian, isolasi sosial, hubungan dangkal yang memungkinkan
seseorang mencederai diri, orla dan lingkungan.

d. Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinannya masih kuat tetapi
tidak atau kurang mampu dalam melaksanakan ibadahmya sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
8. Status mental
a. Penampilan klien tidak rapi dan tidak mampu utnuk merawat dirinya
sendiri.
b. Pembicaraan keras, cepat dan inkoheren.
c. Aktivitas motorik, Perubahan motorik dapat dinmanifestasikan
adanya peningkatan kegiatan motorik, gelisah, impulsif, manerisme,
otomatis, steriotipi.
d. Alam perasaan
Klien nampak ketakutan dan cemas.
e. Afek dan emosi.
Perubahan emosi yang tidak stabil terjadi karena klien berusaha
membuat jarak dengan perasaan tertentu karena jika langsung
mengalami perasaan tersebut dapat menimbulkan ansietas. Keadaan
ini menimbulkan perubahan afek yang digunakan klien untuk
melindungi dirinya, karena afek yang telah berubah memampukan
klien mengingkari dampak emosional yang menyakitkan dari
lingkungan eksternal. Respon emosional klien mungkin tampak bizar
dan tidak sesuai karena datang dari kerangka pikir yang telah
berubah. Perubahan afek adalah tumpul, datar, tidak sesuai,
berlebihan dan ambivalen.
f. Interaksi selama wawancara

13

Sikap klien terhadap pemeriksa kurang kooperatif dan


cenderung berbicara dengan nada keras.
g. Persepsi
Persepsi melibatkan proses berpikir dan pemahaman emosional
terhadap suatu obyek. Perubahan persepsi dapat terjadi pada satu
atau kebiuh panca indera yaitu penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman dan pengecapan. Perubahan persepsi dapat ringan,
sedang dan berat atau berkepanjangan. Perubahan persepsi yang
paling sering ditemukan adalah halusinasi.
h. Proses berpikir
Klien yang terganggu pikirannya sukar berperilaku kohern,
tindakannya cenderung berdasarkan penilaian pribadi klien terhadap
realitas yang tidak sesuai dengan penilaian yang umum diterima.
Penilaian realitas secara pribadi oleh klien merupakan penilaian
subyektif yang dikaitkan dengan orang, benda atau kejadian yang
tidak logis.(Pemikiran autistik). Klien tidak menelaah ulang
kebenaran realitas. Pemikiran autistik dasar perubahan proses pikir
yang dapat dimanifestasikan dengan pemikian primitf, hilangnya
asosiasi, pemikiran magis, delusi (waham), perubahan linguistik
(memperlihatkan gangguan pola pikir abstrak sehingga tampak klien
regresi dan pola pikir yang sempit misalnya ekholali, clang asosiasi
dan neologisme.
i. Tingkat kesadaran
Kesadaran pasien masih dalam rentang normal. Disorientasi
waktu, tempat dan orang.
j. Memori
Daya ingat pasien terhadap kejadian buruk yang dialami lebih
dominan sehingga menyebabkan pasien sering marah.
k. Tingkat konsentrasi

14

Klien tidak mampu berkonsentrasi


l. Kemampuan penilaian
Gangguan ringan dalam penilaian atau keputusan.

3.2 Analisa Data


Analisa Data
Masalah Keperawatan
DS : Pasien menyatakan bahwa merasa kesal Resiko menciderai diri,
dan benci.
lingkungan
DO : muka pasien tampak merah, pandangan
tajam, otot tegang, tangannya mengepal, mata
melotot
DS : pasien mengatakan merasa ketakutan dan Perilaku Kekerasan
terancam.
DO : pasien tampak gelisah, cemas, tidak
berinteraksi dengan orang lain, cenderung
menyendiri.

3.3 Pohon Masalah


Efek

Resiko Tinggi menciderai diri, orla dan lingkungan

Masalah Utama

Penyebab

Perilaku Kekerasan

Gangguan konsep Diri : Harga Diri Rendah

15

orla

dan

3.4 Diagnosa dan Intervensi


DIAGNOSA

PERENCANAAN
TUJUAN

diri sendiri, orang Klien tidak mencederai


lain

dan dengan

lingkungan

manajemen

berhubungan

kekerasan.

dengan
kekerasan.

INTERVENSI

KRITERIA HASIL

KEPERAWATAN
1
2
Resiko mencederai TUM:

melakukan
perilaku

3
1.1 Klien

mau

4
membalas 1.1.1

salam
1.2 Klien

mau

menjabat 1.1.2

tangan
1.3 Klien mau menyebutkan

nama
1.1.3
1.4 Klien mau tersenyum
1.5 Klien mau kontak mata
Klien dapat membina
1.1.4
1.6 Klien mau mengetahui
hubungan
saling
nama perawat
percaya.
1.1.5
1.1.6

Klien

mengidentifikasikan
penyebab

perilaku

kekerasan

dapat

hubungan inte
Jelaskan
kontrak

yan

dibuat
Beri rasa am
sikap empati
Lakukan

untuk

2.2Klien

dapat

mengungkapk

mengungkapkan

perasaannya
perasaan

2.2.1Bantu

klien

jengkel / kesal (dari diri

mengungkapk

sendiri, dari lingkungan /

penyebab

orang lain).
3.1
Klien

TUK 3:
Klien

perasaanya

penyebab

tangan
Jelaskan

singkat tapi se
Beri
kes

2.1 Klien mengungkapkan


dapat

nama
Sebutkan

perawat samb

perilaku TUK:

TUK 2:

Beri salam /

mengungkapkan

jengkel
dapat 3.1.1 Anjurkan klie
mengungkapkan

mengidentifikasikan

perasaan saat marah / dialami dan rasak

tanda-tanda

jengkel

perilaku

jengkel / kesal

16

kekerasan

3.2

Klien

dapat 3.1.2

menyimpulkan

Observasi

tanda- perilaku

kekerasa

tanda jengkel / kesal klien


yang dialami

3.2.1 Simpulkan

klien tanda-tanda j

kesal yang dialami k

TUK 4:

4.1

Klien

Klien

dapat mengungkapkan

mengidentifikasi

kekerasan

dapat 4.1.1
perilaku

yang

biasa

kekerasan

dilakukan klien.

dengan

kekerasan

perilaku

yang

sesuai

biasa

yang

biasa

menyelesaikan

dapat

apakah dengan ca

masalah

klien lakukan ma

dapat

selesai.
5.1.1 Bicarakan akibat/

menjelaskan akibat

mengidentifikasi

dari cara yang

dari cara yang

perilaku

Bicarakan denga

dapat

atau tidak.
5.1
Klien

TUK 5:

yang

dilakukan.

4.3 Klien dapat dilakukan 4.3.1


cara

dengan

kekerasan

dilakukan.

akibat

yang

4.2 Klien dapat bermain 4.2.1 Bantu klien berma


peran

Klien

klien

mengungkapkan

perilaku kekerasan yang dilakukan.


biasa dilakukan.

Anjurkan

digunakan klien

dilakukan klien
5.1.2

kekerasan

Bersama

menyimpulkan aki

cara yang diguna


klien
5.1.3

Tanyakan pad
apakah

ia

mempelajari cara b
TUK 6:
Klien
medefisinisikan

6.1 Klien dapat melakukan 6.1.1


dapat

cara

sehat?
Tanyakan

pada

apakah ia ingin
berespon terhadap

mempelajari c
17

cara konatruktif dalam

kemarahan

berespon

secara konstruktif

yang sehat?

6.1.2 Berikan pujian jik

terhadap kemarahan

mengetahui cara lai


yang sehat
6.1.3

Diskusikan deng

cara lain yang sehat

a. Secara fisik: tar

dalam, jika sedan

memukul bantal/ ka

olah raga atau p

yang memerlukan t

b. Secara verbal:
bahwa anda

sedang kesal ters

jengkel (saya kes

berkata seperti itu

marah karena mam

memenuhi keingina
c. Secara
dalam

sosial:

kelompo

cara yang sehat,


asertif.
Latihan

d.

ma

perilaku kekerasa
e. Secara spiritual:
klien

sembahyang, berdoa

lain, meminta pada

untuk dibe ri ke
mengadu
tentang
kejengkelan.

18

pada

ke

3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada respons klien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua
yaitu; Evaluasi proses/formatif yang dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil/sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara
respons klien dan tujuan khusus seta umum yang telah ditentukan.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai
pola pikir.
S : Respons Subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat
diukur dengan menanyakan ; Bagaimana perasaan anda setelah latihan napas
dalam?
O : Respon objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien pada saat
tindakan dilakukan, atau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau
memberi umpan balik sesuai hasil observasi.
A : Analaisis ulang atas data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap atau muncul masalah baru atau data yang
kontraindikasi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil
dengan tujuan.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisis pada respons
klien yang terdiri dari tindak lanjut klien, dan tindak lanjut oleh perawat.
Evaluasi yang dilakukan pada pasien :
a. Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan dan akibat dari poerilaku kekerasan yang
dilakukan.
b. Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara
teratur sesuai jadwal :
Secara fisik, secara sosial atau verbal, secara spiritual, dengan terapi
pshikofarmaka.
Evaluasi yang dilakukan pada keluarga :
a. Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan
b. Keluarga mampu menunjukan sikap yang mendukung dan menghargai
pasien

19

c. Keluarga mampu memotifasi pasien dalam melakukan cara mengontrol


perilaku kekerasan
d. Keluarga mapu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus di laporkan
pada perawat

20

BAB IV
PENUTUP
4.1

Kesimpulan
Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons terhadap
kecemasan/ kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman
(Stuart & Sundeen, 1995). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan
untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif.
(Stuart dan Sundeen, 1995.
Tanda gejala yang muncul dapat dilihat dari emosi (Tidak adekuat, tidak
aman, rasa terganggu, marah (dendam), jengkel), fisik (muka merah,
pandangan tajam, nafas pendek, keringat, sakit fisik, penyalahgunaan obat,
dan tekanan darah.), intelektual ( mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan),

spiritual

(kemahakuasaan,

kebajikan/kebenaraan

diri,

keraguan, tidak bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat) dan sosial berupa


menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan humor).
Penatalaksanaan

dari

perilaku

kekerasan

dapat

dilakukan

secara

keperawatan dan tindakan medis.

21

Daftar Pustaka
1. Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
2. Depkes RI, 1996, Direktorat Jendral Pelayanan Medik Direktorat
Pelayanan Keperawatan, 2000, Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan,
Jakarta.
3. .Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
4. .Keliat Budi Anna, dkk, 1998, Pusat Keperawatan Kesehatan Jiwa,
penerbit buku kedokteran EGC : Jakarta.
5. .Keliat Budi Anna, 1996, Marah Akibat Penyakit yang Diderita, penerbit
buku kedokteran EGC ; Jakarta.
6. .Keliat Budi Anna, 2002, Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK,
UI : Jakarta.
7. Rasmun, 2001, Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi
Dengan Keluarga, Edisi 1, CV. Agung Seto; Jakarta.
8. .Stuart, GW dan Sundeen, S.J, 1998, Buku Saku Keperawatan Jiwa, edisi
3, Penerbit : Buku Kedokteran EGC ; Jakarta.
9. Townsend C. Mary , 1998, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran, EGC ; Jakarta.
10. WF Maramis, 1998, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, penerbit : Buku
Kedokteran EGC ; Jakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai