Anda di halaman 1dari 13

TUGAS AKHIR MK.

METEOROLOGI SATELIT (GFM 315)


VARIABILITAS KEBAKARAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA
CITRA SATELIT (WILAYAH KAJIAN: KABUPATEN LAHAT) TAHUN 2004-2008

Disusun Oleh:

Saeful Rakhman

G2412070

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

1|P ag e

DAFTAR ISI
Daftar Isi
I. PENDAHULUAN - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Latar Belakang

Tujuan

Tinjauan Pustaka

Metodologi

-----------------------------------------

II. HASIL DAN PEMBAHASAN - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 7


Pengaruh TS Terhadap Kebakaran Hutan - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 7
Variabilitas Kebakaran Hutan - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11
Variabilitas dan yang Mempengaruhinya - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11
Grafik Heat Variabilitas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 11
III. SIMPULAN - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 12
IV. DAFTAR PUSTAKA

2|P ag e

12

I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luas kawasan hutan Indonesia tahun 2012 mencapai 130,61 juta Ha. Kawasan
tersebut diklasifikasi sesuai dengan fungsinya menjadi kawasan konservasi (21,17 juta ha),
kawasan lindung (32,06 juta ha), kawasan produksi terbatas (22,82 juta ha), kawasan
produksi (33,68 juta ha) dan kawasan produksi yang dapat dikonversi (20,88 juta ha) Luas
kawasan hutan tersebut mencapai 68,6 % dari total luas daratan Indonesia sehingga menjadi
salah satu potensi sumber daya alam yang rawan terjadi kerusakan karena kepentingan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun
2012 mencapai 0,45 terbagi menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan
hutan 0,13 per tahun (FWI 2011).
Berdasarkan laporan CIFOR (2006), masalah kebakaran hutan telah menjadi isu
nasional yang patut mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kejadian ini terjadi setiap
tahun secara berulang, khususnya di Pulau Sumatera bagian selatan dan di Pulau Kalimantan.
Perlu dipahami bahwa, instansi pemerintah dan masyarakat, termasuk petani, perusahaanperusahaan perkebunan dan HTI, merupakan mata rantai yang tidak terputus yang terkait
langsung dengan kebakaran hutan dan lahan ini. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang
paling menonjol adalah terjadinya kabut asap yang merugikan kesehatan masyarakat dan
terganggunya sistem transportasi sungai, darat, laut, dan udara serta mempengaruhi sendisendi perekonomian lainnya.
Kerusakan lahan dan hutan menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang perlu
penanganan serius dan melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, Akademisi
dan lainnya. Faktor-faktor penyebab rusaknya hutan dan meluasnya lahan kritis diantaranya
disebabkan oleh adanya aktivitas pembalakan liar, kebakaran hutan, ataupun alih fungsi lahan
sebagai akibat dari desakan ekonomi masyarakat terutama di sekitar hutan (Hermawan 2006).
Menurut Kamus Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kebakaran
Hutan (Wild Fire Free Burning, Forest Fire) didefinisikan sebagai kebakaran yang tidak
disebabkan oleh unsur kesengajaan yang mengakibatkan kerugian. Kebakaran terjadi karena
faktor-faktor:alam (misalnya musim kemarau yang terlalu lama) manusia (misalnya karena
kelalaian manusia membuat api di tengah-tengah hutan di musim kemarau atau di hutanhutanyang mudah terbakar.
Citra satelit merupakan keluaran suatu sistem perekaman data yang bersifat optik
berupa foto, bersifat analog berupa sinyalsinyal video seperti gambar pada monitor televisi
atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu pita magnetik.
Kebakaran hutan dapat dideteksi dengan teknologi penginderaan jauh dengan
menggunakan citra satelit yaitu melalui pengamatan hotspot. Beberapa satelit yang dapat
digunakan untuk pemantauan hotspot adalah satelit NOAA (National Oceanographic and
Atmosphere Administration) melalui sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution
Radiometer) dan sensor satelit MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer)
yang terdapat pada satelit TERRA dan AQUA. Hotspot merupakan titik-titik panas di
permukaan bumi dimana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan
lahan (Ratnasari 2000). Menurut LAPAN (2004) hotspot atau titik panas adalah parameter
yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan.
3|P ag e

Sensor AVHRR didesain untuk aplikasi ilmu meteorologi dan kelautan. Untuk dapat
digunakan sebagai pendeteksi kebakaran, dilakukan modifikasi khusus pada algoritma
spektralnya. Saluran (channel) yang paling sesuai untuk pendeteksian kebakara adlah dua
saluan infra merah thermal yang pertamanya, yaitu saluran 3 dan 4. Proses pendeteksian
kebakaran berdasarkan pada pengukuran temperatur permukaan bumi yang diperoleh dari
saluran 3. Sebuah piksel dideteksi sebagai piksel kebakaran atau hotspot ketika saluran 3
dipenuhi oleh temperatur spesifik vegetasi yang terbakar (Malingreau 1990)
Lebih lanjut, Ratnasari (2000) menjelaskan bahwa data hotspot dari citra NOAA
AVHRR dapat dijadikan sebagai indikasi kebakaran hutan atau lahan, baik kebakaran tajuk
(crown fire), kebakaran permukaan (surface fire) maupun kebakaran bawah (ground fire).
Daerah sekitar lokasi hotspot merupakan daerah yang rawan terhadap keakaran. Oleh sebab
itu sebaiknya daerah tersebut tidak dilakukan kegiatan pembakaran.
Tujuan
Tujuan dari dilakukannya tugas project Meteorologi satelit ini adalah untuk;
- Mengetahui variabilitas kebakaran hutan di Kabupaten Lahat dengan menggunakan
citra satelit
- Mengetahui Pengaruh TS terhadap kebakaran hutan di Kabupaten Lahat
- Dapat mempresentasikan grafik variabilatas kebakaran hutan di Kabupaten Lahat
Tinjauan Pustaka
Kondisi Geografis Wilayah Kajian
Dalam tugas akhir ini penggunaan lahan yang diteliti adalah hutan. Hutan dipilih
karena hutan dianggap mempunyai vegetasi alami yang sering mengalami kerusakan. Lokasi
pengamatan adalah provinsi Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan. Hal tersebut disebabkan
provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang sering mengalamai degradasi hutan
(kebakaran hutan) dan alih fungsi hutan/lahan (Rusdiyatmoko & Zubaidah 2005).
Berdasarkan Lakip Kabupaten Lahat (2013), Kabupaten Lahat merupakan salah satu
kabupaten dalam Provinsi Sumatera Selatan, secara geografis terletak antara 3,250 sampai
dengan 4,150 Lintang Selatan, dan 102,370 Bujur Timur. Secara administratif Kabupaten
Lahat dibagi dalam 19 wilayah kecamatan yang mencakup 528 wilayah desa/kelurahan
dengan rata-rata jumlah penduduk perdesa sebesar 1,026.31 orang.
Kabupaten Lahat memiliki luas wilayah 4.840, 27 Km2 atau 484.027 ha dengan batas
wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Muara Enim dan Musi Rawas;
2. Sebelah Selatan dengan Kota Pagaralam dan Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi
Bengkulu;
3. Sebelah Timur dengan Kabupaten Muara Enim;
4. Sebelah Barat dengan Kabupaten Empat Lawang.
Sumber: Lakip Kabupaten Lahat 2013
Derajat kemiringan tanah di Kabupaten Lahat relatif bervariasi, dimana dataran
rendah s.d.100 seluas 17,28 %, lebih dari 100 meter seluas, 28,77 % dpl, dataran tinggi > 500
meter seluas 37,20 % dan dataran tinggi > dari 1000 meter dpl, seluas 16,74 %. Daerah yang
4|P ag e

mempunyai permukaan bergunung adalah Kecamatan Tanjung Sakti, Kota Agung dan Jarai.
Ketinggian di atas permukaan laut sebagai berikut:
Tabel 1. Kabupaten Lahat Menurut Ketinggian di Atas Permukaan Laut
No

Ketinggian
(M) Dpl

Daerah Sebaran/ Kecamatan

Tebing Tinggi, Lahat, Merapi dan Kikim Timur, Kikim Tengah,


Kikim Selatan, Kota Agung, Mulak Ulu, Jarai, Muara Pinang
Pendopo, Ulu Musi, Kikim Barat, Lintang Kanan, Pulau Pinang,
2
100-500
Kota Agung, Mulak Ulu, Jarai, Muara Pinang
3
500-1000 Pendopo, Ulu Musi, Pasemah Air Keruh, Merapi dan Pulau Pinang
Pulau Pinang, Kota Agung, Mulak Ulum Muara Pinang, Jarai dan Tj.
4
>1000
Sakti
Sumber: Dinas Pertanahan Kab. Lahat , 2007dalam Huzain 2008
1

25-100

Karakteristik Iklim di Wilayah Kajian


Kabupaten Lahat mempunyai Iklim tropis basah dengan suhu maksimum rata-rata
30,47C dan suhu minimum yaitu rata-rata 22,16C. Variasi curah hujan pertahun rata-rata
251,27 mm atau 425 mm per-bulan dengan jumlah hari hujan sebanyak 79 hari atau rata-rata
11 hari setiap bulannya (Huzain 2008).
Kelembaban udara rata-rata sebesar 78,50 % dengan rata-rata kecepatan angin 4,66
km/jam. Musim kemarau umumnya berkisar antara Bulan April sampai dengan Oktober
setiap Tahunnya, sedangkan musim penghujan berkisar antara Bulan Oktober sampai dengan
Bulan April. Penyimpangan musim biasanya berlangsung lima tahun sekali, berupa musim
kemarau yang lebih panjang dari musim penghujan dengan suhu udara bervariasi minimum
21,37 celsius sampai dengan 32,39 Celsius, bermuara ke arah timur (Huzain 2008).
Pada tahun 2003, Kabupaten Lahat memiliki luas wilayah hutan sebesar 661.807 Ha,
yang terdiri dari hutan tetap sebesar 219.904,70 Ha. Adapun hutan menurut penggunaannya
sebesar 441.902,30 Ha, yang dirinci menurut fungsinya sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Hutan Lindung 113.447,70 Ha.


Hutan Produksi tetap 41.747,00 Ha.
Hutan Produksi Terbatas 11.881,00 Ha.
Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata 52.889,00 Ha.

Hutan lindung yang ada di Kabupaten Lahat dapat dikelompokkan menjadi 7


kelompok terdiri dari:
1. Bukit. : 67,776 Ha.
2. Gunung Patah : 45,254 Ha.
3. Bukit Balai : 13,825 Ha.
4. Gumai Tb.Tinggi : 50 Ha.
5. Isau-Isau : 1.850 Ha.
6. Bukit Serelo : 401 Ha.
7. Bukit Naval : 169 Ha.

5|P ag e

Menurut FWI (2011), Luas tutupan hutan di daerah Sumatra Selatan pada tahun 2000
adalah 1.122.705,05 Ha. Sedangkan pada tahun 2009, tutupan hutan hanya tinggal
784.523,44 Ha. Dari data tersebut maka deforestasi yang terjadi dari tahun 2000 hingga 2009
adalah sebesar 338.181,60 Ha. Dengan demikian laju deforestasi dari tahun 2000 sampai
2009 adalah 33.818,16 Ha/tahun.
Metodologi
Teknologi penginderaan jauh mampu melakukan pemantauan penggunaan lahan. Hal
tersebut didasarkan pada prinsip penginderaan jauh yaitu melakukan deteksi suatu obyek
tanpa menyentuhnya. Pemantauan yang dilakukan terkait dengan resolusi citra baik resolusi
temporal, resolusi spasial dan resolusi spektral.
Adapun analisis yang dilakukan dalam tugas akhir ini adalah pemantauan penggunaan
hutan/lahan di Lahat, Provinsi Sumatera Selatan menggunakan data citra Landsat 7 bulan
Agustus. Data yang berhasil dikumpulkan adalah data bulan Agustus periode 2004-2008.
Prosedur kerja sederhana dari tugas akhir ini adalah sebagai berikut:
Citra Landsar 7

Komposit dan Calculate Statistic


Citra Band 5 4 2
Klasifikasi ISOCLASS
Unsupervised

Citra Landsar 7

Komposit Band 6.1 dan


6.2

Input Formula Spectral


Radiance

Edit Nama dan Warna


Kelas
Tb
Input Formula Reclass
Tidak
Reclass
Ya
Citra Terklasifikasi
Unsupervised

Input Formula Ts
Ts

Wilayah kajian yang berada pada dua citra, perlu dilakukan mozaik citra untuk
menggabungkan kedua citra menjadi satu gambar yang padu sehingga mudah untuk
melakukan cropping pada wilayah tersebut. Langkah awal mozaik dengan melakukan
composit band 5 4 2 pada citra atas begitu juga pada citra bawah.
Citra yang sudah di mozaik, lalu pilih process, geocoding wizard. Lakukan rektifikasi
citra dengan sesuaikan map to map projection, ubah projection menjadi Geodetic dan rectify,
6|P ag e

save and start rectification. Buka hasil rektifikasi, samakan band klik edit, add vektor layer,
annotation map composition. Klik icon mirip R. Load data .erv yang dibuat, save as raster
region. Potong layer sampai tersisa wilayah kajian saja, perbesar dan save. Mulai lakukan
klasifikasi dengan auto resampling dan iteration 100 kali dengan sembilan maximum kelas.
Load data hasil klasifikasi, class display dan cocokan warna serta beri nama setiap warna
klasifikasi berdasarkan wilayah kajian sebenarnya (khususkan pada tiga klasifikasi utama
yaitu vegetasi, lahan terbangun dan badan air). Sesuaikan warna dan wilayah dengan rumus
codingan di formula editor kolom lalu apply untuk mengecek kesesuaian warna, save.
Setelah dilakukan klasifikasi lahan pada wilayah kajian, tentukan besar suhu
permukaan wilayah tersebut dengan menentukan besar spectral radiance setiap klasifikasi
lahan. Mozaik terlebih dahulu band 6.1 atas dan 6.1 bawah begitupun pada band 6.2. Setelah
dilakukan mozaik, komposit band 6.1 dan 6.2. Load data gabungan kedua band, duplikat,
emc2 dan masukkan formula spectral radiance 6.1, apply lalu lakukan untuk spectral radiance
6.2, save. Load data spectral radiance, duplikat, samakan band, emc 2, masukkan rumus Tb
6.1, apply dan lakukan pula pada band 6.2 save. Rata-ratakan Tb. Gabungkan reclass dan Tb
untuk menyesuaikan Tb dengan masing-masing klasifikasi. Buat Ts (suhu permukaan)
menggunakan data gabungan reclass dan Tb rataan lalu masukkan formula Ts berdasarkan
urutan klasifikasi lahan sebelumnya, save. Munculkan grafik suhu permukaan daerah dengan
limit to actual dan save.
II. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Suhu Permukaan Terhadap Kejadian Kebakaran Hutan
Kajian tingkat kerawanan kebakaran dengan menggunakan data hotspot telah
dilakukan oleh LAPAN (2004). Berdasarkan analisis terhadap curah hujan, NDVI
(Normalized Difference Vegetation Indeks) atau Indeks Vegetasi, jenis penutup lahan, jenis
lahan, dan jarak terhadap jalan dan sungai yang digabungkan dengan analisis frekuensi
hotspot, baik secara temporal maupun spasial, diperoleh bahwa setiap faktor memeberikan
kontribusi yang berbeda terhadap potensi terjadunya kebakaran hutan.
Dari analisis diperoleh bahwa NDVI merupakan representasi dari keadaan bahan
bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan vegetasi hidup maupun serasah. Oleh sebab itu
parameter NDVI memberikan kontribusi terbesar terhadap kerawanan kebakaran hutan.
Selanjutnya curah hujan merupakan parameter penentu tingkat kadar air bahan bakar. Pada
keadaan NDVI dan jenis bahan bakar yang sama, curah hujan yang berbeda memberikan
pengaruh kadar air yang berbeda terhadap bahan bakar (vegetasi hidup maupun serasah),
sehingga curah hujan memberikan kontribusi terbesar kedua sesudah NDVI. Jenis penutup
lahan memberikan kontribusi terhadap frekuensi hotspot terutama karena berkaitan dengan
aktivitas konversi lahan. Dari peta hotspot tahun 1996 hingga 2002 menunjukkan bahwa
frekuensi hotspot terbesar terjadi pada lahan pertanian, diikuti hutan sekunder, semak
belukar, dan perkebunan. Faktor keempat yang menentukan kerawanan kebakaran adalah
jenis lahan yang berdasarkanpeta UNEP (200), Sumatera secara garis besar dibedakan atas
lahan kering dan lahan gambut (LAPAN 2004).
Terkait dengan suhu, menurut Setyanto (2009), suhu udara merupakan faktor yang
selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar.
Suhu udara tergantung intensitas panas atau penyinaran matahari. Daerah dengan suhu tinggi
akan menyebabkan cepat terjadinya pengeringan bahan bakar dan memudahkan terjadinya
7|P ag e

kebakaran. Hal ini terutama terjadi pada musim kemarau yang panjang. Besar kecilnya api
ditentukan kadar air bahan bakar. Di dalam hutan kelembaban udara akan sangat
mempengaruhi mudah tidaknya bahan bakar mengering dan terbakar, hal ini terjadi karena
kelembaban udara dapat menentukan jumlah kandungan air di dalam bahan bakar. Curah
hujan mempengaruhi kelembaban dan kadar air bahan bakar. Bila kadar air bahan bakar
tinggi akibat curah hujan yang tinggi maka sulit untuk terjadinya kebakaran. Namun
sebaliknya bila curah hujan rendah disertai suhu tinggi serta didukung oleh kemarau yang
panjang menyebabkan kebakaran akan mudah berlangsung.
Pengamatan dilakukan dengan melakukan klasifikasi lahan menjadi empat kelas.
Yaitu vegetasi, badan air, lahan terbangun dan awan. Fokus utama pengamatan adalah
menganalisis suhu permukaan di berbagai tutupan lahan.
Adapun nilai suhu permukaan di Kabupaten Lahat dari tahun 2004-2008 hasil
pengolahan citra Landsat 7 bulan Agustus adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Suhu Permukaan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada Tahun 2004
Hasil pengolahan tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2004 suhu permukaan
tertinggi berada pada tutupan lahan berupa lahan terbangun, yaitu sebesar 29.3 oC. Sedangkan
suhu permukaan terendah berada pada tutupan lahan berupa vegetasi 19.5 oC.
Pemantauan hutan/lahan di Sumatera Selatan telah dilakukan oleh Rusdiyatmoko dan
Zubaidah pada tahun 2005 menggunakan analisis spectral data MODIS memakai indeks EVI.
Hasil olahan data untuk pemantauan hutan periode Juli 2004 menunjukkan bahwa nilai
spectral vegetasi yang ditunjukkan nilai EVI mengalami perbedaan pada setiap bulan di
setiap wilayah. Hal ini disebabkan karena tipe vegetasi yang berbeda dan dimungkinkan
adanya degradasi hutan. Adapun degradasi hutan yang mempengaruhi nyata adalah
kebakaran hutan. Nilai minimal adalah 0.42 di Kabupaten Lahat terjadi pada bulan Oktober
dan November. Adapun nilai maksimal ada di Kabupaten Lahat dengan nilai EVI sebesar
0.49 pada bulan Agustus 2004.

8|P ag e

Gambar 2. Suhu Permukaan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada tahun 2005.
Gambar 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2005 suhu permukaan tertinggi berada
pada tutupan lahan berupa lahan terbangun, yaitu sebesar 32.5oC. Sedangkan suhu permukaan
terendah berada pada tutupan lahan berupa vegetasi 9.2 oC adapun di daerah yang merupakan
hutan lebat memiliki suhu permukaan sekitar 21-30oC. Kondisi ini berbeda dengan suhu
permukaan pada tahun 2004 yang hanya sekitar 19oC saja.
Hasil pemantauan hutan periode Januari 2005 sampai dengan Juli 2005 oleh
Rusdiyatmoko dan Zubaidah (2005) menunjukkan bahwa nilai EVI hutan periode Juli 2004
sampai dengan November 2004 dan periode Januari 2005 sampai dengan Juli 2005
mempunyai pola yang tidak teratur. Nilai EVI tersebut kadang kala tinggi dan kadang rendah.
Hasil pemantauan Nilai EVI 2 periode tersebut menunjukkan Kabupaten Lahat mempunyai
nilai EVI yang tidak konstan, atau berubah-ubah. Hal ini menjadi sebuah indikasi perubahan
kondisi tutupan lahan/hutan.

Gambar 3. Suhu Permukaan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada Tahun 2006

9|P ag e

Suhu permukaan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada tahun 2006 berkisar dari
8.9 C hingga 33oC. Suhu tertinggi terjadi di daerah dengan tutupan lahan berupa lahan
terbangun. Sedangkan suhu permukaan terendah berada pada sekitar pegunungan dekat Pagar
Alam.
Jika dibandingkan dengan suhu permukaan di tahun 2004 dan 2005, tahun 2006
merupakan tahun yang memiliki suhu permukaan tertinggi di daerah tersebut. Suhu
permukaan tertinggi terjadi di area sekitar wilayah dengan tutupan lahan berupa terbangun,
bukan di tutupan lahan hutan. Jika dihubungkan dengan jumlah penduduk yang mengalami
peningkatan sebesar 1.61% per tahun, dan mata pencaharian di Kabupaten Lahat adalah
perkebunan kopi dan kelapa sawit, perbedaan suhu permukaan di area pemukiman memiliki
indikasi pembukaan lahan. Dan biasanya disertai pembakaran semak belukar. Dengan melihat
kondisi suhu permukaan tersebut, diperkirakan terjadi perluasan lahan terbuka di daerah
sekitar pemukiman untuk perluasan perkebunan disertai pembakaran semak belukar.
o

Gambar 4. Suhu Permukaan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada Tahun 2007
Suhu permukaan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada tahun 2007 berkisar dari
7.9 C hingga 31.4oC. Suhu tertinggi terjadi di daerah dengan tutupan lahan berupa vegetasi.
Nilai ini menjadi dugaan kuat di daerah tersebut terjadi kebakaran hutan.
o

Gambar 5. Suhu Permukaan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada Tahun 2008
10 | P a g e

Suhu permukaan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pada tahun 2006 berkisar dari
8oC hingga 31oC. Suhu tertinggi terjadi di daerah dengan tutupan lahan berupa vegetasi. Nilai
ini menjadi dugaan kuat di daerah tersebut terjadi kebakaran hutan.
Variabilitas Kebakaran Hutan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan tahun 2004-2008
Dilihat dari suhu permukaan, ada indikasi kebakaran hutan yang bervariasi dari tahun
2004-2008. Di tahun 2004 dan 2005 kondisi suhu permukaan normal, sedangkan memasuki
tahun 2006 kondisi berbalik dari pola normal, ketika terjadi kenaikan suhu permukaan di
tutupan lahan berupa hutan, di lahan terbangun justru mengalami penuruan. Pola ini berlanjut
di tahun 2007 dan 2008.
Faktor Penyebab Variabilitas Kebakaran Hutan di Kabupaten Lahat, Sumatera
Selatan tahun 2004-2008
Penyebab variabilitas ini adalah kondisi iklim dan kondisi tutupan lahan. Kondisi
iklim yang sering menjadi penyebab kebakaran hutan di wilayah ini adalah curah hujan yang
sangat rendah ketika musim kemarau. Mengingat kajian kebakaran hutan ini juga dilakukan
di bulan Agustus (musim kemarau), faktor curah hujan memiliki pengaruh besar terhadap
potensi kejadian kebakaran hutan. Selain curah hujan, kondisi lahan yang sebagian besar
berupa lahan gambut juga menjadi penyebab mudahnya terjadi kebakaran. Lahan gambut
menjadi mudah terbakar ketika musim kemarau. Selain itu penduduk yang sering membakar
sampah dari semak belukar sering menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan.
Heat Variabilitas di Kabupaten Lahat tahun 2004-2008 di Berbagai Kondisi Tutupan
Lahan
Perubahan suhu permukaan lahan terbangun dan lahan berupa hutan di Kabupaten
Lahat, Provinsi Sumatera Selatan dari tahun 2004 sampai 2008 dapat dilihat pada grafik
berikut:

Grafik 1. Variabilitas Suhu Permukaan Sebagai Indikator Kebakaran Hutan


Nilai suhu permukaan di lahan terbangun dan hutan berbeda dari tahun ke tahun. Di
tahun 2004, antara suhu permukaan di lahan terbangun dan hutan memiliki pola yang sama.
11 | P a g e

Ketika suhu permukaan di hutan tinggi, di lahan terbangun juga tinggi. Akan tetapi di tahun
2006 kejadiannya berbanding terbalik. Ketika terjadi pemanasan suhu permukaan di wilayah
dengan tutupan lahan berupa hutan, di area lahan terbangun terjadi penurunan suhu. Dan pola
ini berlanjut di tahun 2007 dan 2008 di wilayah kajian. Perbedaan suhu ini menjadi sebuah
indikator adanya perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dan
perubahan yang paling berarti adalah yang disebabkan oleh pembakaran hutan.
Menurut berbagai hasil kajian dan analisis (CIFOR 2006 dan Walhi 2006), penyebab
kebakaran hutan dan lahan berhubungan langsung dengan perilaku manusia yang
menginginkan percepatan penyiapan lahan (land clearing) untuk persiapan penanaman
komoditas perkebunan. Para pihak yang berkepentingan ingin segera menyiapkan lahan
dengan biaya yang serendah-rendahnya dan sekaligus mengharapkan kenaikan tingkat
kemasaman (pH) tanah (dari sekitar 3 sampai 4 menjadi 5 sampai 6) agar tanaman
perkebunan (sawit dan akasia, misalnya) dapat tumbuh dengan baik. Juga dilaporkan bahwa
perladangan tradisional yang menerapkan sistem usahatani gilir balik tidak dapat disalahkan
sepenuhnya karena jumlah wilayah yang terbakar pada lahan-lahan tersebut hanya sekitar 20
persen dari total keseluruhan yang terbakar. Dari jumlah ini, kurang dari separuhnya terjadi
pada lahan-lahan pertanian milik masyarakat yang menerapkan rotasi usahatani sementara
sisanya pada kawasan bekas konsesi yang ditinggalkan para pemiliknya yang kemudian
digunakan oleh masyarakat.
III. SIMPULAN
Pemantauan hutan/lahan dapat dilakukan dengan menggunakan data citra Landsat 7.
Pemantauan ini dapat memberikan informasi tentang dugaan adanya degradasi hutan/lahan
melalui analisis perubahan suhu permukaan sebagai indikator kebakaran hutan. Pemanfaatan
data Landsat 7 khususnya penggunaan transformasi vegetasi akan lebih sempurna jika
dilakukan pengukuran di lapangan dengan menggunakan peralatan yang memadai sehingga
diperoleh korelasi yang baik antara data lapangan dan analisa spektral Landsat 7. Data
penggunaan lahan berupa peta penggunaan lahan skala detil diperlukan untuk pemantauan
hutan/lahan yang heterogen. Indikasi kebakaran lahan/hutan dilihat dari perbedaan suhu
permukaan yang menonjol atau berbeda jauh dari kondisi normalnya. Indikasi terjadinya
kebakaran hutan terjadi di tahun 2006, 2007, dan 2008 di wilayah kajian dilihat dari kurva
variabilitas suhu permukaan. Namun data ini belum cukup. Perlu adanya data observasi
lapang untuk membuktikan bahwa benar terjadi kebakaran hutan di wilayah tersebut.
IV. DAFTAR PUSTAKA
Ahrens CD. 2007. Meteorology Today 8 The Edition : An Introduction to Weather, Climate,
and the Environment. Canada : Thomson Brook / Cole.
Boer, R., K.A. Notodiputro, and I. Las. 2000. Prediction of daily rainfall characteristics from
monthly climate indices. Proceeding of The Second International Conference on
Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its
Impacts on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999.
Chen M.S. 2001. A study of winter temperature downscaling in Taiwan. Final Report,
Intensive course on dynamical downscaling of seasonal to interannual climate
prediction, IRI, Palisades, NY: 19-35.
CIFOR. 2006. Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. [terhubung
berkala]. http://www.cifor.org. Diakses pada 11 Januari 2015.

12 | P a g e

[FWI] Forest Watch Indonesia. Sumargo W, Nanggara S G, Nainggolan F A, Apriani I. 2011.


Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode Tahun 2000-2009. FWI Edisi Pertama.
Hermawan W. 2006. Dampak Kebakaran Kebun dan Lahan terhadap Lingkungan Hidup.
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat.
Huzain A. 2008. Perkembangan Wilayah Kecamatan di Kabupaten Lahat Sebelum dan
Setelah Pemekaran. [tesis] Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota,
Universitas Diponegoro, UNDIP Semarang [ID].
[LAPAN] Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Kebakaran Hutan/Lahan
Dan Sebaran Asap di Sumatera dari Data Satelit Lingkungan dan Cuaca. Bidang
Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Pusat Pengembangan Pemanfaatan
dan Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN). [terhubung berkala]: http://www.lapanrs.com/SMBA/smba.php?hal=
3&data_id=hn_hr_20040626_all. [diakses pada 9 Januari 2015].
Lakip Kabupaten Lahat 2013.
Ratnasari E. 2000. Pemantauan Kebakaran Hutan dengan Menggunakan Data Citra NOAAAVHRR dan Citra Landsar TM: Studi Kasus di Daerah Kalimantan Timur. [skripsi].
Bogor. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Rusdiyatmoko A, Zubaidah A. 2005. Analisis Spektral Data Modis untuk Pemantauan
Hutan/Lahan (Studi Kasus Provinsi Sumatra Selatan). Pertemuan Ilmiah Tahunan
MAPIN XIV Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan
Kesejahteraan Bangsa. 14-15 September 2005. Institut Teknologi Sepuluh
November, Surabaya [ID].
Thoha A S. 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan
di Indonesia. [skripsi]. Sumatera Utara. Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara.
Setyanto B N. 2009. Pengaruh Iklim dan Cuaca Terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan.
[BMG] Badan Meteorologi dan Geofisika, Lampung [ID].
WALHI. 2006. Musim Pembakaran Hutan, Siklus Tahunan Bencana Indonesia. [terhubung
berkala].
http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/060808_kbkrnhtn
_sp/. Diakses pada tanggal 11 Januari 2006

13 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai