Anda di halaman 1dari 6

Melestarikan lingkungan hidup, ditempu pendekatan prventif, di antaranya melalui

pemahaman ajaran agama secara komprehensif dan integratif. Dalam kontek lingkungan
sering disebut istilah Fiqh Lingkungan. Istilah ini dilihat dalam ajaran Islam (content/isi
dan spirit) berdasarkan nash agama (lquran dan hadis), bukanlah hal yang baru. Perlu
dipertegas bahwa ketika kata Fiqh itu disebutkan, tidak serta-merta ia merefleksikan kitab
kuning, bahasa Arab Jawi ataupun bahasa Arab, dan lainnya.
Fiqh dalam konteks lingkungan adalah hasil bacaan dan pemahaman manusia
terhadap dalil naqli, baik yang maktubah (tertulis) maupun yang kauniyyah (tidak tertulis)
yang tersebar di alam jagad raya. Jadi, Fiqh Lingkungan berarti pemahaman manusia tentang
lingkungan hidup melalui pendekatan-pendekatan holy scriptures (teks-teks suci) dan natural
signs (tanda-tanda alam) yang pada akhirnya akan melahirkan suatu konsep dan sikap mareka
terhadap alam semesta, khususnya menyangkut pelestariannya. Karenanya pemahaman umat
terhadap ajaran Islam perlu dikembangkan dan diperdalam agar Islam bisa dilihat
comprehensif.

Fiqh lingkungan (fiqh al-biah), yaitu sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan
tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syari dengan tujuan
mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan (fiqh al-biah), ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Quran ditegaskan bahwa
menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah.

Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan
demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng
atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30). Karena, walaupun alam diciptakan
untuk

kepentingan

manusia

(QS.

Luqman/31:

20),

tetapi

tidak

diperkenankan

menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan


bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari
rahmat-Nya (QS. al-Araf/7: 56).
Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas
melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran
teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan
pelanggaran berat. Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. alZumar/39: 5), tidak main-main (lab, QS. al-Anbiya/21: 16), dan tidak secara palsu (QS.
Shad/38: 27).
Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan
pada cabang (furu), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Riayah al-Biah fiy Syariah al-Islam (2001), bahwa
memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid alsyariah). Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam
semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan
maqashid al-syariah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi
fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya
wajib).
Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang
tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan

memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman
seseorang. Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut
menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan
(riayah al-biah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi,
menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan
Allah.
Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-biah). Di antara tanda-tanda
kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak
lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27).
Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan
pandangan orang-orang kafir. Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan
terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya
kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia,
termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).
Selain itu, kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan
mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang
anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar
lingkungan (ecological politic). Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian
parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu
pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial
bersatu padu menangani krisis ekologis ini.
Al-hasil, menjaga dan memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu
manusia, fardhu ain. [Hatim Gazali]

Sumber: http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=216.

Lantas apa hukumannya bagi orang-orang yang melakukan kerusakan tersebut? mereka layak
mendapat sanksi berat berupa hukum mati, disalib, dipotong tangannya, bahkan diasingkan.
Sebagaimana Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 33: Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
Secara yuridis, agama Islam menilai bahwa pelaku perusakan lingkungan sama dengan
pelaku kejahatan yang layak mendapat hukuman seberat-beratnya. Oleh karena itu,
memelihara alam, menanam tumbuhan dan menjaganya, adalah merupakan kewajiban syari
karena akan berimplikasi terhadap pelaksanaan Islam secara kaaffah (menyeluruh).
Pernyataan ini bisa mendapat pembenaran dengan kaidah ushul fiqh: Maa Laa
yatimmulwaajib Illaa bihi, fahuwa waajib (Suatu kewajiban yang tidak akan bisa
dilaksanakan sempurna kecuali dengan suatu media, maka penyediaan media itu pun menjadi
wajib hukjumnya). Lingkungan hidup ini adalah media untuk pelaksanaan kewajiban syariat,
maka memelihara lingkungan dalam konteks ini merupakan suatu kewajiban yang jika
dilaksanakan akan mendapat pahala (reward) dan jika diabaikan akan mendapat siksa
(punishment).

Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.


Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap (akan

dikabulkan). Sesungguhnya, rahmat Allah sungguh dekat dengan orang-orang yang berbuat
baik.. (QS. al-Araf/7: 56)

Dalam Al-Quran surat Ar-Ruum ayat 9 Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi


dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang sebelum
mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah
bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka
makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa
bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka,
akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (QS Ar-Ruum (30) :
9)
Pesan yang disampaikan dalam surat Ar-Ruum ayat 9 di atas menggambarkan
agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan karena

dikhawatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam, sehingga


tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu Islam
mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta
melestarikannya. Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara sederhana
dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim.
Rasulullah SAW menegaskan dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh
Thabrani: Dari Abu Hurairah: Jagalah kebersihan dengan segala usaha yang
mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip
kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih. (HR.
Thabrani).
Dari Hadits di atas memberikan pengertian bahwa manusia tidak boleh kikir
untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar untuk menjaga kebersihan agar
kesehatan

diri

dan

keluarga/masyarakat

kita

terpelihara.

Demikian

pula,

mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal dengan menanamkan pepohonan


yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan kesehatan, disamping juga dapat
memelihara peredaran udara yang kita hisap agar selalu bersih, bebas dari
pencemaran.Dalam sebuah Hadits disebutkan: Tiga hal yang menjernihkan
pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri, dan pada air yang
mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad)

Anda mungkin juga menyukai