Anda di halaman 1dari 16

ISU SEKS DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH:

PENYIMPANGAN SEKSUAL LESBIAN, GAY, BISEKSUAL dan HOMOSEKSUAL


(LGBT)*
(disajikan dalam Seminar BK Populasi Khusus, Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 14-30 Mei 2012.)

Disusun Oleh:
Isman Rahmani Yusron
Anggi Rumayanti
Indri Purwanti
Canda Putriandangis

A. Pengertian Homoseksual
1. Etimologi
Kata homoseksual adalah hasil pernikahan bahasa Yunani dan Latin dengan
elemen pertama berasal dari bahasa Yunani homos, 'sama' (tidak terkait dengan kata Latin
homo, 'manusia', seperti dalam Homo sapiens), sehingga dapat juga berarti tindakan
seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama, termasuk lesbianisme.
Gay umumnya mengacu pada homoseksualitas laki-laki, tetapi dapat digunakan secara
luas untuk merujuk kepada semua orang LGBT. Dalam konteks seksualitas, lesbian,
hanya merujuk pada homoseksualitas perempuan. Kata "lesbian" berasal dari nama pulau
Yunani Lesbos, di mana penyair Sappho banyak sekali menulis tentang hubungan
emosionalnya dengan wanita muda.
Banyak panduan penulisan modern di Amerika Serikat menyarankan untuk tidak
menggunakan kata homoseksual sebagai kata benda, tapi menggunakan kata pria gay atau
lesbian. Demikian pula, beberapa merekomendasikan untuk sepenuhnya menghindari
penggunaan kata homoseksual karena memiliki sejarah yang buruk dan karena kata
tersebut hanya merujuk pada perilaku seksual seseorang (berlawanan dengan perasaan
romantis) dan dengan demikian memiliki konotasi negatif. Gay dan lesbian adalah
alternatif yang paling umum. Huruf pertama sering dikombinasikan untuk menciptakan
inisial LGBT (terkadang ditulis sebagai GLBT), di mana B dan T mengacu pada orang
biseksual dan transgender.
Kemunculan istilah homoseksual pertama kali ditemukan pada tahun 1869 dalam
sebuah pamflet Jerman tulisan novelis kelahiran Austria Karl-Maria Kertbeny yang

diterbitkan secara anonim, berisi perdebatan melawan hukum anti-sodomi Prusia. Pada
tahun 1879, Gustav Jager menggunakan istilah Kertbeny dalam bukunya, Discovery of
The Soul (1880). Pada tahun 1886, Richard von Krafft-Ebing menggunakan istilah
homoseksual dan heteroseksual dalam bukunya Psychopathia Sexualis, mungkin
meminjamnya dari buku Jager. Buku Krafft-Ebing begitu populer di kalangan baik orang
awam dan kedokteran hingga istilah "heteroseksual" dan "homoseksual" menjadi istilah
yang paling luas diterima untuk orientasi seksual.
Dengan demikian, penggunaan istilah tersebut berakar dari tradisi taksonomi
kepribadian abad ke-19 yang lebih luas. Meskipun penulis awal juga menggunakan kata
sifat homoseksual untuk merujuk pada konteks seks-tunggal (seperti sekolah khusus
perempuan), sekarang istilah ini digunakan secara eksklusif dalam referensi untuk daya
tarik seksual, aktivitas, dan orientasi. Istilah homososial sekarang digunakan untuk
menggambarkan konteks seks-tunggal yang tidak secara khusus bersifat seksual. Ada juga
kata yang mengacu kepada cinta sesama jenis, homofilia.
2. Homoseksualitas
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku
antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual,
homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman
seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada
orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu
tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan
keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu.
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual,
bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksualhomoseksual. Konsensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga profesi kesehatan dan
kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas adalah aspek normal dalam
orientasi seksual manusia. Homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan
penyebab efek psikologis negatif; prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksuallah yang menyebabkan efek semacam itu. Meskipun begitu banyak sekte-sekte agama dan
organisasi "mantan-gay" serta beberapa asosiasi psikologi yang memandang bahwa
kegiatan homoseksual adalah dosa atau kelainan. Bertentangan dengan pemahaman
umum secara ilmiah, berbagai sekte dan organisasi ini kerap menggambarkan bahwa
homoseksualitas merupakan "pilihan".

Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk
perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis, meskipun gay
dapat merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti jumlah individu yang
diidentifikasikan sebagai gay atau lesbian-dan perbandingan individu yang memiliki
pengalaman seksual sesama jenis-sulit diperkirakan atas berbagai alasan. Dalam
modernitas Barat, menurut berbagai penelitian, 2% sampai 13% dari populasi manusia
adalah homoseksual atau pernah melakukan hubungan sesama jenis dalam hidupnya.
Sebuah studi tahun 2006 menunjukkan bahwa 20% dari populasi secara anonim
melaporkan memiliki perasaan homoseksual, meskipun relatif sedikit peserta dalam
penelitian ini menyatakan diri mereka sebagai homoseksual. Perilaku homoseksual juga
banyak diamati pada hewan.
Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama jenis,
meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang mempermudah
enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan hubungan heteroseksual
dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan tindakan homoseksual telah
dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan budaya
tempat mereka didapati. Sejak akhir abad ke-19, telah ada gerakan menuju hak pengakuan
keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang homoseksual, yang mencakup hak untuk
pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk
memberikan pelayanan militer, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.
3. Orientasi Seksual, Identitas, Perilaku
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan
National Association of Social Workers menyatakan orientasi seksual "tidak hanya
karakteristik pribadi yang dapat didefinisikan dalam isolasi. Sebaliknya, orientasi seksual
seseorang menentukan semesta dengan siapa orang tersebut mungkin menemukan
hubungan yang puas dan terpenuhi"
Orientasi seksual umumnya dibahas sebagai karakteristik individu, seperti jenis
kelamin biologis, identitas gender, atau usia. Perspektif ini tidak lengkap karena orientasi
seksual selalu didefinisikan dalam istilah relasional dan harus melibatkan hubungan
dengan orang lain. Tindakan seksual dan atraksi romantis dikategorikan sebagai
homoseksual atau heteroseksual sesuai dengan jenis kelamin biologis individu yang
terlibat di dalamnya, yang bersifat relatif satu sama lain. Individu-individu
mengungkapkan heteroseksualitas mereka, homoseksualitas, atau biseksual, memang,
didasarkan pada tindakan atau keinginan mereka untuk berbuat terhadap orang lain. Hal

ini mencakup tindakan-tindakan sederhana seperti berpegangan tangan atau berciuman.


Jadi, orientasi seksual secara integral terkait dengan hubungan personal seorang individu
yang dibentuk dengan individu lain untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, ikatan, dan
keintiman. Selain perilaku seksual, ikatan ini mencakup kasih sayang fisik non-seksual
antara pasangan, tujuan dan nilai-nilai bersama, sikap saling mendukung, dan komitmen
berkelanjutan.
4. Perkembangan Identitas Seksual: "Proses Coming-Out"
Banyak orang yang merasakan ketertarikan kepada anggota jenis kelamin sama
memiliki fase "coming out" dalam kehidupan mereka. Umumnya, coming out
digambarkan dalam tiga fase. Fase pertama adalah fase "mengenali diri", dimana muncul
kesadaran bahwa ia terbuka untuk hubungan sesama jenis. Fase ini sering digambarkan
sebagai coming out yang bersifat internal. Tahap kedua melibatkan keputusan untuk
terbuka kepada orang lain, misalnya keluarga, teman, dan/atau kolega. Tahap ketiga
mencakup hidup secara terbuka sebagai orang LGBT. Di Amerika Serikat saat ini, orang
sering "come out" di usia sekolah menengah atas atau kuliah. Pada usia ini, mereka
mungkin tidak percaya atau meminta bantuan dari orang lain, terutama ketika orientasi
mereka tidak diterima di masyarakat. Terkadang keluarga mereka sendiri bahkan tidak
diberitahu.
Menurut Rosario, Schrimshaw, Hunter, Braun (2006), "perkembangan identitas
seksual lesbian, gay, atau biseksual (LGB) adalah suatu proses yang kompleks dan
seringkali sulit. Tidak seperti anggota kelompok minoritas lainnya (misalnya, minoritas
etnis dan ras), sebagian besar individu LGB tidak dibesarkan dalam komunitas serupa
dimana mereka dapat belajar tentang identitasnya dan mematangkan dan mendukung
identitas itu. Sebaliknya, individu LGB sering dibesarkan dalam komunitas yang abai
atau secara terbuka memusuhi homoseksualitas. "
Outing adalah upaya membongkar orientasi seksual seorang yang tertutup. Politisi
terkenal, selebriti, kalangan dinas militer, dan anggota ulama telah "dibongkar" dengan
motif mulai dari benci hingga ke alasan politik atau keyakinan moral. Banyak yang
berkomentar menentang keras praktik ini, sementara beberapa di antaranya mendorong
tokoh masyarakat yang "dibongkar" untuk menggunakan pengaruh mereka untuk
menyakiti gay lainnya.
5. Identitas Gender
Para penulis awal orientasi homoseksual biasanya memahami keterkaitan intrinsik
pada jenis kelamin subjek. Sebagai contoh, mereka berpendapat bahwa individu yang

berperawakan perempuan yang tertarik pada individu berperawakan perempuan lainnya


akan memiliki atribut maskulin, dan sebaliknya. Pemahaman ini dianut oleh sebagian
besar teoretisi penting homoseksualitas dari pertengahan abad ke-19 hingga awal abad 20,
seperti Karl Heinrich Ulrichs, Richard von Krafft-Ebing, Magnus Hirschfeld, Havelock
Ellis, Carl Jung dan Sigmund Freud, serta individu-individu dari kalangan homoseksual
sendiri. Namun, pemahaman tentang homoseksualitas sebagai inversi seksual pada saat
itu telah memicu pertikaian dan silang pendapat, dan setelah paruh kedua abad ke-20,
identitas gender semakin dilihat sebagai fenomena yang berbeda dari orientasi seksual.
Individu-individu transgender dan cisgender dapat tertarik kepada pria, perempuan
atau keduanya, meskipun prevalensi orientasi seksual yang berlainan sangat berbeda
dalam dua populasi ini. Individu homoseksual, heteroseksual atau biseksual dapat bersifat
maskulin, feminin, atau androgini, dan di samping itu, banyak anggota dan pendukung
komunitas lesbian dan gay sekarang yang melihat "heteroseksual sesuai gender" dan
"homoseksual tidak sesuai gender" sebagai stereotip negatif. Meskipun demikian, sebuah
penelitian oleh J. Michael Bailey dan K.J. Zucker telah menemukan bahwa mayoritas
laki-laki gay dan lesbian tumbuh tidak sesuai gender selama masa kecil mereka. Richard
C. Friedman, dalam bukunya Male Homosexualiy yang terbit pada tahun 1990, menulis
dari sudut pandang psikoanalisis, berpendapat bahwa hasrat seksual dimulai lebih lambat
dari yang dilansir dalam tulisan-tulisan Sigmund Freud, ia menunjukkan hasrat seksual
muncul bukan pada masa bayi, tetapi antara usia 5 dan 10 tahun dan tidak terfokus kepada
figur orang tua tetapi pada orang di sekitarnya. Oleh karena itu, menurutnya pria
homoseksual tidak abnormal, karena tidak pernah tertarik secara seksual pada ibu mereka.
6. Konstruksi Sosial
Karena orientasi homoseksual bersifat kompleks dan multi-dimensi, beberapa
akademisi dan peneliti, terutama dalam studi Queer, berpendapat bahwa homoseksual
adalah konstruksi sejarah dan sosial. Pada tahun 1976 sejarawan Michel Foucault
berpendapat bahwa homoseksualitas sebagai identitas tidak ada pada abad ke-18. Orangorang pada masa itu berbicara tentang "sodomi" yang mengacu kepada tindakan seksual.
Sodomi adalah kejahatan yang sering diabaikan tapi terkadang dijatuhi hukuman berat.
Istilah homoseksual sering digunakan dalam budaya Eropa dan Amerika untuk
mencakup keseluruhan identitas sosial seseorang, yang meliputi diri dan kepribadian.
Dalam budaya Barat beberapa orang membicarakan identitas dan komunitas gay, lesbian,
dan biseksual. Dalam budaya lain, label homoseksual dan heteroseksual tidak
menentukan identitas sosial atau menunjukkan afiliasi komunitas berdasarkan orientasi

seksual. Beberapa ilmuwan, seperti David Green, menyatakan bahwa homoseksualitas


adalah konstruksi sosial modern Barat, dan dengan demikian tidak dapat digunakan dalam
konteks seksualitas antar pria non-Barat, atau pada masa pra-modern Barat.
7. Percintaan dan Hubungan Sesama Jenis
Individu-individu

dengan

orientasi

homoseksual

dapat

mengekspresikan

seksualitasnya dalam berbagai cara, dan dapat atau dapat tidak muncul dalam perilaku
mereka. Beberapa memiliki hubungan seksual dengan individu-individu dengan identitas
gender sama, lain gender, biseksual atau dapat juga berselibat. Penelitian menunjukkan
banyak pasangan lesbian dan gay yang menginginkan, dan berhasil dalam memiliki
komitmen dan hubungan yang bertahan lama. Sebagai contoh, data survei menunjukkan
bahwa antara 40% dan 60% pria gay dan antara 45% dan 80% dari lesbian saat ini terlibat
dalam hubungan percintaan. Data survei juga menunjukkan bahwa antara 18% dan 28%
dari pasangan gay dan antara 8% dan 21% dari pasangan lesbian di AS telah hidup
bersama selama sepuluh tahun atau lebih. Sejumlah penelitian telah mengungkapkan
bahwa pasangan homoseksual dan heteroseksual setara satu sama lain dalam ukuran
kepuasan dan komitmen dalam hubungan percintaan, bahwa usia dan gender lebih dapat
diandalkan sebagai alat ukur kepuasan dan komitmen hubungan percintaan, dan bahwa
individu heteroseksual atau homoseksual memiliki harapan dan impian hubungan
percintaan yang sebanding.
8. Ciri-ciri Perempuan Lesbian
Jika para gay lebih gampang dikenali secara fisik lewat penampilan mereka.
Namun lesbi sulit untuk dikenali. Memang, ada lesbian yang berpenampilan seperti lakilaki, yaitu sangat tomboy. Tapi, pengenalan ini bukan berarti ciri khas lesbi. Ada banyak
perempuan straight yang berpenampilan tomboy. Jadi, sulit mengenali perempuan lesbi.
Tidak semua lesbian berpenampilan tomboy. Kebanyakan lesbian yang tomboy ini
merasa, dirinya laki-laki tapi terjebak dalam tubuh perempuan. Banyak juga dijumpai
lesbian yang bergaya seperti perempuan normal, cenderung feminim, bahkan lebih
feminim dari perempuan straight. Tingkah lakunya mungkin bisa saja lebih halus dari
perempuan straight pada umumnya.
Menurut Prof Koentjoro PhD, Guru Besar Psikologi UGM. Lesbian sangat rentan
mengonsumsi narkoba. Awalnya, hanya untuk berfantasi dan mencari sensasi. Hal
tersebut dilakukan agar mengundang gairah bagi para lesbian lainnya. Namun ciri-ciri
khusus dari lesbian ini sukar dikenali, karena mereka masih tertutup. Takut dengan norma
yang ada.

Namun ciri umumnya bisa dikenali lewat 2 pribadi lesbi. Ada yang jadi butchy
(laki-laki), ada yang jadi femme (perempuannya). Jadi butchy itu biasanya berpenampilan
tomboy, memposisikan diri sebagai maskulin. Seluruh penampilannya sangat maskulin,
punya hobi maskulin pula. Kebanyakan cenderung posesif dan menunjukkan ketertarikan
pada wanita. Biasanya, kebanyakan butchy rambutnya potongan cepak.
Kalau yang menjadi femme, biasanya penampilannya terkesan dingin. Selalu
ketergantungan dengan pasangan, tidak mandiri, sering cemas, menjaga jarak dengan
wanita lain yang bukan pasangannya, sangat sensi dan bersikap dingin terhadap laki-laki.
Tetapi ini bukan ciri yang paten, hanya saja ciri inilah yang kebanyakan muncul.
9. Macam-macam homoseksual dan faktor penyebabnya
Menurut Dr. Rono Sulistyo (Willis : 2010), ada tiga macam homoseksual, yaitu:
a) aktif, bertindak sebagai pria dan tidak bergantung kepada teman seksnya.
b) pasif, yaitu bertindak sebagai wanita
c) campuran, yaitu kadang-kadang sebagai pria, kadang-kadang sebagai wanita
Adapun sebab-sebab terjadinya perbuatan homoseksual tersebut, yaitu:
a) faktor hereditas (dibawa sejak lahir). Ini jarang terjadi
b) adanya ketidakseimbangan hormon seks (seks hormonal imbalance)
c) pengaruh lingkungan:
1) terpisah dari lawan jenis dalam jangka waktu yang lama, misalnya di penjara
dan asrama
2) pengalaman hubungan seks dengan sesama jenis pada waktu kecil (masa
kanak-kanak), dengan istilah sodomi
3) kesalahan perlakuan, yakni anak laki-laki yang hidup di rumah tangga
dimana semua saudaranya perempuan. Jika anak ini diperlakukan sebgai anak
perempuan setiap harinya, misalnya dibedaki, diberi pakaian wanita, dan lainlain. Maka akan tumbuh sifat-sifat kewanitaan pada dirinya (merasa diri sebagai
jenis kelamin wanita).
A. Survei Penyimpangan Seksual pada Kalangan Pelajar di Indonesia
Hasil penelitian dan penelusuran Yayasan Priangan Jawa Barat di Bandung
menunjukkan tingginya kasus homoseksual terjadi di kalangan pelajar. Betapa tidak, dari
hasil survei didapat sebanyak 21% siswa SLTP dan 35% siswa SMU disinyalir telah
melakukan perbuatan homoseksual. Survei di tujuh kota besar di Jawa Barat semakin
memperjelas kondisi tersebut.

Survei ini dipertegas lagi dengan adanya temuan dari Pelajar Islam Indonesia
(PII) wilayah Jawa Barat. Setelah melakukan polling antara bulan September-November
2002 dengan menyebar angket sebanyak 400 lembar, hasilnya cukup mencengangkan.
Sekitar 75% pelajar dan mahasiswa di berbagai kota di Jawa Barat melakukan
penyimpangan kategori kenakalan remaja. Mereka terlibat tawuran, narkotika dan
penyimpangan perilaku seksual.
Survei menunjukkan 45% pelajar melakukan perilaku penyimpangan seksual dan
di antaranya 25% pelajar pria melakukan perbuatan homoseksual, PII menggunakan
responden berusia antara 12-24 tahun. Kendati kasus homoseksual tidak sebesar
tawuran dan narkotika, tapi bila dibiarkan hal ini tentu bisa menimbulkan kerawanan
sosial, terlebih perbuatan ini jelas-jelas melanggar aturan agama. Disinyalir pula ada
komunitas kaum homoseksual di kalangan pelajar tersembunyi dan mereka berada di
sekolah-sekolah favorit. Demikian menurut Ruslan Abdul Gani, Ketua Pll wilayah Jawa
Barat.
Selain itu, belakangan kegiatan seks bebas dikalangan remaja sudah semakin
parah dan menjadi-jadi, hampir semua remaja terkena imbas dari maraknya propaganda
pornografi dan pornoaksi yang melahirkan seks bebas di kalangan remaja, berikut
segelintir fakta yang terdapat di sekitar kita:
1. Sampai april 2009 tercatat ada 40-70.000 anak Indonesia yang terjerat ke dalam
bisnis seks. Kajian cepat yangg dilakukan ILO-EPEC di tahun 2003 lampau
tercatat jumlah pekerja seks komersial di bawah usia 18 tahun sekitar 1.244 anak di
Jakarta, bandung 2.511, Yogyakarta 520, Surabaya 4.990 dan Semarang 1.632, dan
akhir tahun 2001 diperkirakan meningkat lebih dari 4 kali lipat (www.eska.com)
2. Data BKKBN pada 2010 menyebutkan, 47 persen remaja di Jabar telah melakukan
seks bebas.
3. Media Indonesia (6/1) mengutip Kantor Berita Antara tertulis bahwa terdapat 85
Persen Remaja yang berumur 15 tahun telah berhubungan seks.
4. Warta Kota (11/2) menuliskan Separo Siswa Cianjur Ngesek. Kemudian, Harian
Republika terbitan 1 Maret 2007 menuliskan, Penyakit Menular Seksual Ancam
Siapa Pun. Dalam berita itu juga dituliskan bahwa hampir 50 persen remaja
perempuan Indonesia melakukan hubungan seks di luar nikah.
5. Penelitian lain dilakukan oleh Annisa Foundation, seperti dikutip Warta Kota.
Diberitakan bahwa 42,3% pelajar SMP dan SMA di Cianjur sudah melakukan
hubungan seksual. Mereka mengakui bahwa hubungan seks itu dilakukan atas suka

sama suka, dan bahkan ada yang berganti-ganti pasangan. Penelitian ini dilakukan
Annisa Foundation (AF) pada Juli-Desember 2006 terhadap 412 responden, yang
berasal dari 13 SMP dan SMA negeri serta swasta.
6. Peredaran film/gambar porno begitu mudah dan dapat diakses remaja melalu
ponselnya, dan banyak bertebaran di situs media sosial (fb,twitter,kaskus,dll)

B. Ilustrasi Kasus Siswi Lesbi di Salah Satu Sekolah Menengah Atas Swasta di
Bandung

Data disembunyikan atas pertimbangan asas confidential


C. Hasil Sosiometri dikelas
Data disembunyikan atas pertimbangan asas confidential
D. Penangan Kuratif Oleh Ahli
Penanganan kasus lesbian atau gay oleh ahli pernah dilakukan oleh Christopher L.
Heffner, Psy.D yang ditulis di Pusat Keanekaragaman Lakeview, Pensacola, Florida.
Sebelumnya, menurut heffner, yang paling penting dalam menangani klien yang lesbian atau
gay adalah keterbukaan serta penerimaan yang tulus dari konselor terlebih dahulu. Ia
menekankan, konselor harus terlebih dahulu menghilangkan stereotipe terhadap identitas
klien yang homoseksual. Memiliki keterampilan untuk menciptakan lingkungan yang positif
serta tidak menghakimi, mutlak merupakan keterampilan yang harus dimiliki konselor.
Bahkan, Heffner menekankan jika konselor percaya bahwa homoseksual adalah salah,
berdosa, tidak bermoral atau bahkan merupakan penyakit mental, maka dia tak perlu
menangani klien yang gay maupun lesbian. Pasalnya, penerimaan dari konselor merupakan
modal utama agar proses konseling berjalan kondusif serta sesuai tujuan. Dan, harus difahami
pula bahwa pada kasus ini, membantu klien mengubah perilakunya serta identitasnya sebagai
gay atau lesbian jika tidak dapat dikatakan tidak mungkin akan sangat sulit.
Ketika menangani konseli gay dan lesbian, sangat penting untuk mengetahui sejauh
mana penerimaan diri konseli. Jika seksualitas adalah isu utama, maka memahami tahap ini
lebih penting. Menurut Cass (1979), terdapat enam tahapan terapi saat berhadapan dengan

konseli homoseksual terkait orientasi seksual mereka. Tahap ini telah diterima secara luas
oleh para profesional dan laki-laki gay serta perempuan lesbi. Antara lain:
1. Kesadaran Identitas. Titik ketika anak atau remaja mulai menyadari ia memiliki
perasaan yang berbeda dari orang lain dan berbeda dari apa yang sudah diajarkan.
2. Perbandingan Identitas. Individu mulai mengeksplorasi perasaannya sendiri untuk
dibandingkan dengan kepercayaan masyarakat, orang tua, dan teman sebaya.
3. Toleransi Identitas. Selama tahap ini, individu akan sering memberontak terhadap
dirinya atau perasaannya dan berusaha untuk menyangkal diri mereka. Setelah tahu,
tak seorang pun ingin menjadi gay di dunia lurus.
4. Penerimaan Identitas. Setelah menyadari bahwa seksualitas merupakan bagian dari
siapa mereka, mereka mulai menerimanya, mengeksplorasi perasaan dan keinginan
mereka, dan mulai mencari tempat di dunia di mana mereka diterima.
5. Kebanggan Identitas. Sering melibatkan kemarahan terhadap orang tua, masyarakat,
agama, atau aspek lain dari dunia yang memberitahu mereka bahwa mereka buruk,
salah, tidak bermoral, atau sakit jiwa hanya karena perasaan mereka diarahkan
menuju kelamin yang sama. Mereka merangkul 'gaya hidup homoseksual dan
mengeksplorasi seksualitas yang baru mereka temukan. Hal ini selama tahap ini
bahwa gay atau lesbian dapat mulai berjuang melawan apa yang masyarakat telah
mengajar mereka.
6. Sintesis Identitas. Tahap akhir dimana homoseksualitas menjadi bagian dari siapa
mereka bukan faktor yang menentukan. Alih-alih menjadi seorang gay atau lesbian,
mereka mulai melihat diri mereka sebagai orang tua, karyawan, pemimpin, guru,
pengawas, pelatih, dan sukarelawan yang hanya kebetulan gay. Pada tahap akhir,
mereka mampu menerima dirinya sepenuhnya lebih daripada melihat seksualitas
mereka sebagai terpisah dari sisa dari siapa mereka.
Saat konseling klien yang homoseksual, penting untuk memahami dimana mereka
dalam hal seksualitas mereka. Mereka mencoba untuk mengkonversi ke 'gaya hidup lurus'
mungkin dalam tahap dua atau tiga. Mereka belum menerima diri mereka sebagai gay dan
belum memiliki persahabatan yang saling memaklumi dan faham akan orientasi seksual
mereka. Sementara terapis telah melaporkan keberhasilan konversi yang terbatas, namun
keberhasilan ini hanya dalam hal perilaku dan bukan pikiran atau perasaan. Dengan kata lain,
seorang gay atau lesbian mungkin dapat menghindari kontak seksual dengan sesama jenisnya,
namun mereka masih memiliki perasaan dan pikiran yang berkaitan dengan menjadi gay.
Dan, karena seksualitas sering hadir pada awal masa remaja, penelitian telah menunjukkan

bahwa hal itu cenderung tidak dapat berubah. (Individu yang kembali ke kehidupan lurus
setelah mengubah perilaku seksual mereka karena trauma seperti perkosaan kemungkinan
besar bukan gay di tempat pertama Mereka hanya terlibat dalam perilaku homoseksual).
Pada tahap empat dan lima yang mungkin mencoba untuk menemukan kembali diri
dengan penerimaan ini baru ditemukan. Mereka mungkin mencari teman-teman gay, terlibat
dalam perilaku seksual kurang diskriminasi, atau 'berteriak dari puncak gunung, "sehingga
untuk berbicara. Mereka telah menerima seksualitas mereka, tetapi belum belajar untuk
mengintegrasikan aspek kehidupan mereka ke dalam rasa diri. Dalam perawatan, kekuatan
individu-individu merasa harus memeluk dan pengobatan harus berfokus pada apa yang
mereka dapat lakukan, bukan untuk membuat dunia menerima mereka, tetapi untuk
menunjukkan kepada dunia bahwa mereka layak penerimaan. Dengan kata lain, parade gay,
demonstrasi, kampanye email ke kongres, semua upaya yang layak, tetapi begitu juga
menjalani kehidupan yang jujur, membantu orang lain, berbagi, mencintai, dan menjadi
teman.
Individu dalam tahap enam sering dilihat sebagai tidak berbeda dengan kebanyakan klien
kita lihat dalam terapi. Mereka telah menerima seksualitas mereka, telah mengembangkan
hubungan, dan tidak melihat 'gay' sebagai masalah, melainkan sebagai salah satu dari banyak
masalah yang mereka hadapi dalam dunia yang tidak sempurna. Menjadi gay sering terlihat
dalam cahaya yang positif. Mereka sekarang dapat mulai memberikan kembali kepada orang
lain, menjadi mentor, relawan, jalankan untuk kantor, atau menggunakan seluruh diri mereka
sebagai alat untuk membuat dunia tempat yang lebih baik.
E. Prognosis Treatment Kuratif
Penanganan bagi klien yang lesbi atau gay mesti dimulai dengan menjauhkan terlebih
dahulu dari stigma-stigma negatif konselor terhadap klien. Penerimaan yang tulus dari
konselor terhadap konseli, mesti diutamakan dalam konseling terhadap gay dan lesbian.
Mereka sudah cukup ditolak oleh lingkungan sosialnya, sehingga penerimaan yang tulus
dari konselor merupakan pendekatan pertama yang ampuh untuk mengeksplorasi pengalaman
konseli.
Saat mengeksplorasi konseli, penting bagi konselor untuk mengidentifikasi jenis
homoseksual mana yang tengah dialami oleh konseli. Pasalnya, homoseksual yang genetis
atau hubungannya dengan faktor biologis dirinya, berbeda dengan homoseksual yang
disebabkan oleh faktor eksternal dirinya (misalnya karena korban pemerkosaan sesama jenis,
sodomi, karena sakit hati atau faktor eksternal lainnya yang menyebabkan konseli menjadi

homoseksual). Pengidentifikasian jenis homoseksual yang dialaminya penting untuk


menentukan tujuan atau fokus bantuan. Jika konseli teridentifikasi mengalami kebingungan
karena sejak awal tidak pernah mengalami rasa menyukai terhadap lawan jenis, atau sejak
awal memiliki orientasi seksual yang berbeda, maka yang difokuskan bukan pada bagaimana
cara merubah perilakunya atau orientasi seksualnya menjadi lurus, tapi terlebih dahulu
dibantu untuk dapat menerima dirinya serta lingkungannya. Fokus utamanya pada bagaimana
konseli dapat bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya, serta membantu untuk mengatasi
permasalahan yang berasal dari tekanan lingkungan sosialnya, dan terhindar dari perilakuperilaku beresiko. Karena, menurut penelitian para ahli yang dikemukakan Heffner,
mengubah orientasi seksual homoseksual jenis ini tidak pernah berhasil. Maka dari itu,
pengubahan orientasi seksual bukan langkah pertama dalam terapi bagi lesbian atau gay.
Namun, jika kasusnya teridentifikasi bahwa konseli ternyata belok orientasi
seksualnya dari asalnya normal, maka menurut Heffner pun, kemungkinan besar mereka
bukan homoseksual, akan tetapi merupakan korban dari faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan dia berbelok orientasi seksualnya. Hal ini besar peluang bagi konselor untuk
merubah perilakunya, atau bahkan mengubah orientasi seksualnya menjadi kembali
heteroseksual.
Seperti kasus AR yang telah dikemukakan diatas, dari hasil tes serta wawancara yang
telah dilakukan, dapat diidentifikasi bahwa beloknya orientasi seksual AR menjadi seorang
lesbi, bukan merupakan bawaan yang berasal dari dorongan biologis dalam dirinya. Akan
tetapi, dapat di identifikasi penyebab dari berubahnya orientasi seksual AR menjadi penyuka
sesama jenis dikarenakan pengalaman dirinya dimasa sebelumnya yang mengubah
keyakinannya akan hubungan dengan lawan jenis. Ditambah dengan dukungan dari temannya
yang menyarankan untuk berpacaran dengan sesama jenis pada saat AR mengalami sakit hati
terhadap lawan jenisnya.
Kesakithatian AR terhadap pacar lelakinya yang meninggalkannya, melahirkan
keraguan dan kebimbangan dalam menafsirkan hubungan dengan lawan jenis. Situasi
emosional AR yang tengah terguncang, akhirnya memunculkan keyakinan baru bahwa
hubungan dengan lawan jenis bukan pilihan tepat bagi dirinya. Hingga, disaat AR
menemukan UT, dia menemukan kenyamanan serta kehangatan yang tak didapatkannya saat
berhubungan dengan pacar lelakinya. Hal ini memperkuat keyakinan AR tentang pilihan yang
dia pilih sebagai penyuka sesama jenis.
Situasi AR yang menjadi suka sesama jenis, pada kasus ini jelas didasarkan pada
pengalaman traumatis yang merubah keyakinannya tentang hubungan dengan lawan jenisnya.

Maka dapat diidentifikasi, bahwa yang menjadi pokok utama dari kasus AR ialah
keyakinannya. Maka, yang menjadi titik penanganan bagi kasus AR ialah merubah inti
keyakinannya yang telah berubah. Maka dari itu, untuk menangani kasus seperti ini, ada
beberapa tahap yang diperlukan :
1. Identifikasi dan Eksplorasi. Melihat sejauh mana dirinya memahami dirinya serta
keadaannya. Dalam tahap ini konseli difasilitasi untuk lebih dalam memahami kondisi
dirinya dan konselor mengarahkan pada eksplorasi permasalahan keyakinan konseli yang
menyebabkan dirinya merubah orientasi seksualnya. Tahap ini konseli dibantu untuk
melihat dirinya dari berbagai perspektif.
2. Menata keyakinannya yang irrasional. Pada tahap ini konseli diajak untuk memperbaiki
keyakinan-keyakinan irrasionalnya, karena pada dasarnya perubahan menjadi lesbian atau
gay merupakan pembenaran dari keyakinannya yang irrasional. Jika dilihat dari kacamata
positif, konseli sebenarnya memiliki fikiran serta perilaku yang normal seperti orang
kebanyakan, akan tetapi keyakinannya yang baru karena faktor eksternal yang merubah
pola perilaku dan orientasi seksualnya.
3. Perbandingan Identitas. Konseli difasilitasi untuk mengeksplorasi dirinya secara
menyeluruh serta membandingkan dirinya dengan masyarakat, orang tua, teman sebaya
dan lainnya. Pada tahap ini, konseli dibantu untuk memahami sisi lain dari kehidupan
masyarakat kebanyakan, sehingga konseli dapat melepaskan kacamatanya dalam melihat
masyarakat hingga hubungan antara lawan jenis. Dalam posisi ini, konseli dibantu untuk
menyadari bahwa apa yang difahaminya atau diyakininya selama ini tidak sepenuhnya
benar.
4. Menghentikan fikiran negatif. Pada tahap ini, disaat keyakinan konseli mulai longgar,
maka konseli cenderung melakukan penolakan-penolakan pada kenyataan yang
difahaminya. Maka dari itu, konselor membantu konseli untuk memandang segala hal dari
kacamata positif dan menghentikan fikiran-fikiran yang negatif.
5. Melatih keterampilan tegas. Dalam tahap ini, konseli dilatih untuk bertindak tegas
terhadap kecenderungan fikiran perilaku-perilaku dirinya yang tidak sesuai dengan
keyakinan barunya. Keyakinan yang baru ini hasil dari pemahaman baru yang lebih
rasional yang telah ditanamkan pada tahap sebelumnya.
6. Penugasan rumah. Mempraktikkan perilaku yang baru dan strategi penanggulangan
fikiran-fikiran lama yang mengikatnya pada keyakinan-keyakinan lama. Pada tahap ini
konseli dibantu untuk melakukan apa yang telah difahaminya hasil dari tahap-tahap
konseling yang telah dilaluinya.

7. Pengkondisian tersembunyi. Konselor berupaya untuk mengkondisikan konseli namun


secara tersembunyi dengan penekanan pada proses psikologis yang terjadi pada diri
konseli. Pada tahap ini konselor berupaya mengontrol konseli agar tidak kembali
melakukan perilaku lama.
8. Evaluasi. Tahap terakhir, konselor mengevaluasi sejauh mana pencapaian perubahan
perilaku konseli yang telah direncanakan dan merupakan hasil dari penemuan keyakinan
yang baru. Tahap ini konselor memberikan penguatan tentang apa yang telah
dilakukannya, agar konseli menemukan pemahaman baru dan kenyamanan dalam
menjalani perilaku yang baru.
F. Prognosis Treatment Preventif
Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia
yang jelas dan benar. Informasi itu meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan
sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan,
kejiwaan dan kemasyarakatan.
Pendidikan Seks adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari pertumbuhan
jenis kelamin (Laki-laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin sebagai alat reproduksi.
Bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan pada

laki-laki.

Tentang

menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada timbulnya birahi karena
adanya

perubahan

pada

hormon-hormon.

Termasuk nantinya masalah perkawinan,

kehamilan dan sebagainya.


Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi atau yang lebih
trend-nya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak

yang sudah

beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Ini
penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi di kalangan remaja.
Beberapa Hal Pentingnya Pendidikan Seks bagi Remaja:
1. Untuk mengetahui informasi seksual bagi remaja
2. Memiliki kesadaran akan pentingnya memahami masalah seksualitas
3. Memiliki kesadaran akan fungsi-fungsi seksualnya
4. Memahami masalah-masalah seksualitas remaja
5. Memahami
seksualitas

faktor-faktor

yang

menyebabkan

timbulnya

masalah-masalah

Selama ini, jika kita berbicara mengenai seks, maka yang terbersit dalam benak
sebagian besar orang adalah hubungan seks. Padahal, seks itu artinya jenis kelamin yang
membedakan pria dan wanita secara biologis. Seksualitas menyangkut beberapa hal
antara lain dimensi biologis, yaitu berkaitan dengan organ reproduksi, cara

merawat

kebersihan dan kesehatan; dimensi psikologis, seksualitas berkaitan dengan identitas


peran jenis, perasaan terhadap seksualitas dan bagaimana menjalankan fungsinya
sebagai makhluk seksual; dimensi sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas
muncul dalam relasi antar manusia serta bagaimana lingkungan berpengaruh dalam
pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan pilihan perilaku seks; dan dimensi
kultural, menunjukkan bahwa perilaku seks itu merupakan bagian dari budaya yang ada di
masyarakat
Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus)
tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk
Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu
butir

konsensus

tersebut

ditekankan

tentang

upaya

untuk mengusahakan

dan

merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi


yang komprehensif termasuk bagi para remaja.
Ada dua faktor mengapa sex education sangat penting bagi remaja. Faktor
pertama adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka belum paham dengan
sex education, sebab orang tua masih menganggap bahwa membicarakan mengenai seks
adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidak fahaman tersebut para remaja merasa tidak
bertanggung jawab dengan seks atau kesehatan anatomi reproduksinya.

DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Rama. 2008. Membongkar Rahasia Jaringan Cinta Terlarang Kaum Homoseksual.
Hujjah Press
Kencana, Putra. 2008. Membongkar Rahasia Kaum Homoseksual. Hujjah Press
Nurihsan, A. Juntika. (2005). Strategi Layanan Bimbingan dan Konseling. Bandung: PT.
Refika aditama.
Philips, Abu Ameenah. 2003. Islam dan Homoseksual. Zahra
Sciara, Daniel T. (2004). School Counseling, Foundation and Contemporary Issues. Belmont,
USA: Thomson Learning
Willis, Sofyan (2009). Remaja & Masalahnya. Bandung: Alfabeta
Putri, Gustia Martha. 2012. "Homoseksual Bukan Penyakit Menular". [Online].03/03/2012.
Tersedia: http://health.okezone.com/read/2012/ 03/03/485/586513/homoseksual-bukanpenyakit-menular (1 Mei 2012)
Comiskey, Andrew. Apakah Homoseksual Itu? [Online]. Tersedia: http://www.
pancarananugerah.org/index.php?option=com_content&view=article&id=21:apakahhomoseksual-itu&catid=24:-homoseksualitas (1 Mei 2012)
Wikipedia. 2012. Homoseksualitas. [Online]. 20 April 2012. Tersedia: http://id.wikipedia.
org/wiki/Homoseksualitas. (1 Mei 2012)
Husaini, Adian. 2010. Homoseksual dan Lesbian di Indonesia. [Online]. 26 Maret 2010.
Tersedia:
http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_
content&view=article&id=417:beberapa-artikel-tentang-homoseksualdan
lesbian&catid=50: nasional&Itemid=1 (1 Mei 2012)
Buletin Gaul Islam. 2004. Jangan Bangga Jadi Homoseks! [Online]. 30 Agustus 2004.
Tersedia: http://www.dudung.net/buletin-gaul-islam/jangan-bangga-jadi-homoseks.html
(1 Mei 2012)
Inge. 2010. Homoseksual: Takdir atau Pilihan Hidup? [Online]. 23 September 2010. Tersedia:
http://filsafat.kompasiana.com/2010/09/23/homoseksual-takdir-atau-pilihan-hidup/ (1
Mei 2012)

Anda mungkin juga menyukai