Anda di halaman 1dari 7

EPISTAKSIS

Gol Penyakit SKDI : 4A


Ria Afrina
0907101010183

DEFINISI
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring
dan mencemaskan penderita serta para klinisi (Munir et al., 2006).
INSIDENSI
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering dijumpai pada musim
dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai
pada anak dan dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosclerosis (Munir et al., 2006).
ETIOLOGI
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis. Etiologi epistaksis
dapat dari banyak faktor. Secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor lokal dan
faktor sistemik (BJ Budiman; A Hafiz, 2012)
a. Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain:

Trauma nasal.

Obat semprot hidung (nasal spray). Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus,
terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan
epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaian
fluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.12

Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.

Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang.

Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain.12

Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).

Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wageners granulomatosis (kelainan
yang didapat) (Mangunkusumo dan wardani, 2009).

b. Faktor Sistemik
Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:

Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan bawaan
yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan
perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh
darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.

Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin,
clopidogrel).

Kegagalan fungsi organ seperti uremia dan sirosis hepatis.

Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.

Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormon adrenokortikosteroid atau hormon


mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan hormon
pertumbuhan dan hyperparathyroidism (Mangunkusumo dan wardani, 2009).

PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat
perubahanprogresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstisial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan
tersebut memperlihatkangagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma (Munir et al., 2006).
GAMBARAN KLINIS
Gejala epistaksis tergantung dari sumber perdarahan. Melihat asal perdarahan, epistaksis dibagi
menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior .
a.

Epistaksis anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach diseptum bagian anterior atau dari arteri etmoidalis

anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau
kebiasaan mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat berhenti
sendiri (Mangunkusumo dan wardani, 2009).
b.

Epistaksis posterior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih

hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering ditemukan pada pasien hipertensi, arteriosclerosis atau

pasien dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalatina (Mangunkusumo dan
wardani, 2009).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung
dan sinus paranasal dan CT-scan (Becker et al., 1994).
DIAGNOSIS
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan penyebabnya harus segera
dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis
idiopatik, rinitis anterior dan penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya
akibat hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan darah dan periksa
factor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT, dilakukan pemeriksaan tambahan foto
tengkorak kepala, hidung dan sinus paranasal, kalau perlu CT-scan (Becker et al., 1994).
DIAGNOSA BANDING
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari
hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang
kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius (Iskandar et al., 2000).
PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan,
hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan. Perdarahan anterior
seringkali berasal dari pleksus kiselbach di septum bagian depan. Apabila tidak terhenti dengan
sendirinya, perdarahan anterior dapat dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dapat dikaustik dengan larurtan Nitras
Argenti (AgNO3) 25-30% kemudian area tersebut diberi krim antibiotik. Bila dengan cara ini perdarahan
masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior (Mangunkusumo dan
wardani, 2009).
Perdarahan posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior yang disebut tampon
Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Untuk
memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan
dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini
diikatkan 2 benang tampon Bellocq, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang
keluar dan dapat ditarik. Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angifibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior

terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat digunakan kateter Folley
dengan balon (Mangunkusumo dan wardani, 2009).

KOMPLIKASI

Aspirasi darah kedalam saluran nafas bawah

Hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark miokard sehingga dapat
menimbulkan kematian

Infeksi akibat dari pembuluh darah yang terbuka

Hemotimpanum akibat dari mengalirnya darah melalui tuba eus tachius

Air mata berdarah (blood tears) akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus
nasolakrimalis (Mangunkusumo dan wardani, 2009).

PROGNOSIS
Epistaksis yang disebabkan akibat kelainan pembuluh darah cenderung sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik (Munir et al., 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose, and throat disease, a pocket reference. Second Edition.
New York, Thieme Medical Publiseher, Inc, 1994: 170 80 dan 253 60.
BJ Budiman; A Hafiz. 2012. Jurnal Kesehatan Andalas. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Iskandar N; Supardi EA. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Edisi Keempat,
Jakarta FKUI, 2000, hal. 91, 127-131.
Mangunkusumo,E; Retno. S. Wardani. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan
Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: EGC.
Munir,D; yuritna haryono; Andrina Y.M rambe. 2006. Majalah kedokteran nusantara. Vol. 39(3).

BENDA ASING PADA HIDUNG


Gol Penyakit SKDI : 4A
Ria Afrina
0907101010183

Benda asing didalam suatu organ ialah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh
yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing
eksogen, biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut
benda asing endogen (Junizaf, 2009).
ETIOLOGI & FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor yang mempermudah terjadinya aspirasi benda asing kedalam saluran napas antara lain:
Faktor personal (umur, jenis kelamin, pekerjaan, kondisi social, tempat tinggal)
Kegagalan mekanisme proteksi yang normal (antara lain keadaan tidur, kesadaran menurun,
alkoholisme dan epilepsi)
Faktor fisik (kelainan dan penyakit neurologi)
Proses menelan yang belum sempurna pada anak, faktor dental, medical dan surgikal (Junizaf, 2009).
INSIDENSI
Dari semua kasus benda asing yang masuk kedalam saluran napas dan saluran cernayang terjadi
pada anak-anak, sepertiga benda asing yang teraspirasi tersangkut di saluran napas. 55% dari kasus benda
asing disaluran napas terjadi pada anak berumur kurang dari 4 tahun. Kacang atau biji tumbuhan lebih
sering teraspirasi pada naka yang berumur antara 2-4 tahun, karena belum mempunyai gigi molar yang
lengkap dan belum dapat mengunyah makanan dengan baik (Junizaf, 2009; Sosir et al.,2012).
PATOGENESIS
Benda asing mati (inanimate foreign bodies) di hidung cenderung menyebabkan edema dan
inflamasi mukosa hidung, dapat terjadi ulserasi, epistaksis, jaringan granulasi dan dapat berlanjut menjadi
sinusitis. Benda asing hidup (animate foreign bodies) menyebabkan reaksi inflamasi dengan derajat
bervariasi, dari infeksi lokal sampai destruksi massif tulang rawan dan tulang hidung dengan membentuk
daerah supurasi yang dalam dan berbau. Cacing askaris dihidung dapat menimbulkan iritasi dengan
derajat yang bervariasi karena gerakannya (Junizaf, 2009).
GAMBARAN KLINIS
Gejala klinis yang sering timbul adalah hidung tersumbat , rinore unilateral dengan cairan kental
dan berbau. Kadang-kadang terdapat nyeri , demam, epistaksis dan bersin (Junizaf, 2009 dan Sabiston,
David, 1994). Seseorang yang mengalami aspirasi benda asing akan megalami 3 stadium. Stadium

pertama merupakan gejala permulaan, yaitu batuk-batuk hebat secara tiba-tiba (violent paroxysms of
coughing), rasa tercekik (choking), rasa tersumbat di tenggorok (gagging), bicara gagap (sputtering) dan
obstruksi jalan napas yang terjadi dengan segera. Pada stadium kedua, gejala stadium permulaan diikuti
oleh interval asimtomatik. Hal ini karena benda asing tersebut tersangkut, refleks-refleks akan melemah
dan gejala rangsangan akut menghilang.Stadium ini berbahaya, sering menyebabkan keterlambatan
diagnosis atau cenderung mengabaikan kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak
jelas. Pada stadium ketiga telah terjadi komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru
(Junizaf, 2009).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada kasus benda asing disaluran napas dapat dilakukan pemeriksaan radiologik dan laboratorium
untuk membantu menegakkan diagnosis. Benda asing yang bersifat radio opak dapat dibuat R0 foto
segera setelah kejadian, sedang benda asing radio lusen (seperti kacang-kacangan) dibuatkan Ro foto
setelah 24 jam kejadian, karena sebelum 24 jam kejadian belum menunjukkan gambaran radiologis yang
berarti (Junizaf, 2009).
DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pada anamnesis umumnya didapatkan rhinore unilateral disertai obstruksi nasi unilateral sebagai keluhan
utama

dan

keluhan

lain

seperti

napas

berbau

busuk,sekret

berbau

busuk.

Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan intranasal, umumnya dapat ditemukan dengan rhinoskopi anterior berupa massa kalsifikasi yang
berwarna abu-abu dan gelap, dengan konsistensi yang keras seperti batu dan permukaan yang irregular.
Pemeriksaaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

Pemeriksaan radiologis yaitu foto kepala dan CT scan kepala, Gambaran radiologis radioopak pada foto
kepala biasanya letaknya di dasar kavum nasi. Pada CT scan didapatkan massa hiperdens (Nizar et al.,
2007).
DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding adalah :


1.Gigi hidung
Yaitu gigi rahang atas yang tumbuh ke dalam hidung karena ada yang menghalangi pertumbuhan ke
bawah dan jumlah gigi yang berlebih.
2. Benda asing lain dalam cavum nasi

Benda asing yang sering ditemukan biasanya pada anak-anak biasanya manik-manik, kancing, karet
penghapus, kelereng, kacang-kacangan, dan lain-lain.
3. Polip Nasi
Polip nasi terdapat pada jaringan gelatin yang terbentuk dari proses alergi, gejala klinis yang tampak
obstruksi nasi, rasa tidak nyaman pada hidung bagian dalam, rinolali, pada pemeriksaan fisis dan
penunjang yakni tampak massa yang bertangkai dan berwarna putih yang berada di konka media (Nizar
et al., 2007).
PENATALAKSANAAN
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan memakai pengait (haak) yang
dimasukkan kedalam hidung di bagian atas, menyusuri atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring.
Setelah itu pengait diturunkan sedikit demisedikit dan ditarik kedepan. Dengan cara ini benda asing itu
akan ikut terbawa ke luar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau wire loop. Pembuangan
biasanya menggunakan anastesi umum menggunakan vasokonstriktor hidung topical dan pendekatan
intranasal. Pemberian antibiotik sistemik selama 5-7 hari hanya diberikan pada kasus benda asing hidung
yang telah menimbulkan infeksi hidung maupun sinus (Junizaf, 2009 dan Sabiston, David, 1994).
KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering timbul pada epistaksis ialah obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi terhadap benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia dan abses paru
(Junizaf, 2009).
PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik jika dilakukan penanganan secara dini dan tepat. Tidak boleh dibiarkan dalam rongga
hidung oleh karena bahaya nekrosis dan infeksi sekunder yang mungkin timbul, dan kemungkinan aspirasi ke
dalam saluran pernapasan bawah (Nizar et al., 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Junizaf, M.H. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke6. Jakarta: EGC.
Nizar NW; Mangunkusumo E. 2007. Polip Hidung. Dalam : Soepardi A, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p 97-99

Sabiston, D.C. 1994. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC.


Sosir M.S; Palandeng.O.I; Tumbel R.F.C. 2012. Benda Asing Telinga Hiduung Tenggorok Di
Bagian/SMF THT-KL BLU RSU Prof. DR. R. D. Kandou Manado. Jurnal Biomedik. Vol. 4. No.3
(153-157).

Anda mungkin juga menyukai