Anda di halaman 1dari 8

PEMISAHAN DAN PEMURNIAN KOMPONEN GUAIEN

DARI MINYAK NILAM DENGAN METODE DESTILASI


FRAKSINASI VAKUM
SEPARATION AND PURIFICATION GUAIEN COMPONENT
OF PATCHOULI OIL USE VACUM FRACTIONATION
DISTILATION
Pratiwi Kusumaning Ayu1), Nur Hidayat2), Edi Priyo Utomo3), Egi Agustian4)
1

Alumni Jurusan Teknologi Industri Pertanian ,Universitas Brawijaya


Staff Pengajar Jurusan Teknologi Industri Pertanian,Universitas Brawijaya
3
Staff Pengajar Jurusan Kimia, Universitas Brawijaya
4
Staff Peneliti Pusat Penelitian Kimia,Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Emailpratiwikusumaningayu@gmail.com
2

Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memisahkan dan memurnikan komponen guaien
pada minyak nilam yang diketahui memiliki sifat antiinflamasi. Metode yang dilakukan adalah destilasi
fraksinasi vakumminyak nilam dengan tekanan 0-1 mbar pada refluk rasio 10/1 dan 10/10. Variasi
penampungan destilat dilakukan berdasarkan jumlah minyak yang dihasilkan pada persentase
komposisi guaien pada data GCMS. Hasil pemisahan dan pemurnian dengan kadar guaien
tertinggi pada refluk rasio 10/1 sebesar 99,61% sedangkan pada refluk rasio 10/10 sebesar 96,68%.
Kata Kunci : Minyak Nilam, Destilasi Fraksinasi, guaien,Refluk rasio

Abstract
The aim of this research is separation and purification-guaien componentsfrom patchouli oil
thatare known to haveanti-inflammatoryactivity. Method that use is Vacuum fractionation distillation
patchoulioilat0-1mbarpressurewitha refluxratioat10/1and10/10. Variation ofthe shelteris based onthe
amount of oildistillateproducedin thepercentagecomposition of-guaien on the dataGCMS.
Resultsseparationandpurificationwiththe highestlevels of-guaien therefluxratio10/1at99.61% while
therefluxratio of10/10was96.68%.
Keyword: Patchouli oil, Fractional Distillation, guaien, Reflux Ratio

PENDAHULUAN
Nilam adalah salah satu tanaman yang
dapat menghasilkan minyak atsiri yang
bersifat fiksatif bagi bahan atsiri yang lain.
Dewan
Atsiri
Indonesia
(DAI)
menyebutkan bahwa kebutuhan minyak
nilam dunia sebagian besar disuplai oleh
Indonesia yakni sebanyak 90%, sisanya
disuplai oleh Cina, Malaysia dan Brazil.
Aceh merupakan sentra produksi minyak
nilam terbesar di Indonesia disamping
Sumatra Utara dan beberapa daerah lain.
Harga minyak nilam dunia saat ini
mencapai Rp. 500.000/ liternya.

Minyak hasil destilasi tanaman nilam


memiliki potensi strategis di pasar dunia
sebagai bahan pengikat aroma wangi pada
parfum dan kosmetika. Komponen tersebut
diantaranya adalah Patchouli alcohol, guaeine, -guaeine, -patcholene, caryophilene,
-cadinane,
pogostol,
seycellen dan germacrene(Sundaresanet
al.,
2009).
Pemanfaatan
beberapa
komponen pun beragam, sebagai contoh
komponen mayor Patchouli Alcohol
sebagai zat fiksatif pada parfum (Ramya
dkk., 2013).
Salah satu komponen yang ada pada
minyak nilam adalah -guaien.Senyawa guaien memiliki titik didih274oC dengan

indeks bias 1.492. Senyawa -guaien


diketahui mempunyai aktivitas anti
inflamasi
terhadap
PAF
(Platelet
Activiting Factor) sebuah phospolipid
mediator yang dihasilkan berbagai sel pada
saat terkena penyakit alergi, radang, asma,
dan lain-lain (Hsu et al., 2006).
Menurut Abimayu dkk (2003),
destilasi fraksinasi vakum merupakan
metode pemisahan secara fisika dengan
menggunakan tekanan yang sesuai.
Distilasi terfraksi digunakan untuk
menghasilkan destilat yang lebih murni,
sedangkan vakum dalam proses ini
digunakan agar suhu yang digunakan tidak
terlalu tinggi, sehingga menjaga kerusakan
komponen dari suhu terlalu tinggi. Prinsip
kerja destilasi ini adalah pemisahan
campuran yang berbentuk cair berdasarkan
perbedaan tekanan uap senyawa-senyawa
yang ada dalam campuran tersebut.
Saat destilasi fraksinasi vakum
berlangsung, peralatan destilasi harus
benar-benar tidak mengalami kebocoran
agar kondisi vakum dapat diraih. Nantinya,
output dari destilasi fraksinasi vakum yang
dilakukan adalah tiga destilat yang
berwarna dan memiliki titik didih yang
berbeda. Sehingga menurut Agustian dkk
(2005), hal yang diperlukan dalam destilasi
tipe ini adalah titik didih dan tekanan uap
beberapa komponen yang ada pada minyak
atsiri. Beberapa kondisi tersebut yang
nantinya akan dipertimbangkan dalam
pemisahan dan pemurnian komponen guaien dengan destilasi fraksinasi vakum.
Tujuan dari penelitian ini untuk
menganalisis bagaimana kualitas dan
kuantitas fraksi yang didominasi -guaien
pada minyak nilam dengan metode
destilasi frasinasi vakum.

BAHAN DAN METODE


Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah
minyak nilam hasil penyulingan PT. PHKI
UB di Blitar, Periode penyulingan April
2013 Sebanyak 2000ml seiap batchnya.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah serangkaian alat destilasi fraksinasi
vakum PiloDist 104. Alat analisa berupa
Piknometer , Refraktometer dan timbangan
digital.
Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan di Pusat
Penelitian
Kimia,
Lembaga
Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong
Tangerang. Analisa GCMS dilakukan di
Laboratorium Kimia Organik, Universitas
Brawijaya. Minyak nilam dianalisis
komposisi GCMS dengan menggunakan
GCMS Shimadzu 2100 kolom RTX 5MS
dengan suhu kolom terprogram 50-250oC.
Pengolahan dan analisa data dilakukan di
Laboratorium Komputasi dan Analisis
Sistem, Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya, Malang.Waktu
pelaksanaan penelitian 16 Mei sampai 12
September 2013.
Penelitian
dimulai
dengan
mengukur minyak nilam sebanyak 2000
ml dan dimasukkan pada labu leher tiga.
Labu leher tiga kemudian dirangkai pada
alat PiloDist 104 dan dimulai melakukan
destilasi fraksinasi vakum pada tekanan 01 mbar dengan refluk rasio 10/1 dan10/10.
Beberapa destilat yang merupakan fraksi
minyak nilam yang telah keluar ditampung
pada botol dan dianalisis warna, berat jenis
dan indeks bias sebagai pendukung
analisis GCMS.
Rancangan percobaan dilakukan
dengan beberapa langkah yakni sebagai
berikut:
1. Penentuan GCMS bahan baku minyak
nilam. Kromatogram bahan baku
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kromatogram GCMS Bahan Baku Minyak Nilam


2. Perhitungan volume penampungan hasil
dari GCMS dapat dilihat pada Tabel 1.
Volume Penampungan pada setiap peak
dihitung dengan rumus:
V(ml)
= Area (%) x Bahan baku
Untuk peak 1 memiliki volume
penampungan:
V1(ml)
= 0,57 x 2000 ml
= 11,4 ml
Tabel
1.
Perhitungan
Volume
Penampungan berdasarkan GCMS
Peak

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

3.

Nama
Komponen

Area
(%)

b-pinene
d-elemene
b-elemene
C16H24O3
Trans
b-caryophilene
a-guaien
b-guaien
Seychellene
a-patchoulen
b-seychellene
a-guaien
guaien
guaien
a-panasinsen
Cycloexanone
Caryophilene
C14H22O
Pogostol
Patchouli Alcohol
Patchouli Alcohol
C8H8O4

0.57
0.33
6.55
1.73

Volume
Tampung
(ml)
11.4
6.6
131
34.6

6.87
11.63
1.63
11.45
12.38
1.26
4.2
10.83
4.08
0.63
1.96
1.45
1.06
3.74
11.08
4.4
2.15

137.4
232.6
32.6
229
247.6
25.2
84
216.6
81.6
12.6
39.2
29
21.2
74.8
221.6
88
43

Penggunaan
nomogramuntuk
menentukkan titik didih masing-masing
komponen
sehingga
didapatkan
komponen akan mendidih pada tekanan

1mmHg
sesuai
dengan
kinerja
nomogram yang menghubungkan suhu
atmosfer, tekanan dan suhu pada
tekanan
yang
ditentukan
(Doerfler,2009).Komponen
guaien
memiliki titik didih atmosfer sebesar
274oC jika menggunakan nomogram
maka titik didih guaien pada 1mmHg
adalah 96oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa parameter fisika pada bahan
baku minyak nilam yang digunakan
dengan perbandingan Standar Nasional
Indonesia (SNI) minyak nilam dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik Minyak Nilam
Karakteristik
Warna

Berat Jenis
Indeks Bias
Kadar
Patchouli
Alcohol

Minyak Nilam
Bahan Baku
SNI*
Kuning gelap
Kuning mudacoklat
kemerahan
0.953
0.950-0.975
1.497
1.507-1.515
15.48%
Minimal 30%

Sumber: SNI 2006


Proses destilasi fraksinasi vakum
dilakukan pada tekanan 0-1 mbar pada
masing- masing batch. Penentuan tekanan
ini didasarkan pada kemampuan alat
pilodist 104 dan juga karakteristik minyak
nilam yang memiliki titik didih tinggi.
Proses dilakukan dengan bahan baku yang
sama pada setiap batchnya yakni 2000 ml.

Refluk rasio yang digunakan adalah 10/10


dan 10/1. Pada refluk rasio 10/10 10 detik
uap akan tertahan dan 10 detik uap akan
menuju destilat. Pada refluk rasio 10/1
yakni 10 detik uap akan tertahan dan 1
detik uap akan menuju destilat. Proses
destilasi fraksinasi vakum minyak nilam
ini menggabungkan kedua refluk rasio
tersebut.
Variasi volume penampungan
dilakukan pada setiap batch, sehingga
didapatkan 16 fraksi dari batch pertama,
16 fraksi dari batch kedua, 28 fraksi dari
batch ketiga dan 38 fraksi dari batch
keempat. Dari keempat batch didapatkan
fraksi yang didominasi guaien yang
akan dianalisis kadar guaien, rendemen,
berat jenis dan indeks bias fraksi dominasi
guaien.
Kadar guaien dalam fraksi
Setelah
dilakukan
proses
pemisahan dan pemurnian minyak nilam,
didapatkan
beberapa
fraksi
yang
didominasi guaien. Pada Gambar 2
tampak bahwa Pada refluk rasio 10/1
memiliki tingkat kemurnian rata-rata
guaien paling tinggi yakni 99,97% dengan
standar deviasi 6.27, dari kedua nilai
tersebut didapatkan nilai persentasenya
adalah 6.82%. Sedangkan pada refluk rasio
10/10 didapatkan rata-rata kadar guaien
dalam fraksi sebesar 89.29% dengan
standar deviasi 9.16, dengan data diatas
persentasenya adalah 10.26%.
Perbedaan prosentse sebesar 3.44%
menjdikan fraksi yang bekerja pada refluk
10/10 memiliki tingkat kemurnian lebih
rendah dikarenakan prinsip refluk rasio
sendiri adalah jika pada refluk rasio 10/1
maka hanya 1 detik uap yang akan menuju
destilat dan 10 detik akan kembali ke
kolom vegrux. Sedangkan pada refluk
rasio 10/10 terdapat 10 detik uap yang
lolos
ke
dalam
destilat
dengan
pengembalian yang sama ke kolom vegrux.

Peristiwa tersebut jelas mengungkapakan


jika refluk rasio 10/1 lebih selektif dalam
memilih komponen untuk dikeluarkan
pada destilat, sehingga menghasilkan ratarata kadar tertinggi dengan standar deviasi
yang lebih kecil dari refluk rasio 10/10.
Sedangkan pada refluk rasio 10/10 yang
mengeluarkan selama 10 detik komponen
kemungkinan akan membawa campuran
komponen yang ada pada plate di kolom
vegrux sehingga hasil yang didapat
memiliki kemurnian rendah.
Terlepas dari itu, terbukti semakin
tinggi refluk rasio, semakin tinggi pula
kadar dari komponen guaien. Hal
tersebut sejalan dengan penelitian Adeleke
et all (2013) yang melakukan penelitian
tentang pengaruh refluk rasio dalam
pemurnian etanol mengungkapkan bahwa
semakin tinggi refluks rasio tingkat
kemurnian akan semakin tinggi.Kemurnian
yang tinggi juga dipengaruhi oleh volume
penampungan
yang
menyebabkan
rendemen yang rendah atau tinggi pada
masing- masing fraksi. Grafik yang
menjelaskan tentang rendemen dapat
dilihat pada Gambar 3.
Rendemen guaien
Pada Gambar 3 tampakbahwa
rendemen komponen guaien memiliki
perbedaan yang signifikan pada refluk
rasio 10/1 dan 10/10. Jumlah rendemen
selain
dipengaruhi
oleh
volume
penampungan juga dipengaruhi oleh refluk
rasio yang digunakan. Pada guaien
dengan refluk rasio 10/1 membutuhkan
waktu lebih lama dalam pengumpulan
destilat dibandingkan guaien dengan
refluk rasio 10/10. Lama penampungan ini
berpengaruh juga terhadap volume
penampungan komponen guaien yang
diperoleh, pada refluk rasio 10/10 jelas
memiliki volume penampungan yang lebih
besar dibanding 10/1.

120
91.97

Kadar (%)

100

89.29

80
Rata-rata
60
40
20
0

Gambar 2 Hubungan antara Kadar Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya

Rendemen (%)

14.00
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00
2.00
0.00
-2.00

11.44

Rata-Rata
0.80
-Guaien Reflux Ratio 10/1

-Guaien Reflux Ratio 10/10

Gambar 3. Hubungan antara Rendemen Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya
Rerata rendemen guaien pada
refluk rasio 10/1 adalah 0,8% dengan
standar deviasi 0,07 dan didapatkan
persentase sebesar 8.75%. Pada refluk
rasio 10/10 memiliki rerata rendemen
11,43% dengan standar deviasi 5.24. dan
didapatkan persentase 45.84%. perbedaan
persentase standar deviasi sebesar 40%
tersebut menunjukkan terdapat beda nyata
antara rendemen pada kedua refluk rasio
dan terbukti refluk rasio mempengaruhi
rendemen yang dihasilkan. Jika dikaji
lebih
lanjut,
rerata
diatas
jelas
menunjukkan bahwa rata-rata volume
penampungan pada refluk 10/10 jauh lebih
tinggi dibanding 10/1. Efek dari perlakuan
ini mejadikan fraksi yang didapat pada
refluk rasio10/1 memiliki kuantitas yang
jauh lebih rendah dibanding 10/10 karena
pada refluk rasio 10/1 tujuan enrichment
lebih diutamakan agar komponen yang

dihasilkan benar- benar murni dengan


hanya membuka plunger keluar pada
destilat selama 1 detik sedangkan 10 detik
kembali pada kolom sehingga waktu yang
dibutuhkan pun akan lebih lama dalam
penampungan destilat. Hal ini sejalan
dengan penelitian penelitian Adeleke et all
(2013) tentang pengaruh refluk rasio
dalam pemurnian etanol mengungkapkan
bahwa semakin tinggi refluks rasio tingkat
kemurnian akan semakin tinggi. Namun
semakin tinggi refluk rasio akan
menurunkan kuantitas komponen yang
dihasilkan jika waktu yang digunakan
adalah sama pada setiap refluk rasio.
Perbedaan volume penampungan
dilakukan pada setiap batchnya. Perbedaan
ini dilakukan didasarkan pada minyak
nilam memiliki titik didih yang sangat
tinggi dibanding minyak yang pernah
didestilasi sebelumnya, dengan titik didih

ini jika digunakan refluk rasio 10/1


seluruhnya selain energi yang akan
digunakan akan membengkak juga
kapabilitas mesin untuk running lebih dari
tiga hari non stop akan mengakibatkan
kondisi pompa vakum terganggu. Solusi
dari keadaan penelitian menjadikan refluk

10/10 dan 10/1 dalam satu proses. Selain


parameter kadar komponenguaien dan
rendemen,
parameter
fisik
juga
diperhitungkan. Parameter fisik yang
diukur adalah berat jenis dan indeks bias.
Hubungan antara fraksi dan berat jenis
dapat dilihat pada Gambar 4.

Berat Jenis (g/ml)

0.93
0.92
0.91
0.90

0.89

0.89

0.89

rata-rata

0.88
0.87
0.86
-Guaien Reflux Ratio 10/1

-Guaien Reflux Ratio 10/10

Gambar 4. Hubungan antara Berat Jenis Terhadap Refluk Rasio dan Standar Deviasinya
Karakteristik Fisik fraksi dominasi
guaien
Pada
Gambar
4
diatas
menunjukkan bahwa berat jenis dari
guaien termasuk dalam kategori sedang
dan lebih rendah dibanding berat jenis
minyak nilam. Rata-rata berat jenis pada
refluk rasio 10/1 adalah 0.89 dengan
standar deviasi 0.03 denganpersentase
3.37%. Pada refluk rasio 10/10 memiliki
rata-rata berat jenis 0.89 dengan standar
deviasi 0.01 dan didapatkan persentase
1.11%. Kedua refluk rasio tidak memiliki
perbedaan yang nyata jika refluk rasio
mempengaruhi berat
jenis, namun
demikian dapat dilihat bahwa persentase
kesalahan berat jenis dari refluk rasio
10/10 lebih besar dibandingkan 10/1 hal
ini disebabkan karena berat jenis
merupakan salah satu indikator kemurnian,
sehingga dapat dilihat kembali pada
Gambar 2bahwa kadar kedua refluk rasio
memiliki perbedaan yang tidak sigifikan,
sehingga rata- rata berat jenis kedua refluk
pun tidak signifikan.
Belum adanya standar berat jenis
d-guaien
menyebabkan
satu-satunya
parameter paling disarankan adalah
GCMS. Namun jika dibandingkan dengan

berat jenis minyak nilam sesuai dengan


SNI tahun 2006 adalah sekitar 0,9500.975. Dengan lebih rendahnya berat jenis
pada komponen guaien dikarenakan
adanya komponen berat yakni patchouli
alcohol yang memiliki berat jenis sekitar
1,131 yang mendominasi PA sebanyak
30%. Sehingga jika hanya komponen
guaien saja yang terambil maka berat jenis
pun akan mengalami penurunan.
Penurunan
berat
jenis
ini
menandakan
bahawa
fraksi
yang
didominasi oleh guaien telah terpisah
dari patchouli alcohol. Harimurti (2012)
bahwa semakin besar konsentrasi fraksi
berat dalam minyak, akan semakin besar
pula nilai berat jenisnya. Makin tingginya
nilai berat jenis dipengaruhi oleh berat
minyak dengan piknometer. Berat minyak
dipengaruhi oleh viskositas dan kadar
minyak yang dikandungnya. Suatu fraksi
yang memiliki viskositas dan kadar
minyak tinggi, maka berat jenis yang
dihasilkan akan semakin tinggi. Selain
berat jenis, jugaterdapat faktor fisik lain
yakni indeks bias. Hubungan antara fraksi
dan indeks bias terhadap refluk rasio dapat
dilihat pada Gambar 5.

1.60

1.50

1.50

1.40
Indeks Bias

1.20
1.00

Rata-Rata

0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
-Guaien Reflux Ratio 10/1-Guaien Reflux Ratio 10/10

Gambar 5. Hubungan antara Indeks Bias Terhadap Refluk Rasiodan Standar Deviasinya
Pada
Gambar
5
tampak
bahwafraksi yang didominasi oleh guaien memiliki rerata indeks bias
guaien pada refluk rasio 10/1 dan 10/10
sebesar 1.50 dengan standar deviasi pada
refluk rasio 10/1 adalah 0.01 dan
persentase 0.66% sedankan pada refluk
rasio 10/10 standar deviasinya adalah 0.00
dan persentasenya 0% dikarenakan standar
deviasinya
0.
Persentase
diatas
menunjukkan tidak adanya perbedaan yang
nyata antara indeks bias refluk rasio 10/1
dan 10/10.
Belum adanya standar indeks bias
d-guaien saat ini sehingga indeks bias
fraksi diatas belum dapat dibandingkan,
namun jika dibandingkan dengan minyak
nilam yang pada SNI yang menunjukkan
angka
1.507-1.515
d-guaien
telah
memenuhi syarat karena memiliki indeks
bias lebih rendah dibanding minyak nilam
yang
memiiki
komponen
berat
didalamnya.
Pada
dasarnya
selain
komponen yang ada, sebab terjadinya nilai
indeks bias yang bervariatif menurut
Espino et al.,(2013) yakni besarnya indeks
bias minyak nilam sangat ditentukan oleh
metode pemrosesan, umur minyak nilam
dan rasio komponen dalam minyak nilam.

KESIMPULAN
1. Metode destilasi fraksinasi vakum pada
fraksi yang didominasi-guaiendengan
tekanan 0-1 mbar refluks rasio 10/1
diperoleh kadar -guaien 99.69% dan
pada refluks rasio 10/10 kadar guaien96,68%.
2. Rendemen tertinggi dengan refluks
rasio 10/1 0.9%, sedangkan pada refluk
rasio 10/10 diperoleh rendemen fraksi
dominasi -guaientertinggi 17%
UCAPAN TERIMA KASIH
Grup
Riset
dan
Entrepreneurial
Agroindustri Atsiri (GUREAA) yang
mendanai penelitian ini .
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu.H.,Sulaswatty,A.,
Wuryaningsih dan Agustian,E. 2003.
Teknologi Distilasi Terfraksi Dalam
Pemurnian
Komponen
Minyak
Atsiri. Prosiding Pemaparan Hasil
Litbang Ilmu Pengetahuan Teknik
2003, Bandung.

Adeleke,A.E,P.,Aiyedun,O.,Waheed.M.A.,
L.O.Sanni,Obawe S.O.A and DairoO.U.
2013. A New Simulation Model For
Design Distillation Coloumn in a
Bioethanol/Water System: Effect of
Reflux Ratio. British Journal of
Applied Science and Thecnology
3(3):508-517
Agustian,E.,Sulaswatty,A.,Tasrif,
Laksmono,J.A.dan Adrina,I.B. 2005.
Pemisahan Sitronelal dari Minyak
Sereh Wangi Menggunakan Unit
Fraksionasi
Skala
Bench.
J.Tek.Ind.Pertanian Vol 17(2):4953.
Dewan Atsiri Indonesia (DAI). 2013.
Atsiri
Indonesia.www.atsiriindonesia.com. Diakses tanggal 18
April 2013
Doerfler,R. 2009. The Lost Art of
Nomography. The UMA Journal
30(4):1-4.
Espino T.M, Arevalo RE, Sapin A.B and
Tambalo F.Z. 2002. Enzymatic
extraction of essential oil from the
leaves of patchouli (Pogostemon
cablin Benth). Philippine Agricultural
Sciences.85(3):286-294.

Harimurti.N,Tatang.,Djajeng danRisfaheri.
2012. Ekstraksi Minyak Nilam
(Pogestemon Cablin Benth) dengan
Teknik Hidrogenasi Pada Tekanan 13 Bar. J. Pasca Panen 9(1)1-10
Hsu,C.H.,Yang,W.C.,Tsai,W.J.,
Chen,C.C.,Huang,H.Y. and Tsai,Y.C.
2006. -Bulnesene,A Novel PAF
Receptor Antagonist Isolated From
pogostemon cablin. Biochemical And
Biophysical
Research
Communications 345(3):1033-1038.
Ramya
H,
Palanimuthu
V,
and
Dayanandakumar R. 2013.Patchouli In
Fragrances-Incense Stick Production
From Patchouli Spent Charge
Powder.Agric Eng Int: CIGR Journal
15(1):187-193.
SNI. 2006. SNI Minyak Nilam No. 062385-2006.BSN.Jakarta
Sundaresan.V,Singh, MishraA.N., Ajit K.
Shasany, Mahendra P. Darokar,
Kalra,A. and Naqvi,A.A. 2009.
Composition and Comparison of
Essential Oils of Pogostemon cablin
(Blanco) Benth. (Patchouli) and
Pogostemon travancoricus Bedd. var.
travancoricus.Journal of Essential Oil
Research Vol 21(3):220-222.

Anda mungkin juga menyukai