Anda di halaman 1dari 14

Kematian dan Nyaris Mati dalam Bidang Obstetri pada

Rumah Sakit Umum dan Swasta di Indonesia


Asri Adisasmita, Poppy E Deviany, Fitri Nandiaty, Cynthia Stanton and Carine
Ronsmans
Abstrak
Latar Belakang: Banyaknya jumlah kematian ibu telah mendorong minat dalam
menyelidiki kasus morbiditas obstetri yang mengancam jiwa atau nyaris
mengancam jiwa . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan
frekuensi dan penyebab nyaris mati dan kematian ibu di empat rumah sakit di
Jawa Barat, Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang di empat rumah sakit pada dua kabupaten di
Provinsi Banten, Indonesia. Kami meninjau register dan catatan kasus untuk
mengidentifikasi jumlah dan penyebab nyaris mati dan kematian antara November
2003 hingga Oktober 2004. Kasus nyaris mati dedefinisikan berdasarkan disfungsi
organ, kriteria klinis dan penanganannya. Nyaris mati dikategorikan oleh apakah
seorang wanita itu berada dalam keadaan kritis saat masuk dengan meninjau
tanda dan gejala saat masuk.
Hasil: Prevalensi nyaris mati jauh lebih besar di rumah sakit umum daripada
rumah sakit swasta (17,3% vs 4,2%, p = 0,000). Perdarahan dan penyakit
hipertensi merupakan diagnosis yang paling umum terkait dengan nyaris mati, dan
disfungsi vaskular adalah kriteria yang paling umum pada kasus disfungsi organ.
Terjadinya kematian ibu adalah 1,6%, dengan penyebab utama berupa komplikasi
non-obstetrik. Mayoritas (70,7%) nyaris mati di rumah sakit umum berada dalam
kondisi kritis saat masuk namun proporsi ini jauh lebih rendah di rumah sakit
swasta (31,9%).
Kesimpulan: Ini merupakan studi pertama untuk mendokumentasikan nyaris mati
di rumah sakit umum dan swasta di Indonesia. Hampir seperlima dari penerimaan
di rumah sakit umum berkaitan dengan nyaris mati; dan keadaan kritis di mana
pasien tertunda mencapai rumah sakit dalam situasi darurat. Meskipun sektor

swasta mengambil pangsa semakin besar kelahiran berbasis fasilitas di Indonesia,


namun pengelolaan keadaan darurat kebidanan merupakan ranah sektor publik.
Latar Belakang
Tingginyaangka kematian ibu di negara-negara maju mendorong minat untuk
menyelidiki kasus morbiditas obstetri yang mengancam jiwa atau nyaris mati.
Hal baiknya adalah nyaris mati lebih umum terjadi daripada kematian ibu, ulasan
yang ada cenderung memberikan informasi penting yang mengarah pada
morbiditas berat dan kematian, menyelidiki bagaimana perawatan yang diterima
dinilai kurang membahayakan

bagi petugas medis karena akhirnya wanita

tersebut selamat, dan dapat belajar dari para wanita itu sendiri karena mereka
dapat diwawancarai tentang perawatan yang mereka terima [1,2].
Minat ini tercermin dalam peningkatan jumlah tinjauan sistematis mengenai
prevalensi nyaris mati [3-5]. Prevalensi yang dilaporkan keseluruhan kurang dari
1 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 82 per 1.000 kelahiran hidup, dengan tingkat
sumber daya di tempat yang buruk sebesar 4-8 persen di rumah sakit [3,4]. Souza
(2006) melaporkan rata-rata kasus nyaris mati sebanyak 8 per 1000 kelahiran
hidup [5]. Variasi ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam populasi
yang diteliti, serta dalam definisi yang digunakan. Nyaris mati tidak mudah untuk
mendefinisikan, dan definisi diambil melalui berbagai pendekatan, termasuk
kriteria disfungsi organ; kriteria manajemen klinis seperti masuk ke perawatan
intensif; tanda dan gejala; atau kondisi klinis seperti eklampsia atau ruptur uteri
[3-5].
Pada tingkat rumah sakit, penyelidikan mengenai pola penyebab dan waktu dapat
menginformasikan kebutuhan akan program pencegahan dan sumber daya
kesehatan [6]. Data rumah sakit terkait nyaris mati sebagian juga dapat
menginformasikan apa yang terjadi di masyarakat namun, terutama jika nyaris
mati didefinisikansebagai tahapan akhir suatu spektrum keparahan, dan tidak
mungkin untuk bertahan hidup jika tanpa bantuan perawatan yang efektif di
rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan
frekuensi, penyebab dan waktu nyaris dan kematian di empat rumah sakit di Jawa
Barat, Indonesia. Kami melaporkan definisi yang digunakan, frekuensi nyaris mati

dan angka kematian di antara berbagai entitas klinis, dan relativitas waktu antara
nyaris mati terhadap waktu masuk.
Metode
Penelitian ini dilakukan di empat rumah sakit di kabupaten Pandeglang dan
Serang di Provinsi Banten. Dua di antaranya adalah rumah sakit umum (rumah
sakit kabupaten di Serang dan Pandeglang) dan dua lainya swasta (rumah sakit
Budi Asih dan Kencana di Serang). Semua rumah sakit melakukan operasi
kebidanan, tetapi hanya rumah sakit umum di Serang yang

memiliki unit

perawatan intensif dan kasus yang sangat berat dapat dirujuk ke sana. Empat
rumah sakit mencakup hampir semua rawat inap yang terkait kehamilan dan
persalinan dari kedua kabupaten tersbut. Di dua kabupaten ini hanya sekitar 8%
kelahiran yang terjadi di rumah sakit, dan hasil yang dilaporkan ini hanya untuk
kelahiran di rumah sakit saja.
Kasus nyaris mati didefinisikan sebagai kasus komplikasi yang mengancam jiwa
pada wanita yang menjalani rawat inap selama kehamilan, persalinan atau setelah
melahirkan yang selamat, menggunakan kriteria yang diusulkan oleh Mantel et al
(1998) [6]. Yang kemudian didefinisikan nyaris mati berdasarkan disfungsi organ,
menggunakan kriteria klinis yang terkait dengan entitas penyakit tertentu serta
kriteria penanganannya. Kriteria akhir untuk nyaris mati dalam penelitian ini
dikembangkan selama lokakarya di Jakarta dan Serang pada bulan Agustus 2004,
dihadiri oleh dokter kandungan, bidan dan ahli epidemiologi dari Jakarta,
Pandeglang, Serang dan Inggris. Kriteria dikelompokkan dalam tiga kategori:
disfungsi organ spesifik, kriteria berdasarkan penanganan umum dan diagnosis
klinis spesifik (eklampsia, ruptur uteri dan kehamilan ektopik) (Tabel 1).
Data dikumpulkan secara retrospektif antara bulan Oktober 2004 dan Oktober
2005, mencakup semua rawat inap antara 1 November 2003 dan 31 Oktober 2004.
Data mengenai komplikasi, jenis persalinan, usia, paritas dan kelahiran yang
diambil dari register di bangsal persalinan, bangsal bedah, bangsal kebidanan, dan
unit perawatan intensif, ditelusuri menurut nomor registrasi rawat inap wanita
tersebut. Semua wanita yang dilaporkan mengalami komplikasi, pembedahan atau
kematian perinatal dari salah satu register dipilih untuk rincian ulasan kasus.

Untuk kematian ibu, upaya lebih lanjut dilakukan untuk menyaring semua register
dari bangsal wanita lainnya di rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan oleh
delapan dokter menggunakan bentuk ekstraksi terstruktur. Mereka meneliti catatan
kasus dan diagnosa yang terdaftar oleh penyedia, adanya kriteria nyaris mati
tertentu, dan waktu terjadinya komplikasi. Mereka juga membedakan kasus yang
masuk rumah sakit dalam keadaan kritis dari kasus dimana komplikasi terjadi
selama rawat inap, mengandalkan informasi tentang tanda-tanda dan kondisi
penting saat masuk, serta penentuan dari pengumpul data '(dokter) dalam kasus
yang hilang.
Analisis statistik bersifat deskriptif; proporsi dibandingkan menggunakan Chi
Square.
Persetujuan etik oleh komite etika dari Universitas Indonesia diperoleh sebelum
terjun ke lapangan. Selain itu, persetujuan tertulis untuk mengumpulkan dan
berbagi data diperoleh dari kepala setiap rumah sakit, dan dokter kandungan
memberikan persetujuan verbal. Data disimpan secara elektronik sebagai bagian
dari basis data Immpact di kantor-kantor di Indonesia dan Inggris.
Hasil
Terdapat sejumlah 5.669 rawat inap yang berhubungan dengan kehamilan dalam
satu tahun di empat rumah sakit: 2,803 di rumah sakit Serang, 1.212 di rumah
sakit Pandeglang, 873 di Budi Asih dan 781 di Kencana. Informasi dari register
mengidentifikasi 4.571 (80,6%) perempuan mengalami komplikasi, dan catatan
kasus ditemukan pada 4270 (93,4%) dari jumlah tersebut.

Gambar 1. Pola rawat inap obstetri pada dua rumah sakit umum dan dua rumah sakit
swastadi Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)

Gambar 1 menunjukkan alasan utama untuk rawat inap yang berhubungan


dengan kehamilan di rumah sakit umum dan swasta. Sekitar sepertiga dari rawat
inap tersebut antara lain untuk distosia, baik di rumah sakit umum (29,7%) dan
rumah sakit swasta (29,9%). Diikuti dengan keguguran pada kehamilan muda di
rumah sakit umum (17,6%) dan perdarahan postpartum di rumah sakit swasta
(10,1%). Aborsi mewakili 14,7% dan 7,9% dari seluruh rawat inap masing-masing
di rumah sakit umum dan swasta. Rumah sakit swasta menerima rawat inap lebih
banyak wanita dengan persalinan normal atau komplikasi non maternal seperti
gawat janin atau prolaps tali pusat dibandingkan rumah sakit umum (41,6% vs
20,5%). Terdapat 763 kasus nyaris mati dari semua empat rumah sakit. Kriteria
nyaris mati dan frekuensinya ditunjukkan dalam Tabel 1. Wanita dapat mengalami
satu atau lebih kriteria untuk disfungsi organ terlepas dari apakah mereka
memiliki salah satu dari tiga diagnosis klinis atau salah satu dari lima kriteria
penanganan. Mayoritas (77,3%) dari nyaris mati mengalami satu disfungsi organ
utama, 16,0% mengalami disfungsi dua organ, 4,6% mengalami disfungsi tiga

organ, dan 2,0% mengalami disfungsi empat organ atau lebih. Disfungsi vaskular
adalah disfungsi organ yang paling umum (77,7%) diikuti oleh jantung (5,1%) dan
disfungsi ginjal (4,5%) (Tabel 2). Syok septik hanya ditemukan dalam satu kasus.
Disfungsi vaskular sering dikaitkan dengan transfusi dua atau lebih unit darah,
syok hipovolemik atau perdarahan masif seperti yang tercatat dalam catatan.
Membuat kriteria yang lebih ketat dengan meningkatkan kebutuhan untuk
transfusi darah sampai tiga atau lebih dan empat atau lebih unit mengurangi
jumlah nyaris mati sebanyak 709 (92,9%) dan 679 (89,0%) untuk masing-masing
kasus (data tidak ditampilkan). Demikian pula, menghapus catatan perdarahan
masif sebagai kriteria sedikit mengurangi jumlah nyaris mati menjadi 754.
Akhirnya, mengesampingkan penanganan dan kriteria klinis ternyata mengurangi
jumlah nyaris mati dari 763 menjadi 640, dengan perubahan yang paling penting
terjadi pada kehamilan ektopik (dari 67 menjadi 39) dan eklampsia (97 menjadi
41).
Tabel 1. Kriteria inklusi kasus nyaris mati ( dimodifikasi dari Mantel et 1998)

Tabel 3 menunjukkan distribusi rawat inap, nyaris mati dan kematian ibu di
rumah sakit umum dan swasta. Proporsi nyaris mati jauh lebih besar di rumah
sakit umum daripada di rumah sakit swasta (17,3% vs 4,2%, p = 0,000). Demikian

pula, hanya satu kematian ibu yang dilaporkan di rumah sakit swasta (0,1% dari
seluruh rawat inap) dibandingkan dengan 63 (1,6% dari semua rawat inap) di
rumah sakit umum. Kasus nyaris mati sangat umum di antara rawat inap untuk
ante partum dan perdarahan postpartum (tabel 3). Di rumah sakit umum, 41,2%
dari rawat inap untuk perdarahan postpartum, 40,6% untuk perdarahan
antepartum, dan 32,3% untuk penyakit hipertensi diklasifikasikan sebagai nyaris
mati.
Tabel 2. Jenis dan frekuensi kriteria nyaris mati pada 763 kasus nyaris mati yang dirawat
inap pada empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)

Wanita yang masuk rumah sakit dengan aborsi juga memiliki bagian yang adil
mereka nyaris (16,3%). Di sisi lain, angka kematian

ibu merupakan yang

tertinggi di antara perawatan inap non-obstetrik (13,5%) diikuti oleh penyakit


hipertensi (4,7%), antepartum (2,5%) dan perdarahan postpartum (2,0%). Di
antara semua komplikasi yang mengancam jiwa (yaitu nyaris mati dan kematian),
angka kematian tertinggi untuk rawat inap non-obstetrik (50%), diikuti penyakit
hipertensi (17,8%) dan distosia (14,5%) (Tabel 4). Di antara rawat inap nonobstetrik yang mengancam hidup, gagal jantung adalah diagnosis yang paling
umum (2 orang meninggal dan 6 nyaris mati), diikuti oleh tuberkulosis (2 orang
meninggal dan 2 nyaris mati), diabetes (1 kematian), ileus paralitik (1 kematian),
sepsis (1 kematian), anemia (1 nyaris mati), kanker payudara dengan metastasis ke
hati (1 nyaris mati), gagal ginjal kronis (1 kematian), demam Berdarah Dengue (1
kematian dan 1 nyaris mati), dan asma (2 kematian ).
Anemia berat sangat umum di antara kasus nyaris mati (Tabel 5). Lebih dari
setengah (56,4%) pasien nyaris mati memiliki tingkat hemoglobin di bawah 8
g/dl. Anemia berat tidak umum terjadi di antara kematian ibu (21,9%), meskipun
kadar hemoglobin tidak tercatat dalam 42,2% dari perempuan yang meninggal.
Tiga perempat (77,6%) kasus nyaris mati dengan kadar hemoglobin kurang dari 8
g/dl dikaitkan dengan perdarahan akibat keguguran pada usia kehamilan muda,
atau perdarahan ante atau postpartum (data tidak ditampilkan). Mayoritas (67,2%)
dari nyaris mati berada dalam keadaan kritis saat masuk rumah sakitdan proporsi
ini lebih tinggi pada rumah sakit umum daripada di rumah sakit swasta (masingmasing 70,7% dan 31,9%, p = 0,000) (Gambar 2). Menariknya, sekitar sepertiga
(31,0%) dari 577 nyaris mati yang melahirkan dirawat saat postpartum,
dibandingkan dengan hanya 5,8% dari semua rawat inap terkait persalinan (p =
0,000). Proporsi yang sama ditemukan di antara 61 kematian

ibu terkait

melahirkan, 29,5% di antaranya dirawat saat postpartum (data tidak ditampilkan).

Tabel 3. Jumlah yang masuk rumah sakit, nyaris mati dan kematian menurut diagnosis
utama selama rawat inap pada empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November
2003-October 2004)

Diskusi
Ini adalah studi pertama berbasis rumah sakit yang mendokumentasikan nyaris
mati di rumah sakit umum dan swasta di Indonesia. Di rumah sakit ini di mana
sebagian besar wanita mengaku komplikasi obstetrik sebagai penyebab utama
nyaris mati yaitu perdarahan dan hipertensi, yang mencerminkan penyebab utama
kematian ibu di Indonesia. Hampir seperlima dari rawat inap di kedua rumah sakit
umum dihubungkan dengan nyaris mati, meskipun hal tersebut jauh kurang umum
terjadi di rumah sakit swasta. Mayoritas nyaris mati di rumah sakit umum tiba di
rumah sakit dalam keadaan darurat, menunjukkan keterlambatan dalam mencapai
rumah sakit.

Tabel 4. Keadaan mengancam jiwa ( nyaris mati dan kematian ibu) yang masuk rumah
sakit menurut diagnosis utama selama rawat inap pada empat rumah sakit di Serang dan
Pandeglang (November 2004 Oktober 2004)

Tidak ada konsensus tentang bagaimana mendefinisikan nyaris mati [1], dan
definisi telah berevolusi dari konsep klinis umum tentang morbiditas obstetri [7]
terhadap disfungsi organ [6]. Menyepakati kriteria baku nyaris mati tidaklah
mudah, dan disfungsi vaskular khususnya sulit untuk menggambarkannya.
Disfungsi vaskular sering didefinisikan menurut kriteria untuk transfusi darah,
umumnya menggunakan empat atau lima unit sebagai titik potong untuk nyaris
mati [2,6,8,9]. Karena kelangkaan produk darah di dua rumah sakit umum, jumlah
unit transfusi dalam penelitian kami ditetapkan pada dua unit. Membuat kriteria
yang lebih ketat dengan meningkatkan jumlah yang diperlukan unit menjadi tiga
atau empat unit mengurangi jumlah nyaris mati sekitar sepuluh persen, meskipun
perdarahan tetap merupakan penyebab utama. Kadar hemoglobin yang sangat
rendah pada nyaris mati juga menunjukkan bahwa ambang batas telah cukup
ekstrim untuk mengidentifikasi kasus yang berat.

Tabel 5. Kadar hemoglobin (Hb) pada pasien yang dirawat, nyaris mati dan meninggal di
empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)

Ketergantungan pada kriteria penanganan untuk menentukan nyaris mati akan


terus menimbulkan masalah ketika tujuannya adalah untuk membandingkan data
di rumah sakit. Masuk ke perawatan intensif, misalnya, terus menjadi kriteria
yang umum digunakan, bahkan di negara-negara Barat [1,2,6,8]. Di Skotlandia,
hanya sepertiga (28%) dari semua kasus nyaris mati dirawat di perawatan intensif;
di rumah sakit kabupaten utama kami di Serang proporsi ini hanya 4,1%. Kriteria
masuk ke perawatan intensif bervariasi antara negara-negara, rumah sakit dan
dokter dan kapasitas dan lokasi unit perawatan intensif juga mempengaruhi
jumlah penerimaan [10]. Ketergantungan pada diagnosis klinis juga memberikan
variabilitas. Tidak semua wanita dengan eklampsia hampir mati, tidak semua
wanita dengan kehamilan ektopik yang sakit kritis dan luka dehiscence pada
wanita dengan operasi caesar sebelumnya belum tentu mengalami ruptur uteri.
Definisi hanya berdasarkandisfungsi sistem organ akan lebih diterima di seluruh
negara dan antar lembaga, tetapi hal ini membutuhkan ketersediaan klinis dan
pencatatan laboratorium yang baik, yang mungkin tidak tersedia di mana-mana.
Sifat retrospektif dari pengumpulan data mungkin telah memberikan beberapa
bias. Catatan kasus yang ditemukan untuk proporsi kasus yang relatif besar
(75,4%, data tidak ditampilkan), tetapi beberapa catatan kasus yang sepenuhnya
jelas dan lengkap. Tingkat disfungsi imunitas dan pernapasan yang sangat rendah,
misalnya, mungkin mencerminkan buruknya pencatatan seperti komplikasi, dan
insiden komplikasi ini di rumah sakit mungkin telah tidak diacuhkan. Penilaian
apakah wanita itu dalam keadaan kritis saat atau setelah masuk rumah sakit juga
telah keliru dalam beberapa kasus, dan hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati.

Penyebab utama nyaris diidentifikasi di sini, seperti perdarahan dan penyakit


hipertensi, yang mirip dengan yang ditemukan di tempat lain [2,6,11]. Sepsis, di
sisi lain, adalah sangat jarang, membenarkan temuan dari penelitian lain di rumah
sakit di Indonesia [12]. Temuan penting adalah tingginya jumlah nyaris mati
akibat aborsi. Induksi aborsi bersifat ilegal di Indonesia, dan kasus yang tercatat
tidak membedakan abortus spontan dari abortus yang diinduksi. Pemantauan
rawat inap rumah sakit yang berhubungan dengan aborsi dianggap sebagai cara
yang berguna untuk mengukur besarnya efek kesehatan yang merugikan dari
aborsi yang tidak aman di negara-negara berkembang [13]. Mengukur tren tingkat
keparahan kasus melalui pemastian definisi nyaris mati sehingga dapat menjadi
indikator yang penting terkait aborsi yang tidak aman.
Wanita dengan komplikasi obstetri, nyaris mati dan kematian ibu, semua tidak
banyak terjadi di rumah sakit swasta daripada di rumah sakit umum. Dua rumah
sakit swasta menyumbang sekitar sepertiga dari semua rawat inap, namun hanya
mewakili 9,0% dan 1,6% dari masing-masing nyaris mati dan kematian ibu. Jelas
bahwa sehat, dan kemungkinan besar wanita kaya, selektif memilih perawatan
obstetri di rumah sakit swasta dan perbedaan morbiditas dan mortalitas antara
rumah sakit umum dan swasta pasti karena perbedaan kasus-campur. Rumah sakit
swasta juga cenderung untuk merujuk wanita dengan komplikasi berat ke rumah
sakit umum, dengan demikian menjaga kejadian nyaris mati agar tetap rendah.
Perbedaan-perbedaan ini tidak berarti perawatan yang kurang baik pada satu
sektor dibandingkan yang lain.
Mengukur besarnya, penyebab dan waktu nyaris mati di rumah sakit ini hanya
langkah pertama dalam penyelidikan nyaris mati. Banyaknya angka nyaris mati
yang tiba menimbulkan pertanyaan mengapa wanita sampai ke rumah sakit begitu
terlambat. Kelahiran di rumah sakit sangat jarang terjadi di Indonesia, dan tingkat
operasi caesar sangat rendah di antara bagian besar penduduk [14]. Wawancara
nyaris mati dapat membantu untuk menjelaskan hambatan perawatan di rumah
sakit. Bahkan jika wanita datang terlambat, namun, banyak yang dapat dilakukan
untuk menyelamatkan hidup mereka dan bayi mereka, dan ulasan keperawatan
yang diterima di rumah sakit - baik di sektor publik dan swasta - dapat

menyebabkan perubahan positif dalam prosedur dan sumber daya tersedia untuk
pengelolaan komplikasi obstetri [15].
Kesimpulan
Ini adalah studi pertama untuk mendokumentasikan nyaris mati di rumah sakit
umum dan swasta di Indonesia. Hampir seperlima dari rawat inap di rumah sakit
umum dikaitkan dengan nyaris mati; dan keadaan kritis di mana wanita tiba
menyarankan penundaan penting dalam mencapai rumah sakit. Meskipun sektor
swasta mengambil pangsa semakin besar dari fasilitas-kelahiran yang berbasis di
Indonesia, pengelolaan keadaan darurat kebidanan merupakan ranah sektor
publik.
Ucapan Terima Kasih
Karya ini dilakukan sebagai bagian dari program penelitian internasional Immpact, didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation, Departemen
Pembangunan Internasional, Komisi Eropa dan USAID. Para penyandang dana
tidak bertanggung jawab atas informasi yang diberikan atau pandangan yang
diungkapkan dalam tulisan ini. Pandangan yang disampaikan dalam sepenuhnya
orang-orang dari penulis.
Daftar Pustaka
1. Ronsmans C, Filippi V: Reviewing severe maternal morbidity: learning
from women who survive life threatening complications. In Beyond the
numbers. Reviewing maternal deaths and complications to make
pregnancy safer Geneva: World Health Organisation; 2004.
2. Okong P, Byamugisha J, Mirembe F, Byaruhanga R, Bergstrom S: Audit
of severe maternal morbidity in Uganda implications for quality of care.
Acta Obstetrica et Gynecologica 2006, 85(7):797-804.
3. Say L, Pattinson RC, Gulmezoglu AM: WHO systematic review of
maternal morbidity and mortality: the prevalence of severe acute maternal
morbidity (near miss). Reproductive Health 2004, 17:3.
4. Minkauskien M, Nadisauskiene R, Padaiga Z, Makari S: Systematic
review on the incidence and prevalence of severe maternal morbidity.
Medicina 2004, 40(4):299-309.

5. Souza JP, Cecatti JG, Parpinelli MA, de Sousa MH, Serruya SJ:
Systematic review of near miss maternal morbidity. Cad Saude Publica
2006, 22:255-264.
6. Mantel GD, Buchmann E, Rees H, Pattinson RC: Severe acute maternal
morbidity: a pilot study of a definition of a near miss. British Journal of
Obstetrics and Gynaecology 1998, 105(9):985-990.
7. Stones W, Lim W, Al-Azzawi F, Kelly M: An investigation of maternal
morbidity with identification of life threatening 'near miss' episodes.
Health trends 1991, 23:13-5.
8. Penney G, Brace V: Scottish confidential audit of severe maternal
morbidity. In First annual report 2003 Aberdeen: Scottish Programme for
Clinical Effectiveness in Reproductive Health; 2005.
9. Gandhi MN, Welz T, Ronsmans C: An audit of life-threatening maternal
morbidity in rural South Africa using 'near-miss' criteria adapted for
primary level hospitals. International Journalof Gynecology and
Obstetrics 2004, 87:180-187.
10. Kilpatrick SJ, Matthay MA: Obstetric patients requiring critical care.
Chest 1992, 101:1407-12.
11. Filippi V, Ronsmans C, Gohou V, Goufodji S, Lardi M, Sahel A, Saizonou
J, De Brouwere V: Maternity wards or emergency obstetric rooms?
Incidence of near-miss events in African hospitals. Acta Obstetrica et
Gynaecologica Scandinavica 2005, 84(1):11-16.
12. Ronsmans C, Achadi E, Cohen S, Zazri A: Women's recall of obstetric
complications in South Kalimantan, Indonesia. Studies in Family Planning
1997, 28:203-214.
13. Singh S: Hospital admissions resulting from unsafe abortion: estimates
from 13 developing countries. Lancet 2006, 368:1887-1892.
14. Hatt L, Stanton C, Makowiecka K, Adisasmita A, Achadi E, Ronsmans C:
Did the skilled attendance strategy reach the poor in Indonesia? Bulletin
WHO 2007, 85(10):774-782.
15. Filippi V, Brugha R, Browne E, Gohou V, Bacci A, De Brouwere V, Sahel
A, Goufodji S, Alihonou E, Ronsmans C: How to do (or not to do) . . .
Obstetric audit in resource poor settings: lessons from a multi-country
project auditing 'near miss' obstetrical emergencies. Health Policy and
Planning 2004, 19:57-66.

Anda mungkin juga menyukai