Obstetric Near Miss and Deaths in Public and Private Hospitals in
Obstetric Near Miss and Deaths in Public and Private Hospitals in
tersebut selamat, dan dapat belajar dari para wanita itu sendiri karena mereka
dapat diwawancarai tentang perawatan yang mereka terima [1,2].
Minat ini tercermin dalam peningkatan jumlah tinjauan sistematis mengenai
prevalensi nyaris mati [3-5]. Prevalensi yang dilaporkan keseluruhan kurang dari
1 per 1.000 kelahiran hidup menjadi 82 per 1.000 kelahiran hidup, dengan tingkat
sumber daya di tempat yang buruk sebesar 4-8 persen di rumah sakit [3,4]. Souza
(2006) melaporkan rata-rata kasus nyaris mati sebanyak 8 per 1000 kelahiran
hidup [5]. Variasi ini sebagian besar disebabkan oleh perbedaan dalam populasi
yang diteliti, serta dalam definisi yang digunakan. Nyaris mati tidak mudah untuk
mendefinisikan, dan definisi diambil melalui berbagai pendekatan, termasuk
kriteria disfungsi organ; kriteria manajemen klinis seperti masuk ke perawatan
intensif; tanda dan gejala; atau kondisi klinis seperti eklampsia atau ruptur uteri
[3-5].
Pada tingkat rumah sakit, penyelidikan mengenai pola penyebab dan waktu dapat
menginformasikan kebutuhan akan program pencegahan dan sumber daya
kesehatan [6]. Data rumah sakit terkait nyaris mati sebagian juga dapat
menginformasikan apa yang terjadi di masyarakat namun, terutama jika nyaris
mati didefinisikansebagai tahapan akhir suatu spektrum keparahan, dan tidak
mungkin untuk bertahan hidup jika tanpa bantuan perawatan yang efektif di
rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan
frekuensi, penyebab dan waktu nyaris dan kematian di empat rumah sakit di Jawa
Barat, Indonesia. Kami melaporkan definisi yang digunakan, frekuensi nyaris mati
dan angka kematian di antara berbagai entitas klinis, dan relativitas waktu antara
nyaris mati terhadap waktu masuk.
Metode
Penelitian ini dilakukan di empat rumah sakit di kabupaten Pandeglang dan
Serang di Provinsi Banten. Dua di antaranya adalah rumah sakit umum (rumah
sakit kabupaten di Serang dan Pandeglang) dan dua lainya swasta (rumah sakit
Budi Asih dan Kencana di Serang). Semua rumah sakit melakukan operasi
kebidanan, tetapi hanya rumah sakit umum di Serang yang
memiliki unit
perawatan intensif dan kasus yang sangat berat dapat dirujuk ke sana. Empat
rumah sakit mencakup hampir semua rawat inap yang terkait kehamilan dan
persalinan dari kedua kabupaten tersbut. Di dua kabupaten ini hanya sekitar 8%
kelahiran yang terjadi di rumah sakit, dan hasil yang dilaporkan ini hanya untuk
kelahiran di rumah sakit saja.
Kasus nyaris mati didefinisikan sebagai kasus komplikasi yang mengancam jiwa
pada wanita yang menjalani rawat inap selama kehamilan, persalinan atau setelah
melahirkan yang selamat, menggunakan kriteria yang diusulkan oleh Mantel et al
(1998) [6]. Yang kemudian didefinisikan nyaris mati berdasarkan disfungsi organ,
menggunakan kriteria klinis yang terkait dengan entitas penyakit tertentu serta
kriteria penanganannya. Kriteria akhir untuk nyaris mati dalam penelitian ini
dikembangkan selama lokakarya di Jakarta dan Serang pada bulan Agustus 2004,
dihadiri oleh dokter kandungan, bidan dan ahli epidemiologi dari Jakarta,
Pandeglang, Serang dan Inggris. Kriteria dikelompokkan dalam tiga kategori:
disfungsi organ spesifik, kriteria berdasarkan penanganan umum dan diagnosis
klinis spesifik (eklampsia, ruptur uteri dan kehamilan ektopik) (Tabel 1).
Data dikumpulkan secara retrospektif antara bulan Oktober 2004 dan Oktober
2005, mencakup semua rawat inap antara 1 November 2003 dan 31 Oktober 2004.
Data mengenai komplikasi, jenis persalinan, usia, paritas dan kelahiran yang
diambil dari register di bangsal persalinan, bangsal bedah, bangsal kebidanan, dan
unit perawatan intensif, ditelusuri menurut nomor registrasi rawat inap wanita
tersebut. Semua wanita yang dilaporkan mengalami komplikasi, pembedahan atau
kematian perinatal dari salah satu register dipilih untuk rincian ulasan kasus.
Untuk kematian ibu, upaya lebih lanjut dilakukan untuk menyaring semua register
dari bangsal wanita lainnya di rumah sakit. Pengumpulan data dilakukan oleh
delapan dokter menggunakan bentuk ekstraksi terstruktur. Mereka meneliti catatan
kasus dan diagnosa yang terdaftar oleh penyedia, adanya kriteria nyaris mati
tertentu, dan waktu terjadinya komplikasi. Mereka juga membedakan kasus yang
masuk rumah sakit dalam keadaan kritis dari kasus dimana komplikasi terjadi
selama rawat inap, mengandalkan informasi tentang tanda-tanda dan kondisi
penting saat masuk, serta penentuan dari pengumpul data '(dokter) dalam kasus
yang hilang.
Analisis statistik bersifat deskriptif; proporsi dibandingkan menggunakan Chi
Square.
Persetujuan etik oleh komite etika dari Universitas Indonesia diperoleh sebelum
terjun ke lapangan. Selain itu, persetujuan tertulis untuk mengumpulkan dan
berbagi data diperoleh dari kepala setiap rumah sakit, dan dokter kandungan
memberikan persetujuan verbal. Data disimpan secara elektronik sebagai bagian
dari basis data Immpact di kantor-kantor di Indonesia dan Inggris.
Hasil
Terdapat sejumlah 5.669 rawat inap yang berhubungan dengan kehamilan dalam
satu tahun di empat rumah sakit: 2,803 di rumah sakit Serang, 1.212 di rumah
sakit Pandeglang, 873 di Budi Asih dan 781 di Kencana. Informasi dari register
mengidentifikasi 4.571 (80,6%) perempuan mengalami komplikasi, dan catatan
kasus ditemukan pada 4270 (93,4%) dari jumlah tersebut.
Gambar 1. Pola rawat inap obstetri pada dua rumah sakit umum dan dua rumah sakit
swastadi Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)
organ, dan 2,0% mengalami disfungsi empat organ atau lebih. Disfungsi vaskular
adalah disfungsi organ yang paling umum (77,7%) diikuti oleh jantung (5,1%) dan
disfungsi ginjal (4,5%) (Tabel 2). Syok septik hanya ditemukan dalam satu kasus.
Disfungsi vaskular sering dikaitkan dengan transfusi dua atau lebih unit darah,
syok hipovolemik atau perdarahan masif seperti yang tercatat dalam catatan.
Membuat kriteria yang lebih ketat dengan meningkatkan kebutuhan untuk
transfusi darah sampai tiga atau lebih dan empat atau lebih unit mengurangi
jumlah nyaris mati sebanyak 709 (92,9%) dan 679 (89,0%) untuk masing-masing
kasus (data tidak ditampilkan). Demikian pula, menghapus catatan perdarahan
masif sebagai kriteria sedikit mengurangi jumlah nyaris mati menjadi 754.
Akhirnya, mengesampingkan penanganan dan kriteria klinis ternyata mengurangi
jumlah nyaris mati dari 763 menjadi 640, dengan perubahan yang paling penting
terjadi pada kehamilan ektopik (dari 67 menjadi 39) dan eklampsia (97 menjadi
41).
Tabel 1. Kriteria inklusi kasus nyaris mati ( dimodifikasi dari Mantel et 1998)
Tabel 3 menunjukkan distribusi rawat inap, nyaris mati dan kematian ibu di
rumah sakit umum dan swasta. Proporsi nyaris mati jauh lebih besar di rumah
sakit umum daripada di rumah sakit swasta (17,3% vs 4,2%, p = 0,000). Demikian
pula, hanya satu kematian ibu yang dilaporkan di rumah sakit swasta (0,1% dari
seluruh rawat inap) dibandingkan dengan 63 (1,6% dari semua rawat inap) di
rumah sakit umum. Kasus nyaris mati sangat umum di antara rawat inap untuk
ante partum dan perdarahan postpartum (tabel 3). Di rumah sakit umum, 41,2%
dari rawat inap untuk perdarahan postpartum, 40,6% untuk perdarahan
antepartum, dan 32,3% untuk penyakit hipertensi diklasifikasikan sebagai nyaris
mati.
Tabel 2. Jenis dan frekuensi kriteria nyaris mati pada 763 kasus nyaris mati yang dirawat
inap pada empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)
Wanita yang masuk rumah sakit dengan aborsi juga memiliki bagian yang adil
mereka nyaris (16,3%). Di sisi lain, angka kematian
ibu terkait
Tabel 3. Jumlah yang masuk rumah sakit, nyaris mati dan kematian menurut diagnosis
utama selama rawat inap pada empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November
2003-October 2004)
Diskusi
Ini adalah studi pertama berbasis rumah sakit yang mendokumentasikan nyaris
mati di rumah sakit umum dan swasta di Indonesia. Di rumah sakit ini di mana
sebagian besar wanita mengaku komplikasi obstetrik sebagai penyebab utama
nyaris mati yaitu perdarahan dan hipertensi, yang mencerminkan penyebab utama
kematian ibu di Indonesia. Hampir seperlima dari rawat inap di kedua rumah sakit
umum dihubungkan dengan nyaris mati, meskipun hal tersebut jauh kurang umum
terjadi di rumah sakit swasta. Mayoritas nyaris mati di rumah sakit umum tiba di
rumah sakit dalam keadaan darurat, menunjukkan keterlambatan dalam mencapai
rumah sakit.
Tabel 4. Keadaan mengancam jiwa ( nyaris mati dan kematian ibu) yang masuk rumah
sakit menurut diagnosis utama selama rawat inap pada empat rumah sakit di Serang dan
Pandeglang (November 2004 Oktober 2004)
Tidak ada konsensus tentang bagaimana mendefinisikan nyaris mati [1], dan
definisi telah berevolusi dari konsep klinis umum tentang morbiditas obstetri [7]
terhadap disfungsi organ [6]. Menyepakati kriteria baku nyaris mati tidaklah
mudah, dan disfungsi vaskular khususnya sulit untuk menggambarkannya.
Disfungsi vaskular sering didefinisikan menurut kriteria untuk transfusi darah,
umumnya menggunakan empat atau lima unit sebagai titik potong untuk nyaris
mati [2,6,8,9]. Karena kelangkaan produk darah di dua rumah sakit umum, jumlah
unit transfusi dalam penelitian kami ditetapkan pada dua unit. Membuat kriteria
yang lebih ketat dengan meningkatkan jumlah yang diperlukan unit menjadi tiga
atau empat unit mengurangi jumlah nyaris mati sekitar sepuluh persen, meskipun
perdarahan tetap merupakan penyebab utama. Kadar hemoglobin yang sangat
rendah pada nyaris mati juga menunjukkan bahwa ambang batas telah cukup
ekstrim untuk mengidentifikasi kasus yang berat.
Tabel 5. Kadar hemoglobin (Hb) pada pasien yang dirawat, nyaris mati dan meninggal di
empat rumah sakit di Serang dan Pandeglang ( November 2003- Oktober 2004)
menyebabkan perubahan positif dalam prosedur dan sumber daya tersedia untuk
pengelolaan komplikasi obstetri [15].
Kesimpulan
Ini adalah studi pertama untuk mendokumentasikan nyaris mati di rumah sakit
umum dan swasta di Indonesia. Hampir seperlima dari rawat inap di rumah sakit
umum dikaitkan dengan nyaris mati; dan keadaan kritis di mana wanita tiba
menyarankan penundaan penting dalam mencapai rumah sakit. Meskipun sektor
swasta mengambil pangsa semakin besar dari fasilitas-kelahiran yang berbasis di
Indonesia, pengelolaan keadaan darurat kebidanan merupakan ranah sektor
publik.
Ucapan Terima Kasih
Karya ini dilakukan sebagai bagian dari program penelitian internasional Immpact, didanai oleh Bill & Melinda Gates Foundation, Departemen
Pembangunan Internasional, Komisi Eropa dan USAID. Para penyandang dana
tidak bertanggung jawab atas informasi yang diberikan atau pandangan yang
diungkapkan dalam tulisan ini. Pandangan yang disampaikan dalam sepenuhnya
orang-orang dari penulis.
Daftar Pustaka
1. Ronsmans C, Filippi V: Reviewing severe maternal morbidity: learning
from women who survive life threatening complications. In Beyond the
numbers. Reviewing maternal deaths and complications to make
pregnancy safer Geneva: World Health Organisation; 2004.
2. Okong P, Byamugisha J, Mirembe F, Byaruhanga R, Bergstrom S: Audit
of severe maternal morbidity in Uganda implications for quality of care.
Acta Obstetrica et Gynecologica 2006, 85(7):797-804.
3. Say L, Pattinson RC, Gulmezoglu AM: WHO systematic review of
maternal morbidity and mortality: the prevalence of severe acute maternal
morbidity (near miss). Reproductive Health 2004, 17:3.
4. Minkauskien M, Nadisauskiene R, Padaiga Z, Makari S: Systematic
review on the incidence and prevalence of severe maternal morbidity.
Medicina 2004, 40(4):299-309.
5. Souza JP, Cecatti JG, Parpinelli MA, de Sousa MH, Serruya SJ:
Systematic review of near miss maternal morbidity. Cad Saude Publica
2006, 22:255-264.
6. Mantel GD, Buchmann E, Rees H, Pattinson RC: Severe acute maternal
morbidity: a pilot study of a definition of a near miss. British Journal of
Obstetrics and Gynaecology 1998, 105(9):985-990.
7. Stones W, Lim W, Al-Azzawi F, Kelly M: An investigation of maternal
morbidity with identification of life threatening 'near miss' episodes.
Health trends 1991, 23:13-5.
8. Penney G, Brace V: Scottish confidential audit of severe maternal
morbidity. In First annual report 2003 Aberdeen: Scottish Programme for
Clinical Effectiveness in Reproductive Health; 2005.
9. Gandhi MN, Welz T, Ronsmans C: An audit of life-threatening maternal
morbidity in rural South Africa using 'near-miss' criteria adapted for
primary level hospitals. International Journalof Gynecology and
Obstetrics 2004, 87:180-187.
10. Kilpatrick SJ, Matthay MA: Obstetric patients requiring critical care.
Chest 1992, 101:1407-12.
11. Filippi V, Ronsmans C, Gohou V, Goufodji S, Lardi M, Sahel A, Saizonou
J, De Brouwere V: Maternity wards or emergency obstetric rooms?
Incidence of near-miss events in African hospitals. Acta Obstetrica et
Gynaecologica Scandinavica 2005, 84(1):11-16.
12. Ronsmans C, Achadi E, Cohen S, Zazri A: Women's recall of obstetric
complications in South Kalimantan, Indonesia. Studies in Family Planning
1997, 28:203-214.
13. Singh S: Hospital admissions resulting from unsafe abortion: estimates
from 13 developing countries. Lancet 2006, 368:1887-1892.
14. Hatt L, Stanton C, Makowiecka K, Adisasmita A, Achadi E, Ronsmans C:
Did the skilled attendance strategy reach the poor in Indonesia? Bulletin
WHO 2007, 85(10):774-782.
15. Filippi V, Brugha R, Browne E, Gohou V, Bacci A, De Brouwere V, Sahel
A, Goufodji S, Alihonou E, Ronsmans C: How to do (or not to do) . . .
Obstetric audit in resource poor settings: lessons from a multi-country
project auditing 'near miss' obstetrical emergencies. Health Policy and
Planning 2004, 19:57-66.