Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENYAKIT TBC

DISUSUN OLEH:
NAMA ANDA

CONTOH KARYA TULIS


HTTP://CONTOH-KARYA-TULIS.BLOGSPOT.COM/
TAHUN 2014

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling
mematikan di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health
Organization (WHO) memperkirakan sepertiga dari populasi dunia
telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis masih
merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di dunia.
Setiap tahun terdapat 9 juta kasus baru dan kasus kematian
hampir mencapai 2 juta manusia. Di semua negara telah terdapat
penyakit ini, tetapi yang terbanyak di Afrika sebesar 30%, Asia
sebesar 55%, dan untuk China dan India secara tersendiri sebesar
35% dari semua kasus tuberkulosis.(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO (global reports 2010), menyatakan bahwa pada
tahun 2009 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,4 juta
(antara 8,9 juta hingga 9,9 juta jiwa) dan meningkat terus secara
perlahan pada setiap tahunnya dan menurun lambat seiring
didapati peningkatan per kapita. Prevalensi kasus TB di seluruh
dunia sebesar 14 juta (berkisar 12 juta sampai 16 juta). Jumlah
penderita TB di Indonesia mengalami penurunan, dari peringkat
ke tiga menjadi peringkat ke lima di dunia, namun hal ini
dikarenakan jumlah penderita TB di Afrika Selatan dan Nigeria
melebihi dari jumlah penderita TB di Indonesia. Estimasi
prevalensi TB di Indonesia pada semua kasus adalah sebesar
660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per
tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian
per tahun. Selain itu, kasus resistensi merupakan tantangan baru
dalam program penanggulangan TB. Pencegahan meningkatnya
kasus TB yang resistensi obat menjadi prioritas penting.
(Universitas Sumatera Utara)
Laporan WHO tahun 2007 menyatakan persentase resistensi
primer di seluruh dunia telah terjadi poliresistensi 17,0%,
monoresistensi terdapat 10,3%, dan Tuberculosis - Multidrug
Resistant (TB-MDR) sebesar 2,9 %. Sedangkan di Indonesia
resistensi primer jenis MDR terjadi sebesar 2%. Kontak penularan
M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi obat akan
menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer,
pada akhirnya mengarah pada kasus multi-drug resistance (MDR).
Ketika dilaporkan adanya beberapa kasus resistensi obat TB di
beberapa wilayah di dunia hingga tahun 1990-an, masalah
resistensi ini belum dipandang sebagai masalah yang utama.

Penyebaran TB-MDR telah meningkat oleh karena lemahnya


program pengendalian TB, kurangnya sumber dana dan isolasi
yang tidak adekuat, tindakan pemakaian ventilasi dan
keterlambatan dalam menegakkan diagnosis suatu TB-MDR.
(Universitas Sumatera Utara)
Rao dan kawan-kawan di Karachi-Pakistan pada tahun 2008,
melakukan
penelitian
resistensi
primer
pada
penderita
tuberkulosis paru kasus baru. Didapatkan dengan hasil pola
resisten sebagai berikut: resistensi terhadap Streptomisin
sebanyak 13 orang (26%), Isoniazid 8 orang (16%), Etambutol 8
orang (16%), Rifampisin 4 orang (8%) dan Pirazinamid 1 (0,2%).
Sedangkan di Indonesia TB-MDR telah diperoleh sebanyak 2 orang
(0,4%) pasien. Angka resistensi/TB-MDR paru dipengaruhi oleh
kinerja program penanggulangan TBC parudi kabupaten
setempat/kota
setempat
terutama
ketepatan
diagnosis
mikroskopik untuk menetapkan kasus dengan BTA (+), dan
penanganan kasus termasuk peran Pengawas Menelan Obat
(PMO) yang dapat berpengaruh pada tingkat kepatuhan penderita
untuk minum obat. Faktor lain yang mempengaruhiangka
resistensi/ MDR adalah ketersediaan OAT yang cukup dan
berkualitas ataupun adanya OAT yang digunakan untuk terapi
selain TBC. (Universitas Sumatera Utara)
Semakin jelas bahwa kasus resistensi merupakan masalah besar
dalam pengobatan pada masa sekarang ini. WHO memperkirakan
terdapat 50 juta orang di dunia yang telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap OAT dan
dijumpai 273.000 (3,1%) dari 8,7 juta TB kasus baru pada tahun
2000. Berdasarkan wilayah administratif di Indonesia, Provinsi
Jawa Timur menempati urutan ke 8 angka temuan kasus TBC paru
terbesar tahun 2007, meskipun belum mencapai target yang
ditetapkan. Sebaran angka temuan kasus tersebut yaitu DKI
Jakarta(88,14%), Sulawesi Utara (81,36%), Banten (74,62%), Jawa
Barat (67,57%), Sumatra Utara (65,48%), Gorontalo (62,15%),
Bali (61,39%), Jawa Timur (59,83%), DI Yokyakarta (53,23%),
Sumatra Barat (51,36%) (Depkes RI, 2007). (Universitas Sumatera
Utara)
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
Apa penyakit TB Paru itu ?

Bagaimana Etiologi penyakit TB Paru ?


Bagaimana cara Penularan TB Paru ?
Apa gejala-gejala seseorang menderita TB Paru ?
Bagaimana cara penanggulangan/pencegahan TB Paru ?
Bagaimana cara pengobatan kepada penderita TB Paru ?
1.3 Tujuan
Tujuan Umum :
Adapun tujuan penulisannya adalah sebagai berikut :
Untuk mengetahui penyakit TB Paru
Untuk mengetahui Etiologi penyakit TB Paru
Untuk mengetahui cara Penularan TB Paru
Untuk mengetahui gejala-gejala TB Paru
Untuk mengetahui cara penanggulangan/pencegahan TB
Paru
Untuk mengetahui cara pengobatan kepada pendderita TB
Paru
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
1.Penyebab
Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis tipe humanus, sejenis
kuman berbentuk batang dengan panjang 1-4 mm dan tebal 0,30,6 mm. Struktur kuman ini terjadi atas lipid (lemak) yang
membuat kuman lebih tahan terhadap asam, serta dari gangguan
berbagai kimia dan fisik. Kuman ini juga tahan berada di udara
kering dan keadaan dingin (misalnya di dalam lemari es) karena
sifatnya yang dormant, yaitu dapat bangkit kembali dan menjadi
lebih aktif. Selain itu, kuman ini juga bersifat aerob.

Tuberkulosis paru merupakan infeksi pada saluran pernapasan


yang vital. Basil Mycobacterium masuk kedalam jaringan paru
melalui saluran napas (dreplet infection) sampai alveoli dan
terjadilah onfeksi primer (Gbon). Kemudian, dikelenjar getah
bening terjadilah primer kompleks yang disebut tuberculosis
primer. Dalam sebagian besar kasus, Bagian yang terinfeksi ini
dapat mengalami penyembuhan. Peradangan terjadi sebelum
tubuh
mempunyai
kekebalan
spesifik
terhadap
basil
Mycobacterium pada usia 1-3 tahun. Sedangkan, post primer
tuberculosis (reinfection) adalah peradangan yang terjadi pada
jaringan paru yang disebabkan oleh penularan ulang.
2.2 Tanda dan Gejala
a. Sistemik : malaise. Anoreksia, berat badan menurun, dan
keluar keringat malam.
b. Akut : demam tinggi, seperti flu dan menggigil.
c. Milier : demam akut, sesak napas, dan sianosis (kulit kuning).
d. Respiratorik : batuk lama lebih dari dua minggu, sputum yang
mukoid atau mukopurulen, nyeri dada, batuk darah dan gejala
lain. Bila ada tanda-tanda penyebaran ke organ lain, seperti
pleura, akan terjadi nyeri pleura, sesak napas ataupun gejala
meningeal (nyeri kepala, kaku duduk dan lain sebagainya)
2.3 Klasifikasi TBC Paru
Tuberkulosis pada manusia dapat dibedakan dalam dua bentuk,
yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis sekunder.
1. Tuberkulosis primer
Tuberkulosis adalah infeksi bakteri TB Dari penderita yang belum
mempunyai reaksi spesifik terhadap bakteri TB. Bila bakteri TB
terhirup dari udara melalui saluran pernapasan dan mencapai
alveoli atau bagian terminal saluran pernapasan, maka bakteri
akan ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag yang berada di
alveoli. Jika pada proses ini bakteri ditangkap oleh makrofag yang
lemah, maka bakteri akan berkembang biak dalam tubuh
makrofag yang lemah itu dan menghancurkan makrofag. Dari
proses ini, dihasilkan bahan kemotaksis yang menarik monisit
(makrofag) dari aliran darah dan membentuk tuberkel. Sebelum
mengahncurkan bakteri, makrofag harus diaktifkan terlebih
dahulu oleh limfokin yang dihasilkan oleh limfosit T.
Tidak semua makrofag pada granula TB mempunyai fungsi yang
sama. Ada makrofag yang berfungsi pembunuh, mencerna
bakteri,
dan
merangsang
limfosit.
Beberapa
makrofag

menghasilkan protease elastase, kolagenase, serta faktor


penstimulasi koloni untuk merangsang produksi monosit dan
granulosit pada sumsum tulang. Bakteri TB menyebar ke saluran
pernapasan melalui getah bening regional (hilus).dan membentuk
epitiolit granuloma. Granuloma mengalami nekrosis sentral
sebagai akibat dari timbulnya hipersensitifitas selular (delayed
hipersensitifity) terhadap bakteri TB. Hal ini terjadi sekitar 2-4
minggu dan akan terlihat pada tes tuberkulin. Hipersensitifitas
selular sebagai akumulasi lokal dari lifosit dan makrofag.
Baktei TB yang berada dalam alveoli akan membentuk fokus lokal
(fokus ghon), sedangkan fokus inisial bersama-sama dengan limfa
denopati bertempat di hilus (kompleks primer ranks) dan disebut
juga TB primer. Fokus primer paru biasanya bersifat unilateral
dengan subpleura terletak di atas atau bawah sifura interlobaris,
atau di bagian basal dari lobus inferior. Bakteri ini menyebar lebih
lanjut melalui saluran limfe atau aliran darah, dan tersangkut
pada berbagai organ. Jadi, TB primer merupakan infeksi yang
bersifat sistematis.
2. Tuberkulosis Sekunder
Telah terjadi resolusi dari infeksi primer; sejumlah kecil bakteri TB
masih dapat hidup dalam keadaan dorman di jaringan parut.
Sebanyak 90% di antaranya tidak mengalami kekambuhan.
Reaktifasi penyakit TB (TB pascaprimer/TB sekunder) terjadi bila
daya tahan tubuh menurun, pecandu alkhohol akut, silikosis, dan
pada penderita diabetes melitus serta AIDS.
Bebeda dengan TB primer, pada TB sekunder kelenjar limfe
regional dan organ lainnya jarang terkena, lesi lebih terbatas, dan
terlokalisir.
Reaksi
imunologis
terjadi
dengan
adanya
pembentukan granuloma, mirip dengan yang terjadi pada TB
primer.
Tetapi,
nekrosis
jaringan
lebih
mencolok
dan
menghasilkan lesi kaseosa (perkejuan) yang luas dan disebut
tuberkulema. Plotease yang dikeluarkan oleh makrofag aktif akan
menyebabkab pelunakan bahan kaseosar. Secara umum, dapat
dikatakan bahwa terbentuknya kafisatas dan manifestasi lainnya
dari TB sekunder adalah akibat dari reaksi nekrotik yang dikenal
sebagai hipersensitivitas.
TB paru pascaprimer dapat disebabkan oleh infeksi lanjutan dari
sumber eksogen, terutrama pada usia tua dengan riwayat masa
muda pernah terinfeksi bakteri TB. Biasanya, hal ini terjadi pada
daerah artikel atau sekmen postarior lobus superior, 10-20 mm
dari pleura dan segmen apikel lobus interior. Hal ini mungkin

disebabkan kadar oksigen yang tinggi, sehingga menguntungkan


untuk pertumbuhan penyakit TB.
Lesi sekunder berkaitan dengan kerusakan paru yang disebabkan
oleh produksi sitokin yang berlebihan. Kavitas kemudian diliputi
oleh jaringan fibrotik yang tebal dan berisi pembuluh darah
pulmonl. Kavitas yang kronis diliputi oleh jaringan fibrotik yang
tebal. Masalah lainnya pada kavitas kronis adalah kolonisasi
jamur, seperti aspergilus yang menumbuhkan micotema (Isa,
2001).
2.4 Komplikasi
1. Komplikasi Dini
a. pleuritis,
b. efusi pleura,
c. empiema,
d. laringitis, dan
e. TB usus.
2. Komplikasi Lanjut
a. obstruksi jalan napas,
b. kor pulmonale,
c. amiloidosis,
d. karsinoma paru, dan
e. sindrom gagal napas.
2.5 Penatalaksanaan Medis
Zain (2001) membagi penatalaksaan tuberkulosis paru menjadi
tiga bagian, yaitu pencegahan, pengobatan, dan penemuan
penderita.
1. Pencegahan tuberkulosis paru
a. Pemeriksaan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang
bergaul erat dengan penderita TB paru BTA positif.
b. Mars chest X-ray, yaitu pemeriksaan massal terhadap
kelompok-kelompok populasi tertentu, misalnya karyawan rumah
sakit atau puskemas atau balai pengobatan, penghuni rumag
tahanan dan siswi-siswi pesantren.
c. Vaksinasi BCG, reaksi positif terjadi jika setelah mendapat
vaksinasi BCG langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam
waktu kurang dari 7 hari setelah penyuntikan.
d. Kemoprokfilasis, yaitu dengan menggunakan INH 5 mg/kg BB
selama 6-12 bulan dengan tujuan menghancurkan atau
mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit.

e. Komunikas, informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit


tuberkulosis kepada masyarakat di tingkat puskesmas maupun
rumah sakit oleh petugas pemerintah atau petugas LSM.
2. Pengobatan tuberkulosis paru
Tujuan pengibatan pada penderita TB paru, selain untuk
mengobati, juga untuk mencegah kematian, kekambuhan,
resistensi kuman terhadap OAT, serta memutuskan mata rantai
penularan.
3. Penemuan penderita
a. Penatalaksaan terapi: asupan nutrisi adekuat/ mencukupi.
b. Kemoterapi, yang mencakup pemberian:
1) Isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang
tumbuh aktif. Obat ini diberikanselama 18-24 bulan dan dengan
dosis 10-20 mg/kg berat badan/hari melalui oral.
2) Kombinasi antar NH, rifampicin, dan pyrazinamid yang
diberikan selama 6 bulan.
3) Obat tambahan, antara lain Strepmomycin (diberikan
intramuskuler)dan Etham
burol
4) Terapi kortikosteroid diberikan bersamaan dengan obat anti-TB
untuk mengurangi respons peradangan, misalnya pada
meningitis.
c.Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan
ini dilakukan mengangkat jaringan paru yang rusak.
d. Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung
denga orang yang terinfeksi basil TB serta mempertahankan
asupan nutrisi yang memadai. Pemberian imunisasi BCG juga
diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap
inveksi basil TB virulen.
2.6 Patofisiologi
Port desentri kuman Mycobacterium tuberculosisadalah saluran
pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi terjadi melalui udara (air bone), yaitu melalui
inhalasi dropplite yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang terinfeksi.
Basil tuberkel yang mencapai alveolus dan diinhalasi biasanya
terdiri atas satu sampai tiga gumpalan. Basil yang lebih besar
cenderung bertahan disaluran hidung dan cabang besar bronkus,
sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam
ruang alveolus, kuman akan mulai mengakibatkan peradangan.

Leukosit polimorfonuklear tampak memfagosit bakteri ditempat


ini, namun tidak membunuh organisme tersebut.
Sesudah hari pertama, maka leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul
gejala pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh
dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau
proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu, sehingga membentuk sel tuberkel epiteloit yang
dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 1020 jam.
2.7
Asuhan
Keperawatan
TBC
Paru
(Pengkajian:
Anamnesis)
1. Keluhan Utama
Tuberkulosis sering dijuluki the great imitator, yaitu suatu
penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit
lain, yang juga memberikan gejala umum serupa (seperti lemah
dan demam). Pada sejumlah pasien, gejala yang timbul tidak jelas
bahkan kadang-kadang tanpa gejala (asimptomatik), sehingga
sering diabaikan. Keluhan yang sering menyebabkan Paien TB
paru meminta pertolongan dari tim kesehatan dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu keluhan respiratoris dan keluhan
sistematis.
a. Keluhan respiratoris
1) Batuk
Keluhan batuk timbul paling awal dan merupakan ganguan yang
paling sering dikeluhkan. Perawat harus menanyakan apakah
keluhan batuk bersifat nonproduktif,produktif, ataukah sputum
bercampur darah.
2) Batuk darah
Keluhan batuk darah pada pasien TB paru selalu menjadi alasan
utama untuk meminta pertolongan kesehatan. Hal ini disebabkan
rasa takut pasien pada darah yang keluar pada jalan napas.
Perawat harus menanyakan seberapa banyak darah yang keluar
(apakah hanya berupa blood streak / berupa garis atau bercakbercak darah)
3) Sesak napas

Keluhan ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah


meluas atau karena ada hal-hal lain yang memperberat kondisi
paru-paru pasien.
4) Nyeri Dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik ringan. Gejala
ini timbul apabila sistem saraf pleura terkena TB.
b. Keluhan Sistematis
1) Demam
Keluhan yang sering dijumpai dan biasanya timbul pada sore atau
malam hari pada penderita TB ini mirip dengan gejala demam
influenza. Gejalanya hilang timbul dan semakin lama semakin
panjang serangannya, sementara masa bebas serangan semakin
pendek.
2) Keluhan Sistematis Lain
Keluhan yang biasa timbul ialah keringat dimalam hari, anoreksia,
penuruna berat badan, dan tidak enak badan (malaise).
Timbulnya keluhan biasanya bersifat gradual atau muncul secara
bertahap dalam beberapa minggu ata bulan. Akan tetapi,
penampilan akut dengan batuk, panas, dan sesak napas
(walaupun jarang) dapat juga timbul menyerupai gejala
pnemunomia.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengkajian ini dilakukan untuk mendukung keluhan utama. Ajukan
pertanyaan yang sifatnya ringkas , sehingga jawaban yang
diberikan pasien hanya kata ya atau tidak, atau cukup dengan
anggukan atau gelengan kepala. Apabila keluhan utama adalh
batuk, maka perawat harus menanyakan sudah berapa lama
keluhan batuk muncul (onset). Pada pasien dengan pneumonia,
keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang
setelah meminum obat batuk yang biasa dijual dipasaran.
Batuk pada TB yang paling sering dikeluhkan, mula-mula
nonproduktif (tanpa dahak), kemudian berdahak bahkan
bercampur darah bila sudah terjadi kerusakan jaringan. Batuk
akan timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus,
dimana terjadi iritasi bronkus. Akibat adanya peradangan pada
bronkus, batuk akan menjadi produktif (berdahak), yang berguna
untuk membuang produk ekskresi peradangan dengan sputum
(dahak) yang bersifat mukoid atau purulen.

Pasien TB paru juga sering menderita batuk darah. Adanya batuk


darah ini sering menimbulkan kecemasan pada diri pasien, karena
batuk darah sering dianggap sebagai suatu tanda dari beratnya
penyakit yang diidapnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak
terjadi jika perawat memberikan pelayanan keperawatan yang
baik kepada pasien dengan memberi penjelasan tentang kondisi
yang terjadi pada dirinya.
Jika keluhan utama atau yang menjadi alasan pasien meminta
pertolongan kesehatan adalah sesak napas, maka perawat perlu
mengarahkan atau menegaskan pertanyaan untuk membedakan
antara sesak napas yang disebabkan oleh gangguan sistem
pernapasan dan sistem kardiovaskular. Sesak napas yang
disebabkan oleh TB paru biasanya disertai gejala-gejala berat. Hal
ini bisa disebabkan tingkat kerusakan parenkim paru yang sudah
meluas atau karena ada hal-hal yang menyertainya, seperti efusi
pleura,
pneumothoraks,
anemia,
dan
lain-lain.
Untuk
memudahkan perawat dalam mengkaji keluhan sesak napas,
maka napas ini dapat dibedakan lagi sesuai tingkat klasifikasi
sesak.
3.Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian yang mendukung adalah dengan mengkaji apakah
sebelumnya pasien pernah menderita TB paru, waktu kecil pernah
mengalami keluhan batuk dalam waktu lama, tuberkulosis dari
organ lain, pembesaran getah bening, dan penyakit lain yang
dapat memperberat TB paru (seperti diabetes mellitus). Tanyakan
pula mengenai obat-obat yang biasa diminum pasien dimasa lalu
yang masih relevan. Obat-obat ini meliputi obat OAT dan antitisif.
Catat adanya efek samping yang mungkin timbul dimasa lalu.
Tanyakan pula sekiranya ada alergi obat serta reaksi alergi yang
timbul. Sering kali, pasien mengacaukan antara suatu jenis alergi
dengan efek samping obat. Kaji lebih dalam tenyang seberapa
jauh penurunan berat badan (BB) pasien dalam 6 bulan terakhir.
Penurunan berat badan pasien dengan TB paru berhubungan erat
dengan proses penyembuhan penyakit serta adanya anoreksia
dan mual yang sering disebabkan karena meminum OAT.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi, TB paru tidak diturunkan tetapi, perawat perlu
menanyakan apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota
keluarga lainnya sebagai faktor predisposisi penularan didalam
rumah.

2.8 Dasar Pengkajian Pasien


data pengkajian pasien tergantung pada tahap dan derajat yang
terkena.
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala :
1)
Kelelahan umum dan kelemahan.
2)
Nafas pendek saat bekerja atau beraktivitas.
3)
Kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam
4)
Setiap hari menggigil dan berkeringat,serta
5)
Mimpi buruk.
b. Tanda
1) Takikardia, takipnea atau dispnea pada saat beraktivitas, dan
2) Kelelahan otot, nyeri,dan sesak (tahap lanjut).
2. Integritas Ego
a. Gejala:
1) Adanya/faktor stres lama,
2) Masalah keuangan dan rumah tangga,
3) Perasaan tak berdaya/tak ada harapan, serta
4) Biasa terjadi di bangsa Amerika Asli atau imigran dari Amerika
tengah, Asia Tenggara, dan suku Indian.
b.Tanda:
1) Menyangkal (khususnya dalam tahap dini) dan
2) Kecemasan berlebihan, ketakutan, serta mudah marah
3. Makanan/Cairan
a. Gejala:
1) Kehilangan nafsu makan,
2) Tak dapat mencerna makanan, dan
3) terjadi penurunan berat badan.
b. Tanda:
1) turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik,serta
2) kehilangan otot atau otot mengecil karena hilangnya lemak
subkutan
4. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala: nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
b. Tanda:
1) Berhati-hati saat menyentuh atau menggerakan area yang
sakit

2) Perilaku distraksi (terganggu), seperti sering gelisah


5. Pernafasan
a. Gejala
1) Batuk (produktif/tak produktif) dan
2) Napas pendek
b. Tanda:
1) Peningkatan frekuensi pernapasan.
2) Fibrosis parenkin paru dan pleuran yang meluas
3) Pasien menunjukan pola pernapasan yang tak simetris (efusi
pleura)
4) Perfusi pekak dan penurunan fremitus (getaran dalam paru)
5) Penebalan pleura
6) Bunyi napas yang menurun
7) Aspek paru selama inspirasi cepat;namun setelah batuk
biasanya pendek (krekels potstusik)
8) Karateristik spuntum (yang berwarna hijau/purulen dan
mukoid, kadang kuning dan disertai dengan bercak darah)
9) Deviasi trakeal (penyebab bronkogenik)
10) Tak perhatian, menunjukan sikap mudah tersinggung yang
jelas
11) Perubahan mental (tahap lanjut)
6. Keamanan
a. Gejala : Adanya kondisi tekanan pada sistem imon (contohnya
AIDS, kanker, tes HIV yang hasilnya positif)
b. Tanda : demam rendah atau sakit panas akut.
7. Iteraksi Sosial
Gejala : perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular.
Perubaha pola biasa dalam kapsitas fisik untuk melaksanakan
peran.
8. penyuluhan/pembelajaran
a. Gejala :
1) Riwayat keluarga TB
2) ketidak mampuan umum/status kesehatan buruk
3) gagal untuk menyembuhkan TB seara total, TB sering kambuh.
4) tidak mengikuti terapi pengobatan dengan baik.
b. pertimbangan :
DRG menunjukkan bahwaa rata rata lama pasien dirawat di
rumah sakit sekitar 6,6 hari.

c. rencana pemulangan
pasien dengan TB paru dalam terapi obat dan bantuan perawtan
diri serta pemeliharaan rumah
2.9 Jenis Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum dan Tand-tanda Vital
Keadaan umum pasien TB paru dapat dilihat secara selintas
dengan menilai keadaan fisik tiap bagian tubuh. Selain itu, perlu
dinilai secara umum tentang kesadaran pasien yang terdiri atas
compos menitis, apatis, samnolen, sopor, soporokoma, atau
koma. Seorang perawat perlu mempunyai pengalaman dan
pengetahuan tentang konsep anatomin fisiologi umum, sehingga
dengan cepat menilai keadaan umum, kesadaran, dan
pengukuran GCS bila kesadaran pasien menurun. Hal tersebut
penting dilakukan karena komdisi vital ini mensyaratkan
kecepatan dan ketepatan penilaian.
Biasanya, hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dari pasien TB paru
menunjukkann adanya peningkatan suhu tubuh secara signifikan,
frekuensi napas meningkat apabila disertai sesak napas, denyut
nadi biasanya juga meningkat seirama dengan peningkatan suhu
tubuh dan frejuensi pernapasan, serta tekanan darah biasanya
sesuai dengan adanya penyakit penyulit (seperti hipertensi).
2. Pengkajian Psiko-Sosio-Spirtual
Pengkajian psikologis pasien meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, da perilaku pasien. Perawat
mengumpulkan data hasil pemeriksaan pasien tentang kapasitas
fisik dan intelektualnya saat ini. Data ini penting untuk
menentukan tingkat perlu tidaknya pengkajian psiko-sosiospiritual yang saksama. Pada kondisi klinis, pasien dengan TB
paru sering mengalami kecemasan bertingkat sesuai dengan
keluhan yang dialaminya.
Perawat juga perlu menanyakan kondisi pemukiman tempat
pasien bermukim. Hal ini penting, mengingat TB paru sangat
rentan dialami oleh mereka yang tinggal di permukiman padat
dan kumuh. Perlu diketahui bahwa populasi bakteri TB paru lebih
mudah hidup dan brkembang biak ditempat kumuh dengan
ventilasi yang buruk dan pencahayaan sinar matahari yang
kurang.

TB paru merupakan penyakit yang pada umumnya menyerang


masyarakat miskin. Hal ini karena golongan masyarakat
cenderung tidak sanggup meningkatan daya tahan tubuh non
spesifik dan keterbatasan dalam mengkonsumsi makanan bergizi.
Selain itu, juga karena ketidak sanggupan mereka untuk membeli
obat. Ini semua masih diperparah lagi dengan faktor kemiskinan
yang membuat setiap individe diharuskan bekerja secara fisik,
sehingga mempersulit proses penyembuhan penyakitnya.
Pasien TB paru kebanyakan berpendidikan rendah, akibatnya
mereka tidak menyadari bahwa penyembuhan penyakit dan
menjaga kesehatan merupakan hal yang penting. Pendidikan
yang rendah sering menyebabkan seseorang tidak dapat
meningkatkan kemampuannya untuk mencapai taraf hidup yang
baik. Padahal, taraf hidup yang baik amat dibutuhkan untuk
penjagaan kesehatan secara umum dan dalam menghadapi
infeksi.
WOC
Bakteri Mycrobacterium Tuberculosis
Paru-paru
Alveolus mengalami peradangan
TBC
B1
B2
B3
B4
B5
B6
Mecanisme tubuh berusaha mengeluarkan benda asing tersebut
batuk
MK: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Terdapat benda asing (mucus)
L. Diagnosis Keperawatan
1. ketidak efektifan kebersihan jalan napas, berhubunagan
dengan sekresi mukus yang kental, hemoptitis, kelemahan
fisik, upaya batuk buruk dan edema trakheal/faringeal.

2. ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan


menurunnya ekspansi paru sekunder terhadappenumpukan
cairan dalam rongga pleura.
3. resiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan
dengan penurunan jaringan efektif paru, atelektasis,
kerusakan membran alveolar-kapiler, dan edema bronchial.
4. perubahan nutrisi; kurangnya asupan nutrisi dari kebutuhan
ideal tubuh yang berhubungan dengan keletihan, anoreksia,
despnea, dan peningkatan mitabolisme tubuh.
5. kecemsan, berhubungan dengan adanya ancaman kematian
yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas) dan
prognosis penyakit yang belum jelas.
6. kurang informasi dan pengetaahuan mengenai kondisi dan
aturan pengobatan, berhubungan dengan kurangnya
informasi tentang proses penyakit dan penatalaksaan
perawatan dirumah.
7. infeksi dan reiko tingi penyebaran atau aktivasi ulang kuman
TB, berhubungan dengan kerusakan jaringan/infeksi
tambahan.
G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Rontgen Toraks
Pada hasil pemeriksaan rontgen toraks, sering didapatkan adanya
suatu lesi sebelum ditemukan gejala subjektif awal. Sebelum
pemeriksaan fisik, dokter juga menemukan suatu kelainan pada
paru. Pemeriksaan rontgen toraks ini sangat berguna untuk
mengevaluasi hasil pengobatan, di mana hal ini bergantung pada
tipe keterlibatan dan kerentanan bakteri tuberkel terhadap OAI
(apakah sama baiknya dengan respons pasien?). Penyembuhan
total sering kali terjadi di beberapa area dan ini adalah observasi
yang dapat muncul pada sebuah proses penyembuhan yang
lengkap.
2. Pemeriksaan CT-scan
Pemeriksaan CT-scan dilakukan untuk menemukan hubungan
kasus TB inaktif/stabil yang ditunjukkan dengan adanya
gambaran garis-garis fibrotik ireguler, pita parenkimal, klasifikasi
nodul
dan
adenopati,
perubahan
kelengkungan
berkas

bronkhovaskular, bronkhiektaksis, serta emfisema perisikatrisial.


Pemeriksaan CT-scan sangant bermanfaat untuk mendeteksi
adanya pembentukan kavitas dan lebih dapat diandalkan
daripada pemeriksaan rontgen toraks biasa.
3. Radiologis TB Paru Milier
TB Milier akut diikuti oleh invasi pembuluh darah secara
masif/menyeluruh seta mengakibatkan penyakit akut yang berat
dan sering disertai akibat fatal sebelum penggunaan OAT. Hasil
pemeriksaan rontgen toraks bergantung pada ukuran dan jumlah
tuberkel milier. Pada beberapa pasien TB milier, tidak ada lesi
yang terlihat pada hasil rontgen toraks, tetapi ada beberapa
kasus dimana bentuk milier klasik berkembang seiring dengn
perjalanan penyakitnya.
4. Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis terbaik dari penyakit TB diperoleh dengan pemeriksaan
mikrobiologi melaui isolasi bakteri. Untuk membedakan spesies
Mycrobacterium yang satu dengan yang lainnya harus dilihat sifat
koloni, waktu pertumbuhan, sifat biokimia pada berbagai media,
perbedaan kepekaan terhadap OAT, dan percobaan, serta
perbedaan kepekaan kulit terhadap berbagai jenis antigen
Mycrobacterium.
Bahan untuk pemeriksaan isolasi Mycrobacterium TB adalah
septum pasien, urine, dan cairan kumbah lambung. Selain itu, ada
juga bahan-bahan lain yang dapat digunakan, yaitu cairan
serebrospinal (sum-sum tulang belakang), cairan pleura, jaringan
tubuh, fases, dan swab tenggorokan. Pemeriksaan darah yang
menunjang diagnosis TB paru, walaupun kurang sensitif, adalah
pemeriksaan laju endap darah (LED). Adanya pemeriksaan LED
biasanya disebabkan peningkatan immunoglobulin, terutama IgG
dan IgA (Loman, 2001)
M. Perencanaan dan Intervensi
1. diagnosis 1
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan denga
sekresi mukus yang kental, hemoptitis, kelemahan, upaya batuk
buruk, dan edema trakheal/faringeal
a. Tujuan kebersiahan jalan napas kembali efektif
b. Kreteria Hasilan
1) Pasien dapaata melakukan batuk efektif
2) Pernasan pasien normal tanpa menggunakan alat bantu napas.
Bunyi napas normal, Rh -/-, dan pergerakan pernapas normal.

c. Intervensi
1) Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas , kecepatran, irama,
kedalaman, dan penggunaann otot bantu napas).
Rasionalisassi : penurunan bunyi napas menunjukan atelectasis,
ronkhi menunjukan akumulasi secret dan tidak efektifnya
pengeluaran sekresi, yang selanjutnya dapat menimbulkan
penggunaan otot bantu napas dan peningkatan kerja
pernapassan
2) Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat krakter, volume
sputum, dan adanya hemoptysis.
Rasionalisasi : pengeluaran dahak akan sulit bila secret sangat
kental ( efek infeksi dan hidrasi yang tidak memadai). Sputum
berdarah bila ada kerusakan (kavitasi) paru atau luka bronchial
dan memerlukan intervensi lebih lanjut.
3) Berikan posisi fowler/ semifowler tinggi (yakni posisi tidur
dengan punggung bersandar di bantal atau seperti tidur-duduk)
dan bantu pasien untuk bernapas dalam dan batuk efektif.
Rasionalisasi : posisi powler memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kejalan napas besar
untuk dikeluarkan.
4) Pertahankan asupan cairan sedikitnya 2.500 ml/hari, kecuali
tidak d indikasikan.
Rasionalisasi : hidrasi yang memadai dapat membantu
mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan jalanya
napas.
5) Bersihkan sekret dari mulut dan trachea, bila perlu lakukan
pengisapan (suction).
Rassionalisasi : mencegah obstruksi dan aspirasi. Penghisapan
diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
6) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT.
Rasionalisasi : pengobata tuberkolosis terbagi jadi dua fase, yaitu
fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Paduan
obat yang di gunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan
jenis obat utama yang digunakan sesuai rekomendasi WHO
adalah Rifamsipin, INH, Pirazinamid, strptomisin, dan Etambutol.
7) Agen Motolitik.
Rasionalisasi : agen mokolitik menurunkan kekentalan dan
kelengketan sekret paru, sehingga memudahkan pembersihan.
8) Bronkodilator.
Rasionalisasi : bronkodilator meningkatkan diameter percabangan
trakeobronkhial, sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran
udara.
9) kortiokosteroid

Rasionalisasi : kortiosteroid berguna untuk


memperluas
keterlibatan pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.
2. Diagnosis 2
Ketidak efektifan pola pernapsan yang berhubungan dengan
menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan
cairan dalam rongga pleura.
a. Tujuan : pola napas kembali efektif.
b. kreteria hasil :
1) pasien mampu melakukan batuk efektif.
2) Irama, frekuensi, dan kedalaman pernapasan berada pada
batasan norma. Pada pemeriksaan rontgen dada, tidak ditemukan
adanya akumlasi cairan, dan bunyi napas terdengar jelas.
c. Intervensi
1). Identifikasi faktor enyebab.
Rasionalisasi: dengan mengidentifikasi penyebab, kita dapat
menentukan jenis defusi pleura, sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
2) Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea,
sianosis, dan perubahan tanda vital
Rasionalisasi : distres pernapasan dan perubahan tanda vital
dapat terjadi sebagaiakibat stres fisiologis dan nyeri. Bisa juga
menunjukkan terjadiya shock akibat hipoksia
3) Berikan posisi fowler/semifowwler (tidur bersandar) tinggi dan
miring pada posisi yang sakit dan bantu pasien untuk latihan
napas dalam dan batuk efektif.
Rasionalisasi : posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan upaya napas. Ventilasi maksimal membuka area
atelektasis dan meningkattan gerakan sekret pada jalan napas
besar untuk kemudian di keluarkan.
4) Auskultasi bunyi napas.
Rasionalisasi : bunyi napas dapat menurun, bahkan tidak ada,
pada area kolaps yang meliputi satu lobus, segmen paru, atau
eluruh area paru (unilateral).
5) Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.
Raionalisasi : ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi
trakea kearah sisi yang sehat pada tension.
6) Kolaborasi untuk tindakan thorakosintetis atu kalu perlu WSD (
water seal drainage).
Rasionalisasi : bertujuan sebagai evakuasi cairn atu udara dan
memudahkan ekspansi paru secara maksimal.
7) Bila di pasang WSD, periksa pengontrol pengisap dan jumlah
isapan yang benar.

Rasionalisasi : mempertahankan tekanan negatif intrapleura,


sehingga dapat meningkatkan ekspansi aru optium.
8) Periksa batas ciran pada botol pengisap dan ertahankan pada
batas yang di tentukan.
Rasionalisasi : air dalam botol penampung berfungsi sebagai
segat yang mencegah udara atmosfer masuk dalam pleura.
9) Observasi gelembung udara dalam botol penampung.
Rasionalisasi : gelembung udara selama eksparasi menjukkan
keluarnya udara dari pleura sesuai dengan yang diharapkan.
Jumlah
gelembung
biasanya
menurun
seiring
dengan
bertambahnya ekspansi paru. Tidak adanya gelembung udara
dapat menunjukkan bahwa ekspansi paru sudah optimal atau
tersumbatnya selang drainase.
10) Setelah WSD dilepas, tutup sisi tabung dengan kasa steril dan
observasi tanda yang dapat menunjukkan berulangnya
pneumutoraks, seperti napas pendek dan keluhan nyeri.
Rasionalisasi : deteksi dini terjadinya komplikasi adalah hal yang
sangat penting, seperti menandai berulangnya pneumotoraks
.
3. Diagnosis 3
Resiko tinggi ganguan pertukaran gas yang berhubungan dengan
penurun an jaringan efektif paru, atelektasis, kerusakan membran
alviolar-kapiler, dan idema bronchial.
a. Tujuan : gangguan pertukarn gas tidak terjadi
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien melaporkan adanya penurunan dipsnea.
2) Pasien menunjukkan tidak ada gejala distes pernapasan
3) Menunjkkan perbaikan ventilasi dan kadar oksigen jaringan
adekuat
dengan gas darah arteri dalam rentan normal.
c. Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya
pernapasan, ekspansi toraks, dan kelemahan.
Rasionalisasi : TB mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian
kecil bronkhopneumonia sampai implamasi difus yang luas,
nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang juga luas. Efeknya pada
pernapasan bervariasi dari gejala ringan, dispnea berat, sampai
distres pernapasan.
2) Evaluasi perubahan tingkat kesadaaran, catat sianosis dan
perubahan warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Rasionalisasi : akumolasi sekret dan berkurangnya jaringan paru
yang sehat dapat mengganggu oksigenasi organ vital dan
jaringan tubuh.

3) Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi,


khususnya untuk pasien dengan fibrosi dan kerusakan parenkim
paru.
Rasionalisasi : membuat tahanan melawan udara luar untuk
mencegah kolaps atau enyempitan jalan napas, sehingga
membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi
napas pendek.
4) Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan
peraawatan diri sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama perioden
penurunan pernapasan, selain dapat menurunkan beranya gejala.
5) Kolaborasi tirah baring, batasi aktivitas, dan batu kebutuhan
peraawatan diri sehari hari sesuai keadaan pasien.
Rasionalisasi : menurunkan konsumsi oksigen selama periode
penurunan pernapasan dan dapat menurunkan beratnya gejala.
6) Kolaborasi permeriksaan AGD.
Rasionalisasi : penurunan kadar O2(PO2) dan atau saturasi
peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk intervensi atau
perubahan program terapi.
7) Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.
Rasionalisasi : terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang
terjadi akakibat peurunan ventilasi atau menurunnya penurunan
alveolar paru.
8) Kortikosteroid.
Rasionalisasi : kortiosteroid berguna dengan keterlibatan luas
pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi mengancam
kehidupan.
4. Diagnosis 4
Perubahan nutrisi, yakni asupan zat gizi yang kurang dari
kebutuhan tubuh, berhubungan dengan keletihan, anoreksia,
dispnea, dan peningkatan metabolisme tubuh.
a. Tujuan : asupan (intake)nutrisi pasien terpenuhi.
b. Kriteria Hasil :
1) Pasien dapat mempertahankan status gizinya yang semula
kurang menjadi memadai.
2) Pernyataan motivasi kita untuk memenuhi kebutuhan
nutrisinya.
c. Intervensi
1) Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, derajat
penurunan berat badan, integrasi mukosa oral, kemampuan
menelan, riwayat mual atau muntah, dan diare.
Rasionalisasi : memvalidasi dan menetapkan derajat masalah
untuk menetapkan pilihan interensi yang tepat.

2) Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang disukai


pasien (sesuai indikasi).
Rasionalisasi : memperhitungkan keinginan individu dapat
memperbaiki asupan gizi.
3) Pantauan dan output makanan dan timbangan berat badan
secara priodik (sekali seminggu)
Rasionalisasi : berguna untuk mengukur keefektifan asupan gizi
dan dukungan cairan.
4) Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah
makan, seta sebelum dan sesudah intervensi atau pemeriksaan
per oral.
Rasionalisasi : menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan,
sisa spuntum, atau obat pada pengobatan sistem pernapasan
yang dapat merangsang pusat muntah.
5) Fasilitas pemberian diet TKTP, berikan dalam porsi kecil tapi
sering.
Rasionalisasi : memaksimalkan intake nutrisi tanpa kelelahan dan
energi besar, serta menurunkan iritasi saluran cerna.
6) Kolaborasi dengan ahli giza untuk menetapkan komposisi dan
jenis diet yang tepat.
Rasionnalisasi : merencanakan diet dengan kandungan gizi yang
cukup untuk memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori,
sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
7) Kolaborasi untuk pemerikasaan laboratorium, khususnya BUN
(blood urea nitrogen), protein serum dan albumin.
Rasionalisasi : menilai kemajuan terapi diet dan membantu
perencanaan intervensi selanjutnya.
8) Kolaborasi untuk pemberian moltivitamin.
Rasionalisasi : moltivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
vitamin yang tinggi sekunder dari peningkatan aju metabolisme
umum.
5. Diagnosis 5
Kecemasan yang berhubungan dengan adanya ancaman yang
dibayangkan (ketidak mampuan untuk bernapas) dan prognosi
penyakit yang belum jelas.
a. Tujuan
pasien mampu memahami dan menerima keadaannya, sehingga
tidak muncul kecemasan yang berlebihan.
b. Kreteria Hasil
Pasien terlihat mampu bernapa secara normal dan mampu
beradaptasi dengan keadannya. Respon non verbal pasien
tampak lebih rileks dan santai.
c. Interensi

1) Bantu dalam mengidentifikasi sumber coping yang ada.


Rasionalisasi : pemanfaatan sumber coping yang ada secara
konstruktif, sangat bermanfaat dalam mengatasi stres.
2) Ajarkan teknik relaksasi
Rasionalisasi : mengurangi ketegangan otot dan kecemasan
3) Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dengan
pasien.
Rasionalisasi : hubungan saling ercaya membantu memperlancar
proses terapiotik.
4) Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.
Rasionalisasi : tindakan secara tepat diperlukan dalam mengatasi
masalah yang sedang dihadapi pasien dan membangun
kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.
5) Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.
Rasionalisasi : rasa cemas merupakan efek dari emosi, sehingga
apabila sudah teridentifikasi dengan baik, perasaan yag
mengganggu dapat diketahu.
6. Diagnosis 6
Kurangnya informasi dan pengetahuan mengenai kondisi maupun
aturan pengobatan, berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan di
rumah.
a. Tujuan : pasien mmpu melaksanakan apa yang telah
diinformasikan.
b. Kriteria hasil.
Pasien terlihat mengalami penurunan potensi penularan penyakit,
yang ditunjukkan oleh kegagalan kontak pasien.
c. Intervensi
1) Kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat
kecemasan, kelelahan umum, engetahuan pasien sebelumnya,
dan suasana yang tepat)
Rasionalisasi : keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh
kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan kondusif.
2) Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang
diharapkan, dan alasan mengapa pengobatan TB berlangsung
dalam waktu lama.
Rasionalisasi : meniningkatkatkan partisipasi pasien dalam
program pengobatan dan mencegah putus obat karena
membaiknya kondisi fisik pasien sebelum jadwal terapi selesai.
3) Ajarkan dan nilai kemamuan pasien untuk mengidentifikasi
gejala atau tanda reaktifitas penyakit (hemoptisis, demam, nyeri
dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran dan vertigo).

Rasionalisasi : dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses


penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi lanjut.
4) Tekankan pentingna mempertahankan asupan nutrisi yang
mengandung protein dan kalori yang tinggi, serta asupan cairan
yang cukup setiap hari.
Rasionalisasi : diet TKTP (tinggi kalori dan tinggi protein) dan
cairan yang adekuat memenuhi peningkatan kebutuhan
metabolik tubuh. Pendidikan kesehatan tentang hal itu akan
meningkatkan
kemandirian
pasien
dalam
perawatan
penyakitnya.
7. Diagnosis 7
Infekai merupakan resiko tinggi (penyebaran/aktivasi ulang) yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan/tambahan infeksi.
a. Tujuan : infeksi karena jaringan/tambaham infeksi dapat
teratasi
b. Kriteria Hasil
1) Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
resiko penyebaran infeksi.
2) Menunjukkan teknik atau melakukan pola hidup untuk
meningkatkan lingkungan yang aman.
c. Intervensi
1) Kajian patologi penyakit (aktif/fase tak aktif, yakni diseminasi
infeksi melalui bronkus untuk membatasi jaringan atau melalui
aliran darah/sistem limfatik) dan potensi penyebaran infeksi
melalui butiran-butiran (droplet) udara selama batuk, bersin,
meludah, bicara, tertawa, dan menyanyi.
Rasionalisasi : membantu pasien menyadari/menerima perlunya
mematuhi program pengobatan untuk mencegah pengaktifan
berulng/koplikasi. Pemahaman bagai mana penyakit itu
disebarkan dan kesadaran mengenai transmisi, akan membantu
pasien atau orang terdekat untuk mengambil langkah dalam
mencegah infeksi ke orang lain.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko, contoh anggota rumah,
sahabat karib, atau teman.
Rasionalisasi : orang orang yang masuk dalam kelompok ini perlu
mendapat program terapi obat untuk mencegah penyebaran atau
terjadinya infeksi.
3) Anjuran pasien untuk menutup batuk/bersin dengan tisu. Minta
mereka untuk menghindri meludah. Gunaka tisu sekali pakai dan
ajarkan tatacar mencuci tangan yang tepat. Dorong pasien untuk
mengulangi arahan tersebut untuk memastikan bahwa dia benarbenar mengerti.

Rasionalisasi : perilaku-perilaku tersebut dilakukan untuk


mencegah infeksi.
4) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara dan contoh
penggunaan masker atau isolasi pernapasan.
Rasionalisasi : dapat membantu menurunkan rasa terisolasi
pasien dan membuang stigma sosial, sehubungan dengan
penyakit menular.
5) Awasi suhu sesuai indikasi
Raionalisasi : reaksi demam merupakan indiktor adanya infeksi
lebih lanjut.
6) Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan
berulang kuman tuber kolosis, adanya tahanan/tekanan dari
organ bawah paru-paru (alkoholisme, malnutrisi, atau bedah
bypas intestinal), penggunaan obat penekan imun/kortikosteroid,
adanya gejala diabetes mellitus dan kanker, serta konsumsi
kalium.
Rasionalisasi : pengetahuan tentang faktor-faktor ini dapat
membantu pasien untuk mengubah pola hidup yang kurng sehat
dan menghindari/menurunkan insiden eksaserbasi.
7) Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Raionalisasi : periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi
awal, tetapi adanya rongga atau penyakit dan resiko penyebaran
infeksi dapat berlanjut sampai tiga bulan.
8) Kaji pentingnya mengikuti kultur ulang secara periodik
terhadap spuntum untuk lamanya terapi.
Rasionalisasi : alat dalam pengawasan efek, begitu juga
keefektifan obat serta respon pasien terhadap terapi.
9) Dorong pasien untuk memilih atau mencerna makanan
seimbang. Berikan makanan kecil diantara makanan besar secara
tepat.
Rasionalisasi : adanya anoreksia atau malnutrisi sebelumnya
merendahkan terhadap tahap proses infeksi dan mengganggu
penyembuhan. Makanan kecil dapat meningkatkan pemasukan
tersebut.
d. Kolaborasi
1) Pemberian Pirainamida (PZA atau Aldinamide), paraamino
salicic (PAS), silokserin (seromicin), dan streptomycin (strisin).
Rasionalisasi : obat sekunder tersebut diperlukan bila kuman
infeksi resisten atau tidaktoleran terhadap obat primer.
2) Awasi pemerikasaan labratorium, contoh hasil usap spuntum.
Rasionalisasi : pasien yang mengalami tiga usapan negatif
(memerlukan 3-5 bulan), perlu menaati program konsumsi obat
hingga gajal-gejala asimpromatik dipastikan tidak menyebar.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan saran
Berdasarkan hasil pemeriksaan menyeluruh, yang meliputi
anamnesis (yang juga mencakup tanda dan gejala serta riwayat
penyakit), maka pasien didiagnosis menderita tuberkulosis jika
telah menunjukkan gejala gejalanya.
Pasien harus minum obat secara teratur dan melanjutkan terapi
pengobatan hingga dinyatakan benar sembuh. Pasien harus sabar
dan taat. Anggota keluarga harus memeriksakan dahaknya dan
gar harus memperhatikan serta motifasi pasien tetap konsisten
dalam menjalani pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai