TRIYANI BUDIANTO
I. Pendahuluan
Dalam rangka pelayanan dan kemudahan bagi Wajib Pajak, formulir Surat
Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor di lingkungan DJP dan
tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang
diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Dikecualikan dari kewajiban pembukuan,
tetapi diwajibkan melakukan pencatatan bagi Wajib Pajak orang pribadi
yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
11) Wajib Pajak berhak memberikan kuasa khusus kepada orang lain
yang dipercayainya untuk mewakilinya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas (berstatus sebagai karyawan) dan hanya bekerja pada
satu pemberi kerja tidak memiliki kewajiban untuk membayar pajak
sendiri setiap bulan atas penghasilan yang diterima/ diperoleh
sehubungan dengan pekerjaan. WP Orang Pribadi ini juga tidak memiliki
kewajiban untuk membuat laporan (Surat Pemberitahuan Masa) ke Kantor
Pelayanan Pajak setiap bulan.
SPT Tahunan PPh Orang Pribadi ini paling lambat harus dilaporkan 3
bulan setelah berakhirnya tahun pajak (pada tanggal 31 Maret tahun
berikutnya). Jika Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT 1770-S
tersebut maka akan dikenakan sanksi administrasi atas keterlambatan
sebesar Rp 100.000,-. Besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT
PPh OP ini dalam RUU Pajak th 2005 diusulkan menjadi sebesar Rp
250.000,-
Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT
tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan negara diancam dengan sanksi pidana dan
denda. Bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar karena kealpaannya, diancam dengan
sanksi pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda
paling tingi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
Sementara bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan
surat pemberitahuan atau menyampaikan surat pemberitahuan dan atau
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam (enam) tahun dan denda paling tinggi 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, baik karena bekerja pada lebih
dari satu pemberi kerja maupun memiliki penghasilan lain selain dari
pekerjaan dan penghasilan lain tsb bukan merupakan obyek PPh final,
maka selain diwajibkan untuk melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga
memiliki kewajiban untuk membayar dan melaporkan PPh pasal 25 setiap
bulan.
Besarnya PPh Pasal 25 yang harus dibayar oleh wajib pajak dihitung
berdasarkan PPh yang terutang dalam SPT Tahunan tahun sebelumnya
setelah dikurangi dengan pemotongan yang dilakukan pihak lain yang
dapat dikreditkan dan dibagi 12 (dua belas).
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 25 adalah tanggal 15 bulan
berikutnya. Jika jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pembayaran
Angsuran PPh pasal 25 ini, wajib dilaporkan ke kantor pelayanan
pajak tempat wajib pajak terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan
berikutnya. Apabila jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur maka
penyampaian SPT Masa PPh pasal 25 harus dilakukan pada hari kerja
sebelumnya.
Apabila wajib pajak terlambat melakukan pembayaran PPh pasal 25, maka
akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2%/bulan, maksimum 24 bulan
(48%). Sedangkan atas keterlambatan penyampaian SPT Masa PPh 25 akan
dikenakan sanksi sebesar Rp 50.000/ SPT Masa. Seperti halnya dengan
sanksi keterlambatan penyampaian SPT Tahunan, dalam RUU Perpajakan th
2005 besarnya sanksi keterlambatan penyampaian SPT masa diusulkan
menjadi sebesar Rp 100.000,-/ SPT Masa.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas (WPOP Karyawan) yang memperoleh penghasilan
lain selain dari satu pemberi kerja, dan memiliki penghasilan lain
yang merupakan obyek PPh final, maka selain diwajibkan untuk
melaporkan SPT Tahunan (SPT 1770-S) juga memiliki kewajiban untuk
membayar dan melaporkan PPh final pasal 4 (2).
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.
Bagi wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan Usaha atau
pekerjaan bebas, setelah terdaftar di kantor pelayanan pajak dan
memperoleh NPWP maka akan memiliki kewajiban pajak yang harus
dilaksanakan. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas selaku pemberi kerja selain diwajibkan untuk
membayar dan melaporkan pajak yang terutang atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya sendiri juga diwajibkan untuk menyetorkan
dan melaporkan PPh yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan
atau terutang kepada karyawannya.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh wajib pajak Orang Pribadi yang
melakukann kegiatan usaha/pekerjaan bebas setelah memperoleh NPWP
adalah sebagai berikut :
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha/pekerjaan bebas terdiri dari :
PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya
angsuran PPh Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak
yang lalu, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong/dipungut
oleh pihak lain dan PPh yang terutang/dibayar diluar negeri yang
dapat dikreditkan; dibagi 12 (dua belas)
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
PPh pasal 21/26 merupakan PPh yang terutang atas penghasilan berupa
gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan
yang dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi. Berdasarkan ketentuan
Pasal 21 Undang-undang PPh, PPh Pasal 21 wajib dipotong, disetor dan
dilaporkan oleh pemotong pajak, yaitu : pemberi kerja, bendaharawan
pemerintah, dana pensiun, badan, perusahaan dan penyelenggara
kegiatan.
SPT Masa PPh Pasal 21/26 juga merupakan SPT Masa yang wajib
disampaikan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan
usaha/pekerjaan bebas meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21/26 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21/26,
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk
satu SPT Masa.
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tertentu tersebut diatas yang
telah ditunjuk Dirjen Pajak, akan mendapatkan urat Penunjukan Sebagai
Pemotong PPh Pasal 23 dari Kantor Pelayanan Pajak tempat WP teraftar.
WPOP tertentu yang telah ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, Wajib
memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran berupa sewa.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang memperoleh penghasilan yang merupakan obyek PPh
final, maka diwajibkan untuk membayar dan melaporkan PPh final pasal
4 (2) yang tertuang atas penghasilan tersebut.
Jenis penghasilan lain yang merupakan obyek PPh final dan pembayaran
PPh-nya wajib dilakukan sendiri oleh penerima penghasilan (Wajib
pajak) adalah sebagai berikut :
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (SPT 1770), Wajib
Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas
selaku pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan
PPh pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh
Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun
bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Setelah wajib pajak terdaftar di KPP dan memiliki NPWP, maka memiliki
kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa/ bulanan ke
kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak terdaftar. Jenis SPT Masa
yang harus disampaikan oleh wajib pajak badan terdiri dari :
Bagi wajib pajak yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari
usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan (Wajib Pajak
baru), besarnya Angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan Pajak
Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas
penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
Bagi Wajib Pajak Badan selain yang bergerak dibidang usaha pengalihan
hak atas tanah dan atau bangunan, apabila melakukan transaksi
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib menyetor PPh yang
terutang atas pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan. Besarnya
PPh yang terutang adalah 5% dari nilai tertinggi antara nilai
transaksi dengan nilai NJOP. PPh yang terutang atas transaki
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan merupakan uang muka pajak
yang dapat dikreditkan dalam PPh Badan pada akhir tahun.
Wajib pajak badan selaku pemberi kerja yang membayarkan gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam
bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh waib pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21. Batas waktu penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10
bulan berikutnya, namun apabila tanggal 10 jatuh pada hari libur maka
penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Sedangkan
batas waktu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 adalah 20 hari setelah
berakhirnya masa pajak (tanggal 20 bulan berikutnya), apabila tanggal
20 jatuh pada hari libur, maka penyampaian SPT Masa PPh pasal 21
harus dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 21 juga merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan
oleh Wajib Pajak Badan meskipun tidak terdapat penyetoran PPh Pasal
21/26 (SPT Nihil). Apabila Wajib pajak tidak menyampaikan SPT Masa
PPh Pasal 21 atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21, maka
akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000,- untuk satu SPT
Masa.
Bagi Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP) diwajibkan untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak atas Penjualan Barang Mewah (PPn BM) serta menyampaikan SPT
Masa PPN. Jatuh tempo penyetoran PPN adalah setiap tanggal 15 bulan
berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT Masa PPN adalah 20
hari setelah berakhirnya masa pajak (tgl 20 bulan berikutnya).
Seperti halnya pembayaran PPh Masa, apabila jatuh tempo penyetoran
PPN jatuh pada hari libur, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari
kerja berikutnya. Sedangkan untuk pelaporan, apabila batas waktu
pelaporan jatuh pada hari libur maka penyampaian SPT Masa PPN wajib
dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPN merupakan SPT Masa yang wajib disampaikan oleh Wajib
Pajak yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, meskipun
Nihil. Apabila Wajib yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena
pajak tidak menyampaikan atau terlambat menyampaikan SPT Masa PPN
maka akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp 50.000 untuk satu
SPT Masa.
PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 23) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 23; yaitu
badan pemerintah, subyek pajak badan dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan wajib pajak luar negeri
lainnya; yang membayar/ memberikan penghasilan yang merupakan obyek
PPh pasal 23.
PPh yang terutang atas penghasilan tersebut (PPh Pasal 26) wajib
dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh pemotong PPh Pasal 26.
Pemotong PPh Pasal 26 yaitu badan pemerintah, subyek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap atau perwakilan
wajib pajak luar negeri lainnya; yang membayar/memberikan penghasilan
yang merupakan obyek PPh pasal 26.
Batas waktu penyetoran PPh Pasal 23/26 oleh pemotong PPh adalah
tanggal 10 bulan berikutnya, sedangkan batas waktu penyampaian SPT
Masa PPh pasal 23/26 adalah anggal 20 bulan berikutnya. Apabila
tanggal jatuh tempo penyetoran PPh pasal 23/26 jatuh pada hari libur
maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Namun
apabila tanggal jatuh tempo pelaporan jatuh pada hari libur, maka
laporan harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
SPT Masa PPh Pasal 23/26 hanya wajib dilaporkan ke KPP apabila
terdapat pembayaran yang terutang PPh Pasal 23/26. Dengan demikian
tidak terdapat SPT Masa PPh pasal 23/26 Nihil.
Batas waktu pembayaran PPh Final PS 4 (2) atas transaksi ini adalah
tanggal 15 bulan berikutnya. Sedangkan batas waktu pelaporan adalah
tanggal 20 bulan berikutnya.
SPT Masa PPh Final hanya wajib dilaporkan oleh wajib pajak badan
apabila terdapat transaksi yang berhubungan dengan obyek PPh final,
sehingga tidak ada SPT Masa PPh Final Nihil.
Selain melaporkan SPT Tahunan PPh Badan, Wajib Pajak Badan selaku
pemotong PPh pasal 21 juga diwajibkan menyampaikan SPT Tahunan PPh
pasal 21. Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir,
Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21
yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 UU PPh.
Abstrak
Pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan oleh pengusaha dalam hal
terjadi pemutusan hubungan kerja. Pesangon yang diterima/ diperoleh karyawan adalah
penghasilan yang merupakan obyek PPh Pasal 21. Dalam memenuhi kewajibannya untuk
membayar pesangon yang menjadi hak karyawan terdapat beberapa cara yang lazim
digunakan oleh pengusaha. Perbedaan cara dalam memenuhi kewajiban tersebut akan
mempunyai konsekuensi perpajakan yang berbeda.
Keywords : Pesangon; Lembaga Pengelola Dana Pesangon; PPh atas Uang Pesangon
Pendahuluan
Dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar pesangon, terdapat beberapa cara yang
dapat digunakan oleh pengusaha (pemberi kerja). Pada umumnya perusahaan
membayarkan uang pesangon secara langsung kepada karyawan pada saat adanya
pemutusan hubungan kerja. Namun ada pula perusahaan tidak membayarkan uang
pesangon secara langsung kepada karyawan, tetapi menunjuk pihak ketiga untuk
mengelola dana pesangon yang menjadi kewajiban perusahaan. Pihak ketiga yang
ditunjuk sebagai pengelola dana pesangon bisa berupa Lembaga Pengelola Dana
Pesangon yang dibentuk oleh perusahaan sendiri, Pengleola dana pesangon bukan bank
maupun diserahkan kepada bank.
Imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima/diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan
dalam bentuk lainnya (termasuk uang pesangon) merupakan obyek Pajak penghasilan.
Berdasarkan pasal 21 undang-undang PPh, pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak
atas penghasilan yang diterima/diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi sehubungan
dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun dilakukan
oleh pemberi kerja yang membayar penghasilan tersebut.
Perlakuan perpajakan atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun dan
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun
2000 tanggal 23 Desember 2000.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 149 tahun 2000 atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berupa uang pesangon, uang
tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan
sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final oleh pihak-pihak yang
membayarkan.
Tabel 1 : Tarif PPh pasal 21 final atas Uang Pesangon, Tebusan Pensiun, Tunjangan Hari
Tua/ Jaminan Hari Tua.
Sebagai perbandingan, berikut ini penulis sajikan besarnya uang pesangon yang menjadi
hak tenaga kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 150/Men/2000 dan
menurut undang-undang No 13 tahun 2003.
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja dan perusahaan melakukan pembayaran
pesangon yang menjadi kewajibannya secara langsung kepada tenaga kerja, maka
perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong dan menyetorkan PPh pasal 21 (PPh
final) yang terutang atas pesangon. Besarnya PPh Pasal 21 dihitung sesuai dengan tarif
dalam tabel 1 tersebut diatas.
Atas pembayaran uang pesangon ini perusahaan dapat membebankan sebagai biaya/
pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh badan
terutang (merupakan deductable expenses).
Apabila perusahaan telah membentuk cadangan untuk dana pesangon sebelum terjadinya
pemutusan hubungan kerja, maka atas pembentukan cadangan dana pesangon belum
terutang PPh Pasal 21. Selain itu, pembentukan cadangan dana pesangon tersebut tidak
dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung penghasilan kena pajak dan PPh
badan (merupakan non deductable expenses)
Perlakuan Perpajakan atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana
pesangon tenaga kerja.
Menurut KEP-350/PJ./2001 yang dimaksud pengelola dana pesangon adalah badan yang
ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola uang pesangon yang selanjutnya
membayarkan uang pesangon tersebut kepada karyawan dari pemberi kerja yang
bersangkutan pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Pengalihan tanggung jawab untuk membayar uang pesangon yang menjadi hak Tenaga
kerja kepada pengelola dana pesangon dapat dilakukan oleh perusahaan melalui
pembayaran uang pesangon secara sekaligus maupun secara bertahap.
a) Pembayaran Uang Pesangon Dilakukan Secara Sekaligus.
Apabila pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada
pengelola dana pesangon tenaga kerja dilakukan oleh perusahaan secara sekaligus, maka
pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola dana
pesangon tenaga kerja karyawan dianggap telah menerima hak atas manfaat uang
pesangon. Dengan demikian pemberi kerja memiliki kewajiban untuk melakukan
pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang atas uang pesangon yang dialihkan pada saat
terjadinya pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.
PPh pasal 21 yang terutang atas pembayaran uang pesangon pada saat terjadinya
pengalihan uang pesangon kepada pengelola dana pesangon merupakan PPh 21 Final.
Besarnya PPh yang harus dipotong oleh pemberi kerja (perusahaan) adalah sesuai dengan
tariff pada table 1 diatas.
Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang akan diberikan oleh
pengelola dana pesangon tenaga kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadinya
PHK terlebih dahulu harus dipotong PPh sebagai berikut :
a. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank, maka dipotong PPh sebesar
15% dari jumlah bruto sebagaimana diatur dalam pasal 23 (1) huruf a Undang-undang
PPh.
b. Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh sebesar 20% dari
jumlah bruto berdasarkan ketentuan pasal 4 (2) Undang-undang PPh dan PP No 131
tahun 2000.
Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada
karyawan tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena PPh pasal 21-nya telah
dibayar pada saaat pengalihan uang pesangon dari pemberi kerja kepada badan pengelola
dana pesangon tenaga kerja.
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 wajib diberikan oleh pemberi kerja (perusahaan) kepada
karyawan pada saat dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran uang pesangon
secara sekaligus kepada pengelola dana pesangon. Bukti Pemotongan ini dapat digunakan
sebagai bukti bahwa pemotongan pajak telah dilakukan pada saat dana dialihkan
sehingga saat membayar uang pesangon kepada karyawan, pengelola dana pesangon
tidak perlu memotong PPh Pasal 21 lagi.
Dalam hal pembayaran uang pesangon yang menjadi hak tenaga kerja dialihkan kepada
pihak ketiga dilakukan secara sekaligus, pemberi kerja dapat membebankan uang
pesangon tersebut sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan Kena pajak pada saat
terjadinya pengalihan tanggung jawab kepada pengelola dana pesangon.
Perlakuan PPh pasal 21 atas uang pesangon yang dialihkan kepada pengelola dana
pesangon secara bertahap adalah sebagai berikut :
1. Pada saat tanggung jawab pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pengelola
dana pesangon tenaga kerja melalui pembayaran uang pesangon secara bertahap, pemberi
kerja tidak melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembentukan uang pesangon
tersebut
2. Pada saat pengelola dana pesangon tenaga kerja membayar uang pesangon kepada
karyawan, pengelola dana pesangon tenaga kerja wajib melakukan pemotongan PPh
Pasal 21. PPh pasal 21 yang harus dipotong oleh pengelola dana pesangon merupakan
PPh pasal 21 final. Besarnya PPh pasal 21 yang harus dipotong adalah sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah No 149 tahun 2000 dan KMK No.112/KMK.03/2001
(seperti tabel 1 diatas).
3. Bunga atas tabungan uang pesangon merupakan hak karyawan yang harus diberikan
oleh pengelola dana pesangon tenaga kerja bersamaan dengan pembayaran uang
pesangon kepada karyawan yang bersangkutan. Atas pembayaran bunga ini terutang PPh
sebagai berikut :
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bukan bank maka dipotong Pajak
Penghasilan sebesar 15% dari jumlah bruto, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1)
huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan
• Dalam hal pengelola dana pesangon adalah bank maka dipotong PPh Final sebesar 20%
dari jumlah bruto berdasarkan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak
Penghasilan dan PP no 131 tahun 2000.
Dalam hal pembayaran uang pesangon dialihkan kepada pihak ketiga secara bertahap,
meskipun pemotongan PPh Pasal 21 baru dapat dilakukan pada saat pembayaran uang
pesangon kepada karyawan yang bersangkutan, namun pembebanan sebagai biaya dalam
menghitung penghasilan kena pajak bagi pemberi kerja telah dapat dilakukan pada saat
pengalihan tanggung jawab pembayaran uang pesangon tersebut.
Penutup
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan PPh atas pembayaran uang
pesangon/tebusan pensiun adalah sebagai berikut :
1) Pesangon merupakan penghasilan bagi karyawan yang dikenakan PPh pasal 21 dan
merupakan deductable expense bagi perusahaan.
2) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang dibayarkan secara langsung oleh
pemberi kerja pada saat terjadinya pemutusan hubungan kerja adalah pada saat pesangon
tersebut terutang/dibayarkan kepada tenaga kerja.
3) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan secara
sekaligus kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja adalah pada saat pengalihan
tanggungjawab pembayaran pesangon kepada pengelola dana pesangon. Pada saat
terjadinya pemutusan hubungan kerja, pesangon yang dibayarkan oleh pengelola dana
pesangon tidak lagi dikenakan PPh pasal 21.
4) Saat terutangnya PPh Pasal 21 atas pesangon yang pembayarannya dialihkan kepada
pengelola dana pesangon tenaga kerja secara bertahap adalah pada saat pesangon
dibayarkan kepada karyawan.
5) Jika Pengelola dana pesangon bukan bank, bunga tabungan dana pesangon yang
diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh pasal 23 dengan tariff 15%
6) Jika Pengelola dana pesangon adalah wajib pajak bank, bunga tabungan dana
pesangon yang diterima/diperoleh karyawan merupakan obyek PPh Pasal 4 (2) dengan
tariff 20%.
Daftar Pustaka
Peraturan Pemerintah Nomor 149 tahun 2000 tanggal 23 Desember 2000 tentang
Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan
Pensiun dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua
Dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
dalam negeri diberikan pengurang berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) disesuaikan dengan banyaknya anggota
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya bagi wajib pajak yang bersangkutan.
Dalam tulisan ini, penulis mengulas tentang Tanggungan Wajib Pajak yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung besarnya Penghasilan tidak kena pajak.
Besarnya PTKP
Penghasilan tidak kena pajak merupakan pengurang yang diberikan untuk menghitung
besarnya Laba Kena Pajak (penghasilan kena pajak) bagi Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri. Penghasilan tidak kena pajak diberikan bagi wajib pajak orang pribadi,
baik yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun wajib pajak yang
tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas.
Besarnya Penghasilan tidak kena pajak telah mengalami beberapa kali perubahan.
Besarnya PTKP yang berlaku sejak tahun pajak 2005, sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan No KMK-564/KMK.04/2004 tanggal 29 November 2004
adalah sebagai berikut :
a. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak;
b. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang
kawin;
c. Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) tambahan untuk seorang isteri yang
penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
d. Rp 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak anqkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap
keluarga.
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Disamping untuk dirinya, kepada Wajib Pajak yang sudah kawin diberikan tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau
memperoleh penghasilan yang digabung dengan penghasilannya, maka Wajib Pajak
tersebut mendapat tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri sebesar
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, mertua, anak
kandung, anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling
banyak 3 (tiga) orang.
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan menurut keadaan
Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak.
Contoh :
Pada tanggal 1 Januari 2001 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan tanggungan 1 (satu)
orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1 Januari 2001, maka besarnya
Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan Wajib Pajak B untuk tahun pajak 2001
tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan 1 (satu) anak.
Pada tanggal 2 Januari 2001 Orang Tua Wajib Pajak C (yang di tanggung sepenuhnya
oleh C) meninggal dunia. Wajib Pajak C telah menikah tahun 1999 dan mempunyai
seorang anak yang lahir pada tahun 2000. Karena Orang Tua C meninggal tanggal 2
Januari 2001, maka untuk tahun 2001 PTKP bagi wajib pajak C tetap memperhitungkan
Oangtuanya sebagai tambahan tanggungan atau dianggap sebagai K/2
Tambahan PTKP Untuk Anggota Keluarga Sedarah dan Semenda yang menjadi
tanggungan
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya diberikan
tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk paling banyak 3 (tiga) orang. Yang
dimaksud dengan anggota keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya adalah anggota
keluarga yang tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh
Wajib Pajak.
Dalam Garis lurus, dibedakan garis lurus kebawah dan garis lurus keatas. Garis lurus
kebawah merupakan hubungan antara bapak-asal dan keturunannya; sedangkan garis
lurus keatas adalah hubungan antara seseorang dan mereka yang menurunkannya.
Sedangkan Kekeluargaan semenda adalah suatu pertalian kekeluargaan karena
perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami-istri dan kelurga sedarah dari
pihak lain. Derajat kekeluargaan semenda dihitung dengan cara yang sama seperti cara
menghitung derajat kekeluargaan sedarah.
Skema hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dapat digambarkan sebagai
berikut :
1. Hubungan Sedarah :
a. Lurus satu derajat : Ayah, Ibu, Anak kandung
b. Kesamping satu derajat : Saudara Kandung (kakak, Adik kandung)
2. Hubungan Semenda :
a. Lurus satu derajat : Mertua, Anak Tiri
b. Kesamping satu derajat : Saudara Ipar (Adik Ipar, kakak Ipar)
Berdasarkan skema tersebut, yang termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus yaitu : ayah, ibu dan anak kandung. Sedangkan yang termasuk
dalam pengertian keluarga semenda dalam garis keturunan lurus yaitu: ayah mertua, ibu
mertua dan anak tiri.
Anggota keluarga sedarah dan semenda berikut ini tidak dapat diperhitungkan sebagai
tanggungan untuk penghitungan tambahan PTKP.
• Saudara kandung, karena termasuk dalam pengertian keluarga sedarah kesamping satu
derajat;
• Saudara ipar, karena termasuk dalam pengertian keluarga semenda kesamping satu
derajat;
• Saudara dari bapak/ibu, karena tidak termasuk dalam pengertian keluarga sedarah dan
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
Dalam menghitung penghasilan kena pajak, penghasilan anak yang belum dewasa,
digabung dengan penghasilan orang tuanya. Dengan demikian, meskipun anak tersebut
telah memiliki penghasilan sendiri dalam menghitung PTKP tetap diperhitungkan sebagai
tanggungan wajib pajak (orang tuanya). Pengertian belum dewasa menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua
puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Sedangkan menurut Undang-undang pajak
adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Penghasilan yang diperoleh atau diterima anak yang telah dewasa (telah berumur 18
tahun atau lebih) akan dikenakan pajak tersendiri. Anak yang telah berumur 18 tahun atau
lebih dan telah memperoleh penghasilan sendiri, tidak lagi diperhitungkan sebagai
tanggungan dalam menghitung besarnya PTKP.
Sebaliknya apabila wajib pajak mempunyai anak yang telah berumur 18 tahun atau lebih,
tetapi masih menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak (dan belum menikah), anak
tersebut masih diperhitungkan sebagai tanggungan Wajib Pajak dalam menghitung
besarnya PTKP.
Selain untuk anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus satu
derajat, tambahan PTKP juga diberikan untuk wajib pajak yang memiliki tanggungan
anak angkat. Namun demikian jumlah tanggungan yang diperhitungkan dalam PTKP
dibatasi maksimum 3 orang.
Pengertian anak angkat dalam penghitungan PTKP bukanlah pengertian anak angkat
sebagaimana dalam masyarakat sehari-hari yaitu seorang anak yang diaku dan diangkat
sebagai anak. Dan juga bukanlah pengertian anak angkat sebagaimana dimaksud dalam
hukum perdata yang harus terlebih dahulu ada pengesahan dari Hakim Pengadilan
Negeri. Akan tetapi, Pengertian anak angkat yang dapat diperhitungkan dalam
perundang-undangan pajak ditentukan dengan kriteria sebagai berikut :
a. seseorang yang belum dewasa;
b. yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus dari Wajib
Pajak;
c. dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak.
Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung jawab dan
sebagainya, maka tidak termasuk dalam menjadi tanggungan sepenuhnya.
PTKP Untuk Karyawati Kawin dan Wajib Pajak yang Belum Menikah.
Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dapat dikurangkan adalah hanya untuk dirinya
sendiri. Namun demikian, bagi karyawati kawin yang menunjukkan keterangan tertulis
dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak
menerima atau memperoleh penghasilan, selain PTKP untuk dirinya sendiri diberikan
tambahan PTKP sebesar Rp. 1.200.000,00 setahun atau Rp. 100.000,00 sebulan dan
ditambah PTKP untuk keluarganya yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
Bagi karyawan atau karyawati yang belum berkeluarga (TK) untuk pengurangan PTKP
disamping untuk diri karyawan atau karyawati dapat pula memperoleh tambahan
pengurangan PTKP untuk anggota keluarga sedarah dan semenda, termasuk anak angkat
yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 orang.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapat diimpulkan bahwa tanggungan yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung PTKP Wajib Pajak Orang Pribadi harus memenuhi
syarat sebagai berikut :
1. Merupakan anggota keluarga sedarah atau keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus satu derajat (baik keatas maupun kebawah).
2. Anggota keluarga tersebut tidak memperoleh penghasilan dan menjadi tanggungan
sepenuhnya wajib pajak.
3. Anak yang belum dewasa, berumur kurang dari 18 tahun dan belum pernah menikah,
meskipun telah memiliki penghasilan sendiri.
4. Untuk anak angkat (Selain anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus)
yang dapat diperhitungkan dalam PTKP adalah anak angkat yang belum dewasa (kurang
dari 18 tahun) dan menjadi tanggungan sepenuhnya wajib pajak.
PTKP dihitung berdasarkan keadaan pada awal tahun. Semua perubahan jumlah
tanggungan wajib pajak (baik penambahan maupun pengurangan) yang terjadi selama
tahun berjalan diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya.
Daftar Pustaka
Belum lama ini penulis disomasi oleh Direktur Administrasi Pajak atas nama
Dirjen Pajak beserta seluruh jajarannya. Pasalnya, karena penulis tidak
dapat membuktikan tentang apa yang ditulis dalam sebuah harian nasional.
Dalam artikel itu antara lain penulis kemukakan bahwa sebagai gambaran
sangat kasar, ketika membayar pajak atas dasar self assessment, Wajib Pajak
(WP) hanya membayar maksimal 50%. Karena ini praktik umum, aparat pajak
mengetahuinya.
Aparat pajak membuat perkiraan berapa yang 'ditimpa' dan mengenakan denda.
WP lantas kaget dan mengajak berunding. Jumlah yang disepakati, sebagai
hasil perundingan, dibayar oleh WP. Oknum aparat pajak bersangkutan
menyetorkannya ke kas negara maksimal hanya 50%.
Kalau tidak bisa membuktikan, dalam waktu tujuh hari sejak diterimanya surat
somasi, penulis harus minta maaf di sebuah harian nasional. Kalau tidak,
akan ditindak secara hukum. Artinya, penulis akan dituntut di pengadilan
dengan tuduhan mendiskreditkan Ditjen Pajak. Bayangkan kalau hal itu
terjadi!
Mana tahan? Ya minta maaflah. Eh, banyak orang ngenyek penulis. Mereka
mengatakan "Kwik Kian Gie keok, sudah jinak, dan sebagainya."
Penulis menyesal lupa mencantumkan dalam iklan penulis mohon kepada Tuhan
Yang Maha Esa agar memberi ampun dan maaf kepada penulis, tetapi juga kepada
siapa pun yang membuat heboh soal somasi tersebut, kalau dalam peristiwa itu
kelakuannya didasarkan atas kebohongan. Artinya, dalam bertindak dan
bersuara, dalam batinnya yang paling dalam dan hanya Tuhan yang tahu, yang
bersangkutan, siapa pun mereka, mungkin berbohong. Kalau kebohongan terjadi,
Tuhan hendaknya mengampuni mereka.
Buku kecil ini diterbitkan sebanyak 10.000 eksemplar pada Maret 2003. Karena
habis dan banyak permintaan, diterbitkan lagi edisi ke-2 sebanyak 10.000
eksemplar dan habis lagi.
Dalam buku tersebut semua yang ditulis di sebuah harian itu dan
mengakibatkan somasi, telah ditulis secara harafiah. Tetapi ketika itu tidak
apa-apa, walaupun telah dibicarakan dengan Presiden Abdurrahman Wahid,
Presiden Megawati Soekarnoputri, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, dan
Dirjen Pajak Hadi Purnomo.
Tetapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Jadi, sekarang penulis
jelaskan sekali lagi materi dan substansinya.
Untuk menghindari somasi lagi, dengan tegas penulis nyatakan bahwa yang akan
ditulis ini adalah kondisi dari negara yang bukan Republik Indonesia. Yang
digambarkan dalam tulisan ini adalah kondisi di negara lain, yang bernama
Republik Banana, bukan Republik Indonesia. Karena itu, di Indonesia tidak
perlu ada yang merasa tersinggung, terpojok, dan terdiskreditkan!
Republik Banana (selanjutnya disebut RB) termasuk negara yang paling korup
di dunia. Walau kekayaan alamnya melimpah, tanah luas, subur, dan dua per
tiganya terdiri dari laut yang kaya raya bahan makanan bergizi, bagian
terbesar dari rakyatnya sangat miskin.
Ini karena praktik korupsi di negara itu termasuk yang paling hebat di
dunia.
Kedua, setiap kementerian dan LPND dibuat optimal juga, yaitu jumlah Ditjen,
jumlah personalianya, dan uraian tugas pokok dan fungsinya dibuat pas untuk
kementerian dan LPND bersangkutan.
Ketiga, perbandingan gaji antara satu pejabat dan pejabat lainnya dibuat
adil. Tidak seperti sekarang, Presiden Republik Banana digaji Ps59 juta
sebulan (Ps adalah singkatan dari mata uang yang namanya Pisang) tetapi
presdir dari BUMN-nya digaji Ps300 juta tanpa ada yang mempermasalahkannya.
Keempat, setelah perbandingan gaji semua pegawai negeri sipil, tentara, dan
polisi dibuat adil betul, jumlahnya dinaikkan secara proporsional, sehingga
setiap pejabat yang memiliki kuasa bisa hidup mewah dan gagah. Jadi, tidak
saja cukup tetapi hidupnya sangat bergengsi. Maksudnya, supaya tidak ada
lagi alasan sedikit pun untuk melakukan korupsi. Kelima, kalau semuanya
sudah terjadi, yang masih berani berkorupsi dihukum mati.
Hukuman mati
Hukuman mati dapat dilakukan tanpa beban. Ini karena sudah tidak ada alasan
sedikit pun untuk melakukan korupsi. Cara menentukan apakah seorang korup
atau tidak juga tidak perlu njlimet. Dengan akal sehat saja seperti yang
dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari di negara-negara yang sudah maju.
Semua ini membutuhkan biaya yang sangat besar. Pertama dibutuhkan biaya yang
besar untuk melakukan studi agar tiba pada organisasi birokrasi yang
optimal.
Dengan demikian, para pegawai tidak saja tidak keberatan bila dikenakan PHK
tetapi mereka justru ingin agar dikenakan PHK. Dari mana biaya tersebut
diperoleh? Dari utang terlebih dahulu.
Bila proyek pemberantasan korupsi ini berhasil 30% saja, pemerintah sudah
bisa memperoleh pendapatan tambahan sekitar Ps92 triliun setahun. Menurut
perhitungan sangat kasar dan atas dasar beberapa items saja, di Republik
Banana yang dikorup sudah sekitar Ps305,5 triliun. Perhitungannya akan
penulis berikan pada edisi ke-tiga dari buku yang sedang disiapkan.
TRIYANI BUDIANTO
Pendahuluan
Jika Anda belum memiliki NPWP segera hubungi Kantor Pelayanan Pajak
setempat.
Tentu kita tidak asing lagi dengan kalimat himbauan tersebut. Yaa..!!
Karena saat ini dengan mudah kita jumpai spanduk sosialisasi dan penyuluhan
pajak dari Dirjen Pajak terpampang diberbagai tempat.
Batas waktu penyampaian SPT Tahunan tahun 2004 tinggal beberapa hari lagi.
Dan saat ini hampir semua Wajib Pajak sedang sibuk dengan “hajatan” akhir
tahunnya. Barangkali sebagian Wajib Pajak sudah mengetahui berapa pajak
terutang untuk tahun 2004 serta berapa pajak yang masih harus dibayar pada
bulan Maret ini dan saat ini telah mempersiapkan untuk menyusun SPT
Tahunannya. Namun sebagian lainnya masih menunggu proses audit laporan
keuangan diselesaikan. Bahkan mungkin masih ada Wajib Pajak yang belum
selesai menyusun laporan keuangan karena berbagai sebab, sehingga saat ini
telah bersiap-siap untuk mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu
penyampaian SPT Tahunan ke kantor pajak. J.
Meskipun materi yang dilaporkan dalam SPT Tahunan telah disusun dengan baik
dan telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, namun hal itu
tidak menutup kemungkinan dengan adanya “penolakan” SPT Tahunan pada saat
disampaikan ke KPP. Menanggapi penolakan SPT tersebut, Wajib Pajak
seringkali beranggapan bahwa petugas/fiscus “mengada-ngada” atau “sengaja
mempersulit Wajib Pajak” yang akan memenuhi kewajibannya. Pendapat tersebut
tentu tidak sepenuhnya benar, namun juga tidak sepenuhnya salah J.
Penolakan SPT disebabkan oleh berbagai hal. Antara lain karena adanya
kesalahan tulis atau kesalahan hitung sehingga menyebabkan Angka-angka yang
tertera dalam lampiran SPT dengan yang tertera dalam Induk SPT tidak
sinkron, maupun karena adanya kekurangan dalam lampiran SPT Tahunan. Tidak
jarang penolakan tersebut disebabkan oleh “hal-hal kecil” yang seringkali
luput dari perhatian Wajib Pajak. Namun tidak sedikit pula penolakan SPT
yang disebabkan adanya dokumen atau lampiran lain yang diminta oleh petugas,
meskipun lampiran tersebut “tidak diharuskan” menurut ketentuan perpajakan
yang berlaku.
Dalam tulisan ini, penulis merangkum tentang beberapa dokumen yang harus
dilampirkan dalam SPT Tahunan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku
saat ini dan beberapa hal yang menyebabkan SPT Tahunan ditolak atau
dikategorikan sebagai SPT Tidak Lengkap pada saat penyampaian SPT Tahunan
tahun 2003. Tulisan ini dimaksudkan untuk menyegarkan ingatan kita mengenai
“kendala” penyampaian SPT yang terjadi tahun sebelumnya dengan harapan
hal-hal tersebut tidak terulang kembali di tahun ini.
Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan.
Dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan diatur melalui
Keputusan Dirjen Pajak No KEP-214/PJ./2001 tanggal 15 Maret 2001.
1. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari
Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi konsolidasi
grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal.
3. Lampiran Khusus :
- Daftar Penyusutan Dan Amortisasi Fiskal – Lampiran Khusus 1A
Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah:
- Daftar Biaya untuk Wajib Pajak yang tidak wajib memasukkan SPT
Tahunan Pph Badan.
Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menyelenggarakan pembukuan adalah:
1. Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari
Wajib Pajak itu sendiri berserta rekonsiliasi fiskalnya.
6. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak
menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong
pajaknya oleh pemberi kerja.
7. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing
pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan.
9. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.
11. Surat Pemberitahuan tahunan harus dilengkapi dan atau dilampiri juga
dengan keterangan dan atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau
disebutkan dalam Surat Pemberitahuan atau petunjuk pengisiannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak
Keterangan dan atau dokumen lain yang harus dilampirkan pada Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang
menyelenggarakan pencatatan adalah :
4. Fotokopi formulir 1721-A1 dan atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak
menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong
pajaknya oleh pemberi kerja.
7. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil
zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah.
Beberapa hal yang luput dari perhatian wajib pajak dan menyebabkan SPT
Tahunan tahun 2003 ditolak oleh petugas di Kantor Pelayanan Pajak atau
diterima dengan kriteria SPT tidak lengkap antara lain :
1. NPWP Pengurus dan Pemegang Saham tidak diisi (Pengurus dan pemegang
saham belum memiliki NPWP).
3. Tidak melampirkan Photocopi IKTA dalam SPT 1721 (Jika ada tenaga
kerja asing).
5. Daftar Harta dan Kewajiban tidak diisi / diisi Nihil (untuk SPT
1770)
6. Tidak melampirkan Photocopi IKTA/KITAS untuk SPT 1770-S [khusus
expatriate]
7. Nama dan NPWP Kantor Akuntan Publik serta Akuntan (Partner) yang
menandatangani Audit Report tidak dicantumkan. (Jika laporan Keuangan
diaudit)
8. Nama dan NPWP Konsultan Pajak tidak dicantuman (jika SPT dibuat oleh
konsultan pajak)
Selain hal-hal tersebut diatas juga terdapat beberapa dokumen lain yang
“seharusnya” bukan merupakan kategori kelengkapan SPT Tahunan namun
seringkali diminta oleh “Petugas di KPP” sebagai syarat agar SPT dapat
diterima sebagai SPT Lengkap. Dokumen-dokumen lain yang diminta petugas
tersebut antara lain:
9. SSP Asli Lembar ke-3, meskipun SSP Asli lembar ke-3 tsb telah
dilampirkan pada saat mengajukan permohonan perpanjangan SPT dan telah
dilampirkan salinannya.
10. Lembar Identitas WP (Pemberitahuan pembetulan Nama dan atau Alamat WP),
meskipun tidak ada perubahan Identitas WP.
12. Semua lampiran khusus SPT 1771 (Lampiran khusus 2A, 3A, 4A, 5A, 6A, Dan
lampiran khusus 7A), meskipun diisi Nihil.
13. Nomor Rekening (Bank Account) Pribadi Expatriate (SPT 1770-S Expatriate)
Permintaan dokumen lain tersebut tidak seragam di setiap KPP, bahkan dalam
satu KPP bisa berbeda perlakuan antara satu petugas dengan petugas lainnya.
Selain terdengar “aneh”, hal ini tentu juga membingungkan Wajib Pajak.
Penutup
Agar SPT tahunan tahun 2004 tidak ditolak oleh petugas di KPP, sebagai Wajib
Pajak kita harus memahami dan melaksanakan dengan baik ketentuan perpajakan
yang berlaku. Selain mengerti tentang bagaimana mengisi SPT tahunan sesuai
dengan buku petunjuk yang telah disediakan, Wajib pajak juga harus memahami
dokumen-dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT Tahunan. Meskipun SPT
tahunan telah diisi dengan lengkap dan benar serta telah dilampiri dengan
dokumen-dokumen yang harus dilampirkan, namun hal ini tidak menutup
kemungkinan adanya “penolakan” oleh petugas di KPP pada saat SPT tahunan
disampaikan. Dalam menyikapi “penolakan” tersebut, beberapa hal yang dapat
dilakukan Wajib Pajak antara lain :
1. Jika dokumen yang diminta tidak menyulitkan Wajib Pajak (missal :
Surat pernyataan Lap keuangan tidak diaudit, surat pernyataan pengurus dan
pemegang saham berdomisili di Luar Negeri, lampiran khusus 2A – 7A, lembar
identitas WP, SSP Nihil dll), tentu akan lebih baik jika Wajib Pajak
melampirkan dokumen tersebut sejak awal.
Daftar Pustaka
1. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-214/PJ./2001 tgl 15 Maret
2001 Tentang Keterangan dan atau Dokumen Lain yang Harus Dilampirkan Dalam
Surat Pemberitahuan.
www.depkeu.go.id