Anda di halaman 1dari 22

ISSN 0215 - 8250

15

PENGEMBANGAN KOMPETENSI BERPIKIR DIVERGEN DAN


KRITIS MELALUI PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
OPEN-ENDED
oleh
I Gst. Putu Sudiarta
Jurusan Pendidikan Matematika
Fakultas Pendidikan MIPA, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Perkembangan pada era informasi dan persaingan global sekarang
ini menuntut adanya kemampuan berpikir tingkat tingkat tinggi dalam
memecahkan permasalah yang kompleks dan sering tak terduga. Untuk itu
kemampuan berpikir divergen dan kritik untuk memecahkan masalah
secara mendalam, multidisiplin dan multi perspektif serta multi prosedur
adalah kebutuhan yang mendesak. Namun demikian pengertian dan
pemahaman terhadap kompetensi berpikir divergen dan kritis masih
beragam dan sering menimbulkan kebingungan. Demikian juga, bagaimana
implementasinya dalam pembelajaran di kelas. Artikel ini membahas
pengertian dan definisi kompetensi berpikir divergen dan kritis. Definisi
operasional berpikir divergen dan kritis dalam konteks pembelajaran
matematika dirumuskan, yang disertai dengan contoh bagaimana
kompetensi tingkat tinggi tersebut dirumuskan dalam bentuk komponenkomponen kompetensi serta indikatornya. Juga contoh masalah matematika
open-ended yang memungkinkan untuk mengembangkan kompetensi
tersebut dipaparkan dengan singkat tapi padat.
Kata kunci: model pembelajaran, pemecahan masalah, open-ended
problem, closed problem, kompetensi, berpikir divergent,
berpikir kritis
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

16

ABSTRACT
The new information era and global competitiveness claim the
importance of mastering the high level of competencies to solve the more
and more complex and unpredictable problems. Consequently, the high
level of thinking, namely the competencies of divergent and critical
thinking are an immediate need. This type of competencies is considered as
competence to solve problem multidisciplinary and multiplerspectively. It
includes, for example, the ability to generate a number of ideas so that there
is an increase of possible solutions or related procedures and products.
Nevertheless, the concept and the definition of divergent and critical
thinking vary and tend to confusing. Also its implementation strategy in the
classroom is unclear. This article discusses this problem briefly and tries to
construct an operational definition of divergent and critical thinking in the
context of mathematical learning and teaching. Some examples of how to
extract the concept of divergent and critical thinking into more concrete sub
competence and its indicators are described. Also a prototype of
mathematical open-ended problem solving is proposed as a learning tool
to develop that intended high level of competencies, i.e. divergent and
critical thinking.
Key words: instructional design, problem solving, open-ended problem,
closed problem, competence, divergent thinking, critical
thinking.

1. Pendahuluan
Mengembangkan kompetensi berpikir divergen dan kritis di
kalangan peserta didik merupakan hal yang penting dalam era persaingan
global ini, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam segala aspek
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

17

kehidupan modern ini semakin tinggi. Kemampuan berpikir divergen


penting untuk mencermati permasalahan dari segala perspektif, dan
mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya yang reasonable dan
viabel. Dalam hal ini, sebuah perspektif baru berkaitan dengan prinsip
kemampuan berpikir divergen perlu dijadikan pegangan dalam
pembelajaran, yaitu bukan belajar menemukan satu jawaban benar (a
correct solution) yang menjadi tujuan setiap pemecahan masalah, tetapi
bagaimana mengkonstruksi segala kemungkinan jawaban yang reasonable,
beserta segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya kenapa jawaban
tersebut masuk akal (how to construct and to defend various reasonable
solutions and its respective procedures) sehingga dapat diaplikasikan dalam
pemecahan masalah dunia nyata lainnya, yang biasanya jauh lebih
kompleks dan tak terduga. Pemikiran kritis sangat penting dalam
menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi segala argumen untuk mampu
membuat keputusan yang rasional dan bertanggungjawab. Siswa hendaknya
diarahkan untuk mencapai kompetensi tingkat tinggi (high level of
competence) melalui pengembangan kemampuan berpikir divergen dan
kritis. Dengan kata lain, setiap langkah dan proses pembelajaran hendaknya
tidak berhenti pada pencapaian basic skills (keterampilan dasar yang
biasanya didominasi oleh tugas-tugas rutin yang cukup dipecahkan dengan
pola berpikir konvergen melalui hafalan, ataupun latihan pengulangan
contoh-contoh), tetapi juga harus mengembangkan kemampuan tingkat
tinggi yang meliputi kemampuan berpikir divergen dan kritis. Namun
pengertian tentang berpikir divergen dan kritis masih sering
membingungkan, demikian juga dengan masalah implementasinya dalam
pembelajaran. Berkaitan dengan masalah ini, beberapa permasalahan utama
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

18

yang akan dibahas dalam artikel ini adalah (1) bagaimana definsi
operasional berpikir divergen dan kritis, dan (2) bagaimana
implementasinya dalam pembelajaran matematika
Terkait dengan pertanyaan pertama, beberapa literatur penting
tentang berpikir divergen dan kritis akan dibahas untuk merumuskan suatu
definisi operasional, terutama yang relevan dengan pembentukan
kompetensi matematis tingkat tinggi, yang antara lain meliputi kreativitas
berpikir yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan melalui
pemikiran divergen, kritis, dan orisinal. Sedangkan, terkait dengan
permasalahan kedua akan dibahas pendekatan pemecahan masalah openended, serta contohnya dalam pembelajaran matematika terutama yang
dapat mengembangkan kompetensi berpikir divergen dan kritis.
2. Pembahasan
Sudiarta (2004) merumuskan bahwa maskot baru pembelajaran
matematika paling tidak bercirikan 7 sebagai berikut: (1) menggunakan
permasalahan kontekstual, yaitu permasalahan yang nyata atau dekat
dengan lingkungan dan kehidupan siswa atau minimal dapat dibayangkan
oleh siswa, (2) mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
(problem solving), serta kemampuan berargumentasi dan berkomunikasi
secara matematis (mathematical reasoning and communication), (3)
memberikan kesempatan yang luas untuk penemuan kembali (reinvention)
dan untuk membangun (construction) konsep, definisi, prosedur dan rumusrumus matematika secara mandiri, (4) melatih cara berpikir dan bernalar
dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan,
explorasi, experimen, dll., (5) mengembangkan kreativitas berpikir
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

19

divergen dan kritis yang melibatkan imajinasi, dan intuisi, dan serta trialand-error, (6) menggunakan model (modelling), dan (7) memperhatikan
dan mengakomodasikan perbedaan-perbedaan karakteristik individual
siswa.
Terkait dengan butir ke- 4 dan ke-5 di atas, perlu dicermati
pengertian operasional dari berpikir divergen dan kritis, serta bagaimana
pembelajaran yang diharapkan dapat membentuk kompetensi tersebut.
Untuk itu berikut ini akan dibahas pertama-tama pengertian dan definsi dari
kompetensi berpikir divergen dan kritis tersebut, dilanjutkan dengan
pembahasan pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika
yang diharapkan dapat membangun kompetensi tersebut.
2.1 Pengertian dan Definisi Berpikir Divergen dan Kritis
Banyak hasil penelitian (misalnya Sternberg & Lubart, 1991)
menemukan bahwa pengukuran kemampuan siswa berdasarkan tes standard
konvensional tidak mampu mengukur kemampuan peserta didik secara utuh
dan menyeluruh. Hasil-hasil tes tersebut, barangkali dapat mengungkap tentang
kemampuan siswa dalam menghasilkan sebuah jawaban yang benar, tetapi
tidak tentang kemampuan berpikir tingkat tinggi yang berkaitan dengan
kreativitas siswa, terutama dengan kemampuan berpikir divergen, untuk
memecahkan masalah yang diberikan secara kreatif melalui pengkajian
multiperspektif. Lebih lanjut disimpulkan, bahwa sesungguhnya ada dua
bentuk kompetensi berpikir, yaitu (a) berpikir divergen dan (b) berpikir
konvergen.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3


TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

20

Convergent thinking

Divergent thinking

Skema berpikir divergen dan konvergen (Parnes, S. J.,1992)


Seseorang disebut memiliki preferensi berpikir konvergen jika
memikiki kemampuan dalam mengumpulkan material, informasi, skill untuk
digunakan dalam memecahkan masalah sedemikian rupa dapat dihasilkan
jawaban yang benar. Kemampuan berpikir ini sangat cocok pada pelajaran ilmu
alam, matematika, dan teknologi. Alasananya karena bidang ini membutuhkan
konsistensi, dan reliabelitas. Kemampuan ini sangat cocok diukur dengan tipe
tes standar, seperti tes-tes intelegensi, dan tes dalam ujian-ujian nasional.
Sedangkan berpikir divergen lebih tertuju pada pengembangan kemampuan
dalam menghasilkan elaborasi kreativitas dari ide-ide yang dihasilkan dari
stimulus. Berpikir divergen diklaim cenderung merupakan preferensi bagi
bidang seni dan kemanusian. Untuk mengukur kemampuan ini cocok
digunakan tes open-ended, tes-tes yang mengunakan objek-objek.
Namun Isaksen, Dorval & Treffinger (1994) mendefinisikan berpikir
divergen sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi atau menghasilkan
berbagai respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau alternatif-alternatif
untuk suatu permasalahan atau tantangan. Berpikir divergen paling tidak
menekankan (a) adanya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai ideide, (b) proses motivasi untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide yang
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

21

masuk akal, dan (c) pencarian terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tak


biasanya (non rutin) dalam mengkonstruksi ide-ide unik.
Definisi divergent thinking menurut Isaksen, Dorval & Treffinger ini
nampaknya lebih relevan dengan tema pengembangan kemampuan berpikir
divergen dan kritis dalam konteks pembelajaran matematika. Untuk itu,
definisi operasional berpikir divergen dalam artikel ini akan dibatasi sebagai
suatu kompetensi matematis yaitu kemampuan untuk menkonstruksi segala
kemungkinan jawaban, beserta prosedur dan alasannya terhadap masalah
matematika yang akan dipecahkan. Sejak bertahun-tahun kompetensi seperti
ini kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran matematika. Hal ini
disebabkan karena sampai akhir dekade terakhir ini pembelajaran matematika
masih didominasi oleh pandangan bahwa pemecahan masalah matematika
hanya berhubungan dengan pencarian jawaban tunggal (unik) yang benar,
sebab masalah matematika harus dirumuskan dengan informasi matematis
yang lengkap, sehingga jawabannya pun harus pasti dan tunggal, dengan
prosedur deduktif yang jelas. Namun sejak tahun 1970-an, Shimada
mengembangkan pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika
yang berorientasi pada pengembangan masalah matematika terbuka, yang
disusun sedemikian rupa sehingga masalah tersebut memiliki lebih dari satu
jawaban yang benar, dan dengan lebih dari satu prosedur dan argumentasi
pula. Inilah awal berkembangnya perspektif baru pembelajaran matematika,
dimana kompetensi matematis tingkat tinggi termasuk kemampun berpikir
divergen dan kritis dijadikan fokus pembelajaran matematika.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3


TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

22

Kompetensi Berpikir Kritis


Definisi berpikir kritis telah mengalami perubahan selama beberapa
dekade terakhir ini. Beberapa ahli-ahli kognitif, psikologi, dan ahli filsafat
telah mencoba memberikan beberapa definisi tentang cara berpikir kritis, di
antaranya, (1) kemampuan untuk menganalisa fakta, mengorganisasi ideide, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, membuat suatu
kesimpulan, mempertimbangkan argument, dan memecahkan masalah
(Parnes, 1992, hal. 11); (2) salah satu logika yang mencerminkan
kepercayaan seseorang dan keteguhan hati seseorang (Vehar, Firestien, &
Miller, 1989, hal. 64); (3) cara berpikir kritis meliputi pemikiran analitis
dengan tujuan untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca (Beaton, A.E.et
al.,1996, hal 175); (4) suatu proses sadar yang digunakan untuk
menginterpretasi atau mempertimbangkan informasi dan pengalaman yang
menggiring pada suatu perilaku (Confrey,1991,hal.24);
(5) proses
pemahaman dan pengevaluasian argumentasi yang aktif dan sistematis.
Sebuah argumen memberikan suatu pernyataan yang tegas tentang suatu hal
atau hubungan antara dua atau lebih hal dan bukti-bukti untuk mendukung
suatu pernyataan. Orang-orang yang memilliki daya pikir kritis mengakui
bahwa tidak hanya ada satu cara yang benar untuk memahami dan
mengevaluasi argument (Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do Carmo
Mendonco, M.,1997, hal. 4); (6) Proses intelektual aktif yang disiplin
dalam mengkonseptualisasi, mengaplikasikan, menganalisis, menguraikan,
dan atau mengevaluasi informasi yang didapat dari observasi, pengalaman,
refleksi, logika, atau komunikasi (Fuson, K., & Briars, D.,1990,hal. 5); dan
(7) Cara berpikir logis yang memfokuskan pada apa yang harus dipercayai
atau dilakukan (Hiebert, J. & Carpenter, T. P.,1992 hal. 21).
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

23

Manfaat Berpikir Kritis


Beberapa ahli psikologi kognitif (misalnya Paul Chance and Richard
Mayer dalam Howson, G. et al., 1981) telah menggambarkan prosedurprosedur dalam berpikir kritis. Mereka menulis tentang perbedaan antara
cara berpikir kritis dan aspek-aspek berpikir yang lain, seperti misalnya
cara berpikir kreatif. Beberapa ahli filsafat (seperti Richard Paul dalam
Steffe, L.P.,1991) mengingatkan bahwa cara berikir kritis adalah suatu
proses berpikir yang menuju ke suatu standar tertentu. Hanya terlibat dalam
proses berpikir kritis tidaklah cukup, cara berikir kritis haruslah dilakukan
dengan baik dan haruslah memberikan pengaruh pada perilaku kita seharihari.
Para ahli psikologi behavioural telah menemukan beberapa definisidefinisi operasional yang berkaitan dengan daya berpikir kritis. Mereka
telah meneliti tugas-tugas siswa dan metodelogi maupun strategi yang
digunakan oleh guru untuk membentuk perilaku-perilaku positif sesuai
dengan hasil akhir yang diharapkan.
Beberapa spesialis content (seperti Hickey and Mertes dalam
Lerman, S.,1994) membuktikan bagaimana cara berpikir kritis bisa
diajarkan dalam beberapa skill dan mata pelajaran yang berbeda, seperti
dalam membaca, dalam pelajaran sastra, ilmu-ilmu sosial, matematika, dan
ilmu alam. Ini adalah salah satu kontribusi yang sangat penting karena
daya berpikir kritis dapat berkembang dengan baik apabila hal tersebut
diajarkan pada saat siswa belajar content atau mata pelajaran tertentu,
dibandingkan dengan siswa harus mempelajarinya secara terpisah.
Apakah kemampuan berpikir divergen dan kritis terkait dengan
Taksonomi Bloom ?
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

24

Bloom dan beberapa rekannya (1956) menulis salah satu buku yang
sangat penting: Taksonomi Kognitif. Mereka menyatakan bahwa proses
knowing atau mengetahui sebenarnya terdiri dari 6 tingkatan hierarkis,
yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Penelitian-penelitian selama 40 tahun terakhir ini, membuktikan bahwa 4
level pertama memang benar adalah hierarkis. Yaitu mengetahui sesuatu
pada tingakatan pengetahuan
adalah lebih mudah dari tinngkatan
pemahaman, dan seterusnya sampai pada tingkatan analisis. Namun
hubungan antara tingkatan sintesis dan evaluasi tidaklah selalu hierarkis.
Bahkan, ada kemungkinan bahwa kedua level ini bisa ditukar posisinya
dalam hierarki tersebut dan ada kemungkinan juga bahwa keduanya
merupakan dua aspek yag sama sekali berbeda.
Sintesis dan evaluasi adalah dua tipe berpikir yang memiliki
beberapa kesamaan, namun berbeda dalam hal tujuan. Evaluasi (yang bisa
dianggap sebagai pemikiran kritis) berfokus pada membuat suatu penilaian
berdasarkan suatu pernyataan atau masalah. Sintesis (yang kurang lebih
sama dengan pemikiran kreatif) memerlukan pengamatan pada bagianbagian yang akan disintesis dan menemukan hubungannya, kemudian
menempatkan mereka dalam suatu perspektif yang baru.
Steedman,
P.H.,
(1991)
menyatakan
bahwa
proses
sintesis/pemikiran kreatif dan evaluasi/pemikiran kritis ini memiliki
hubungan yang setara namun berbeda. Dia mengklasifikasikan teknikteknik yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah dan penentuan
suatu keputusan dalam dua dikotomi. Pertama, satu set teknik yang
cenderung linear, berangkai, lebih terstruktur, lebih rasional, dan analitis,
serta lebih berorientasi pada tujuan; teknik-teknik ini sering digunakan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

25

untuk mengajarkan latihan-latihan berpikir kritis. Perangkat set teknik yang


kedua cenderung lebih holistik dan paralel, lebih intuitif dan emosional,
lebih kreatif, lebih visual, dan lebih kinestetik; teknik-teknik ini sering
digunakan untuk mengajarkan kemampuan berpikir kreatif. Perbedaan ini
juga berkaitan dengan kemampuan berpikir dengan menggunakan otak kiri
(analitis, serial, logis, objektif), dan otak kanan (global, paralel, emosional,
dan subyektif).
Salah satu masalah yang muncul dengan adanya definisi di atas,
adalah bahwa cara berpikir yang baik dianggap sama dengan cara
berpikir kritis. Ini berarti bahwa cara berpikir kreatif adalah komponen dari
cara berpikir kritis. Perlu dikaji secara konseptual dan empiris perluasan
definisi tersebut. Hal ini karena anggapan bahwa cara berpikir yang baik
sama dengan cara berpikir kritis juga dapat membawa dampak negatif,
yaitu kemungkinan adanya kesalahan konsep yang bisa menyesatkan bagi
para pendidik. Harus dipahami bahwa cara berpikir yang baik itu
mencakup banyak aspek. Prilaku kritis dan kreatif hanyalah salah satunya.
Berbagai cara berpikir yang digolongkan kedalam cara berpikir tidak
kritis seperti cara berpikir habitual (berpikir berdasarkan hal-hal yang
sering dilakukan sebelumnya tanpa mempertimbangkan data-data atau
perubahan yang ada); brainstorming (mengatakan apapun yang ada di
dalam pikiran tanpa mengevaluasinya terlebih dahulu, cara berpikir prejudis
(mengumpulkan bukti-bukti atau pernyataan untuk mendukung suatu
konsep atau dugaan tanpa mempertanyakan kebenaran data yang didapat);
atau cara berpikir emosional (merespon suatu pesan secara emosional tanpa
terlalu memperhatikan substansinya). Setiap cara berpikir ini mempunyai
keuntungan dan kerugiannya masing-masing yang tergantung pada konteks
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

26

penerapannya, namun ada situsi-situasi tertentu dimana cara berpikir yang


satu akan lebih tepat diterapkan daripada cara berpikir yang lainnya.
Permasalahan yang lainya adalah masih adanya kebingungan
terhadap bagaimana implementasi konsep berpikir kritis dalam praktiknya
(misalnya bagaimana dalam praktik di kelas membedakan antara emosi dan
kognisi; feeling dan logika). Berkaitan dengan masalah ini, Tama (dalam
Parnes, S. J.,1992) menggunakan istilah "keteguhan hati untuk tidak
berubah kecuali jika ada bukti-bukti yang jelas, sedangkan Mertes (dalam
Parnes, S. J.,1992) menggunakan perilaku reflektif dalam definisinya. Ini
membuat kesulitan dalam membedakan kemampuan berpikir kognitif
dengan perilaku-perilaku atau kecenderungan-kecenderungan untuk
menggunakan skill-skill tersebut.
Dari pembahasan di depan kiranya perlu ditegaskan bahwa
matematika secara natural merupakan kegiatan mental, sehingga konsep
berpikir kritis hendaknya dipandang sebagai kegiatan mental yang
menuntut kedisiplinan, dan konsistensi
dalam mengevaluasi setiap
argumentasi, maupun proposisi
yang berkaitan dengan masalah
matematika yang akan dipecahkan
Contoh Pengembangan Kompetensi Berpikir Divergen dan Kritis
dalam Pembelajaran Matematika
Setelah dibahas secara memadai pengertian serta definisi berpikir
divergen dan kritis di depan, kini saatnya untuk secara lebih konkret
mengembangkannya dalam pembelajaran matematika. Dalam hal ini,
kembali harus ditegaskan bahwa untuk mengembangkan kemampuan
peserta didik dalam berpikir divergen dan kritis, maka perspektif baru perlu
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

27

dikembangkan secara menyeluruh, dari tahapan perencanaan kurikulum,


design model pembelajarannya, pengembangan perangkatnya sampai
asesmen dan evaluasi belajarnya.
Namun dalam aritikel ini, hanya
dipaparkan contoh pengembangan kemampuan berpikir divergen dan kritis
beserta indikatornya, dilengkapi dengan contoh masalah matematika openended. Melalui proses pemecahan masalah matematika open-ended ini
diharapkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir
divergen dan kritisnya.
No
1

Kompetensi Berpikir
Indikator
Kritis
Investigasi konteks dan Menghasilkan berbagai pengandaian,
spektrum masalah
permisalan, katagori, dan persepsi
untuk
memperluas/mempersempit
spektrum ide masalah.
Merumuskan
masalah Merumuskan
pertanyaan-pertanyaan
mate-matika
yang memberi arah pemecahan untuk
mengkonstruksi berbagai kemungkinan
jawabannya.
Mengembangkan konsep Menyusun berbagai konsep jawaban,
jawaban
dan merumuskan argumen-argumen yang
argumentasi
yang masuk akal, menunjukkan perbedaan
reasonable
dan persamaannya
Melakukan deduksi dan Mendeduksi secara logis, memberikan
induksi
asumsi logis membuat proposisi,
hipotesis,
melakukan
investigasi
/pengumpulan
data.
membuat
generalisasi dari data, membuat tabel,
dan grafik, melakukan interpretasi
terhadap pernyataan

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3


TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250


5

Melakukan evaluasi

28
Melakukan refleksi dan interpretasi
kembali terhadap hasil dan proses
pemecahan masalah yang telah
dilakukan, untuk melihat sekali lagi
lebih
dalam,
dan
menemukan
kemungkin
ide
dan
perspektif
penyelesaian alternativ.

Sebagai contoh, dalam hal ini digunakan pembelajaran dengan


menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Untuk itu pertama-tama
harus disiapkan masalah matematika yang akan dibahas. Dalam hal ini,
masalah matematika terbuka (open-ended) yang memiliki lebih dari satu
jawaban yang benar dan berbagai prosedur pemecahannya. Hal ini dapat
dimulai pertama-tama dengan mencermati masalah-masalah/ soal-soal
matematika konvensional yang ada di buku-buku pelajaran sekolah yang
biasanya berbentuk closed-ended, yaitu yang memiliki sebuah jawaban
yang benar dengan sebuah prosedur pemecahan yang pasti pula.
Selanjutnya, masalah tersebut dikonversikan menjadi masalah matematika
open-ended yang memiliki lebih dari satu jawaban yang benar, serta lebih
dari satu prosedur pemecahan. Hal ini biasanya dilakukan dengan
menggunakan prinsip inversi maupun reduksi. Berikut ini paparkan kedua
jenis masalah matematika tersebut (Sudiarta, P., 2003c).
Masalah 1 (closed-ended atau well structured problem) :
Seekor Kerbau beratnya 10 kali berat badannya Si Putu. Jika berat
badan Si Putu 20 kg, berapakan berat badan Kerbau itu ?

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3


TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

29

Pada masalah 1 ini, masalah matematika disajikan secara explisit,


prescribe dan predetermined, sehingga jawabnya pun gampang ditebak oleh
siswa (immediate solution), sebab:

konteks konsep matematikanya sudah diberikan secara


explisit, yaitu perkalian (perhatikan: Seekor Kerbau beratnya 10 kali
berat badannya Si Putu)

Hubungan antara berat kerbau dan berat Si Putu juga


diberikan secara explisit yaitu 10 x

Berat Si Putu juga diberikan secara explisit, yaitu 20 kg

Ditanya: Berat Kerbau

Dari analisis tersebut, nampak bahwa yang diperlukan cukup


keterampilan dalam mengalikan bilangan. Tidak ada prosedur lain, dan
tidak ada jawaban lain.
Jawaban siswa yang diharapkan adalah sebagai berikut:
(1) Berat Kerbau = 10 x berat badan Putu (diketahui secara explisit)
(2) Berat badan Si Putu = 20 kg (diketahui secara explisit)
(3) Prosedur: menggunakan konsep perkalian (diketahui secara explisit,
dan tidak ada cara lain)
(4) Penyelesaian: Berat Kerbau = 10 x 20 kg =200 kg (substitusikan (2)
pada (1) : jawaban tunggal, prosedur tunggal).
Inilah yang disebut soal terutup atau well structured problem yang
sering dijumpai dalam buku-buku pelajaran sekolah, yang hanya
memerlukan peng-gunaan keterampilan dasar matematika (mathematical
basic skill) untuk memecahkannya, sebaliknya kurang memerlukan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

30

kemampuan berpikir divergen dan kritis. Seperti terlihat dalam contoh 1,


untuk dapat memecahkannya siswa cukup menggunakan keterampilan
dasar perkalian bilangan, selanjutnya semuanya sudah dinyatakan secara
jelas dalam rumusan soal.
Bagaimana jika soal tersebut diubah menjadi sebagai berikut :
Masalah 2 (open-ended problem)
Seekor Kerbau beratnya 200 Kg, berapa orang anak yang kamu perlukan
agar jumlah semua berat badan mereka sama dengan beratnya kerbau
itu?
Pada contoh 2 ini masalah matematika dirumuskan sedemikian rupa
sehingga menuntut siswa untuk melakukan investigasi konteks, sebab tidak
semua data diberikan. Misalnya: karena berat masing-masing anak tidak
diberikan, maka dalam hal ini diperlukan kemampuan berpikir divergn dan
kritis untuk membuat keputusan matematis yang reasonable. Artinya, anak
harus mengambil keputusan, misalnya dengan mengandai-andaikan. Anak
harus membuat investigasi dalam menentukan pengandaian yang masuk
akal, dan dapat dipertahankan baik nilai logis-matematisnya ataupun nilai
realitas-kontekstualnya. Misalnya, jika diandaikan bahwa berat badan
anak-anak itu semuanya sama dan masing-masing 20 kg. Berarti soal bisa
dipecahkan, dengan konsep dan prosedur pembagian yaitu: 200 : 20 = 10,
jadi diperlukan 10 orang anak dengan berat badan masing-masing 20 kg. Ini
belum selesai, karena pengandaian ini baru masuk akal secara algoritma
matematis (mathematically make sense and reasonable), tetapi nilai
realitasnya perlu diuji, dengan bertanya, apakah realistis mengandaikan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

31

semua anak-anak beratnya masing- masing sama ? Anak bisa membuat


pengandaian yang lebih dekat dengan kenyataan misalnya; Beberapa orang
anak beratnya 20 kg, dan beberapa orang anak lainnya beratnya 15 kg.
Sehingga konsep dan prosedur penyelesaiannya akan menjadi kalimat
matematika terbuka: atau 20 15 200 dalam bahasa matematika
formal 20 x + 15 y = 200, dengan x dan y bilangan bulat positif, solusinya
pun lebih dari satu, misalnya x = 1 dan y = 12 ( jadi ada seorang anak
dengan berat badan 20 kg dan 12 anak dengan berat badan 15 kg), solusi
yang lain misalnya x = 4 dan y = 8, dst. Di sini jelas terlihat, bahwa bukan
solusinya yang menjadi tujuan, atau yang menjadi kriteria penilaian, tapi
bagaimana anak mengambil keputusan dalam investigasi konteks
matematika, bagaimana anak membuat argumentasi-argumentasi matematis
dan
kontekstual,
bagaimana
anak
mengkomunikasikan
dan
mempertahankan prosedur yang mereka lakukan. Secara umum untuk soal
"open ended" pada contoh 2 tadi dapat diberikan catatan sbb.:

Tidak ada konsep, operasi atau prosedur matematika


yang diberikan secara explisit, siswa harus mengambil keputusan
sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati
dan menebak sendiri solusi yang akan didapatkan. Konsep matematika
yang mungkin digunakan pada contoh ini misalnya: Pembagian,
Perkalian, Penjumlahan Berulang, atau pun Persaman Terbuka dengan 2
variabel berupa bilangan bulat positif, tergantung dari kecenderungan
intelektual individual siswa, berdasarkan kemampuan, pengetahuan dan
pengalaman mereka.

Ada data yang harus dilengkapi sendiri oleh siswa, dalam


hal ini data tentang berat badan anak. Ini memerlukan kemampuan
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

32

siswa untuk berpikir kreatif dan produktif dalam mengambil keputusan


yang beralasan (reasonable decision) atau membuat estimasi yang kuat
(reasonable estimation), berupa pengandaian yang masuk akal terhadap
berat badan anak tadi.
Dari uraian dan analisa contoh masalah open ended pada contaoh 2 tadi,
dapat dilihat betapa pentingnya penerapan pendekatan pembelajaran
berorientasi masalah open ended untuk meningkatkan pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep matematika, yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa itu sendiri. Alasannya adalah
penerapan pembelajaran berdasar masalah open ended seperti yang
ditunjukkan secara jelas dalam contoh 2 tadi, membuka ruang selebarlebarnya, untuk melatih dan mengembangkan semua komponen-komponen
kompetensi ranah pemahaman yang meliputi: (a) memengerti konsep,
prinsip dan ide-ide
matematika yang berhubungan dengan tugas
matematika
(conceptual
understanding),
(b)
memilih
dan
menyelenggarakan proses dan stretegi pemecahan masalah (processes and
strategies), (c) menjelaskan dan mengkomunikasikan mengapa strategi itu
berfungsi (reasoning and communication), dan (d) mengidentifikasi dan
melihat kembali alasan-alasan mengapa solusi dan prosedur menuju solusi
itu adalah benar (interpret reasonableness) (bandingkan Schoenfeld,
1994;1997; Sudiarta, 2001,2003b).
3. Penutup
Dari pembahasan di dapat disimpulkan bahwa pengembangan
kemampuan berpikir tingkat tinggi yang antara lain meliputi kemampuan
berpikir divergen dan kritis sangat lah penting bagi peserta didik, untuk
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

33

meningkatkan kemampuan daya saing mereka dalam era global pada abad
ke-21 ini. Walaupun pengertian dan definisi tentang konsep kompetensi
berpikir divergen dan kritis beragam, namun hal itu harus dipandang secara
objektif dan realistik sebagai spektrum untuk memperkaya khasanah.
Sedangkan, pada tataran implentasi di depan kelas, harus disesuaikan
dengan kharakteristik mata pelajaran masing-masing. Untuk pembelajaran
matematika hal ini sudah mulai mendapat perhatian dan bahkan menjadi
perspektif baru. Pendekatan pemecahan masalah matematika open-ended
adalah salah satu model pembelajaran yang menekankan pengembangan
kompetensi berpikir divergen dan kritis tersebut. Namun demikian ada
beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan dan dan
implementasi kompetensi berpikir divergen dan kritis, yaitu (1)
Hendaknya berhati-hati dalam mendefinisikan konsep kemampuan berpikir
divergen dan kritis, perlu membedakannya dengan konsep-konsep yang
mirip seperti cara berpikir kreatif atau pun cara berpikir yang baik, dan (2)
Hendaknya diidentifikasi perilaku-perilaku yang diharapkan dan sub-task
yang berhubungan dengan kemampuan berpikir divergen dan kritis
untukmengembangkan definisi-definisi yang operasional dan disesuaikan
dengan kharakteristik bidang studi.
Di samping itu, kemampuan berpikir divergen dan kritis adalah
suatu hal yang kompleks dan kita tidak cukup hanya mengharapkan bahwa
satu metode pengajaran akan cukup untuk mengembangkan komponenkomponen kemampuan berpikir kritis ini. Walaupun memungkinkan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan kritis dan komponenkomponennya dalam pembelajaran, sebagai suatu skill yang terpisah,
kemampuan berpikir kritis ini akan sangat optimal bila
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

34

diintegrasikandengan aspek-aspek keilmuan yang lain, misalnya


matematika dipadukan dengan IPA dalam bentuk pembelajaran terpadu.

DAFTAR PUSTAKA
Beaton, A.E.et al., (1996). Mathematics Achievement in The Middle School
Years: IEA's Third International Mathematics And Science Study
(TIMSS), Boston: Center for Study of Testing, Evaluation, and
Educational Policy, Boston College.
Confrey, J., (1991). Learning to Listen : A Student's Understanding of
Power of Ten, in Von Glasersfeld, E., Radical Constructivism in
Mathematics Education, p.111-138, Netherlands : Kluwer Academic
Publisher.
Ernest, P., (1994a). Constructing Mathematical Knowledge: Epistemology
and Mathematics Education, London : The Falmer Press.
Ernest, P., (1994b). Social Constructivism and the Psychology of
Mathematics Education, in Paul Ernest, Studies in Mathematics
Education Series 4, p. 62-72, London : The Falmer Press.
Freire, P., D'Ambrosio, U., & Do Carmo Mendonco, M., (1997). A
conversation with Paulo Freire. For the Learning of Mathematics,
17(3), 7-10.
Fuson, K., & Briars, D., (1990). Using a base-ten blocks learning/teaching
approach for first- and second- grade place value and multidigit
addition and subtraction. Journal for Research in Mathematics
Education, 21(3), 180-206.
Hiebert, J. & Carpenter, T. P., (1992) Learning and teaching with
understanding, In Grouws, D. A. (Ed). Handbook of Research on
Mathematics Teaching and Learning. NCTM
Hiebert, J., Wearne, D., (1993). Instructional tasks, classroom discourse,
and students learning in second-grade arithmetic. American
Educational Research Journal, 30(2), 393-425.
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

35

Isaksen, S. G. , Dorval, K. B. , & Treffinger, D. J. (1994). Creative


approaches to problem solving. Dubuque, Iowa: Kendall Hunt
Publishing Company
Howson, G. et al., (1981). Curriculum Development in Mathematics, p. 84101, London: Cambridge University Press.
Lerman, S., (1994 ). Articulating Theories of Mathematics Learning, in
Paul Ernest, Studies in Mathematics Education Series 4, p. 41-49,
London : The Falmer Press.
Parnes, S. J. (1992). Source book for creative problem solving. Buffalo,
NY: Creative Education Foundation Press.
Steedman, P.H., (1991). There is No More Safety in Number: A New
Conception of Mathematics Teaching, in Von Glasersfeld, E.,
Radical Constructivism in Mathematics Education, p.1-11,
Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Steffe, L.P., (1991). The Constructivist Teaching Experiment, in Von
Glasersfeld, E., Radical Constructivism in Mathematics Education,
p.177-194, Netherlands : Kluwer Academic Publisher.
Sternberg, R. J. & Lubart, T. I. (1991). An investment theory of creativity
and its development. Human Development, 34, 1-31.
Sudiarta, P., (2002a). Constructivism and Its
Epistemological
Consequences to Teaching Mathematics. Berlin: ISSM 2002
Sudiarta, P., (2002b). Radical Constructivism and Its Implication for The
Concept of Teaching and Learning. Hamburg: SKET/ ASI 2002
Sudiarta, P., (2002c). Knowledge Formation and Knowledge Construction:
A Constructivist Perspective. Hamburg: SKET/ ASI 2002
Sudiarta, P., (2003a). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer Neuere
Konzepte des Lehrers und Lernens, Aachen: Shaker Verlag
Muenchen
Sudiarta, P., (2003b). Impulse der Schule des Konstruktivismus Fuer
Neuere Konzepte des Lehrens und Lernens: Am Beispiel
Mathematikunterricht. Dissertation: Universitaet Osnabrueck,
Jerman
______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3
TH. XXXVIII Juli 2005

ISSN 0215 - 8250

36

Sudiarta, P., (2003c). Pembangunan Konsep Matematika Melalui "OpenEnded Problem": Studi Kasus Pada Sekolah Dasar Elisabeth
Osnabrueck Jerman, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP
Negeri Singaraja: Edisi Oktober 2003
Sudiarta, P., (2004). Mencermati Kurikulum Berbasis Kompetensi: Sebuah
Kajian Epistemologis dan Praktis, Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, Edisi Khusus Dies Natalis IKIP
Negeri Singaraja Feb.2004.
Vehar, J., Firestien, R., & Miller, B, (1997). Creativity unbound.
Williamsville, NY: Innovation Systems Group.

______________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3


TH. XXXVIII Juli 2005

Anda mungkin juga menyukai