Anda di halaman 1dari 10

Assalamu alaikum wr wb.

Ustadz, ada yang bilang bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Yang
berbeda hanya dalam istilah saja, sedangkan hakikatnya dua duanya mengandung riba.
Sebagai muslim, kita dianjurkan mengambil kredit pemilikan rumah (KPR) via bank syariah, yang
konon tidak memperlakukan adanya bunga. Memang benar bahwa di bank syariah mungkin
namanya bukan bunga, tapi diganti dengan istilah lain. Padahal hakekatnya sama.
Benarkah pendapat seperti itu ustad ?
Andai jawabannya benar bank syariah mengandung riba, terus bagaimana cara mendapatkan
rumah yang islami? Apa kudu bersabar dengan menabung sampai uang terkumpul dulu baru beli
rumah ?
Zaman sekarang kalau tidak kredit tidak bisa punya rumah, mobil, motor dan lainnya. Begitu kata
orang-orang. Mohon pencerahannya, terimakasih
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah yang Anda tanyakan ini sebenarnya sudah lama jadi bahan perdebatan, dan sampai
sekarang belum mendapatkan titik temu yang memuaskan semua pihak.
Perdebatan itu terjadi antara, sebut saja, para pendukung bank syariah dengan pihak yang
tidak mendukung. Dan kita menyaksikan memang perdebatannya cukup seru, masing-masing
yakin sekali dengan kebenaran argumentasinya.
1. Pendapat Pihak Pendukung Bank Syariah
Para penggagas dan pendukung bank syariah di Indonesia punya beragam argumentasi dan
dalil, ketika ada pihak-pihak yang meragukan kehalalan sistem keuangan yang mereka
gunakan. Di antara argumen yang biasanya digunakan adalah hal-hal berikut ini :
a. Jaminan Halal Dari Dewan Syariah Nasional
Keberadaan Dewan Syariah Nasional (DSN) seolah-olah menjadi the body guard bagi bankbank syariah yang tumbuh bak jamur di musim hujan. DSN inilah yang dengan tegas menjamin
kehalalan semua praktek bank syariah.
Kalau mau tahu rincian seperti apa cara mereka berargumen, silahkan baca sendiri fatwa-fatwa
yang dikeluarkan oleh lembaga yang dibidani oleh Majelis Ulama Indonesia ini.
Dengan adanya fatwa-fatwa versi DSN itu, maka bank-bank syariah di Indonesia akhirnya
merasa sudah tidak ada batu sandungan lagi dalam hukum-hukum syariah. Ada 'jaminan halal'
dari DSN dan MUI.
b. Argumen : DSN Orang Pintar Mengerti Syariah
Argumentasi kedua masih terkait dengan sosok keberadaan Dewan Syariah Nasional. Pihak
pendukung bank syariah biasanya akan mengatakan bahwa orang-orang yang duduk di Dewan
Syariah Nasional itu adalah para pakar yang paling paham dan mengerti hukum halal haram
dalam fiqih muamalat.
Tidak sedikit dari mereka yang bergelar doktor, kiyai, ulama dan juga para praktisi perbankan.
Kalau ada orang yang paling tahu masalah perbankan syariah di negeri kita, maka orang-orang
yang duduk di Dewan Syariah Nasional itulah orangnya.
c. Argumen : Permakluman
Selain jaminan di atas, biasanya para pendukung fanatik bank syariah akan berargumen klasik

begini : Namanya juga bank yang masih baru dan kecil, tentu tidak bisa diajak bersaing
dengan bank-bank yang sudah besar.
Maksudnya, bank syariah itu dianggap masih kecil, sehingga wajar kalau menarik 'keuntungan'
yang jauh lebih besar. Sedangkan bank-bank konvensional itu dianggap bank kelas kakap, jadi
wajar mereka bisa harga semurah-murahnya dan bunganya menjadi rendah.
d. Argumen : Siapa Lagi Kalau Bukan Kita?
Dan biasanya argumen permakluman di atas masih ditambahi lagi dengan argumen sentimen
keberpihakan, seperti uangkapan bahwa kita masih dalam proses menuju sempurnanya
penerapan syariat Islam dalam perbankan syariah. Sehingga meski belum sepenuhnya sejalan
dengan syariah Islam, tetapi bukan berarti tidak didukung. Kalau bukan kita umat Islam yang
mendukung bank-bank syariah, lantas siapa lagi yang diharapkan untuk mendukungnya?
Dan biasanya, kalau sudah diberi penjelasan seperti ini, banyak pihak yang tadinya menetang
bank syariah, lantas mengangguk-angguk tanda setuju.
e. Bank Syariah di Negara Lain Pun Seperti Ini
Selain berlindung di balik DSN, biasanya bank-bank syariah juga berlindung di balik bank-bank
syariah di negara lain, yang juga banyak menjalankan praktek yang sama.
2. Pihak Yang Tidak Mendukung Bank Syariah
Sementara itu, tidak sedikit pihak-pihak yang masih belum puas dan mempertanyakan praktekpraktek di dalam bank syariah kita yang disinyalir masih belum bisa 100% dijamin sejalan
dengan syariah Islam.
Menurut mereka, masih terlalu banyak celah dan lubang yang menganga, dimana kita bisa
melihat dengan amat jelas di dalamnya ada begitu banyak pelanggaran syariat Islam.
Bahkan meski sudah ada semacam Dewan Pengawas Syariah (DPS) di level internal atau pun
Dewan Syariat Nasional (DSN) dari eksternal, namun banyak yang menilai bahwa celah dan
lubang pelanggaran syariah masih tetap nampak nyata.
Apa yang disebut sebagai pelanggaran itu, menurut banyak pihak ada dua macam.
Pertama : pelanggaran pada hukum, aturan dan ketentuan yang dibuat oleh Dewan Syariah
Nasional sendiri sebagai wasit. Setidaknya ada banyak pendapat yang marjuh tetapi demi
mencari hilah, justru digunakan dan yang sudah rajih serta disepakati para ulama malah
ditinggalkan.
Kedua : pelanggaran yang dilakukan oleh pihak bank syariah sendiri sebagai pemain atau
operator. Dalam hal ini sebenarnya DSN tidak memperbolehkan, namun apa yang telah
ditetapkan oleh DSN itu kemudian coba ditafsir ulang sedemikian rupa, sehingga seolah-olah
fatwa DSN itu dianggap membenarkan.
Dalam prakteknya, kedua jenis celah ini cukup banyak ditemukan, khususnya menurut kaca
mata para penentang bank syariah.
Salah satu celah itu adalah masih banyaknya penggunaan alibi atau hilah yang didesain
sedemikian rupa untuk menutup celah itu, dengan tujuan untuk menambalhnya. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, tambalan-tambalan yang tidak sempurna itu semakin nampak
nyata.
Contoh sederhananya adalah penggunaan istilah 'bagi hasil', yang mana istilah itu terkesan
milik syariat Islam. Namun dalam kenyataannya, apa yang disebut dengan bagi hasil itu, oleh
sementara pihak, dianggap masih tidak ada bedanya dengan bunga riba dan renten lintah
darat.

Sebab yang namanya bagi hasil itu seharusnya mengacu kepada hasil yang belum bisa
ditetapkan nilainya. Kalau sudah beroperasi, lalu ada pemasukan, dan pemasukan dikeluarkan
dengan biaya operasional dan lainnya, barulah nanti ada hasilnya. Maka hasilnya itulah yang
seharusnya dibagi sesuai dengan kesepakatan antara bank dengan peminjam.
Sayangnya, istilah bagi hasil yang digunakan oleh banyak bank syariah itu ternyata jauh
berbeda. Istilah boleh sama, tetapi kenyataannya jauh sekali. Ketika seorang mendapatkan
pinjaman uang di bank syariah, belum apa-apa sudah ditetapkan bahwa nanti hasilnya harus
sekian. Jadi nanti bagi hasilnya pun juga sudah ditetapkan berapa persen dari hasil itu.
Alasannya pun klasik sekali, terlalu sulit untuk bisa menghitung hasil dari sebuah usaha tiap
bulan. Jadi karena sulit untuk menghitungnya, sejak awal sudah dipastikan saja secara flat,
biar tidak merepotkan. Tetapi penetapan secara flat ini tetap ada ketentuan dan rujukannya.
Tahukah apa yang jadi rujukannya? Ya, tidak lain adalah suku bunga. Waah . . .
Aneh bin ajaib, bukan?
Bayangkan, baru saja uang pinjaman itu diberikan dan belum ada operasional apa pun, tetapi
sejak awal akad dibuat, keuntungannya harus sudah DITETAPKAN DI AWAL!!
Benar-benar ketahuan sekali permainannya. Mana ada ceritanya orang dagang atau usaha,
belum lagi mulai beraktifitas, tiba-tiba hasil atau keuntungannya sudah bisa dipastikan sejak
awal? Dan karena itu ketentuan pembagian dari hasilnya juga sudah ditetapkan. Inilah yang
namanya mengada-ada alias ngawur bin ngasal.
Dan wajar sekali kalau tata cara 'tipu-tipu' seperti ini memanen banyak tuduhan miring yang
dialamatkan ke bank-bank yang berlabel syariah.
Maka wajar kalau umat Islam masih harus mengalami dilemma pelik, yaitu antara pilihan
menggunakan bank konvensional yang bunganya rendah dan hukumnya haram, dengan pilihan
menggunakan bank syariah yang konon tanpa bunga, tetapi diganti dengan istilah bagi hasil,
tetapi nilainya seringkali jauh lebih tinggi. Dan hukumnya? Wallahua'lam.
Sebenarnya yang jadi masalah utama bukan besar atau kecilnya bunga atau bagi hasil, tetapi
penggunaan 'kamuflase' istilah bunga menjadi bagi hasil. Hakikatnya bunga, tetapi dinamakan
bagi hasil. Inilah 'dosa-dosa besar' bank-bank syariah menurut para penentangnya.
Kesimpulan
1. Ke depan, apa yang telah difatwakan oleh Dewan Syariah Nasional tentu sangat boleh untuk
dikritisi dan dilengkapi lagi. Sebab fatwa itu akan selalu berubah seiring dengan perubahan
zaman dan keadaan. Fatwa tidak boleh mandeg dan stagnan, karena fatwa bukan kitab suci
yang turun dari langit.
2. Kadang pelanggaran syariat berada pada pihak operator, yaitu bank syariah dan bukan pada
fatwanya. Kalau pelanggaran jenis ini terjadi, maka bisa dipertanyakan kembali itikad baik bank
syariah tersebut. Apakah semata hanya mengejar keuntungan atau masih punya idealisme
menjalankan agama.
3. Bagi kita, perbedaan pendapat antara pihak yang mendukung bank syariah dengan yang
tidak mendukung jangan dijadikan bahan permusuhan. Mari kita hargai perbedaan ini dengan
hati yang lapang.
4. Bagi mereka yang memandang bahwa pada prakteknya ternyata yang dilakukan oleh bank
syariah itu sekedar kamuflase, padahal esensinya tetap riba dan haram, maka tidak tertutup
kemungkinan untuk meninggalkannya. Sebab pinjam uang dari bank syariah itu hukumnya
bukan wajib, apalagi bila ada indikasi yang kurang sejalan dengan syariah, maka
meninggalkannya malah lebih baik.
5. Bagi yang 100% meyakini haramnya 'bunga' di bank syariah, bukan berarti bunga bank di

bank konvensional berubah jadi halal. Bunga bank konvenional tetap masih 100% haram dan
tidak berubah jadi halal.
Namun bila kedudukannya sama-sama haram dan semua pintu yang halal tertutup sudah,
masuk akal kalau ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa pilihannya adalah haram
yang madharatnya paling ringan, yaitu yang bunganya lebih rendah. Jadi pinjam uang dari
bank konvensional tetap haram, tetapi lebih rendah nilainya.
Namun pendapat ini tentu saja tidak disetujui oleh semua pihak, khususnya para pendukung
bank syariah. Menurut mereka, kalau sama-sama haram, tetap harus pinjam dari bank
konvensional.
Dan perdebatan tidak pernah berhenti.

BANK KONVENSIONAL
RIBA
Di bidang transaksi ekonomi, Islam melarang keras praktik riba. Al-Dhahabi dalam kitab AlKabairmenjadikan riba sebagai salah atu perilaku dosa besar yang harus dijauhi. Secara sederhana
riba berarti menggandakan uang yang dipinjamkan atau dihutangkan pada seseorang.
DEFINISI RIBA
Secara etimologis (lughawi) riba ( )adalah isim maqshur, berasal dari rabaa yarbuu. Asal arti kata
riba adalah ziyadah yakni tambahan atau kelebihan.
Secara terminologis (istilah) riba adalah setiap kelebihan antara nilai barang yang diberikan dengan
nilai-tandingnya (nilai barang yang diterimakan). (Lihat Ibnul Arabi dalam ) .
MACAM-MACAM RIBA DALAM ISLAM
Ada dua macam jenis riba yaitu riba al-fadhl ( ) dan riba al-nasi'ah () .
Riba al-Fadhl disebut juga dengan riba jual beli adalah penambahan dalam jual-beli barang yang
sejenis.
Riba ini terjadi apabila seseorang menjual sesuatu dengan sejenisnya dengan tambahan, seperti
menjual emas dengan emas, mata uang dirham dengan dirham, gandum dengan gandum dan
seterusnya.
Lebih jelasnya dapat dilihat dari hadits riwayat Bukhari dan Muslim berikut:
Bilal datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa korma kualitas Barni (baik). Lalu Rasulullah
SAW bertanya kepadanya, "Dari mana kurma itu ?". Ia menjawab , "Kami punya kurma yang buruk
lalu kami tukar bdli dua liter dengan satu liter". Maka Rasulullah bersabda: "Masya Allah, itu juga
adalah perbuatan riba. Jangan kau lakukan. Jika kamu mau membeli, juallah dahulu kurmamu itu
kemudian kamu beli kurma yang kamu inginkan.
Riba an-Nasi'ah disebut juga riba hutang piutang adalah kelebihan (bunga) yang dikenakan pada
orang yang berhutang oleh yang menghutangi pada awal transaksi atau karena penundaan
pembayaran hutang.
Riba nasi'ah ada dua jenis sebagai berikut:
1. A meminjamkan/menghutangkan uang atau benda berharga lain pada B. Bentuknya ada dua:
(a) A menetapkan tambahan (bunga) pada awal transaksi.
(b) A tidak menetapkan bunga di awal transaksi, akan tetap saat B tidak mampu melunasi hutang
pada saat yang ditentukan, maka A membolehkan pembayaran ditunda asal dengan bunga.
2. A membeli emas atau perak pada B dengan menunda penerimaannya/tidak langsung saling
terima.
Perbedaan khasnya, riba nasi'ah adalah jual beli barang yang sama jenisnya tapi tidak secara
kontan. Sedangkan riba fadhl adalah jual beli barang dengan kelebihan atau hutang piutang dengan
bunga.
Ulama sepakat atas keharaman riba nasi'ah. Sementara terjadi ikhtilaf (beda pendapat) atas
keharaman riba fadhl, tapi mayoritas mengharamkannya.
HUKUM RIBA DALAM ISLAM

Hukum riba adalah haram dan termasuk dari dosa besar karena akan menyebabkan kesengsaraan
kaum dhuafa, menzalimi orang miskin, eksploitasi si kaya pada si miskin, menutup pintu sedekah
dan kebajikan serta membunuh rasa empati antar manusia yang berbeda strata sosial ekonominya.
DALIL HARAMNYA RIBA
1. Al-Baqarah 2:278
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
2. Al-Baqarah 2:279
Artinya: Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
3. Hadits sahih riwayat Muslim: :
Artinya: Nabi Muhammad Rasulullah melaknat pemakan, wakil, penulis dan dua saksi transaksi riba.
4. Hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (mutafaq alaih): : ((
)) :

Artinya: Jauhilah tujuh dosa besar. Apa itu ya Rasulullah. Nabi menjawab: syirik, sihir, membunuh,
memakan riba, makan harta anak yatim, lari saat perang, menuduh zina pada perempuan muslimah
bersuami.
PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
Jumhur (mayoritas) ulama mengharamkan bank konvensional karena adanya praktek bunga bank
yang secara prinsip sama persis dengan riba. Baik itu bunga pinjaman, bunga tabungan atau bunga
deposito.
PRAKTIK PERBANKAN YANG DIHARAMKAN
Praktik perbankan konvensional yang haram adalah (a) menerima tabungan dengan imbalan bunga,
yang kemudian dipakai untuk dana kredit perbankan dengan bunga berlipat. (b) memberikan kredit
dengan bunga yang ditentukan; (c) segala praktik hutang piutang yang mensyaratkan bunga.
Bagi ulama yang mengharamkan sistem perbankan nasional, bunga bank adalah riba. Dan karena itu
haram.
PRAKTIK BANK KONVENSIONAL YANG HALAL
Namun demikian, pendapat yang mengharamkan tidak menafikan adanya sejumlah layanan
perbankan yang halal seperti: (a) layanan transfer uang dari satu tempat ke tempat lain dengan
ongkos pengiriman; (b) menerbitkan kartu ATM; (c) menyewakan lemari besi; (d) mempermudah
hubungan antarnegara.
ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHARAMKAN BANK KONVENSIONAL
1. Pertemuan 150 Ulama terkemuka dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H,
atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai
macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk bunga bank.
2. Majmaal Fiqh al-Islamy, Negara-negara OKI yang diselenggarakan di Jeddah pada tanggal 10-16
Rabiul Awal 1406 H/22 Desember 1985;
3. Majma Fiqh Rabithah alAlam al-Islamy, Keputusan 6 Sidang IX yang diselenggarakan di Makkah,
12-19 Rajab 1406

4. Keputusan Dar It-Itfa, Kerajaan Saudi Arabia, 1979;


5. Keputusan Supreme Shariah Court, Pakistan, 22 Desember 1999;
6. Majmaul Buhuts al-Islamyyah, di Al-Azhar, Mesir, 1965.
7. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 yang menyatakan
bahwa bunga bank tidak sesuai dengan syariah.
8. Keputusan Sidang Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyatakan bahwa sistem
perbankan konvensional tidak sesuai dengan kaidah Islam.
9. Keputusan Munas Alim Ulama dan Konbes NU tahun 1992 di Bandar Lampung.
10. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (interest/faidah),
tanggal 22 Syawal 1424/16 Desember 2003.
11. Keputusan Rapat Komisi Fatwa MUI, tanggal 11 Dzulqaidah 1424/03 Januari 2004, 28
Dzulqaidah 1424/17 Januari 2004, dan 05 Dzulhijah 1424/24 Januari 2004.
HUKUM BEKERJA DAN GAJI PEGAWAI BANK KONVENSIONAL
Menurut fatwa Syekh Jad al-Haq, salah satu Mufti Mesir, memperoleh gaji/honorarium dari bankbank tersebut dapat dibenarkan, bahkan kendati bank-bank konvensiobnal itu melakukan transaksi
riba. Bekerja dan memperoleh gaji di sana pun masih dapat dibenarkan, selama bank tersebut
mempunyaiaktivitas lain yang sifatnya halal.
Yusuf Qaradhawi termasuk ulama yang mengharamkan bank namun dalam soal gaji pegawai bank ia
menyatakan bahwa apabila pegawai tersebut bekerja karena tidak ada pekerjaan di tempat lain
maka ia dalam kondisi darurat. Dalam Islam, kondisi darurat menghalalkan perkara yang asalnya
haram. Kebutuhan hidup termasuk kondisi darurat. Dalam konteks ini, maka pekerjaannya di bank
hukumnya boleh. Begitu juga boleh mengikuti pendapat ulama terpercaya yang menghalalkan bank
konvensional.
Teks asli sebagai berikut:






.
(Sumber: http://webmail.qaradawi.net/fatawaahkam/30/1766.html)

PENDAPAT HALALNYA BANK KONVENSIONAL


Beberapa alasan para ulama ahli fiqih yang menghalalkan bank konvensional adalah (a) bunga bank
bukanlah riba yang dilarang seperti yang disebut dalam Quran dan hadits; (b) riba adalah bunga
yang berlipat ganda; sedang bunga pinjaman bank tidaklah demikian.

ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL


1. Syekh Al-Azhar Sayyid Muhammad Thanthawi menilai bunga bank bukan riba dan halal.
2. Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir. dalam buku Sikap Syariah Islam terhadap Perbankan

3. Keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002 membahas soal bank konvensional.


4. A.Hasan Bangil, tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal.
5. Dr.Alwi Shihab dalam wawancaranya dengan Metro TV berpendapat bunga bank bukanlah riba dan
karena itu halal.
ALSAN ULAMA DAN LEMBAGA YANG MENGHALALKAN BANK KONVENSIONAL
1. Menurut Sayyid Muhammad Thanthawi bank konvensional/deposito itu halal dalam berbagai
bentuknya walau dengan penentuan bunga terlebih dahulu.
Menurutnya, di samping penentuan tersebut menghalangi adanya perselisihan atau penipuan di
kemudian hari, juga karena penetuan bunga dilakukan setelah perhitungan yang teliti, dan
terlaksana antara nasabah dengan bank atas dasar kerelaan mereka.
2. Dr. Ibrahim Abdullah an-Nashir mengatakan, Perkataan yang benar bahwa tidak mungkin ada
kekuatan Islam tanpa ditopang dengan kekuatan perekonomian, dan tidak ada kekuatan
perekonomian tanpa ditopang perbankan, sedangkan tidak ada perbankan tanpa riba. Ia juga
mengatakan, Sistem ekonomi perbankan ini memiliki perbedaan yang jelas dengan amal-amal
ribawi yang dilarang Al-Quran yang Mulia. Karena bunga bank adalah muamalah baru, yang
hukumnya tidak tunduk terhadap nash-nash yang pasti yang terdapat dalam Al-Quran tentang
pengharaman riba.
3. Isi keputusan Majma al-Buhust al-Islamiyah 2002:
"Mereka yang bertransaksi dengan atau bank-bank konvensional dan menyerahkan harta dan
tabungan mereka kepada bank agar menjadi wakil mereka dalam menginvestasikannya dalam
berbagai kegiatan yang dibenarkan, dengan imbalan keuntungan yang diberikan kepada mereka
serta ditetapkan terlebih dahulu pada waktu-waktu yang disepakati bersama orang-orang yang
bertransaksi dengannya atas harta-harta itu, maka transaksi dalam bentuk ini adalah halal tanpa
syubhat (kesamaran), karena tidak ada teks keagamaan di dalam Alquran atau dari Sunnah Nabi
yang melarang transaksi di mana ditetapkan keuntungan atau bunga terlebih dahulu, selama kedua
belah pihak rela dengan bentuk transaksi tersebut."
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu
dengan jalan yang batil. Tetapi (hendaklah) dengan perniagaan yang berdasar kerelaan di antara
kamu. (QS. an-Nisa': 29).
Kesimpulannya, penetapan keuntungan terlebih dahulu bagi mereka yang menginvestasikan harta
mereka melalui bank-bank atau selain bank adalah halal dan tanpa syubhat dalam transaksi itu.
Ini termasuk dalam persoalan "Al-Mashalih Al-Mursalah", bukannya termasuk persoalan aqidah atau
ibadat-ibadat yang tidak boleh dilakukan atas perubahan atau penggantian.
4. Kata A. Hasan Bangil bunga bank itu halal. karena tidak ada unsur lipat gandanya.

KESIMPULAN HUKUM BANK KONVENSIONAL DALAM ISLAM


Mayoritas ulama (jumhur) sepakat bahwa praktik bunga yang ada di perbankan konvensional adalah
sama dengan riba dan karena itu haram. Walaupun ada sejumlah layanan perbankan yang tidak

mengandung unsur bunga dan karena itu halal. Namun demikian, ada sejumlah ulama yang
menganggap bahwa bunga bank bukanlah riba dan karena itu halal hukumnya.
Bagi seorang muslim yang taat dan berada dalam kondisi yang ideal dan berada dalam posisi yang
dapat memilih, tentunya akan lebih baik kalau berusaha menjauhi praktik bank konvensional yang
diharamkan. Namun, apabila terpaksa, Anda dapat memanfaatkan segala layanan bank konvensional
karena ada sebagian ulama yang menghalalkannya.

ANEKA LAYANAN BANK KONVENSIONAL


Bank-bank besar seperti Bank Mandiri, Bank BRI, BCA, dll umumnya memiliki produk dan layananlayanan berikut:
1. Layanan Transaksi Perbankan yang meliputi Safe Deposit Box, Transfer, Remittance, Collection
and Clearing, Bank Notes, Travellers Cheque, Virtual Account, Open Payment, Auto Debit, Payroll
Services
2. Produk Simpanan yang meliputi tabungan, Giro, Deposito Berjangka, dll.
3. Perbankan Elektronik yang meliputi ATM (multifungsi, non tunai dan setoran tunai), Debit, Tunai,
Internet Banking, Mobile Banking,Phone Banking, SMS Top Up, SMS Push Notification, dll.
4. Layanan Cash Management yang meliputi Payable Management / Disbursement, Receivable
Management / Collection
Liquidity Management
5. Kartu Kredit
6. Fasilitas Kredit yang meliputi Kredit Pemilikan Rumah, Kredit Kendaraan Bermotor, Kredit Modal
Kerja, Kredit Sindikasi, Kredit Ekspor, Trust Receipt, Kredit Investasi, Distributor Financing, Supplier
Financing, Dealer Financing, Warehouse Financing, dll.
7. Bank Garansi meliputi Bid Bond, Performance Bond, Advance Payment Bond, Pusat Pengelolaan
Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk (P4BM), dll.
8. Fasilitas Ekspor Impor meliputi Letter of Credit (L/C), Negotiation, Bankers Acceptance, Bills
Discounting,
Documentary Collections, dll.
9. Fasilitas Valuta Asing meliputi Spot, Forward, Swap, dll.
Intinya, produk layanan bank konvensional tidak hanya berkaitan dengan pinjaman, tabungan dan
deposito saja.
======================
CATATAN DAN RUJUKAN
1. . : . : .
Lihat As-sarahsi dalam Al Mabsuth.
2. : : lihat Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl As-

Sarahsi dalam
. Alasan dari keharamannya adalah: :

3. Ahmad ibnu Ali ibnu Hajar Al Asqalani dalam dalam
4. Pembagian riba menjadi dua macam lihat Muwaffiquddin Abdullah bin Ahmad bin Qudamah
dalam Al-Mughni demikian: . . : :
. : ;
. { } :
5. Muhammad Rashid Ridha dalam Tafsir Al-Manar menyebut riba nasi'ah dan riba fadhl masingmasing dengan riba jali (jelas) dan riba khafi (samar). Riba jali (nasi'ah) haram secara mutlak
karena sangat eksploitatif terhadap orang miskin. Namun, menurut Ridha keduanya sama-sama
haram. . :

6. Contoh riba nasi'ah menurut Rashid Ridha adalah seperti praktik yang dilakukan bangsa Arab era
Jahiliyah

"
Riba nasi'ah inilah yang dimaksud dalam Qur'an dan hadits Nabi yang pelakunya diancam dan
dilaknat. Sedangkan keharaman dari riba fadhl adalah dalam rangka mencegah perantara menuju
keharaman yakni untuk mencegah pelaku riba fadhl menuju riba nasi'ah.
7. Riba fadhla seperti dalam hadits Nabi:
8. Benda-benda yang mengandung riba fadhl dan kalau dijualbelikan/dibarter harus sama nilainya
ada enam: . Keenam benda ini kalau ditukar
dengan sesamanya harus sama persis nilainya. Seperti emas 1 gram harus dengan emas 1 gram. Tapi
tidak riba kalau jenisnya tidak sama. Misal, emas 1 gram boleh ditukar dengan perak 2 gram.
9. Yusuf Qardhawi termasuk ulama moderat yang mengharamkan bank konvensional karena bunga
bank adalah riba. Namun, dia juga menghalalkan sejumlah produk layanan perbankan yang tidak
ada kaitannya dengan riba. Dan Qardhawi berfatwa bahwa boleh hukumnya bekerja di perbankan di
bagian manapun sampai menunggu datangnya bank syariah.

Anda mungkin juga menyukai