Anda di halaman 1dari 4

Asma

12/31/2006
PENGANTAR
Asma merupakan penyakit saluran napas kronik
(menahun) yang paling sering
ditemukan, terutama di negara maju. Penyakit ini
umumnya dimulai sejak masa
anak-anak. Dampak negatifnya seperti
menyebabkan anak sering tidak masuk
sekolah, membatasi kegiatan olahraga, dan aktivitas
seluruh keluarga.
Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia)
mendefinisikan asma sebagai kumpulan
tanda dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk
dengan karakteristik sebagai
berikut:
1.. timbul secara episodik dan/atau kronik,
2.. cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
3.. musiman,
4.. adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas
fisik, dan
5.. bersifat reversibel (bisa sembuh seperti sedia
kala) baik secara
spontan maupun dengan pengobatan, serta
6.. adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan
mengidap alergi) lain
pada pasien/keluarganya,
7.. sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.
MEKANISME TERJADINYA ASMA
Konsep terkini mekanisme terjadinya asma, yaitu
asma merupakan suatu proses
inflamasi (peradangan) kronik/menahun yang khas,
melibatkan dinding saluran
respiratorik/ napas, menyebabkan terbatasnya aliran
udara, dan peningkatan
reaktivitas (hiperreaktif/ hipersensitif) saluran napas.
Hiperreaktivitas ini
merupakan awal terjadinya penyempitan saluran
napas, sebagai respon terhadap
berbagai macam rangsang.
Gambaran khas adanya inflamasi saluran napas
adalah aktivasi sel-sel dalam
darah dan sel berupa eosinofil, sel mast, makrofag,
dan sel limfosit T pada
mukosa (selaput lendir) dan lumen (muara) saluran
napas. Perubahan ini dapat
terjadi, meskipun secara klinis asmanya tidak
bergejala. Sejalan dengan
proses peradangan, perlukaan epitel (lapisan
terluar) bronkus (batang
paru-paru) merangsang proses perbaikan saluran
napas yang menghasilkan
perubahan struktural dan fungsional, dikenal dengan
istilah remodelling.
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Diagnosis
Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik
berulang merupakan titik awal
untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu
dipertimbangkan kemungkinan
asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan
batuk sebagai satu-satunya
tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing,
sesak dan lain-lain sedang
tidak timbul.
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun.
Untuk anak yang sudah
besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru
sebaiknya dilakukan. Uji

fungsi paru yang sederhana dengan peak flow


meter, atau yang lebih lengkap
dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji
provokasi bronkus dengan
histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering
dan dingin, atau
dengan NaCl hipertonis.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung
diagnosis asma anak melalui 3 cara,
yaitu didapatkannya:
a.. Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1
(forced expiratory
volume in 1 second) ?15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai
(peningkatan/ penurunan) hasil
PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat
dilakukan dengan variabilitas
mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ? 2
minggu.
a.. Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ?15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan)
PFR atau FEV1 setelah
pemberian inhalasi bronkodilator.
a.. Penurunan ?20% pada FEV1 (PD20 atau PC20)
setelah provokasi bronkus
dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal
penting dan perlu diupayakan,
karena selain mendukung diagnosis, juga
mengetahui keberhasilan tata laksana
asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan
Lembar Catatan Harian sebagai
alternatif.
Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang
jelas, serta respon terhadap
pemberian obat asma baik sekali, maka tidak perlu
pemeriksaan diagnostik
lebih lanjut.
Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak
Dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tata Laksana Asma Jangka Panjang
Tujuan tata laksana asma anak secara umum
adalah untuk menjamin tercapainya
potensi tumbuh kembang anak secara optimal.
Secara lebih rinci, tujuan yang
ingin dicapai adalah:
1.. Anak dapat menjalani aktivitas normalnya,
termasuk bermain dan
berolahraga.
2.. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3.. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
4.. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada
variasi diurnal (dalam 24
jam) yang mencolok.
5.. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak
ada serangan.
6.. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau
sesedikit mungkin
timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh
kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu
reevaluasi tata laksananya.
Tata Laksana Medikamentosa (dengan Obat-obatan)
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar,
yaitu obat pereda (reliever)

dan obat pengendali (controller) .

panjang.

Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan


untuk meredakan serangan
atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan
sudah teratasi dan sudah
tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan
lagi.

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu


inflamasi/peradanga n kronik,
controller berupa anti inflamasi membutuhkan waktu
untuk menimbulkan efek
terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu
waktu yang diperlukan
untuk mengendalikan inflamasinya. Apabila masih
tidak respons (masih
terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari) , maka
dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai
dengan 400 mg/hari, yang termasuk dalam tata
laksana asma persisten.
Selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran 3.

Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan


untuk mengatasi masalah
dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik
(peradangan saluran napas
menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini
terus-menerus dalam jangka
waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit
asma, dan responnya terhadap
pengobatan/penanggu langan. Controller diberikan
pada Asma Episodik Sering
dan Asma Persisten.
Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever
berupa bronkodilator
(melebarkan bronkus/batang paru-baru) beta agonis
hirupan (inhaler/spray)
kerja pendek (short acting ?2-agonist, SABA) atau
golongan xantin kerja
cepat, bila terjadi gejala/serangan.
Kendala penggunaan spray ini adalah harganya
yang mahal dan tidak tersedia
di semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler
(Metered Dose Inhaler/MDI atau
Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik
penggunaan yang benar (untuk
anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk
anak kecil/bayi). Bila obat
hirupan tidak ada, maka beta agonis diberikan per
oral (obat minum).
Penggunaan xantin kerja cepat (teofilin) sebagai
bronkodilator makin kurang
perannya dalam tata laksana asma, karena batas
keamanannya (margin of
safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat
beta agonis oral tidak
selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin
dengan memperhatikan kemungkinan
timbulnya efek samping. Selanjutnya dapat dilihat di
lampiran 3.

Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu


derajat penyakit asma
sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap
tidak baik dalam 6-8 minggu,
maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih
berat (step-up).
Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8
minggu, maka derajatnya
beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila
memungkinkan, steroid hirupan
dihentikan penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu
dievaluasi (1) pelaksanaan
penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat,
dan (3) penyakit penyerta
yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis
dan sinusitis).
Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari
dosis tinggi ke rendah
selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya
dimulai dari dosis rendah ke
tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung
pada kasusnya. Dalam
keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan
penyakit berat, dianjurkan
untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai
steroid oral jangka pendek
(3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan
diturunkan sampai dosis
terkecil yang masih optimal.

Asma Episodik Sering


Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih
dari 3x per minggu (tanpa
menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik),
atau serangan sedang/berat
terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka
penggunaan anti inflamasi
sebagai pengendali (controller) diperlukan, yakni
steroid hirupan dosis
rendah. Obat steroid yang sering digunakan pada
anak adalah budesonid,
sehingga digunakan sebagai standar.
Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan
100-200 mg/hari budesonid
(50-100 mg/hari flutikason) untuk anak berusia
kurang dari 12 tahun, dan
200-400 mg/hari budesonid untuk anak berusia di
atas 12 tahun. Pada
penggunaan dosis 100-200 mg/hari belum
dilaporkan adanya efek samping jangka

Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah


tidak mempunyai respons yang
baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu
meningkatkan steroid
menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan
dosis rendah ditambah dengan
LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan
teophylline slow release
(TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor
(ALTR). Dosis medium adalah
setara dengan 200-400 g/hari budosenid (100-200
g/hari flutikason) untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600
g/hari budosenid (200-300
g/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12
tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8
minggu tetap terdapat
gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis
ketiga, yaitu dapat

meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan


dosis tinggi, atau tetap
dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau
TSR, atau ALTR. Yang dimaksud
dosis tinggi adalah setara dengan > 400 g/hari
budesonid (> 200 g/hari
flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan > 600 g/hari
budesonid (> 300 g/hari flutikason) untuk anak
berusia di atas 12 tahun.

atopik pada bayi, juga asma.

Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan


dapat memperbaiki FEV1,
menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas
hidup. Apabila dosis
steroid hirupan sudah mencapai > 800 mg/hari
namun tidak mencapai respon,
maka baru menggunakan steroid oral (sistemik).
Jadi penggunaan
kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali)
adalah jalan terakhir.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya
lebih besar daripada
bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal,
steroid oral dapat diberikan
1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan
sampai dosis terkecil yang
diberikan selang hari pada pagi hari. Efek samping
steroid sistemik dapat
dilihat dalam lampiran 4.

Faktor Alergi dan Lingkungan (Menghindari


Pencetus)

Pemberian antileukotrien (zafirlukas)


dikontraindikasikan pada kelainan
hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru
non sedatif (misalnya
setirizin dan ketotifen), dipertimbangkan pada anak
dengan asma yang
disertai rinitis.
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan
dengan umur anak, karena
perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi.
Perlu dilakukan pelatihan
yang benar dan berulang kali.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi
deposisi (penumpukan) obat
dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi
jumlah obat yang tertelan, dan
mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan)
dalam paru pun lebih baik,
sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan)
yang baik. Obat hirupan
dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder
Inhaler) seperti Spinhaler,
Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler,
Twisthaler memerlukan inspirasi
(upaya menarik/menghirup napas) yang kuat.
Umumnya bentuk ini dianjurkan
untuk anak usia sekolah.

Penggunaan antihistamin non sedatif (tidak


menyebabkan kantuk) seperti
ketotifen dan setirizin jangka panjang dilaporkan
dapat mencegah terjadinya
asma pada anak dengan dermatitis atopik. Namun
obat-obat ini tidak
bermanfaat sebagai obat pengendali asma
(controller) ,

Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan


salah satu faktor penting
berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak
asma balita terbukti mengidap
alergi, baik di negara berkembang maupun negara
maju. Atopi (kecenderungan
mempunyai satu atau beberapa jenis dari kelompok
besar alergi) merupakan
faktor risiko yang nyata untuk menetapnya
hiperreaktivitas bronkus dan
gejala asma. Terdapat hubungan antara pajanan
alergen (pencetus alergi)
dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi
berhubungan dengan peningkatan
gejala asma pada anak.
Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk
setiap anak asma. Penghindaran
terhadap asap rokok merupakan rekomendasi
penting. Keluarga dengan anak asma
dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu,
seperti kucing, anjing,
burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan
penghindaran kelembaban kamar perlu
untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan
tungaunya.
Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali
menderita rinitis alergi
dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar
dikendalikan. Deteksi dan
diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti dengan
terapi adekuat akan
memperbaiki gejala asmanya.
Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak
bayi dengan wheezing tidak
berlanjut menjadi asma pada masa anak dan
remajanya. Adanya asma pada
orangtua, dan dermatitis (penyakit kulit eksim) atopik
pada anak dengan
mengi merupakan salah satu indikator terjadinya
asma di kemudian hari.
Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka
kemungkinan menjadi asma lebih
besar.
Tata Laksana Serangan Asma

Pencegahan dan Intervensi Dini


Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan
utama dalam menangani anak
asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI
ekslusif minimal 6 bulan,
penghindaran makanan berpotensi alergenik
(mampu mencetuskan alergi),
pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah
dan rontokan bulu binatang,
terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan,
dan khususnya dermatitis

GINA membagi tata laksana serangan asma menjadi


dua, tata laksana di rumah
dan di rumah sakit. Tata laksana di rumah dilakukan
oleh anak asma (atau
orangtuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat
dilakukan oleh mereka yang
sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur,
dan mempunyai pendidikan
yang cukup. Terapi awal berupa inhalasi beta agonis
kerja pendek hingga tiga
kali dalam satu jam. Kemudian anak atau

keluarganya diminta melakukan


penilaian respons untuk penentuan derajat
serangan, untuk ditindaklanjuti
sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara
kita, pemberian terapi awal
di rumah seperti di atas cukup riskan, dan
kemampuan melakukan penilaian
juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian,
maka apabila setelah
dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai
respons yang baik, maka
dianjurkan mencari pertolongan dokter.

karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis


lainnya.

Obat Lain untuk Serangan Asma


a.. Magnesium Sulfat
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium
sulfat intravena (infus)
di rumah sakit mempunyai efektivitas sama dengan
pemberian beta agonis.

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat


yang sederhana, mudah dibawa,
tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas
bawah, hanya sedikit
yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat
digunakan oleh anak,
orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal
tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai.

a.. Mukolitik (pengencer dahak)


Pemberian mukolitik (misalnya Bisolvon sirup) pada
serangan asma dapat
saja diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak
dengan refleks batuk
yang tidak optimal. Pemberian mukolitik secara
inhalasi (hirupan) tidak
mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus
berhati-hati pada serangan asma
berat.
a.. Antibiotika
Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan,
karena sebagian besar
pencetusnya bukan infeksi bakteri, melainkan infeksi
virus. Pada keadaan
tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada
infeksi saluran napas yang
dicurigai karena bakteri, atau dugaan sinusitis yang
menyertai asma.
a.. Obat sedasi (mempunyai efek membuat kantuk)
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat
tidak dianjurkan, karena
menekan pernapasan.
a.. Anti histamin (anti alergi)
Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma,
karena tidak mempunyai
efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk
keadaan.
TERAPI INHALASI
Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan
serangan asma secepat mungkin,
serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila
timbul serangan kembali,
serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan
tersebut, perlu diberi obat
bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti
inflamasi sebagai obat
pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul.
Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai
macam cara, yaitu parenteral
(melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per
inhalasi. Pemberian per
inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke
dalam saluran napas
melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat
secara inhalasi dapat mengurangi
efek samping yang sering terjadi pada pemberian
parenteral atau per oral,

Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal ,


obat yang diberikan per
inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di
dalam saluran napas. Obat
yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol,
yaitu suspensi partikel dalam
gas.
Jenis Terapi Inhalasi

Berikut beberapa alat terapi inhalasi:


a.. Metered Dose Inhaler (MDI)
1.. MDI tanpa Spacer
2.. MDI dengan Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak
antara alat dengan mulut,
sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap
menjadi berkurang. Hal ini
mengurangi pengendapan di orofaring (saluran
napas atas). Spacer ini berupa
tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang
sekitar 10-20 cm, atau bentuk
lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml.
Penggunaan spacer ini sangat
menguntungkan pada anak.
a.. Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada
DPI memerlukan hirupan
yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit
dilakukan. Pada anak
yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat
lebih mudah, karena
kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI.
Deposisi (penyimpanan) obat
pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih
konstan. Sehingga
dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
a.. Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk
larutan menjadi aerosol
secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal
dari udara yang dipadatkan,
atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk
dihirup penderita melalui
mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer
memberikan efek
bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan
efek samping. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak
bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan
partikel aerosol
terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga
aerosol hanya timbul pada
saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat
tdak banyak terbuang.

Anda mungkin juga menyukai