Notosusanto
letak
selimut
berlapis
dua
yang
menutupi
Acep
dalam
kakinya,
membasahi
celananya,
membasahi
sebagian
Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki
yang jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang
api di langit mulai mati, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di
lembah sungai itu. Kini yang terdengar hanya derau air yang tak putusputusnya ditingkahi oleh kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit
kemudian kompi menghela napas lega dan selamat tiba di seberang.
Keesokan
harinya,
pada
waktu
fajar
merekah,
kompi
menunda
jam
kemudian,
kompi
melanjutkan
perjalanannya
pada
punggung bukit yng sejajar dengan tebing sungai. Matahari telah naik,
menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh hujan
semalam. Ditengah-tngah barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten
tergantung sunyi pada bahunya. Jauh di bawah, di lembah yang dalam,
Sungai Serayu sayup-sayup menderau. Keharuan yang luar bisa kini
meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir, menghanyutkan. Dan
ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Rasa Sayange, 1998)
A. Unsur-unsur Intrinsik :
1. Tema :
Tema cerpen "Sungai" adalah menunjukkan sikap rela berkorban (kasih), tabah dalam
menghadapi masalah (teguh hati), dan tidak mudah menyerah dengan keadaan
(optimis). Hal ini sesuai dengan isi cerita di mana sersan Kasim sebagai tokoh utama
berusaha dengan segenap tenaga untuk membawa Acep (anaknya yang masih bayi)
menyeberangi sungai Serayu agar sampai di tepi dengan selamat. Meskipun perbuatan
yang dilakukannya tersebut menimbulkan konflik batin dalam diri sersan Kasim, tetapi
dia tetap tegar menghadapi kenyataan yang ada sampai akhirnya Acep meninggal
dunia.
2. Alur/Plot :
Dalam cerpen "Sungai" tersebut konflik yang ditimbulkan masih dalam bentuk
konflik biasa, artinya konflik tersebut masih dapat diselesaikan atau ditebak oleh
pembacanya. Konflik yang ditunjukkan pada cerpen terdiri dari konflik internal, yaitu
konflik batin tokuh utama (Sersan Kasim) dan konflik eksternal, yaitu konflik antara
tokoh utama dengan tokoh utama lainnya (Acep) dan dengan tokoh bawahan (Aminah
dan Komandan peleton). Di sini sebenarnya pembaca dapat menduga apa yang akan
terjadi selanjutnya, namun Nugroho Notosusanto menyajikan konflik ini secara
sempurna dengan bahasa cerpen yang menggunakan kalimat retoris, seperti dalam
kalimat, "Dan siapa yang dapat bertahan terhadap sifat keras kepala wanita yang
mengandung?", dan terdapat beberapa konflik lain yang cukup menegangkan
sehingga mendorong pembacanya untuk terus mengikuti jalan cerita dari cerpen
tersebut.
3. Amanat :
Setelah menganalisis karya sastra cerpen "Sungai" karya Nugroho Notosusanto
tersebut, maka ada beberapa nilai-nilai Kristiani yang dapat diambil dan dijadikan
sebagai pelajaran yang berharga bagi setiap pribadi yang takut akan Tuhan, dengan
meneladani tokoh utama. Tokoh utama cerpen, Sersan Kasim, memiliki semangat rela
berkorban demi kepentingan orang lain dan membantu orang lain tersebut dengan
setulus hati. Selain itu, Sersan Kasim adalah seorang pribadi yang tabah dan tidak
mudah menyerah dengan keadaan, menghadapi setiap masalah yang terjadi dengan
pengharapan penuh bahwa setiap masalah pasti dapat diselesaikan dengan baik,
asalkan mempercayakan seluruh hidup kita kepada. Seperti halnya Yosua yang selalu
mempercayakan hidupnnya kepada Tuhan dan melihat segala sesuatu memakai kaca
mata rohani serta selalu bersikap optimis terhadap segala sesuatu yang akan terjadi di
kemudian hari.
Oleh sebab itu sebagai orang percaya di dalam Kristus, apapun yang terjadi dalam
hidup ini, baik masalah, pergumulan maupun masa depan kita serahkan semua ke
dalam tangan Tuhan dan melakukan apa yang menjadi bagian kita, seperti motto
hidup saya, "Terus berusaha selagi ada kesempatan, jangan menyerah selagi ada
harapan, dan terus berdoa selagi Ia mau mendengarkan".
4. Latar :
a) Setting Tempat
1. Sungai : Dari judulnya, cerpen tersebut menggambarkan bahwa kisaran
tempat adalah di sungai, tepatnya Sungai Serayu, di kaki pegunungan
daerah Banjarnegara. Cerpen ini diawali dengan istilah menyeberangi
b)
sungai, dan pada klimaks cerita, peristiwa itu terjadi di sungai, dalam
perjalanan Yogya-Priangan.
2. Jawa Barat : Jawa Barat adalah daerah operasi tempat Sersan Kasim
bertugas. Daerah yang ditinggalkannya karena Sersan Kasim beserta
beberapa kompi prajurit harus meninggalkannya untuk hijrah ke Yogya,
kota yang diduduki Belanda seiring dengan pelanggaran persetujuan
gencatan senjata.
3. Yogya : Yogya adalah tempat tujuan hijrah TNI, dan tempat Acep, anak
Sersan Kasim dilahirkan, sekaligus tempat istri Sersan Kasim meninggal
sehari setelah Acep dilahirkan dengan sisa tenaganya.
4. Di pinggir desa : Tempat Acep dimakamkan, saksi bisu pengorbanan
Sersan Kasim.
Setting Waktu
1. Jam satu malam : Malam yang gulita dan hujan di mana pada saat itu
para prajurit melakukan perjalanan menuju ke Priangan, Jawa Barat.
Perjalanan dilakukan dengan jalan kaki, dan dilakukan malam agar tidak
diketahui oleh musuh.
2. Sepuluh bulan yang lalu : Tepatnya pada bulan Februari 1948, ketika
Sersan Kasim dan kompi lainnya sera para keluarganya juga
menyeberangi sungai yang sama. Pada saat itu istri Sersan Kasim
memaksa untuk menyertai suaminya, walau dalam kondisi hamil.
3. Pada waktu fajar merekah : Saat para prajurit menunda perjalanan untuk
menyertai pemakaman Acep.
4. Matahari telah naik : Hari mulai siang, kompi segera melanjutkan
perjalanan yang masih panjang. Dalam cerpen dituliskan, matahari
telah naik, menghalau kabut kemana-mana, memanasi bumi yang
lembab oleh hujan semalam. Penulis menafsirkan bahwa keputusan
terberat yang diambil Sersan Kasim dan menyelamatkan banyak nyawa
menjadi sebuah pengorbanan yang mulia, sebagaimana Nabi Ibrahim,
yang siap mengorbankan anak tercintanya untuk memenuhi ujian akan
kecintaannya kepada Alloh SWT. Kini para prajurit itu telah selamat, dan
ada harapan baru dengan semangat yang baru, dengan tetap melanjutkan
perjuangan.
6. Sudut Pandang :
Untuk menentukan sudut pandang dalam cerpen agak sulit, karena hal ini berkaitan
dengan baik jeleknya karya sastra yang dihasilkan dan merupakan versi pengarang.
Sehingga banyak yang mengatakan bahwa sudut pandang itu sama dengan gaya si
pengarang. Dalam cerpen "Sungai" ini menggunakan sudut pandang yang bertipe
pengarang, artinya pengarang sangat berkuasa dalam menentukan cerita yang
seharusnya muncul atau pemunculan tokoh secara tiba-tiba. Hal tersebut dapat dibaca
pada kalimat "Di hulu sungai sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara.
Malam jadi terang benderang. Seluruh kompi menahan nafas". Kalimat ini dengan
jelas menunjukkan bahwa pengarang berkuasa menentukan cerita dan memunculkan
peristiwa secara tiba-tiba tanpa diketahui siapa yang melakukan tindakan (yang
menembakkan peluru kembang api) tersebut.
7. Gaya Bahasa/Majas :
Gaya (style) merupakan cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan
menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi
pembaca.Unsur-unsurnya antara lain terletak pada pilihan kata, penataan kata dalam
kalimat, dan nuansa makna serta suasana penuturan yang ditampilkannya.
Cerpen Sungai banyak menampilkan kata-kata istimewa yang bersifat asosiatifreflektif. Penataan kata dalam kalimatnya juga istimewa, serta nampak nuansa
makna penuturan yang ditampilkannya pun berbeda. Ada beberapa pilihan kata dalam
penataan yang istimewa, yang disuguhkan penulis untuk memperindah bahasanya,
misalnya keharuan mendenyutkan jantungnya; cuaca gulita dan murung, hujan turun
selembut embun, namun cukup membasahkan; rambutnya lebat seperti hutan di
Priangan; rasa sayang membual keluar dan menyesakkan kerongkongan Kasim;
fajar merekah; merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing; suaranya
tajam menyayat hati; serta pada kalimat Matahari telah naik, menghalau kabut
kemana-mana, memanasi bumi yang lembab oleh hujan semalam.
Selain pilihan kata dalam penataan yang istimewa, terdapat variasi panjang pendek
kalimatnya. Misalnya ada kalimat yang hanya terdiri atas dua kata, seperti pada
kalimatAcep menangis. Terdapat juga kalimat yang hanya terdiri atas komplemen,
sepertiMelolong-lolong. Serta terdapat kalimat yang panjang, misalnya pada paragraf
di bawah ini.
Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang
jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit mulai
mati,, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu. Kini tang
terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkah oleh kwek-kwek-kwek
katak di tepian.
Dengan kata lain, beberapa paragraf banyak mengandung unsur-unsur gaya bahasa
ataufigurative language seperti repetisi, metonimi, dan hiperbola.
B. Unsur-unsur Ekstrinsik :
1. Latar Belakang Pengarang :
Pengarang cerita tersebut merupakan seorang yang berkarir di bidang militer dan
pendidikan. Selain itu juga, dia juga terkenal sebagai sastrawan. Cerita ini juga
didasarkan tentang perjuangan seorang tentara yang rela berkorban dan tidak pernah
mengeluh meskipun dalam rintangan yang sulit, dan juga ceritanya tidak jauh berbeda
dari kenyataan yang ada dalam kehidupan.
2. Kondisi Masyarakat pada saat karya sastra diciptakan :
Sebagian masyarakat masih ada yang memiliki keadaan sama seperti yang diceritakan
pada cerpen tersebut. Maka, cerpen ini mengangkat cerita tentang gambaran
kehidupan yang mereka alami.
Nilai-nilai Cerpen Sungai karya Nugroho Notosusanto
Kasih sayang :
Sebagaimana dalam cerpen tersebut, yang ditokohkan oleh Sersan Kasim. Kasing sayang
pada istrinya tergambar bagaimana akhirnya ia mengijinkan istrinya yang memaksa ikut,
walau sedang hamil. Juga kepada anaknya. Ia ingin selalu merawatnya, mendampinginya,
memberi kehangatan kasih sayang padanya.
Tanggung jawab dan amanah :
Sebagai pemimpin, ia harus menjaga keselamatan anak buahnya. Meski dalam kondisi
tersulit ia dituntut untuk selalu mengambil keputusan yang tepat dan bijak. Ia tetap bisa
memimpin
walau
dengan
menggendong
bayinya.
Pengorbanan :
Dalam menjalankan amanahnya, apapun akan dilakukan. Untuk menjaga keselamatan anak
buahnya, ia berusaha mendiamkan bayinya yang menangis, agar pernyeberangan mereka
tidak diketahui musuh. Ia lakukan hal yang terberat dalam hidupnya, ketika anak satusatunya, warisan dari istri tercinta, pelipur laranya, akhirnya dikorbankan sebagai tanggung
jawabnya sebagai pimpinan. Tidak dijelaskan dengan pasti, apa yang dilakukan Sersan Kasim
untuk mendiamkan bayinya. Yang jelas Komandan Peleton teringat akan Nabi Ibrahim yang
siap mengorbankan buah hatinya, Ismail untuk sesuatu yang mulia, sebagai bukti
kecintaannya pada Allah SWT.
SINOPSIS
Sebuah cerpen berjudul "Sungai" yang ditulis oleh almarhum mantan mendikbud "Nugroho
Notosusanto" mengkisahkan seorang pejuang kemerdekaan berpangkat Sersan dan bernama
Kasim. Rekan2 seperjuangannya sering memanggil dengan sebutan Sersan Kasim. Dalam
perjalanannya dari Jawa Tengah ke Jawa Barat sersan Kasim bersama dengan puluhan
prajuritnya berjalan kaki masuk-keluar hutan, menghindari tentara Belanda. Dalam
perjalanan itulah sersan Kasim menggendong seorang bayi, anak-anak satu-satunya. Isterinya
telah meninggal dunia saat melahirkan anaknya itu. Sebenarnya komandannya sudah
menyarankan agar bayi itu, dititipkan dulu ke orang-orang desa. Nanti, setelah keadaan aman
baru diambil. Namun dia tetap bertekad membawa bayi itu. Karena itulah satu-satunya yang
paling berharga bagi dirinya. Bayi itulah yang menjadi oleh-oleh bagi orangtua dan
mertuanya serta kenangan hidup dari isteri yang dicintainya. Sekarang telah
meninggalkannya. Maka boleh atau tidak boleh ia tetap nekad membawa anak itu.
Sebenarnya, komandannya keberatan. Namun akhirnya memaklumi juga.
Perjalanan sersan Kasim bersama puluhan prajurit itu akhirnya tiba di tepi sungai pada tengah
malam. Sebelum menyeberang komandan sudah memerintahkan seorang prajurit untuk
menyelidiki situasi di seberang sungai. Berdasarkan hasil pengamatan mata-mata, diseberang
sungai berjaga satu peleton tentara Belanda. Prajurit republik itu bisa saja menyeberangi
sungai itu, namun dengan resiko yang sangat tinggi. Penyeberangan harus dilakukan dengan
sangat hati-hati, jangan sampai ada suara.
Setelah berunding beberapa saat, akhirnya komandan memutuskan untuk menyeberangi
sungai. Sersan Kasim sadar, ia membawa resiko yang berat dengan bayinya itu. Ia sadar
sepenuhnya. Seluruh prajurit akan mati jika tiba-tiba anaknya menangis. Dengan hati-hati,
satu per satu prajurit menyeberangi sungai. Agar tak kehilangan arah, masing-masing prajurit
dihubungkan dengan tali. Akhirnya semua prajurit sudah berada di sungai. Sersan Kasim dan
bayinya tepat di tengah sungai. Pada saat itu terjadi peristiwa diluar dugaan. Kaki sersan
kasim terperosok di lubang dasar sungai. Seketika ia terkejut. Air menyentuh bayinya yang
sedang tidur nyenyak. Bayi itu mulai mengeluarkan suara tangis. Semua mata prajurit
mengarah pada sersan kasim dengan muka pucat. Sersan Kasim bingung, semua orang
menuding kepadanya, bergantung nasib terhadapnya.
Sebelum bayi itu menangis keras, tiba-tiba diam. Sesan Kasim dengan berat hati, menutup
mulut bayinya, sampai tak bersuara sama sekali . Semua mata prajurit menyaksikan peristiwa
itu. Sesan Kasim membunuh bayinya sendiri untuk keselamatan prajurit . Akhirnya
rombongan prajurit itu selamat menyeberangi sungai. Di sebuah desa seberang sungai sersan
Kasim membopong jenasag bayinya, kemudian memasukkan ke liang lahat. Semua prajurit
menahan haru. Mereka sadar, keselamatan menyeberang sungai karena pengorbanan sersan
Kasim.
Apa yang terjadi seandainya sersan Kasim tak bersedia mengorbankan anaknya? Apa yang
terjadi seandainya sersan Kasim membiarkan saja bayinya menangis? Tentu prajurit akan
mati. Belanda akan dengan mudah menghabisi prajurit-prajurit itu. Tetapi, sersan Kasim tak
hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Justru sersan kasim lebih berpikir, bagaimana temantemannya dapat selamat. Pengorbanan sersan kasim begitu sempurna. Harta satu-satunya
yang paling berharga yang menjadi miliknya, telah dikorbankan untuk keselamatan
semuanya.