Kemitraan Cabai Merah 2004
Kemitraan Cabai Merah 2004
PENDAHULUAN
Dalam arti luas agribisnis didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan usaha yang
menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen (Cramer and Jensen, 1994
dalam Irawan, 2003). Di Indonesia agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting
dalam perekonomian nasional dan sekitar 80% dari jumlah penduduk di Indonesia
menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis (Saragih dan Simanjuntak, 1997). Budaya
masyarakat pedesaan untuk kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati yang tinggi merupakan
potensi besar penggerak kemajuan agribisnis di pedesaan (Budianto, 2001 ; Simatupang dan
Syafaat, 2002).
Jika dikaitkan dengan permasalahan yang sering dihadapi petani, beberapa hal yang
mendorong diperlukannya kerjasama kemitraan, antara lain: (1) fluktuasi harga yang tajam; (2)
modal petani yang terbatas; (3) kepastian suplay cabai merah. Fluktuasi harga yang tajam
menyebabkan petani sering menerima tingkat harga yang rendah sehingga tingkat keuntungan
petani rendah bahkan sering menimbulkan kerugian.
Modal petani yang terbatas serta tingkat keuntungan yang rendah menyebabkan petani
tidak dapat menerapkan teknologi anjuran secara optimal karena penyediaan sarana produksi
kurang memadai sehingga tidak mampu mengembangkan usahataninya. Kebutuhan modal
usahatani yang besar dan tidak adanya kredit usahatani menyebabkan petani harus mencari
pinjaman modal dari pihak ketiga dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi. Sementara itu
lembaga permodalan yang diharapkan dapat membantu petani justeru kurang tertarik pada
usahatani sayuran akibat resiko pengembalian pinjaman yang relatif tinggi, terkait ketidakpastian
penerimaan petani (Sudaryanto dan Pasandaran,1993).
Belum adanya jaringan informasi pasar, petani tidak dapat memperkirakan kebutuhan
pasar, sehingga luasan usahatani melebihi kebutuhan pasar. Adanya informasi kebutuhan pasar
sangat penting bagi petani sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusannya.
Sumarno (2004) mengemukakan bahwa salah satu langkah dalam pengembangan usaha agribisnis
tanaman hortikultura, termasuk cabai merah, adalah melakukan kerjasama kemitraan dalam
pemasaran langsung ke pembeli bonafide (mitra usaha). Oleh karena itu untuk membantu
memecahkan permasalahan itu, BPTP NTB bersama instansi terkait di Lombok Timur mencoba
memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani dengan pengusaha dari Jawa Tengah (PT Berkah
Alam Kasturi) yang bergerak dalam pemasaran cabai merah. Dengan kemitraan petani
mengharapkan adanya kerjasama dalam pembiayaan usahataninya sehingga petani dapat
memanfaatkan peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik bersama mitra usaha guna
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Tulisan ini mencoba memaparkan pengalaman pengkajian dalam upaya memfasilitasi
kerjasama kemitraan antara petani cabai merah di Sembalun Lawang, Lombok Timur dengan PT
Berkah Alam Kasturi dari Jawa Tengah yang bergerak dalam usaha pemasaran cabai merah di
pulau Jawa. Kajian yang bertujuan untuk mendapatkan alternatif model pemasaran dan menumbuhkembangkan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan, dilakukan melalui pendekatan partisipatif
dengan metoda pemberdayaan petani dan fasilitasi kerjasama kemitraan
KARAKTERISTIK WILAYAH PENGKAJIAN
Desa Sembalun Lawang, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur terletak di kaki
Gunung Rinjani pada ketinggian 1150 - 1250 meter di atas permukaan laut yang merupakan sentra
produksi cabai merah dataran tinggi yang ada di Nusa Tenggara Barat. Jarak Mataram - Sembalun
sekitar 105 km yang dapat dicapai dengan sepeda motor, mobil angkutan umum berupa minibus
Isuzu atau Mitsubishi Diesel selama 2-2,5 jam perjalanan. Sarana jalan yang menghubungkan
MataramSembalun sebagian besar sudah beraspal. Wilayahnya bertopografi berbukit sampai
bergunung dengan sebagian dataran yang berupa lahan sawah. Iklimnya termasuk golongan D4
yang ditandai dengan 4 bulan basah dan 6-8 bulan kering. Curah hujan tahunan berkisar 1200 mm
1400 mm dengan suhu harian berkisar 14-28C. Tanahnya berupa abu vulkan yang merupakan
timbunan bahan letusan gunung berapi yang kondisinya cukup subur dengan (pH) tanah 5,5-6,5.
(Kumoro,2004). Kondisi agroekologi ini cocok bagi pertumbuhan tanaman cabai merah, karena
untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran suhu
harian 18-27C (Sumarni, 1996) dan pH tanah 5,5-7,0 (Knott and Deanon,1970 dalam
Sumarni,1996).
Berdasarkan type pengairannya terdapat 3 kelas tanah yaitu: (1) tanah kelas 1: tanah sawah
dengan pengairan teknis, pola tanamnya pada musim hujan diusahakan padi dan sesudah itu petani
biasa mengusahakan bawang putih atau jenis sayuran lainnya, usahatani cabai merah pada tanah ini
dapat dimulai pada bulan Mei/Juni (bersamaan bawang putih); (2) tanah kelas 2: bekas tanah
sawah, tetapi karena pengairannya tidak mencukupi, tanah ini dimanfaatkan sebagai lahan kering
yang berpengairan terbatas, pola tanam yang ada sangat beragam, dapat meliputi palawija atau
tanaman sayuran dataran tinggi, usahatani cabai merah dapat dimulai bulan Pebruari/Maret; (3)
tanah kelas 3: lahan kering tadah hujan yang pola tanamnya hanya untuk satu/dua kali tanam
sayuran dataran tinggi, kemudian diberokan, usahatani cabai merah pada tanah ini dapat dimulai
pada bulan Pebruari/Maret.
Produktivitas cabai beberapa tahun di NTB baru menunjukkan kisaran 1,6-5,3 ton/ha.
(BPS, 2003). Sedangkan produktivitas cabai merah di tingkat petani sudah mampu menghasilkan
8,2-9,5 ton/ha (Puspadi dkk, 2004). Potensi hasil cabai merah dapat mencapai 12-18 ton/ha
(Muharam, 2003). Adanya senjang hasil ini disebabkan oleh beragamnya jenis cabai yang ditanam
petani dan menyulitkan instansi yang berwenang melakukan pendataan luas panen dan produksinya
secara terperinci berdasarkan jenisnya (cabai besar, cabai keriting, cabai hijau dan cabai rawit),
sehingga data yang tersedia masih merupakan data cabai dengan jenis secara agregat (Adiyoga,
1996).
BPTP bersama Dinas Pertanian dan Peternakan Lotim bertugas membina petani dalam
teknis budidaya cabai merah dan memfasilitasi kerjasama kemitraan. Dinas Koperasi dan
Perdagangan bertugas membina bidang perkoperasian dan perdagangannya dan memberikan
pinjaman kredit untuk pengadaan sarana produksi. Peran PT Berkah Alam Kasturi yang tertuang
dalam nota kesepakatan adalah sebagai pembeli tunggal hasil panen cabai merah petani dan
memberikan pinjaman modal untuk pengadaan mulsa plastik hitam perak dan benih hibrida cabai
merah kepada petani senilai Rp 3.250.000 Rp 3.500.000,-/ha. Pinjaman dikembalikan secara
bertahap setelah panen.
Dalam kesepakatan dinyatakan bahwa perusahaan akan menerima semua jenis cabai merah
yang diproduksi oleh petani dengan harga yang berlaku di pasar Johar (Semarang) dan harga
terendah yang akan dibayar perusahaan adalah sebagai berikut: (a) cabai merah besar (non keriting,
TW) Rp 2.000,-/kg cabai segar; (b) cabai merah keriting (TR) Rp 2.500,-/kg cabai segar.
Panjangnya rantai pemasaran dan banyaknya yang terlibat dalam pemasaran akan sangat
mempengaruhi harga cabai merah di tingkat petani (produsen). Rantai pemasaran yang berlangsung
di desa tertera pada Gambar 2.
Bulan
Juni + Juli
Agustus
Septemb
Oktober
Nop + Des
Selisih harga
(Rp/kg)
2.012
166
+ 1.031
+ 1.250
+ 1.250
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari bulan Juni sampai dengan Agustus harga cabai merah di
pasar lokal relatif lebih tinggi daripada harga kesepakatan terendah. Pada bulan-bulan ini tampak
pengusaha dapat meraih keuntungan, namun petani merasa dirugikan karena harga ditekan di
bawah harga pasar lokal yang berlaku. Sedangkan mulai bulan September dan seterusnya harga
cabai di pasar lokal cenderung menurun terus hingga hanya mencapai harga Rp 1.200,-/kg. cabai
segar.
Kondisi ini dimanfaatkan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi) untuk mengambil
tindakan menghambat, mengulur waktu pembayaran dan akhirnya menghentikan pembayaran
terhadap setoran hasil panen cabai merah petani dengan alasan pengusaha kawatir investasi yang
dikeluarkan untuk kemitraan ini tidak akan kembali. Tindakan ini bersamaan dengan mulainya
petani akan mendapat keuntungan dari kemitraan ini karena adanya kesepakatan harga terendah
yang dibayar perusahaan.
Akibat pembayaran yang terlambat sampai terjadinya penghentian pembayaran, petani
banyak yang terpaksa menjual hasil panen cabai merahnya ke luar (ke pedagang pengumpul desa),
walaupun harga yang berlaku di pedagang pengumpul lebih rendah daripada harga terendah
kesepakatan dalam kemitraan ini, yakni berkisar Rp 1.200Rp 1.419,-/kg cabai merah segar.
Melihat tindakan petani menjual hasil panen cabainya ke luar, sebagai akibat penghambatan dan
penghentian pembayaran, pengusaha beranggapan petani melakukan kecurangan dalam kemitraan
ini. Suatu hari pengusaha membawa pengacara untuk menyelesaikan masalah yang dianggap
pengusaha sebagai kecurangan petani ini. Setelah pengacara menelusuri dan mengetahui akar
permasalahannya, pengacara tidak melanjutkan lagi tugasnya. Di kemudian hari pengusaha
mencoba membawa polisi dengan harapan dapat menyelesaikan masalah ini. Namun juga tidak
membawa hasil yang dapat memuaskan kedua belah pihak.
Produsen
Keadilan sistem
agribisnis (KSA)
Pangsa
Konsumen
(A)
Sebelum
kemitraan
= 4150 X 100%
1950
(B)
Dengan
Kemitraan
213 %
Jika Tabel 2. dihubungkan dengan Gambar 2 dan 3, menunjukkan margin pemasaran pada
model A (sebelum kemitraan) lebih kecil (Rp 4.150,-) dibanding margin pemasaran model B (Rp
7.450,-). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara tingkat harga di konsumen dengan tingkat
harga di produsen pada model A lebih kecil daripada model B. Banyaknya pihak-pihak yang
terlibat pada rantai pemasaran model A memberi kesan bahwa rantai pemasaran model B akan lebih
efisien daripada model A. Namun setelah dihitung secara ekonomi ternyata margin pemasaran
model B lebih besar daripada model A. Ini membuktikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat
dalam pemasaran model A akan menerima bagian keuntungan lebih merata, walaupun dalam
jumlah kecil. Karena margin pemasaran model A lebih kecil daripada model B, berarti model
pemasaran A lebih efisien daripada model B.
Pangsa harga (produsen) pada model A lebih besar (48%) daripada model B (32%). Dalam
sistem agribisnis keberpihakan kepada petani, sebagai pelaku usahatani yang telah mencurahkan
seluruh tenaga dan modal usahanya, menjadi salah satu cirinya. Oleh karena itu share harga
produsen (petani) yang lebih besar tergolong yang baik. Ini berarti rantai pemasaran model A lebih
baik daripada model B.
Keadilan dalam pembagian keuntungan ditunjukkan oleh besarnya indeks angka yang
tercantum pada kolom Keadilan Sistem Agribisnis (KSA). KSA model B (317%) lebih besar dari
pada KSA model A (213%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah bagian keuntungan perusahaan
dalam tataniaga cabai merah pada model B sekitar 3 kali lipat jumlah bagian keuntungan yang
dinikmati produsen (petani). Sedangkan model A jumlah bagian keuntungan pedagang dalam
tataniaga cabai merah di pasar lokal berkisar 2 kali lipat jumlah bagian keuntungan produsen
(petani). Dengan dasar keberpihakan pada petani , maka model B dinilai belum menunjukkan lebih
efisien dari pada model A, karena belum menunjukkan keadilan dan pemerataan dalam pembagian
keuntungan yang diperoleh.
Berdasar hasil evaluasi di atas, terbukti bahwa model A (sebelum kemitraan) merupakan
model pemasaran yang lebih efisien dibanding model pemasaran yang dibangun bersama PT
Berkah Alam Kasturi. Pemasaran model B yang dibangun dengan kemitraan kurang efisien, karena
pengusaha harus mengirim cabai merah ke Semarang yang memerlukan biaya transportasi yang
cukup mahal sehingga pengusaha berusaha lebih banyak mengambil keuntungan dalam tataniaga
cabai merah. Pemasaran dengan kemitraan masih tetap diperlukan dalam rangka pengembangan
usahatani cabai merah, agar petani merasa terjamin pasarnya dan ada kepastian harga bagi hasil
panennya.
Rantai pemasaran yang dibentuk dengan PT Berkah Alam Kasturi belum mampu
memberikan efisiensi yang lebih besar daripada rantai pemasaran sebelum kemitraan, sehingga
rantai pemasaran yang sudah lama ada di desa merupakan model rantai pemasaran yang dapat
dikembangkan.
2.
Pendapatan usahatani (keuntungan) petani non kooperator meningkat dari Rp 1.017.750,di tahun 2003 menjadi Rp 2.087.800,- di tahun 2004. Petani kooperator memperoleh
keuntungan lebih besar (Rp 7.495.000,-) dibandingkan dengan keuntungan petani non
koperator (Rp 2.087.800,-). Namun petani koperator pada tahun 2004 menerima keuntungan
lebih kecil (Rp 7.495.000,-) dibanding keuntungan yang diterima pada tahun 2003 (Rp
10.145.000,-).
3.
Pemesanan kompos dalam jumlah besar oleh PT Agrindo Nusantara merupakan peluang
pengembangan usaha dalam sistem agribisnis di pedesaan.
4.
Adanya dua alternatif model pemasaran yang dapat dikembangkan, diharapkan Pemda
melalui dinas terkait dapat memfasilitasi adanya kemitraan dalam pemasaran cabai merah ini
dengan dua mitra usaha agar monopoli dapat dihindari. Mitra yang satu diharapkan akan
merupakan penyeimbang bagi mitra yang lain. Kemitraan yang dibangun harus betul-betul
merupakan usaha bersama yang mempertimbangkan adanya modal bersama dan ditujukan
untuk mendapatkan keuntungan bersama sesuai dengan proporsinya.
5.
Penetapan komoditas pada setiap sentra produksi perlu mengacu pada keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif dari komoditas yang dikembangkan. Pengembangan
unit-unit agribisnis pada setiap sentra produksi sebaiknya mengembangkan pola kemitraan dan
memfasilitasinya dengan sarana penyimpanan yang mampu memperlambat kerusakan dan
pembusukan komoditas yang akan dipasarkan.
6.
Adiyoga, W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah. Dalam: Duriat, A.S. dkk (penyunt)
Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 4 13 . Balitsa Lembang. 113 hal.
Budianto, J., 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi
Partisipatif. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. BPTP NTB,
Badan Litbang Pertanian. Mataram. 9 hal.
Irawan, B., 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar.
Forum Penelitian Agro ekonomi, Vol 21, No.1. Juli 2003. p: 6782. ISSN: 0216 4361.
PSE Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 82p.
Kumoro, K., I. K. Puspadi, M. Zairin, Sudjudi, D. P Sudjatmiko, Mashur. 2003. Pengkajian
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Cabai Merah di Nusa Tenggara Barat. Laporan
akhir. BPTP NTB. 27p.
Muharam, A. 2003. Penelitian dan Pengkajian Pengelolaan Tanaman Tepadu Cabai Merah. Materi
pelatihan TOT Cabai Merah. Balitsa, Lembang.
Puspadi, I K., K.Kumoro dan Mashur, 2004. Study on Supply Chain Management of Hot Pepper in
West Nusa Tenggara. Makalah Seminar. 7 p.
Saragih, B. dan P., Simanjuntak, 1997. Pembinaan Sumberdaya Manusia Sistem Agribisnis
Agroindustri dengan Subsistem serta Kelembagaan Pendukungnya. Seminar Nasional
Pembangunan Perekonomian Pedesaan Indonesia. Faperta IPB, Bogor.
Simatupang, P. dan N. Syafaat, 2003. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui
Penerapan Teknologi Partisipatif. (1-11). Dalam: Baharudin dkk (Ed). Prosiding Seminar
Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan
Penerapan Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB, Badan Litbang Pertanian. Mataram.
Sudaryanto,T., dan E. Pasandaran. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sumarni,
N., 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Dalam : Duriat, A.S. dkk (penyunt)
Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 36-47. Balitsa Lembang. 113 hal.