Anda di halaman 1dari 10

KEMITRAAN PEMASARAN DALAM AGRIBISNIS CABAI MERAH

DI NUSA TENGGARA BARAT


Kunto Kumoro, Muji Rahayu dan Mashur
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK
Jalur pemasaran yang panjang dan sering terjadinya fluktuasi harga yang tajam, menyebabkan petani di Nusa
Tenggara Barat (NTB) menerima tingkat harga cabai merah yang rendah sehingga keuntungan usahatani cenderung
menurun bahkan seringkali merugi. Untuk itu pengkajian sistem dan usaha agribisnis cabai merah yang dilakukan tahun
2004 di dataran tinggi Sembalun mencoba menghubungkan petani dengan PT Berkah Alam Kasturi dari Semarang yang
bergerak dalam pemasaran cabai merah. Tujuan pengkajian ini adalah: (1) menguji efisiensi alternatif model pemasaran
melalui kemitraan; (2) menumbuh-kembangkan usaha agribisnis di pedesaan. Kajian dilakukan melalui pendekatan
partisipatif dengan percobaan lapangan di lahan petani. Pengkajian dilaksanakan dengan metoda pemberdayaan petani
dan fasilitasi kerjasama kemitraan dalam pemasaran cabai merah. Dalam kerjasama kemitraan ini, perusahaan
memberikan bantuan pinjaman untuk pembiayaan mulsa plastik dan benih cabai. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa
alternatif model pemasaran melalui kerjasama kemitraan dengan PT Berkah Alam Kasturi belum dapat meningkatkan
efisiensi. Upaya pengeringan cabai merah merupakan upaya strategis yang dapat dilakukan petani dalam menghadapi
adanya fluktuasi harga yang tajam dan pengolahan cabai merah menjadi saus cabai akan merupakan salah satu usaha
rumah tangga yang dapat memberikan tambahan pendapatan apabila dikelola secara baik. Kebijakan pemerintah daerah
sangat diperlukan untuk mendukung upaya masyarakat dalam mengembangkan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan
dengan memfasilitasi kebutuhan petani di wilayah ini antara lain: (1) menyediakan lembaga keuangan yang dapat
memfasilitasi pinjaman kredit dengan bunga ringan agar petani yang bermodal terbatas dapat mengembangkan usaha
agribisnis di desanya; dan (2) membangun sarana bangunan untuk pengawetan dan pemasaran hasil pertanian yang
mudah rusak (buah, sayuran) agar hasil panen dapat dipasarkan pada saat harga komoditas mencapai tingkat harga yang
memadai. Dari kerjasama kemitraan ini pendapatan petani meningkat dari Rp 2.087.000,- (petani non koperator) menjadi
Rp 7.495.000,- (petani koperator). Pengalaman penggunaan kompos pada usahatani cabai merah dan praktek
pembuatannya, memacu usaha petani dalam penyediaan kompos yang dipesan oleh PT Agrindo Nusantara yang bergerak
dalam agribisnis tanaman hortikultura dataran tinggi.
Kata kunci : agribisnis, cabai merah, dataran tinggi, Sembalun NTB.

PENDAHULUAN
Dalam arti luas agribisnis didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan usaha yang
menghasilkan produk pertanian hingga dikonsumsi oleh konsumen (Cramer and Jensen, 1994
dalam Irawan, 2003). Di Indonesia agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting
dalam perekonomian nasional dan sekitar 80% dari jumlah penduduk di Indonesia
menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis (Saragih dan Simanjuntak, 1997). Budaya
masyarakat pedesaan untuk kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati yang tinggi merupakan
potensi besar penggerak kemajuan agribisnis di pedesaan (Budianto, 2001 ; Simatupang dan
Syafaat, 2002).
Jika dikaitkan dengan permasalahan yang sering dihadapi petani, beberapa hal yang
mendorong diperlukannya kerjasama kemitraan, antara lain: (1) fluktuasi harga yang tajam; (2)
modal petani yang terbatas; (3) kepastian suplay cabai merah. Fluktuasi harga yang tajam
menyebabkan petani sering menerima tingkat harga yang rendah sehingga tingkat keuntungan
petani rendah bahkan sering menimbulkan kerugian.
Modal petani yang terbatas serta tingkat keuntungan yang rendah menyebabkan petani
tidak dapat menerapkan teknologi anjuran secara optimal karena penyediaan sarana produksi
kurang memadai sehingga tidak mampu mengembangkan usahataninya. Kebutuhan modal
usahatani yang besar dan tidak adanya kredit usahatani menyebabkan petani harus mencari
pinjaman modal dari pihak ketiga dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi. Sementara itu
lembaga permodalan yang diharapkan dapat membantu petani justeru kurang tertarik pada
usahatani sayuran akibat resiko pengembalian pinjaman yang relatif tinggi, terkait ketidakpastian
penerimaan petani (Sudaryanto dan Pasandaran,1993).

Belum adanya jaringan informasi pasar, petani tidak dapat memperkirakan kebutuhan
pasar, sehingga luasan usahatani melebihi kebutuhan pasar. Adanya informasi kebutuhan pasar
sangat penting bagi petani sebagai salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusannya.
Sumarno (2004) mengemukakan bahwa salah satu langkah dalam pengembangan usaha agribisnis
tanaman hortikultura, termasuk cabai merah, adalah melakukan kerjasama kemitraan dalam
pemasaran langsung ke pembeli bonafide (mitra usaha). Oleh karena itu untuk membantu
memecahkan permasalahan itu, BPTP NTB bersama instansi terkait di Lombok Timur mencoba
memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani dengan pengusaha dari Jawa Tengah (PT Berkah
Alam Kasturi) yang bergerak dalam pemasaran cabai merah. Dengan kemitraan petani
mengharapkan adanya kerjasama dalam pembiayaan usahataninya sehingga petani dapat
memanfaatkan peluang untuk memperoleh keuntungan yang lebih baik bersama mitra usaha guna
meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Tulisan ini mencoba memaparkan pengalaman pengkajian dalam upaya memfasilitasi
kerjasama kemitraan antara petani cabai merah di Sembalun Lawang, Lombok Timur dengan PT
Berkah Alam Kasturi dari Jawa Tengah yang bergerak dalam usaha pemasaran cabai merah di
pulau Jawa. Kajian yang bertujuan untuk mendapatkan alternatif model pemasaran dan menumbuhkembangkan sistem dan usaha agribisnis di pedesaan, dilakukan melalui pendekatan partisipatif
dengan metoda pemberdayaan petani dan fasilitasi kerjasama kemitraan
KARAKTERISTIK WILAYAH PENGKAJIAN
Desa Sembalun Lawang, kecamatan Sembalun, kabupaten Lombok Timur terletak di kaki
Gunung Rinjani pada ketinggian 1150 - 1250 meter di atas permukaan laut yang merupakan sentra
produksi cabai merah dataran tinggi yang ada di Nusa Tenggara Barat. Jarak Mataram - Sembalun
sekitar 105 km yang dapat dicapai dengan sepeda motor, mobil angkutan umum berupa minibus
Isuzu atau Mitsubishi Diesel selama 2-2,5 jam perjalanan. Sarana jalan yang menghubungkan
MataramSembalun sebagian besar sudah beraspal. Wilayahnya bertopografi berbukit sampai
bergunung dengan sebagian dataran yang berupa lahan sawah. Iklimnya termasuk golongan D4
yang ditandai dengan 4 bulan basah dan 6-8 bulan kering. Curah hujan tahunan berkisar 1200 mm
1400 mm dengan suhu harian berkisar 14-28C. Tanahnya berupa abu vulkan yang merupakan
timbunan bahan letusan gunung berapi yang kondisinya cukup subur dengan (pH) tanah 5,5-6,5.
(Kumoro,2004). Kondisi agroekologi ini cocok bagi pertumbuhan tanaman cabai merah, karena
untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal, tanaman cabai merah memerlukan kisaran suhu
harian 18-27C (Sumarni, 1996) dan pH tanah 5,5-7,0 (Knott and Deanon,1970 dalam
Sumarni,1996).
Berdasarkan type pengairannya terdapat 3 kelas tanah yaitu: (1) tanah kelas 1: tanah sawah
dengan pengairan teknis, pola tanamnya pada musim hujan diusahakan padi dan sesudah itu petani
biasa mengusahakan bawang putih atau jenis sayuran lainnya, usahatani cabai merah pada tanah ini
dapat dimulai pada bulan Mei/Juni (bersamaan bawang putih); (2) tanah kelas 2: bekas tanah
sawah, tetapi karena pengairannya tidak mencukupi, tanah ini dimanfaatkan sebagai lahan kering
yang berpengairan terbatas, pola tanam yang ada sangat beragam, dapat meliputi palawija atau
tanaman sayuran dataran tinggi, usahatani cabai merah dapat dimulai bulan Pebruari/Maret; (3)
tanah kelas 3: lahan kering tadah hujan yang pola tanamnya hanya untuk satu/dua kali tanam
sayuran dataran tinggi, kemudian diberokan, usahatani cabai merah pada tanah ini dapat dimulai
pada bulan Pebruari/Maret.
Produktivitas cabai beberapa tahun di NTB baru menunjukkan kisaran 1,6-5,3 ton/ha.
(BPS, 2003). Sedangkan produktivitas cabai merah di tingkat petani sudah mampu menghasilkan
8,2-9,5 ton/ha (Puspadi dkk, 2004). Potensi hasil cabai merah dapat mencapai 12-18 ton/ha
(Muharam, 2003). Adanya senjang hasil ini disebabkan oleh beragamnya jenis cabai yang ditanam
petani dan menyulitkan instansi yang berwenang melakukan pendataan luas panen dan produksinya
secara terperinci berdasarkan jenisnya (cabai besar, cabai keriting, cabai hijau dan cabai rawit),
sehingga data yang tersedia masih merupakan data cabai dengan jenis secara agregat (Adiyoga,
1996).

Dalam mengerjakan usahataninya, petani membagi tugasnya sesuai dengan kodratnya.


Kaum pria mengerjakan pekerjaan yang cukup berat meliputi pembersihan lahan, pengolahan
tanah, pembuatan bedengan, pemasangan mulsa dan pemupukan dasar, pengairan dan pengendalian
hama/penyakit. Sedangkan kaum wanita mengerjakan kegiatan persemaian, tanam, penyiangan,
pemupukan susulan dan panen. Upah tenaga kerja yang berlaku disesuaikan dengan tingkat berat
dan ringannya pekerjaan, untuk kaum pria berkisar Rp 10.000 Rp 15.000,-/hari dan kaum wanita
Rp 7.000 Rp 10.000,-/hari. Jam kerja berlangsung dari jam 07.00 11.00, kemudian pukul 11.00
14.00 digunakan untuk istirahat, sholat dan makan siang, kerja dilanjutkan lagi pukul 14.00
17.00. Wita.
POLA KEMITRAAN AGRIBISNIS CABE MERAH
Dalam kerjasama kemitraan ini BPTP NTB bersama instansi terkait di kabupaten Lombok
Timur seperti Dinas Pertanian dan Peternakan dan Dinas Koperasi dan perdagangan mencoba
memfasilitasi kerjasama kemitraan antara petani dengan PT Berkah Alam Kasturi dari Jawa Tengah
yang bergerak dalam usaha pemasaran cabai merah di pulau Jawa. Kesepakatan kerjasama
kemitraan ini dituangkan dalam suatu nota kesepakatan kerjasama yang ditanda tangani bersama di
depan notaris. Model kemitraan yang dibangun tertera pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagan kerjasama kemitraan agribisnis cabai merah, Sembalun, NTB 2004.

BPTP bersama Dinas Pertanian dan Peternakan Lotim bertugas membina petani dalam
teknis budidaya cabai merah dan memfasilitasi kerjasama kemitraan. Dinas Koperasi dan
Perdagangan bertugas membina bidang perkoperasian dan perdagangannya dan memberikan
pinjaman kredit untuk pengadaan sarana produksi. Peran PT Berkah Alam Kasturi yang tertuang
dalam nota kesepakatan adalah sebagai pembeli tunggal hasil panen cabai merah petani dan
memberikan pinjaman modal untuk pengadaan mulsa plastik hitam perak dan benih hibrida cabai
merah kepada petani senilai Rp 3.250.000 Rp 3.500.000,-/ha. Pinjaman dikembalikan secara
bertahap setelah panen.
Dalam kesepakatan dinyatakan bahwa perusahaan akan menerima semua jenis cabai merah
yang diproduksi oleh petani dengan harga yang berlaku di pasar Johar (Semarang) dan harga
terendah yang akan dibayar perusahaan adalah sebagai berikut: (a) cabai merah besar (non keriting,
TW) Rp 2.000,-/kg cabai segar; (b) cabai merah keriting (TR) Rp 2.500,-/kg cabai segar.

KINERJA AGRIBISNIS CABAI MERAH


Penyediaan Sarana Produksi
Sarana produksi merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu usahatani komoditas
pertanian. Sarana produksi secara umum tersedia di kios-kios saprodi yang ada di desa. Petani
dengan mudah dapat memperoleh bermacam-macam sarana produksi yang tersedia di kios saprodi
dari alat pertanian seperti hand sprayer, cangkul, benih, pupuk dan insektisida.
Dalam kerjasama kemitraan ini pengusaha (PT Berkah Alam Kasturi) membantu
memberikan pinjaman untuk pengadaan mulsa plastik dan benih hibrida cabai merah keriting TM
999. Petani menyediakan lahan, tenaga kerja, pupuk dan insektisida. Keperluan pupuk kandang
diperoleh petani dari ternaknya atau membeli di desa sekitarnya. Setelah diperkenalkan teknologi
pembuatan kompos, petani berusaha membuat sendiri pupuk kompos dari kotoran ternak yang ada
di sekitar desa. Kompos yang diproduksi masyarakat Sembalun juga digunakan oleh PT Agrindo
Nusantara yang bergerak dalam agribisnis sayuran untuk ekspor.
Produksi
Diakui petani setempat bahwa mereka berusahatani cabai merah selama ini berdasar
ungkapan pengalaman dari sesama petani, belum berdasar pada penelitian/pengkajian ilmiah yang
dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penggunaan sarana produksi masih tergolong belum efisien,
sehinga petani akan menderita kerugian apabila terjadi fluktuasi harga yang tajam. Rata-rata
produktivitas cabai merah yang dihasilkan petani mencapai 8-10 ton/ha, sedangkan potensi hasil
yang dapat dicapai berkisar 12-18 ton/ha.
Dalam upaya meningkatkan produktivitas cabai merahnya, pada tahun 2003 beberapa
petani mengikuti pengkaian penerapan inovasi produksi cabai merah yang telah dirakit oleh Balai
Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang dalam rangka implementasi pengelolaan tanaman
terpadu (PTT). Teknologi PTT cabai merah yang diintroduksikan dapat meningkatkan produktivitas
dari 810 ton/ha menjadi 146 ton/ha dan meningkatkan pendapatan usahatani dari Rp 1.017.750,-.
B/C ratio 1,05 menjadi Rp 10.145.000,- dengan B/C ratio 1,56 (Kumoro dkk, 2003). Pada tahun
2004 beberapa petani mengadopsi dan mencoba menerapkan teknologi PTT Cabai merah dalam
kerjasama kemitraan.
Pasca panen dan Pengolahan
Merosotnya nilai hasil panen cabai merah petani disebabkan kurang baiknya pengelolaan
hasil panen tersebut. Karena terbatasnya pengetahuan menyebabkan pengelolaan pasca panen
dilakukan seadanya (tradisional). Yang dapat dikategorikan kurang baik. Hasil panen cabai merah
umumnya ditampung di karung plastik. Dalam mengangkut hasil panen, para pedagang pengumpul
sering menekan buah cabai merah untuk menghemat tempat.
Pengangkutan ke pasar
kabupaten/provinsi dilakukan dengan kendaraan bak terbuka sehingga suhu panas akan
mempengaruhi kondisi cabai merah dalam karung. Upaya pengawetan cabai merah banyak
dilakukan dengan jalan pengeringan. Pengeringan buah cabai merah dilakukan dengan bantuan
sinar matahari sebagai sumber panasnya. Upaya pengolahan buah cabai menjadi produk olahan
yang berupa saus cabai belum dilakukan masyarakat.
Pemasaran

Panjangnya rantai pemasaran dan banyaknya yang terlibat dalam pemasaran akan sangat
mempengaruhi harga cabai merah di tingkat petani (produsen). Rantai pemasaran yang berlangsung
di desa tertera pada Gambar 2.

Gambar. 2. Rantai pemasaran cabai merah sebelum kemitraan (model A)


Sebelum adanya kerjasama kemitraan rantai pemasaran cabai merah di tingkat desa
tergolong masih panjang dengan melibatkan pedagang pengumpul, pedagang pasar
kabupaten/provinsi, dan pedagang antar pulau. Pedagang antar pulau akan memasok cabai merah
ke pasar Induk dan beberapa pabrik pengolahan cabai merah di Jawa.
Sedangkan pada kerjasama kemitraan yang terlibat dalam rantai pemasaran antara lain: (a)
petani produsen; (b). perwakilan perusahaan (P. Lombok); (c). PT Berkah Alam Kasturi
(Semarang). Selanjutnya PT Berkah Alam Kasturi akan memasok Pasar Induk dan pabrik
pengolahan cabai merah. Dari pasar induk atau pabrik, cabai merah segar atau produk olahannya
akan disalurkan melalui distributor + pengecer ke konsumen. Rantai pemasaran model B ternyata
lebih pendek dibanding rantai pemasaran model A. Rantai pemasaran yang terjadi dengan adanya
kemitraan tertera pada Gambar 3.

Gambar 3. Rantai pemasaran pada kerjasama kemitraan (model B)

PELAJARAN DARI KERJASAMA KEMITRAAN


Paradigma Kemitraan
Kerjasama kemitraan yang kita inginkan bersama merupakan kemitraan yang dapat
memberi keuntungan kepada kedua belah pihak yang bermitra dan berkelanjutan. Hal ini akan
tercapai jika ada transparansi, kejujuran dan saling percaya di antara kedua belah pihak. Kemitraan
akan saling menguntungkan jikalau : (1) pola kemitraan disusun sebagai usaha bersama yang
menyertakan (memperhitungkan modal petani) sebagai modal usaha ; (2) memperhitungkan
pembagian keuntungan usaha secara proporsional.
Dalam nota kesepakatan kerjasama kemitraan, PT Berkah Alam Kasturi memberikan
bantuan pinjaman pembiayaan untuk pengadaan mulsa plastik dan benih hibrida cabai merah
keriting TM 999 dan TM 888 yang diperkirakan senilai Rp 3.250.000 Rp 3.500.000,-yang harus
dikembalikan oleh petani setelah panen dan semua hasil panen harus disetor/ diserahkan/dijual
kepada PT Berkah Alam Kasturi. Hal ini menunjukkan bahwa : pertama, peran PT Berkah Alam
Kasturi hanya sebagai pembeli hasil panen cabai merah saja dan pinjaman modal kepada petani
sebagai perangkap agar petani menjual seluruh hasil panennya kepada PT Berkah Alam Kasturi;
kedua, PT Berkah Alam Kasturi menganggap modal yang dipinjamkan kepada petani sebesar Rp
3.250.000,- /ha bukan merupakan kontribusi modal usaha cabai merah (Puspadi dkk, 2004).

Implementasi Harga Kesepakatan


Implementasi kesepakatan harga merupakan hal yang sangat krusial dalam pola kemitraan
cabai merah di NTB, karena kerugian usahatani cabai merah di desa Sembalun sebagian besar
disebabkan fluktuasi harga yang sangat ekstrim, bukan karena rendah produktivitasnya.
Dalam nota kesepakatan ditetapkan harga cabai merah terendah untuk cabai besar Rp
2.000,- dan untuk cabai keriting Rp 2.500,- per kg. Jika harga cabai merah di pasar lebih tinggi
daripada harga terendah, harga cabai ditentukan berdasarkan tingkat harga cabai merah yang
berlaku di pasar Johar, Semarang. Perusahaan akan memberitahukan tingkat harga yang berlaku
paling lambat 2 hari setelah cabai merah tiba di Semarang.
Dalam penetapan harga cabai merah ternyata dari bulan Juni +Juli sampai Agustus, petani
cenderung menerima harga lebih rendah dari harga pasar lokal, walaupun tingkat harga yang
berlaku masih di atas harga terendah yang disepakati (Rp 2.500,-/kg).
Sedangkan dari bulan September dan seterusnya harga cabai yang diterima petani (harga terendah
dalam kesepakatan kemitraan ) lebih tinggi daripada harga cabai di pasar lokal (Tabel 1.)
Tabel 1. Perbandingan Harga yang Diterima Petani dengan Harga Cabai Merah di Pasar Lokal, Sembalun, NTB, 2004
No
1
2
3
4
5

Bulan
Juni + Juli
Agustus
Septemb
Oktober
Nop + Des

Tingkat harga kemitraan


Kisaran harga
Rata-rata
bulanan (Rp/kg)
(Rp/kg)
2.500 7.000
4.575
2.200 3.000
2.519
2.200 2.700
2.450
2.200 2.700
2.450
2.200 2.700
2.450

Tingkat harga di pasar lokal


Kisaran harga
Rata-rata
bulanan (Rp/kg)
(Rp/kg)
4.500 10.000
6.587
1.800 4.500
2.685
1.200 1.800
1.419
1.200 1.200
1.200
1.200 1.200
1.200

Selisih harga
(Rp/kg)
2.012
166
+ 1.031
+ 1.250
+ 1.250

Tabel 1 menunjukkan bahwa dari bulan Juni sampai dengan Agustus harga cabai merah di
pasar lokal relatif lebih tinggi daripada harga kesepakatan terendah. Pada bulan-bulan ini tampak
pengusaha dapat meraih keuntungan, namun petani merasa dirugikan karena harga ditekan di
bawah harga pasar lokal yang berlaku. Sedangkan mulai bulan September dan seterusnya harga
cabai di pasar lokal cenderung menurun terus hingga hanya mencapai harga Rp 1.200,-/kg. cabai
segar.
Kondisi ini dimanfaatkan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi) untuk mengambil
tindakan menghambat, mengulur waktu pembayaran dan akhirnya menghentikan pembayaran
terhadap setoran hasil panen cabai merah petani dengan alasan pengusaha kawatir investasi yang
dikeluarkan untuk kemitraan ini tidak akan kembali. Tindakan ini bersamaan dengan mulainya
petani akan mendapat keuntungan dari kemitraan ini karena adanya kesepakatan harga terendah
yang dibayar perusahaan.
Akibat pembayaran yang terlambat sampai terjadinya penghentian pembayaran, petani
banyak yang terpaksa menjual hasil panen cabai merahnya ke luar (ke pedagang pengumpul desa),
walaupun harga yang berlaku di pedagang pengumpul lebih rendah daripada harga terendah
kesepakatan dalam kemitraan ini, yakni berkisar Rp 1.200Rp 1.419,-/kg cabai merah segar.
Melihat tindakan petani menjual hasil panen cabainya ke luar, sebagai akibat penghambatan dan
penghentian pembayaran, pengusaha beranggapan petani melakukan kecurangan dalam kemitraan
ini. Suatu hari pengusaha membawa pengacara untuk menyelesaikan masalah yang dianggap
pengusaha sebagai kecurangan petani ini. Setelah pengacara menelusuri dan mengetahui akar
permasalahannya, pengacara tidak melanjutkan lagi tugasnya. Di kemudian hari pengusaha
mencoba membawa polisi dengan harapan dapat menyelesaikan masalah ini. Namun juga tidak
membawa hasil yang dapat memuaskan kedua belah pihak.

Kelayakan Kerjasama Kemitraan


Kerjasama kemitraan layak diteruskan dan dikembangkan jika kemitraan dapat dilakukan
dengan dasar adanya transparansi, kejujuran, saling kepercayaan dan lancarnya komunikasi kedua
belah pihak. Secara ekonomi kemitraan diharapkan menguntungkan kedua belah pihak yang
menandatangani kesepakatan kerjasama. Pembagian keuntungan semua pihak yang terlibat dalam
sistem agribisnis perlu juga dibagi secara proporsional. Untuk mencoba mengevaluasi kelayakan
kemitraan dalam pemasaran cabai merah dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2. Evaluasi Kelayakan Kemitraan dalam Pemasaran Cabai Merah, Sembalun, NTB, 2004
Model
pemasaran

Produsen

Keadilan sistem
agribisnis (KSA)

Pangsa

Konsumen

(A)
Sebelum
kemitraan

Harga Rp 1200 6500


(Rerata Rp 3850)
Biaya per kg = Rp 1900
Keuntungan = Rp 1950

= 4150 X 100%
1950

(B)
Dengan
Kemitraan

Harga Rp 2500 4600


(Rerata Rp 3550)
Biaya per kg = Rp 1200
Keuntungan = Rp 2350

= 7450 X 100% = 3550 X 100% Harga : Rp 9000 Rp 13000


2350
11000
(Rerata Rp 11.000,-)
Margin = Rp 5450 Rp 9450
= 317 %
= 32 %
Rata-rata = Rp 7.450,-

213 %

= 3850 X 100% Harga = Rp 6000 Rp 10000


8000
(Rerata Rp 8.000,-)
Margin = Rp 2150 Rp 6150
= 48 %
Rata-rata = Rp 4.150,-

Sumber : data primer dianalisis

Jika Tabel 2. dihubungkan dengan Gambar 2 dan 3, menunjukkan margin pemasaran pada
model A (sebelum kemitraan) lebih kecil (Rp 4.150,-) dibanding margin pemasaran model B (Rp
7.450,-). Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara tingkat harga di konsumen dengan tingkat
harga di produsen pada model A lebih kecil daripada model B. Banyaknya pihak-pihak yang
terlibat pada rantai pemasaran model A memberi kesan bahwa rantai pemasaran model B akan lebih
efisien daripada model A. Namun setelah dihitung secara ekonomi ternyata margin pemasaran
model B lebih besar daripada model A. Ini membuktikan bahwa masing-masing pihak yang terlibat
dalam pemasaran model A akan menerima bagian keuntungan lebih merata, walaupun dalam
jumlah kecil. Karena margin pemasaran model A lebih kecil daripada model B, berarti model
pemasaran A lebih efisien daripada model B.
Pangsa harga (produsen) pada model A lebih besar (48%) daripada model B (32%). Dalam
sistem agribisnis keberpihakan kepada petani, sebagai pelaku usahatani yang telah mencurahkan
seluruh tenaga dan modal usahanya, menjadi salah satu cirinya. Oleh karena itu share harga
produsen (petani) yang lebih besar tergolong yang baik. Ini berarti rantai pemasaran model A lebih
baik daripada model B.
Keadilan dalam pembagian keuntungan ditunjukkan oleh besarnya indeks angka yang
tercantum pada kolom Keadilan Sistem Agribisnis (KSA). KSA model B (317%) lebih besar dari
pada KSA model A (213%). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah bagian keuntungan perusahaan
dalam tataniaga cabai merah pada model B sekitar 3 kali lipat jumlah bagian keuntungan yang
dinikmati produsen (petani). Sedangkan model A jumlah bagian keuntungan pedagang dalam
tataniaga cabai merah di pasar lokal berkisar 2 kali lipat jumlah bagian keuntungan produsen
(petani). Dengan dasar keberpihakan pada petani , maka model B dinilai belum menunjukkan lebih
efisien dari pada model A, karena belum menunjukkan keadilan dan pemerataan dalam pembagian
keuntungan yang diperoleh.
Berdasar hasil evaluasi di atas, terbukti bahwa model A (sebelum kemitraan) merupakan
model pemasaran yang lebih efisien dibanding model pemasaran yang dibangun bersama PT
Berkah Alam Kasturi. Pemasaran model B yang dibangun dengan kemitraan kurang efisien, karena
pengusaha harus mengirim cabai merah ke Semarang yang memerlukan biaya transportasi yang
cukup mahal sehingga pengusaha berusaha lebih banyak mengambil keuntungan dalam tataniaga
cabai merah. Pemasaran dengan kemitraan masih tetap diperlukan dalam rangka pengembangan
usahatani cabai merah, agar petani merasa terjamin pasarnya dan ada kepastian harga bagi hasil
panennya.

Persepsi Petani Terhadap Kemitraan


Secara umum petani memberikan kesan bahwa dalam kemitraan ini tidak ada saling
kepercayaan dan kurang baik dalam pembayaran. Kekurang-percayaan perusahaan (PT Berkah
Alam Kasturi) terhadap petani ditunjukkan dengan ditempatkannya beberapa tenaga yang
mengawasi setiap orang yang dicurigai sebagai pedagang pengumpul yang akan membeli cabai
merah di lahan usahatani melalui alat teropong jarak jauh.
Penetapan harga yang dilakukan sepihak oleh perusahaan (di Semarang) diinformasikan
setelah 2 hari hasil panen cabai merah petani dikirim ke Semarang. Hal ini sangat menguntungkan
perusahaan, karena tingkat harga yang diberikan kemudian hari akan lebih rendah daripada harga
saat pengiriman barang. Hal ini mengecewakan petani karena petani menerima tingkat harga yang
rendah dan merasa dirugikan. Kekecewaan petani bertambah dengan terjadinya penundaan
pembayaran oleh perusahaan hingga 23 minggu. Penundaan pembayaran ini dirasa memberatkan
petani yang harus menyediakan kebutuhan sehari-hari keluarganya dan membayar biaya tenaga
panen. Keberatan dan keluhan petani tidak dapat disampaikan kepada pimpinan perusahaan, karena
perusahaan tidak mau berkomunikasi lagi dengan pengurus KUD.
Suatu hari pengusaha secara bergantian mengirim tim pengacara, polisi dan tentara ke
lokasi untuk menyelesaikan perselisihan ini. Petani merasa dianggap sebagai pihak yang bersalah
dalam kemitraan ini. Namun ternyata setelah ditemui pengurus KUD, mereka pulang dengan
sendirinya dan tidak muncul lagi.
Dampak Sosial Kemitraan
Kurang serasinya kerjasama antara petani dan perusahaan (PT Berkah Alam Kasturi)
berdampak gagalnya kemitraan dalam pemasaran cabai merah yang diharapkan dapat berkelanjutan
dan petani merasa dirugikan, karena petani menerima tingkat harga yang rendah dan banyak petani
yang tidak menerima pembayaran dari perusahaan.
Tidak dibayarnya hasil panen cabai merah, petani terganggu ekonominya dalam
penyediaan kebutuhan sehari-hari keluarganya dan upah tenaga petik serta tidak dapat membayar
tanggungan hutang sarana produksi. Petani kehilangan sebagian modal usaha-taninya. Ada
sebagian petani terpaksa menjual ternak sapinya untuk mengembalikan hutangnya. Fee bagian
KUD dan kelompoktani yang dijanjikan perusahaan tidak dapat terealisir.
Beberapa hal yang memberatkan inilah yang menyebabkan petani enggan menyetor hasil
panen cabai merahnya ke perusahaan dan terpaksa menjualnya ke pedagang pengumpul di desa
guna memperoleh uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan melanjutkan kegiatan
usahataninya, walaupun dengan harga sangat murah dan secara ekonomis merugi.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
1.

Rantai pemasaran yang dibentuk dengan PT Berkah Alam Kasturi belum mampu
memberikan efisiensi yang lebih besar daripada rantai pemasaran sebelum kemitraan, sehingga
rantai pemasaran yang sudah lama ada di desa merupakan model rantai pemasaran yang dapat
dikembangkan.

2.

Pendapatan usahatani (keuntungan) petani non kooperator meningkat dari Rp 1.017.750,di tahun 2003 menjadi Rp 2.087.800,- di tahun 2004. Petani kooperator memperoleh
keuntungan lebih besar (Rp 7.495.000,-) dibandingkan dengan keuntungan petani non
koperator (Rp 2.087.800,-). Namun petani koperator pada tahun 2004 menerima keuntungan
lebih kecil (Rp 7.495.000,-) dibanding keuntungan yang diterima pada tahun 2003 (Rp
10.145.000,-).

3.

Pemesanan kompos dalam jumlah besar oleh PT Agrindo Nusantara merupakan peluang
pengembangan usaha dalam sistem agribisnis di pedesaan.

4.

Adanya dua alternatif model pemasaran yang dapat dikembangkan, diharapkan Pemda
melalui dinas terkait dapat memfasilitasi adanya kemitraan dalam pemasaran cabai merah ini
dengan dua mitra usaha agar monopoli dapat dihindari. Mitra yang satu diharapkan akan
merupakan penyeimbang bagi mitra yang lain. Kemitraan yang dibangun harus betul-betul
merupakan usaha bersama yang mempertimbangkan adanya modal bersama dan ditujukan
untuk mendapatkan keuntungan bersama sesuai dengan proporsinya.

5.

Penetapan komoditas pada setiap sentra produksi perlu mengacu pada keunggulan
komparatif dan keunggulan kompetitif dari komoditas yang dikembangkan. Pengembangan
unit-unit agribisnis pada setiap sentra produksi sebaiknya mengembangkan pola kemitraan dan
memfasilitasinya dengan sarana penyimpanan yang mampu memperlambat kerusakan dan
pembusukan komoditas yang akan dipasarkan.

6.

Mendorong berkembangnya kelembagaan tani yang diharapkan akan berperan sepenuhnya


sebagai pengendali utama sistem agribisnis. Pengembangan keorgani-sasian dalam agribisnis
yang berbasis kelompok tani merupakan langkah strategis yang harus dilakukan bersamaan
dengan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna dalam bidang pertanian.
DAFTAR PUSTAKA

Adiyoga, W. 1996. Produksi dan Konsumsi Cabai Merah. Dalam: Duriat, A.S. dkk (penyunt)
Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 4 13 . Balitsa Lembang. 113 hal.
Budianto, J., 2001. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui Penerapan Teknologi
Partisipatif. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian. BPTP NTB,
Badan Litbang Pertanian. Mataram. 9 hal.
Irawan, B., 2003. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi Dengan Basis Kawasan Pasar.
Forum Penelitian Agro ekonomi, Vol 21, No.1. Juli 2003. p: 6782. ISSN: 0216 4361.
PSE Badan Litbang Pertanian, Deptan. Bogor. 82p.
Kumoro, K., I. K. Puspadi, M. Zairin, Sudjudi, D. P Sudjatmiko, Mashur. 2003. Pengkajian
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Cabai Merah di Nusa Tenggara Barat. Laporan
akhir. BPTP NTB. 27p.
Muharam, A. 2003. Penelitian dan Pengkajian Pengelolaan Tanaman Tepadu Cabai Merah. Materi
pelatihan TOT Cabai Merah. Balitsa, Lembang.
Puspadi, I K., K.Kumoro dan Mashur, 2004. Study on Supply Chain Management of Hot Pepper in
West Nusa Tenggara. Makalah Seminar. 7 p.
Saragih, B. dan P., Simanjuntak, 1997. Pembinaan Sumberdaya Manusia Sistem Agribisnis
Agroindustri dengan Subsistem serta Kelembagaan Pendukungnya. Seminar Nasional
Pembangunan Perekonomian Pedesaan Indonesia. Faperta IPB, Bogor.
Simatupang, P. dan N. Syafaat, 2003. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani Melalui
Penerapan Teknologi Partisipatif. (1-11). Dalam: Baharudin dkk (Ed). Prosiding Seminar
Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian dan
Penerapan Teknologi Tepat Guna. BPTP NTB, Badan Litbang Pertanian. Mataram.
Sudaryanto,T., dan E. Pasandaran. 1993. Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Sumarni,

N., 1996. Budidaya Tanaman Cabai Merah. Dalam : Duriat, A.S. dkk (penyunt)
Teknologi Produksi Cabai Merah. p: 36-47. Balitsa Lembang. 113 hal.

Sumarno, 2004. Pengembangan Agribisnis Hortikultura Menghadapi Pasar Bebas Internasional.


Makalah Temu Usaha Penas XI di Minahasa, 57 Juni 2004. Direktorat Jendral Bina
Produksi Hortikultura, Departemen Pertanian. 18 p.

Anda mungkin juga menyukai