NAPAS
1. Batuk
Batuk merupakan refleks pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeabronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting
untuk membersihkan saluran napas bagian bawah, dan banyak orang dewasa normal
yang batuk beberapa kali setelah pagi hari untuk membersihkan trakea dan faring
dari sekret yang terkumpul selama tidur. Batuk juga merupakan gejala terserang
penyakit pernapasan. Segala jenis batuk yang berlangsung lebih dari tiga minggu
harus diselidiki untuk memastikan penyebabnya.
Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk adalah rangsangan mekanik,
kimia, dan peradangan. Inhalasi asap, debu, dan benda-benda asing kecil merupakan
penyebab batuk yang paling sering. Perokok seringkali menderita batuk kronik
karena terus menerus mengisap benda asing (asap), dan saluran napasnya sering
mengalami peradangan kronik. Rangsangan mekanik dari tumor (ekstrinsik maupun
intrinsik) terhadap saluran napas merupakan penyebab lain yang dapat
menimbulkan batuk (tumor yang paling sering menimbulkan batuk adalah
karsinoma bronkegenik). Setiap proses peradangan saluran napas dengan atau tanpa
eksudat dapat mengakibatkan batuk. Bronkitis kronik, asma, tuberkulosis, dan
pneumonia merupakan penyakit yang secara tipikal memiliki batuk sebagai gejala
yang mencolok. Batuk dapat bersifat produktif, pendek dan tidak produktif, keras
dan parau (seperti ada tekanan pada trakea), sering, jarang, atau paroksismal
(serangan batuk yang intermiten).
2. Adanya Sputum
Orang dewasa normal menghasilkan mukus sekitar 100 ml dalam saluran
napas setiap hari. Mukus ini diangkut menuju faring dengan gerakan pembersihan
normal silia yang melapisi saluran pernapasan. Kalau terbentuk mukus yang
berlebihan, proses normal pembersihan mungkin tak efektif lagi, sehingga akhirnya
mukus tertimbun. Bila hal ini terjadi, membran mukosa akan terangsang, dan mukus
dibatukkan keluar sebagai sputum. Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin
disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi, atau infeksi pada membran mukosa.
Ortopnea adalah napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan
biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau
penambahan elavasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut. Penyebab tersering
ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat peningkatan volume darah di
vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea juga merupakan gejala yang
sering muncul pada banyak gangguan pernapasan. Dispnea nokturna paroksismal
menyatakan timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk
dengan segera untuk bernapas.
Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah
waktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama
dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang
terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume
intravaskular pusat.
Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu dari keadaan ini yaitu:
(1) penyakit kardiovaskular, (2) emboli paru, (3) penyakit paru interstitial atau
alveolar, (4) gangguan dinding dada atau otot-otot, (5) penyakit obstruktif paru, atau
(6) kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif,
dan penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai oleh dispnea mendadak.
Dispnea merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang
percabangan trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya
dikaitkan dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan
akibat meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau
dinding dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif
dengan meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emifisema, bronkitis, asma).
Tetapi kalau beban kerja pernapasan meningkat secara kronik, maka pasien yang
bersangkutan dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea.
Dispnea juga dapat terjadi jika otot pernapasan lemah (contohnya, miastenia
gravis), lumpuh (contohnya, poliomielitis, sondrom Guillain-Barre), letih akibat
meningkatnya kerja pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan
kerja mekanis (contohnya, emfisema yang berat atau obesitas). Pada akhirnya,
penderita sindrom hiperventilasi akibat kecemasan atau stres emosional sering
mengeluhkan dispnea. Pola pernapasan pada kelompok ini seringkali aneh, dengan
ketidakteraturan frekuensi maupun tidal volume. Pada lain waktu, pola pernapasan
menjadi hiperventilasi yang menetap sehingga pasien mengeluh kesemutan pada
ekstrimitasnya dan terdapat perasaan melayang. Bila pola pernapasan abnormal
hilang saat tidur, dicurigai terdapat penyebab psikogenik.
4. Sianosis
Sianosis adalah warna kebiru-biruan pada kulit dan selapur lendir yang
terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tak berkaitan
dengan O2). Sianosis dapat tanda insufisiensi pernapasan, meskipun bukan
merupakan tanda yang dapat diandalkan.
Ada dua jenis sianosis: sianosis sentral dan sianosis perifer. Sianosis
sentral disebabkan oleh insufisiensi oksigenasi Hb dalam paru, dan paling mudah
diketahui pada wajah, bibir, cuping telinga, serta bagian bawah lidah. Sianosis
biasanya tak diketahui sebelum jumlah absolut Hb tereduksi mencapai 5g per 100
ml atau lebih pada seseorang dengan konsentrasi Hb yang normal (saturasi oksigen
[SaO2] kurang dari 90%). Jumlah normal Hb tereduksi dalam jaringan kapiler
adalah 2,5 g per 100 ml. Pada orang dengan konsentrasi Hb yang normal, sianosis
akan pertama kali terdeteksi pada SaO2 kira-kira 75% dan PaO2 50 mmHg atau
kurang. Penderita anemia (konsentrasi Hb rendah) mungkin tak pernah mengalami
sianosis walaupun mereka menderita hipoksia jaringan yang berat karena jumlah
absolut Hb tereduksi kemungkinan tidak dapat mencapai 5 g per 100 ml.
Sebaliknya, orang yang menderita polisitemia (konsentrasi Hb yang tinggi) dengan
mudah mempunyai kadar Hb tereduksi 5 g per 100 ml walaupun hanya mengalami
hipoksia yang ringan sekali. Foktor-faktor lain yang menyulitkan pengenalan
sianosis adalah variasi ketebalan kulit, pigmentasi dan kondisi penerangan.
Selain sianosis yang disebabkan oleh insufisiensi pernapasan (sianosis sentral), akan
terjadi sianosis perifer bila aliran darah banyak berkurang sehingga sangat
menurunkan saurasi darah vena, dan akan menyebabkan suatu daerah menjadi biru.
Sianosis perifer dapat terjadi akibat insufisiensi jantung, sumbatan pada aliran
darah, atau vasokonstriksi pembuluh darah akibat suhu yang dingin.
Sejumlah kecil methemoglobin atau sulfhemoglobin dalam sirkulasi dapat
menimbulkan sianosis, walaupun jarang terjadi. Ada banyak hal yang
mengakibatkan sianosis (dan sianosis sulit dikenali) sehingga sianosis merupakan
petunjuk insufisiensi paru yang tidak dapat diandalkan.
5. Hipoksemia dan Hipoksia
Istilah hipoksemia menyatakan nilai PaO2 yang rendah dan seringkali ada
hubungannya dengan hipoksia, atau oksigenasi jaringan yang tidak memadai.
Hipoksemia tak selalu disertasi dengan hipoksia jaringan. Seseorang masih dapat
mempunyai oksigenasi jaringan yang normal, tapi menderita hipoksemia; seperti
juga seseorang masih dapat memiliki PaO2 normal tetapi menderita hipoksia
jaringan (karena gangguan pengiriman oksigen dan penggunaan oksigen oleh selsel).
ASKEP INFLUENZA
1. Influenza yang lebih sering dikenal sebagai flu adalah penyakit saluran pernapasan akut
yang disebabkan oleh virus influenza A dan B.
2. Virus influenza merupakan virus yang kompleks dan terus-menerus berubah. Struktur
fisik virus ini cenderung mengalami perubahan-perubahan kecil pada antigen
permukaan selama fase replikasi yang dapat meyebabkan virus menginvasi sistem
kekebalan pejamu. Hal ini menjelaskan bahwa seseorang yang terinfeksi dapat
mengalami reinfeksi pada tahun berikutnya meskipun sudah punya antibodi terhadap
virus pertama.
3. Ada dua tipe virus influenza yang dapat menyebabkan epidemi pada manusia, yaitu
influenza A dan influenza B.
1. Virus influenza A dibagi lagi dalam subtipe berdasarkan dua antigen permukaan,
hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N).
2. Virus influenza B tidak dibagi lagi dalam subtipe.
4. Selanjutnya virus influenza A dan B dikelompokkan berdasarkan karakteristik
antigeniknya.
5. Virus influenza dengan antigen permukaan baru merupakan varian virus yang telah ada,
berasal dari perubahan antigen yang cepat terjadi karena mutasi yang terjadi pada saat
replikasi.
1. Virus A dapat menginfeksi beberapa spesies hewan, seperti burung, babi,kuda, ikan
paus dan singa laut.
2. Virus influenza B mengalami perubahan antigen lebih lambat dibanding dengan
virus influenza A
6. Virus influenza digolongkan dalam kelompok virus RNA (Ribose Nucleic Acid) dan
dibagi atas tiga tipe, yaitu A, B, dan C.
7. Virus dengan tipe A dan B bisa menyebabkan epidemik, khususnya saat musim salju di
negara dengan empat musim.
8. Sedangkan virus influenza tipe C hanya menyebabkan masalah pernafasan yang ringan,
dan diduga bukan penyebab dari epidemik.
9. Penyakit flu sukar sekali dibasmi karena virus flu sering mengadakan perubahan.
Perubahan yang terjadi pada virus flu terdiri dari dua macam cara.
1. Yang pertama dikenal dengan antigenic drift atau penyimpangan antigen, yaitu
perubahan kecil pada virus yang terjadi setiap saat. Antigenic drift menyebabkan
munculnya virus yang berbeda dengan sebelumnya, sehingga tidak dapat dikenali
oleh sistem imun tubuh.
Hasilnya, sebagian besar orang yang telah kebal terhadap virus sebelumnya karena
telah terpapar, menjadi berisiko untuk sakit kembali.
2. Proses kedua yang dapat menyebabkan perubahan adalah antigenic shift. Yaitu
perubahan yang besar dari virus, ketika terbentuk hemagglutinin yang baru yang
dapat diikuti dengan protein neuraminidase yang baru pula. Antigenic shift dapat
menimbulkan munculnya subtipe virus influenza yang baru.
10. Gejala berupa:
1. Demam mendadak disertai menggigil
2. Sakit kepala
3. Badan lemah
4. Nyeri otot dan sendi
11. Gejala ini bertahan selama 3 7 hari. Bila penyakit bertambah berat, gejala tersebut
diatas akan berganti dengan gejala penyakit saluran pernafasan seperti batuk, pilek dan
sakit tenggorokan. Kadang-kadang juga disertai gejala sakit perut, mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik : muka kemerahan, mata kemerahan dan berair serta kelenjar
getah bening leher dapat teraba.
12.
Apa yang dapat diakibatkan Penyakit Influenza? Akibat penyakit Influenza yang
ditakutkan adalah timbulnya infeksi sekunder, seperti; radang paru-paru( Pneumonia ),
myositis, sindroma Reye, gangguan syaraf pusat. Disamping itu, penderita/ pengidap
penyakit kronis dapat bertambah berat bila terkena penyakit Influenza. Beberapa
penyakit kronis tersebut, seperti; Asma, paruparu kronis, jantung, kencing manis,
ginjal kronis, gangguan status imunitas tubuh, kelainan darah dll.
13.
14. Komplikasi Influenza
15. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi tambahan termasuk bakteri
pneumonia karena dehidrasi, dan kondisi lain yang memperparah keadaan, seperti
mengidap diabetes, asma, dan kelainan jantung. Anak-anak sering mendapat masalah
pada sinus dan infeksi telinga sebagai komplikasi dari flu. Manula di atas 65 tahun atau
pasien yang masih anak-anak, dan penderita yang memiliki penyakit kronis, jika
b. Sirkulasi
Tanda:
-
c. Integritas Ego
Tanda: Ansietas, ketakutan, peka rangsang
d. Makanan/Cairan
Gejala:
-
Mual/muntah.
25. Tanda:
-
e. Pernapasan
Gejala:
-
Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari selama minimun 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun.
26. Tanda:
-
f. Interaksi Sosial
Gejala:
-
Hubungan ketergantungan.
g. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala:
-
2. Diagnosa keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan Bersihan jalan napas, berihubungan
dengan peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental akibat
influenza.
Intervensi:
1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi napas, misal mengi, krekels,
ronki
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas
dan dapat/tak dimanifestasikan adanya bunyi napas adventisius, misal
penyebaran, krekels basah (bronkitis); bunyi napas redup dengan ekspirasi
mengi (emfisema); atau tak adanya bunyi napas (asma berat).
2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi.
Rasional : Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada penerimaan atau selama stres/adanya proses infeksi akut. Pernapasan dapat
melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3. Catat adanya/derajat dispnea, mis., keluhan lapar udara, gelisah, ansietas,
distres pernapasan, penggunaan otot bantu.
Rasional : Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap
proses kronis selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit,
mis., infeksi, reaksi alergi.
4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, mis., peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur
Rasional : Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan
dengan menggunakan gravitasi. Namun, pasien dengan distres berat akan
mencari posisi yang paling mudah untuk bernapas. Sokongan tangan/kaki
dengan meja, bantal, dan lain-lain membantu menurunkan kelemahan otot dan
dapat sebagai alat ekspansi dada.
5. Pertahankan polusi lingkungan minimum, mis., debu, asap, dan bulu bantal
Membiasakan diri untuk membersihkan ingus memakai kertas tissu atau sapu
tangan yang dapat menyerap cairan hidung dan membuangnya di tempat sampah.
Selalu memakai masker (penutup) hidung dan mulut yang bersih agr terhindar dari
percikan air ludah/ liur yang keluar dari penderita sewaktu bercakap-cakap atau
terkena percikan dahak, ingus, batuk dan bersin.
jangan sering keluar malam, jika ada alergi antisipasi dengan minum vitamin sesuai
kebutuhan.
Menghindari diri agar tidak kontak dekat dengan penderita bergejala dan tanda
penyakit Influenza.
Sedapat mungkin menghindari kerumunan kepadatan manusia atau tempat - tempat
yang dipadati orang terutama pada tempat seperti dipasar, atau pun tempat
keramaian lainnya.
27. DAFTAR PUSTAKA
Capernito,Linda juall.2001.Buku Saku Diagnosa Keperawatan.Jakarta.EGC
Corwin,Ellizabetz,2001.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta.EGC
Doengoes,1999.Perencanaan Asuhan Keperawatan.Jakartan.EGC
BPhttp://www.infeksi.com/articles.php?lng=in&pg=15HI setempat.
http://www.freelists.org/archives/ppi/03-2004/msg00000.html
hthttp://beingmom.org/index.php/2006/12/08/penjelasan-imunisasi/
tp://www.pikiranrakyat.com/cetak/0204/26/cakrawala/laput1.htmhttp://www.pppl.depkes.go.id/catalogcd
c/kamus_detail_klik.asp?abjad=P&id=2005111810220104830710&count=13&page=1
28. Diposting oleh keperawatan ADIL AKPER di 01:25 0 komentar
29.
46. Persisten
47.
48.
49. Polip Hidung
50.
51.
52. Ggn. Pola nafas
53.
54. Gejala Klinik :
-
Sumbatan hidung
Hiposmia / anosmia
55.
56.
57. Pengobatan :
58. Polip yang masih kecl dapat diobati dengan kortikosteroid (secara konservatif) baik
lokal maupun secara sistemik. Pada polip yang cukup besar dan persisten dilakukan
tindakan operatif berupa pengangkatan polip (polipectomy).
59. Dalam kejadian polip berulang maka dilakukan etmoidectomy baik intranasal maupun
ekstranasal.
60.
a :
69.
70. SIRKULASI
71. Gejal 72. Lelah, pucat atau tidak ada tanda sama sekali
a
73. Tand
a
76.
77. INTEGRITAS EGO
78. Gejala
80. Tanda
82.
83. MAKANAN/CAIRAN
84. Gejala
87. Tanda
89.
88. -
90. NYERI/KENYAMANAN
91. Gejala
93. Tanda
95.
96. PERNAPASAN
97. Gejala
98. Dispnea
99. Tanda
100.
Dispnea, takikardia
101.
Pernafasan mulut
102.
103.
104.
105.
1.
Rencana Keperawatan
106.
PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Memberikan dukungan fisik dan psikologi selama tes diagnostik dan program pengobatan.
2. Mencegah komplikasi
3. Menghilangkan nyeri
4. Memberikan informasi tentang penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan
107.
108.
TUJUAN PEMULANGAN
109.
Komplikasi dicegah/menurun
110.
Nyeri hilang/terkontrol
111.
112.
113.
Diagnosa
114.
Keperawatan
115.
Hasil Yang
Diharapkan/Kriteria
117.
118.
119.
INTERVENSI
120.
121.
122.
Kaji/awasi prekuensi
RASIONAL
Mandiri
123.
125.
126.
127.
bibiratau pernapasan
diindikasikan
menurunkan ansietas
128.
129.
hipoksemia.
130.
131.
meningkatkan kelelahan.
dispnea
antara aktivitas
132.
Identifikasi/dorong tehnik
133.
Membantu menurunkan
135.
Memburuknya keterlibatan
mengindikasikan penghentian
aktivitas untuk mencegah pengaruh
pernapasan lebih serius
136.
137.
Meningkatkan relaksasi,
139.
periorbital/fasial, dispnea,dan
stridor
kedaruratan onkologis.
140.
141.
Kolaborasi
142.
Memaksimalkan ketersediaan
Awasi pemeriksaan
144.
147.
148.
149.
ASUHAN KEPERAWATAN
150.
I. KONSEP MEDIS
151.
rongga hidung.
152.
a.
2. Klasifikasi Histopatologi:
Tumor jinak:
Dari jaringan lunak :
jaringan
fibrisarkoma, rabdomiosarkoma.
tulang/tulang
rawan:
osteosarkoma,
kondrosarkoma.
153.
Gejala Klinis:
154.
Gejala dini tidak khas, pada stadium lanjut tergantung asal tumor dan arah
perluasannya.
155.
Gejala hidung:
Diagnosis:
Pemeriksaan:
Pemeriksaan penunjang:
-
Foto sinar X:
o WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan
sinus frontal)
o Tengkorak lateral ( untuk melihat ekstensi ke fosa kranii anterior/medial)
o RHEZZE (untuk melihat foramen optikum dan dinding orbita)
o CT Scan (bila diperlukan dan fasilitas tersedia)
Biopsi:
o Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak.
Tumor dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi
inferior. Bila perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan CaldwellLuc. Tumor yang tidak mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi.
Terapi:
Tumor jinak:
158.
1) Rinotomi lateral
2) Caldwell-Luc
3) Pendekatan trans-palatal
Tumor ganas:
1) Pembedahan:
o Reseksi:
Rinotomi lateral
1. PENGKAJIAN
a. Riwayat Keperawatan dan Pengkajian Fisik:
161.
162.
Gejala hidung:
Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan ventilasi sinus, sedangkan
rasa nyeri terus-menerus dan progresif umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
163.
tumor seperti:
Pembengkakan pipi
164.
Kelelahan/malaise umum
Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum: didapatkan pembengkakan
sesuai lokasi pertumbuhan tumor
b. Pengkajian Diagnostik:
Foto sinar X:
WATER (untuk melihat perluasan tumor di dalam sinus maksilaris dan sinus
frontal)
Biopsi:
Biopsi dengan forsep (Blakesley) dilakukan pada tumor yang tampak. Tumor
dalam sinus maksilaris dibiopsi dngan pungsi melalui meatus nasi inferior. Bila
perlu dapat dilakukan biopsi dengan pendekatan Caldwell-Luc. Tumor yang tidak
mungkin/sulit dibiopsi langsung dilakukan operasi. Untuk kecurigaan terhadap
keganasan bila perlu dilakukan potong beku untuk diperiksa lebih lanjut.
INTERVENSI KEPERAWATAN
170.
169.
RASIONAL
181.
1. Orientasikan klien dan orang terdekat 182. Informasi yang tepat tentang situasi
terhadap prosedur rutin dan aktivitas
yang dihadapi klien dapat menurunkan
yang diharapkan.
kecemasan/rasa
asing
terhadap
171.
172.
173.
2. Eksplorasi
kecemasan
klien
dan 183.
184.
Mengidentifikasi
faktor
174.
175.
klien
(significant
kecemasan
ditemani
others)
dan
keluarga
selama
fase
pertahankan
ketenangan lingkungan.
177.
5. Kolaborasi pemberian obat sedatif.
178.
179.
185.
186.
176.
4. Ijinkan
dilakukan klien.
mencegah
perasaan
terisolasi
dan
menurunkan kecemsan.
191.
Menurunkan
kecemasan,
memudahkan istirahat.
192.
193.
Menilai
klien.
194.
195.
196.
197.
perkembangan
masalah
2) Gangguan harga diri b/d kelainan bentuk bagian tubuh akibat keganasan, efek-efek
radioterapi/kemoterapi.
i.
198.
INTERVENSI KEPERAWATAN
200.
199.
RASIONAL
208.
1. Diskusikan dengan klien dan keluarga 209. Membantu klien dan keluarga
pengaruh diagnosis dan terapi
memahami masalah yang dihadapinya
terhadap kehidupan pribadi klien dan
sebagai
aktiviats kerja.
pemecahan masalah.
langkah
awal
proses
201.
2. Jelaskan
efek
samping
dari
210.
212.
202.
terhadap
adaptasi
klien
yang
mungkin
timbul.
213.
214.
kesulitan
masalah
ekonomi-fungsi-peran
dan
informasikan
kemungkinan
merupakan
keganasan.
215.
216.
Menginformasikan
alternatif
206.
masalah klien.
Menilai
perkembangan
masalah
klien.
222.
223.
224.
3) Nyeri b/d kompresi/destruksi jaringan saraf dan proses inflamasi.
225.
INTERVENSI KEPERAWATAN
227.
226.
RASIONAL
232.
228.
nyeri
(teknik
236.
237.
Meningkatkan
partisipasi
klien
dan
meningkatkan
rasa
kontrol
diri/keman-dirian.
238.
239.
240.
241.
242.
Menilai
perkembangan
masalah
klien.
243.
244.
ii.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d peningkatan status metabolik akibat
keganasan, efek radioterapi/kemoterapi dan distres emosional.
245.
246.
INTERVENSI KEPERAWATAN
248.
247.
RASIONAL
257.
1. Dorong klien untuk meningkatkan 258. Asupan nutrisi dan cairan yang
asupan nutrisi (tinggi kalori tinggi
adekuat diperlukan untuk mengimbangi
protein) dan asupan cairan yang
status
adekuat.
dengan keganasan.
hipermetabolik
pada
klien
249.
2. Kolaborasi dengan tim gizi untuk
259.
nutrisi
perlu
menetapkan program diet pemulihan 260. Kebutuhan
diprogramkan secara individual dengan
bagi klien.
250.
3. Berikan
obat
anti
emetik
dan
diperlukan.
261.
251.
262.
252.
253.
makan
dan
membantu
proses
metabolisme.
263.
254.
lainnya)
sekali
seminggu
disajikan.
265.
255.
6. Kaji hasil pemeriksaan laboratorium
266.
Menilai
perkembangan
masalah
perkembangan
masalah
klien.
268.
269.
270.
271.
272.
Menilai
klien.
273.
274.
iii.
5) Risiko infeksi b/d ketidak-adekuatan pertahanan sekunder dan efek imunosupresi
radioterapi/kemoterapi
iv.
275.
INTERVENSI KEPERAWATAN
277.
276.
RASIONAL
287.
288.
278.
279.
hygiene.
2. Ajarkan
teknik
mencuci
tangan 289.
menghindari
mengorek/me-
290.
280.
292.
imunitas
296.
program terapi.
282.
297.
283.
298.
protein
sehubungan
digunakan
untuk
dengan 299. Antibiotik
mengatasi infeksi atau diberikan secara
284.
6. Kaji
tanda-tanda
gejala/tanda
infeksi
vital
pada
dan
infeksi.
seluruh 300.
sistem tubuh.
301.
285.
286.
antibodi.
302.
303.
DAFTAR PUSTAKA
308.
309.
310.
311.
Tim RSUD Dr. Soetomo (1994), Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit THT,
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.
312.
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, EGC,
Jakarta
313.
LAPORAN PENDAHULUAN
314.
SINUSITIS
315.
316.
Definisi :
317.
Sinusitis adalah : merupakan penyakit infeksi sinus yang disebabkan oleh kuman atau
virus.
318.
Etiologi
1. Rinogen
319.
2. Dentogen
320.
321.
Kuman penyebab :
Streptococcus pneumoniae
Hamophilus influenza
Steptococcus viridans
Staphylococcus aureus
Branchamella catarhatis
322.
Patofisilologi
323.4. Infeksi
1. Iri
ta
Kuman
2. eksudat
Purulen
324.
325.
5.
326.
Kuman
menyebar ke
327.
328.
10.Batuk
Gejalabatuk
Klinis :
329.
a.
8. Nyeri
3. pilek
bau
b.
c.
330.
Nyeri :
-
Hidung :
-
buntu homolateral
Suara bindeng.
Cara pemeriksaan
a. Rinoskopi anterior :
-
Mukosa merah
Mukosa bengkak
b. Rinoskopi postorior
-
mukopus nasofaring.
Kesuraman
Gambaran airfluidlevel
Penebalan mukosa
331.
Penatalaksanaan :
a.
Drainage
-
b.
Medical :
332.
333.
ampisilin 4 X 500 mg
amoksilin 3 x 500 mg
c.
d.
334.
335.
1.
Tinjauan Keperawatan
Pengkajian :
336.
337.
338.
339.
Pasien pernah menderita penyakit akut dan perdarahan hidung atau trauma
340. Riwayat keluarga : Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lalu yang
mungkin ada hubungannya dengan penyakit klien sekarang.
341. Riwayat spikososial
a.
b.
342.
b.
d.
343.
klien sering pilek terus menerus dan berbau menyebabkan konsepdiri menurun
Pola sensorik
Pemeriksaan fisik
a.
b.
Pemeriksaan fisik data focus hidung : nyeri tekan pada sinus, rinuskopi (mukosa
merah dan bengkak).
344.
Data subyektif :
345.
Observasi nares :
a.
b.
c.
Penggunaan obat tetes atau semprot hidung : jenis, jumlah, frekwensinyya , lamanya.
346.
Sekret hidung :
a.
b.
Epistaksis
c.
347.
Riwayat Sinusitis :
a.
b.
348.
349.
Data Obyektif
350.
353.
351.
Mukppurulen
352.
Purulen
Polip mungkin timbul dan biasanya terjadi bilateral pada hidung dan sinus yang
mengalami radang Pucat, Odema keluar dari hidng atau mukosa sinus
354.
355.
3.
a.
Pemeriksaan penunjung :
b.
Diagnosa Keperawatan
1.
2.
Cemas berhubungan dengan Kurangnya Pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur
tindakan medis(irigasi sinus/operasi)
3.
Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan dengan obstruksi /adnya secret yang
mengental
4.
Gangguan istirahat tidur berhubungan dengan hiidung buntu., nyeri sekunder peradangan
hidung
5.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan
menurun sekunder dari peradangan sinus
6.
1.
Perencanaan
361.
Kriteria hasil :
362.
363. Intervensi
a. Kaji tingkat nyeri klien
a.
365.
366.
b.
364. Rasional
Mengetahui tingkat nyeri klien
b.
367.
nyeri
c.
368.
c.
distraksi
nyeri
d.
369.
370.
d.
nyeri klien
keluhan klien
e.
obat Acetaminopen;
Aspirin, dekongestan
hidung
Drainase sinus
2) Pembedahan :
-
Irigasi Antral :
371.
Untuk sinusitis
maksilaris
-
372.
2.
Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan klien tentang penyakit dan prosedur
tindakan medis (irigasi/operasi)
373.
374.
Kriteria :
Klien mengetahui dan mengerti tentang penyakit yang dideritanya serta pengobatannya.
a.
375. Intervensi
Kaji tingkat kecemasan klien
a.
376. Rasional
Menentukan tindakan selanjutnya
b.
b.
Temani klien
c.
378.
379.
380.
c.
dimengerti
d.
lebih kooperatif
381.
d.
lebih tenang
384.
377.
f.
383.
385.
e.
f.
386.
3.
Jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi (penumpukan secret hidung)
sekunder dari peradangan sinus
387.
388.
Kriteria :
a.
389. Intervensi
kaji penumpukan secret yang ada
a.
391.
b.
tindakan selanjutnya
Observasi tanda-tanda vital.
b.
392.
c.
390. Rasional
Mengetahui tingkat keparahan dan
c.
pembersihan sekret
393.
4.
Gangguan pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan nafus makan
menurun sekunder dari peradangan sinus
a.
394.
395.
Kriteria :
396. Intervensi
kaji pemenuhan kebutuhan nutrisi
a.
klien
b.
kliem
b.
proses penyembuhan
d.
398.
c.
397. Rasional
Mengetahui kekurangan nutrisi
c.
sering
399.
Mengetahui perkembangan
Gangguan istirahat dan tidur berhubungan dengan hidung buntu, nyeri sekunder dari proses
peradangan
401.
402.
Kriteria :
a.
403. Intervensi
kaji kebutuhan tidur klien.
a.
405.
404. Rasional
Mengetahui permasalahan klien
dalam pemenuhan kebutuhan
istirahat tidur
406.
b.
b.
c.
c.
d.
d.
407.
pemberian obat
DAFTAR PUSTAKA
lewat hidung
408.
409.
Lab. UPF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan tenggorokan FK Unair, Pedoman
diagnosis dan Terapi Rumah sakit Umum Daerah dr Soetom FK Unair, Surabaya
410.
411.
412.
413.
CA NASOFARING
Pengertian
414. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan
predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty &
Nurbaiti, 2001)
415.
Etiologi
416. Insidens karsinoma nasofaring yang tinggi ini dihubungkan dengan kebiasaan makan,
lingkungan dan virus Epstein-Barr (Sjamsuhidajat, 1997). Selain itu faktor geografis, rasial,
jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi
kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Tetapi
sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epsteinbarr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer anti-virus EEB yang cukup tinggi
(Efiaty & Nurbaiti, 2001).
Tanda dan Gejala
417.
lain :
1.
Gejala nasofaring
418.
2.
Merupakan gejala dini karena tempat asal tumor dekat muara tuba Eustachius
(fosa Rosenmuller). Gangguan yang timbul akibat sumbatan pada tuba eustachius seperti
tinitus, tuli, rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia)
3.
Karena dekat dengan rongga tengkorak maka terjadi penjalaran melalui foramen
laserum yang akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI sehingga dijumpai diplopia, juling,
eksoftalmus dan saraf ke V berupa gangguan motorik dan sensorik.
421.
Karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare yang sering disebut sindrom Jackson. Jika seluruh saraf
otak terkena disebut sindrom unialteral.
4.
Patofisiologi
12.424.geografis
hidup
425.
-pekerjaan
30. Kerus
29. gg.int
akan
jaring
egrita
s kulit
31. Tx.
26. Gejala
radiasi
17. Post
- gaya
35.Pertumbuhan sel
abnormal
34. Karsinoma
nasofaring
25. Gejala
hidung
22. Hidun
radiotera
g
tersu
mata
21. p
i
28. Meneka
n bone
narrow
27. Sist
haemo
poetik
426.
23. Gejala
24. Gejala
pendeng
aran
18. Hilan
g
pend
saraf
32. Gejala
tumor
lain
20. N
ye
ri
19. S
us
ah
427.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan CT-Scan daerah kepala dan leher untuk mengetahui keberadaan tumor
sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan ditemukan.
2. Pemeriksaan Serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk mengetahui infeksi virus
E-B.
3. Untuk diagnosis pasti ditegakkan dengan Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dari hidung dan mulut. Dilakukan dengan anestesi topikal dengan
Xylocain 10 %.
4. Pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis.
Penatalaksanaan Medis
1. Radioterapi merupakan pengobatan utama
2. Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher
yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran dan
tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan
serologik) , pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi,
vaksin dan antivirus.
3. Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil.
Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum. Kombinasi
kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral sebelum diberikan
radiasi yang bersifat RADIOSENSITIZER.
428.
Pengkajian
Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker
payudara
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan makan makanan
yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan dan kebiasaan
hidup.
1. Tanda dan gejala :
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor
yangmempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan
bising usus, distensi abdomen.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah,
mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan
kelembaban/turgor kulit.
Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah
leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran
Pernapasan
429.
pemajanan
Keamanan
430.
Seksualitas
431.
kepuasan.
Interaksi sosial
432.
433.
434.
435.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa
Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Doenges, Marilynn E. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3. Jakarta : EGC;1999
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ; 1997
436.
437.
5. Purnaman S. Pandi
438.
ANGIOFIBROMA
439.
A.
PENGERTIAN
440.
cenderung menimbulkan perdarahan yang sulit dihentikan dan terjadi pada laki-laki
prepubertas dan remaja.
441.
Umumnya terdapat pada rentang usia 7 s/d 21 tahun dengan insidens terbanyak
antara usia 14-18 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun.
443.
Tumor ini merupakan tumor jinak nasofaring terbanyak dan 0,05% dari seluruh
ETIOLOGI
445.
Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai jenis teori banyak diajukan.
Secara histopatologi tumor ini termasuk jinak tetapi secara klinis ganas karena
bersifat ekspansif dan mempunyai kemampuan mendestruksi tulang. Tumor yang kaya
pembuluh darah ini memperoleh aliran darah dari arteri faringealis asenden atau arteri
maksilaris interna. Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap
nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini
meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra
kranial setelah mengerosi dasar tengkorak .
447.
448.
449.
C.
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang
paling sering, diikuti epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%); khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan
gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum serta deformitas
pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena sentuhan
jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
451.
D.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
452.
x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Dijumpai tanda Holman-Miller pada
pemeriksaan x-foto polos berupa lengkungan ke depan dari dinding posterior sinus maksila4.
Biopsi tidak dianjurkan mengingat resiko perdarahan yang masif dan karena teknik
pemeriksaan radiologi yang modern sekarang ini dapat menegakkan diagnosis dengan tingkat
ketepatan yang tinggi.
453.
Tumor ini dapat didiagnosis banding dengan polip koana, adenoid hipertrofi, dan
lain-lain.
454.
E.
PENATALAKSANAAN
455.
stereotactic radioterapi; digunakan jika ada perluasan ke intrakranial atau pada kasus-kasus
yang rekuren.
456.
Penatalaksanaan tumor ini adalah dengan pembedahan yang sering didahului oleh
embolisasi intra-arterial 24-48 jam preoperatif yang berguna untuk mengurangi perdarahan
selama operasi2,4,5. Material yang digunakan untuk embolisasi ini terdiri dari mikropartikel
reabsorpsi seperti Gelfoam, Polyvinyl alcohol atau mikropartikel nonabsorpsi seperti Ivalon
dan Terbal. Penggunaan embolisasi ini tergantung pada ahli bedah masing-masing. \
F.
KOMPLIKASI
457.
transformasi maligna.
458.
G.
STADIUM ANGIOFIBROMA
459.
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem yang
1.
Stage IA
Stage IB
nasofaring
2.
Stage IIA
Stage IIB
pterygomaksila.
4.
Stage IIIA
Stage IIIB
yang minimal.
6.
1. Stage I
2. Stage II
destruksi tulang.
3. Stage III
463.
464.
465.
466.
467.
H. PENGKAJIAN
a.
Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek dengan
riwayat kanker payudara
b.
Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
c.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan
makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging dan ikan).
d.
Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan lingkungan
dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
e.
Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidung.
Integritas ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin, perubahan
bising usus, distensi abdomen.
Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia, mual/muntah,
mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan, kakeksia, perubahan
kelembaban/turgor kulit.
468.
Neurosensori
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di daerah
leher karena fibrosis jaringan
Pernapasan
469.
470.
471.
472.
474.
475.
Intervensi :
Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan aktivitas hiburan.
476.
2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ sekunder
477.
478.
479.
Intervensi :
480.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual muntah
sekunder
481.
482.
Kriteria hasil :
Intervensi :
Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan dan
toleransi pasien
Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian obat, kaji
masukan dan haluaran.
Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan cairan
adekuat.
Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan kebisingan)
484.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
imunosupresi
485.
486.
Kriteria hasil :
Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah disfungsi
dan infeksi respiratori
487.
Intervensi :
Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam, menggigil,
perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa perih saat
berkemih
Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi
pengunjung yang mengalami infeksi.
Pantau suhu
488.
9. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem hematopoetik
489.
490.
Kriteria hasil :
491.
Intervensi :
492.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Averdi R, Umar SD. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam : Efiaty AS, Nurbaiti I.
2.
Buku ajar ilmu kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 5, Jakarta :
Balai Penerbit FK UI, 2001. 151-2.
3.
Tewfik
TL.
Juvenile
from
URL :
http://www.emedicine.com/ent/topic470.htm
4.
Adams GL, et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 1997.
5.
Sadeghi
N.
Sinonasal
Papillomas,
Treatment.
Available
from
URL
http://www.emedicine.com/ent/topic529.htm
6.
7.
Efiaty Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2001
8.
R. Sjamsuhidajat &Wim de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta : EGC ;
1997
493.
4. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001
494.
495.