Anda di halaman 1dari 33

KEBIJAKAN PEMERINTAH DAN

KELEMBAGAAN MITIGASI
BENCANA

Tanggap Darurat
(response)
Upaya yang dilakukan segera
pada saat kejadian bencana,
untuk menanggulangi
dampak yang ditimbulkan,
terutama berupa
penyelamatan korban dan
harta benda, evakuasi dan
pengungsian.

Bantuan Darurat (relief)


Merupakan upaya untuk
memberikan bantuan
berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan
dasar berupa :
- pangan,
- sandang
- tempat tinggal
sementara
- kesehatan, sanitasi

dan air bersih

Pemulihan (recovery)
Proses pemulihan darurat kondisi
masyarakat yang terkena bencana,
dengan memfungsikan kembali
prasarana dan sarana pada
keadaan semula.
Upaya yang dilakukan adalah
memperbaiki prasarana dan
pelayanan dasar (jalan, listrik, air
bersih, pasar puskesmas, dll).

Rehabilitasi
(rehabilitation)
Upaya langkah yang diambil setelah
kejadian bencana untuk membantu
masyarakat memperbaiki rumahnya,
fasilitas umum dan fasilitas sosial
penting, dan menghidupkan kembali
roda perekonomian.

Rekonstruksi
(reconstruction)
Program jangka menengah dan
jangka panjang guna perbaikan fisik,
sosial dan ekonomi untuk
mengembalikan kehidupan
masyarakat pada kondisi yang sama
atau lebih baik dari sebelumnya.

PERATURAN PERUNDANGAN
PERLINDUNGAN LH

Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi


Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Undang-Undang No.5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati.
Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahaan
UNCLOS.
Undang-Undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia.
Undang-Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang.UU26/2007
Undang-Undang No.9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan.

Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang


Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang No.31 Tahun 2004 tentang
Perikanan.
Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Suaka Margasatwa.
Peraturan Pemerintah No.60 Tahun 2007 tentang
Konservasi Sumberdaya Ikan.
Kepres No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.17
Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

UU No. 5 1990 Tentang : Konservasi Sumberdaya


Alam Hayati Dan Ekosistemnya
Pasal 5
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
dilakukan melalui kegiatan :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa beserta ekosistemnya;
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati
dan ekosistemnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 27 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Pasal 28
Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
diselenggarakan untuk
1. menjaga kelestarian Ekosistem Pesisir dan Pulau2 Kecil;
2. melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain;
3. melindungi habitat biota laut; dan
4. melindungi situs budaya tradisional.

UU 5 1990
Pasal 2
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
berasaskan pelestarian kemampuan dan pemanfaatan
sumber daya alam hayati dalam ekosistemnya secara
serasi dan seimbang.
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber
daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya
sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

UU 27 2007

Pasal 30
Perubahan status Zona inti sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 untuk kegiatan eksploitasi yang dapat
menimbulkan dampak besar dilakukan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah dengan memperhatikan
pertimbangan DPR.

UU 5 1990
Pasal 33
(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman
nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi,
menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta
menambah jenis tumbuhan dan satwa lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.

UU 5 1990

Pasal 40
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat
(2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratusjuta rupiah).

UU 27 2007

Reklamasi
Pasal 34
1. Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau
nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau
dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.
2. Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
b .keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan
kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil; serta
c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan
penimbunan material.
3. Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Presiden.

UU 27 2007

Pasal 50
1. Menteri berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas
provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
2. Gubernur berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut
lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas
kabupaten/kota.
3. Bupati/walikota berwenang memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir
1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi.
Pasal 51
1. Menteri berwenang menetapkan:
a. HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
b. Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak
besar terhadap perubahan lingkungan, dan
c. Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan
nasional.
2. Penetapan HP-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah
memperhatikan pertimbangan DPR.
3. Tata cara penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Pemerintah

PP 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan


Pasal 8

Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber


daya ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2), dapat
ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan.
Kawasan konservasi perairan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas taman nasional perairan, taman
wisata
perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan.
Kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat
(l)ditetapkan oleh Menteri.

Permen KP 17/2008 Tentang kawasan konservasi di wilayah pesisir


dan pulau-pulau kecil

KATEGORI KAWASAN KONSERVASI


Pasal 4
(1) Kategori kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil,
terdiri dari:
a. Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang
selanjutnyadisebut KKP3K;
b. Kawasan Konservasi Maritim, yang selanjutnya disebut KKM;
c. Kawasan Konservasi Perairan, yang selanjutnya disebut
KKP; dan
d. Sempadan Pantai.
(2) KKP dan Sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dan d, diatur dengan Peraturan Menteri
tersendiri.

Permen KP 17/2008
Pasal 5
Jenis KKP3K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a,
terdiri dari:
a. Suaka pesisir;
b. Suaka pulau kecil;
c. Taman pesisir; dan
1. Taman Nasional Perairan
d. Taman pulau kecil.
KKP
2. Taman Wisata Perairan

PP60/2007

3. Suaka Alam Perairan


4. Suaka Perikanan
Kawasan suaka alam (UU 5 1990)
a. cagar alam;
b. suaka margasatwa.

Kawasan pelestarian alam (UU 5 1990) :


a. taman nasional;
b. taman hutan raya;
c. taman wisata alam.

Permen KP 17/2008
Pasal 7
Jenis KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, terdiri
dari:
a. Daerah perlindungan adat maritim; dan
b. Daerah perlindungan budaya maritim.
Pasal 8

(1) KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, dapat ditetapkan sebagai
daerah perlindungan adat maritim apabila memenuhi kriteria:
a. wilayah pesisir dan/atau pulau kecil yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat
dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku;
b. mempunyai aturan lokal/kesepakatan adat masyarakat yang diberlakukan untuk
menjaga kelestarian lingkungan; dan
c. tidak bertentangan dengan hukum nasional.
(2) KKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dapat ditetapkan sebagai
daerah perlindungan budaya maritim apabila memenuhi kriteria:
a. tempat tenggelamnya kapal yang mempunyai nilai arkeologi-historiskhusus;
b. situs sejarah kemaritiman yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan pemanfaatan
guna memajukan kebudayaan nasional; dan
c. tempat ritual keagamaan atau adat.

UU 5 1990
Pasal 42
Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan
di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
yang telah ada sepanjang tidak bertentangan dengan Undangundang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan
pelaksanaan yang baru berdasarkan Undang-undang ini.

?
UU 27 2007

Pasal 78
Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ada,
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini, tetap berlaku
sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.

Kelembagaan Kawasan Konservasi


Kriteria Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan
konservasi:
1. Kelembagaan Tingkat Nasional
2. Kelembagaan Tingkat Daerah
3. Kelembagaan Tingkat Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan
Kepala Daerah Tk. II dengan menunjuk badan pengelola
yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah Tk. II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas
masyarakat lokal).

LANDASAN PENGURANGAN RESIKO


Landasan Global
BENCANA

Kesadaran untuk melakukan upaya


pengurangan risiko bencana pada lingkup
internasional merupakan tonggak awal
sekaligus landasan bagi pelaksanaan upaya
sejenis pada lingkup yang lebih kecil. Di
tingkat internasional upaya pengurangan
risiko bencana dipelopori oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa melalui beberapa Resolusi
yang menyerukan kepada dunia untuk lebih
memprioritaskan upaya pengurangan risiko
bencana sebagai bagian yang tak terpisahkan
dalam pembangunan berkelanjutan.

1. Resolusi PBB

Perhatian PBB terhadap masalah pengurangan risiko


bencana dimulai dengan dikeluarkannya resolusi dalam
sidang Majelis Umum ke-2018 mengenai Bantuan dalam
Situasi Bencana Alam dan Bencana Lainnya pada tanggal
14 Desember 1971. Resolusi ini kemudian ditindaklanjuti
dengan Resolusi Nomor 46/182 tahun 1991 mengenai
Penguatan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB dalam
Hal Bencana. Pada tanggal 30 Juli 1999, Dewan Ekonomi
dan Sosial PBB mengeluarkan Resolusi nomor 63 tahun
1999 tentang Dekade Pengurangan Risiko Bencana
Internasional. Dalam resolusi ini Dewan Ekonomi dan
Sosial mengharapkan agar PBB memfokuskan tindakan
kepada pelaksanaan Strategi Internasional untuk
Pengurangan Risiko Bencana (International Strategy for
Disaster Reduction/ISDR).

Sasaran utama ISDR adalah untuk:


(1)Mewujudkan ketahanan masyarakat
terhadap dampak bencana alam,
teknologi dan lingkungan;
(2) Mengubah pola perlindungan
terhadap bencana menjadi
manajemen risiko bencana dengan
melakukan penggabungan strategi
pencegahan risiko ke dalam kegiatan
pembangunan berkelanjutan.

Strategi Internasional Pengurangan Risiko


Bencana dilakukan dengan tujuan:
1. Meningkatkan kepedulian masyarakat
terhadap bencana alam, teknologi,lingkungan
dan bencana sosial
2. Mewujudkan komitmen pemerintah dalam
mengurangi risiko bencana terhadap manusia,
kehidupan manusia, infrastruktur sosial dan
ekonomi serta sumber daya lingkungan
3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pelaksanaan kegiatan pengurangan risiko
bencana melalui peningkatan kemitraan dan
perluasan jaringan upaya pengurangan risiko
bencana
4. Mengurangi kerugian ekonomi dan sosial
akibat bencana

Strategi Yokohama

Beberapa isu dan tantangan yang teridentifi


kasi dalam Strategi Yokohama antara lain:
1. Tata pemerintahan, organisasi, hukum
dan kerangka kebijakan
2. Identifi kasi risiko, pengkajian, monitoring
dan peringatan dini
3. Pengetahuan dan pendidikan
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko
bencana
5. Persiapan tanggap darurat dan pemulihan
yang efektif

Landasan Regional

Landasan pelaksanaan upaya


pengurangan risiko bencana pada
tingkat internasional
telah memberi dasar bagi upaya sejenis
di tingkat regional. Di kawasan AsiaPasifik, beberapa forum telah
menghasilkan kesepakatankesepakatan yang menjadi landasan
bagi pelaksanaan rencana
pengurangan risiko bencana pada
lingkup nasional dan lokal.

KELEMBAGAAN
PEMERINTAH
Upaya penanggulangan bencana meliputi

kegiatankegiatan pencegahan, mitigasi,


kesiapan, tanggap darurat dan pemulihan yang
dilakukan pada sebelum, pada saat, dan
setelah bencana.
Mengingat luasnya spektrum kegiatan
penanganan bencana dan jenis bencana, maka
instansi ataupun lembaga yang terkait dengan
penanggulangan bencana juga sangat banyak.
Setiap lembaga mempunyai peran tertentu
pada suatu tahapan dan jenis bencana
disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
masingmasing.

Khusus upaya yang dilakukan pada


tahap pra bencana (pencegahan,
mitigasi dan kesiapan), peran lembaga
lembaga penelitian, perguruan tinggi,
departemen dan lembaga non
departemen sangat penting.
Berikut adalah daftar lembaga atau
departemen yang merupakan sektor
penjuru (leading sector) untuk jenis
jenis bencana tertentu.

MANAJEMEN
BENCANA

31

Penanggulangan
Bencana
(Disaster
Management)
Serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan
yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, rehabilitasi dan
rekonstruksi (UU 24/2007).

32

Pra Bencana

Tanggap Darurat

Pasca Bencana
33

Anda mungkin juga menyukai