Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN KETUHANAN

A. Pendahuluan
Sejak zaman purba kala, sebelum manusia mengenal ilmu pengetahuan,
indikasi tentang pencarian Tuhan yang berkuasa dibalik adanya alam telah ada.
Manusia senantiasa bertanya tentang siapa di balik adanya alam semesta ini.
Apakah alam semesta terjadi dengan sendirinya atau ada kekuatan lain yang
mengatur alam semesta. Bertitik-tolak dari keinginan manusia untuk mengetahui
keberadaan alam semesta ini, maka manusia mencoba mengkajinya sesuai dengan
kemampuan akal yang dimilikinya. Berdasarkan hasil dari kajian-kajian yang
dilakukan, manusia sejak jaman primitif sudah mempercayai adanya kekuatan lain
di luar diri manusia yakni Tuhan.
Namun, kepercayaan kepada adanya Tuhan berbeda-beda. Hal ini
disebabkan perbedaan tingkat kemampuan akal manusia. Pada dasarnya
keberadaan Tuhan sangat erat hubungannya dengan alam nyata. Dalam hal ini
dapat dilihat pada alam semesta dan segala isinya. Makhluk di dunia ini terbagi
kepada dua macam, yaitu pertama, makhluk yang menerima hayat dari Tuhan
seperti manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan, kedua hanya menerima bentuk
penciptaan saja seperti pada benda-benda yang tidak bernyawa. Dalam penciptaan
manusia Tuhan memberikan intuisi dan akal, intuisi berguna sebagai cara untuk
memenuhi kebutuhannya, dan akal sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut,
akan tetapi intuisi dan akal belum dapat mencapai petunjuk yang benar tentang
keberadaan Tuhan tanpa adanya tuntunan wahyu.1
Dalam sejarah perkembangan pemikiran ketuhanan, manusia mengalami
perkembangan kepercayaan tentang Tuhan, sebagaimana yang terjadi pada
perkembangan ilmu dan teknologi. Fitrah manusia pada dasarnya memerlukan
kepercayaan. Kepercayaan ini akan melahirkan tata nilai guna menopang budaya
hidupnya. Nilai-nilai tersebut kemudian melembaga dalam tradisi yang
1 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, (Jakarta: UI Press, 2004),
hal. 31-33

diwariskan secara turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang


mendukungnya, tradisi sangat sulit berubah dan walaupun berubah sangat lambat.2
Pengaruh dari tradisi ini, menimbulkan asumsi yang menganggap bahwa
walaupun kita sekarang berada dalam dunia yang berubah total dan memiliki
pandangan dunia yang sepenuhnya berbeda, manusia sejak dahulu senantiasa
berpikir tantang kekuatan gaib yang dianggap Tuhan, sama persis yang seperti
yang kita alami saat ini, dengan proses berpikir yang berbeda. Akan tetapi terlepas
dari kecemerlangan ilmiah dan teknologi saat ini, pemikiran keagamaan kita
sungguh belum berkembang, bahkan masih ada yang primitif.3
Manusia pada dasarnya merasakan kerinduan mutlak, dan berupaya sekuat
tenaga untuk memelihara tentang perasaan transenden ini dengan ritual-ritual
kreatif. Karena manusia secara filosofis selain memiliki kesadaran diri dan akal
juga memiliki jiwa yang independen yang bersifat spiritual. Sifat spiritual dari
akal dan jiwa manusia ini yang menjadi survival atau kelestarian jiwa setelah
kematian, untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan.
Pernyataan ini sama dengan filsafat yang berkaitan dengan evolusi

yang

digambarkan oleh saintis seperti Darwin atau sebagai konsekuensi dari hukum
mekanika yang disebut sebagai seleksi alamiah yang independen oleh Jalaludin
an-Rumi, di mana eksistensi manusia di muka bumi ini sebagai konsekuensi dari
daya tarik

agen eksternal yaitu Tuhan. 4 Tuhan merupakan wujud tertinggi,

kepribadian ilahi, yang menciptakan dunia dan segala sesuatu yang ada di
dalamnya.5
Dalam sejarah perkembangan kepercayaan manusia, Tuhan digambarkan
sangat dekat dengan alam. Misalnya Tuhan sering digambarkan sebagai yang
bertanggung jawab atas turunnya hujan, Tuhan yang menghidupkan bumi yang
mati, memancar air dari dalamnya dan menumbuhkan bermacam-macam kebun
buah dan bunga. Semua ini digambarkan oleh agama sebagai hasil langsung kerja
2 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2009), hal. 55
3 Karen Armstrong, The Case For God: What Religion Really Means, Masa DepanTuhan:
Sanggahan Terhadap Fundamentalisme da Ateisme, (Bandung: Mizan, 2009), hal. 10
4 Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistimologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hal.13-14
5 Karen Armstrong, The Case For God: What Religion Really Means, hal. 9

Tuhan. Akan tetapi perspektif tentang Tuhan dari satu masa dengan masa
berikutnya mengalami perkembangan, sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan pemikiran dan pengetahuan manusia.
Secara fitrah manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan
beragama. Bukti yang menunjukkan bahwa manusia merupakan makhluk yang
berpotensi untuk bertuhan dapat dilihat dari bukti historis dan antropologi. Semua
aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran
jiwa, yang biasa disebut dengan emosi keagamaan atau religius emotion. Emosi
keagamaan sepeti ini biasanya banyak dialami setiap manusia, walaupun getaran
emosi itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Emosi religi inilah yang
mendorong manusia meyakini bahwa suatu benda, tindakan atau gagasan
mendapat nilai keramat atau sacret value dan dianggap keramat.6
Melalui bukti-bukti tersebut, kita mengetahui bahwa manusia primitif
yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata
mempercayai adanya Tuhan yang mereka percayai terbatas pada daya khayal dan
kemampuan akalnya. Pada masa primitif ini, manusia mempercayai benda-benda
alam yang dipercaya memiliki kesan misterius dan mengagumkan. kenyataan ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan.7
Kepercayaan kepada Tuhan merupakan dasar utama dalam paham
keagamaan. Tiap agama berdasarkan atas kepercayaan pada sesuatu kekuatan
gaib. Suatu kekuatan gaib bisa disebut Tuhan, sehingga konsep ketuhanan banyak
sekali kita kenal seperti dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme dan
monoteisme.8 Dalam makalah ini akan dibahas pancang lebar tentang sejarah
perkembangan kepercayaan ketuhanan tersebut.

B. Pengertian Tuhan dan Ketuhanan

6 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineke Cipta, 1990), hal. 376
7 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grapindo Persada, 2004), hal 19
8 Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Jakarta: Kencana, 2008), hal.54
3

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuhan adalah sesuatu yang


diyakini, dipuja, disembah oleh manusia, sebagai yang Maha Kuasa, Maha
Perkasa dan lain sebagainya. Sedangkan ketuhanan adalah sifat keadaan Tuhan
atau segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan.9 Istilah ketuhanan muncul
setelah ahli pikir mengemukakah kesimpulan bahwa paham ketuhanan bukan
hanya dogma belaka, atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya
melalui akal, melainkan kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar,
yang dapat diuji dengan logika akademis. Tegasnya, ketuhanan adalah kebenaran
logis yang dapat dibuktikan dengan logika.10
Kata Tuhan umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu zat abadi dan
supranatural yang dapat mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta
atau jagat raya. Hal ini dapat digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsepkonsep yang mirip, misal sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki
seluruh alam semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada;
sumber segala yang ada; kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua
makhluk hidup.11
Istilah Tuan banyak mempunyai kedekatan makna dengan kata Tuhan,
dimana Tuhan merupakan majikan atau juragannya alam semesta. Tuhan punya
hamba sedangkan Tuan punya sahaya atau budak. Kata Tuhan disebutkan lebih
dari 1000 kali dalam Al-Qur'an, sementara di dalam Alkitab kata Tuhan
disebutkan sebanyak 7677 kali.12
Menurut Ibnu Taimiyah Tuhan ialah segala yang dipuja dengan penuh
kecintaan hati, tunduk kepada-Nya, merendahkan diri di hadapannya, takut,
dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika berada dalam
kesulitan, berdoa, dan bertawakal kepadanya untuk kemaslahatan diri,

9 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hal. 965
10 Hamzah Yaqub, Filsafat Agama; Titik Temu Antara Akal dan Wahyu, (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 1992), hal. 9
11 http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan. didownload pada tangal 15 maret 2012
12 ibid

meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat


mengingatnya dan terpaut cinta kepadanya.13
Aristoteles mendefinisikan Tuhan sebagai penggerak alam. Tuhan
berdiri sendiri,tidak dilahirkan, tidak pernah berubah dan tidak pernah
berakhir dan bersifat abadi. Pada puncak hierarki keyakinan, menurut
Aristoteles terdapat penggerak yang tidak digerakkan, yang diidentifikasi
sebagai Tuhan. Tuhan merupakan wujud murni, dengan demikian abadi,
tidak berubah dan spiritual. Menurutnya Tuhan adalah akal murni pada
saat yang sama merupakan yang berpikir dan yang dipikirkan sekaligus,
terlibat waktu abadi untuk berkontemplasi tentang dirinya sendiri. 14
Aristoteles percaya bahwa akal manusia bersifat Ilahi dan kekal. Akal
menghubungkan manusia dengan dewa-dewa dan memberi mereka
kemampuan untuk menyerap kebenaran tertinggi. 15 Sedangkan alam
menurutnya memiliki potensi untuk melakukan perubahan, sedangkan
potensi alam untuk merealisasikan perubahan adalah untuk mencapai
tujuan yaitu actus purus atau Tuhan.16
Plato berpendapat bahwa jiwa adalah sepenggal keilahian, unsur
yang terlepas darinya terpenjara dalam tubuh, tetapi mampu kembali
meraih status keilahiannya dengan cara penyucian daya nalar pikiran.17
Dalam filsafat teologi Thomas Aquinas, Tuhan diidentikkan dengan
pemakaian makna essential (hakikat) dan existential(eksistensi). Menurut
Thomas Tuhan adalah aktus yang paling umum dan aktus purus (aktus
murni). Tuhan sempurna dan tidak perkembangan. Dalam teologi naturalis,
Thomas menyatakan bahwa manusia mampu mengenal Tuhan dengan
kemampuan

akal,

walaupun

terkadang

keyakinan

tersebut

tidak

13http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-keTuhanan-dalam-islam/.Didownload
tanggal 15 maret 2012
14 Karm Armstrong, A History Of Got: The 4000 Year Quest of Yudaism, Christianity and Islam,
Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan
Islam Selama 4000 Tahun, (Bandung: Mizan, 2004), hal.70
15 Karen Armstrong, The Case For God: What Religion Really Means, hal.148
16 Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I, (Yokyakarta: Kanisius, 2005), hal. 51
17 Karm Armstrong, A History Of Got, hal. 68

menyelamatkan. Dengan akal manusia dapat mengetahui bahwa Tuhan ada


dan mengetahui beberapa sifat Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan dapat
diketahui setelah mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan
manusia dan alam, maka menurutnya pembuktian tentang adanya Tuhan
dapat dilakukan secara a posteriori.18
Setelah mengemukakah beberapa definisi tentang Tuhan di atas, ditemukan
bahwa sejak zaman klasik telah muncul teori-teori tentang Tuhan. Teori ini
muncul, ketika para penjelajah dari suku ke suku lain atau tempat lain
mengadakan perjalanan dan mendapati Tuhan yang berbeda dengan Tuhan
yang dimiliki tempat asalnya. Sejarawan Yunani kuno, Herodotus (484-425),
dalam perjalanannya ke Mesir menjelaskan bahwa dewa Amon dan Horus
yang dianut masyarakat Mesir sama dengan Zeus dan Apollo yang diyakini
masyarakat Yunani. Maka dapat dikatakan bahwa yang dikemukakan
Herodotus merupakan teori umum paling awal tentang Tuhan. Begitu juga
dengan Euhemesus (330-260) yang berpendapat bahwa dewa-dewa yang ada
dalam sejarah pada awalnya adalah orang-orang penting dan terkenal
kemudian disembah oleh pengikutnya setelah orang tersebut meninggal.
Senada dengan pendapat di atas, para filosof Stoic berpendapat bahwa
dewa-dewa adalah personifikasi langit, laut, dan kekuatan alam. Setelah
memperhatikan agama-agama yang ada pada saat itu, para filosof kemudian
secara intensif mencoba mengidentifikasi kekuatan tadi menjadi keyakinan
beragama. Pada agama samawi; Yahudi, Islam dan Kristen, Tuhan
merupakan Tuhan yang esa, yaitu tuhan yang disebut dan diajarkan melalui
wahyu.19
Banyak tafsir tentang Tuhan yang bertentangan satu sama lain. Meskipun
kepercayaan tentang Tuhan ada dalam semua kebudayaan dan peradaban, tetapi
definisinya berbeda-beda. Berangkat dari pengertian Tuhan seperti tersebut di
atas, maka dalam dinamisme, kekuatan gaib yang misterius adalah Tuhan. Dalam
Animisme, ruh adalah Tuhan. Dalam politeisme; Indra, Vitra dan Varuna dalam
18 Hamzah Yaqub, Filsafat Agama; Titik Temu Antara Akal dan Wahyu, hal.51-53
19 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Yokyakarta: Ircisod, 2011), hal.
13

agama Veda adalah Tuhan. Brahma, Wisnu dan Syiwa dalam agama Hindu adalah
Tuhan. Osiris, Isis dan Herus dalam agama Mesir Kuno adalah Tuhan. Al-Latta,
al-Uzza dan Manata dalam agama Arab Jahiliah adalah Tuhan. Dalam agama
Kristen, Allah Tritunggal adalah Tuhan dan dalam agama Islam Allah SWT adalah
Tuhan. Jadi pengertian tentang Tuhan mempunyai banyak persepsi, sebanyak
agama yang ada di dunia ini dan yang dianut manusia.
C. Sejarah Pemikiran Manusia Tentang Konsep Ketuhanan
Dalam sejarah kepercayaan manusia yang sudah ribuan tahun yang lalu,
tercatat beberapa sistem kepercayaan pada alam gaib. Konsep Ketuhanan menurut
akal manusia didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah
maupun batiniah, baik yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin.
Sistem kepercayaan yang berkembang ini, dirumuskan dalam dua teori,
yaitu teori evolusionisme berasal dari kata evolusi yang berarti perkembangan.
Dalam filsafat, evolusi ditafsirkan sebagai perubahan dari satu keadaan kepada
keadaan yang lebih baik secara berlahan-lahan.20 Evolusi dalam konsep pemikiran
ketuhanan adalah teori yang mengatakan bahwa kepercayaan manusia pada
awalnya sangat sederhana dan bersahaja menuju pada kepercayaan yang lebih
tinggi sesuai dengan perkembangan kemajuan dan peradaban. Teori ini dipelopori
oleh Edward Burnetty

Taylor (1832-1917) dan James George Frazer (1854-

1941).21 Teori ini mirip dengan teori evolusi Darwin, yakni perkembangan alam
dan sosial berkembang dari bentuk yang lebih rendah menuju bentuk yang lebih
tinggi dan sempurna; dari yang sederhana menjadi yang lebih kompleks. Sistem
kepercayaan manusia yang paling primitif adalah dinamisme dan yang paling
tinggi monoteisme.22
a. Dinamisme
Perkataan dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos,
sedangkan dalam bahasa Inggris berarti dynamic dan diterjemahkan ke dalam
20 Hamzah Yaqub, Filsafat Agama; Titik Temu Antara Akal dan Wahyu, hal.75
21 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hal.30
22 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 56
7

bahasa Indonesia dengan arti kekuatan, daya, atau kekuasaan. Definisi dinamisme
memiliki arti tentang kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang
diyakini memiliki kekuatan gaib.
Dalam paham ini diyakini bahwa benda-benda tertentu mempunyai
kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari. Kekuatan
gaib itu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jahat. Kekuatan yang berada
dalam zat suatu benda diyakini mampu memberikan manfaat atau bahaya.
Kesaktian itu bisa berasal dari api, batu-batuan, air, pepohonan, binatang, atau
bahkan manusia sendiri.
Dinamisme lahir dari rasa kebergantungan manusia terhadap daya dan
kekuatan lain yang berada di luar dirinya. Setiap manusia akan selalu merasa
butuh dan harap kepada zat lain yang dianggapnya mampu memberi pertolongan
dengan kekuatan yang dimilikinya. Manusia mencari zat lain yang akan disembah
dan merasa tenang jika berada di samping zat itu. Sebagai contoh, ketika manusia
mendapatkan bahwa api memiliki daya panas, maka ia akan menduga bahwa api
yang paling berhak disembah karena api telah memberikan pertolongan kepada
mereka ketika mereka merasa dingin. Mereka mengira bahwa api memiliki
kekuatan misteri yang tidak mungkin dimiliki oleh manusia sehingga
menyembahnya.
Dari sini muncul kepercayaan, bahwa setiap benda yang ada di sekeliling
manusia mempunyai kekuatan gaib yang misterius melebihi kekuatan manusia.
Masyarakat yang menganut kepercayaan ini memberi berbagai nama bagi
kekuatan gaib tersebut; orang Malaysia menyebut mana, orang Jepang kami,
orang India hari dan shakti, orang Piqmi di Afrika menyebut audoh. Dalam
sejarah ilmu perbandingan agama, kekuatan gaib ini biasanya disebut mana.
Dalam bahasa Indonesia disebut tuah.23
Mana adalah kekuatan yang tersembunyi yang ada pada benda atau
manusia. Mana mempunyai lima sifat, yaitu 1)berkekuatan, 2)tidak dapat dilihat,

23 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 58-59


8

3)tidak mempunyai tempat yang tetap, 4) pada dasarnya tidak mesti baik dan tidak
juga buruk, 5)terkadang bisa dikontrol, terkadang tidak bisa dikontrol.24
Maka mana terdapat pada berbagai benda dan manusia, tetapi mana tidak
tetap. Artinya, suatu benda atau manusia tidak selamanya mempunyai mana.
Mana bisa hilang dari benda atau manusia yang mempunyai mana sebelumnya,
dan di lain sisi mana bisa muncul pada benda yang tidak ada mana sebelumnya.
Kepercayaan orang pada saat itu,

benda yang mempunyai mana, tidak lagi

menimbulkan efek magis berarti mana telah pergi dari benda itu, demikian
sebaliknya benda yang awalnya tidak mempunyai efek tiba-tiba mendatangkan
efek magis yang menarik perhatian, maka mana telah datang pada benda tersebut.
Mana pada manusia diidentikkan pada seseorang yang mampu menguasai
dan mendapat kedudukan terhormat dalam masyarakat. Karena itu bagi seseorang
yang mempunyai mana, sangat diharapkan agar kekuatannya digunakan untuk
menolong masyarakat. Namun tidak jarang juga mana digunakan untuk hal-hal
yang mendatangkan bahaya.
Menurut Russel kenyataan dalam mempercayai kekuatan gaib yang ada
pada manusia memiliki empat ciri, yaitu 1) menghargai wawasan (insight) atau
intuisi di atas pengetahuan (akal) , 2) percaya pada kesatuan (unity), yakni
kecenderungan monistik, 3)menolak realitas waktu dan menegaskan keabadian, 3)
percaya bahwa kejahatan adalah penampakan.25
Tujuan manusia mempercayai kekuatan gaib dalam paham dinamisme ini
adalah untuk memperoleh mana sebanyak mungkin. Semakin banyak mana
seseorang semakin terjamin keselamatannya. Sebaliknya semakin berkurang
mana semakin mudah mendapat bahaya. Mereka juga meyakini bahwa kekuatan
gaib pada benda-benda itu bukan merupakan tujuan. Tetapi apa yang ada dibalik
benda yang menjadi tujuan. Karena itu, benda-benda tersebut hanya merupakan
simbol untuk mengantarkan mereka pada tujuan yang diinginkan.
b. Animisme

24 ibid
25 Richard King, Orientalsm and Religion Poskolonial Theory, India and the Mistic East; Agama,
Orientalisme, dan Poskolonialisme, (Yokyakarta: Qalam, 1999), hal.58

Kata animisme berasal dari bahasa latin, yaitu anima yang berarti jiwa
atau roh. Paham animisme adalah paham yang meyakini bahwa benda baik yang
bernyawa atau tidak bernyawa mempunyai roh atau jiwa. Masyarakat primitif
menganggap bahwa semua alam dipenuhi oleh roh-roh yang sangat banyak. Roh
yang diyakini itu tidak hanya ada pada manusia dan binatang tetapi juga ada pada
benda mati seperti tulang, batu dan keris.26
Pengertian roh dalam masyarakat primitif berbeda dengan pengertian roh
dalam

paham

masyarakat

modern.

Masyarakat

primitif

belum

bisa

membayangkan roh yang bersifat inmateri. Menurut mereka roh terdiri dari materi
yang sangat halus. Sifat dari roh mempunyai bentuk, umur, dan mampu makan.
Selain itu roh juga mempunyai kekuatan dan kehendak, merasa senang dan susah.
Roh juga dapat mengembara ke segala penjuru tanpa tujuan. Menurut kepercayaan
ini, agar manusia tidak terkena efek negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus
menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang sesuai dengan saran dukun adalah
salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.
Sigmund

Freud

psikolog

sekuler,

mengatakan

bahwa

animisme

menjelaskan konsep-konsep psikis teori tentang keberadaan spiritual secara


umum. Animisme sebenarnya berasal dari wawasan bangsa-bangsa primitif yang
luar biasa tentang alam semesta dan dunia. Bangsa-bangsa primitif menempati
dunia bersama-sama dengan banyak roh. Mereka mampu menjelaskan keterkaitan
proses gerakan alam dengan gerakan roh-roh. Mereka juga memercayai bahwa
manusia juga mengalami animasi. Manusia memiliki jiwa yang bisa
meninggalkan tempatnya dan memasuki makhluk lain. Karena itulah, manusia
bisa menjelaskan mengenai mimpi, meditasi, atau alam bawah sadar. Animisme
adalah suatu sistem pemikiran yang tidak hanya memberikan penjelasan atas suatu
fenomena saja, tetapi memungkinkan manusia memahami keseluruhan dunia.27
Menurut filosof lain seperti Tylor dan Comte, mereka menyebutkan bahwa
animisme adalah tahap pertama pembentukan agama. Dalam istilah mereka,
peradaban itu dimulai dengan adanya pemikiran animisme, kemudian berkembang
26 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 61-62
27 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, hal. 101
10

menjadi agama. E.B. Tylor menyatakan bahwa agama primitif yang timbul dari
paham animisme harus melalui empat tahap. Tahap pertama, masyarakat primitif
menghayalkan ada hantu jiwa (ghost-soul) orang mati yang dapat mengunjungi
dan mengganggu orang hidup. Tahap kedua, jiwa atau roh tersebut menampakkan
wujudnya. Tahap ketiga, timbul kepercayaan pada masyarakat segala sesuatu
mempunyai jiwa atau roh. Tahap keempat, dari jiwa atau roh tersebut ada yang
mengagumkan seperti pohon yang sangat besar atau batu yang aneh, maka semua
itu disembah karena dipercaya mempunyai roh atau jiwa.28
Dalam pandangan Tylor, manusia memiliki substansi yang sama yaitu
keinginan untuk mengetahui keberadaan di sekitarnya. Manusia primitif berusaha
memahami dan menjelaskan berbagai fenomena-fenomena yang aneh dan suarasuara yang dahsyat melalui pemikirannya. Tentunya, pengetahuan yang mereka
maksudkan bukan sekedar menyaksikan suatu fenomena yang aneh atau
mendengarkan suara yang dahsyat, tapi pengetahuan itu dihasilkan dan dijadikan
sebagai pandangan. Misal, jika sekedar mendengar petir, maka hal ini tidak bisa
disebut sebagai pengetahuan. Tapi, mendengar petir dan meyakininya sebagai
murka dari zat tertentu, maka hal ini yang disebut sebagai pengetahuan dan
kepercayaan. Jadi kepercayaan merupakan sikap mental yang menganggap bahwa
sesuatu itu benar.
Namun kepercayaan animisme tidak tersistematis dan absolut. Roh-roh
yang ada di alam berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan mereka. Karena itu
mereka tidak hanya fokus pada wujud yang mutlak, tetapi sangat relatif dalam
tindak tanduk dan cara berpikir. Sebab, bisa jadi satu waktu benda ditakuti dan
disembah dan di waktu yang lain tidak ditakuti dan disembah lagi karena
dianggap tidak mempunyai roh dan kekuatan gaib.29
c. Politeisme
Kata politeisme itu terdiri dari poli yang berasal dari kata Bahasa Yunani
yang berarti banyak, dan teisme dari kata Yunani yang berarti Tuhan. Politeisme

28 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 63


29 Ibid. Hal 64
11

adalah kepercayaan bahwa ada banyak dewa atau Tuhan.30 Politeisme dapat
dikatakan sebagai pandangan teistik paling dominan dalam sejarah.
Politeisme merupakan tahap perkembangan dari paham animisme. Pada
paham animisme dipercayai bahwa semua benda dan manusia mempunyai roh,
kemudian sekian banyak dari roh tersebut diyakini ada yang paling kuat dan
menimbulkan pengaruh pada alam. Roh dari benda atau manusia yang dianggap
paling kuat itu, kemudian dijadikan simbol penyembahan dan peribadatan. Roh
yang menjadi simbol penyembahan tersebut akhirnya diambil fungsinya dan
diberi nama dewa.31
Roh yang tertinggi, baik yang berasal dari benda atau manusia meningkat
menjadi dewa dan Tuhan. Perbedaan roh dan dewa adalah perbedaan derajat
kekuasaan dan kedudukan, sedangkan fungsinya sama. Dewa lebih berkuasa,
lebih tinggi, dan lebih mulia serta penyembahannya lebih umum daripada roh.
Roh dianggap tidak sekuasa dan semulia dewa dan penyembahannya terbatas pada
satu atau beberapa keluarga. Penyembahan roh yang teratur dengan cara tertentu
bisa meningkat menjadi dewa. Dewa-dewa tersebut sangat banyak, sesuai dengan
tugas masing-masing.
Kepercayaan paham politeisme terhadap benda, berbeda dengan paham
dinamisme. Dalam paham dinamisme alam yang memiliki kekuatan lebih dari
kekuatan manusia disembah dan ditakuti, seperti matahari dan arus sungai. Tetapi
dalam politeisme kepercayaan tersebut tidak lagi kepada benda tersebut, tetapi
abstraksi dan fungsi benda itu yang disembah dan ditakuti. Oleh karena itu
muncul kepercayaan terhadap berbagai dewa sesuai fungsi masing-masing.
Dewa-dewa dalam politeisme ini pada awalnya mempunyai kedudukan
yang sama. Tetapi lama kelamaan antara satu dewa dan dewa yang lain lebih
mulia daripada dewa yang lain. Misalnya dalam agama Veda ada terdapat banyak
dewa, namun ada tiga dewa yang paling dimuliakan yaitu Indra (dewa kekuatan
ganas di alam, seperti petir dan hujan), Mithra (dewa cahaya), Varaona ( dewa
ketertiban alam), maka mereka dianggap lebih tinggi dari dewa Prithivi (dewa
30 http://id.wikipedia.org/wiki/Politeisme. didownload tanggal 15 maret 2012
31 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 67
12

bumi), surya (dewa matahari), dan agni (dewa api).32 Dalam paham politeisme,
terdapat tiga dewa yang lebih mulia dari dewa-dewa lainnya, baik dari segi
kedudukan, perhatian dan pujaan. Ketiga dewa itu, seperti Brahmana, Wisnu, dan
Syiwa dalam agama Hindu; dalam agama Mesir Kuno dikenal dengan Osiris
dengan istrinya Isis dan anaknya Herus; dan dalam agama Arab Jahiliyah dikenal
dengan al-Lata, al-Uzza, dan Manata.
Selain itu, paham politeisme meyakini ada satu dari dewa-dewa itu yang
meningkat di atas segala dewa yang lain, seperti Brahmana dalam agama Hindu,
Zeus dalam agama Yunani Kuno, Yupiter dalam agama Romawi, dan Amor dalam
agama Mesir Kuno. Paham ini belum menunjukkan pengakuan terhadap satu
Tuhan, tetapi baru pada pengakuan dewa terbesar di antara dewa yang banyak.
Paham ini belum meningkat menjadi paham monoteisme, tetapi masih berada
pada paham politeisme.
Dalam paham politeisme ini, terdapat problem pertentangan tugas antara
satu dewa dengan yang lain. Karena setiap dewa tidak selamanya melakukan kerja
sama. Misalnya dewa kemarau bertentangan dewa hujan. Selain itu, dewa menurut
paham politeisme bisa bertambah dan berkurang. Seorang politeis apabila melihat
sesuatu yang aneh dan misterius dapat saja mendewakannya. Demikian juga
benda atau kejadian yang misterius dan tidak berpengaruh dalam kehidupan,
dianggap dewa atau Tuhan tersebut telah pergi dan digantikan dewa yang lain.33
d. Henoteisme
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengertian Henoteisme adalah
keyakinan pada satu Tuhan tanpa mengingkari ada dewa lain atau makhluk halus
lainnya. Henoteisme mengakui satu Tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa
lain mempunyai Tuhannya sendiri-sendiri. Henoteisme mengandung paham Tuhan
nasional.
Paham Tuhan utama dalam satu agama dapat meningkat menjadi paham
Tuhan nasional atau Tuhan untuk satu bangsa. Satu Tuhan dalam paham ini,
belum termasuk monoteisme, karena paham tersebut masih mengakui Tuhan
32 Ibid, hal. 68
33 Ibid. Hal. 70
13

agama-agama lain dan bangsa lain yang berbeda dengannya. Tuhan dalam hal ini,
diumpamakan seperti presiden yang memiliki keistimewaan di antara dewa-dewa
lain. Biasanya Tuhan ini digunakan untuk mempersatukan bangsa dan
memperkuat jiwa nasionalisme.
Paham tersebut dianut oleh ummat agama Yahudi. Yahwe adalah Tuhan
agama Yahudi dan merupakan Tuhan nasionalnya, tetapi bukan Tuhan bagi
sekalian alam. Pada waktu masyarakat Yahudi masih pada tahap animisme mereka
menyembah roh dan para dewa kemudian datang Tuhan dari bukit Sinai yang
bernama Yahwe. Maka Yahwe dianggap Tuhan nasional menghilangkan TuhanTuhan yang lain.34
Yahwe dianggap Tuhan yang mengalahkan dewa-dewi timur tengah dan
kemudian menjadi satu-satunya Tuhan. Kemenangan yang diraih Yahwe dilalui
dengan cara susah payah dan penderitaan dan melibatkan kekerasan dan
konfrontasi, hal ini memperlihatkan bahwa agama baru dengan Tuhan yang esa
Tidak datang dengan cara yang mudah kepada orang Israil. Yahwe tampak tidak
mentransendensikan Tuhan-tuhan yang lebih tua dengan cara yang damai dan
alamiyah. Yahwe melawan habis semua Tuhan dan mengalahkannya. Riwayat ini
dapat dilihat

dalam Mazmur 82, Yahwe

membuat ketentuan

tentang

kepemimpinan majelis suci yang memainkan peran penting dalam mitos kaum
Babilonia dan Kanaan yang berbunyi Yahweh mengambil posisi dalam majelis
suci untuk membuat keputusan di kalangan para Tuhan.35
Paham teologi agama Yahudi yang menonjolkan Tuhan yang bersifat
nasionalisme, menimbulkan rasa sombong dalam diri mereka. Karena mereka
menganggap bahwa mereka merupakan bangsa yang paling mulia di antara
bangsa lain dan Tuhan Yahwe merupakan Tuhan yang paling kuat di antara
Tuhan-tuhan bangsa lain. Jadi mereka mengakui Tuhan bangsa lain, tetapi tidak
sederajat dengan Tuhan Yahwe yang lebih tinggi.36
e. Monoteisme
34 Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 32
35 Karm Armstrong, A History Of Got, hal. 85
36 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 73
14

Monoteisme berasal dari kata Yunani monon yang berarti tunggal dan
Theos yang berarti Tuhan adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu atau
tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu. Monoteisme hanya mengakui
satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Monoteisme dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu:37
1) Monoteisme praktis adalah kepercayaan yang tidak mengingkari dewadewa lain, tetapi hanya satu Tuhan saja yang disembah dan dipuja.
2) Monoteisme spekulatif adalah kepercayaan yang terbentuk karena
bermacam gambaran dewa-dewa lebur menjadi satu gambaran yang
akhirnya dianggap sebagai satu-satunya dewa.
3) Monoteisme teoritis ialah paham yang mempercayai bahwa Tuhan itu Esa
dalam teori, tetapi dalam praktek dipercayai lebih dari satu Tuhan.
4) Terakhir monoteisme murni adalah paham yang menyatakan bahwa Tuhan
itu Esa dalam jumlah dan sifat, dalam teori dan praktek, dan dalam
pemikiran dan penghayatan.
Agama wahyu, seperti Islam, Kristen dan Yahudi ditinjau dari konsep
kepercayaan pada dasarnya merupakan agama monoteisme. Namun ditinjau dari
perkembangannya kepercayaan agama Kristen dan Yahudi terjadi revolusi
kepercayaan, sehingga terjadi paham henoteisme di kalangan bangsa Yahudi. Di
mana mereka menganggap Yahwe merupakan Tuhan yang berkuasa hanya pada
bangsa mereka saja dan dianggap lebih berkuasa dari Tuhan-tuhan lain. Namun
kepercayaan bangsa Yahudi kembali pada paham monoteisme di mana Yahwe
dianggap Tuhan pencipta semesta alam dan Tuhan seluruh manusia sebagai mana
dalam kitab Yasea 44/6 mengatakan Aku yang pertama dan aku yang terakhir
tiada Tuhan selain Aku.38
Demikian juga agama Kristen, menurut keyakinan rohaniawan kristen
pada masa awal pertumbuhan gereja, mereka meyakini bahwa Tuhan
mengejawantahkan diri dalam pribadi manusia Yesus Kristus. Kemudian dalam
perkembangan kepercayaannya mengakui trinitas dalam wujud Tuhan. Yaitu
mengakui adanya Tuhan bapa, Tuhan anak dan bunda Maria, tetapi dalam
perwujudannya mereka menganggap Tuhan ini merupakan satu kesatuan yang
utuh. Sebagaimana disebutkan pada kitab agama Kristen kesaksian
bahwa Yesus adalah Allah. Di dalam Ibrani 1:8 berbunyi Tentang Anak Ia
berkata: "Takhta-Mu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat
kerajaan-Mu adalah tongkat kebenaran. Jelas sekali bahwa Anak, yaitu Yesus
Kristus, disebut sebagai Allah oleh Bapa. Jadi, Alkitab mencatat sang Anak
menyebut Bapa sebagai Allah, dan juga mencatat bahwa sang Bapa menyebut
Anak sebagai Allah. Inilah bukti dari Tritunggal.39 Kepercayaan agama kristen
ini, dapat digolongkan pada monoteisme teoritis.
37 Sidi Gazalba, Asas Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 39
38 Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, hal. 74
39 Artikel : Dr. Steven E. Liauw, Saksi Yehovah: Politeisme Terselubung, Graphe International
Theological Seminary

15

Konsep monoteisme praktis dapat dilihat dari perkembangan kepercayaan


agama Hindu. Periode pertama agama Hindu merupakan agama yang bersifat
politeisme yakni mengakui banyak dewa. Pada periode kedua berkembang
menjadi monoteisme-politeisme, di mana semua dewa dilihat berpusat pada satu
Tuhan, kepercayaan ini merupakan bentuk hinduisme yang berkembang di India
dan negara lain. Konsep seperti ini merupakan konsep monoteisme praktis, masih
mengakui ada dewa-dewa lain, tetapi fokus penyembahan hanya pada satu
Tuhan.40
Secara konsep agama Islam dianggap sebagai agama monoteisme murni.
Disebabkan Islam menitikberatkan pada zat Tuhan yang murni keesaannya.
Keesaan Tuhan dalam Islam bukan genus (kumpulan) karena genus mengandung
arti banyak. Genus adalah kumpulan dari benda-benda. Tuhan juga bukan spesies,
karena bukan termasuk dari bagian-bagian benda. Allah tidak tersusun dari materi
atau sebab yang tersusun dari materi karena bentuk adalah benda yang ada di
alam. Dia menggerakkan alam tetapi tidak digerakkan. Allah adalah yang benar
pertama dan benar tunggal.
Agama Islam secara historis tidak dapat digolongkan sebagai akhir
kepercayaan suatu bangsa. Sebab perkembangan kepercayaan dari paham
dinamisme sampai monoteisme tidak dialami dalam agama Islam. Karena agama
Islam secara dasar dari awal turunnya merupakan agama monoteisme. Hanya saja
kalangan bangsa Arab, tempat turunnya agama Islam ketika itu menganut paham
politeisme.
Teori kedua adalah teori Revolusionisme berasal dari kata revolution yang
bermakna perubahan yang dilaksanakan dengan jalan mengesampingkan asasasas lama yang diganti dengan asas-asas baru secara cepat dan radikal. Dengan
demikian revolusi membawa penggantian dari nilai-nilai yang berlaku. 41 Teori
ini dipelopori oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya monoteisme
dalam masyarakat primitif. Menurut Andrew Lang orang-orang yang berbudaya
rendah, pada dasarnya telah meyakini monoteisme seperti orang-orang Kristen.

40 Konrad Kebung, Filsafat Berfikir Orang Timur; Indonesia, Cina dan India, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2011), hal.113
41 Hamzah Yaqub, Filsafat Agama; Titik Temu Antara Akal dan Wahyu, hal.75

16

Mereka mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang
khas terhadap Tuhan mereka, yang tidak diberikan kepada wujud yang lain.42
Teori ini juga dipopulerkan oleh Wilhelm Schmidt dalam The Origin of
the Idea of God yang terbit pada tahun 1912. Schmidt mengatakan bahwa telah
ada suatu monoteisme primitif sebelum manusia menyembah banyak dewa. Pada
awalnya mereka mengakui hanya ada satu Tuhan tertinggi, yang telah
menciptakan dunia dan menata urusan manusia dari kejauhan. Kepercayaan
terhadap satu Tuhan tertinggi masih terlihat dalam agama suku pribumi Afrika.
Mereka mengungkapkan kerinduan terhadap Tuhan lewat doa ,tetapi kehadiran
Tuhan dalam kehidupan mereka tidak pernah tampil dalam gambaran, sehingga
mereka menganggap Tuhan telah pergi. Para antropolog berasumsi bahwa Tuhan
sangat jauh dan mulia sehingga digantikan oleh roh yang lebih rendah dan Tuhantuhan yang lebih mudah dijangkau.43
Maka pada dasarnya kepercayaan manusia pertama adalah monoteisme,
tetapi karena perjalanan hidup manusia, maka kepercayaan tersebut menjadi kabur
dan dimasuki kepercayaan animisme dan politeisme. Pada akhirnya tidak ada lagi
kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa.
Dengan lahirnya teori Andrew dan Lang Wilhelm Schmidt, maka teori
evolusionisme mulai memudar, kemudian sarjana-sarjana agama terutama di
Eropa Barat mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru
untuk memahami sejarah agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan
tidak datang secara evolusi, tetapi dengan revolusi. Kesimpulan tersebut diambil
berdasarkan pada penyelidikan terhadap berbagai kepercayaan yang dimiliki oleh
masyarakat primitif. Dalam penyelidikan tersebut didapatkan bukti-bukti bahwa
asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah monoteisme dan monoteisme
adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan
D. Kesimpulan

42 http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-keTuhanan-dalam-islam. didownload
tanggal 15 maret 2012
43 Karm Armstrong, A History Of Got, hal. 27

17

berdasarkan uraian sejarah perkembangan pemikiran ketuhanan di atas,


dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa manusia merupakan makhluk spiritual.
Dalam perkembangan kehidupannya secara nyata manusia mencari sesuatu yang
berkuasa di luar dirinya yang dianggap sebagai Tuhan. Banyak definisi tentang
Tuhan, sesuai dengan pengalaman spiritual orang yang mendefinisikan, namun
kata Tuhan

umumnya dipakai untuk merujuk kepada suatu Zat abadi dan

supranatural, biasanya dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam


semesta atau jagat raya.
Teori yang berkembang dari sistem kepercayaan manusia ada dua macam,
yaitu teori evolusionisme adalah teori yang mengatakan bahwa kepercayaan
manusia pada awalnya sangat sederhana dan bersahaja menuju pada kepercayaan
yang lebih tinggi sesuai dengan perkembangan kemajuan dan peradaban. Sistem
kepercayaan ini dimulai dari percaya pada benda yang memiliki kekuatan gaib
(dinamisme), kemudian benda itu mempunyai roh (animisme), kemudian roh itu
disembah secara teratur sehingga menjadi dewa (politeisme), kemudian dewa itu
merupakan Tuhan yang menguasai satu bangsa (henoteisme) kemudian fungsi
dewa itu merupakan Tuhan yang paling mulia dan paling tinggi dan satu-satunya
disembah (monoteisme).
Teori kedua adalah teori Revolusionisme dipopulerkan oleh Andrew Lang
dan Wilhelm Schmidt dalam The Origin of the Idea of God yang terbit pada tahun
1912. Schmidt mengatakan bahwa telah ada suatu monoteisme primitif sebelum
manusia menyembah banyak dewa.

DAFTAR PUSTAKA

18

Armstrong, Karen, The Case For God: What Religion Really Means, Masa
DepanTuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme da Ateisme,
Bandung: Mizan, 2009.
----------------------, A History Of Got: The 4000 Year Quest of Yudaism,
Christianity and Islam, Sejarah Tuhan: Kisah pencarian Tuhan yang
Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000
Tahun, Bandung: Mizan, 2004.
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, Wisata Pemikiran dan Kepercayaan Manusia,
Jakarta: Rajawali Pres, 2009.
Gazalba, Sidi, Asas Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat I, Yokyakarta: Kanisius, 2005.
Kartanegara, Mulyadhi, Pengantar Epistimologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Kebung, Konrad, Filsafat Berfikir Orang Timur; Indonesia, Cina dan India,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011.
King Richard, Orientalsm and Religion Poskolonial Theory, India and the Mistic
East; Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, Yokyakarta: Qalam,
1999.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: PT Rineke Cipta, 1990.
L. Pals, Daniel, Seven Theories of Religion, Yokyakarta: Ircisod,
2011.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mutazilah, Jakarta: UI
Press, 2004.
--------------------, Falsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: PT Raja Grapindo Persada,
2004.
S. Praja, Juhaya, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Depdikbud,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993.
Yaqub, Hamzah, Filsafat Agama; Titik Temu Antara Akal dan Wahyu, Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1992.

19

Artikel: Dr. Steven E. Liauw, Saksi Yehovah: Politeisme Terselubung, Graphe


International Theological Seminary
http://agungsukses.wordpress.com/2008/07/24/konsep-keTuhanan-dalam-islam.
didownload tanggal 15 maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tuhan. didownload pada tangal 15 maret 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Politeisme. didownload tanggal 15 maret 2012.

20

Anda mungkin juga menyukai