Disusun oleh:
Wiwit Dhika Sari
07/253851/KU/12359
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas petunjuk, bimbingan, rahmat, dan pertolongan
yang Allah SWT berikan sehingga peneliti bisa menyelesaikan proposal penelitian
yang berjudul Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
dengan Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan lancar.
Perawat sering diidentikkan dengan perilaku caring. Namun sayangnya
belum banyak penelitian mengenai caring itu sendiri. Perawat yang menemani
pasien selama 24 jam diharapkan mampu mengaplikasikan caring dalam asuhan
keperawatan dengandilandasi oleh kecerdasan emosional dan spiritual yang
dimiliki sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat memiliki makna,
bukan rutinitas semata.
Selama penyusunan proposal penelitian ini, peneliti banyak mendapatkan
arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
segala ketulusan hati, peneliti mengucapkan terima kasih peneliti kepada:
1.
Prof. dr. Ali Ghufron, M.Sc., Ph.D selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.
2.
Dr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.A., M.Med.Ed., Ph.D. selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
3.
Dr. Fitri Haryanti S, S.Kp., M.Kes. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
4.
Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., M.N. selaku pembimbing I yang telah
memberikan arahan dan saran kepada peneliti.
5.
6.
7.
Widyawati, S.Kp., M.Kes. yang telah memberikan saran dan masukan di awal
penyusunan proposal.
8.
Ibu, keluarga, dan teman-teman yang telah memberikan segala bantuan baik
materi, doa, arahan, semangat, dan dorongan yang kuat sehingga peneliti bisa
menyelesaikan proposal dengan lancar dan tepat waktu.
9.
karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan demi
kesempurnaan penelitian yang akan peneliti lakukan. Peneliti berharap agar
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, tenaga kesehatan, dan
penyedia layanan kesehatan.
Peneliti
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
............................................................................................................. v
xi
ABSTRACK..
xii
BAB I. PENDAHULUAN
A. . Latar Belakang Masalah..................................
C. . Tujuan Penelitian.
D. . Manfaat Penelitian.... 7
E. . Keaslian Penelitian...
Tinjauan Pustaka
1.
Konsep Caring
a. Definisi Caring ............................................................................ 11
b. Caring Menurut Swanson ............................................................ 16
c. Caring Menurut Watson .............................................................. 18
d. Faktor Individu Perawat yang Mempengaruhi Perilaku
Caring...... 24
e. Faktor Individu Pasien yang Mempengaruhi Persepsi
tentang Perilaku Caring Perawat...
2.
25
Kecerdasan Emosional
a. Definisi Kecerdasan Emosional ............................................. 28
b. Komponen Kecerdasan Emosional .............................................. 31
iii
3. Kecerdasan Spiritual
a. Definisi Kecerdasan Spiritual ...................................................... 34
b. Komponen Kecerdasan Spiritual ................................................. 37
C.
Landasan Teori................ 42
D.
Kerangka Teori ..
45
E.
Kerangka Penelitian....
46
F.
Pertanyaan Penelitian.....
47
G.
Hipotesis Penelitian. 47
48
B.
48
C.
48
D.
Variabel Penelitian.
51
E.
Definisi Operasional .
51
F.
Instrumen Penelitian ..
55
G.
58
H.
61
I.
Analisis Data.
62
J.
Keterbatasan Penelitian..
64
67
b. Responden Pasien.......
68
69
70
iv
73
74
76
77
79
82
83
87
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Teori
37
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
56
Tabel 2.
57
Tabel 3.
58
Tabel 4.
59
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
67
Tabel 9.
68
Tabel 10.
69
Tabel 11.
70
71
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
vii
71
72
73
73
74
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Informed Consent
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Identitas Pasien
Lampiran 4.
Identitas Perawat
Lampiran 5.
Lampiran 6.
Lampiran 7.
viii
ix
1.
2.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keperawatan dan caring adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan.
Perawat sangat identik dengan perilaku caring. Caring dalam keperawatan adalah
hal yang sangat mendasar. Caring sendiri memiliki banyak definisi. Menurut
penelitian Leininger (1977) cit Morrison & Burnard (2009) caring berhubungan
dengan kenyamanan, dukungan, kasih sayang, empati, perilaku menolong secara
langsung, koping, pengurangan stress yang spesifik, sentuhan, pengasuhan,
bantuan, penawasan, perlindungan, pemulihan, stimulasi, pemeliharaan kesehatan,
pendidikan kesehatan dan konsultasi kesehatan. Puncak dari perilaku caring
adalah timbul rasa kepedulian untuk mencapai layanan keperawatan yang baik.
Oleh karena itu, caring menjadi konsep inti dari praktek keperawatan profesional.
Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai kecerdasan yang
dimiliki seseorang. Beberapa aspek kecerdasan yang berhubungan dengan
perilaku caring antara lain kecerdasan emosional dan spiritual. Menurut Griffin
(1983) cit Morrison & Burnard (2009), terdapat hubungan antara caring dengan
sikap dan emosi perawat. Sedangkan keharusan seorang perawat besikap care
terdapat dalam tiga aspek salah satunya adalah aspek spiritual (Fry, 1988 cit
Morrison & Burnard, 2009).
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri.
Kemampuan ini yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta
sudah merasa cukup puas dengan pelayanan perawat. Namun, salah satu pasien
menyatakan bahwa ketika memanggil perawat untuk meminta bantuan ia harus
menunggu cukup lama. Perawat yang tengah sibuk dengan urusan yang lain ketika
dimintai bantuan oleh pasien atau keluarga pasien maka akan terlihat salah satu
aplikasi perilaku caring perawat yakni berupa respon terhadap panggilan tersebut.
Berkaitan dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, menurut
pengamatan peneliti pada akhir bulan April 2011, dua perawat jaga sore di ruang
Cendana 3 mampu menenangkan diri meskipun nampak sedikit panik ketika salah
satu pasien berada dalam kondisi krisis. Perawat tersebut segera memakai sarung
tangan dan mendatangi kamar pasien. Kemampuan perawat untuk menenangkan
diri dan berpikir jernih untuk bertindak ketika panik merupakan salah satu ciri
kecerdasan emosional. Selain itu, perawat tetap berhati-hati dengan menggunakan
sarung tangan menjadi bentuk rasa syukur atas karunia Allah swt terhadap
anggota fisiknya, merupakan salah satu pencerminan kecerdasan spiritual.
Pelayanan keperawatan menjadi ujung tombak kualitas pelayanan rumah sakit
sehingga dapat menjadi penentu citra rumah sakit. Perilaku caring perawat tentu
akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan keperawatan kepada klien.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku caring perawat diantaranya adalah
tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh perawat.
Pada situasi yang tidak diinginkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
diharapkan mampu menjadi benteng seorang perawat dalam menghayati serta
menghadapi setiap kondisi dengan tetap menjaga konsistensi perilaku caring
kepada pasien.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut
peneliti
merumuskan
masalah
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional
dengan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap
Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2) Tujuan Khusus
a.
b.
c.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, dan perilaku caring perawat.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi peneliti
Peneliti dapat menerapkan ilmu yang berkaitan dengan penelitian serta
menambah pengetahuan peneliti tentang hubungan tingkat kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat.
b) Bagi perawat
Bagi
perawat
diharapkan
dapat
meningkatkan
mutu
asuhan
E. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang hubungan antara
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku perawat di
ruang rawat inap Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah
dilakukan penelitian. Ada beberapa penelitian yang hampir serupa dengan
penelitian yang akan dilakukan diantaranya adalah:
a. Estherlita (2004). Skripsi. Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dan
Emosional terhadap Kinerja Kepala Ruang Perawatan Rawat Inap di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta. Jenis penelitian adalah non experimental dengan rancang
deskriptif korelasional. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan cross
sectional (potong lintang). Subyek pada penelitian tersebut adalah kepala ruang
perawatan rawat inap RS Dr. Sardjito. Hasil penelitian tersebut terdapat
hubungan antara tingkat kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional
terhadap kinerja kepala ruang perawatan rawat inap di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta. Persamaan dengan peneltian ini adalah variabel bebas yang
digunakan yaitu tingkat kecerdasan emosional dan tingkat kecerdasan spiritual.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah subyek penelitian
yaitu perawat ruang rawat inap Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan
vareabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah perilaku caring
perawat.
b. Cholis (2005). Skripsi. Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional, Kecerdasan
Spiritual, Adversity Quotient, dengan Kinerja Perawat Instalasi Rawat Darurat
RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. Jenis penelitian adalah non eksperimental
(2009).
Skripsi.
Hubungan
Perilaku
Orang
Tua
dengan
10
d. Sobirin (2006). Tesis. Hubungan Beban Kerja dan Motivasi dengan Penerapan
Perilaku Caring Perawat di RSUD Unit Swadana Kabupaten Subang. Jenis
penelitian non experimental dengan metode deskriptif analitik. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah studi cross sectional. Hasil
penelitian tersebut adalah penerapan perilaku caring lebih dari sebagian
perawat masih rendah dengan beban kerja perawat sekitar 4,07 jam sampai
dengan 10,35 jam tiap shift, 5,19 jam tiap shift untuk tindakan keperawatan
langsung dan 3,36 jam untuk tindakan keperawatan tidak langsung. Ada
hubungan yang cukup signifikan antara beban kerja dan motivasi dengan
penerapan perilaku caring.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas yang digunakan
yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dan tempat penelitian
yaitu RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Caring
a. Pengertian Caring
Leininger (1981) menyatakan bahwa caring menjadi kebutuhan manusia
yang esensial; caring adalah keperawatan; caring adalah jantung dan jiwa dari
keperawatan; caring adalah kekuatan; caring adalah penymbuhan; caring
adalah bagian penting yang mudah dikenali sehingga membuat keperawatan
menjadi seperti seharusnya yakni professional dan disiplin. Leininger
menambahkan bahwa caring sebagai tindakan dan kegiatan yang diarahkan
untuk membantu, mendukung atau memungkinkan individu atau kelompok
dengan kebutuhan dasar atau tambahan yang berfungsi untuk menperbaiki atau
meningkatkan suatu kondisi manusia atau untuk menolong manusia
menghadapi penyakit, kematian, atau ketidakmampuan (Leininger 1981;1991).
Penting sekali bagi seorang perawat memahami perilaku caring asli
setempat dan perilaku profesional yang sifatnya universal dan nonuniversal
agar dapat menjadi efektif dalam perawatan pasien, karena caring bersifat
sangat pribadi pribadi, dan ekspresinya dapat berbeda bagi setiap pasien.
Menekankan bahwa perawatan yang diberikan berbeda antara budaya yang
satu dengan yang lainnya (Marriner Tomey & Alligood, 2002 cit Khademian &
Vizeshfar, 2008). Sedangkan, Swanson (1991) menjelaskan dalam teorinya
12
13
melayani dapat diartikan dengan beberapa bentuk perilaku anta lain memberi
perhatian tanpa menunggu diminta (Sabarguna, 1999 cit Rosalina, 2008).
Patton (1998) cit Rosalina (2008) mengungkapkan tentang pelayanan yang
dilakukan dengan sepenuh hati mencakup lima komponen yaitu (a) memahami
emosi diri, artinya mampu mengenali pemicu terjadinya emosi serta dapat
mengungkapkannya dengan tepat menjadi kunci dalam memberikan pelayanan;
(b) kompetensi yaitu memiliki kewenangan untuk menentukan segala sesuatu.
Kompetensi dalam perilaku melayani diperlihatkan dalam kemampuan diri
untuk menjaga emosi dan memunculkan empati; (c) mengelola emosi diri yaitu
melayani dengan tetap menjadi diri sendiri tetapi mampu mengontrol emosi;
(d) kreatif dan memotivasi diri; (e) menyelaraskan emosi diri dengan emosi
orang lain. Oleh karena itu, caring menjadi inti dalam keperawatan. Perawat
yang tidak menawarkan care kepada pasien dapat diartikan bahwa perawat
tersebut tidak memberikan pelayanan keperawatan.
Fokus utama caring adalah proses perawatan kepada manusia baik dalam
individu, keluarga, dan kelompok. Hal ini dipertegas oleh Watson (1988)
bahwa caring menjadi standar etik keperawatan. Caring mempertahankan
martabat manusia di dalam sistem pelayanan kesehatan yang didominasi oleh
cure. Perilaku caring sendiri merupakan tindakan, kelakuan, dan perangai
yang dilakukan oleh perawat peofesional dengan memberikan konsentrasi,
mementingkan keselamatan, serta perhatian kepada pasien (Greenhalgh,
Vanhanen, & Kyngas, 1998 cit Rego 2008). Senada dengan yang diungkapkan
oleh Radsma (1994) cit Nurachmah (1997) bahwa keperawatan memang
14
(1990)
cit.
Agustin
(2002)
menyatakan
bahwa
proses
penyembuhan pasien dapat dilihat dari bagaimana sikap perawat yang nanti
akhirnya akan mempengaruhi kepuasaan klien. Tentu, perawat yang ramah,
empati, dan mau memahami pasien akan memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam percepatan penyembuhan pasien.
Perawat memang bertugas untuk merawat pasien, tetapi spirit caring
dalam memberikan asuhan keperawatan tidak dapat diperintahkan, karena
15
merupakan cerminan dari individu perawat. Oleh karena itu, setiap perawat
dapat memperlihatkan cara yang berbeda ketika memberikan asuhan kepada
klien (Dwidiyanti, 2010). Spiritual caring muncul dari dalam diri perawat dan
berasal dari hati perawat yang terdalam. Spirit caring yang diberikan melalui
kejujuran, kepercayaan dan niat baik. Perilaku caring inilah yang menolong
pasien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual
dan sosial (Nurachman, 2001).
Perawat seharusnya dapat memaksimalkan hasil yang diperoleh, salah
satunya yakni dengan melibatkan pasien dalam hal perawatan. Perawat dapat
melakukan pendekatan dengan pasien dengan tenang dan melalui sikap caring.
Berusaha untuk konsisten dalam berinteraksi dan menepati janji akan
membangun hubungan saling percaya (Boyd & Nihart, 1998).
Perilaku caring dapat membawa dampak positif bagi pasien karena
mampu meningkatkan kepuasan pasien, kesejahteraan dan kesehatan (AlMailam, 2005; Dingman, Williams, Fosbinder, Warnick, 1999; Issel & Kahn,
1998; Mahon, 1996; Meyer, Cecka, & Turkovich, 2006; Williams, 1997; Wolf
et. al.., 1998 cit Rego et. al. 2008).
Baldursdottir dan Jonsdottir (2002) cit Khademian dan Vizeshfar (2008)
menegaskan bahwa pendekatan caring dipercaya mampu meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan serta untuk memfasilitasi promosi kesehatan.
Kekuatan caring dalam individu dan profesi, memiliki kesulitan untuk diukur
jumlah dan kualitasnya, namun caring memiliki kekuatan untuk penyembuhan
dan pencegahan (Brenda S. & Gregory D, 2000). Berdasarkan penelitian-
16
komitmen
untuk
menjaga
Memahami (Knowing)
Merupakan cara terbaik untuk mengaplikasikan cara menjaga
kepercayaan pasien dalam praktek nyata. Knowing meliputi menghindari
asumsi, memfokuskan pelayanan kepada orang lain, mengkaji pasien
secara menyeluruh sesuai dengan kondisi dan realita, dan menjalin
hubungan perawat sebagai individu dengan pasien melalui caring.
3.
17
5.
Memampukan (Enabling)
Hal
penting
dalam
pelayanan
caring
keperawatan
adalah
18
19
20
sistematis
keputusan.
metoda
Perawat
penyalesaian
menggunakan
masalah
untuk
metoda
proses
21
22
adanya
tekanan
yang
bersifat
fenomologis
agar
caring.
Perawat
perlu
mengarahkan
klien
pada
23
Gourmay dan Gray (1998) cit Morrison & Burnard (2009) menyatakan
bahwa perspektif caring pada masa ini tidak sesuai lagi dan telah tiba saatnya
perawat memeriksa kembali keberadaan mereka melalui penemuan-penemuan
ilmiah. Beberapa penelitian telah mengklasifikasikan perilaku caring untuk
mempermudah pengukuran perilaku caring menjadi enam dimensi, yakni:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
(Doona, Chase, dan Haggerty, 1999; Godkin, 2001; Godkin dan Godkin, 2004
cit Rego, 2008).
24
25
1.
Usia
Usia sangat berkaitan dengan tingkat kedewasaan dan maturitas. Usia yang
Jenis Kelamin
Tidak ada perbedaan yang penting antara pria dan wanita dalam kinerja,
Tingkat Pendidikan
Penelitian menunjukkan bahwa lama kerja mempengaruhi bagaimana cara
Lama Kerja
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku dimasa lalu mempengaruhi
26
dengan
bahwa terdapat korelasi antara lama kerja dengan penerapan perilaku caring.
5.
Status Pernikahan
Robbins (2008) mengungkapkan bahwa karyawan yang telah menikah
Kemampuan fisik
Robbins (2008) menjelaskan bahwa kemampuan fisik adalah kemampuan
Ras
Merupakan isu yang kontroversial, tetapi dalam lingkungan kerja masih
e.
27
28
2.
Kecerdasan Emosional
a.
untuk adaptasi secara efektif terhadap lingkungan, dan membuat perubahan pada
diri sendiri dan lingkungan, atau mendapatkan sesuatu yang baru. Jadi kecerdasan
bukan hanya suatu proses mental tetapi kombinasi beberapa proses mental
langsung melalui adaptasi di lingkungan. Pada dekade 90-an, dipahami bahwa
seseorang yang mempunyai kecerdasan intelektual menggunakan otak rasional
yang merupakan pusat berfikir, selama ini dijadikan acuan untuk menentukan
29
30
Kecerdasan emosi akan menimbulkan energi yang positif apabila energi tersebut
negatif maka tidak dapat disebut sebagai kecerdasan emosi sehingga dapat
dirasakan manfaatnya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Kecerdasan emosional menjadi penanda dua komponen dasar kepribadian
yakni kognitif dan system emosional. Standar kecerdasan yang paling sering
digunakan adalah kemampuan kognitif dan standar untuk beradaptasi adalah
fungsi emosional. Namun, timbul kesadaran bahwa sesungguhnya kecerdasan
emosi menjadi penyatu antara kemampuan kognitif dan adaptasi. Apabila
seseorang yang meyakini bahwa situasi marah merupakan gambaran dari kurang
cerdasnya emosi maka seseorang akan berusaha menggabungkan antara reaksi
emosi dengan pemikiran yang lebih kompleks. Kecerdasan emosional dapat
dilihat dari reaksi dan model emosional seseorang yang dinilai melalui konsistensi
logis sehingga mampu menggambarkan kecerdasan seseorang (Mayer & Salovey,
1995 cit Augusto-Landa & Lpez-Zafra, 2010).
Perspektif kecerdasan emosional dikenal sebagai kemampuan kognitif yang
bekaitan dengan penalaran dan pemecahan masalah (Mayer, Roberts, & Barsade,
2008 cit Ferguson & Austin, 2010), sehingga kecerdasan emosional menjadi kunci
untuk mengolah proses informasi emosional yang akurat dan efisien, termasuk
informasi yang relevan dengan penafsiran, pengakuan, dan pengaturan emosi
dalam diri sendiri dan orang lain (Salovey & Mayer, 1990 cit Zohar & Marshal,
2000). Purba (1999) cit Trihandini (2005) menekankan inti dari kecerdasan
emosional adalah kesanggupan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan
emosi, semamgat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang
31
lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Goleman (2009) yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki individu dalam
memotivasi diri sendiri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi, mengatur suasana hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan dan menunda
kepuasan, serta mampu menjaga agar beban pikiran tidak melumpuhkan pikiran.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki kompetensi professional, tetapi juga
memiliki sensitivitas saat bertemu dengan pasien (Akerjordet & Severinsson,
2004 cit Rego, 2008). Setiap pasien memiliki kepribadian yang berbeda-beda,
sehingga perawat seharusnya memiliki kemampuan untuk menangkap adanya
kecemasan ataupun perasaan mudah terluka. Melalui kecerdasan ini juga
seseorang mampu memahami orang lain, bersikap empati, serta dapat menahan
emosi saat mampu untuk marah, serta mengerti bagaimana kondisi emosinya dan
mampu menempatkan sesuai dengan situasi yang ada. Sesuai dengan pendapat
Steiner (1997) cit Goleman (2009) kecerdasan emosional diidentikkan dengan
kemampuan untuk dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta
mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan
maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Ketika seseorang mampu mengenal
dirinya sendiri maka akan timbul kesadaran penuh pada tiap situasi yang terjadi
dan mengetahui apa yang harus dilakukan serta apa yang harus dihindari.
32
hingga enam atau lebih maka akan menjadikan seseorang professional yang
handal. Sedangkan, Rego et. al. (2007) membagi komponen kecerdasan emosional
menjadi enam komponen meliputi kontrol diri terhadap kritik, memiliki motivasi
emosi yang positif terhadap diri sendiri, mampu mengontrol emosi, memahami
perasaan orang lain, memiliki empati, memahami perasaan diri sendiri.
Dimensi pertama adalah kontrol diri menghadapi kritik yakni perawat
menghadapi kritik tanpa disertai emosi yang berlebihan. Perawat dengan kontrol
terhadap kritik rendah ketika menerima keluhan dari pasien, maka yang sangat
mungkin untuk balik mengomentari atau menjadi kurang bersedia untuk
mendengarkan atau merawat pasien (Bushell, 1998 cit Rego, 2010) akhirnya dapat
merusak hubungan kepercayaan dengan pasien (Cooper, 1997 cit Rego, 2010).
Dimensi kedua adalah memotivasi diri sendiri. Kemampuan memotivasi
tergantung dari ketahanan mental untuk mempengaruhi kecerdasan yang lainnya.
Motivasi mampu mendorong seseorang untuk bertindak untuk menjadi lebih
inisiatif, produktif, dan efektif dalam malakukan apa yang dikerjakan. Perawat
menjadi lebih tangguh dan gigih ketika menghadapi kesulitan, lebih tekun dalam
memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga mampu menularkan
energi positif kepada pasien (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit Rego, 2010).
Dimensi ketiga adalah pengaturan emosi diri. Merawat membutuhkan tenaga
dari emosional seperti mengekspresikan emosi yang diinginkan dan menekan
ekspresi terhadap emosi yang tidak diinginkan selama terjadi interaksi (VitelloCicciu, 2003 cit Rego, 2010). Pengaturan emosi diri yaitu kemampuan untuk
mengendalikan emosi sehingga terjadi keseimbangan emosi, bukan menekan
33
emosi karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari seseorang memiliki kepekaan terhadap hati nurani yang
nantinya akan mampu menghibur diri, melepaskan kecemasan atau kemurungan
sehingga dapat bangkit lebih cepat saat dirundung kemalangan.
Dimensi empat adalah memahami emosi diri, maksudnya seseorang dapat
mengenali dan merasakan emosinya sendiri. Kemampuan menangani perasaan
agar perasaan dapat terungkap dengan pas. Kepahaman terhadap emosinya sendiri
dapat menuntun untuk mampu memahami penyebab perasaan yang timbul,
sehingga pada aplikasi sehari-hari memiliki kepekaan lebih tinggi dalam
pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
Dimensi kelima adalah empati yaitu kemampuan untuk menerima dari sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain. Empati mendorong
seseorang untuk bertindak memberi bantuan. Dimensi ini mendorong agar mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang menjadi isyarat apa-apa yang dibutuhkan
orang lain, sehingga timbul keselarasan antara diri sendiri dan orang lain.
Dimensi keenam adalah memahami emosi pribadi yakni perawat mampu
menyadari dan lebih lanjut mengenali emosi mereka sendiri dengan harapan agar
dapat mengatasi segala hambatan yang terjadi dalam diri sendiri menuju koping
yang positif. Ketika mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan, maka akan lebih
mudah dalam hal pengambilan keputusan untuk melawan mengekspresikan emosi
negatif yang mereka alami (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit Rego, 2010),
sehingga perawat akan cenderung meningkatkan kepercayaan dan penghormatan
34
kepada pasien (Abraham, 2004; Akerjordet & Severinsson, 2004; Cooper, 1997;
Goleman, 1998 cit Rego, 2010 )
Goleman (2009) menyatakan bahwa pertanda perasaan bisa mengarah
menjadi penyakit apabila perasaan begitu kuatnya sehingga mengalahkan pikiranpikiran lainnya sehingga sulit untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang
sedang dihadapi. Oleh karena itu sangatlah penting untuk memiliki kecerdasan
emosional karena apabila emosi tidak dapat dikendalikan maka akan
menimbulkan tindakan yang amat sulit dibayangkan akibatnya. Setiap emosi yang
kuat berakar dari adanya dorongan untuk bertindak, kecerdasan emosional mampu
mengelola dorongan-dorongan itu, berusaha untuk menenangkan perasaanperasaan yang tidak menyenangkan dan lambat laun dapat menguasai kemampuan
sehingga cepat pulih dari dorongan disertai nafsu amarah tersebut.
Dalam banyak hal, pekerjaan perawat sangat beragam, pada suatu saat
menantang, tetapi kadang dirasa membosankan, sehingga sangat membutuhkan
pengelolaan emosi yang terampil. Ciri dari kecerdasan emosional perawat dapat
terlihat dari cara melaksanakan pekerjaan khususnya saat berinteraksi dengan
pasien tidak terjebak dalam rutinitas tugas saja, tetapi mampu memberikan makna
dari setiap yang dikerjakan. Ciri ini menjadi esensi dari perilaku caring perawat.
3.
Kecerdasan Spiritual
a. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk menyeimbangkan antara
makna dan nilai sehingga dapat menempatkan kehidupan kedalam konteks yang
35
lebih luas (Zohar & Marshal, 2000), sehingga kecerdasan spiritual mampu
menuntun seseorang untuk memahami nilai, makna, dan tujuan hidup
(Syahmuharnis & Sidarta, 2006). Lebih lanjut Zohar dan Marshal (2000)
menegaskan kembali bahwa kecerdasan spiritual bertumpu pada bagian dalam diri
kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar, sehingga
menjadikan manusia utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan
spiritual memfasilitasi antara pikiran dan emosi, menjadi penghubung antara
pikiran dan tubuh, dan akhirnya timbul pengenalan terhadap diri sendiri. Selain
itu, kecerdasan ini mengintegrasikan hubungan intrapersonal dan interpersonal,
yang menghubungkan gap antara diri sendiri dan orang lain (Zohar, 2000).
Dimensi spiritual berupaya mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk mejawab atau mendapatan kekuatan ketika
sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kecerdasan
spiritual merupkan kemampuan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier,
Erb, Blais dan Wilkinson, 1995; Murray dan Zentner, 1993 cit Hamid, 2009).
Zohar dan Marshal (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual
disimbolkan sebagai Teratai Diri yang menggabungkan antara tiga kecerdasan
dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif,
dan penyatu), tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier) dan tiga
tingkatan diri (pusat transpersonal, tengah-asosiatif dan interpersonal, dan
pinggiran-ego personal). Dengan demikian kecerdasan spiritual berkaitan dengan
unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam menjadi pemersatu
seluruh bagian diri manusia lain.
36
dan
37
1.
Mempunyai
pegangan
tentang
keyakinan
spiritual
yang
memenuhi
3.
4.
strategi
asuhan
keperawatan
yang
paling
sesuai
untuk
38
39
kematian akan menyentuh hati dan memungkinkan untuk menyusup ke dalam inti
dari satu-satunya pertanyaan sejati yakni tentang arti hidup yang sesungguhnya.
Kematian pasti akan menjumpai semua orang, yang akan melenyapkan orangorang yang kita cintai. Hal ini yang mendorong untuk tidak puas hanya menjalani
kehidupan di permukaan saja, mendorong untuk masuk ke dalam inti dan
kedalaman dari segala sesuatu sehingga mampu merasa dekat dengan Tuhan..
Mampu merasakan kedekatan dengan Tuhan merupakan komponen
kecerdasan spiritual. Terdapat penemuan terbaru mengenai God Spot yakni
sekumpulan jaringan saraf dalam lobus temporal otak yang terdapat di balik
pelipis, dapat membuat manusia memiliki perasaan akan sesuatu yang sakral dan
kerinduan akan segala sesuatu yang lebih mendalam dalam hidup (Persinger dan
Ramachandran, 1997 cit Zohar & Marshal, 2005). Bagian ini sangat aktif ketika
mendapat pengalaman spiritual. Riset Singer (1999) cit Zohar & Marshal (2004)
semakin menguatkan dengan ditemukan neuron-neuron otak yang bergetar secara
serentak dalam merespon stimuli khusus. Dalam setiap respon stimuli, otak
menyatukan pengalamannya dengan menggetarkan neuron-neuron tersebut kirakira 40 Hz. Kini telah diketahui bahwa osilasi 40 Hz ini merupakan basis neural
bagi kesadaran otak. Osilasi ini menyatukan sisitem-sistem kecakapan otak dan
memadukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dengan aktivitas
kecerdasan spiritual dari God Spot. Osilasi 40 Hz yang dipadukan dengan
aktivitas God Spot besar kemungkinan menjadi basis neural bagi karakteristik dan
sifat particular dari kecerdasan spiritual. Pada dasarnya setiap manusia memiliki
kecenderungan meskipun tanpa disadari mengarah ke pusat dan menuju pusat
40
sendiri, dimana seseorang akan menemukan hakikat yang utuh, yaitu rasa
kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk
dapat menemukan dirinya pada inti wujud hakiki di pusat alam alam semesta ,
tempat untuk berkomunikasi dengan langit (Elidae, 1993 cit Sangkan, 2006).
Menurut Buzan (2001), orang yang cerdas secara spiritual mampu
menjadikan setiap interaksi dengan orang lain dapat memberi manfaat bagi orang
lain ataupun sama-sama saling menyemangati satu sama lain, sehingga setiap
interaksinya dengn orang lain akan menjadi suatu pembelajaran.
Kecerdasan spiritual akan membangun optimisme yang nantinya akan
melahirkan keberanian untuk menempuh segala resiko karena adanya kesadaran
yang penuh bahwa segala sesuatu pasti ada resikonya (Tasmara, 2006). Namun,
sesungguhnya setiap ciptaan-Nya telah dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu unuk menghadapi segala tantangan dan resiko hingga akhirnya terbentuk
karakter posotif dalam dirinya.
Amram (2008) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual memiliki 5 komponen
pokok
yakni
kesadaran
(consciousness),
rahmat
(grace),
kebermaknaan
41
penderitaan dan rasa sakit. Komponen yang keempat adalah aplikasi yakni praktek
dalam kehidupan sehari-hari, saling berhubungan dan bersifat menyeluruh karena
adanya pengakuan terhadap Allah swt. Komponen kelima adalah kebenaran yakni
berpikiran terbuka untuk menerima kebenaran dalam hidup, termasuk didalammya
antara lain memaafkan, besar rasa ingin tahu, dan menghargai kebijakan dalam
tradisi.
Zohar & Marshall (2000) bahwa orang yang memiliki kecerdasan spiritual
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan. Kesulitan
tersebut dapat dianggap sebagai rasa sakit, penderitaan atau kesulitan sebagai
sesuatu
yang
mengancam
atau
melumpuhkan,
tetapi
kita
juga
dapat
menganggapnya sebagai tantangan dan bahkan sebagai peluang. Oleh karena itu,
salah satu kriteria kecerdasan spiritual adalah kemampuan menyelesaikan
masalah. Hal senada juga diungkapkan oleh Wolman (2001) cit Yang & Mao
(2007) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan otentik yang mencakup berpikir,
konseptualisasi, dan memecahkan masalah. Kecerdasan spiritual dapat menjadi
bekal agar masalah tersebut dapat terselesaikan secra konstruktif hingga perasaan
khawatir hilang. Menuntun seseorang untuk terlepas dari keputusasaan.
Orang yang cerdas secara spiritual akan selalu mencari nilai dari setiap
tindakan yang mereka lakukan. Perilaku dikatakan memiliki nilai apabila dasar
setiap laku manusia mengandung tuntunan kesadaran, bukan karena paksaan
sehingga mempunyai dasar yaitu niat (Sangkan, 2006).
Perawat dituntut untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sebaik
mungkin. Manifestasi spiritual merupakan cara kita untuk dapat memahami
42
spiritual secara nyata. Manifestasi spiritual dapat dilihat melalui bagaimana cara
seseorang berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan dengan Yang Maha
Kuasa, serta bagaimana sekelompok orang berhubungan dengan anggota
kelompok tersebut (Koenig & Pritchett, 1998 cit Dwidiyanti, 2010). Keyakinan
spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat
kesehatan dan perilaku self care pasien. Pelayanan tersebut mampu diberikan
apabila perawat mengetahui hakikat sebenarnya dari apa yang dilakukan tidak
sebatas kewajiban rutinitas, tetapi lebih dari itu perawat mengetahui makna dari
setiap pekerjaannya. Kecerdasan spiritual dapat menjadi penghubung agar
seseorang mampu untuk mengekspresikan dan memaknai setiap tindakannya
(Trihandini, 2005). Kecerdasan spiritual menjadi landasan perilaku caring
perawat saat berinteraksi dengan pasien.
B. Landasan Teori
Caring merupakan suatu perilaku yang bertujuan untuk membantu, memberi
perhatian, mengasuh, memberi bantuan, serta mendorong untuk memandirikan
pasien. Fokus utama adalah 10 faktor karatif caring menurut Watson (1998).
Faktor karatif tersebut mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, menanamkan
kepercayaan (faith hope), peka terhadap diri dan orang lain, mengembangkan
hubungan saling percaya dan membantu, mendorong dan menerima ekspresi
perasaan positif dan negatif klien, menggunakan metoda penyalesaian masalah
secara sistematis untuk pengambilan keputusan, meningkatan pembelajaran dan
pengajaran interpersonal, menciptakan lingkungan yang suportif, proaktif dan atau
43
44
yang berbeda anatara satu individu dengan individu lainnya, sehingga dapat
mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional maupun spiritual perawat.
Karakteristik tersebut meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
bekerja, dan status pernikahan. Oleh karena itu, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual yang tergambar dari setiap individu dapat sangat bervariasi.
Begitu pula terhadap persepsi pasien terhadap perilaku caring perawat akan
bervariasi karena adanya perbedaan karakteristik individu, meliputi tingkat
pendidikan, usia, jenis kelamin, lama dirawat dan frekuensi dirawat.
Setiap tindakan perawat yang dilandasi oleh pemahaman akan pentingnya
perilaku caring muncul atas kesadaran. Kesadaran tersebut berasal dari perpaduan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sangat dimungkinkan tindakan
caring perawat akan bernilai dan memberi efek positif kepada klien.
45
Karakteristik individu
Perawat:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
5. Status pernikahan
6. Kemampuan fisik
7. Ras
Asuhan Keperawatan
Perawat
Kecerdasan :
Intelektual
Emosional
Perilaku Caring
Komponen:
Kontrol diri saat dikritik
Menyemangati diri sendiri
Pengaturan emosi diri
Memahami emosi orang
lain
Empati
Komponen:
Memahami emosi pribadi
Kesadaran
Rahmat
Spiritual
Kebermaknaan
Aplikasi
Kebenaran
Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
Komponen:
1. Kemanusiaan/ keyakinanharapan-sensitivitas
2. Membantu & membina
kepercayaan
3. Menerima perasaan positif/
negatif klien
4. Pembelajaran/ pengajaran
interpersonal
5. Menciptakan lingkungan
yang mendukung
6. Memenuhi kebutuhan dasar
7. Mengizinkan fenomenologi
Karakteristik individu
Pasien:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama dirawat
5. Frekuensi dirawat
Mutu
Asuhan
46
D. Kerangka Penelitian
Perawat
Kecerdasan:
Emosional
Komponen:
Kontrol diri saat dikritik
Menyemangati diri sendiri
Pengaturan emosi diri
Memahami emosi orang
lain
Empati
Memahami emosi pribadi
Perilaku Caring
1.
2.
3.
4.
5.
Spiritual
Komponen:
Kesadaran
Rahmat
Kebermaknaan
Aplikasi
Kebenaran
6.
7.
Komponen:
Kemanusiaan/ keyakinanharapan-sensitivitas
Membantu & membina
kepercayaan
Menerima perasaan positif/
negatif klien
Pembelajaran/ pengajaran
interpersonal
Menciptakan lingkungan
yang mendukung
Memenuhi kebutuhan dasar
Mengizinkan fenomenologi
47
E. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran tingkat kecerdasan spiritual perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
b. Bagaimana gambaran tingkat kecerdasan emosional perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
c. Bagaimana gambaran perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap Bedah
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menurut persepsi pasien?
F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan tujuan penelitian, maka diajukan hipotesis alternative
(Ha) sebagai pedoman penganalisaan yang akan digunakan sebagai jawaban
sementara, yaitu:
Ada hubungan positif antara tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual terhadap persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin tinggi kecerdasan
emosional maupun kecerdasan spiritual maka akan semakin tinggi pula persepsi
pasien tentang perilaku caring perawat, dan sebaliknya semakin rendah
kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual maka akan semakin rendah
persepsi pasien tentang perilaku caring perawat.
48
BAB III
METODE PENELITIAN
49
a) Perawat
Berdasarkan data ketenagaan per Februari 2011 jumlah perawat pada
Ruang Rawat Inap Bedah Cendana untuk pasien dewasa adalah 66 orang
dengan rincian Cendana 1 sebanyak 18 orang, Cendana 2 sebanyak 19 orang,
Cendana 3 sebanyak 17 orang, Cendana 5 sebanyak 12 orang.
b) Pasien
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dewasa yang dirawat
di kelas III Ruang Rawai Inap Bedah selama tanggal 20 Maret sampai 10
April 2011.
2. Sampel
a) Perawat
Teknik penentuan jumlah sampel pada penelitian ini dengan metode
sampel proporsi yaitu pengambilan sampel dari setiap bagian atau bangsal
ditentukan sebanding dengan banyaknya subjek dalam masing-masing bagian
atau bangsal (Arikunto, 2006). Responden dipilih melalui accidental
sampling yaitu dengan memberikan kuesioner kepada responden yang dapat
diakses peneliti berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Kumar, 2011).
Besarnya sampel penelitian dihitung menggunakan rumus Slovin
(Wahyuni, 2009), yaitu:
n=
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat kesalahan
50
51
D. Variabel Penelitian
1.
2.
Variabel terikat atau dependent dalam penelitian ini adalah perilaku caring.
3.
52
E. Definisi Operasional
1. Kecerdasan emosional adalah gambaran kemampuan emosional perawat di
ruang rawat inap bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito dalam mengelola segala
perasaan dalam diri dalam kondisi apapun dan kapanpun menjadi energi yang
positif. Jenis data adalah data numerik. Penilaian menggunakan enam
komponen kecerdasan emosional yaitu:
a. Kemampuan mengontrol diri dalam menerima kritik yakni penguasaan diri
ketika menerima kritik dari pasien, perawat tidak marah dan tetap mau
mendengarkan dan merawat pasien.
b. Menyemangati diri sendiri yaitu adanya dorongan menjadi lebih tekun
ketika menghadapi kesulitan, hambatan dan krisis, serta gigih memberi
motivasi emosional kepada pasien sehingga dapat menyalurkan energi
positif kepada pasien.
c. Mengatur emosi yaitu usaha mengelola emosi dan mengekspresikan
kepada pasien sehingga mampu tetap tenang dalam kondisi krisis.
d. Empati yaitu rasa kepedulian yang tinggi dan belas kasih terhadap pasien
sehingga mampu menghasilkan reaksi emosional dan psikologis yang lebih
baik bagi pasien.
e. Kemampuan memahami perasaan diri sendiri yaitu kemampuan menyadari
perasaan diri sendiri sehingga lebih bijaksana dalam melakukan interaksi
53
54
55
F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini berupa
kuesioner yang terdiri atas:
1. Kuesioner untuk variabel kecerdasan emosional mengadopsi instrument
Emotional Intelligence yang dikembangkan oleh Rego dan Fernandes (2005).
Instrumen tersebut terdiri atas 14 item yang mengukur 6 dimensi kecerdasan
emosional yaitu (1) kontrol diri menghadapi kritik; (2) menyemangati diri
sendiri; (3) pengaturan emosi diri; (4) memahami emosi orang lain; (5) empati;
(6) memahami emosi pribadi. Instrumen ini menggunakan skala Linkert
dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor untuk pernyataan
favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2),
dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan unfavourable
56
adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju (3), sangat
tidak setuju (4).
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional
No
Indikator
1
Kontrol diri menghadapi kritik
2
Menyemangati diri sendiri
3
Pengaturan emosi diri
4
Memahami emosi orang lain
5
Empati
6
Memahami emosi pribadi
Jumlah
Intelligence
Scale-Short
Form
Version
(ISIS-SFV)
yang
dikembangkan oleh Amram dan Dryer (2007). Instrumen ini terdiri dari 20
item yang mengukur 5 domain kecerdasan spiritual yaitu kesadaran, rahmat,
kebermaknaan, aplikasi dan kebenaran. Instrumen ini menggunakan skala
Linkert dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor untuk
pernyataan favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3),
tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan
unfavourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju
(3), sangat tidak setuju (4).
57
Domain
Kesadaran
Rahmat
Kebermaknaan
4.
Aplikasi
Kebenaran
5, 7, 13, 16 20
11
1, 2, 6, 9, 17
3, 4, 18
12, 19,
Jumlah
3.
Jumlah
20
dasar,
mengijinkan
terjadinya
fenomenologi.
Instrumen
ini
menggunakan skala Linkert dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor
untuk pernyataan favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3),
tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan
unfavourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju (3),
sangat tidak setuju (4).\
58
Domain
Kemanusiaan/ keyakinan-harapan
sensitivitas
Membantu dan membina kepercayaan
Menerima ekpresi/ perasaan
positi/negatif klien
Pembelajaran/pengajaran interpersonal
Menciptakan linkungan yang
mendukung/melindungi
Membantu memenuhi kebutuhan dasar
Mengijinkan terjadinya fenomenologi
Jumlah
Jumlah
Favourable
Unfavourable
1, 2, 3, 5
6, 8,
10
7, 9
-
5
1
11, 12, 14
15
13
-
4
1
16, 17, 18
20
3
1
20
59
Indikator
Jumlah
1, 2, 3, 4
5, 6, 7
8, 9, 10
11, 12, 13
Empati
16
17, 18, 19
14, 15
Jumlah
1
2
14
Pada instrumen kecerdasan spiritual terdapat 24 item yang gugur dan sisanya
20 item yang valid, memiliki skor hitung 0,434 0,891 dengan taraf signifikansi
0,05. Tabel berikut menjelaskan item-item pada kuesioner kecerdasan spiritual
yang valid dan yang tidak valid. Item kuesioner yang valid ditandai dengan garis
bawah.
Tabel 5. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kecerdasan Spiritual
Sedangkan pada instrumen perilaku caring perawat terdapat 20 item yang
gugur dan sisanya 20 item valid, memiliki skor hitung 0,432 - 0,791 dengan taraf
signifikansi 0,05. Tabel berikut menjelaskan item-item pada kuesioner kecerdasan
spiritual yang valid dan yang tidak valid. Item kuesioner yang valid ditandai
dengan garis bawah.
60
Tabel 6. Hasil Uji Validitas Kuesioner Persepsi Pasien Tentang Perilaku Caring
Perawat
No
Indikator
Nomer Item Instrumen
Jumlah
1
2
Kemanusiaan/ keyakinan-harapan
Favourable
Unfavourable
1, 2, 3, 4, 5,
13, 16
25
28, 29, 31
30
sensitivitas
6, 8, 9, 10
Pembelajaran/pengajaran interpersonal
mendukung/melindungi
6
35, 36, 37
7
38, 39, 40
Jumlah
20
61
H. Jalannya Penelitian
1.
Tahap persiapan
Dimualai dari persiapan proposal antara bulan Juni 2010 hingga Januari
2011, meliputi pengajuan tema penelitian dan judul, penyusunan proposal,
konsultasi, observasi, seminar proposal dan revisi proposal. Kemudian
mengurus keterangan kelaikan etik, dilanjutkan menyampaikan surat izin
untuk penelitian ke RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang selanjutnya
melakukan presentasi proposal di bagian IRNA I.
Melakukan uji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui tingkat
kesahihan dan keterandalan suatu instrumen yang nantinya akan digunakan
untuk mengambil data di ruang rawat inap bedah Cendana.
2.
Tahap pelaksanaan
Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden
baik perawat maupun pasien, setelah terlebih dahulu memberikan inform
consent. Peneliti membagikan angket dan menjelaskan cara pengisian
angket. Saat proses pengisian kuesioner, apabila ada pertanyaan yang sulit
dipahami oleh responden maka dapat menanyakan kepada peneliti. Peneliti
berdiri ditempat yang terjangkau oleh pandangan responden perawat
sehingga dapat dengan mudah memanggil peneliti. Setelah selesai, peneliti
menghampiri responden perawat untuk mengambil kuesioner yang sudah
selesai diisi. Namun, terdapat beberapa kuesioner untu perawat yang
dititipkan. Kuesioner yang telah terisi diperiksa kelengkapannya di depan
responden sehingga saat ditemukan ada kekurangan dapat langsung
62
Tahap pelaporan
Setelah pengumpulan data dan pengolahan data selesai dilakukan,
kemudian menyusun hasil penelitian untuk diseminarkan.
I. Analisa Data
Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan beberapa langkah
(Arikunto, 2006) yaitu: (1) persiapan meliputi: mengecek nama dan kelengkapan
identitas responden, mengecek kelengkapan data dengan memeriksa isi instrumen,
63
mengecek macam isian data; (2) tabulasi data meliputi: memberikan skor terhadap
masing-masing data, menjumlahkan skor pada kuesioner; (3) analisis data diolah
dengan rumus-rumus statistik menggunakan computer. Teknik analisis data
tersebut meliputi:
a.
Analisis Univariat
Notoatmodjo (2002) menyebutkan bahwa analisis ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik responden yang diteliti. Analisis univariant
menggambarkan distribusi frekuensi dan presentase. Rumus yang digunakan
yaitu:
P=
F
N
x 100%
Keterangan:
b.
= Presentase
= Frekuensi
Analisis Bivariat
Analisis ini menguji dua variabel yang diduga memiliki korelasi
(Notoatmodjo, 2002), digunakan untuk menerangkan keeratan hubungan dua
variabel. Pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara
kecerdasan emosional dengan perilaku caring dan korelasi antara kecerdasan
spiritual dengan perilaku caring.
Ketepatan penggunaan koefisien korelasi bivariant tergantung dari jenis
data, karena persebaran data tidak normal maka menggunakan rumus
Spearman Rank, yaitu:
64
rs = 1-
D
N N
Keterangan:
rs = koefisien korelasi rank
D = selisih rank antara X (Rx) dan Y (Ry)
N = banyaknya pasangan rank
Uji korelasi Spearman Rank dengan tingkat kepercayaan 95 % berarti
jika koefisien korelasi < = 0,5 maka terdapat hubungan antar dua variabel,
sedangkan apabila koefisien korelasi > = 0,05 maka tidak terdapat
hubungan.
Apabila nilai koefisien korelasi plus (+) maka terdapat arah korelasi yang
sejajar, sedangkan nilai (-) maka korelasi berlawanan arah.
Semakin besar angka dalam indeks korelasi maka korelasi dari kedua
variabel juga semakin kuat Arikunto (2006). Pernyataan ini diperkuat dengan
adanya intepretasi terhadap koefisien korelasi menurut Sugiyono (2007).
Tabel 7. Intepretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien
Tingkat Hubungan
0,00 0,199
Sangat rendah
0,20 0,399
Rendah
0,40 0,599
Sedang
0,60 0,799
Kuat
0,80 1,000
Sangat Kuat
65
rendah
sedang
( + 1,0 ) x
tinggi
rendah
28 41
sedang
42
tinggi
rendah
40 59
sedang
60
tinggi
rendah
40 59
sedang
60
tinggi
J. Keterbatasan Penelitian
1.
66
3.
4.
Jumlah sampel penelitian antara perawat dan pasien tidak seimbang, karena
keterbatasan waktu saat peneliti melakukan pengambilan data.
5.
67
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta dengan subjek penelitian perawat sejumlah 38 orang
dan pasien kelas III sejumlah 30 orang. Karakteristik subjek penelitian
dideskripsikan sebagai berikut.
a) Perawat
Tabel 8. Karakteristik Perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (n= 38)
Karakteristik Responden
Perawat Ruang Bangsal Bedah Cendana
N
%
Pendidikan
SPK
2
5
DIII Keperawatan
31
82
D IV Keperawatan
2
5
S1 Keperawatan
3
8
Jenis Kelamin
Laki-laki
`13
34
Perempuan
25
66
Masa Kerja
1-4 tahun
6
16
5-15 tahun
8
21
16-30 tahun
24
63
Umur
< 30 tahun
5
13
30-45 tahun
20
53
46-55 tahun
11
29
>55 tahun
2
5
Status Pernikahan
Sudah Menikah
35
92
Belum Menikah
3
8
Sumber: data primer
68
19
11
63
37
4
6
20
13
20
67
8
14
7
1
21
37
18
3
25
4
86
14
Umur
21 - 25 tahun
26 - 40 tahun
41 65 tahun
Lama Dirawat
3 - 5 hari
6 - 15 hari
16 - 30 hari
>30 hari
Frekuensi dirawat (< 5 tahun)
1 kali
>2 kali
Sumber: data primer
69
univariat
variabel
kecerdasan
emosional
perawat
Interval Skor
Frekuensi (f)
Persentase (%)
< 28
28 - 41
42
0
4
34
0
10,5
85,5
38
100
70
38
100
71
72
30
100
73
0,339
Sumber: data primer
0,037
Terdapat hubungan
74
0,135
Tidak berhubungan
B. PEMBAHASAN
1. Karakteristik Responden
a.
Karakteristik Perawat
Mayoritas perawat berpendidikan DIII Keperawatan. Syarat perawat boleh
75
lain dan juga dengan keluarga pasien (Mezey & Mc. Given, 1993 cit Halim,
2000).
Lebih dari separuh responden perawat berjenis kelamin perempuan. Black
& Holden (1998) cit Robbins (2008) menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan dalam produktivitas pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan. Salah satu hal yang nampak berbeda dalam masalah gender
preferensi terhadap jadwal kerja, khususnya bagi perempuan yang telah
berkeluarga (Shellenbarger, 1991 cit Robbins, 2008).
Sebagian besar lama kerja perawat dalam penelitian ini berada dalam
rentang 15-30 tahun. Masa kerja terpendek adalah 1,5 tahun dan yang terlama
adalah 30 tahun. Robbins (2008) menyatakan bahwa masa kerja lama
seseorang bekerja pada suatu organisasi dari mulai resmi dinyatakan sebagai
pegawai atau karyawan, semakin lama bekerja maka akan semakin terampil
dan lebih berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Semakin lama
seseorang bekerja maka akan semakin terampil dan lebih berpengalama
terhadap pekerjaannya.
Usia termuda perawat pada penelitian ini adalah 24 tahun dan tertua 57
tahun. Menurut DPPKA Provinsi DIY usia produktif antara 21-60 tahun,
didapat bahwa 53% atau 20 orang berusia 30 - 45 tahun. Dessler (1998) cit
Suprihatiningsih (2009) menyebutkan bahwa usia 30 40 tahun merupakan
fase pemantapan pilihan karir untuk mencapai tujuan, kemudian usia 40 tahun
berada dalam puncak karir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
76
b.
Karakteristik Pasien
Berdasarkan tabel 6 diperoleh data bahwa mayoritas responden pasien
77
harapan yang lebih besar daripada perempuan sehingga cenderung lebih tidak
puas terhadap pelayanan kesehatan. Notoatmodjo (1993) cit Murhestriarso
(2009) mengungkapkan bahwa terdapat hal-hal yang mempengaruhi persepsi
dan harapan konsumen diantaranya : usia, jenis kelamin, dan tingkat
pendidikan.
Yulisetiarini (2007), pasien yang datang pada suatu tempat layanan
kesehatan dapat dibedakan menjadi pasien baru dan pasien yang datang lagi.
Frekuensi pasien dirawat mayoritas merupakan pasien baru (1 kali). Pada
praktek pemasaran tradisional, mencurahkan perhatian pada menarik pasien
baru dan melakukan penjualan. Saat ini fokus bergeser menjadi menarik
pelanggan
baru
mempertahankan
dan
melakukan
pelanggan
yang
transaksi,
sudah
ada
disertai
upaya
(Ramadania,
untuk
2000
cit
Yulisetiarini, 2007).
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan rumah sakit rujukan dari
daerah-daerah karena memiliki fasilitas dan peralatan medis yang lengkap
sehingga tidak sedikit menerima pasien dari luar Yogyakarta yang mayoritas
frekuensi dirawat hanya satu kali.
2. Analisis Univariat
a.
satu tahun. Dalam kurun waktu minimal satu tahun dapat diasumsikan bahwa
perawat telah mampu beradaptasi dengan tuntutan dan lingkungan. Gabungan
78
79
dalam diri sendiri menuju koping yang positif. Perawat yang mudah
mengidentifikasi emosi spesifik yang mereka alami dalam situasi yang
membuat stres maka hanya akan membutuhkan waktu sedikit untuk mengatasi
reaksi emosi tersebut (Landa & Zafra, 2010).
Domain yang terendah adalah pengaturan emosi diri yakni kemampuan
untuk mengekspresikan emosi yang diinginkan seperti memahami kondisi
pasien baik secara fisik maupun emosional dan mampu menahan ekspresi yang
tidak diinginkan (Rego, 2008). Domain ini juga ditentukan oleh karakteristik
individu seperti kepribadian seseorang. Domain manajemen pengelolaan emosi
pribadi menjadi figure penting dalam pembentukan citra diri dan penting juga
bagi pencitraan profil layanan kesehatan profesional (Landa & Zafra, 2010).
b.
80
terendah
adalah
kesadaran.
Kesadaran
merupakan
kemampun
c.
81
82
3. Analisis Bivariat
a.
83
akan berakibat kurang baik pada perawatan pasien (Anderson, 1993 cit Landa
& Zafra, 2010)
Menurut Sviokla (1993) cit Lupiyoadi & Hamdani (2008), faktor yang
menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan adalah kemampuan
perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Moss (2005)
mengungkapkan bahwa perawat menjadi wajah dari system perawatan
kesehatan, karena di mata pasien perawat dianggap sebagai orang yang benarbenar mengurus pasien. Dengan demikian, perawat mempunyai tanggung
jawab baik aktif maupun pasif terhadap kenyamanan pasien baik secara fisik
maupun emosional. Selain itu, perawat juga dituntut untuk memiliki
sensitivitas saat bertemu dengan pasien (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit
Rego, 2008), karena perbedaan kepribadian antar pasien. Perawat diharapkan
memiliki kompetensi profesional dan sensitivitas dalam rangka memenuhi
kebutuhan pasien yang mengalami kondisi renta dan cemas (Hummelvoll &
Severinsson, 2001 cit Akerjodet & Severinsson, 2004) Peran perawat tersebut
dapat ditingkatkan melalui pengembangan keterampilan yang berlandasankan
kecerdasan emosional (Moss, 2005).
84
kecerdasan
spiritual
perawat
dalam
kategori
tinggi,
namun
85
dan hasrat untuk berhubungan dengan orang lain, serta menjadi bagian dari
komunitas (Robbins & Coulter, 2007).
Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Mayeroff (1972) cit
Morrison & Burnard (2009) yang menghubungkan caring dengan berbagai
aspek salah satunya adalah aspek spiritual. Selain itu, Morrison & Burnard
(2009) menyatakan bahwa spiritual paling sering berhubungan dengan nilainilai agama dan keyakinan. Setiap ajaran agama menganjurkan untuk saling
care satu sama lain. Perawat yang care bisa dikarenakan bukan hanya karena
tuntutan profesi sebagai perawat, namun karena kepercayaan yang dianut,
baik karena ajaran agama maupun pandangan moral secara umum. Hal ini
dipertegas oleh Zohar & Marshall (2005) yang menyatakan bahwa spiritual
yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemampuan yang berasal dari otak,
sehingga terdapat struktur-stuktur dalam otak yang mampu memberi makna,
nilai, dan keyakinan. Kecerdasan jiwa atau kecerdasan spiritual tersebut
mampu mengintegrasikan berbagai fragmen kehidupan, aktivitas, dan
keberadaan manusia. Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat
menjelaskan
bahwa
kecerdasan
spiritual
khususnya
perawat
dapat
86
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
2.
3.
Persepsi pasien kelas III di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta terhadap perilaku caring perawat berada dalam kategori
sedang.
4.
5.
87
B. Saran
Berikut ini beberapa saran yang dapat disampaikan sesuai hasil pembahasan,
yaitu:
1.
Pelayanan Kesehatan
a. Tingkat kecerdasan emosional perawat di ruang rawat inap Cendana
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berada pada tingkat tinggi sehingga perlu
upaya untuk dipertahankan atau ditingkatkan menjadi excellent. Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan
emosional dan perilaku caring perawat agar nantinya mutu asuhan
keperawatan dapat ditingkatkan
b. Hasil penlitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan spiritual tidak
memiliki hubungan dengan perilaku caring perawat. Namun tetap perlu
adanya upaya dari pimpinan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta agar dapat
dipertahankan pada tingkat tinggi ataupun ditingkatkan karena beberapa
teori menyatakan bahwa kecerdasan spiritual memiliki pengaruh terhadap
perilaku caring perawat.
c. Persepsi pasien kelas III terhadap perilaku caring perawat berada pada
tingkat sedang sehingga masih perlu upaya untuk ditingkatkan kembali
agar perilaku caring semakin banyak yang meningkat agar dapat
diupayakan peningkatan kualitas asuhan keperawan. Upaya yang dapat
dilakukan bersifat fleksibel misalnya melalui penghargaan, pembinaan
atau pelatihan.
88
2.
3.
Peneliti selanjutnya
Bagi penelitian lebih lanjut diharapkan dapat melakukan metode
penelitian yang lebih baik misalnya dengan observasi untuk mengetahui
perilaku caring perawat. Selain itu, dapat pula menambah kelas dalam ruang
rawat inap tidak hanya berasal dari kelas III, juga ditambah dari kelas II dan
kelas I, yang nantinya dapat digunakan untuk membandingkan persepsi
pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, I. (2002). Perilaku Caring Perawat dan Hubungannya dengan Kepuasan
Klien di Instalasi Rawat Inap Bedah Dewasa di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2002. Tesis, UI, Jakarta.
Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Agustian, A.G. (2001). Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: ARGA Publishing.
Amran, Y dan Dryer, D. C. (2007). The Development and Preliminary Validation
of The Integrated Spiritual Intelligence Scale (ISIS). Retrieved from
http://www.spiritatwork.org/library/SpiritualIntelligenceAssessment.pdf.
Anjaryani, W., D. (2009).Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan
Perawat Di RSUD Tugurejo Semarang. Tesis, UNDIP, Semarang.
Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik edisi revisi
VI. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baldursdottir, G. dan Jonsdottir, H. (2002). The importance of nurse caring
behaviors as perceived by patients receiving care at an emergency
department.
Heart
and
Lung
31
(1).
Retrieved
from
http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.se/
Benner, P.dan Wruble, J. (1989). The primacy of caring: stress and coping in
health and illness. Menlo Park, calif: Adison Wesley
Boyd, M.A. dan Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary
Practice. Philadelphia: Lippincott
Bolderston, A., Lewis, D., Chai, M.J. (2010). The Concept of Caring: Perceptions
of Radiation Therapists. Radiography, 16, 198-208. Retrieved from
http://www.elsevier.com/
Brenda, S. dan Gregory D. (2000). Caring with The Simplest Acts. OERN Journal
71 (2). Retrieved from http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.s
Buzan, T. (2003). The Power of Spiritual Intelligence Sepuluh Cara jadi Orang
yang Cerdas secara Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cooper, R.K. dan Sawaf, A. (1997). Executive EQ: emotional intelligence in
leadership and organizations. New York: The Berkley Publishing Group.
http://staff.undip.ac.id/
Kimble, L., Stanley, K., Welch, L., Hartley, L.A. (2003). Patients Perceptions of
Nurse Caring Behaviors in an Emergency Department. Tesis, Marshall
University,
Huntington.
Retrieved
from
http://
www.marshall.edu/etd/masters/kimble-lynn-2003-msn.pdf
Kusnanto. (2003). Pengantar Profesi Praktek Keperawatan Profesional. EGC:
Jakarta. Retrieved from: http://books.google.co.id.
Landa, J.M.A. dan Zafra, E.L. (2010). The Impact of Emotional Intelligence on
Nursing: An Overview. Psychology 1:50-58. Retrieved from
http://www.SciRP.org/journal/psych
Leininger M., McFarland M.R. (2002). Transcultural Nursing. USA: The Mc
Graw Hill
Lupiyoadi, R. dan Hamdani. (2008). Pemasaran Produk Jasa. Jakarta: Karya
Salemba Empat.
Malini, H., Sartika, D., Idianola, Edward Z. (2009). Hubungan Kecerdasan
Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di RS Dr. M Djamil Padang.
Artikel Ilmiah, Padang. Available from http:// www.unand.ac.id.
Morrison, P. dan Burnard, P. (2009). Caring and Communicating. Hubungan
Interpersonal dalam Keperawatan. Jakarta: EGC
Moss, M.T. (2005) . The Emotionally Intelligent Nurse Leader. John Wiley dan
Sons, Inc : San Francisco. Available: infolib.med.ugm.ac.id
Murhestriarso, H., (2009).Persepsi Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan Rawat
Jalan Puskesmas Kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
.Tesis, UI, Jakarta. Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nurachmah, E. (2001). Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit. Retrieved
from
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnewsdankode=786dantbl=artikel
Nurachmah, E. (1997). Keperawatan Pasien Berpenyakit Kronis. Jurnal
Keperawatan Indonesia; 1(2). Retrieved from http://www.ui.ac.id/.
Ouesy, K., Johnson M. (2007). Being a Real Nurse Concepts of Caring and
Culture in The Clinical Areas. Nurse Education in Practice; 7: 150
155.
Retrieved
from
http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.se/.
Lampiran 1
INFORMED CONSENT
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Perawat dengan
Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
dengan
calon
subyek
penelitian:
teman/
keluarga/
lain-
MENOLAK
MENGIKUTI
TATA
LAKSANA
Subyek Penelitian
Saksi
(......................................)
(..................................)
Peneliti
(.......................................)
Lampiran 2
BLANGKO FORMULIR
MENGUNDURKAN DIRI/ BERHENTI SEBAGAI SUBYEK PENELITIAN
FORMULIR INFORMED CONSENT
Nama Institusi/ Rumah Sakit :............................................
Nama Bagian/Sub Bagian
:.............................................
Alamat Lengkap
:............................................
:................tahun
Hubungan dengan calon subyek penelitian: teman/ keluarga/lainlain.......................(lingkari yang sesuai). Dengan sesungguhnya serta sejujurnya,
telah berdiskusi, tanya jawab, atas informasi penelitian yang akan dilakukan, yang
memilih saya sebagai calon subyek penelitian, dalam hal: (Hitamkan bulatan,
informasi yang telah didiskusikan)
0 Kuesioner Perilaku Caring Perawat menurut Persepsi Pasien
() Kuesioner Kecerdasan Emosional untuk Perawat
() Kuesioner Kecerdasan Spiritual untuk Perawat
() Lain-lain:...............
Menyatakan dengan sesungguhnya, tanpa paksaan, tekanan, dengan kesadaran,
dan pemahaman informasi dengan suka rela, memberikan PERNYATAAN
PENGUNDURAN DIRI/ MENGHENTIKA TATA LAKSANA PENELITIAN
Subyek Penelitian
(............................................)
(........................................)
Peneliti
(...........................................)
Lampiran 3
Identitas Pasien
Isilah jawaban pada pertanyaan dibawah ini atau tanda check () pada kolom
jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr/I pilih. Data ini akan dirahasiakan dan hanya dibaca
oleh peneliti.
No
Pernyataan
Jawaban
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pria
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
PT
.tahun
Wanita
SMA
..hari
........................................ kali
Lampiran 4
Nama
:.
Umur
:.
Jenis kelamin
:.
Pendidikan terakhir
:.
Status
:..
Lama kerja
:..
(mulai tahun.)
Lampiran 5
S (Sesuai)
TS (Tidak sesuai)
STP (Sangat Tidak Sesuai) : Berarti sangat tidak sesuai atau tidak pernah sesuai
dengan yang Anda rasakan/lakukan.
______________________________________________________________
No
Pernyataan
Jawaban
SS
TS
STS
10
11
12
13
14
S (Sesuai)
TS (Tidak sesuai)
STP (Sangat Tidak Sesuai) : Berarti sangat tidak sesuai atau tidak pernah sesuai
dengan yang Anda rasakan/ lakukan.
No.
1
Pernyataan
Di saat-saat pelik, saya membuka dan melihat
kembali cerita-cerita, catatan, kajian, atau
pengajaran kebijaksanaan.
Jawaban
SS S TS SS
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20.
Lampiran 6
No
Skor
SL
Perawat
tidak
segera
membantu
ketika
saya
membutuhkan
8
TP
saya
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Perawat
memotivasi
saya
saat
menghadapi
Lampiran 7
1. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Persepsi Pasien tentang
Perilaku Caring Perawat
rata2 caring
rata2 EQ
pasien
Spearman's rho rata2 EQ
Correlation
Coefficient
1.000
.339*
.037
38
38
.339*
1.000
.037
38
38
Sig. (2-tailed)
N
rata2 caring pasien Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
rata2 SQ
Spearman's rho
rata2 SQ
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
.247
.135
38
38
.247
1.000
.135
38
38