Anda di halaman 1dari 122

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN

SPIRITUAL PERAWAT DENGAN PERSEPSI PASIEN TENTANG


PERILAKU CARING PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP BEDAH
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Skripsi

Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Keperawatan


Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Disusun oleh:
Wiwit Dhika Sari
07/253851/KU/12359

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2011

KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur atas petunjuk, bimbingan, rahmat, dan pertolongan
yang Allah SWT berikan sehingga peneliti bisa menyelesaikan proposal penelitian
yang berjudul Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual
dengan Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dengan lancar.
Perawat sering diidentikkan dengan perilaku caring. Namun sayangnya
belum banyak penelitian mengenai caring itu sendiri. Perawat yang menemani
pasien selama 24 jam diharapkan mampu mengaplikasikan caring dalam asuhan
keperawatan dengandilandasi oleh kecerdasan emosional dan spiritual yang
dimiliki sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat memiliki makna,
bukan rutinitas semata.
Selama penyusunan proposal penelitian ini, peneliti banyak mendapatkan
arahan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan
segala ketulusan hati, peneliti mengucapkan terima kasih peneliti kepada:
1.

Prof. dr. Ali Ghufron, M.Sc., Ph.D selaku dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada.

2.

Dr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.A., M.Med.Ed., Ph.D. selaku Wakil Dekan
Bidang Akademik Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

3.

Dr. Fitri Haryanti S, S.Kp., M.Kes. selaku Ketua Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

4.

Martina Sinta Kristanti, S.Kep., Ns., M.N. selaku pembimbing I yang telah
memberikan arahan dan saran kepada peneliti.

5.

Nuryandari S.KM., M.Kes. selaku pembimbing II yang telah banyak memberi


masukan kepada peneliti.

6.

Totok Harjanto, S.Kep., Ns., M.Kes. selaku penguji proposal penelitian.

7.

Widyawati, S.Kp., M.Kes. yang telah memberikan saran dan masukan di awal
penyusunan proposal.

8.

Ibu, keluarga, dan teman-teman yang telah memberikan segala bantuan baik
materi, doa, arahan, semangat, dan dorongan yang kuat sehingga peneliti bisa
menyelesaikan proposal dengan lancar dan tepat waktu.

9.

Segenap pihak yang telah membantu penyelesaian proposal penelitian ini.


Peneliti menyadari bahwa proposal penelitian ini masih ada kekurangan. Oleh

karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan demi
kesempurnaan penelitian yang akan peneliti lakukan. Peneliti berharap agar
penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, tenaga kesehatan, dan
penyedia layanan kesehatan.

Yogyakarta, 5 Mei 2011

Peneliti

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN

ii

KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii


DAFTAR ISI

............................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... viii


DAFTAR TABEL ........................................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ x
INTISARI..

xi

ABSTRACK..

xii

BAB I. PENDAHULUAN
A. . Latar Belakang Masalah..................................

B. . Rumusan Masalah Penelitian . ....

C. . Tujuan Penelitian.

D. . Manfaat Penelitian.... 7
E. . Keaslian Penelitian...

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


A.

Tinjauan Pustaka
1.

Konsep Caring
a. Definisi Caring ............................................................................ 11
b. Caring Menurut Swanson ............................................................ 16
c. Caring Menurut Watson .............................................................. 18
d. Faktor Individu Perawat yang Mempengaruhi Perilaku
Caring...... 24
e. Faktor Individu Pasien yang Mempengaruhi Persepsi
tentang Perilaku Caring Perawat...

2.

25

Kecerdasan Emosional
a. Definisi Kecerdasan Emosional ............................................. 28
b. Komponen Kecerdasan Emosional .............................................. 31

iii

3. Kecerdasan Spiritual
a. Definisi Kecerdasan Spiritual ...................................................... 34
b. Komponen Kecerdasan Spiritual ................................................. 37
C.

Landasan Teori................ 42

D.

Kerangka Teori ..

45

E.

Kerangka Penelitian....

46

F.

Pertanyaan Penelitian.....

47

G.

Hipotesis Penelitian. 47

BAB III. METODE PENELITIAN


A.

Jenis dan Rancangan Penelitian..

48

B.

Tempat dan Waktu penelitian

48

C.

Populasi dan Sampel Penelitian

48

D.

Variabel Penelitian.

51

E.

Definisi Operasional .

51

F.

Instrumen Penelitian ..

55

G.

Validitas dan Reliabilitas ...

58

H.

Jalannya Penelitian ...

61

I.

Analisis Data.

62

J.

Keterbatasan Penelitian..

64

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian.... 66
1. Gambaran Umum Responden
a RespondenPerawat.

67

b. Responden Pasien.......

68

2. Analisis Variabel Univariat


a. Kecerdasan Emosional Perawat..

69

b. Kecerdasan Spiritual Perawat.

70

c. Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat... 71


3. Analisis Variabel Bivariat
a. Analisis Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Perilaku
Caring

iv

73

b. Analisis Hubungan Kecerdasan Spiritual dengan Perilaku


Caring....

74

B. Pembahasan Karakteristik Responden


1. Responden Perawat.. 74
2. Responden Pasien...................................................

76

3. Analisis Variabel Univariat


a. Kecerdasan Emosional Perawat........

77

b. Kecerdasan Spiritual Perawat.........

79

c. Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat....... 80


4. Analisis Variabel Bivariat
a. Analisis Tingkat Kecerdasan Emosional dengan Persepsi Pasien
Tentang Perilaku Caring................................................................

82

b. Analisis Tingkat Kecerdasan Spiritual dengan Persepsi Pasien


Tentang Perilaku Caring..............................................................

83

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan................ 86
B. Saran..
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

87

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Teori

37

Gambar 2. Skema Kerangka Penelitian..... 38

vi

DAFTAR TABEL
Tabel 1.

Kisi-Kisi Instrumen KecerdasanEmosional...

56

Tabel 2.

Kisi-Kisi Instrumen Kecerdasan Spiritual.

57

Tabel 3.

Kisi-Kisi Instrumen Penerapan Perilaku Caring...

58

Tabel 4.

Hasil Uji Validitas Kuesioner Kecerdasan Emosional..

59

Tabel 5.

Hasil Uji Validitas Kuesioner Kecerdasan Spiritual.. 59

Tabel 6.
Tabel 7.

Hasil Uji Validitas Kuesioner Persepsi Pasien Tentang


Perilaku Caring Perawat 60
Intepretasi Koefisien Korelasi 64

Tabel 8.

Karakteristik Perawat di Ruang Rawat Inap Cendana...

67

Tabel 9.

Karakteristik Pasien kelas III di Ruang Rawat Inap Cendana..

68

Tabel 10.

Distribusi Frekuensi Kecerdasan Emosional Perawat..

69

Tabel 11.

Deskripsi Mean dan Standar Deviasi Kecerdasan Emosional pada


Masing-Masing Domain
Distribusi Frekuensi Kecerdasan Spiritual Perawat..

70
71

Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.

Deskripsi Mean dan Standar Deviasi Kecerdasan Spiritual pada


Masing-Masing Domain....
Distribusi Frekuensi Menurut Persepsi Pasien Tentang Perilaku
Caring Perawat..
Deskripsi Mean dan Standar Deviasi Perilaku Caring Perawat pada
Masing-Masing Domain
Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Persepsi Pasien tentang
Perilaku Caring Perawat
Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dengan Persepsi Pasien
tentang Perilaku Caring Perawat

vii

71
72
73
73
74

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.

Informed Consent

Lampiran 2.

Blangko Formulir Mengundurkan Diri Sebagai Subyek Penelitian

Lampiran 3.

Identitas Pasien

Lampiran 4.

Identitas Perawat

Lampiran 5.

Kuesioner Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual

Lampiran 6.

Kuesioner Perilaku Caring Perawat

Lampiran 7.

Hasil Analisis Korelasi

viii

HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN


SPIRITUAL PERAWAT DENGAN PERSEPSI PASIEN TENTANG
PERILAKU CARING PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP BEDAH
CENDANA RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Wiwit Dhika Sari, Martina Sinta Kristanti, Nuryandari
INTISARI
Latar Belakang : Caring menjadi inti dari praktek keperawatan profesional.
Namun, penelitian terdahulu menyatakan bahwa perilaku caring perawat
mayoritas sedang hingga kurang. Perilaku perawat akan menjadi cerminan
layanan kesehatan. Perilaku seorang perawat sangat dipengaruhi oleh berbagai
kecerdasan, diantaranya adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Perawat 24 jam bersama pasien, diharapkan berperilaku caring dengan dasar
kecerdasan emosional dan spiritual.
Tujuan Penelitian : Mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual perawat dengan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di
Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Metode Penelitian : Merupakan penelitian kuantitatif dengan non experimental,
melalui pendekatan cross sectional. Terdiri dari dua subyek penelitian yaitu 38
perawat dan 30 pasien dari Ruang Rawat Inap Bedah Cendana. Pengumpulan data
melalui kuesioner. Analisis data menggunakan Sperman Rank.
Hasil Penelitian : Terdapat hubungan lemah antara kecerdasan emosional
perawat dengan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat (p= 0,037). Tidak
terdapat hubungan antara kecerdasan spiritual dengan persepsi pasien tentang
perilaku caring perawat (p= 0,135).
Kesimpulan : Kecerdasan emosional perawat memiliki hubungan dengan
persepsi pasien tentang perilaku caring perawat. Kecerdasan spiritual perawat
tidak memiliki hubungan dengan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat.
Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Caring

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas


Gadjah Mada
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada

ix

ASSOCIATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND


SPIRITUAL INTELLIGENCE OF NURSES AND PERCEPTION
OF PATIENTS TOWARD CARING BEHAVIOR OF NURSES AT
CENDANA SURGERY INPATIENT WARD
OF DR. SARDJITO HOSPITAL YOGYAKARTA
Wiwit Dhika Sari1, Martina Sinta Kristanti2, Nuryandari2
ABSTRACT
Backgound: Caring is the core of professional nursing practice. However, the
result of preliminary study shows that caring behavior of nurses mainly belongs to
medium to insufficient. Behavior of nurses will reflect health service. Nurses'
behavior is largely influenced by intelligence such as emotional as well as
spiritual intelligence. Nurses attending patients 24 hours are expected to have
caring behavior on the basis of emotional and spiritual intelligence.
Objective: To identify association between emotional intelligence and spiritual
intelligence of nurses and perception of patients toward caring behavior of nurses
at Cendana Surgery Inpatient Ward of Dr. Sardjito Hospital Yogyakarta.
Method: The study was quantitative non experimental with cross sectional
design. Subject consisted of 38 nurses and 30 patients at Cendana Surgery
Inpatient Ward. Data were obtained through questionnaire and analyzed using
Spearman Rank.
Result: There was weak association between emotional intelligence of nurses and
perception of patients toward caring behavior of nurses (p=0.037). There was no
association between spiritual intelligence and perception of patients about caring
behavior of nurses (p=0.135).
Conclusion: Emotional intelligence of nurses was associated with perception of
patients toward caring behavior of nurses. Spiritual intelligence of nurses was not
associated with perception of patients about caring behavior of nurses.
Keywords: emotional intelligence, spiritual intelligence, caring behavior, nurses

1.

Nursing student school of Nursing Faculty of Medicine, Gadjah Mada University


Nursing lecturer school of Nursing Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

2.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan dan caring adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan.
Perawat sangat identik dengan perilaku caring. Caring dalam keperawatan adalah
hal yang sangat mendasar. Caring sendiri memiliki banyak definisi. Menurut
penelitian Leininger (1977) cit Morrison & Burnard (2009) caring berhubungan
dengan kenyamanan, dukungan, kasih sayang, empati, perilaku menolong secara
langsung, koping, pengurangan stress yang spesifik, sentuhan, pengasuhan,
bantuan, penawasan, perlindungan, pemulihan, stimulasi, pemeliharaan kesehatan,
pendidikan kesehatan dan konsultasi kesehatan. Puncak dari perilaku caring
adalah timbul rasa kepedulian untuk mencapai layanan keperawatan yang baik.
Oleh karena itu, caring menjadi konsep inti dari praktek keperawatan profesional.
Perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai kecerdasan yang
dimiliki seseorang. Beberapa aspek kecerdasan yang berhubungan dengan
perilaku caring antara lain kecerdasan emosional dan spiritual. Menurut Griffin
(1983) cit Morrison & Burnard (2009), terdapat hubungan antara caring dengan
sikap dan emosi perawat. Sedangkan keharusan seorang perawat besikap care
terdapat dalam tiga aspek salah satunya adalah aspek spiritual (Fry, 1988 cit
Morrison & Burnard, 2009).
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengendalikan diri.
Kemampuan ini yang dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta

mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan


sebagai kekuatan pribadi (Steiner, 1997 cit Goleman, 2009). Seseorang yang
memiliki kecerdasan emosional yang baik, mampu mengendalikan emosi di saatsaat kritis sehingga akan memiliki koping yang lebih baik pula. Namun
sayangnya, masih banyak orang-orang yang belum menyadari potensi kecerdasan
emosional sehingga tak banyak yang belum mampu mengendalikan emosi di saatsaat beban kerja meninggi. Khususnya bagi perawat karena perawat yang bertugas
mendampingi pasien selama 24 jam terkadang masih kurang dapat mengendalikan
emosi ketika berhadapan dengan pasien (Sugiarto, 2009).
Kecerdasan emosional bukanlah suatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat
dirubah, tetapi kecerdasan emosional dapat dipelajari dan dikembangkan melalui
hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi ini ditunjukan melalui sikap
toleransi, empati dan kasih sayang kepada orang lain. Sikap tersebut sangat
identik dengan perilaku caring perawat.
Kecerdasan spiritual dapat membawa seseorang untuk selalu menghayati apa
yang ada disekitarnya merupakan sebuah nikmat dan karunia-Nya. Tak terkecuali
bagi seorang perawat yang senantiasa berada disekitar pasien-pasiennya. Perawat
yang memiliki kecerdasan spiritual selalu belajar dari pasien-pasienya, memahami
setiap kondisi pasien tersebut baik yang mengalami sakit fisik maupun mental.
Berawal dari inilah perawat dapat menunjukkan perhatian yang tulus kepada
pasien. Penelitian yang dilakukan oleh Ford (1981) cit Morrison & Burnard
(2001), mengungkapkan bahwa perawat merefkelsikan caring sebagai perhatian
tulus yang berfokus pada kesejahteraan klien serta mau melayani orang lain.

Caring dapat ditunjukkan dalam potensinya untuk menentukan tingkat asuhan


keperawatan yang diterima dan diharapkan dalam situasi praktik (Carper, 1979;
Kitson, 1987 cit Morrison & Burnard, 2001) sehingga caring mampu
mempengaruhi pemberian asuhan keperawatan secara profesional. Aplikasi dari
perilaku caring akan mengarahkan perawat untuk menolong klien meningkatkan
perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial (Juliani,
2009). Pasien yang merasa puas dengan asuhan keperawatan profesional lebih
cenderung menggunakan pelayanan di masa mendatang.
Penelitian Agustin (2002) menyatakan bahwa sebanyak 48,5% perawat tidak
berperilaku caring. Padahal Hubber dan Hamid (2000) cit Rosalina (2008)
mengungkapkan bahwa 90% layanan kesehatan di rumah sakit terhadap pasien
adalah layanan keperawatan. Namun, masih banyak perawat yang dalam
melaksanakan pekerjaan hariannya sudah terjebak dengan rutinitas program
pelayanan yang ada seperti prosedur pengobat yang harus dipatuhi (Dwidiyanti,
2010). Wirastari (2000) cit Sukoco (2002) menyatakan bahwa 66,1% perawat
merasa terbebani dan terganggu menjalankan asuhan keperawatan karena harus
melakukan kegiatan administrasi obat, sebesar 29,4% sistem pelayanan obat
menyita waktu perawat karena proses yang berbelit-belit sehingga perawat tidak
bisa memberikan asuhan keperawatan yang bermutu. Hal inilah yang membuat
perawat kurang bisa memberi perhatian secara menyeluruh. Padahal fokus
pelayanan keperawatan yang sebenarnya adalah caring.
Rumah sakit adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang jasa. Jasa
yang diberikan rumah sakit adalah jasa pelayanan kesehatan. Berdasarkan SK

bersama antara MenKes RI dan Menteri P&K RI no.522/MenKes/SKB/X/81


no.0283a/U/1981 tanggal 2 Oktober 1981 telah dilakukan penggabungan RS
Universitas Gadjah Mada ke dalam RSUP Dr. Sardjito. Hal ini membuat RSUP
Dr. Sardjito menjadi rumah sakit tipe A Pendidikan dengan fasilitas memadai.
Lokasi penelitian yang dipilih peneliti adalah Ruang Rawat Inap Bedah
Cendana RSUP Dr. Sardjito. Ruang rawat inap bedah merupakan tempat
perawatan untuk pasien dengan kasus bedah umum (Suswatiningsih, 2009).
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa pasien di ruang Cendana merasa
nyaman karena perawat bersikap ramah, memotivasi, dan menjaga lingkungan
fisik (Suswatiningsih, 2009). Hal tersebut merupakan pencerminan perilaku
caring perawat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, keterangan yang didapat
dari salah satu perawat di ruang Cendana pada awal April 2011 menyatakan
bahwa sekitar dua pekan yang lalu seorang pasien mengeluhkan ada perawat yang
kurang sensitif sehingga menyinggung perasaannya. Kemampuan untuk sensitif
terhadap perasaan pasien merupakan pencerminan perilaku caring perawat,
sehingga terdapat perbedaan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di
Ruang Rawat Inap Bedah Cendana.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi persepsi pasien tentang perilaku
perawat adalah status sosial ekonomi pasien. Pasien yang berasal dari kalangan
sosial ekonomi menengah kebawah pada umumnya dirawat di kelas III. Hal ini
akan mempengaruhi persepsi pasien terhadap perilaku perawat. Keterangan yang
didapat peneliti pada tengah bulan April 2011 dari wawancara dengan dua pasien
kelas III di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana, kedua pasien menyatakan bahwa

sudah merasa cukup puas dengan pelayanan perawat. Namun, salah satu pasien
menyatakan bahwa ketika memanggil perawat untuk meminta bantuan ia harus
menunggu cukup lama. Perawat yang tengah sibuk dengan urusan yang lain ketika
dimintai bantuan oleh pasien atau keluarga pasien maka akan terlihat salah satu
aplikasi perilaku caring perawat yakni berupa respon terhadap panggilan tersebut.
Berkaitan dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, menurut
pengamatan peneliti pada akhir bulan April 2011, dua perawat jaga sore di ruang
Cendana 3 mampu menenangkan diri meskipun nampak sedikit panik ketika salah
satu pasien berada dalam kondisi krisis. Perawat tersebut segera memakai sarung
tangan dan mendatangi kamar pasien. Kemampuan perawat untuk menenangkan
diri dan berpikir jernih untuk bertindak ketika panik merupakan salah satu ciri
kecerdasan emosional. Selain itu, perawat tetap berhati-hati dengan menggunakan
sarung tangan menjadi bentuk rasa syukur atas karunia Allah swt terhadap
anggota fisiknya, merupakan salah satu pencerminan kecerdasan spiritual.
Pelayanan keperawatan menjadi ujung tombak kualitas pelayanan rumah sakit
sehingga dapat menjadi penentu citra rumah sakit. Perilaku caring perawat tentu
akan sangat berpengaruh terhadap kualitas pelayanan keperawatan kepada klien.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi perilaku caring perawat diantaranya adalah
tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yang dimiliki oleh perawat.
Pada situasi yang tidak diinginkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
diharapkan mampu menjadi benteng seorang perawat dalam menghayati serta
menghadapi setiap kondisi dengan tetap menjaga konsistensi perilaku caring
kepada pasien.

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin mengetahui hubungan


tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan persepsi pasien
tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan

latar

belakang

tersebut

peneliti

merumuskan

masalah

penelitian,Adakah hubungan antara kecerdasan emosional perawat dan


kecerdasan spiritual perawat dengan persepsi pasien tentang perilaku caring
perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional
dengan persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap
Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
2) Tujuan Khusus
a.

Mengetahui tingkat kecerdasan spiritual perawat di Ruang Rawat Inap


Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

b.

Mengetahui tingkat kecerdasan emosional perawat di Ruang Rawat Inap


Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

c.

Mengetahu persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di Ruang


Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibagi menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1) Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan emosional,
kecerdasan spiritual, dan perilaku caring perawat.
2) Manfaat Praktis
a) Bagi peneliti
Peneliti dapat menerapkan ilmu yang berkaitan dengan penelitian serta
menambah pengetahuan peneliti tentang hubungan tingkat kecerdasan
emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat.
b) Bagi perawat
Bagi

perawat

diharapkan

dapat

meningkatkan

mutu

asuhan

keperawatan. Salah satu upaya melalui pendekatan kecerdasan emosional


dan kecerdasan spiritual yang dimunculkan dalam tingkah laku berupa
perilaku caring perawat.
c) Bagi pengelola rumah sakit
Bagi pengelola rumah sakit penelitian ini bermanfaat untuk
mengembangkan pelayanan asuhan keperawatan yakni perilaku caring
perawat melalui kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.

E. Keaslian Penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian tentang hubungan antara
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan perilaku perawat di
ruang rawat inap Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta belum pernah
dilakukan penelitian. Ada beberapa penelitian yang hampir serupa dengan
penelitian yang akan dilakukan diantaranya adalah:
a. Estherlita (2004). Skripsi. Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dan
Emosional terhadap Kinerja Kepala Ruang Perawatan Rawat Inap di RS Dr.
Sardjito Yogyakarta. Jenis penelitian adalah non experimental dengan rancang
deskriptif korelasional. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan cross
sectional (potong lintang). Subyek pada penelitian tersebut adalah kepala ruang
perawatan rawat inap RS Dr. Sardjito. Hasil penelitian tersebut terdapat
hubungan antara tingkat kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional
terhadap kinerja kepala ruang perawatan rawat inap di RS Dr. Sardjito
Yogyakarta. Persamaan dengan peneltian ini adalah variabel bebas yang
digunakan yaitu tingkat kecerdasan emosional dan tingkat kecerdasan spiritual.
Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah subyek penelitian
yaitu perawat ruang rawat inap Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan
vareabel terikat yang digunakan pada penelitian ini adalah perilaku caring
perawat.
b. Cholis (2005). Skripsi. Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional, Kecerdasan
Spiritual, Adversity Quotient, dengan Kinerja Perawat Instalasi Rawat Darurat
RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. Jenis penelitian adalah non eksperimental

korelasi. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian analitik korelasi


dan rancangan penelitian cross sectional. Subjek penelitian tersebut adalah
perawat instalasi rawat darurat RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual dan adversity quotient dengan
kinerja perawat instalasi rawat darurat RS Dr. Sardjito Yogyakarta.
Persamaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas yang digunakan
adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Perbedaan dengan
penelitian ini adalah subyek penelitian dan vareabel terikat, dimana pada
penelitian ini menggunakan subyek penelitian perawat di ruang rawat inap
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan variabel terikat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah perilaku caring perawat.
c. Yuniatun

(2009).

Skripsi.

Hubungan

Perilaku

Orang

Tua

dengan

Kecenderungan Perilaku Caring pada Mahasiswa Program A Angkatan


2008/2009 PSIK A FK UGM. Jenis penelitian adalah non experimental dengan
metode analitik korelasi. Rancangan yang digunakan dalam penelitian tersebut
adalah studi cross sectional. Hasil penelitian tersebut adalah tidak terdapat
hubungan antara pola asuh orang tua dengan kecenderungan perilaku caring
pada mahasiswa Program A Angkatan 2008/2009 PSIK A FK UGM.
Persamaan pada penelitian ini adalah variabel terikat yakni perilaku caring.
Sedangkan perbedaan dengan penelitian ini adalah subyek penelitian yakni
perawat ruang rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dan variabel bebas
pada penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosional dan tingkat spiritual.

10

d. Sobirin (2006). Tesis. Hubungan Beban Kerja dan Motivasi dengan Penerapan
Perilaku Caring Perawat di RSUD Unit Swadana Kabupaten Subang. Jenis
penelitian non experimental dengan metode deskriptif analitik. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah studi cross sectional. Hasil
penelitian tersebut adalah penerapan perilaku caring lebih dari sebagian
perawat masih rendah dengan beban kerja perawat sekitar 4,07 jam sampai
dengan 10,35 jam tiap shift, 5,19 jam tiap shift untuk tindakan keperawatan
langsung dan 3,36 jam untuk tindakan keperawatan tidak langsung. Ada
hubungan yang cukup signifikan antara beban kerja dan motivasi dengan
penerapan perilaku caring.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah variabel bebas yang digunakan
yakni kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dan tempat penelitian
yaitu RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

11

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Caring
a. Pengertian Caring
Leininger (1981) menyatakan bahwa caring menjadi kebutuhan manusia
yang esensial; caring adalah keperawatan; caring adalah jantung dan jiwa dari
keperawatan; caring adalah kekuatan; caring adalah penymbuhan; caring
adalah bagian penting yang mudah dikenali sehingga membuat keperawatan
menjadi seperti seharusnya yakni professional dan disiplin. Leininger
menambahkan bahwa caring sebagai tindakan dan kegiatan yang diarahkan
untuk membantu, mendukung atau memungkinkan individu atau kelompok
dengan kebutuhan dasar atau tambahan yang berfungsi untuk menperbaiki atau
meningkatkan suatu kondisi manusia atau untuk menolong manusia
menghadapi penyakit, kematian, atau ketidakmampuan (Leininger 1981;1991).
Penting sekali bagi seorang perawat memahami perilaku caring asli
setempat dan perilaku profesional yang sifatnya universal dan nonuniversal
agar dapat menjadi efektif dalam perawatan pasien, karena caring bersifat
sangat pribadi pribadi, dan ekspresinya dapat berbeda bagi setiap pasien.
Menekankan bahwa perawatan yang diberikan berbeda antara budaya yang
satu dengan yang lainnya (Marriner Tomey & Alligood, 2002 cit Khademian &
Vizeshfar, 2008). Sedangkan, Swanson (1991) menjelaskan dalam teorinya

12

bahwa caring merupakan suatu jalan pemeliharaan yang akan mendukung


untuk menghargai perasaan orang lain sehingga mampu untuk komitmen dan
tanggung jawab.
Rahasia perawatan kepada pasien adalah caring kepada pasien (Peabody,
1927 cit Bolderston, et. al., 2010). Perialaku caring menjadi sangat esensial
bagi tenaga kesehatan. Meskipun caring tidak dapat didefinisikan secara pasti
karena bersifat sangat subjektif, tetapi caring memiliki konsep dasar dari teoriteori keperawatan seperti teori culture care dari Leininger, teori human care
dari Watson, teori nursing as caring dari Boykine and Schoenhofer, serta teori
tentang caring dari Roach (Khademian & Vizeshfar, 2008). Caring menjadi
sebuah fenomena universal yang mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir,
merasakan dan berperilaku dalam hubungannya dengan orang lain. Menurut
Benner & Wrubel (1989) cit Kimble et. al. (2003) caring merupakan syarat
penting bagi coping karena caring membuat perawat tahu intervensi mana yang
berhasil dan perhatian yang selanjutnya akan mengarahkan pemberian
perawatan yang sesuai pada asuhan keperawatan yang berikutnya. Namun,
sesungguhnya caring merupakan sebuah konsep yang sulit untuk dijelaskan
dan tidak ada consensus yang dapat mendefinisikannya (Morse et. al., 1990 cit
Ouesy & Johnson, 2007).
Perilaku caring pada umumnya bertujuan untuk menolong, sehingga
perilaku caring sering dijumpai pada orang-orang yang bekerja dalam bidang
jasa. Industri jasa sangat mementingkan kualitas pelayanan. Perawat menjadi
tolak ukur dalam pelayanan kesehatan yaitu saat merawat pasien. Perilaku

13

melayani dapat diartikan dengan beberapa bentuk perilaku anta lain memberi
perhatian tanpa menunggu diminta (Sabarguna, 1999 cit Rosalina, 2008).
Patton (1998) cit Rosalina (2008) mengungkapkan tentang pelayanan yang
dilakukan dengan sepenuh hati mencakup lima komponen yaitu (a) memahami
emosi diri, artinya mampu mengenali pemicu terjadinya emosi serta dapat
mengungkapkannya dengan tepat menjadi kunci dalam memberikan pelayanan;
(b) kompetensi yaitu memiliki kewenangan untuk menentukan segala sesuatu.
Kompetensi dalam perilaku melayani diperlihatkan dalam kemampuan diri
untuk menjaga emosi dan memunculkan empati; (c) mengelola emosi diri yaitu
melayani dengan tetap menjadi diri sendiri tetapi mampu mengontrol emosi;
(d) kreatif dan memotivasi diri; (e) menyelaraskan emosi diri dengan emosi
orang lain. Oleh karena itu, caring menjadi inti dalam keperawatan. Perawat
yang tidak menawarkan care kepada pasien dapat diartikan bahwa perawat
tersebut tidak memberikan pelayanan keperawatan.
Fokus utama caring adalah proses perawatan kepada manusia baik dalam
individu, keluarga, dan kelompok. Hal ini dipertegas oleh Watson (1988)
bahwa caring menjadi standar etik keperawatan. Caring mempertahankan
martabat manusia di dalam sistem pelayanan kesehatan yang didominasi oleh
cure. Perilaku caring sendiri merupakan tindakan, kelakuan, dan perangai
yang dilakukan oleh perawat peofesional dengan memberikan konsentrasi,
mementingkan keselamatan, serta perhatian kepada pasien (Greenhalgh,
Vanhanen, & Kyngas, 1998 cit Rego 2008). Senada dengan yang diungkapkan
oleh Radsma (1994) cit Nurachmah (1997) bahwa keperawatan memang

14

identik dengan caring, karena perawat memiliki tugas professional untuk


memberikan care.
Sebagai individu, perawat dikenal dengan caring. Perilaku caring
seharusnya telah terinternalisasi dalam perilaku keseharian perawat. karena
melalui pendekatan caring mampu memberikan asuhan secara fisik dan emosi
disertai meningkatkan rasa aman dan melindungi keselamatan pasien (Carruth
et. al., 1999 cit Dwidiyanti, 2010). Oleh karena itu, caring menjadi salah satu
komponen yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan asuhan keperawatan
yang bermutu (Nurachman, 2001). Caring bukan semata-mata perilaku.
Caring adalah cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan
(Marriner & Tomey, 1994 cit Nurachman, 2001).
Caring merupakan sesuatu yang dapat dipelajari karena caring menjadi
respon yang paling sesuai untuk hubungan interpersonal. Semakin banyak
pengalaman maka pembelajaran yang dialami akan semakin kaya. Caring
menjadi komitmen untuk menurangi kerentanan dengan memberikan perhatian
dan kepedulian untuk setiap kehidupan manusia (Watson, 2002)
Nelson

(1990)

cit.

Agustin

(2002)

menyatakan

bahwa

proses

penyembuhan pasien dapat dilihat dari bagaimana sikap perawat yang nanti
akhirnya akan mempengaruhi kepuasaan klien. Tentu, perawat yang ramah,
empati, dan mau memahami pasien akan memiliki pengaruh yang cukup
signifikan dalam percepatan penyembuhan pasien.
Perawat memang bertugas untuk merawat pasien, tetapi spirit caring
dalam memberikan asuhan keperawatan tidak dapat diperintahkan, karena

15

merupakan cerminan dari individu perawat. Oleh karena itu, setiap perawat
dapat memperlihatkan cara yang berbeda ketika memberikan asuhan kepada
klien (Dwidiyanti, 2010). Spiritual caring muncul dari dalam diri perawat dan
berasal dari hati perawat yang terdalam. Spirit caring yang diberikan melalui
kejujuran, kepercayaan dan niat baik. Perilaku caring inilah yang menolong
pasien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual
dan sosial (Nurachman, 2001).
Perawat seharusnya dapat memaksimalkan hasil yang diperoleh, salah
satunya yakni dengan melibatkan pasien dalam hal perawatan. Perawat dapat
melakukan pendekatan dengan pasien dengan tenang dan melalui sikap caring.
Berusaha untuk konsisten dalam berinteraksi dan menepati janji akan
membangun hubungan saling percaya (Boyd & Nihart, 1998).
Perilaku caring dapat membawa dampak positif bagi pasien karena
mampu meningkatkan kepuasan pasien, kesejahteraan dan kesehatan (AlMailam, 2005; Dingman, Williams, Fosbinder, Warnick, 1999; Issel & Kahn,
1998; Mahon, 1996; Meyer, Cecka, & Turkovich, 2006; Williams, 1997; Wolf
et. al.., 1998 cit Rego et. al. 2008).
Baldursdottir dan Jonsdottir (2002) cit Khademian dan Vizeshfar (2008)
menegaskan bahwa pendekatan caring dipercaya mampu meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan serta untuk memfasilitasi promosi kesehatan.
Kekuatan caring dalam individu dan profesi, memiliki kesulitan untuk diukur
jumlah dan kualitasnya, namun caring memiliki kekuatan untuk penyembuhan
dan pencegahan (Brenda S. & Gregory D, 2000). Berdasarkan penelitian-

16

penelitian terdahulu telah terbukti bahwa pendekatan caring menjadi mampu


meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien.
b. Caring menurut Swanson
Menurut Swanson (1993) caring berarti suatu cara berhubungan dengan
orang lain bertujuan untuk meningkatkan dan menjadikan sehat dengan
menghargai perasaan orang lain terkait dengan komitmen dan tanggung jawab.
Teori Swanson mengenai struktur caring adalah sebagai berikut:
1.

Menjaga kepercayaan (Maintaining Belief)


Orientasi terhadap praktek caring perawat dimulai dengan dasar
menjaga

kepercayaan pasien. Perawat

komitmen

untuk

menjaga

kepercayaan pasien dengan mengerahkan segala kemampuan membantu


pasien melewati peristiwa atau masa transisi menuju masa depan.
2.

Memahami (Knowing)
Merupakan cara terbaik untuk mengaplikasikan cara menjaga
kepercayaan pasien dalam praktek nyata. Knowing meliputi menghindari
asumsi, memfokuskan pelayanan kepada orang lain, mengkaji pasien
secara menyeluruh sesuai dengan kondisi dan realita, dan menjalin
hubungan perawat sebagai individu dengan pasien melalui caring.

3.

Kehadiran (Being With)


Perawat menunjukkan keberadaannya secara emosional kepada orang
lain. Ekspresi emosi merupakan cara untuk berbagi dalam arti, perasaan,
dan pengalaman hidup. Being with menunjukkan kesungguhan kepada
pasien bahwa mereka dihormati dan perawat menunjukkan kesiapan

17

menemani pasien, sebagai ungkapan bahwa pasien tidak sendirian dan


apapun yang dirasakan pasien, perawat hadir untuk pasien. Menunjukkan
kehadiran bersama orang lain berarti memberikan waktu, menunjukkan
diri, mendengarkan secara aktif, dan memberikan respon yang sesuai.
4.

Melakukan dengan tujuan (Doing For)


Adalah melakukan sesuatu untuk orang lain sama seperti yang ingin
dilakukan untuk dirinya sendiri. Doing for meliputi tindakan memberi
kenyamanan kepada orang lain, memenuhi kebutuhannya, menunjukkan
kompetensi dan keahlian, melindungi orang lain dari bahaya, dan mampu
menyelesaikan masalah.

5.

Memampukan (Enabling)
Hal

penting

dalam

pelayanan

caring

keperawatan

adalah

memampukan pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Enabling


didefinisikan sebagai memfasilitasi pasien agar mampu melewati transisi
hidup dan kejadian-kejadian yang tidak biasa. Enabling meliputi sebagai
berikut melatih; memberi informasi dan menjelaskan; memberi dukungan
dan mengizinkan mendapat pengalaman; membantu berfokus pada
masalah yang dihadapi; membantu mencari alternatif pemecahan masalah;
memberi feedback; dan membantu untuk menyadarkan pada realita.

c. Caring Menurut Watson


Watson (1979) cit Nurrachman (2001) menyatakan bahwa terdapat
sepuluh konsep caring yang mendasari, yakni:

18

1) Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistik


Perawat yang memberikan caring kepada pasien dapat membantu
meningkatkan potensi seeorang sehingga dapat menentukan pilihan yang
terbaik bagi dirinya sendiri (Tomey, 1994; George, 1990 cit Juliani 2009).
Nilai-nilai humanistik dan altruistik dibangun dari pengalaman yang
didasari atas nilai-nilai kemanusiaan yakni menghormati otonomi dan
menghargai kebebasan pasien untuk menentukan pilihan yang terbaik
baginya (Supriyadi, 2006). Nilai-nilai humanistic dan altruistic dibangun
dari pengalaman. Perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu
memberikan sesuatu kepada klien. Perawat juga memperlihatkan
kemapuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada klien. Pada
aplikasi keseharian perawat, nilai ini akan terlihat dari perilaku perawat
saat berinteraksi dengan pasien. Perawat memanggil nama pasien, segera
datang saat dipanggil, mau mendengar keluhan pasien serta tetap
menghormati pasien seperti apapun kondisinya.
2) Menanamkan kepercayaan (faith hope)
Aspek ini menjadi esensial karena menggabungkan antara proses
kuratif dan karatif. Perawat menanamkan rasa percaya kepada pasien
dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang
holistic. Di samping itu, perawat meningkatkan perilaku klien dalam
mencari pertolongan kesehatan, sehingga pasien termotivasi untuk terus
berusaha demi peningkatan status kesehatannya.

19

3) Menumbuhkan sensitivitas terhadap diri dan orang lain.


Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan kepada klien,
sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar
pada orang lain. Perawat mulai menggali perasaannya sendiri, kemudian
berusaha mengembangkannya. Usaha perawat menumbuhkan sensitivitas
membuat perawat menjadi lebih otentik sehingga mendorong kematangan
dalam diri dan aktualisasi diri. Aplikasi dalam asuhan keperawatan antara
lain perawat mendampingi klien dengan sikap sabar dan tenang serta
menawarkan bantuan kepada klien dengan ikhlas (Juliani, 2006).
4) Mengembangkan hubungan saling percaya dan membantu.
Komunikasi menjadi modal utama dalam komponen ini. Demi
membangun komunikasi tersebut dibutuhkan 3 karakteristik yang dapat
membina hubungan saling percaya dan membantu yakni kesesuaian
dengan kenyataan, empati dan keramahtamahan.
Perilaku yang ditunjukkan perawat saat berinteraksi dengan pasien
dapat berupa mengucapkan salam ketika bertemu, memperkenalkan diri,
menyepakati dan menepati kontrak yang dibuat bersama, mempertahankan
kontak mata, berbicara dengan suara lembut, posisi berhadapan,
menjelaskan prosedur, mengorientasikan klien baru, melakukan terminasi.
Selain itu, perawat memperlihatkan sikap turut merasakan apa yang
dialami pasien tanpa menyinggung perasaan pasien (Juliani, 2006).

20

5) Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif


klien.
Perawat memberikan kesempatan kepada pasien mengungkapkan
perasaannya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan pasien,
selain itu perawat memberikan penerimaan yang positif serta mendorong
klien untuk mengungkapkan perasaannya. Perilaku caring dalam aspek ini
sangat identik dengan adanya kehadiran perawat bagi klien tidak hanya
sebatas melakukan tindakan saja (Forrest, 1989 cit Supriyadi, 2006).
6) Penggunaan
pengambilan

sistematis

keputusan.

metoda
Perawat

penyalesaian
menggunakan

masalah

untuk

metoda

proses

keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien.


Watson menegaskan pentingnya metode pemecahan masalah yang
ilmiah karena merupakan satu-satunya metode yang memungkinkan untuk
melakukan kontrol dan prediksi terhadap situasi sehingga dapat dilakukan
evaluasi.
7) Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal
Watson juga menambahkan bahwa perilaku caring dapat berjalan
secara efektif apabila dilakukan melalui hubungan interpersonal sehingga
dapat meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan kesehatan individu dan
keluarga sehinnga caring lebih bersifat healthogenic daripada curing. Hal
inilah yang membedakan anatara caring dan curing (Tommey 1994;
George 1995 cit Supriyadi 2006). Manifestasi yang dilakukan perawat

21

antara lain memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal,


dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien.
8) Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spiritual
yang mendukung. Watson membagi aspek ini menjadi dua bagian yaitu
variabel eksternal dan variabel internal. Kedua variable tersebut saling
bergantung satu sama lain. Perawat perlu mengenali pengaruhi lingkungan
internal dan eksternal klien terhadap kesehatan kondisi penyakit klien,
karena perawat diharapkan mampu memanipulasi kondisi lingkungan
tersebut dalam rangka meningkatkan kesehatan mental dah kesejahteraan
fisik pasien.
Manifestasi perilaku caring perawat antara lain, memfasilitasi pasien
unuk melakukan ibadah, menghubungkan pasien dengan anggota keluarga,
menjaga lingkungan sekitar pasien nyaman dan kondusif (Juliani, 2006).
9) Memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan menghargai harkat dan
martabatnya
Perawat perlu mengenali kebutuhan komperhensif diri dan klien.
Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke
tingkat selanjutnya. Perawat perlu mengenali kebutuhan komperhensif diri
dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum
beralih ke tingkat selanjutnya. Kebutuhan klien yang paling rendah adalah
biofisikal misalnya makan, minum, eliminasi, dll. Kebutuhan aktualisasi
yang tertinggi dari kebutuhan intra dan interpersonal (Juliani, 2006).

22

Aplikasi perilaku caring perawat pada aspek kesembilan ini dengan


bersedia memenuhi kebutuhan ADL dengan tulus dan menyatakan
perasaan bangga dapat menolong klien, menghargai dan menghormati
privacy klien, dengan tetap menunjukkan rasa hormat kepada klien.
10) Menghargai

adanya

tekanan

yang

bersifat

fenomologis

agar

pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai.


Fenomenologi adalah suatu usaha untuk benar-benar mencari tahu
bagaimana orang lain mengalami dunianya dan berpotensi untuk
bermanfaat khususnya dalam hubungan profesional menolong dan
hubungan

caring.

Perawat

perlu

mengarahkan

klien

pada

pengalaman/pemikiran yang bersifat profokatif dengan tujuan agar dapat


meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi sehingga pasien dapat mengambil
hikmah dalam setiap fenomena yang terjadi. Namun, Watson mengatakan
bahwa hal ini masih sulit dipahami dan yang termasuk dalam hal ini adalah
pengalaman berpikir dan memprofokasi untuk pemahaman yang lebih baik
tentang diri sendiri. (Tomey, 1994; George, 1995 cit Juliani 2006).
Pada aspek terakhir, aplikasi oleh perawat antara lain memberikan
kesempatan serta memfasilitai pasien dan atau keluarga untuk melakukan
ibadah yang menjadi ritual, memotivasi klien untuk lebih berserah kepada
Allah SWT (Supriatin, 2009). Kestenbaum (1982) cit Morrison & Burnard
(2009) menyatakan bahwa fenomenologi dapat membantu meningkatkan

23

perkembangan berbagai pemahaman tentang penyakit, kesehatan dan


tenaga kesehatan

Gourmay dan Gray (1998) cit Morrison & Burnard (2009) menyatakan
bahwa perspektif caring pada masa ini tidak sesuai lagi dan telah tiba saatnya
perawat memeriksa kembali keberadaan mereka melalui penemuan-penemuan
ilmiah. Beberapa penelitian telah mengklasifikasikan perilaku caring untuk
mempermudah pengukuran perilaku caring menjadi enam dimensi, yakni:
1.

Keunikan (contoh merawat pasien sebagai individu; menjaga martabat dan


integritas pasien).

2.

Menghubungkan dengan pengalaman klien (contoh mengenali tanda


verbal dan nonverbal pasien).

3.

Mampu merasa (contoh dalam kondisi akut mampu memahami tanda


sekecil apapun baik visual, audio, dan taktil yang dikirimkan oleh pasien).

4.

Diluar data pengetahuan (contoh kesadaran dan mampu mengenali pola


dari respon manusia lebih sederhana daripada membaca data).

5.

Mengetahui apa yang akan dikerjakan dan kapan dilakukan (contoh


menggunakan pemahaman pasien, pengalaman, perilaku, perasaan dan
atau persepsi untuk memilih intervensi yang bersifat individu).

6.

Berada bersama pasien (contoh penuh perhatian, mendengarkan, dan


mengajari pasien).

(Doona, Chase, dan Haggerty, 1999; Godkin, 2001; Godkin dan Godkin, 2004
cit Rego, 2008).

24

Sedangkan Widmark-Petersson et. al. (1998) cit Bolderston (2010)


membagi caring menjadi dua kategori, yang pertama adalah ekspresif artinya
fokus pada dimensi afektif yakni peduli kepada pasien, yang kedua adalah
instrumental artinya fokus pada kenyamanan yakni peduli kepada pasien, atau
perawatan fisik dan pelayanan.
Larson (1981) cit Khademian Z. & Vizeshfar F. (2008) menjelaskan
bahwa perilaku ekspresif terkait dengan membangun kepercayaan, penerimaan
perasaan, keyakinan, dan kebenaran, sedangkan keterampilan instrumental
terkait dengan kegiatan yang berorientasi pada tugas termasuk kegiatan fisik,
serta intervensi yang berorientasi pada kognitif. Perawatan, prosedur, memberi
dukungan, pengajaran dan pemecahan masalah dalam kategori ini.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Caring Perawat


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa motivasi internal dan eksternal
mampu mempengaruhi perilaku caring (Malini, 2009). Selain itu, kecerdasan
dasar seseorang mampu mempengaruhi perilaku caring perawat, diantaranya
adalah kecerdasan spiritual (Malini, 2009) dan kecerdasan emosional (Rego,
2008).
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku caring, seperti karakteristik
individu, lingkungan kerja dan kualifikasi perawat (Muhlisin & Ichsan, 2008).
Karakteristik individu menjadi pembeda antara individu satu dengan lainnya.
Menurut Robin (2008) karakteristik individu mempunyai dampak pada
perilaku kerja. Karakteristik individu tersebut meliputi :

25

1.

Usia
Usia sangat berkaitan dengan tingkat kedewasaan dan maturitas. Usia yang

semakin bertambah dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam


mengambil keputusan, semakin bijaksana, bertambah rasional dan toleran
(Sobirin, 2006). Robbins (2008) mengungkapkan bahwa pada karyawan
professional semakin bertambah usia maka kualitas kinerja semakin
meningkat. Sedangkan pada keryawan non professional, semakin bertambah
usia akan terjadi penurunan kepuasan kerja.
2.

Jenis Kelamin
Tidak ada perbedaan yang penting antara pria dan wanita dalam kinerja,

kemampuan memecahkan masalah, menganalisa, dorongan kompetitif,


motivasi dan kemampuan belajar. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa
tingkat ketidakhadiran wanita lebih tinggi dibandingka pria, khususnya pada
wanita yang telah berkeluarga (Robbins, 2001).
3.

Tingkat Pendidikan
Penelitian menunjukkan bahwa lama kerja mempengaruhi bagaimana cara

penyelesaian masalah yang merupakan salah satu komponen faktor karatif


(Nurachmah, 2000 cit Sobirin, 2006).
4.

Lama Kerja
Penelitian menunjukkan bahwa perilaku dimasa lalu mempengaruhi

perilaku di masa yang akan datang. Terdapat hubungan positif antara


pengalaman kerja dengan produktivitas keryawan (Robbins, 2001). Terkait

26

dengan

pengalaman, Nurachmah (2000) cit Supriadi (2006) menyatakan

bahwa terdapat korelasi antara lama kerja dengan penerapan perilaku caring.
5.

Status Pernikahan
Robbins (2008) mengungkapkan bahwa karyawan yang telah menikah

lebih loyal terhadap pekerjaannya daripada karyawan yang belum menikah.


Status pernikahan menuntut seseorang untuk bertanggung jawab, sehingga
ditemukan bahwa karyawan yang telah menikah menunjukkan kinerja yang
lebih baik daripada yang belum menikah (Robbins, 2001).
6.

Kemampuan fisik
Robbins (2008) menjelaskan bahwa kemampuan fisik adalah kemampuan

melakukan tugas-tugas, ketrampilan, kekuatan, dan karakteristik serupa.


Apabila kemampuan tidak sesuai dengan pekerjaan maka akan menurunkan
tingkat kepuasan karyawan.
7.

Ras
Merupakan isu yang kontroversial, tetapi dalam lingkungan kerja masih

kerap ditemui sebuah kecenderungan bagi individu lebih menyukai rekan-rekan


dari ras mereka sendiri dalam evaluasi kinerja, keputusan promosi, dan
kenaikan gaji (Robbins, 2008).

e.

Faktor kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual terhadap perilaku


caring perawat
Beberapa penulis seperti Freshwater & Stickley (2004) cit Rego
(2008) menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh kuat

27

terhadap interaksi antara pasien dan perawat, namun penelitian secara


empiris masih terbatas (Kooker, Shoultz, & Codier, 2007 cit Rego, 2008).
Perawat diharapkan tidak hanya memiliki kompetensi profesional saja
namun juga memiliki sensitivitas ketika menghadapi kerentanan dan
kecemasan pasien, kecerdasan emosional menjadi sumber dari rasa
sensitivitas tersebut. Oleh karena itu, kecerdasan emosional menjadi salah
satu prediktor yang relevan dari perilaku caring (Rego 2008).
Salah satu pembentuk perilaku manusia yang terpenting adalah
kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual mampu membentuk dan
meruntuhkan pola pemikiran dan perilaku yang mapan (Zohar & Marshal,
2006). George (1990) cit Muhlisin & Ichsan (2008) menyatakan bahwa
caring merupakan dasar dari spiritual, karena merupakan ideal moral dari
keperawatan. Kecerdasan spiritual membuat seseorang mampu menghayati
setiap peristiwa dalam hidup sehingga mampu merasakan komunikasi
dengan Allah. Dapat diasumsikan bahwa seseorang yang memiliki
hubungan baik dengan Tuhannya akan memiliki hubungan yang baik pula
dengan sesama manusia (Iman, 2004 cit Malini 2009)
Kecerdasan emosional yang salah satu komponennya adalah kesadaran
diri (Rego, 2008), kemudian dipadukan dengan aktivitas kecerdasan
spiritual maka akan mendorong untuk mampu mengetahui nilai dan tujuan
dari setiap tindakan yang dilakukan.

28

f. Karakter Individu Pasien yang Mempengaruhi Persepsi tentang Perilaku


Caring Perawat
Persepsi menurut Walgito (2001) cit Sunaryo (2002), adalah proses
pengorganisasian, pengintrepretasian terhadap rangsang yang diterima oleh
organisme atau individu menjadi sesuatu yang berarti dan merupakan
aktivitas integrated dalam diri individu.
Notoatmodjo (1993) cit Murhestriarso (2009), dalam kelompok
masyarakat terdapat bermacam-macam kelompok yang dapat mempengaruhi
persepsi dan harapan pelanggan. Perbedaan tersebut antara lain : umur, jenis
kelamin, pendidikan, agama dan suku bangsa. Hal senada diungkapkan oleh
Bennet (1987) cit Anjaryani (2009) menyatakan bahwa umur, jenis kelamin,
status perkawinan, jumlah keluarga, pendidikan, pekerjaan serta pendapatan
berkaitan dengan kebutuhan pencarian pelayanan kesehatan.

2.

Kecerdasan Emosional
a.

Pengertian Kecerdasan Emosional


Menurut Encylopedia Britannica (2006) kecerdasan adalah kemampuan

untuk adaptasi secara efektif terhadap lingkungan, dan membuat perubahan pada
diri sendiri dan lingkungan, atau mendapatkan sesuatu yang baru. Jadi kecerdasan
bukan hanya suatu proses mental tetapi kombinasi beberapa proses mental
langsung melalui adaptasi di lingkungan. Pada dekade 90-an, dipahami bahwa
seseorang yang mempunyai kecerdasan intelektual menggunakan otak rasional
yang merupakan pusat berfikir, selama ini dijadikan acuan untuk menentukan

29

potensi dan kemampuan seseorang dalam bekerja. Kecerdasan intelektual sendiri


merupakan kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas
yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas mental, seperti berpikir,
menalar dan memecahkan masalah (Robbins, 2009). Dahulu, kecerdasan
intelektual menjadi syarat utama mendapatkan pekerjaan dan lain sebagainnya.
Namun, saat ini berbagai penelitian mengemukakan bahwa terdapat multiple
intellegence dalam diri manusia. Bahkan kecerdasan intelektual hanya
menyumbang antara 5-10 % kesuksesan seseorang (Goleman, 2009), sedangkan
sisanya ditentukan oleh faktor yang lain, salah satunya adalah kecerdasan
emosional.
Kekuatan emosi sangat luar biasa, emosi dapat menuntun saat menghadapi
masa-masa kritis dan tugas-tugas yang terlalu riskan apabila hanya diserahkan
kepada otak (IQ) semata (Goleman, 2009). Goleman mendefinisikan kecerdasan
emosi sebagai kesanggupan untuk memperhitungkan atau menyadari kondisi
setempat untuk membaca emosi orang lain dan diri sendiri, dan untuk bertindak
dengan cepat. Emosi sendiri merupakan setiap kegiatan atau pergolakan
pemikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat dan meluap-luap,
sehingga emosi menjadi dorongan untuk bertindak. Lebih lanjut Goleman
menyatakan bahwa kecerdasan emosi berhubungan dengan kemampuan
mengelola emosi yang berupa ketakutan, kemarahan, agresi dan kejengkelan.
Cooper dan Sawaf (1997) cit Rosalina (2008) merumuskan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh.

30

Kecerdasan emosi akan menimbulkan energi yang positif apabila energi tersebut
negatif maka tidak dapat disebut sebagai kecerdasan emosi sehingga dapat
dirasakan manfaatnya baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Kecerdasan emosional menjadi penanda dua komponen dasar kepribadian
yakni kognitif dan system emosional. Standar kecerdasan yang paling sering
digunakan adalah kemampuan kognitif dan standar untuk beradaptasi adalah
fungsi emosional. Namun, timbul kesadaran bahwa sesungguhnya kecerdasan
emosi menjadi penyatu antara kemampuan kognitif dan adaptasi. Apabila
seseorang yang meyakini bahwa situasi marah merupakan gambaran dari kurang
cerdasnya emosi maka seseorang akan berusaha menggabungkan antara reaksi
emosi dengan pemikiran yang lebih kompleks. Kecerdasan emosional dapat
dilihat dari reaksi dan model emosional seseorang yang dinilai melalui konsistensi
logis sehingga mampu menggambarkan kecerdasan seseorang (Mayer & Salovey,
1995 cit Augusto-Landa & Lpez-Zafra, 2010).
Perspektif kecerdasan emosional dikenal sebagai kemampuan kognitif yang
bekaitan dengan penalaran dan pemecahan masalah (Mayer, Roberts, & Barsade,
2008 cit Ferguson & Austin, 2010), sehingga kecerdasan emosional menjadi kunci
untuk mengolah proses informasi emosional yang akurat dan efisien, termasuk
informasi yang relevan dengan penafsiran, pengakuan, dan pengaturan emosi
dalam diri sendiri dan orang lain (Salovey & Mayer, 1990 cit Zohar & Marshal,
2000). Purba (1999) cit Trihandini (2005) menekankan inti dari kecerdasan
emosional adalah kesanggupan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan
emosi, semamgat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang

31

lain. Pendapat tersebut diperkuat oleh Goleman (2009) yang menyatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki individu dalam
memotivasi diri sendiri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan
emosi, mengatur suasana hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan dan menunda
kepuasan, serta mampu menjaga agar beban pikiran tidak melumpuhkan pikiran.
Perawat tidak hanya dituntut memiliki kompetensi professional, tetapi juga
memiliki sensitivitas saat bertemu dengan pasien (Akerjordet & Severinsson,
2004 cit Rego, 2008). Setiap pasien memiliki kepribadian yang berbeda-beda,
sehingga perawat seharusnya memiliki kemampuan untuk menangkap adanya
kecemasan ataupun perasaan mudah terluka. Melalui kecerdasan ini juga
seseorang mampu memahami orang lain, bersikap empati, serta dapat menahan
emosi saat mampu untuk marah, serta mengerti bagaimana kondisi emosinya dan
mampu menempatkan sesuai dengan situasi yang ada. Sesuai dengan pendapat
Steiner (1997) cit Goleman (2009) kecerdasan emosional diidentikkan dengan
kemampuan untuk dapat mengerti emosi diri sendiri dan orang lain, serta
mengetahui bagaimana emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan
maksimal etis sebagai kekuatan pribadi. Ketika seseorang mampu mengenal
dirinya sendiri maka akan timbul kesadaran penuh pada tiap situasi yang terjadi
dan mengetahui apa yang harus dilakukan serta apa yang harus dihindari.

b. Komponen Kecerdasan Emosional


Golemen (2009) membagi kecerdasan emosional menjadi lima dimensi yang
kemudian akan diturunkan menjadi 25 kompetensi. Apabila mampu menguasai

32

hingga enam atau lebih maka akan menjadikan seseorang professional yang
handal. Sedangkan, Rego et. al. (2007) membagi komponen kecerdasan emosional
menjadi enam komponen meliputi kontrol diri terhadap kritik, memiliki motivasi
emosi yang positif terhadap diri sendiri, mampu mengontrol emosi, memahami
perasaan orang lain, memiliki empati, memahami perasaan diri sendiri.
Dimensi pertama adalah kontrol diri menghadapi kritik yakni perawat
menghadapi kritik tanpa disertai emosi yang berlebihan. Perawat dengan kontrol
terhadap kritik rendah ketika menerima keluhan dari pasien, maka yang sangat
mungkin untuk balik mengomentari atau menjadi kurang bersedia untuk
mendengarkan atau merawat pasien (Bushell, 1998 cit Rego, 2010) akhirnya dapat
merusak hubungan kepercayaan dengan pasien (Cooper, 1997 cit Rego, 2010).
Dimensi kedua adalah memotivasi diri sendiri. Kemampuan memotivasi
tergantung dari ketahanan mental untuk mempengaruhi kecerdasan yang lainnya.
Motivasi mampu mendorong seseorang untuk bertindak untuk menjadi lebih
inisiatif, produktif, dan efektif dalam malakukan apa yang dikerjakan. Perawat
menjadi lebih tangguh dan gigih ketika menghadapi kesulitan, lebih tekun dalam
memberikan dukungan emosional kepada pasien sehingga mampu menularkan
energi positif kepada pasien (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit Rego, 2010).
Dimensi ketiga adalah pengaturan emosi diri. Merawat membutuhkan tenaga
dari emosional seperti mengekspresikan emosi yang diinginkan dan menekan
ekspresi terhadap emosi yang tidak diinginkan selama terjadi interaksi (VitelloCicciu, 2003 cit Rego, 2010). Pengaturan emosi diri yaitu kemampuan untuk
mengendalikan emosi sehingga terjadi keseimbangan emosi, bukan menekan

33

emosi karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Aplikasi dalam
kehidupan sehari-hari seseorang memiliki kepekaan terhadap hati nurani yang
nantinya akan mampu menghibur diri, melepaskan kecemasan atau kemurungan
sehingga dapat bangkit lebih cepat saat dirundung kemalangan.
Dimensi empat adalah memahami emosi diri, maksudnya seseorang dapat
mengenali dan merasakan emosinya sendiri. Kemampuan menangani perasaan
agar perasaan dapat terungkap dengan pas. Kepahaman terhadap emosinya sendiri
dapat menuntun untuk mampu memahami penyebab perasaan yang timbul,
sehingga pada aplikasi sehari-hari memiliki kepekaan lebih tinggi dalam
pengambilan keputusan-keputusan masalah pribadi.
Dimensi kelima adalah empati yaitu kemampuan untuk menerima dari sudut
pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain. Empati mendorong
seseorang untuk bertindak memberi bantuan. Dimensi ini mendorong agar mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang menjadi isyarat apa-apa yang dibutuhkan
orang lain, sehingga timbul keselarasan antara diri sendiri dan orang lain.
Dimensi keenam adalah memahami emosi pribadi yakni perawat mampu
menyadari dan lebih lanjut mengenali emosi mereka sendiri dengan harapan agar
dapat mengatasi segala hambatan yang terjadi dalam diri sendiri menuju koping
yang positif. Ketika mengetahui apa yang sebenarnya dirasakan, maka akan lebih
mudah dalam hal pengambilan keputusan untuk melawan mengekspresikan emosi
negatif yang mereka alami (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit Rego, 2010),
sehingga perawat akan cenderung meningkatkan kepercayaan dan penghormatan

34

kepada pasien (Abraham, 2004; Akerjordet & Severinsson, 2004; Cooper, 1997;
Goleman, 1998 cit Rego, 2010 )
Goleman (2009) menyatakan bahwa pertanda perasaan bisa mengarah
menjadi penyakit apabila perasaan begitu kuatnya sehingga mengalahkan pikiranpikiran lainnya sehingga sulit untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang
sedang dihadapi. Oleh karena itu sangatlah penting untuk memiliki kecerdasan
emosional karena apabila emosi tidak dapat dikendalikan maka akan
menimbulkan tindakan yang amat sulit dibayangkan akibatnya. Setiap emosi yang
kuat berakar dari adanya dorongan untuk bertindak, kecerdasan emosional mampu
mengelola dorongan-dorongan itu, berusaha untuk menenangkan perasaanperasaan yang tidak menyenangkan dan lambat laun dapat menguasai kemampuan
sehingga cepat pulih dari dorongan disertai nafsu amarah tersebut.
Dalam banyak hal, pekerjaan perawat sangat beragam, pada suatu saat
menantang, tetapi kadang dirasa membosankan, sehingga sangat membutuhkan
pengelolaan emosi yang terampil. Ciri dari kecerdasan emosional perawat dapat
terlihat dari cara melaksanakan pekerjaan khususnya saat berinteraksi dengan
pasien tidak terjebak dalam rutinitas tugas saja, tetapi mampu memberikan makna
dari setiap yang dikerjakan. Ciri ini menjadi esensi dari perilaku caring perawat.

3.

Kecerdasan Spiritual
a. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk menyeimbangkan antara
makna dan nilai sehingga dapat menempatkan kehidupan kedalam konteks yang

35

lebih luas (Zohar & Marshal, 2000), sehingga kecerdasan spiritual mampu
menuntun seseorang untuk memahami nilai, makna, dan tujuan hidup
(Syahmuharnis & Sidarta, 2006). Lebih lanjut Zohar dan Marshal (2000)
menegaskan kembali bahwa kecerdasan spiritual bertumpu pada bagian dalam diri
kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego atau jiwa sadar, sehingga
menjadikan manusia utuh secara intelektual, emosional dan spiritual. Kecerdasan
spiritual memfasilitasi antara pikiran dan emosi, menjadi penghubung antara
pikiran dan tubuh, dan akhirnya timbul pengenalan terhadap diri sendiri. Selain
itu, kecerdasan ini mengintegrasikan hubungan intrapersonal dan interpersonal,
yang menghubungkan gap antara diri sendiri dan orang lain (Zohar, 2000).
Dimensi spiritual berupaya mempertahankan keharmonisan atau keselarasan
dengan dunia luar, berjuang untuk mejawab atau mendapatan kekuatan ketika
sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kecerdasan
spiritual merupkan kemampuan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier,
Erb, Blais dan Wilkinson, 1995; Murray dan Zentner, 1993 cit Hamid, 2009).
Zohar dan Marshal (2000) menjelaskan bahwa kecerdasan spiritual
disimbolkan sebagai Teratai Diri yang menggabungkan antara tiga kecerdasan
dasar manusia (rasional, emosional, dan spiritual), tiga pemikiran (seri, asosiatif,
dan penyatu), tiga jalan dasar pengetahuan (primer, sekunder, dan tersier) dan tiga
tingkatan diri (pusat transpersonal, tengah-asosiatif dan interpersonal, dan
pinggiran-ego personal). Dengan demikian kecerdasan spiritual berkaitan dengan
unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam menjadi pemersatu
seluruh bagian diri manusia lain.

36

Sedangkan Buzan (2001) menyatakan bahwa ciri seorang yang cerdas


spiritual itu di antaranya adalah senang berbuat baik, senang menolong orang lain,
telah menemukan tujuan hidupnya, merasa rnemiliki sebuah misi yang mulia
kemudian merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta yakni
Tuhan atau apapun yang diyakini sebagai kekuatan alam semesta dan mempunyai
sense of humor yang baik. Hal senada diungkapkan oleh Zohar (2002), bahwa
kecerdasan spriritual akan membawa seseorang mampu mengambil pelajaran
melalui makna yang lebih luas dalam menghadapi setiap kejadian hidup karena
dengan kecerdasan ini seseorang mampu memecahkan persoalan dan mampu
mengambil nilai dari setiap kejadian.
Pusat Intelegensia Kesehatan Depkes menyatakan bahwa kontribusi
kecerdasan emosional

dan

spiritual terhadap keberhasilan karir atau hidup

seseorang diperkirakan sekitar 80%, sedangkan sisanya merupakan kontribusi


dari kecerdasan rasional.

Dari 80% kontribusi tersebut ternyata spiritual

mendominasi sekitar 60% dan sisanya merupakan kontribusi emosional, karena


itu kecerdasan spiritual menjadi ultimate intelligence.
Studi yang dilakukan oleh Aylon dan Michael (1959) cit Sugiarto (2009)
menyatakan bahwa salah satu kemampuan perawat adalah sebagai ahli terapi
perilaku psikiatris, sehingga perawat nantinya akan menjadi role model peran
spiritul bagi klien. Penting bagi perawat untuk menyusun tujuan bagi dirinya
sendiri. Menurut Taylor, Lillis, dan Le Mone (1997) cit Hamid (2009) terdapat
beberapa komponen yang harus dimiliki perawat, yaitu:

37

1.

Mempunyai

pegangan

tentang

keyakinan

spiritual

yang

memenuhi

kebutuhannya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup.


2.

Merefleksikan kekuatan spiritual dalam aplikasi kehidupan sehari-hari


terutama saat menghadapi penderitaan, nyeri dan kematian dalam praktek
professional.

3.

Meluangkan waktu untuk memupuk kekuatan spiritual diri sendiri.

4.

Menunjukkan perasaan damai, kekuatan batin, kehangatan, keceriaan, caring,


dan kreativitas dalam berinteraksi dengan orang lain.

5. Menghargai keyakinan spiritual orang lain meskipun berbeda keyakinan


dengan perawat.
6. Meningkatkan pengetahuan perawat tentang keyakinan spiritual klien yang
mampu mempengaruhi gaya hidup mereka, berespon terhadap penyakit,
pilihan pelayanan kesehatan dan pilihan terapi.
7. Menunjukan kepekaan terhadap kebutuhan spiritual klien.
8. Menyusun

strategi

asuhan

keperawatan

yang

paling

sesuai

untuk

membantuklien yang sedang mengalami distress spiritual

b. Komponen Kecerdasan Spiritual


Bertanggung jawab merupakan komponen dalam kecerdasan spiritual.
Merupakan sikap dan tindakan dalam menerima sesuatu sebagai tanggungan dan
melaksanakannya dengan penuh rasa cinta dengan memberikan respon yang
terbaik (Tasmara, 2006). Prinsip tanggung jawab dapat dilatih melalui kebersihan
hati nurani (Covey,1990 cit Tasmara, 2006). Rasa tanggung jawab tersebut

38

kemudian diberdayakan dan diarahkan secara terus-menerus dengan orientasi


pada amal prestatif.
Zohar (2006) menjelaskan bahwa prinsip dasar kecerdasan spiritual adalah
mau memikul tanggung jawab atas pengembangan kode moral dan nilai sendiri.
Pengembangan dari nilai tersebut adalah timbul kemauan untuk menjadi lebih
bermanfaat bagi sesama, sehingga cenderung pada kebaikan karena telah menjadi
fitrah manusia pada kebenaran menuju kesempurnaan (Khomeini, 1992 cit Pasiak,
2001).
Komponen berikut yang ada dalam diri seorang yang memiliki kecerdasan
spiritual menurut Covey (1994) cit Tasmara (2006) yakni memiliki visi. Visi
adalah pengejawantahan ide kreatif dan menjadi motivasi utama tindakan
manusia. Visi adalah komitmen yang dituangkan dalam konsep jangka panjang
dan aplikasi dalam jangka pendek adalah melalui aksi, terdapat kemampuan untuk
melihat realitas yang dialami saat ini dan menciptakan dan menemukan apa yang
belum ada. Visi membuat seseorang menjalani hidup lebih berarti dari hari ke hari
karena visi menjadi motivasi dalam rangka mewujudkan sesuatu yang belum ada
(Tasmara, 2006).
Keyakinan bahwa setiap manusia pasti akan mati dan menjadikan saat
kematian tersebut menjadi saat yang dinanti-nanti karena akan bertemu dengan
Rabb-nya. Keyakinan ini memotivasi sesorang memiliki kecerdasan spiritual
sehingga mengupayakan setiap perilaku benar-benar manfaat. Seorang psikolog,
Hennezel (1998) cit Zohar & Marshal (2000) menyatakan bahwa kesadaran akan
kematian justru menjadi pengikat seseorang dngan orang lain. Itulah sebabnya

39

kematian akan menyentuh hati dan memungkinkan untuk menyusup ke dalam inti
dari satu-satunya pertanyaan sejati yakni tentang arti hidup yang sesungguhnya.
Kematian pasti akan menjumpai semua orang, yang akan melenyapkan orangorang yang kita cintai. Hal ini yang mendorong untuk tidak puas hanya menjalani
kehidupan di permukaan saja, mendorong untuk masuk ke dalam inti dan
kedalaman dari segala sesuatu sehingga mampu merasa dekat dengan Tuhan..
Mampu merasakan kedekatan dengan Tuhan merupakan komponen
kecerdasan spiritual. Terdapat penemuan terbaru mengenai God Spot yakni
sekumpulan jaringan saraf dalam lobus temporal otak yang terdapat di balik
pelipis, dapat membuat manusia memiliki perasaan akan sesuatu yang sakral dan
kerinduan akan segala sesuatu yang lebih mendalam dalam hidup (Persinger dan
Ramachandran, 1997 cit Zohar & Marshal, 2005). Bagian ini sangat aktif ketika
mendapat pengalaman spiritual. Riset Singer (1999) cit Zohar & Marshal (2004)
semakin menguatkan dengan ditemukan neuron-neuron otak yang bergetar secara
serentak dalam merespon stimuli khusus. Dalam setiap respon stimuli, otak
menyatukan pengalamannya dengan menggetarkan neuron-neuron tersebut kirakira 40 Hz. Kini telah diketahui bahwa osilasi 40 Hz ini merupakan basis neural
bagi kesadaran otak. Osilasi ini menyatukan sisitem-sistem kecakapan otak dan
memadukan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional dengan aktivitas
kecerdasan spiritual dari God Spot. Osilasi 40 Hz yang dipadukan dengan
aktivitas God Spot besar kemungkinan menjadi basis neural bagi karakteristik dan
sifat particular dari kecerdasan spiritual. Pada dasarnya setiap manusia memiliki
kecenderungan meskipun tanpa disadari mengarah ke pusat dan menuju pusat

40

sendiri, dimana seseorang akan menemukan hakikat yang utuh, yaitu rasa
kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk
dapat menemukan dirinya pada inti wujud hakiki di pusat alam alam semesta ,
tempat untuk berkomunikasi dengan langit (Elidae, 1993 cit Sangkan, 2006).
Menurut Buzan (2001), orang yang cerdas secara spiritual mampu
menjadikan setiap interaksi dengan orang lain dapat memberi manfaat bagi orang
lain ataupun sama-sama saling menyemangati satu sama lain, sehingga setiap
interaksinya dengn orang lain akan menjadi suatu pembelajaran.
Kecerdasan spiritual akan membangun optimisme yang nantinya akan
melahirkan keberanian untuk menempuh segala resiko karena adanya kesadaran
yang penuh bahwa segala sesuatu pasti ada resikonya (Tasmara, 2006). Namun,
sesungguhnya setiap ciptaan-Nya telah dirancang sedemikian rupa sehingga
mampu unuk menghadapi segala tantangan dan resiko hingga akhirnya terbentuk
karakter posotif dalam dirinya.
Amram (2008) menyatakan bahwa kecerdasan spiritual memiliki 5 komponen
pokok

yakni

kesadaran

(consciousness),

rahmat

(grace),

kebermaknaan

(meaning), aplikasi (transcendence), kebenaran (truth). Kesadaran bermakna


meningkatkan pengetahuan tentang sesuatu dan pengetahuan diri. Kesadaran
meliputi aspek penuh kesadaran, perpaduan dan intuisi. Komponen yang kedua
adalah rahmat yakni hidup selaras dengan rasa suci yang dimanifestasikan melalui
cinta pada sesama dan rasa percaya dalam kehidupan. Komponen yang ketiga
adalah kebermaknaan yakni menyadari hikmah dalam kehidupan sehari-hari,
dengan satu tujuan dan panggilan untuk melayani, termasuk didalamnya adalah

41

penderitaan dan rasa sakit. Komponen yang keempat adalah aplikasi yakni praktek
dalam kehidupan sehari-hari, saling berhubungan dan bersifat menyeluruh karena
adanya pengakuan terhadap Allah swt. Komponen kelima adalah kebenaran yakni
berpikiran terbuka untuk menerima kebenaran dalam hidup, termasuk didalammya
antara lain memaafkan, besar rasa ingin tahu, dan menghargai kebijakan dalam
tradisi.
Zohar & Marshall (2000) bahwa orang yang memiliki kecerdasan spiritual
memiliki kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan. Kesulitan
tersebut dapat dianggap sebagai rasa sakit, penderitaan atau kesulitan sebagai
sesuatu

yang

mengancam

atau

melumpuhkan,

tetapi

kita

juga

dapat

menganggapnya sebagai tantangan dan bahkan sebagai peluang. Oleh karena itu,
salah satu kriteria kecerdasan spiritual adalah kemampuan menyelesaikan
masalah. Hal senada juga diungkapkan oleh Wolman (2001) cit Yang & Mao
(2007) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan otentik yang mencakup berpikir,
konseptualisasi, dan memecahkan masalah. Kecerdasan spiritual dapat menjadi
bekal agar masalah tersebut dapat terselesaikan secra konstruktif hingga perasaan
khawatir hilang. Menuntun seseorang untuk terlepas dari keputusasaan.
Orang yang cerdas secara spiritual akan selalu mencari nilai dari setiap
tindakan yang mereka lakukan. Perilaku dikatakan memiliki nilai apabila dasar
setiap laku manusia mengandung tuntunan kesadaran, bukan karena paksaan
sehingga mempunyai dasar yaitu niat (Sangkan, 2006).
Perawat dituntut untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sebaik
mungkin. Manifestasi spiritual merupakan cara kita untuk dapat memahami

42

spiritual secara nyata. Manifestasi spiritual dapat dilihat melalui bagaimana cara
seseorang berhubungan dengan diri sendiri, orang lain, dan dengan Yang Maha
Kuasa, serta bagaimana sekelompok orang berhubungan dengan anggota
kelompok tersebut (Koenig & Pritchett, 1998 cit Dwidiyanti, 2010). Keyakinan
spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat
kesehatan dan perilaku self care pasien. Pelayanan tersebut mampu diberikan
apabila perawat mengetahui hakikat sebenarnya dari apa yang dilakukan tidak
sebatas kewajiban rutinitas, tetapi lebih dari itu perawat mengetahui makna dari
setiap pekerjaannya. Kecerdasan spiritual dapat menjadi penghubung agar
seseorang mampu untuk mengekspresikan dan memaknai setiap tindakannya
(Trihandini, 2005). Kecerdasan spiritual menjadi landasan perilaku caring
perawat saat berinteraksi dengan pasien.

B. Landasan Teori
Caring merupakan suatu perilaku yang bertujuan untuk membantu, memberi
perhatian, mengasuh, memberi bantuan, serta mendorong untuk memandirikan
pasien. Fokus utama adalah 10 faktor karatif caring menurut Watson (1998).
Faktor karatif tersebut mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, menanamkan
kepercayaan (faith hope), peka terhadap diri dan orang lain, mengembangkan
hubungan saling percaya dan membantu, mendorong dan menerima ekspresi
perasaan positif dan negatif klien, menggunakan metoda penyalesaian masalah
secara sistematis untuk pengambilan keputusan, meningkatan pembelajaran dan
pengajaran interpersonal, menciptakan lingkungan yang suportif, proaktif dan atau

43

perbaikan mental, fisik, sosiokultural dan spiritual, memenuhi kebutuhan dasar


manusia dengan tetap menghargai harkat dan martabatnya, terbuka pada
pengalaman berpikir dan mendorong untuk dapat memahami dengan lebih baik.
Perilaku seseorang dipengaruhi oleh kecerdasan dasar yang dimiliki antara
lain kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan emosional adalah
kemampuan dalam mengelola perasaan, dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan baik, dan mampu memahami perasaan diri sendiri maupun orang
lain sehingga mampu membina hubungan dengan baik, serta dapat menjadi
sumber energy yang positif . Kecerdasan emosional menurut Rego et. al. (2008)
membagi komponen kecerdasan emosional menjadi enam komponen meliputi
kontrol diri terhadap kritik, memiliki motivasi emosi yang positif terhadap diri
sendiri, mampu mengontrol emosi, memahami perasaan orang lain, memiliki
empati, memahami perasaan diri sendiri.
Sedangkan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan dalam mengelola
nilai-nilai dan mengungkap makna menjadi lebih dalam dan menyeluruh sehingga
mampu memahami hakikat yang terjadi. Komponen dalam kecerdasan spiritual
meliputi memiliki visi yang digunakan sebagai arahan dalam hidup,
bertanggungjawab, memiliki dorongan untuk berbuat baik, mampu merasakan
kehadiran Tuhan, kesulitan dirasakan sebagai tantangan serta memiliki empati,
komitmen dan pengabdian terhadap sesama.
Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual menjadi kemampuan dasar
perawat dalam mengaplikasikan perilaku caring dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap individu pasien adalah makhluk yang unik karena memiliki karakteristik

44

yang berbeda anatara satu individu dengan individu lainnya, sehingga dapat
mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional maupun spiritual perawat.
Karakteristik tersebut meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama
bekerja, dan status pernikahan. Oleh karena itu, kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual yang tergambar dari setiap individu dapat sangat bervariasi.
Begitu pula terhadap persepsi pasien terhadap perilaku caring perawat akan
bervariasi karena adanya perbedaan karakteristik individu, meliputi tingkat
pendidikan, usia, jenis kelamin, lama dirawat dan frekuensi dirawat.
Setiap tindakan perawat yang dilandasi oleh pemahaman akan pentingnya
perilaku caring muncul atas kesadaran. Kesadaran tersebut berasal dari perpaduan
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual sangat dimungkinkan tindakan
caring perawat akan bernilai dan memberi efek positif kepada klien.

45

C. Kerangka Landasan Teori

Karakteristik individu
Perawat:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama bekerja
5. Status pernikahan
6. Kemampuan fisik
7. Ras
Asuhan Keperawatan

Perawat
Kecerdasan :
Intelektual

Emosional

Perilaku Caring

Komponen:
Kontrol diri saat dikritik
Menyemangati diri sendiri
Pengaturan emosi diri
Memahami emosi orang
lain
Empati
Komponen:
Memahami emosi pribadi

Kesadaran
Rahmat
Spiritual
Kebermaknaan
Aplikasi
Kebenaran

Keterangan:
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti

Komponen:
1. Kemanusiaan/ keyakinanharapan-sensitivitas
2. Membantu & membina
kepercayaan
3. Menerima perasaan positif/
negatif klien
4. Pembelajaran/ pengajaran
interpersonal
5. Menciptakan lingkungan
yang mendukung
6. Memenuhi kebutuhan dasar
7. Mengizinkan fenomenologi

Karakteristik individu
Pasien:
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Tingkat pendidikan
4. Lama dirawat
5. Frekuensi dirawat

Gambar 1. Kerangka Landasan Teori

Mutu
Asuhan

46

D. Kerangka Penelitian

Perawat
Kecerdasan:

Emosional
Komponen:
Kontrol diri saat dikritik
Menyemangati diri sendiri
Pengaturan emosi diri
Memahami emosi orang
lain
Empati
Memahami emosi pribadi

Perilaku Caring
1.
2.
3.
4.
5.

Spiritual
Komponen:
Kesadaran
Rahmat
Kebermaknaan
Aplikasi
Kebenaran

Gambar 2. Kerangka Penelitian

6.
7.

Komponen:
Kemanusiaan/ keyakinanharapan-sensitivitas
Membantu & membina
kepercayaan
Menerima perasaan positif/
negatif klien
Pembelajaran/ pengajaran
interpersonal
Menciptakan lingkungan
yang mendukung
Memenuhi kebutuhan dasar
Mengizinkan fenomenologi

47

E. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran tingkat kecerdasan spiritual perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
b. Bagaimana gambaran tingkat kecerdasan emosional perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta?
c. Bagaimana gambaran perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap Bedah
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta menurut persepsi pasien?

F. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan teori dan tujuan penelitian, maka diajukan hipotesis alternative
(Ha) sebagai pedoman penganalisaan yang akan digunakan sebagai jawaban
sementara, yaitu:
Ada hubungan positif antara tingkat kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual terhadap persepsi pasien tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat
Inap Bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Semakin tinggi kecerdasan
emosional maupun kecerdasan spiritual maka akan semakin tinggi pula persepsi
pasien tentang perilaku caring perawat, dan sebaliknya semakin rendah
kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual maka akan semakin rendah
persepsi pasien tentang perilaku caring perawat.

48

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian non
experimental. Metode yang digunakan adalah analitik korelasi dengan rancangan
penelitian pendekatan cross sectional, yakni pengamatan pada variabel bebas dan
terikat pada satu kali pengamatan (Arikunto, 2002)

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan ini di RSUP Dr. Sardjito pada ruang rawat inap bedah
Cendana untuk pasien dewasa yaitu ruang Cendana 1, Cendana 2, Cendana 3, dan
Cendana 5. Ruang Cendana 4 tidak diikutkan karena merupakan bangsal bedah
bagi anak. Waktu penelitian dilakukan pada 20 Maret 2011 sampai 10 April 2011.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan individu yang menjadi acuan terhadap hasil
penelitian yang akan dilakukan (Arikunto, 2002). Populasi pada penelitian ini
adalah perawat dan pasien di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana untuk pasien
dewasa RSUP. Dr. Sardjito.

49

a) Perawat
Berdasarkan data ketenagaan per Februari 2011 jumlah perawat pada
Ruang Rawat Inap Bedah Cendana untuk pasien dewasa adalah 66 orang
dengan rincian Cendana 1 sebanyak 18 orang, Cendana 2 sebanyak 19 orang,
Cendana 3 sebanyak 17 orang, Cendana 5 sebanyak 12 orang.
b) Pasien
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien dewasa yang dirawat
di kelas III Ruang Rawai Inap Bedah selama tanggal 20 Maret sampai 10
April 2011.
2. Sampel
a) Perawat
Teknik penentuan jumlah sampel pada penelitian ini dengan metode
sampel proporsi yaitu pengambilan sampel dari setiap bagian atau bangsal
ditentukan sebanding dengan banyaknya subjek dalam masing-masing bagian
atau bangsal (Arikunto, 2006). Responden dipilih melalui accidental
sampling yaitu dengan memberikan kuesioner kepada responden yang dapat
diakses peneliti berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan (Kumar, 2011).
Besarnya sampel penelitian dihitung menggunakan rumus Slovin
(Wahyuni, 2009), yaitu:
n=
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat kesalahan

50

Tingkat kesalahan yang peneliti gunakan adalah 10% sehingga besar


sampel penelitian adalah 38,27 dibulatkan menjadi 38 orang.
Perhitungan besar sampel untuk tiap ruang rawat atau bangsal dapat
dihitung dengan menggunakan rumus (Riduwan, 2009):
ni = ( ) . n
Keterangan:
ni = Jumlah sampel menurut subbagian
n = Jumlah sampel seluruhnya
Ni = Jumlah populasi menurut subbagian
N = Jumlah populasi seluruhnya
Berdasarkan rumus diatas, maka didapat jumlah sampel ditiap ruangan
adalah Cendana 1 sebanyak 10 orang, Cendana 2 sebanyak 11 orang,
Cendana 3 sebanyak 10 orang, dan Cendana 5 sebanyak 7 orang.
Adapun kriteria inklusi yaitu:
1. Perawat di bangsal rawat inap bedah Cendana untuk pasien dewasa.
2. Bersedia menjadi responden.
3. Mempunyai masa kerja minimal 1 tahun.
Kriteria eksklusi perawat yaitu cuti atau sakit atau tugas belajar.
b) Pasien
Teknik penentuan jumlah sampel pada pasien menggunakan metode total
sampling yakni semua pasien kelas III di Ruang Rawat Inap Cendana RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta. Total pasien kelas III yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi selama tanggal 20 Maret sampai 10 April 2011 berjumlah

51

30 orang, dengan rincian ruang Cendana 1 sebanyak 8 pasien, Cendana 2


sebanyak 10 pasien, Cendana 3 sebanyak 6 pasien dan Cendana 5 sebanyak 6
pasien. Arikunto (2005) menyatakan bahwa minimal jumlah sampel dalam
penelitian kuantitatif adalah 30 responden.
Adapun kriteria inklusi pada sampel pasien yaitu:
a) Pasien dengan kesadaran compos mentis, dan atau keluarga yang
menemani pasien terus-menerus selama 24 jam.
b) Pasien bersedia menjadi responden.
c) Pasien berumur 21 tahun sampai 65 tahun
d) Pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
e) Pasien yang telah menjalani rawat inap bedah Cendana untuk pasien
dewasa minimal 3 x 24 jam.

D. Variabel Penelitian
1.

Variabel bebas atau independent dalam penelitian ini adalah kecerdasan


emosional dan kecerdasan spiritual.

2.

Variabel terikat atau dependent dalam penelitian ini adalah perilaku caring.

3.

Variabel pengganggu dalam penelitian ini adalah umur, jenis kelamin,


pendidikan, status pernikahan, lama kerja, dan kemampuan fisik pada sampel
perawat. Variabel pengganggu tersebut yang dikendalikan adalah lama kerja
dan kemampuan fisik. Pada sampel pasien, variabel pengganggu tersebut
meliputi pendidikan, jenis kelamin, umur, sosial ekonomi, lama dirawat, dan

52

lama dirawat. Variabel pengganggu tersebut yang dikendalikan meliputi usia,


sosial ekonomi (kelas III), dan lama dirawat.

E. Definisi Operasional
1. Kecerdasan emosional adalah gambaran kemampuan emosional perawat di
ruang rawat inap bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito dalam mengelola segala
perasaan dalam diri dalam kondisi apapun dan kapanpun menjadi energi yang
positif. Jenis data adalah data numerik. Penilaian menggunakan enam
komponen kecerdasan emosional yaitu:
a. Kemampuan mengontrol diri dalam menerima kritik yakni penguasaan diri
ketika menerima kritik dari pasien, perawat tidak marah dan tetap mau
mendengarkan dan merawat pasien.
b. Menyemangati diri sendiri yaitu adanya dorongan menjadi lebih tekun
ketika menghadapi kesulitan, hambatan dan krisis, serta gigih memberi
motivasi emosional kepada pasien sehingga dapat menyalurkan energi
positif kepada pasien.
c. Mengatur emosi yaitu usaha mengelola emosi dan mengekspresikan
kepada pasien sehingga mampu tetap tenang dalam kondisi krisis.
d. Empati yaitu rasa kepedulian yang tinggi dan belas kasih terhadap pasien
sehingga mampu menghasilkan reaksi emosional dan psikologis yang lebih
baik bagi pasien.
e. Kemampuan memahami perasaan diri sendiri yaitu kemampuan menyadari
perasaan diri sendiri sehingga lebih bijaksana dalam melakukan interaksi

53

dengan pasien karena adanya kejujuran perasaan disertai dengan


kecenderungan untuk mengontrol emosi.
f. Kemampuan memahami perasaan orang lain yaitu perawat memahami
nilai-nilai, kekhawatiran, dan ketakutan pasien sehingga mampu terhubung
secara emosional kepada pasien, mampu menghargai dan memuaskan
pasien.
2. Kecerdasan Spiritual adalah gambaran kemampuan spiritual perawat di ruang
rawat inap bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito dalam menilai, memaknai dan
memahami tujuan hidup . Jenis data adalah data numerik. Penilaian terdiri atas
lima domain di dalam instrumen yaitu:
a. Kesadaran yakni kemampun memadukan berbagai sudut pandang hingga
mampu mendengar lewat intuisi dengan adanya penghayatan terhadap
makna hidup.
b. Rahmat yakni sikap yang tercermin sesuai dengan kepercayaan,
mewujudkan rasa yakin dan penuh cinta yang didasari dengan penuh rasa
syukur dan bahagia.
c. Kebermaknaan yaitu adanya pengalaman berharga yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari melalui panggilan untuk melayani dengan tujuan
yang jelas.
d. Aplikasi yaitu praktek dalam kehidupan sehari-hari, saling berhubungan
dan bersifat menyeluruh karena adanya pengakuan terhadap Allah SWT.
e. Kebenaran adalah hidup dengan pikiran terbuka, mudah memaafkan,
memiliki kemurnian dalam diri dan mencintai sesama.

54

3. Persepsi pasien tentang perilaku caring perawat adalah interpretasi responden


pasien kelas III Ruang Rawat Inap Bedah Cendana tentang bentuk perhatian
perawat di ruang rawat inap bedah Cendana RSUP Dr. Sardjito yang
diwujudkan dalam tindakan asuhan keperawatan yang bertujuan untuk
membantu pasien. Jenis data adalah data numerik. Penilaian menggunakan
tujuh domain dalam instrumen penelitian yaitu:
a. Nilai kemanusiaan/ keyakinan dengan sikap penuh pengharapan adalah
bertindak berdasarkan sifat manusiawi dengan cara memberi asuhan
keperawatan yang holistik meliputi memotivasi pasien bahwa harapan
sembuh itu ada.
b. Menanamkan sensitivitas terhadap diri sendiri dan orang lain yaitu
perawat berusaha menghargai kepekaan dan perasaan klien, sehingga
perawat dapat benar-benar menjadi sensitif murni, tenang dan sabar
mendampingi pasien.
c. Menanamkan hubungan saling percaya yaitu perawat menunjukkan sikap
empati atau tulus, jujur dan sesuai dengan kenyataan.
d. Menerima ekspresi positif dan negatif dari pasien yaitu perawat
mendorong dan memberi kesempatan bagi pasien untuk mengekspresikan
perasaan serta menerimanya.
e. Peningkatan/ pembelajaran interpersonal yaitu perawat mendukung pasien
agar mandiri serta berusaha menciptakan lingkungan kondusif bagi
pertumbuhan pribadi pasien.

55

f. Menciptakan lingkungan yang mendukung dan melindungi yaitu perawat


mengetahui hal-hal apa saja yang mempengaruhi kesehatan pasien.
g. Membantu memenuhi kebutuhan dasar dan mengizinkan terjadinya
fenomenologi yaitu perawat membantu memenuhi kebutuhan pasien
dengan rasa hormat serta membolehkan pasien melakukan kegiatan ritual
sehingga mendukung pemahaman terhadap diri sendiri.
4. Ruang Cendana yakni bangsal bedah untuk pasien dewasa di Instalasi Rawat
Inap I RSUP Dr. Sardjito, meliputi Ruang Cendana 1, Cendana 2, Cendana 3
dan Cendana 5.

F. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini berupa
kuesioner yang terdiri atas:
1. Kuesioner untuk variabel kecerdasan emosional mengadopsi instrument
Emotional Intelligence yang dikembangkan oleh Rego dan Fernandes (2005).
Instrumen tersebut terdiri atas 14 item yang mengukur 6 dimensi kecerdasan
emosional yaitu (1) kontrol diri menghadapi kritik; (2) menyemangati diri
sendiri; (3) pengaturan emosi diri; (4) memahami emosi orang lain; (5) empati;
(6) memahami emosi pribadi. Instrumen ini menggunakan skala Linkert
dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor untuk pernyataan
favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3), tidak setuju (2),
dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan unfavourable

56

adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju (3), sangat
tidak setuju (4).
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Kecerdasan Emosional
No

Indikator

1
Kontrol diri menghadapi kritik
2
Menyemangati diri sendiri
3
Pengaturan emosi diri
4
Memahami emosi orang lain
5
Empati
6
Memahami emosi pribadi
Jumlah

No. Item Instrumen


Jumlah
Favourable Unfavourable
1, 2, 3
3
4, 5, 6
3
7, 8
2
9, 10, 11
3
12
1
13, 14
2
14

2. Kuesioner untuk variabel kecerdasan spiritual menggunakan Integrated


Spiritual

Intelligence

Scale-Short

Form

Version

(ISIS-SFV)

yang

dikembangkan oleh Amram dan Dryer (2007). Instrumen ini terdiri dari 20
item yang mengukur 5 domain kecerdasan spiritual yaitu kesadaran, rahmat,
kebermaknaan, aplikasi dan kebenaran. Instrumen ini menggunakan skala
Linkert dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S),
Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor untuk
pernyataan favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3),
tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan
unfavourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju
(3), sangat tidak setuju (4).

57

Tabel 2. Kisi-kisi instrumen kecerdasan spiritual


No

Domain

Nomer Item Instrumen


Unfavourable
Favourable
8, 10, 14, 15
-

Kesadaran

Rahmat

Kebermaknaan

4.

Aplikasi

Kebenaran

5, 7, 13, 16 20

11

1, 2, 6, 9, 17

3, 4, 18

12, 19,

Jumlah

3.

Jumlah

20

Instrument yang digunakan untuk mengukur perilaku caring menggunakan

Caring Behavior Assessment (CBA) yang dikembangkan oleh Cronin dan


Harisson (1988) berdasarkan teori Watson (1979) berisi sepuluh faktor karatif.
Instrumen pada penelitian ini memodifikasi dari kuesioner Juliani (2009). Terdiri
dari 20 item pernyataan yang mengukur 7 komponen yaitu kemanusiaan/
keyakinan-harapansensitivitas, membantu dan membina kepercayaan, menerima
ekpresi/ perasaan positi/negatif klien, pembelajaran/ pengajaran interpersonal,
menciptakan linkungan yang mendukung/ melindungi, membantu memenuhi
kebutuhan

dasar,

mengijinkan

terjadinya

fenomenologi.

Instrumen

ini

menggunakan skala Linkert dengan empat pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju
(SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penentuan skor
untuk pernyataan favourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (4), setuju (3),
tidak setuju (2), dan sangat tidak setuju (1). Sedangkan skor untuk pernyataan
unfavourable adalah sebagai berikut: sangat setuju (1), setuju (2), tidak setuju (3),
sangat tidak setuju (4).\

58

Tabel 3. Kisi-kisi instrumen penerapan perilaku caring


No
1
2
3
4
5
6
7

Domain
Kemanusiaan/ keyakinan-harapan
sensitivitas
Membantu dan membina kepercayaan
Menerima ekpresi/ perasaan
positi/negatif klien
Pembelajaran/pengajaran interpersonal
Menciptakan linkungan yang
mendukung/melindungi
Membantu memenuhi kebutuhan dasar
Mengijinkan terjadinya fenomenologi
Jumlah

Nomer Item Instrumen

Jumlah

Favourable

Unfavourable

1, 2, 3, 5

6, 8,
10

7, 9
-

5
1

11, 12, 14
15

13
-

4
1

16, 17, 18
20

3
1
20

G. Validitas dan Realiabilitas


Pada penelitian ini akan dilakukan uji validitas dan reliabilitas pada instrumen
kecerdasan emosional, instrumen kecerdasan spiritual, dan instrumen perilaku
caring perawat menurut persepsi pasien.
Uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian ini diujicobakan pada
tanggal 4 Maret 2011 sampai 13 Maret 2011 kepada 22 perawat dan 22 pasien di
ruang rawat inap Bugenvil 1, Bugenvil 2, Bugenvil 3, dan Bugenvil 4.
Uji validitas pada penelitian ini menggunakan analisis validitas yakni Person
Product Moment. Berdasarkan analisis tersebut, pada kuesioner kecerdasan
emosional terdapat 4 item yang gugur dan 15 item yang valid memiliki skor r
hitung 0,443 - 0,799 dengan taraf signifikansi 0,05. Tabel berikut menjelaskan
item kuesioner kecerdasan emosional yang valid dan tidak valid. Item kuesioner
yang valid dengan tanda garis bawah.

59

Tabel 4. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kecerdasan Emosional


No

Indikator

No. Item Instrumen


Favourable

Jumlah

Unfavourable Item Valid

Kontrol diri menghadapi kritik

1, 2, 3, 4

Menyemangati diri sendiri

5, 6, 7

Pengaturan emosi diri

8, 9, 10

Memahami emosi orang lain

11, 12, 13

Empati

16

Memahami emosi pribadi

17, 18, 19

14, 15

Jumlah

1
2
14

Pada instrumen kecerdasan spiritual terdapat 24 item yang gugur dan sisanya
20 item yang valid, memiliki skor hitung 0,434 0,891 dengan taraf signifikansi
0,05. Tabel berikut menjelaskan item-item pada kuesioner kecerdasan spiritual
yang valid dan yang tidak valid. Item kuesioner yang valid ditandai dengan garis
bawah.
Tabel 5. Hasil Uji Validitas Kuesioner Kecerdasan Spiritual
Sedangkan pada instrumen perilaku caring perawat terdapat 20 item yang
gugur dan sisanya 20 item valid, memiliki skor hitung 0,432 - 0,791 dengan taraf
signifikansi 0,05. Tabel berikut menjelaskan item-item pada kuesioner kecerdasan
spiritual yang valid dan yang tidak valid. Item kuesioner yang valid ditandai
dengan garis bawah.

60

Tabel 6. Hasil Uji Validitas Kuesioner Persepsi Pasien Tentang Perilaku Caring
Perawat
No
Indikator
Nomer Item Instrumen
Jumlah
1
2

Kemanusiaan/ keyakinan-harapan

Favourable

Unfavourable

1, 2, 3, 4, 5,

13, 16

23, 24, 26, 27

25

28, 29, 31

30

32, 33, 34,

sensitivitas

6, 8, 9, 10

Membantu dan membina kepercayaan

11, 12, 14,


15, 17

Menerima ekpresi/ perasaan


positi/negatif klien

Pembelajaran/pengajaran interpersonal

Menciptakan linkungan yang

18, 19, 20,


21, 22

mendukung/melindungi
6

Membantu memenuhi kebutuhan dasar

35, 36, 37
7

Mengijinkan terjadinya fenomenologi

38, 39, 40

Jumlah

20

Uji reliabilitas pada penelitian ini menggunakan rumus Alpha Cronbach.


Instrumen kecerdasan emosional memiliki nilai reliabilitas 0,867 dan instrumen
kecerdasan spiritual memiliki nilai reliabilitas 0,871. Sedangkan instrumen
perilaku caring perawat memiliki nilai reliabilitas 0,858.
Uji reliabilitas pada penelitian terdahulu didapatkan nilai reliabilitas
instrumen Emotional Intelligence (Rego dan Fernandes, 2005) yaitu 0,62 0,83.
Pada instrumen kecerdasan spiritual yakni ISIS-SFV (Amran dan Dryer, 2007)
nilai alpha adalah 0,97, sedangkan nilai alpha untuk instrumen perilaku caring
(Juliani, 2009) adalah 0,871.

61

H. Jalannya Penelitian
1.

Tahap persiapan
Dimualai dari persiapan proposal antara bulan Juni 2010 hingga Januari
2011, meliputi pengajuan tema penelitian dan judul, penyusunan proposal,
konsultasi, observasi, seminar proposal dan revisi proposal. Kemudian
mengurus keterangan kelaikan etik, dilanjutkan menyampaikan surat izin
untuk penelitian ke RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta yang selanjutnya
melakukan presentasi proposal di bagian IRNA I.
Melakukan uji validitas dan reliabilitas untuk mengetahui tingkat
kesahihan dan keterandalan suatu instrumen yang nantinya akan digunakan
untuk mengambil data di ruang rawat inap bedah Cendana.

2.

Tahap pelaksanaan
Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden
baik perawat maupun pasien, setelah terlebih dahulu memberikan inform
consent. Peneliti membagikan angket dan menjelaskan cara pengisian
angket. Saat proses pengisian kuesioner, apabila ada pertanyaan yang sulit
dipahami oleh responden maka dapat menanyakan kepada peneliti. Peneliti
berdiri ditempat yang terjangkau oleh pandangan responden perawat
sehingga dapat dengan mudah memanggil peneliti. Setelah selesai, peneliti
menghampiri responden perawat untuk mengambil kuesioner yang sudah
selesai diisi. Namun, terdapat beberapa kuesioner untu perawat yang
dititipkan. Kuesioner yang telah terisi diperiksa kelengkapannya di depan
responden sehingga saat ditemukan ada kekurangan dapat langsung

62

ditanyakan. Setelah memastikan kelengkapan kuesioner mengucapkan


terimakasih kepada responden.
Terlebih dahulu peneliti melihat catatan daftar pasien di nurse station
atau langsung bertanya kepada perawat jaga untuk memastikan pasien kelas
III. Pengisian kuesioner untuk pasien mayoritas dibantu oleh peneliti dengan
cara peneliti membacakan. Namun, adapula pasien yang mengisi kuesioner
secara mandiri. Pengambilan data kepada responden pasien dilakukan
hingga jumlah responden yang telah ditetapkan yaitu 30 yang berasal dari
Cendana 1, Cendana 2, Cendana 3 dan Cendana 5.
Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan program komputer.
Data hasil kuesioner yang dimasukkan dalam komputer dilakukan
pengecekan ulang. Mula-mula data yang sudaah benar tersebut dilakukan
analisis deskriptif, dilanjutkan dengan analisis bivariant untuk mengetahui
korelasi atar dua variabel dan terakhir dilakukan analisis multivariate bila
terdapat hubungan.
3.

Tahap pelaporan
Setelah pengumpulan data dan pengolahan data selesai dilakukan,
kemudian menyusun hasil penelitian untuk diseminarkan.

I. Analisa Data
Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan beberapa langkah
(Arikunto, 2006) yaitu: (1) persiapan meliputi: mengecek nama dan kelengkapan
identitas responden, mengecek kelengkapan data dengan memeriksa isi instrumen,

63

mengecek macam isian data; (2) tabulasi data meliputi: memberikan skor terhadap
masing-masing data, menjumlahkan skor pada kuesioner; (3) analisis data diolah
dengan rumus-rumus statistik menggunakan computer. Teknik analisis data
tersebut meliputi:
a.

Analisis Univariat
Notoatmodjo (2002) menyebutkan bahwa analisis ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik responden yang diteliti. Analisis univariant
menggambarkan distribusi frekuensi dan presentase. Rumus yang digunakan
yaitu:

P=

F
N

x 100%

Keterangan:

b.

= Presentase

= Frekuensi

= Jumlah jawaban responden

Analisis Bivariat
Analisis ini menguji dua variabel yang diduga memiliki korelasi
(Notoatmodjo, 2002), digunakan untuk menerangkan keeratan hubungan dua
variabel. Pada penelitian ini digunakan untuk mengetahui korelasi antara
kecerdasan emosional dengan perilaku caring dan korelasi antara kecerdasan
spiritual dengan perilaku caring.
Ketepatan penggunaan koefisien korelasi bivariant tergantung dari jenis
data, karena persebaran data tidak normal maka menggunakan rumus
Spearman Rank, yaitu:

64

rs = 1-

D
N N

Keterangan:
rs = koefisien korelasi rank
D = selisih rank antara X (Rx) dan Y (Ry)
N = banyaknya pasangan rank
Uji korelasi Spearman Rank dengan tingkat kepercayaan 95 % berarti
jika koefisien korelasi < = 0,5 maka terdapat hubungan antar dua variabel,
sedangkan apabila koefisien korelasi > = 0,05 maka tidak terdapat
hubungan.
Apabila nilai koefisien korelasi plus (+) maka terdapat arah korelasi yang
sejajar, sedangkan nilai (-) maka korelasi berlawanan arah.
Semakin besar angka dalam indeks korelasi maka korelasi dari kedua
variabel juga semakin kuat Arikunto (2006). Pernyataan ini diperkuat dengan
adanya intepretasi terhadap koefisien korelasi menurut Sugiyono (2007).
Tabel 7. Intepretasi Koefisien Korelasi
Interval Koefisien

Tingkat Hubungan

0,00 0,199

Sangat rendah

0,20 0,399

Rendah

0,40 0,599

Sedang

0,60 0,799

Kuat

0,80 1,000

Sangat Kuat

65

Intepretasi terhadap skor skala kuesioner dengan kategorisasi dapat


menggunakan norma kategorisasi menurut Azwar (2010) adalah:
x < (- 1,0 )

rendah

( - 1,0 ) x < ( + 1,0 )

sedang

( + 1,0 ) x

tinggi

Berdasarkan perhitungan rumus tersebut, kategorisasi skor kecerdasan


emosional dapat digolongkan sebagai berikut:
< 28

rendah

28 41

sedang

42

tinggi

Kategorisasi skor kecerdasan spiritual digolongkan sebagai berikut:


< 40

rendah

40 59

sedang

60

tinggi

Kategorisasi skor perilaku caring perawat digolongkan sebagai berikut:


< 40

rendah

40 59

sedang

60

tinggi

J. Keterbatasan Penelitian
1.

Jumlah item pada instrumen penelitian kecerdasan spiritual dan perilaku


caring cukup banyak yang gugur sehingga jumlah item pada kuesioner
tersebut relatif lebih sedikit. Namun, tetap mewakili domain. Item yang

66

gugur kemudian dihilangkan, tidak dimodifikasi dan diuji ulang karena


keterbatasan waktu dan dana peneliti. Pada kuesioner untuk pasien item
pertanyaan berjumlah 20 untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien.
2.

Peneliti mengalami kesulitan untuk memastikan perawat yang benar-benar


dikenal oleh pasien. Peneliti mengolah data dengan mengambil nilai ratarata responden perawat yang kemudian dihubungkan dengan rata-rata nilai
dari responden pasien.

3.

Terdapat beberapa item dalam karakteristik responden pasien yang belum


lengkap, karena kealpaan peneliti. Saat akan dikonfirmasi kembali ternyata
pasien sudah pulang. Peneliti berusaha melengkapi data dari rekam medis
pasien, namun beberapa rekam medis pasien tidak ditemukan lagi di
ruangan tersebut sehingga dalam hasil penelitian terdapat dua item dalam
karakteristik responden pasien yang jumlahnya tidak genap 30.

4.

Jumlah sampel penelitian antara perawat dan pasien tidak seimbang, karena
keterbatasan waktu saat peneliti melakukan pengambilan data.

5.

Peneliti membacakan pertanyaan item kuesioner kepada responden pasien


karena keterbatasan kondisi pasien. Hal ini mungkin dapat menimbulkan
rasa sungkan pada beberapa responden pasien sehingga dapat berpengaruh
terhadap hasil pengisian kuesioner.

67

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Responden
Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta dengan subjek penelitian perawat sejumlah 38 orang
dan pasien kelas III sejumlah 30 orang. Karakteristik subjek penelitian
dideskripsikan sebagai berikut.
a) Perawat
Tabel 8. Karakteristik Perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (n= 38)
Karakteristik Responden
Perawat Ruang Bangsal Bedah Cendana
N
%
Pendidikan
SPK
2
5
DIII Keperawatan
31
82
D IV Keperawatan
2
5
S1 Keperawatan
3
8
Jenis Kelamin
Laki-laki
`13
34
Perempuan
25
66
Masa Kerja
1-4 tahun
6
16
5-15 tahun
8
21
16-30 tahun
24
63
Umur
< 30 tahun
5
13
30-45 tahun
20
53
46-55 tahun
11
29
>55 tahun
2
5
Status Pernikahan
Sudah Menikah
35
92
Belum Menikah
3
8
Sumber: data primer

68

Dari tabel 5 diketahui bahwa mayoritas pendidikan terakhir


responden perawat adalah DIII Keperawatan yakni sebanyak 31 orang
(82%). Sebagian besar responden adalah perempuan yakni sebanyak 25
orang (66%). Berdasarkan masa kerja sebanyak 24 orang (63%) telah
memiliki masa kerja 16-30 tahun. Umur responden perawat sebagian
besar dalam rentang 30-45 tahun (53%). Status pernikahan responden,
hanya 3 orang (8%) yang belum menikah dan sisanya sudah menikah.
b) Pasien
Tabel 9. Karakteristik Pasien kelas III di Ruang Rawat Inap Bedah
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (n=30)
Karakteristik Responden
Pasien Ruang Rawat Inap Cendana
N
%
Pendidikan
Tidak Sekolah
1
3
SD
13
43
SMP
5
17
SMA
6
20
PT
1
3
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

19
11

63
37

4
6
20

13
20
67

8
14
7
1

21
37
18
3

25
4

86
14

Umur
21 - 25 tahun
26 - 40 tahun
41 65 tahun
Lama Dirawat
3 - 5 hari
6 - 15 hari
16 - 30 hari
>30 hari
Frekuensi dirawat (< 5 tahun)
1 kali
>2 kali
Sumber: data primer

69

Berdasarkan tabel diatas, sebagian besar pendidikan terakhir


responden pasien adalah SD sebesar 13 orang (43%). Karakteristik
menurut jenis kelamin sejumlah 19 orang (63%) adalah pasien laki-laki.
Menurut umur, sejumlah 20 orang (53%) dalam rentang usia 41 - 65
tahun. Menurut lama dirawat sebagian responden pasien dirawat selama
6- 15 hari sebanyak 14 orang (37%). Menurut frekuensi dirawat di RSUP
Dr. Sardjito selama kurun waktu kurang dari lima tahun sebanyak 25
orang (86%) pasien dirawat yang pertama kali.

2. Analisis Variabel Univariat


a. Kecerdasan Emosional Perawat
Analisis

univariat

variabel

kecerdasan

emosional

perawat

dilakukan untuk melihat pengkategorian kecerdasan emosional.


Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kecerdasan Emosional Perawat
Variabel
Kecerdasan Emosional
Rendah
Sedang
Tinggi
Jumlah

Interval Skor

Frekuensi (f)

Persentase (%)

< 28
28 - 41
42

0
4
34

0
10,5
85,5

38

100

Sumber: data primer


Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa mayoritas responden
perawat memiliki kecerdasan emosional dengan kategori tinggi yakni
sebanyak 34 orang (85%), sisanya memiliki kecerdasan emosional pada

70

kategori sedang sebanyak 4 orang (10,5%), dan tidak ada responden


perawat yang berada dalam kategori rendah.
Berikut ini adalah tabel kecerdasan emosional berdasarkan domain.
Tabel 11. Deskripsi Mean dan Standar Deviasi Kecerdasan Emosional
pada Masing-Masing Domain
No
Domain
Rata-rata (Mean) Standar Deviasi (SD)
1
Kontrol diri menghadapi kritik
2,50
0,50
2
Menyemangati diri sendiri
2,66
0,48
3
Pengaturan emosi diri
2,08
0,63
4
Memahami emosi orang lain
2,58
0,50
5
Empati
2,26
0,68
6
Memahami emosi pribadi
2,79
0,47
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh bahwa domain pada kecerdasan
emosional yang memiliki nilai rata-rata tertinggi adalah domain memahami
emosi pribadi sebesar 2,79 dengan standar deviasi 0,47. Domain terendah
yakni pengaturan emosi diri sebesar 2,08 dengan standar deviasi 0,63.

b. Kecerdasan Spiritual Perawat


Analisis univariat variabel kecerdasan spiritual perawat dilakukan
untuk melihat pengkategorian kecerdasan spiritual.
Tabel 12. Distribusi Frekuensi Kecerdasan Spiritual Perawat
Variabel
Interval Skor
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Kecerdasan Spiritual
Rendah
< 28
0
0
Sedang
28 - 41
6
16
Tinggi
32
84
42
Jumlah
Sumber: data primer

38

100

71

Berdasarkan tabel 12 diketahui bahwa dari 38 responden, mayoritas


perawat memiliki kecerdasan emosional dengan kategori tinggi yakni
sebanyak 32 orang (84%), kemudian sisanya sebanyak 6 orang (16%)
memiliki kecerdasan emosional pada kategori sedang, dan tidak ada
responden perawat yang berada dalam kategori rendah.
Dibawah ini merupakan tabel mean dan standar deviasi kecerdasan
spiritual pada masing-masing domain.
Tabel 13. Deskripsi Mean dan Standar Deviasi Kecerdasan Spiritual pada
Masing-Masing Domain
No
Domain
Rata-rata (Mean) Standar Deviasi (SD)
1
Kesadaran
2,66
0,48
2
Rahmat
2,95
0,23
3
Kebermaknaan
2,92
0,36
4
Aplikasi
2,92
0,27
5
Kebenaran
2,92
0,27
Sumber: data primer
Berdasarkan tabel diatas, diperoleh data bahwa masing-masing domain
pada kecerdasan spiritual memiliki nilai rata-rata yang tidak jauh berbeda.
Domain yang memiliki nilai rata-rata paling tinggi adalah domain rahmat
sebesar 2,95 dengan standar deviasi 0,23. Domain yang paling rendah
yakni kesadaran sebesar 2,66 dengan standar deviasi 0,48.

c. Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat


Analisis univariat variabel kecerdasan spiritual perawat dilakukan untuk
melihat distribusi rentang nilai atau pengkategorian persepsi pasien tentang
perilaku caring perawat.

72

Tabel 14. Distribusi Frekuensi Menurut Persepsi Pasien Tentang Perilaku


Caring Perawat
Variabel
Interval Skor
Frekuensi (f) Persentase (%)
Perilaku Caring Perawat
Rendah
< 40
0
0
Sedang
40 - 59
16
53
Tinggi
14
47
60
Jumlah
Sumber: data primer

30

100

Berdasar tabel diatas, diketahui bahwa persepsi pasien tentang perilaku


caring perawat sebanyak 16 orang (53%) berada dalam kategori sedang,
sisanya yakni 14 orang (47%) berada dalam kategori tinggi, dan tidak ada
yang berada dalam kategori rendah.
Dibawah ini merupakan tabel distribusi mean dan standar deviasi
perilaku caring menurut persepsi pasien pada masing-masing domain.
Tabel 15. Deskripsi Mean dan Stander Deviasi Perilaku Caring Perawat
pada Masing-Masing Domain
No
Domain
Rata-rata
Standar Deviasi
(Mean)
(SD)
1
Kemanusiaan/ keyakinan-harapan2,8
0,4
sensitivitas
2
Membantu dan membina kepercayaan
2,6
0,5
3
Menerima ekspresi/ perasaan positif/
2,9
0,3
negatif klien
4
Pembelajaran/ pengajaran intrapersonal
2,6
0,5
5
Menciptakan lingkungan yang
2,8
0,5
mendukung dan melindungi
6
Memenuhi kebutuhan dasar
2,2
0,6
7
Mengijinkan terjadinya fenomenologi
2,7
0,5
Sumber: data primer

73

Berdasarkan tabel, nilai rata-rata tertinggi menurut persepsi pasien


adalah menerima ekspresi/ perasaan positif/ negatif klien yakni sebesar 2,9
dengan standar deviasi 0,3. Domain dengan rata-rata yang terendah adalah
memenuhi kebutuhan dasar yaitu 2,2 dengan standar deviasi 0,6.

2. Analisis Variabel Bivariat


a.

Analisis hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Persepsi Pasien


tentang Perilaku Caring Perawat
Tabel 16. Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Persepsi Pasien
tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Cendana RSUP Dr. Sardjito
Kekuatan korelasi (r)
Signifikansi (p)
Makna

0,339
Sumber: data primer

0,037

Terdapat hubungan

Analisis diatas menggunakan program komputer yakni Spearman Rank


yang berfungsi untuk mengetahui hubungan antara variabel kecerdasan
emosional dengan variabel perilaku caring perawat menurut persepsi pasien.
Tabel diatas menunjukkan bahwa antara variabel kecerdasan emosional
dengan variabel persepsi pasien tentang perilaku caring perawat terdapat
hubungan (p = 0,037) dengan kekuatan korelasi lemah (r = 0,339). Terdapat
korelasi yang bermakna antara dua variabel apabila nilai p < 0,05 dan
kekuatan korelasi 0,20 - 0,399 diinterpretasikan lemah (Dahlan, 2009).
Arah korelasi positif yakni semakin besar nilai kecerdasan emosional
perawat maka nilai persepsi pasien tentang perilaku caring perawat juga
akan semakin besar.

74

b. Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dengan Persepsi Pasien tentang


Perilaku Caring Perawat
Tabel 17. Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dengan Persepsi Pasien
tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap Cendana
RSUP Dr. Sardjito
Kekuatan korelasi (r)
Signifikansi (p)
Makna
0,247
Sumber: data primer

0,135

Tidak berhubungan

Analisis diatas menggunakan program komputer yakni Spearman Rank


berfungsi untuk mengetahui hubungan antara variabel kecerdasan spiritual
dengan variabel perilaku caring perawat menurut persepsi pasien. Tabel diatas
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel kecerdasan
spiritual dengan variabel persepsi pasien tentang perilaku caring perawat.
Data menunjukkan p = 0,135 menurut Dahlan (2009) apabila nilai p > 0,05
maka tidak terdapat korelasi yang bermakna antara dua variabel yang diuji.

B. PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden
a.

Karakteristik Perawat
Mayoritas perawat berpendidikan DIII Keperawatan. Syarat perawat boleh

melakukan praktik keperawatan yakni pendidikan minimal adalah DIII


Keperawatan (Kusnanto, 2004). Perawat dengan pendidikan tinggi mampu
melaksanakan peran care, pendidikan kesehatan, pencegahan stress, sikap
profesional, tanggung gugat, dan dapat kolaborasi dengan profesi kesehatan

75

lain dan juga dengan keluarga pasien (Mezey & Mc. Given, 1993 cit Halim,
2000).
Lebih dari separuh responden perawat berjenis kelamin perempuan. Black
& Holden (1998) cit Robbins (2008) menyatakan bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan dalam produktivitas pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan. Salah satu hal yang nampak berbeda dalam masalah gender
preferensi terhadap jadwal kerja, khususnya bagi perempuan yang telah
berkeluarga (Shellenbarger, 1991 cit Robbins, 2008).
Sebagian besar lama kerja perawat dalam penelitian ini berada dalam
rentang 15-30 tahun. Masa kerja terpendek adalah 1,5 tahun dan yang terlama
adalah 30 tahun. Robbins (2008) menyatakan bahwa masa kerja lama
seseorang bekerja pada suatu organisasi dari mulai resmi dinyatakan sebagai
pegawai atau karyawan, semakin lama bekerja maka akan semakin terampil
dan lebih berpengalaman dalam melakukan pekerjaannya. Semakin lama
seseorang bekerja maka akan semakin terampil dan lebih berpengalama
terhadap pekerjaannya.
Usia termuda perawat pada penelitian ini adalah 24 tahun dan tertua 57
tahun. Menurut DPPKA Provinsi DIY usia produktif antara 21-60 tahun,
didapat bahwa 53% atau 20 orang berusia 30 - 45 tahun. Dessler (1998) cit
Suprihatiningsih (2009) menyebutkan bahwa usia 30 40 tahun merupakan
fase pemantapan pilihan karir untuk mencapai tujuan, kemudian usia 40 tahun
berada dalam puncak karir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa

76

terdapat hubungan bermakna antara usia dengan perilaku caring, semakin


dewasa maka perilaku caring lebih meningkat. (Suprihatin, 2009)
Sebanyak 35 orang (92%) responden perawat berstatus menikah.
Berdasarkan data sebelummnya didapat bahwa mayoritas perawat berada
dalam rentang usia dewasa madya sehingga mayoritas sudah menikah karena
menikah merupakan tugas perkembangan pada tahap sebelumnya yakni dewasa
dini (Hurlock, 1999 cit Putri, 2010). Robbins (2008) menyatakan bahwa status
pernikahan menuntut seseorang untuk bertanggung jawab, sehingga ditemukan
bahwa karyawan yang telah menikah menunjukkan kinerja yang lebih baik
daripada yang belum menikah.

b.

Karakteristik Pasien
Berdasarkan tabel 6 diperoleh data bahwa mayoritas responden pasien

berpendidikan SD, Green (1970) cit Harlim (2000) mengungkapkan bahwa


pendidikan terbatas menyebabkan sikap kurang pintar, sulit berkomunikasi,
juga menunjukkan pengalaman mereka kurang manusiawi, kurang dihormati
dan direndahkan oleh medis. Pendidikan mempengaruhi apa yang akan
dilakukan yang tercermin dari pengetahuan, sikap dan perilaku. Tingkat
pendidikan berhubungan dengan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pasien
(Anjaryani, 2009).
Lebih dari sebagian pasien berjenis kelamin laki-laki yakni sebanyak
63%. Lumenta (1989) cit Murhestriarso (2009) menyatakan bahwa jenis
kelamin mempengaruhi kepuasan, laki-laki cenderung memiliki tuntutan dan

77

harapan yang lebih besar daripada perempuan sehingga cenderung lebih tidak
puas terhadap pelayanan kesehatan. Notoatmodjo (1993) cit Murhestriarso
(2009) mengungkapkan bahwa terdapat hal-hal yang mempengaruhi persepsi
dan harapan konsumen diantaranya : usia, jenis kelamin, dan tingkat
pendidikan.
Yulisetiarini (2007), pasien yang datang pada suatu tempat layanan
kesehatan dapat dibedakan menjadi pasien baru dan pasien yang datang lagi.
Frekuensi pasien dirawat mayoritas merupakan pasien baru (1 kali). Pada
praktek pemasaran tradisional, mencurahkan perhatian pada menarik pasien
baru dan melakukan penjualan. Saat ini fokus bergeser menjadi menarik
pelanggan

baru

mempertahankan

dan

melakukan

pelanggan

yang

transaksi,
sudah

ada

disertai

upaya

(Ramadania,

untuk

2000

cit

Yulisetiarini, 2007).
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta merupakan rumah sakit rujukan dari
daerah-daerah karena memiliki fasilitas dan peralatan medis yang lengkap
sehingga tidak sedikit menerima pasien dari luar Yogyakarta yang mayoritas
frekuensi dirawat hanya satu kali.

2. Analisis Univariat
a.

Kecerdasan Emosional Perawat


Kriteria inklusi responden perawat yakni memiliki masa kerja minimal

satu tahun. Dalam kurun waktu minimal satu tahun dapat diasumsikan bahwa
perawat telah mampu beradaptasi dengan tuntutan dan lingkungan. Gabungan

78

dari keahlian, kemampuan, dan kompetensi non-kognitif seseorang akan


mempengaruhi kemampuan untuk berhasil menghadapi tuntutan dan tekanan
lingkungan yang disebut dengan kecerdasan emosional (Robbins & Coulter,
2007). Kecerdasan emosional memeiliki peran besar bagi perawat karena
dalam pekerjaan sehari-hari banyak melakukan interaksi sosial (Robbins &
Coulter, 2007).
Brody & Hall (1992) cit Robbins & Judge (2008) menyatakan bahwa pada
perbandingan gender, wanita menunjukkan

ekspresi emosional yang lebih

besar dibandingkan pria. Wanita juga mampu membaca petunjuk nonverbal


dan paralinguistik secara lebih baik daripada pria (Hall, 1984 cit Robbins &
Judge, 2008). Sejak kecil, wanita sudah disosialisasikan dengan untuk
mengasuh, sehingga wanita lebih banyak mengekspresikan lebih banyak emosi
positif pada pekerjaan dibandingkan pria (Rafaeli, 1989 cit Robbins & Judge,
2008).
Berdasarkan tabel 8, diperoleh data bahwa domain pada kecerdasan
emosional yang memiliki nilai rata-rata paling tinggi adalah domain
memahami emosi pribadi. Domain paling rendah yakni pengaturan emosi diri.
Pada penelitian Rego (2010) didapat bahwa domain tertinggi adalah
menyemangati diri sendiri dan yang terendah adalah memahami emosi orang
lain.
Domain memahami emosi pribadi menegaskan bahwa perawat memiliki
kemampuan yang baik dalam hal menyadari dan mengenali emosi mereka
sendiri dengan harapan agar dapat mengatasi segala hambatan yang terjadi

79

dalam diri sendiri menuju koping yang positif. Perawat yang mudah
mengidentifikasi emosi spesifik yang mereka alami dalam situasi yang
membuat stres maka hanya akan membutuhkan waktu sedikit untuk mengatasi
reaksi emosi tersebut (Landa & Zafra, 2010).
Domain yang terendah adalah pengaturan emosi diri yakni kemampuan
untuk mengekspresikan emosi yang diinginkan seperti memahami kondisi
pasien baik secara fisik maupun emosional dan mampu menahan ekspresi yang
tidak diinginkan (Rego, 2008). Domain ini juga ditentukan oleh karakteristik
individu seperti kepribadian seseorang. Domain manajemen pengelolaan emosi
pribadi menjadi figure penting dalam pembentukan citra diri dan penting juga
bagi pencitraan profil layanan kesehatan profesional (Landa & Zafra, 2010).

b.

Kecerdasan Spiritual Perawat


Wolaman (2001) cit Yang (2006) menyatakan bahwa umur memiliki

hubungan yang signifikan dengan kecerdasan spiritual, semakin berumur


maka kecerdasan spiritual semakin tinggi. Responden perawat sebagian besar
memiliki masa kerja antara 16-30 tahun. Lin (2000) cit Yang (2006)
menyatakan bahwa perawat yang memiliki masa kerja lebih dari sepuluh
tahun menunjukkan kecerdasan spiritual yang tinggi. Mayoritas perawat
(63%) memiliki masa kerja 15 tahun ke atas.
Berdasarkan tabel 11, domain kecerdasan spiritual yang tertinggi adalah
rahmat. Menurut Amran (2008) rahmat yakni hidup selaras dengan nilai-nilai
agama dengan mewujudkan rasa cinta pada sesama dan rasa percaya dalam

80

kehidupan. Pada aplikasinya perawat mampu memerikan yang terbaik


khususnya saat berinteraksi dengan pasien, bertindak sesuai dengan normanorma, dan mampu mensyukuri nikmat dan anugerah. Sedangkan domain
yang

terendah

adalah

kesadaran.

Kesadaran

merupakan

kemampun

memadukan berbagai sudut pandang hingga mampu mendengar lewat intuisi


dengan adanya penghayatan terhadap makna hidup, sehingga perawat dapat
memaknai pekerjaan sebagai perawat bukan hanya sebagai rutinitas belaka.

c.

Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat


Data tabel 14 menunjukkan sebagian besar perilaku caring perawat dalam

kategori sedang. Penelitian terdahulu menyatakan bahwa perawat kurang


maksimal dalam memberikan tugas-tugas care karena disibukkan oleh
kegiatan-kegiatan medik sehingga kekurangan waktu dalam melakukan
perawatan (Suprihatin, 2009).
Berdasarkan data diatas, menurut persepsi pasien tidak ada perawat yang
berperilaku caring rendah. Hal ini mungkin dikarenakan sampel yang
digunakan adalah pasien kelas III dengan pendidikan mayoritas terbatas.
Mungkin akan berbeda hasilnya apabila sampel pasien mayoritas memiliki
pendidikan tinggi, maka berpeluang untuk mendapatkan pekejaan yang layak
dan penghasilan yang lebih baik sehingga akan menggunakan kelas perawatan
yang lebih baik (Harlim, 2000) dengan harapan mendapat pelayanan yang
lebih baik.

81

Berdasarkan tabel 15, nilai rata-rata yang tertinggi menurut persepsi


pasien adalah menerima ekspresi/ perasaan positif/ negatif klien. Domain ini
menuntut perawat agar mampu memberikan kesempatan kepada pasien
mengungkapkan perasaannya dengan mendengarkan semua keluhan dan
perasaan pasien, selain itu perawat memberikan penerimaan yang positif serta
mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya (Juliani, 2009). Salah
satu ciri-ciri profil perawat yang ideal adalah tampak sangat tertarik, teliti,
memiliki komitmen dan bermotivasi tinggi (Morrison & Burnard, 2009).
Domain yang terendah adalah memenuhi kebutuhan dasar. Pada aplikasi
keseharian perawat dituntut untuk memenuhi kebutuhan klien yang paling
rendah, misalnya makan, minum, eliminasi dan lain sebagainya. Sebagian
besar pasien ditunggui oleh keluarga ataupun teman dekat, mayoritas pasien
mengaku dibantu oleh keluarga atau teman yang menunggu ketika akan
memenuhi kebutuhan dasar seperti eliminasi, makan, minum, dan lain
sebagainya.
Penelitian Nurachmah (2000) cit Sobirin (2006) tentang penerapan
perilaku caring dengan sampel perawat dari beberapa rumah sakit di Jakarta
menunjukkan bahwa perawat yang membantu memenuhi kebutuhan dasar
pasien tergolong rendah yakni sebesar 37,3%.

82

3. Analisis Bivariat
a.

Analisis hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Persepsi Pasien


tentang Perilaku Caring Perawat
Berdasarkan tabel 17 didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan signifikan

antara kecerdasan emosional dengan persepsi pasien tentang perilaku caring


perawat. Hasil penelitian senada yang dilakukan oleh Rego (2010) menyatakan
bahwa terdapat hubungan signifikan antara kecerdasan emosional perawat
dengan perilaku caring perawat dengan arah positif namun lemah.
Robbins (2008) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional memiliki
peranan penting dalam kinerja suatu pekerjaan yang berhubungan dengan
banyak interaksi sosial. Pekerjaan perawat senantiasa bersinggungan dengan
pasien, dengan dilandasi dengan kecerdasan emosional yang dimiliki, maka
perawat mampu menunjukkan ruh caring ketika berinteraksi dengan pasien.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa caring mampu meningkatkan
kepuasan pasien, kenyamanan, dan kesehatan pasien (Rego, 2010).
Pendapat ini didukung oleh Cadman & Brewer (2001); Calveiro et. al.
(2008) cit Landa & Zafra (2010), bahwa kecerdasan emosional mampu
membuat perawat mengembangkan hubungan terapetik saat berinteraksi
dengan pasien dan keluarga dan mampu mengendalikan stress dengan lebih
baik. Perawat yang memiliki konsep diri yang baik (salah satu aspek dari
kecerdasan emosional) maka akan mempengaruhi perawatan kepada pasien
kearah positif, sebaliknya perawat yang memiliki konsep diri kurang baik maka

83

akan berakibat kurang baik pada perawatan pasien (Anderson, 1993 cit Landa
& Zafra, 2010)
Menurut Sviokla (1993) cit Lupiyoadi & Hamdani (2008), faktor yang
menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan adalah kemampuan
perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Moss (2005)
mengungkapkan bahwa perawat menjadi wajah dari system perawatan
kesehatan, karena di mata pasien perawat dianggap sebagai orang yang benarbenar mengurus pasien. Dengan demikian, perawat mempunyai tanggung
jawab baik aktif maupun pasif terhadap kenyamanan pasien baik secara fisik
maupun emosional. Selain itu, perawat juga dituntut untuk memiliki
sensitivitas saat bertemu dengan pasien (Akerjordet & Severinsson, 2004 cit
Rego, 2008), karena perbedaan kepribadian antar pasien. Perawat diharapkan
memiliki kompetensi profesional dan sensitivitas dalam rangka memenuhi
kebutuhan pasien yang mengalami kondisi renta dan cemas (Hummelvoll &
Severinsson, 2001 cit Akerjodet & Severinsson, 2004) Peran perawat tersebut
dapat ditingkatkan melalui pengembangan keterampilan yang berlandasankan
kecerdasan emosional (Moss, 2005).

b. Analisis hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Persepsi Pasien tentang


Perilaku Caring Perawat
Berdasarkan hasil pengukuran kuisioner kecerdasan spiritual, sebagian
besar perawat mempunyai kecerdasan spiritual yang tinggi dan hanya sebagian
kecil berada dalam kategori sedang. Namun, pada pengukuran kuisioner

84

perilaku caring perawat menurut persepsi pasien didapatkan hasil perilaku


caring perawat sebagian besar dalam kategori sedang dan sisanya tinggi.
Setelah dilakukan uji analisis, ternyata tidak terdapat korelasi antar kedua
variabel.
Penelitian Malini (2009) mendapatkan hasil yang serupa bahwa tidak ada
korelasi antara kecerdasan spiritual dengan perilaku caring perawat. Sebagian
besar

kecerdasan

spiritual

perawat

dalam

kategori

tinggi,

namun

dimungkinkan bahwa kecerdasan spiritual tersebut masih berada dalam


pribadi individu (Malini, 2009), sehingga belum sepenuhnya mampu
teraplikasi dalam interaksi khususnya dengan pasien.
Tomey & Alligood (2002) mendefinisikan caring sangat komplek,
transcultural, proses hubungan, berdasarkan moral, dan aspek spiritual.
Perintah etis untuk berlaku caring digabungkan dengan aspek spiritual
berhubungan dengan kewajiban moral terhadap sesama. Pada intinya,
Spiritual-ethical caring dalam keperawatan berfokus pada cara memfasilitasi
suatu pilihan yang baik terhadap sesama, agar dapat terlaksana (Ray, 1989;
1997 cit Tomey & Alligood, 2002).\
Spiritualitas di tempat kerja merupakan kesadaran bahwa setiap orang
memiliki kehidupan batin yang tumbuh dan ditumbuhkan oleh pekerjaan yang
bermakna yang berlangsung dalam konteks komunitas (Ashmos & Dunchon,
2000 cit Robbins & Coulter, 2007). Organisasi dalam hal ini rumah sakit
yang mendukung kultur spiritual akan mengakui bahwa manusia memiliki
pikiran dan jiwa, berusahan mencari makna dan tujuan dari pekerjaan mereka,

85

dan hasrat untuk berhubungan dengan orang lain, serta menjadi bagian dari
komunitas (Robbins & Coulter, 2007).
Hasil penelitian ini berbeda dengan pernyataan Mayeroff (1972) cit
Morrison & Burnard (2009) yang menghubungkan caring dengan berbagai
aspek salah satunya adalah aspek spiritual. Selain itu, Morrison & Burnard
(2009) menyatakan bahwa spiritual paling sering berhubungan dengan nilainilai agama dan keyakinan. Setiap ajaran agama menganjurkan untuk saling
care satu sama lain. Perawat yang care bisa dikarenakan bukan hanya karena
tuntutan profesi sebagai perawat, namun karena kepercayaan yang dianut,
baik karena ajaran agama maupun pandangan moral secara umum. Hal ini
dipertegas oleh Zohar & Marshall (2005) yang menyatakan bahwa spiritual
yang dimaksud dalam konteks ini adalah kemampuan yang berasal dari otak,
sehingga terdapat struktur-stuktur dalam otak yang mampu memberi makna,
nilai, dan keyakinan. Kecerdasan jiwa atau kecerdasan spiritual tersebut
mampu mengintegrasikan berbagai fragmen kehidupan, aktivitas, dan
keberadaan manusia. Oleh karena itu, secara tidak langsung dapat
menjelaskan

bahwa

kecerdasan

memunculkan perilaku caring.

spiritual

khususnya

perawat

dapat

86

BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.

Tingkat kecerdasan emosional perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana


RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagian besar berada dalam kategori tinggi.

2.

Tingkat kecerdasan spiritual perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana


RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta sebagian besar berada dalam kategori tinggi.

3.

Persepsi pasien kelas III di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta terhadap perilaku caring perawat berada dalam kategori
sedang.

4.

Ada hubungan antara kecerdasan emosional perawat dengan persepsi pasein


tentang perilaku caring perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta.

5.

Tidak ada hubungan antara kecerdasan spiritual perawat dengan persepsi


pasein tentang perilaku caring perawat di ruang rawat inap Cendana RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta.

87

B. Saran
Berikut ini beberapa saran yang dapat disampaikan sesuai hasil pembahasan,
yaitu:
1.

Pelayanan Kesehatan
a. Tingkat kecerdasan emosional perawat di ruang rawat inap Cendana
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta berada pada tingkat tinggi sehingga perlu
upaya untuk dipertahankan atau ditingkatkan menjadi excellent. Pada
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kecerdasan
emosional dan perilaku caring perawat agar nantinya mutu asuhan
keperawatan dapat ditingkatkan
b. Hasil penlitian ini menunjukkan bahwa tingkat kecerdasan spiritual tidak
memiliki hubungan dengan perilaku caring perawat. Namun tetap perlu
adanya upaya dari pimpinan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta agar dapat
dipertahankan pada tingkat tinggi ataupun ditingkatkan karena beberapa
teori menyatakan bahwa kecerdasan spiritual memiliki pengaruh terhadap
perilaku caring perawat.
c. Persepsi pasien kelas III terhadap perilaku caring perawat berada pada
tingkat sedang sehingga masih perlu upaya untuk ditingkatkan kembali
agar perilaku caring semakin banyak yang meningkat agar dapat
diupayakan peningkatan kualitas asuhan keperawan. Upaya yang dapat
dilakukan bersifat fleksibel misalnya melalui penghargaan, pembinaan
atau pelatihan.

88

2.

Perawat di Ruang Rawat Inap Bedah Cendana RSUP Dr Sardjito Yogyakarta


Berdasarkan hasil penelitian, mayoritas perawat memiliki kecerdasan
spiritual yang tinggi. Perawat diharapkan mampu memunculkan kecerdasan
spiritual tersebut dalam perilaku nyata khususnya melalui perilaku caring
kepada pasien.

3.

Peneliti selanjutnya
Bagi penelitian lebih lanjut diharapkan dapat melakukan metode
penelitian yang lebih baik misalnya dengan observasi untuk mengetahui
perilaku caring perawat. Selain itu, dapat pula menambah kelas dalam ruang
rawat inap tidak hanya berasal dari kelas III, juga ditambah dari kelas II dan
kelas I, yang nantinya dapat digunakan untuk membandingkan persepsi
pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Agustin, I. (2002). Perilaku Caring Perawat dan Hubungannya dengan Kepuasan
Klien di Instalasi Rawat Inap Bedah Dewasa di Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2002. Tesis, UI, Jakarta.
Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Agustian, A.G. (2001). Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: ARGA Publishing.
Amran, Y dan Dryer, D. C. (2007). The Development and Preliminary Validation
of The Integrated Spiritual Intelligence Scale (ISIS). Retrieved from
http://www.spiritatwork.org/library/SpiritualIntelligenceAssessment.pdf.
Anjaryani, W., D. (2009).Kepuasan Pasien Rawat Inap Terhadap Pelayanan
Perawat Di RSUD Tugurejo Semarang. Tesis, UNDIP, Semarang.
Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik edisi revisi
VI. Jakarta: Rineka Cipta
Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baldursdottir, G. dan Jonsdottir, H. (2002). The importance of nurse caring
behaviors as perceived by patients receiving care at an emergency
department.
Heart
and
Lung
31
(1).
Retrieved
from
http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.se/
Benner, P.dan Wruble, J. (1989). The primacy of caring: stress and coping in
health and illness. Menlo Park, calif: Adison Wesley
Boyd, M.A. dan Nihart, M.A. (1998). Psychiatric Nursing Contemporary
Practice. Philadelphia: Lippincott
Bolderston, A., Lewis, D., Chai, M.J. (2010). The Concept of Caring: Perceptions
of Radiation Therapists. Radiography, 16, 198-208. Retrieved from
http://www.elsevier.com/
Brenda, S. dan Gregory D. (2000). Caring with The Simplest Acts. OERN Journal
71 (2). Retrieved from http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.s
Buzan, T. (2003). The Power of Spiritual Intelligence Sepuluh Cara jadi Orang
yang Cerdas secara Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cooper, R.K. dan Sawaf, A. (1997). Executive EQ: emotional intelligence in
leadership and organizations. New York: The Berkley Publishing Group.

Cholis, E.P. (2005). Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosional, Kecerdasan


Spiritual, Adversity Quotient, dengan Kinerja Perawat Instalasi Rawat
Darurat RS. Dr. Sardjito Yogyakarta. Skripsi. UGM, Yogyakarta.
Dwidiyanti, M. (2010). Caring. Retrieved from
psik/fk/meidiana/2010/06/04/konsep-caring/.

http://staff.undip.ac.id/

Dahlan, S.M. (2006). Statistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta:


Arkans.
Dawes, B.S. (2000). Caring With The Simple Acts. AORN Journal 71 (2): 317-8.
Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10707262
Estherlitta. (2004). Hubungan Tingkat Kecerdasan Spiritual dan Emosional
terhadap Kinerja Kepala Ruang Perawatan Rawat Inap di RS. Dr.
Sardjito Yogyakarta. Skripsi. UGM, Yogyakarta
Ferguson, F.J., Austin, E.J. (2010) . Associations of trait and ability emotional
intelligence with performance on Theory of Mind tasks in an adult sample.
Personality and Individual Differences; 49 : 414418. Retrieved from:
http:// www.elsevier.com/locate/paid.
Goleman, D. (2009). Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia Pustaka
Halim, A. (2000). Persepsi Pasien Atas Layanan Keperawatan Rawat Inap di
Rumah Sakit Umum kota Bekasi tahun 2000. Tesis, UI, Jakarta. Retrieved
from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Hamid, A.Y.S (2009). Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa.
Jakarta: EGC. Available from: http://books.google.co.id.
Harun, M.N. dan Jannis J.(2009). Otak Dan Penyiapan SDM. Retrieved from
http://www.pusatintelegensia.com/index.php?option=com_contentdantask
=viewdanid=53danItemid=2 .
Juliani, E. (2009). Hubungan Beban Kerja dengan Pelaksanaan Perilaku Caring
Perawat Pelaksana Menurut Persepsi Klien di Irna Lantai Jantung RS
Husada Jakarta. Tesis, UI, Jakarta. Retrieved from http://
www.garuda.dikti.go.id.
Khademian, Z. dan Vizeshfar, F. (2008). Nursing students perceptions of the
importance of caring behaviours. Journal of Advanced Nursing 61(4):45662. Retrieved from http ://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/18234042.

Kimble, L., Stanley, K., Welch, L., Hartley, L.A. (2003). Patients Perceptions of
Nurse Caring Behaviors in an Emergency Department. Tesis, Marshall
University,
Huntington.
Retrieved
from
http://
www.marshall.edu/etd/masters/kimble-lynn-2003-msn.pdf
Kusnanto. (2003). Pengantar Profesi Praktek Keperawatan Profesional. EGC:
Jakarta. Retrieved from: http://books.google.co.id.
Landa, J.M.A. dan Zafra, E.L. (2010). The Impact of Emotional Intelligence on
Nursing: An Overview. Psychology 1:50-58. Retrieved from
http://www.SciRP.org/journal/psych
Leininger M., McFarland M.R. (2002). Transcultural Nursing. USA: The Mc
Graw Hill
Lupiyoadi, R. dan Hamdani. (2008). Pemasaran Produk Jasa. Jakarta: Karya
Salemba Empat.
Malini, H., Sartika, D., Idianola, Edward Z. (2009). Hubungan Kecerdasan
Spiritual dengan Perilaku Caring Perawat di RS Dr. M Djamil Padang.
Artikel Ilmiah, Padang. Available from http:// www.unand.ac.id.
Morrison, P. dan Burnard, P. (2009). Caring and Communicating. Hubungan
Interpersonal dalam Keperawatan. Jakarta: EGC
Moss, M.T. (2005) . The Emotionally Intelligent Nurse Leader. John Wiley dan
Sons, Inc : San Francisco. Available: infolib.med.ugm.ac.id
Murhestriarso, H., (2009).Persepsi Pelanggan Terhadap Kualitas Pelayanan Rawat
Jalan Puskesmas Kecamatan di Kota Administrasi Jakarta Selatan
.Tesis, UI, Jakarta. Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nurachmah, E. (2001). Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit. Retrieved
from
http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnewsdankode=786dantbl=artikel
Nurachmah, E. (1997). Keperawatan Pasien Berpenyakit Kronis. Jurnal
Keperawatan Indonesia; 1(2). Retrieved from http://www.ui.ac.id/.
Ouesy, K., Johnson M. (2007). Being a Real Nurse Concepts of Caring and
Culture in The Clinical Areas. Nurse Education in Practice; 7: 150
155.
Retrieved
from
http://www.sciencedirect.com.lib.costello.pub.hb.se/.

Pasiak, T. (2002). Revolusi IQ/EQ/SQ: Antara Meurosains dan Al Quran.


Bandung: Mizan
Putri, S.O. (2010). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja.
Tesis,
USU,
Sumatera
Utara.
Retrieved
from
http://
www.garuda.dikti.go.id.
Rego, A., Godinho, L., Mc Queen, A., Cunha, M.P. (2007). Emotional
Intelligence and Caring Behavior in Nursing. Retrieved from
http://www.ibacnet.org/.
Robbins, S.P dan Coulter, M.K. (2007). Manajemen. Jakarta : Salemba Empat
Robbins, S.P. dan Judge, T.A. (2008). Perilaku Organisasi Organizational
Behavior Edisi 12. Jakarta: Salemba Empat.
Rosalina, W.L. (2008). Pengaruh Kecerdasan Emosional Perawat terhadap
Perilaku Melayani Konsumen dan Kinerja Perawat Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Indramayu. Jurnal ekonomi dan nisnis; 2 (3).
Retrieved from http://www.pdii.lipi.go.id /.
Sangkan, A. (2006). Berguru kepada Allah: Menghidupkan Kecerdasan
Emosional dan Spiritual. Jakarta: Penerbit Baitul Ihsan.
Sugiarto, E. (2009). Psikologi Pelayanan dalam Industri Jasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sugiyono (2007). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Supriatin, E. (2009). Hubungan Faktor Individu dan Faktor Organisasi dengan
Perilaku Caring Perawat di Instalasi Rawat Inap RSUD Kota Bandung.
Tesis, UI, Jakarta. Retrieved from http:// www.garuda.dikti.go.id.
Sukoco, B. (2002). Hubungan Beban Kerja dengan Semangat Kerja Perawat di
Ruang Bedah RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Skripsi. UGM,
Yogyakarta
Supriadi, B. (2006). Hubungan Karakteritik Pekerjaan dengan Pelaksanaan
Perilaku Caring oleh Perawat di Ruang Rawat Inap RS Islam
Samarinda.
Tesis,
UI,
Jakarta.
Retrieved
from
http://
www.garuda.dikti.go.id.
Suswatiningsih. (2009). Gambaran Dukungan Sosial Perawat Pada Pasien Rawat
Inap di Bangsal Bedah IRNA I RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Skripsi.
UGM, Yogyakarta

Sobirin, C. (2002). Hubungan Beban Kerja dan Motivasi dengan Penerapan


Perilaku Caring Perawat Pelaksana di RSUD Unit Swadana Kabupaten
Subang.
Tesis,
UI,
Jakarta.
Retrieved
from
http://
www.garuda.dikti.go.id.
Swanson, K.M. (1993). Nursing as Informed Caring for the Well-Being of Others.
IMAGE: Journal of Nursing Scholarship; 25 (4). Retrieved from http://
www.son.washington.edu./
Syahmuharis dan Shidarta, H. (2006). Transcendental Quotient. Jakarta:
Republika. Retrieved from: http://books.google.co.id.
Tasmara, T. (2006). Spiritual Centered Leadership. Jakarta: Gema Insani Press
Tommey, A. M. dan Alligood, M. R. (2002). Nursing Theorists and Their Work.
USA : Mosby. Retrieved from: http://books.google.co.id
Trihandini, F.M. (2005) Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan
Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan. Tesis,
Undip, Semarang. Retrieved from http://www.undip.ac.id.
Imawan, Sukidi. (2002). Rahasia sukses Hidup Bahagia. Kecerdasan Spiritual.
Mengapa SQ lebih Penting Dari IQ dan EQ. Retrieved from
http://books.google.co.id.
Watson, J. (2002). Assessing and Measuring Caring in Nursing and Health
Science. USA: Springer Publishing Company. Retrieved from
http://books.google.co.id.
Yang, K. dan Mao, X. (2007). A Study of Nurses Spiritual Intelligence: A CrossSectional Questionnaire Survey . International Journal of Nursing
Studies 44: 9991010. Retrieved from http://www.sciencedirect.com/.
Yulisetiarini, D. (2007). Pengaruh Persepsi Pasien Terhadap Loyalitas Dengan
Variabel Perantara Kepuasan Pasien Pada Rumah Sakit. Bisma Jurnal
Bisnis dan Manajemen. Vol.1 Hal 64-65. Retrieved from http://
www.garuda.dikti.go.id.
Zohar, D dan Marshall. (2007). SQ Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.

Lampiran 1
INFORMED CONSENT
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Perawat dengan
Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

Yang bertanda tangan di bawah ini:


1. Calon subyek penelitian yang dipilih:
Nama:................................................................Alamat:................................
..................................................................................................No.KTP/Iden
titas:................................................................................Jenis
Kelamin:........................................................... Umur:......tahun
2. Peneliti yang memberi informasi penelitian:
Nama : Wiwit Dhika Sari
Alamat : Perum. Jambu Sari Jl.Delima IV/No. 36, Sleman
3. Saksi:
Nama:..........................................................Alamat:......................................
........................................Umur:............tahun
Hubungan

dengan

calon

subyek

penelitian:

teman/

keluarga/

lain-

lain.......................(lingkari yang sesuai). Dengan sesungguhnya serta sejujurnya,


telah berdiskusi, tanya jawab, atas informasi penelitian yang akan dilakukan, yang
memilih saya sebagai calon subyek penelitian, dalah hal: (Hitamkan bulatan,
informasi yang telah didiskusikan)
() Kuesioner Perilaku Caring Perawat menurut Persepsi Pasien
() Lain-lain:...............
Menyatakan, dengan sesungguhnya, bahwa melalui diskusi informasi-informasi
penelitian yang akan berlanjut selama masa penelitian, tanpa paksaan, tekanan,
dengan kesadaran dan pemahaman informasi dengan sukarela memberikan:
(Lingkari pernyataan yang dipilih)

1. PERNYATAAN BERSEDIA MENGIKUTI TATA LAKSANA PENELITIAN


TELAH DIDISKUSIKAN SEBAGAI SUBYEK PENELITIAN YANG
TERPILIH
Hubungan antara Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual dengan
Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap Cendana RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta
2. PERNYATAAN

MENOLAK

MENGIKUTI

TATA

LAKSANA

PENELITIAN YANG TERPILIH


Yogyakarta, ........................................ 2011

Subyek Penelitian

Saksi

(......................................)

(..................................)

Peneliti

(.......................................)

Lampiran 2
BLANGKO FORMULIR
MENGUNDURKAN DIRI/ BERHENTI SEBAGAI SUBYEK PENELITIAN
FORMULIR INFORMED CONSENT
Nama Institusi/ Rumah Sakit :............................................
Nama Bagian/Sub Bagian

:.............................................

Alamat Lengkap

:............................................

FORMULIR INFORMED CONSENT MENGENAI PENGUNDURAN DIRI /


BERHENTI SEBAGAI SUBYEK PENELITIAN
Hubungan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual Perawat dengan
Persepsi Pasien tentang Perilaku Caring Perawat di Ruang Rawat Inap
Cendana RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Calon subyek penelitian yang dipilih:
Nama:..................................................................Alamat:..............................
..................................................................................................No.KTP/Iden
titas:................................................................................Jenis
Kelamin:............................................................Umur: .....tahun
2. Peneliti yang memberi informasi penelitian:
Nama : Wiwit Dhika Sari,
Alamat : Perum. Jambu Sari Jl.Delima IV/No. 36, Sleman.
3. Saksi:
Nama:.............................................Alamat:...................................................
......................................................Umur

:................tahun

Hubungan dengan calon subyek penelitian: teman/ keluarga/lainlain.......................(lingkari yang sesuai). Dengan sesungguhnya serta sejujurnya,

telah berdiskusi, tanya jawab, atas informasi penelitian yang akan dilakukan, yang
memilih saya sebagai calon subyek penelitian, dalam hal: (Hitamkan bulatan,
informasi yang telah didiskusikan)
0 Kuesioner Perilaku Caring Perawat menurut Persepsi Pasien
() Kuesioner Kecerdasan Emosional untuk Perawat
() Kuesioner Kecerdasan Spiritual untuk Perawat
() Lain-lain:...............
Menyatakan dengan sesungguhnya, tanpa paksaan, tekanan, dengan kesadaran,
dan pemahaman informasi dengan suka rela, memberikan PERNYATAAN
PENGUNDURAN DIRI/ MENGHENTIKA TATA LAKSANA PENELITIAN

Subyek Penelitian

Yogyakarta, ........................................ 2011


Saksi

(............................................)

(........................................)

Peneliti

(...........................................)

Lampiran 3
Identitas Pasien

Isilah jawaban pada pertanyaan dibawah ini atau tanda check () pada kolom
jawaban yang Bapak/Ibu/Sdr/I pilih. Data ini akan dirahasiakan dan hanya dibaca
oleh peneliti.

No

Pernyataan

Jawaban

Nama

Umur

Jenis Kelamin

Pria

Pendidikan

Tidak sekolah

SD

SMP

PT

Lama Dirawat ( hari) di RS Sardjito

Frekuensi pernah dirawat (dalam 5


tahun terakhir)

.tahun
Wanita

SMA

..hari

........................................ kali

Lampiran 4

Identitas Responden Perawat

Nama

:.

Umur

:.

Jenis kelamin

:.

Pendidikan terakhir

:.

Status

:..

Lama kerja

:..
(mulai tahun.)

Lampiran 5

A. Kuesioner Kecerdasan Emosional untuk Perawat


Petunjuk Pengisian Kuesioner
Pernyataan 1- 14 terdapat empat alternatif jawaban: SS (Sangat Sesuai), S
(Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai).
Berialah tanda () pada :
SS (Sangat Sesuai)

: Berarti selalu Anda rasakan/ lakukan;

S (Sesuai)

: Berarti sering Anda rasakan/ lakukan;

TS (Tidak sesuai)

: Berarti tidak sesuai atau jarang sesuai dengan yang Anda


rasakan/ lakukan;

STP (Sangat Tidak Sesuai) : Berarti sangat tidak sesuai atau tidak pernah sesuai
dengan yang Anda rasakan/lakukan.
______________________________________________________________

No

Pernyataan

Jawaban
SS

Ketika saya kalah dalam permainan, saya


menjadi kehilangan kendali.

Saya menjadi marah ketika orang lain mengkritik


saya, bahkan jika saya merasa bahwa mereka
benar.

Sulit bagi saya untuk menerima kritik.

Saya terbiasa menyemangati diri sendiri untuk


berbuat sebaik mungkin sesuai kemampuan saya.

Saya melakukan sebaik mungkin semampu saya


untuk meraih apa yang saya inginkan

Saya membiasakan diri untuk mengatur tujuan


saya.

Saya mampu menenangkan diri saat saya sedang


panik.

TS

STS

Saya jarang marah/ panik dalam waktu yang lama.

Saya melakukan yang terbaik semampu saya


untuk memahami pendapat/ide orang lain.

10

Saya sangat memahami perasaan orang lain yang


dekat dengan saya.

11

Saya memahami atau membaca emosi dan


perasaan teman saya dengan melihat perilaku
mereka.

12

Kesedihan orang lain tidak mempengaruhi saya.

13

Ketika saya merasa sedih, saya mengetahui


penyebabnya.

14

Saya sangat tahu apa yang saya rasakan

B. Kuesioner Kecerdasan Spiritual untuk Perawat


Petunjuk Pengisisan Kuesioner :
Pernyataan 1- 20 terdapat empat alternatif jawaban: SS (Sangat Sesuai), S
(Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai).
Berialah tanda () pada :
SS (Sangat Sesuai)

: Berarti selalu Anda rasakan/ lakukan;

S (Sesuai)

: Berarti sering Anda rasakan/ lakukan;

TS (Tidak sesuai)

: Berarti tidak sesuai atau jarang sesuai dengan yang Anda


rasakan/ lakukan;

STP (Sangat Tidak Sesuai) : Berarti sangat tidak sesuai atau tidak pernah sesuai
dengan yang Anda rasakan/ lakukan.
No.
1

Pernyataan
Di saat-saat pelik, saya membuka dan melihat
kembali cerita-cerita, catatan, kajian, atau
pengajaran kebijaksanaan.

Jawaban
SS S TS SS

Saya memiliki amalan spiritual sehari-hari seperti


berdoa atau sembahyang yang nantinya dapat saya
gunakan untuk menghadapi tantangan hidup.

Saya dikendalikan oleh ketakutan.

Saya cenderung untuk berfikir tentang masa depan


atau masa lalu tanpa memikirkan masa sekarang.

Hidup saya merupakan anugerah dan saya


berusaha untuk melakukan hal yang terbaik setiap
waktu.

Saya memberikan rasa belas kasih kepada orang


lain

Tindakanku dibatasi oleh nilai-nilai yang saya anut


dan percaya.

Dalam suatu pembicaraan, saya berhenti sejenak


untuk berpikir kembali ke masa lalu, dan mengkaji
kembali situasi.

Saya menyadari adanya


kebijaksanaan atau
kesadaran diri yang tinggi pada diri saya, yang
saya gunakan sebagai tuntunan.

10

Saya dapat berpegang teguh pada kebenaran dan


memadukan berbagai sudut pandang yang tampak
bertentangan.

11

Saya memperoleh makna dari rasa sakit dan


penderitaan hidup

12

Penting bagi saya untuk menjadi benar.

13

Saya memperhatikan dan menghargai gairah dan


keindahan dalam kehidupan saya sehari-hari

14

Saya mendengarkan perasaan atau intuisi dalam


membuat pilihan keputusan penting

15

Saya mendengarkan baik-baik apa yang telah


dikatakan.

16

Saya berhati-hati dalam menggunakan kelima


panca indera saya saat melaksanakan tugas seharihari.

17

Saya hidup harmonis dengan kekuatan yang


lebih besar dari saya, yaitu kekuatan Tuhan, alam
semesta, sehingga dapat bertindak secara alami dan
tanpa paksaan.

18

Saya yakin dan percaya bahwa sesuatu yang terjadi


merupakan yang terbaik untuk saya

19

Saya ingin diperlakukan secara khusus.

20.

Saya merasa gembira melakukan semua aktivitas


saya.
Mohon periksa kembali kelengkapan jawaban yang telah diisi.
====Terima kasih====

Lampiran 6

Kuesioner Perilaku Caring Perawat Menurut Persepsi Pasien

Petunjuk Pengisian Kuesioner


Pernyataan 1- 20 terdapat empat alternatif jawaban: SL (Selalu), S (Sering), J
(Jarang), TP (Tidak Pernah). Berialah tanda () pada :
SL (Selalu) : berarti terus-menerus oleh perawat;
S (Sering) : berarti tidak selalu dilakukan atau sering
dilakukan oleh perawat;
J (Jarang) : berarti pernah dilakukan tetapi tidak kerap kali
dilakukan oleh semua perawat;
TP (Tidak Pernah) : berarti sama sekali tidak pernah dilakukan
oleh perawat.

No

Sikap/ Perilaku Perawat

Skor
SL

Perawat memperlakukan saya dengan sopan.

Perawat mempertahankan sikap santun .

Perawat memuji upaya saya untuk sembuh.

Perawat berbicara terlalu cepat sehingga tidak jelas.

Perawat menunjukkan sikap baik pada keluarga saya

Perawat memperkenalkan diri ketika pertama kali


bertemu saya.

Perawat

tidak

segera

membantu

ketika

saya

membutuhkan
8

Perawat memberi perhatian penuh ketika bersama

TP

saya
9

Perawat tidak serius mendengar ketika saya berbicara

10

Perawat menunjukkan sikap penuh kesabaran dalam


menghadapi keluhan saya

11

Perawat memberi kesempatan pada saya untuk


bertanya tentang penyakit saya

12

Perawat memberi penyuluhan kesehatan tentang


penyakit saya

13

Perawat kurang jelas dalam menjawab pertanyaan


yang saya ajukan

14

Perawat meyakinkan saya bahwa perawat bersedia


menjawab dan menjelaskan pertanyaan saya.

15

Perawat memperhatikan keamanan lingkungan di


sekitar saya.

16

Perawat melakukan tindakan dengan cepat

17

Perawat melakukan tindakan dengan tepat.

18

Perawat membantu memenuhi kebutuhan saya sesuai


dengan kemampuan atau ketidakmampuan saya
(misal: makan, minum, bab, bak, ganti pakaian, dll).

19

Sikap perawat membuat saya nyaman.

20

Perawat

memotivasi

saya

saat

menghadapi

kondisi/penyakit yang saya alami.

Mohon periksa kembali jawaban yang telah diisi.


====Terima kasih====

Lampiran 7
1. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Persepsi Pasien tentang
Perilaku Caring Perawat
rata2 caring
rata2 EQ
pasien
Spearman's rho rata2 EQ

Correlation
Coefficient

1.000

.339*

.037

38

38

.339*

1.000

.037

38

38

Sig. (2-tailed)
N
rata2 caring pasien Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

2. Hubungan Antara Kecerdasan Spiritual dengan Persepsi Pasien tentang


Perilaku Caring Perawat
rata2 caring
pasien

rata2 SQ
Spearman's rho

rata2 SQ

Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

rata2 caring pasien Correlation Coefficient


Sig. (2-tailed)
N

1.000

.247

.135

38

38

.247

1.000

.135

38

38

Anda mungkin juga menyukai