Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer

Vol. 2, No. 1, April 2014

Hubungan Hipertensi dan Penyakit Arteri Perifer Berdasarkan Nilai


Ankle-Brachial Index
Tessa Thendria,1 Ivan Lumban Toruan,2 Diana Natalia3
Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Departemen Penyakit Dalam, Rumah Sakit Umum Dokter Sudarso Pontianak
3
Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura, Pontianak
1

Abstrak
Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan penyakit vaskular yang memiliki morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Pasien dengan PAP memiliki resiko tinggi menderita infark miokard, stroke
iskemik dan kematian. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko PAP dan belum pernah
dilakukan penelitian tentang hipertensi dan PAP di RSU Dokter Soedarso Pontianak. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hipertensi dan PAP berdasarkan nilai ankle-brachial
index (ABI). Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan cross-sectional.
Sebanyak 58 sampel penelitian dipilih dengan teknik consecutive sampling berdasarkan kriteria
inklusi dan eksklusi. Data dikumpulkan dari wawancara, rekam medis, pemeriksaan tekanan darah
dan ABI. Diagnosis PAP ditegakkan jika ditemukan nilai ABI 0,9 pada salah satu kaki. Prevalensi
PAP pada pasien hipertensi ditemukan sebesar 21% (IK95% 11-31%). Kejadian PAP paling
banyak ditemukan pada kelompok umur 60-69 tahun yakni sebesar 48%. Terdapat hubungan yang
bermakna antara hipertensi dan PAP berdasarkan nilai ABI (p=0,000). Hipertensi berhubungan
dengan penyakit arteri perifer berdasarkan nilai ankle-brachial index.
Kata kunci: penyakit arteri perifer, faktor resiko, hipertensi, ankle-brachial index

Association between Hypertension and Peripheral Arterial Disease


Based on the Ankle-Brachial Index Value

Abstract
Peripheral arterial disease (PAD) is a vascular disease with high morbidity and mortality. Peoples
with PAD have higher incidence of myocardial infarction, ischemic stroke and death compared to
peoples without PAD. Hypertension is a risk factor for PAD and there hasnt been any research about
hypertension and PAD yet in RSU Dr Soedarso Pontianak. The aim of this study was to find out the
association between hypertension and peripheral arterial disease (PAD) based on the ankle-brachial
index (ABI) value. This research was an observasional study with cross-sectional design. A total
of 58 subjects aged 50 years were selected through a consecutive-sampling technique based on
research criterias. Data were collected from questionaires, medical records, blood pressure and the
ABI measurement. PAD was defined as the ABI 0,9 in either leg. The overall prevalence of PAD
in hypertension patients was 21% (95% CI 11-31%). There was a significant association between
hypertension and PAD based on ABI value (p= 0,000). Hypertension is closely associated with
peripheral arterial disease based on ankle-brachial index value.
Keyword: Peripheral arterial disease, risk factor, hypertension, ankle- brachial index

281

Tessa Thendria, Ivan Lumban Toruan, Diana Natalia

eJKI

Pendahuluan
Penyakit Arteri Perifer (PAP) adalah
gangguan vaskular yang disebabkan oleh
proses
aterosklerosis
atau
tromboemboli,
yang mengganggu struktur maupun fungsi
aorta dan cabang viseralnya serta arteri yang
memperdarahi ekstrimitas bawah.1 PAP mencakup
semua gangguan pada arteri non-koroner yang
memperdarahi ekstrimitas, arteri karotis, arteri
renalis, arteri mesenterika, aorta abdominalis serta
semua percabangan setelah keluar dari aorto
iliaka.2 PAP dapat melibatkan berbagai arteri lain,
namun secara klinis, PAP merupakan gangguan
pada arteri yang memperdarahi ekstrimitas bawah.3
Arteri yang terlibat adalah arteri aorto-iliaka (30%),
arteri femoralis dan poplitea (80-90%), arteri tibialis
dan peroneal (40-50%).4
Patogenesis utama PAP adalah aterosklerosis.
PAP merupakan bagian dari proses sistemik yang
melibatkan kelainan arteri multipel. Identifikasi PAP
pada satu arteri menjadi prediktor kuat adanya PAP
pada arteri lainnya, termasuk pada pembuluh darah
koroner, karotis dan serebral. Pasien dengan PAP
memiliki resiko tinggi mengalami infark miokard,
stroke iskemik hingga kematian.3 Pasien dengan
PAP memiliki resiko penyakit kardiovaskular 2
kali lebih besar dan resiko mortalitas 2-5 kali lebih
tinggi dibandingkan individu tanpa PAP.5
Gejala utama PAP adalah klaudikasio intermiten
yaitu sensasi nyeri, pegal, kram, baal, atau tidak
nyaman pada otot yang terjadi saat beraktivitas dan
menghilang dengan istirahat. Nyeri timbul karena
pasokan darah tidak dapat mencukupi kebutuhan
jaringan yang meningkat saat aktivitas.2 Klaudikasio
intermiten dapat terjadi pada satu kaki saja (40%) atau
mengenai kedua kaki (60%).4 Rasa nyeri biasanya
muncul pada sekelompok otot yang terletak distal
dari obstruksi arteri. Nyeri pada pantat, pinggul dan
paha merujuk kelainan pada segmen aorto-iliaka
sementara nyeri pada betis menunjukkan kelainan
segmen femoral dan popliteal.2
Faktor resiko klasik PAP adalah usia tua,
hipertensi, dislipidemia, diabetes mellitus, dan
merokok. Faktor resiko potensial lain adalah
peningkatan kadar c-reactive protein, fibrinogen,
homosistein, apolipoprotein b, lipoprotein a dan
viskositas plasma.4
Sekitar 2-5% pasien hipertensi memiliki resiko
menderita PAP dan 35-55% pasien dengan PAP
diketahui menderita hipertensi.6 Dibandingkan
faktor resiko lainnya, hubungan hipertensi dan
PAP tidak banyak dibahas di literatur. Beberapa
penelitian bahkan tidak memperoleh hubungan

bermakna antara hipertensi dan PAP. Studi Safar


dkk7 misalnya mendapatkan bahwa PAP tidak
berhubungan dengan hipertensi. Studi lain juga
tidak memperoleh hubungan bermakna antara
hipertensi dan PAP.8 Upaya deteksi PAP pada
pasien dengan hipertensi masih jarang dilakukan.
Pasien maupun klinisi seringkali meremehkan
gejala PAP. Hanya 49% klinisi yang mewaspadai
adanya gejala PAP pada pasiennya dan kurang
dari 25% pasien dengan PAP yang terdiagnosis
serta menjalani pengobatan.9
Kebanyakan pasien PAP (>50%) adalah
asimptomatik sehingga pemeriksaan dengan
ABI merupakan pemeriksaan penunjang yang
direkomendasikan oleh ACCF/AHA1 sebagai alat
diagnosis utama PAP. Diagnosis PAP dengan
menggunakan Ankle Brachial Index (ABI)
merupakan pemeriksaan yang mudah dilaksanakan
dalam praktek umum.9 ABI merupakan suatu tes
non-invasif, sederhana dan murah yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis PAP secara
objektif.10 ABI dapat mendeteksi lesi stenosis
minimal 50% pada pembuluh darah tungkai.11 Tes
ini memiliki sensititivitas 79-95% dan spesifisitas
95-96%.12 ABI merupakan perbandingan tekanan
darah sistolik pada pergelangan kaki terhadap
tekanan darah sistolik pada lengan. Nilai ABI normal
adalah 0.91-1.3 dan nilai ABI 0,9 menandakan
adanya PAP.1
Belum ada penelitian mengenai hipertensi dan
PAP pada masyarakat Indonesia khususnya di
Kalimantan Barat. Oleh karena itu, peneliti merasa
perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan
hipertensi dan PAP berdasarkan nilai ABI.
Bahan dan Metode
Penelitian ini merupakan studi observasional
dengan pendekatan cross-sectional terhadap
variabel terikat dan variabel bebas. Subjek yang
diikutsertakan dalam penelitian ini adalah pasien
usia 50 tahun yang berobat ke Poli Rawat
Jalan atau Rawat Inap Penyakit Dalam RSUD
Soedarso. Pengambilan sampel dilakukan dari
bulan September hingga November 2013. Sampel
diambil dengan non-probability sampling, yaitu
dengan cara consecutive sampling.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
menderita hipertensi dan bersedia mengikuti
penelitian. Kriteria eksklusi mencakup adanya luka
atau kecacatan pada lokasi pengukuran tekanan
darah, tromboflebitis atau edema pada ekstrimitas,
nilai ABI1,4, menderita diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, serta merokok.
282

Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer

Vol. 2, No. 1, April 2014

Sebanyak 58 orang subjek penelitian yang


memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian
dilakukan informed-consent sebelum mengisi
kuesioner yang berisi nama, usia, jenis kelamin,
riwayat penyakit dan kuesioner klaudikasio
intermiten Edinburgh. Kuesioner Edinburgh terdiri
dari 6 pertanyaan. Pertanyaan pertama menilai
ada tidaknya nyeri saat berjalan, pertanyaan
kedua menilai adanya nyeri saat berdiri atau
duduk, pertanyaan ketiga menilai apakah nyeri
timbul dengan berjalan menanjak, pertanyaan
keempat menilai timbulnya nyeri saat berjalan di
tempat datar, pertanyaan kelima menilai lamanya
nyeri, dan pertanyaan keenam bertujuan untuk
melokalisasi nyeri. Klaudikasio intermiten dianggap
positif jika semua jawaban sesuai dengan yang
disediakan pada kuesioner tersebut.
Setelah responden mengisi kuesioner kemudi-

an dilakukan pengukuran tekanan darah dan nilai


ABI. ABI diuukur pada kedua kaki dan diambil nilai
ABI yang paling rendah pada salah satu kaki. Nilai
ABI 0,9 menunjukkan diagnosis PAP. Instrumen
penelitian yang digunakan untuk pemeriksaan ABI
adalah Sfigmomanometer merkuri merek Riester tipe
sp-403 dan Vascular doppler ultrasound Hadeco
ES-101 EX 8 mHz. Pengolahan data dilakukan
dengan program komputer SPSS 20.0 Data akan
dianalisis secara univariat dan bivariat.
Hasil
Sebanyak 58 orang diambil sebagai sampel
penelitian. Subjek penelitian tersebut terdiri atas 43
pasien rawat jalan dan 15 pasien rawat inap. Usia
termuda subjek adalah 51 tahun sedangkan usia
tertua adalah 81 tahun.

Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian


Karakteristik Subjek Penelitian

Jumlah (n)

- 50-59

11

19

- 60-60

32

55

- 70

15

26

- Pria

33

57

- Wanita

25

43

- Positif

10

17

- Negatif

48

83

1. Usia

2. Jenis Kelamin

3. Kuesioner KIE

4. Derajat Hipertensi
- Terkontrol

14

24

(44)

(76)

Derajat 1

26

45

Derajat 2

18

31

- 1-5 tahun

28

49

- 6-10 tahun

21

36

- 11-15 tahun

10

- 16-20 tahun

- >20 tahun

- PAP

12

21

- Non-PAP

46

79

- Tidak Terkontrol

5. Lama Hipertensi

6. PAP

Tabel 1 menunjukkan kelompok usia yang paling


banyak dalam penelitian ini adalah 60-69 tahun yaitu
sebanyak 32 orang (55%). Pria lebih banyak menjadi

subjek penelitian daripada wanita yaitu sebanyak


33 orang (57%). Subjek penelitian yang memiliki
hasil positif untuk kuesioner klaudikasio intermiten
Edinburgh adalah 10 orang (17%).
283

Tessa Thendria, Ivan Lumban Toruan, Diana Natalia

eJKI

Kelompok
subjek
penelitian
terbanyak
menderita hipertensi derajat 1 yakni sebanyak 26
orang (45%). Sebagian besar subjek menderita
hipertensi selama 1-5 tahun yakni sebanyak 28
orang (48%). Subjek yang menderita PAP adalah

12 orang (21%) dan subjek yang tidak menderita


PAP adalah 46 orang (79%).
Pada penelitian
ini diperoleh kejadian PAP pada pasien dengan
hipertensi adalah sebesar 21%(IK 95%: 11-31%).

Tabel 2. Karakteristik Subjek Penelitian dengan PAP


Penyakit Arteri Perifer
Karakteristik

PAP (+)

Total

PAP (-)

- 50-59

17

20

11

19

- 60-60

48

25

54

32

55

- 70

35

12

26

15

26

- Pria

75

24

52

33

57

- Wanita

25

22

48

25

43

- Positif

42

11

10

17

- Negatif

58

41

88

48

83

- Terkontrol

16

12

26

14

24

- Tidak Terkontrol

(10)

(84)

(44)

(74)

(54)

(76)

Derajat 1

42

21

46

26

45

Derajat 2

42

13

28

18

31

- 1-5 tahun

25

25

54

28

48

- 6-10 tahun

33

17

37

21

36

- 11-15 tahun

25

10

- 16-20 tahun

17

- >20 tahun

1. Usia

2. Jenis Kelamin

3. Kuesioner KIE

4. Derajat Hipertensi

5. Lama Hipertensi

Tabel 2 menunjukkan kelompok usia terbanyak


yang menderita PAP adalah kelompok usia 60-69
tahun yakni sebanyak 7 orang (48%). Subjek yang
menderita PAP terdiri atas 9 orang pria (75%) dan
3 orang wanita (25%). Kejadian PAP ditemukan
lebih banyak pada pria dibandingkan wanita. Dua
belas pasien dengan PAP berdasarkan nilai ABI
abnormal yang mengisi kuesioner hanya diperoleh
5 pasien (42%) yang menunjukkan gejala positif
berdasarkan kuesioner tersebut.
Pasien PAP paling banyak berada pada
kelompok hipertensi tidak terkontrol yakni sebanyak
10 orang (84%) yang terdiri atas masing-masing 5
orang (42%) menderita hipertensi derajat 1 dan
derajat 2. Sebagian besar penderita PAP menderita
hipertensi selama 6-10 tahun (33%).

Pengujian dengan uji Chi-Square membuktikan


terdapat hubungan yang bermakna antara
hipertensi dan PAP (p<0,05). Berikut disajikan tabel
hasil uji analisis mengenai hubungan hipertensi
dan PAP.
Pembahasan
Pada penelitian ini diperoleh prevalensi PAP
pada responden 50 tahun dengan hipertensi
adalah 21% (IK95%:11-31%). Hasil ini lebih rendah
dari penelitian Luo dkk13 yang memperoleh 27,5%
kejadian PAP pada responden dengan hipertensi.
Hasil ini lebih tinggi dari hasil penelitian Yang dkk14
di China yang memperoleh prevalensi PAP sebesar
8,7% dari total 4.726 responden dengan hipertensi.
Survei NHNES12 tahun 1999-2000 di Amerika
284

Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer

Vol. 2, No. 1, April 2014

Serikat mendapatkan prevalensi PAP pada subjek


dengan hipertensi sebesar 2,2%.
Berdasarkan data penelitian, kelompok umur
yang paling banyak menderita PAP adalah kelompok
umur 60-69 tahun berjumlah 7 orang (22%),
kemudian umur 70 tahun berjumlah 3 orang (20%)
dan umur 50-59 tahun berjumlah 2 orang (18%).
Hasil ini mendekati hasil penelitian Chaniago15 yang
memperoleh bahwa PAP paling banyak ditemukan
pada kelompok usia 61-70 tahun (5,7%), diikuti oleh
kelompok usia 70 tahun (2,9%) dan tidak dijumpai
pada subjek berusia 40-50 tahun.
Menurut ACCF/AHA1 usia tua adalah faktor
resiko utama menderita PAP. Resiko PAP
meningkat seiring dengan bertambahnya usia,
dari 3% pada usia <50 tahun hingga >20%
pada usia 70 tahun. Hubungan usia dan PAP
mencerminkan lebih panjangnya lama paparan
terhadap faktor-faktor aterogenik disertai efekefek kumulatif penuaan pada pembuluh darah.16
Proses penuaan secara alami menyebabkan
pembuluh darah orang tua lebih rentan mengalami
aterosklerosis. Sel-sel radang, sel endotel dan sel
otot polos pembuluh darah pada orang tua berbeda
dibandingkan sel-sel pada orang dengan usia
lebih muda.17 Penuaan menyebabkan perubahan
dalam potensi proliferasi sel, proses apoptosis dan
kerusakan DNA. Jumlah NO dan respon vaskular
terhadap NO menurun seiring bertambahnya usia.
Penurunan NO menyebabkan gangguan relaksasi
pada pembuluh darah.18 Sel endotel dan sel otot
pembuluh darah pada orang tua mensekresi
sitokin proinflamasi yang menyebabkan inflamasi
persisten pada pembuluh darah. Lapisan intima
dan media pembuluh darah pada proses penuaan
terus mengalami remodeling berupa peningkatan
deposisi kolagen dan degenerasi elastin sehingga
pembuluh darah kehilangan elastisitasnya dan
menjadi kaku.17
Pada penelitian ini pria lebih banyak menderita
PAP (27%) dibandingkan wanita (12%). Dari 12
subjek yang menderita PAP berdasarkan nilai ABI, 9
orang berjenis kelamin pria (75%) dan 3 orang yang
berjenis kelamin wanita (25%). Hasil penelitian ini
mendekati penelitian Egogrova dkk19 memperoleh

rasio perempuan dan laki-laki yang menderita PAP


adalah 46% berbanding 54% (p= 0.0001). Studi oleh
Vavra dkk20 juga menyimpulkan prevalensi rata-rata
PAP pada wanita adalah 13,4% dan lebih rendah
dibandingkan pria yakni sebesar 15,6%.
Jenis kelamin pria merupakan salah satu faktor
resiko PAP.1 Pria lebih rentan mengalami proses
aterosklerosis dibandingkan wanita. Hormon estrogen
memilki properti vasoprotektif yang mencegah
proses aterosklerosis pada wanita. Mekanisme
vasoproteksi estrogen belum sepenuhnya dimengerti
dan diduga diperantarai oleh efek estrogen terhadap
NO, profil lipid dan efek antiinflamasi.21 Estrogen
mempengaruhi kadar dan aktivitas NO. Wanita
memilki respon relaksasi dan vasodilatasi pembuluh
darah yang lebih baik dibandingkan pria.20 Estrogen
meningkatkan kerja antioksidan, menurunkan
kadar LDL dan meningkatkan kadar HDL, serta
memiliki efek anti-inflamasi. Estrogen juga memacu
pertumbuhan endotel baru, menghambat proliferasi
sel otot polos pembuluh darah.21 Hormon estrogen
diduga bekerja menghambat aterogenesis melalui
berbagai mekanisme tersebut.
Pada penelitian ini, dari 12 pasien dengan
PAP berdasarkan nilai ABI abnormal yang
mengisi kuesioner diperoleh 5 pasien (42%) yang
menunjukkan gejala positif dan 7 orang (58%)
dengan gejala negatif. McDermott dkk22 juga
mendapatkan hanya 10-30% pasien dengan PAP
yang memiliki gejala khas klaudikasio intermiten.
Prevalensi klaudikasio intermiten pada pasien 50
tahun berkisar antara 2-7% pada pria dan 1-2%
pada wanita. Jumlah pasien PAP sesungguhnya
diperkirakan 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan
pasien PAP dengan klaudikasio intermiten.23 Studi
Rabia dkk24 memperoleh kuesioner klaudikasio
intermiten Edinburgh memiliki sensitvitas yang
rendah yakni hanya sebesar 25%. Keluhan PAP
seringkali tidak khas sehingga menyebabkan
kekeliruan diagnosis sebagai penyakit neurologis
atau muskular. Pasien PAP dengan keluhan nyeri
atipikal seringkali mengalami osteoarthritis, arthritis
panggul, stenosis spinal atau herniasi nukleus
pulposus yang terjadi bersama dengan PAP
sehingga menutupi gejala khas PAP itu sendiri.22
285

Tessa Thendria, Ivan Lumban Toruan, Diana Natalia

eJKI

Pada penelitian ini pasien PAP paling banyak


berada pada kelompok hipertensi tidak terkontrol
yakni sebanyak 10 orang (84%) yang terdiri
atas masing-masing 5 orang (42%) menderita
hipertensi derajat 1 dan derajat 2. Derajat hipertensi
mempengaruhi kejadian PAP. Setiap peningkatan
10mmHg tekanan darah sistolik meningkatkan
resiko PAP sebesar 1,3 kali (IK95% 1,2-1,5).7 Pasien
dengan PAP diketahui lebih sedikit mendapatkan
terapi antihipertensi dibandingkan pasien dengan
PJK. Rendahnya identifikasi dan terapi hipertensi
pada pasien PAP menyebabkan kontrol hipertensi
pada pasien PAP seringkali tidak adekuat.25
Penelitian ini memperoleh bahwa penderita
PAP paling banyak ditemukan pada mereka yang
menderita hipertensi selama 6-10 tahun (33%). Lama
hipertensi pada responden mungkin sesungguhnya
lebih lama dari hasil yang diperoleh karena pasien
dengan hipertensi seringkali terlambat mengetahui
adanya hipertensi pada dirinya karena hipertensi
merupakan penyakit yang asimptomatik.26 Plak
aterosklerosis telah berkembang sejak awal
kehidupan dan semakin menebal seiring lamanya
pajanan dan efek kumulatif oleh faktor resiko. Lesi
awal ateroma umumnya tidak menimbulkan gejala
dan perkembangannya biasanya membutuhkan
waktu bertahun-tahun hingga terbentuk suatu plak
ateroma matang yang bermakna secara klinis.
Lama menderita hipertensi menunjukkan lamanya
proses aterogenesis akibat hipertensi berlangsung.
Semakin lama pajanan terhadap faktor-faktor
resiko semakin besar progesifitas aterosklerosis.26
Hasil penelitian setelah dilakukan uji chi-square
untuk mencari hubungan antara hipertensi dan
PAP memperoleh nilai p sebesar 0,000 (p<0,05)
(Tabel 3). Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara hipertensi
dengan PAP. Hasil ini sesuai dengan studi oleh
Yang dkk14 di China memperoleh hubungan antara
hipertensi dan PAP (p=0,004) dengan nilai OR 1,58
(IK95% 1,16-2,16). Framingham Offspring Study27
memperoleh hubungan antara hipertensi dan PAP
dengan OR 1,2 (IK 95%. 1,4-3,5).
Mekanisme hipertensi menyebabkan PAP
belum sepenuhnya dimengerti. Hipertensi dapat
mempengaruhi kejadian PAP melalui perannya
dalam perkembangan aterosklerosis. Hipertensi
merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis
melalui berbagai mekanisme antara lain disfungsi
sel endotel, inflamasi, penurunan kadar NO dan
abnormalitas faktor hemostasis yang dimediasi
oleh peningkatan ANG-II serta ET-1 pada pasien
dengan hipertensi.28

Tekanan darah yang tinggi menyebabkan


arteri berdilatasi dan teregang berlebihan sehingga
dapat mengakibatkan cedera pada endotel.
Disfungsi endotel menyebabkan abnormalitas
tonus otot polos pembuluh darah, proliferasi sel
otot polos pembuluh darah, gangguan koagulasi
dan fibrinolisis serta inflamasi persisten.29
Hipertensi terkait dengan ketidak-imbangan
hemostasis. Pasien dengan hipertensi memiliki
kadar fibrinogen, PAi-1, tPA, fibrinogen dan
trombomodulin yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu normotensi sehingga pasien
dengan hipertensi lebih rentan terhadap proses
aterotrombotik. Mekanisme gangguan hemostasis
pada hipertensi belum sepenuhnya dimengerti,
namun diduga disebabkan oleh shear stress,
disfungsi endotel dan aktivitas Ang-II.52-53 Ang-II
menstimulasi ekspresi berlebihan dari PAi-1 yang
menyebabkan gangguan fibrinolisis.30
Pada hipertensi, kadar dan aktivitas AngII serta ET-1 meningkat. Ang-II menyebabkan
vasokonstriksi, retensi natrium, sekresi aldosteron,
fibrosis,
proliferasi
selular,
pembentukan
superoksida, inflamasi dan trombosis.31 Ang-II
menstimulasi konversi NADPH/NADH di endotel,
sel otot polos dan adventisia pembuluh darah
menjadi ROS. Peningkatan ROS mengakibatkan
disfungsi endotel, proliferasi dan inflamasi.31-32
ROS menyebabkan hambatan sintesis dan
peningkatan degradasi NO yang dibutuhkan untuk
vasodilatasi dan relaksasi dinding pembuluh
darah.33 Reaksi ROS dan NO akan membentuk
ONOO- yang merupakan metabolit toksik terhadap
endotel.30 Ang-II memicu upregulasi ET-1, molekul
adesi, nuclear factor-B (NF-B) dan mediator proinflamasi lainnya. ET-1 juga memicu vasokonstriksi,
proliferasi, inflamasi, pembentukan ROS dan
aktivasi trombosit yang ikut menyumbang dalam
proses aterosklerosis.34
Tujuan terapi pada PAP adalah mencegah
progresifitas penyakit kardiovaskular, mencegah
amputasi tungkai dan meningkatkan kualitas
hidup pasien.35 Tata laksana PAP mencakup
modifikasi faktor resiko, terapi latihan dan terapi
farmakologi. Modifikasi faktor resiko antara lain
dengan menghentikan kebiasaan merokok,
pengaturan diet, olahraga, kontrol tekanan
darah, glukosa darah serta profil lipid plasma.35
ACC/AHA1 merekomendasikan target tekanan
darah <140/80mmHg pada semua pasien PAP
dan <130/80mmHg untuk pasien PAP yang
disertai dengan diabetes serta penyakit ginjal
kronik. Pasien dengan DM ditargetkan mecapai
286

Hubungan Hipertensi dengan Penyakit Arteri Perifer

Vol. 2, No. 1, April 2014

kadar glukosa darah terkontrol yang ditandai


dengan kadar HbA1C <7%.1 NCEP ATP III36
merekomendasikan target penurunan LDL <70mg/
dL dan TG <150mg/dL. Terapi latihan dianjurkan
untuk pasien PAP simptomatik. Terapi latihan
dianjurkan selama 30-45 menit untuk setiap
sesinya dan dilakukan setidaknya 3 kali setiap
minggunya hingga 12 minggu.1 Terapi farmakologi
mencakup penggunaan antiplatelet seperti aspirin
dan klopidogrel serta cilostazole dan pentoxifyline
untuk meringankan gejala klaudikasio intermiten.1
Semua jenis antihipertensi dapat digunakan
untuk terapi PAP.37 ACCF/AHA1 merekomendasikan
antihipertensi lini pertama untuk pasien PAP adalah
ACE-i. Efektifitas penggunaan ACE-i pada PAP
terkait dengan hambatan kerja angiotensin secara
langsung disamping efeknya terhadap penurunan
tekanan darah.32 Penggunaan -blocker tidak
terbukti memperburuk gejala klaudikasio intermiten
namun tidak direkomendasikan sebagai obat lini
pertama untuk hipertensi pada PAP1.
Morbiditas dan mortalitas PAP secara umum
terkait dengan viabilitas tungkai, kualitias hidup dan
resiko komplikasi penyakit kardiovaskular serta
serebrovaskular. Sebagian besar gejala tungkai
pada pasien PAP (70-80%) tetap stabil setelah 5
tahun dan hanya 1-2% yang memburuk menjadi
CLI. Hanya 1-2% pasien CLI yang menjalani
amputasi setiap tahunnya.38 Pasien dengan PAP
memiliki komplikasi kardiovaskular lebih bermakna
dibandingkan komplikasi pada tungkainya sendiri.
Pasien dengan PAP memiliki resiko mortalitas 5
tahun mencapai 20%. Nilai ABI yang rendah pada
pasien hipertensi meningkatan 2-5 kali lipat resiko
kematian akibat penyakit kardiovaskular.13

In: Arend WP, editors. Cecil Medicine,23rd. New York:


Elsevier; 2008.
4. Crager MA and Joseph L. Vascular disease of the
extrimities. In: editors. Harrisons principles of internal
medicine, vol.2. 18th ed. New York: McGraw-Hill
Companies; 2012. p. 988-1003.
5. Fowkes FGR, Murray GD, Butcher I, Heald CL, Lee
RJ, Chambless LE, et al. A meta-analysis: anklebrachial index combined with framingham risk score
to predict cardiovascular events and mortality. JAMA.
2008;300:197-208.
6. Powell TM. The relatively importance of systolic
versus diastolic blood pressure control and incident
symptomatic in peripheral arterial disease women.
Vasc Med. 2011;16:239.
7. Safar ME, Priollet P, Luizy F, Mourad JJ, Cacoub P,
Levesque H, et al. Peripheral arterial disease and
isolated systolic hypertension: the atttest study. J Hum
Hypertens. 2009;23:182-7.
8. Makin A, GYH Lip, S Silverman, Beevers DG. Review:
peripheral vascular disease and hypertension: a forgotten
association. J Hum Hypertens. 2011;15:447-54.
9. Coen DAS. Review: peripheral arterial disease a
growing problem for the internist. European Journal of
Internal Medicine. 2009;20:132-8.
10. Kim ESH, Keattiyoat W, Heather LG. Using the ankle
brachial index to diagnose peripheral artery disease
and assess cardiovascular risk. Cleveland Clinic
Journal of Medicine. 2009;79:651-61.
11. Cacoub P, Cambou JP, Kownator S, et al . Prevalence
of peripheral arterial disease in high risk patients using
ankle-brachial index in general practice. J Clin Pract.
2009;63(1):63-70.
12. Selvin E and Thomas PE. The prevalence of and
risk factors for peripheral arterial disease in the
united states: result from the national health and
nutrition examination survey, 1999-2000. Circulation.
2004;110:738-43.
13. Luo YY, Li J, XIn Y, Zheng LQ, Yu JM and Hu DY. Risk
factors of peripheral arterial disease and relationship
between low ankle-brachial index and mortality from
all-cause and cardiovascular disease in patient with
hypertension. J Hum Hypertens. 2007;21:461-466.
14. Yang, XM, Sun K, Wei LZ, Zhang W, Hai YW, Rui
TH. Prevalence and risk factors for peripheral arterial
disease in the patients with hypertension among han
chinese. J Vas Surg. 2007;46:296-302
15. Chaniago, LS. Penyakit arteri perifer pada sindroma
metabolik [tesis]. Medan: Universitas Sumatra Utara;
2007.
16. Hirsch AT, Criqui MH, Jacobson D, Judith GR, Mark
AG, Jeffrey WO, et al. Peripheral arterial disease
detection, awareness and treatment in primary care.
JAMA. 2001;286:1317-24.
17. Wang JC and Martin B. Aging and atherosclerosis:
mechanism, functional consenquences and potential
therapeutics for cellular senescene. Circulation
Research. 2012;111:245-59.

Kesimpulan
Prevalensi PAP pada pasien hipertensi adalah
sebesar 21%(IK95%: 11-31%). Terdapat hubungan
yang bermakna antara hipertensi dan penyakit
arteri perifer berdasarkan nilai Ankle-Brachial Index
(ABI) (p<0,05).
Daftar Pustaka

1. American College of Cardiology Foundation/American

2.
3.

Heart Association (ACCF/AHA). Pocket guideline:


management of patient with peripheral artery disease
(lower extrimity, renal, mesenteric and abdominal
aortic). Am Coll Cardiol. 2011:58:2020-45.
Antonio, Dono I, Dasnan I. Dalam: Sudoyo AW, editors.
Penyakit arteri perifer dalam ilmu penyakit dalam. Ed
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009:386:1831-6.
Hiatt WR. Atherosclerotic peripheral arterial disease.

287

Tessa Thendria, Ivan Lumban Toruan, Diana Natalia

eJKI

18. Al-Shaer MH, Chouneiri NE, Correai ML, Sinkey

28. Bennet PC, Silberman S, P.Gill. Hypertension

CA, BarenzaTA, Haynes WG. Effect of aging


and atherosclerosis on endothelial and vascular
smooth muscle function in humans. Int J Cardiol.
2006;109(2):201-6.
19. Egogrova N, Ageliki GV, Jacquelyn Q, Stephanie G,
Alan M, Michael M, et al. Analysis of gender-related
differences in lower extremity peripheral arterial
disease. J Vasc Surg. 2010:51:372-9.
20. Vavra AK and Melina RK. Women and peripheral
arterial disease. Womens Health. 2009;5(6):669-683
21. Villablanca AC, Muthuvel J, Carole B. Atherosclerosis
and sex hormone: current concept. Clinical Science.
2010;119:493-513.
22. McDermott MM. The magnitude of the problem of
peripheral arterial disease: epidemiology and clinical
significance. Cleveland Clinic Journal of Medicine.
2006;73(4):S2-7.
23. Criqui MH. Peripheral arterial disease: epidemiological
aspect. Vascular Medicine 2001; 6:3-7.
24. Rabia K and Khoo EM. Is edinburgh claudication
questionaire a good screening tool for detection of
PAD in diabetic patient? Asia Pasific Journal of Family
Medicine. 2007;6:1.
25. Hirsch AT, P Timothy, Lovel MP, Gwen T, Diane TJ,
Eileen MH, et al. Gaps in public knowledge of peripheral
arterial disease : the first national PAD public awareness
survey. Circulatio. 2007;116:2086-94.
26. Kabo P. Bagaimana menggunakan obat-obat
kardiovaskular secara rasional. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010.
27. Murabito JM, Evans JC, Mieto K, Larson MG, Levy
D, Wilson PW. Prevalence and clinical correlates of
peripheral arterial disease in Framingham Offspring
Study. Am Heart J. 2002;143(6):961-5.

and peripheral arterial disease. Journal of Human


Hypertension. 2009;23:213-5.
29. Pepine CJ and Eileen NM. The vascular biology
of hypertension and atherosclerosis and therapy
with calcium antagonist and angiotensin-converting
enzyme. Clin Cardiol. 2001;24(V):1-5.
30. Weiss D, Sorescu D, Taylor WR. Angiotensin II and
aterhosclerosis. Am J Cardiol. 2001;25C-32C.
31. Virdis A, Emiliano D, Stefano T. Oxidative stress and
vascular damage in hypertension: role of angiotensin
II. International Journal of Hypertension. 2011;1-7.
32. Ferrario CM. Renin angiotensin system as a
therapeutic target in managing atherosclerosis. Am J
Ther. 2004;44-53.
33. Mukophadhyay J, Monodeep B, Jayeeta B.
Hypertension and atherosclerosis: the cardiovascular
risk continuum. Medicine Update. 2011.
34. Bohm F, John P. The importance of endothelin-1
for vascular dysfunction in cardiovascular disease.
Cardiovascular Research. 2007; 76:8-18.
35. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler KA, Fowkes
FGR, et al. Inter-Society Consensus Document on
Management of Peripheral Arterial Disease (TASC). J
Vas Surg. 2007;45(1S):5-63.
36. National Cholestrol Education Program (NCEP) Expert
Panel. Executive Summary of detection, evaluation
and treatment of high blood cholesterol in adult (Adult
Treatment Panel III). JAMA. 2001;285: 2486-97.
37. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, William CC, Lee
AG, Joseph LI, et al. The seventh report of the joint
national committee on prevention, detection, evaluation,
and treatment of high blood pressure. 2004.
38. Olin JW and Brett AS. Peripheral arterial disease:
current insight into the disease and its diagnosis and
management. Mayo Clin Proc. 2010;85(7):678-92

288

Anda mungkin juga menyukai