Anda di halaman 1dari 163

Kepentingan Umum dalam Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (Kajian

Terhadap Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman)


1. Latar Belakang Masalah
Salah satu Perjanjian yang dicapai melalui Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade
Organization, yang selanjutnya disingkat dengan WTO) adalah Perjanjian tentang
Aspek-Aspek Hak Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan (Trade Related
Aspects of Intellectual Property Rights untuk selanjutnya disingkat TRIPs).1 Melalui
TRIPs negara-negara maju menghendaki agar pengaturan perlindungan dan
penegakan aturan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya
disingkat dengan HKI) dilakukan dalam kerangka sistem perdagangan dunia. Dengan
demikian pengaturan dan penegakan aturan di bidang HKI tunduk pada prinsipprinsip GATT (General Agreement on Tariff and Trade) yang menjadi dasar
Persetujuan Pembentukan WTO, yaitu prinsip National Treatment,2 Most Favoured
Nations3 dan Transparency.4 Prinsip National Treatment, menentukan bahwa
pemegang HKI dari negara lain akan mendapatkan perlindungan yang sama dengan
pemegang HKI warga negara dari negara anggota WTO. Prinsip Most Favoured
Nations menentukan perlakuan yang sama terhadap pemegang HKI dari negaranegara lain. Prinsip transperancy mengharuskan negara-negara anggota WTO lebih

Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia melalui


UU No.7 Tahun 1994. Konsekuensi dari meratifikasi Persetujuan ini, termasuk Perjanjian mengenai
TRIPs di dalamnya, setiap negara yang meratifikasi diwajibkan untuk menyesuaikan semua peraturan
perundang-undangan di bidang HKI dengan pengaturan yang ada dalam TRIPs.
2

Pasal 3 TRIPs
3

Pasal 4 TRIPs
4

Pasal 41 TRIPs

terbuka dalam pengaturan dan pelaksanaan perundangan-undangan nasional dalam


bidang perlindungan HKI.
Secara umum Perjanjian dalam TRIPs meliputi: ketentuan mengenai jenis
HKI, standar minimum perlindungan atau rincian ketentuan mengenai ruang lingkup
perlindungan tersebut harus dilakukan oleh negara peserta, ketentuan mengenai
pelaksanaan kewajiban perlindungan HKI, ketentuan mengenai kelembagaan, dan
ketentuan mengenai penyelesaian sengketa.5 Dalam standar perlindungan minimum,
Perjanjian tersebut menetapkan norma-norma dan standar substantif minimum
terhadap HKI sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian-perjanjian atau
konvensi-konvensi yang sudah ada yang berada di bawah naungan World Intellectual
Property Organization (selanjutnya disingkat WIPO). Di samping itu Perjanjian
tersebut juga mewajibkan negara anggota untuk meratifikasi konvensi mengenai
perlindungan HKI yang terkait. Perjanjian ini juga menentukan bahwa negara
penandatangan konvensi di bidang HKI dapat memberlakukan perlindungan yang
melebihi dari yang diharuskan oleh Perjanjian dalam ketentuan nasionalnya dengan
syarat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam Perjanjian, atau
memberlakukan peraturan yang ekstra teritorial. Hal ini dapat digunakan sebagai
sumber penekanan untuk meningkatkan perlindungan umum terhadap HKI melalui
tindakan resiprositas.6
Persetujuan GATT, termasuk TRIPs, merupakan negosiasi dan tarik-menarik
kepentingan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Perjanjian
akhir yang telah dicapai diasumsikan telah merepresentasikan kepentingan negaranegara maju dan negara-negara berkembang, misalnya, ketentuan yang tercermin
5

H.L.M.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: UI Press, 1997, hlm.
253-276.
6

H.OK.Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hlm.35.

tujuan dan prinsip-prinsip TRIPs. Dalam Article 7 TRIPs tentang tujuan TRIPs,
ditentukan bahwa perlindungan dan pelaksanaan HKI harus memberikan kontribusi
pada pemajuan inovasi teknologi dan pengalihan serta penyebaran teknologi untuk
kemanfaatan timbal balik dari pihak yang menghasilkan pengetahuan teknologi dan
pengguna pengetahuan teknologi dengan cara yang mendukung untuk kesejahteraan
sosial dan ekonomi, dan untuk menyeimbangkan hak-hak dan kewajiban. Demikian
pula pada Article 8 tentang Prinsip-prinsip TRIPs, ditentukan bahwa negara-negara
anggota dapat, dalam merumuskan atau mengamandemen ketentuan-ketentuan hukum
dan

peraturan-peraturannya,

mengambil

langkah-langkah

yang

perlu

untuk

melindungi kesehatan dan nutrisi publik, dan untuk mengedepankan kepentingan


publik dalam bidang-bidang yang sangat penting untuk pengembangan sosio-ekonomi
dan teknologinya dengan syarat langkah-langkah tersebut sesuai dengan Perjanjian
TRIPs.
Demikian pula ditentukan bahwa negara-negara anggota dapat mengambil
langkah-langkah yang tepat, dengan syarat langkah-langkah tersebut sesuai dengan
ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian TRIPs, yang diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan HKI oleh para pemegangnya atau timbulnya praktik-praktik yang
secara tidak wajar menghalangi perdagangan atau secara bertentangan memengaruhi
alih teknologi internasional. Prinsip dan tujuan tersebut tercermin, misalnya, dalam
Article 30 mengenai Paten7 yang memberikan kemungkinan bagi negara-negara
anggota untuk memberikan pembatasan-pembatasan secara terbatas terhadap hak-hak
ekslusif yang diberikan kepada pemegang paten, sepanjang pengecualian-

Pasalnya ini sering dijadikan dasar untuk pengaturan Lisensi Wajib dalam perundang-undangan paten
nasional negara-negara anggota WTO. Di samping dimungkinkan dilakukannya Lisensi Wajib, juga tidak
berlakunya hak ekslusif dalam hal paten tersebut berkaitan dengan kepentingan umum, penelitian dan
pengembangan, demikian pula jika pemerintah suatu negara ingin melaksanakan sendiri paten tersebut.

pengecualian itu tidak bertentangan dengan pemanfaatan yang wajar dari paten dan
secara tidak wajar merugikan kepentingan-kepentingan yang sah dari pemegang
paten, dan mempertimbangkan kepentingan yang sah dari pihak-pihak ketiga.8
Tujuan dan prinsip-prinsip TRIPs tersebut juga tercermin dalam pengaturan
HKI dalam perundang-undangan Indonesia. Misalnya, di dalam Pasal 16 UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (selanjutnya disebut UU No.14/2001),
yang mengatur hak eksklusif Pemegang Paten, ditentukan bahwa hak eksklusif untuk
melaksanakan Paten dan melarang pihak lain untuk menggunakan Paten tidak berlaku
dalam hal penggunaan Paten tersebut untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
percobaan, atau analisis sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pemegang Paten. Demikian pula dalam Pasal 99 s/d Pasal 103 UU Paten diatur
mengenai Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah yang memungkinkan Pemerintah
melaksanakan Paten dengan alasan sangat penting artinya bagi pertahanan keamanan
Negara dan merupakan kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan masyarakat.
Ketentuan yang serupa juga terdapat dalam Pasal 10 UU No.29/2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman (selanjutnya disingkat dengan UU PVT), yang
mengecualikan sebagai pelanggaran hak eksklusif Pemegang PVT dalam hal
penggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk
tujuan komersial; penggunaan varietas yang dilindungi untuk kegiatan penelitian,
pemuliaan tanaman, dan perakitan varietas baru; dan penggunaan oleh Pemerintah
atas varietas yang dilindungi dalam rangka kebijakan pengadaan pangan dan obatobatan dengan memperhatikan hak-hak ekonomi dari pemegang hak PVT.

Ketentuan serupa juga terdapat dalam Article 13 TRIPs yang mengatur tentang pembatasan dan
pengecualian dalam perlindungan Hak Cipta, Article 17 tentang pengecualian perlindungan terhadap Merek,
Article 26 (2) tentang pengecualian terhadap perlindungan Desain Industri, dan Article 9 Konvensi Roma 1961
tentang Perlindungan Varietas Tanaman Baru (International Convention for The Protection of New Varieties of
Plants UPOV).

Demikian pula dalam ketentuan UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta


(selanjutnya disingkat dengan UU Hak Cipta) juga dikenal pembatasan terhadap hak
eksklusif Pemegang Hak Cipta. Hal ini diatur dalam Pasal 14 s/d Pasal 18 UU Hak
Cipta yang mengatur tentang Pembatasan Hak Cipta.
Di samping itu dalam HKI dikenal juga prinsip exhaustion right (hak yang
maksimal) sebagaimana diatur dalam article 6 TRIPs. Article ini menentukan bahwa
For the purpose of dispute settlement under this agreement, subject to the
provisions of Article 3 and 4 nothing in this agreement shall be used to address the
issue of the exhaustion of intellectual property rights. Dengan demikian, tujuan
penyelesaian sengketa dalam TRIPs tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan isu HKI
secara keseluruhan, kecuali yang diatur dalam prinsip National Treatment (article 3)
dan prinsip Most-Favourerd Nations (article 4). Berdasarkan prinsip exhaustion right
pemegang HKI hanya memiliki kontrol pada saat penjualan pertama kali dan haknya
dianggap sudah menyeluruha atau maksimal setelah penjualan pertama tersebut.
Dalam penjualan pertama dianggap yang bersangkutan telah memperoleh kompensasi
yang layak, sehingga yang bersangkutan telah memperoleh kompensasi yang layak.
Dengan demikian yang bersangkutan tidak dapat menggunakan hak ekskulisifnya
untuk melarang penjualan selanjutnya terhadap karya intelektualnya. 9
Jika melihat tujuan dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam TRIPs dan
ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan nasional di bidang HKI, sekilas
dapat disimpulkan bahwa secara normatif terdapat adanya keseimbangan pengaturan
antara kepentingan perlindungan hak eksklusif pemegang HKI dan kepentingan
perlindungan pengguna HKI dan kepentingan publik. Namun tidak dipungkiri bahwa
9

Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Surabaya: Airlangga
University Press, 2007, hlm. 46

dalam pelaksanaannya prinsip kepentingan umum ini masih jauh dari yang
diharapkan.10
Jika asas kepentingan umum benar-benar telah menjiwai TRIPs, maka sekitar
sembilan juta orang di negara berkembang tidak harus mengalami kematian yang
mengenaskan karena penyakit-penyakit menular. Hal ini terjadi karena tidak
terjangkaunya harga obatan-obatan.11 Bahkan dikatakan bahwa TRIPs adalah
perjanjian yang paling kontroversial dalam WTO, karena ketentuan-ketentuan Paten
telah dikaitkan dengan biaya perawatan kesehatan yang meningkat, biaya yang sulit
dijangkau oleh negara-negara berkembang.12
10

Banyak pembahasan mengenai keberlakuan lisensi wajib (compulsory licensing) dalam praktik,
antara lain oleh Ms. Sumana Chatterjee, Flexibilities Under Trips [Compulsory Licensing]: The
Pharmaceutical Industry In India And Canada, SSRN: http://ssrn.com/abstract =1025386; Cameron
Hutchison, Over 5 Billion Not Served: The TRIPS Compulsory Licensing Export Restriction, SSRN:
http://ssrn.com/abstract =1012625; Peter K. Yu,
TRIPS and Its Discontents, SSRN:
http://ssrn.com/abstract = 578577; Professor Hans Henrik Lidgard and Professor Jeffery Atik
Facilitating Compulsory Licensing under TRIPS in Response to the AIDS Crisis in Developing
Countries, SSRN: http://ssrn.com/abstract =794228.
11

Anupam Chander & Madhavi Sunder, Is Nozick Kicking Rawlss Ass? Intellectual Property and
Social Justice, UC Davis Legal Studies Research Paper Series Research Paper No. 108 May/2007, p.
567. http://ssrn.com/abstract=982981. Sebagai perbandingan Maskus menyatakan bahwa:
Perlindungan paten terhadap obat-obatan tidak mendorong banyaknya penelitian dan pengembangan
secara global untuk menemukan pengobatan atau vaksin bagi penyakit-penyakit endemik seperti
malaria, tuberkolosis, dan AIDS di negara-negara miskin. Semua penelitian global untuk penanganan
infeksi HIV ditujukan untuk orang-orang yang berada di negara-negara maju. Hampir tidak ada satupun
yang ditujukan untuk penyakit endemik yang terjadi di negara-negara Pegurunan Selatan Afrika dan
Asia Selatan, di mana terdapat banyak penyakit endemik tersebut. Baca Keith E. Maskus, Intellectual
Property Rights in the Global Economy,Washington: Institute For International Economics, 2000 .
hlm.229.
12

Peter Drahos, An Alternative Framework for the Global Regulation of Intellectual Property
Rights, Forthcoming publication in Austrian Journal of Development Studies, p.7., SSRN:
http://ssrn.com/abstract =850751. Bandingkan, Thomas W. Pogge, Relational Conceptions of Justice:
Responsibilities for Health Outcomes yang termuat dalam Sudhir Anand, Fabiene Peter, and Amartya
Sen (Editors), Public Health, Ethics, and Equity, Oxford University Press, 2004, pp.135-159, yang
salah satu pandangannya mengenai keadilan berkaitan dengan kesehatan adalah bahwa kekuatan
pertimbangan-pertimbangan moral untuk mencegah dan mengurangi kondisi-kondisi medis tidak hanya
bergantung pada faktor-faktor yang bersifat distribusi, seperti bagaimana parahnya orang-orang yang
terpengaruh oleh kondisi-kondisi ini dalam jangka waktu yang absolut dan relatif, berapa biaya yang
diperlukan untuk pencegahan dan penanganan dan berapa banyak pasien yang merasakan manfaat dari
pengobatan tertentu. Namun itu juga bergantung pada faktor-faktor yang bersifat relasional, yaitu
bagaimana keterkaitan kita dengan kondisi-kondisi medis yang diderita mereka. Berdasarkan faktorfaktor relational, menurut Pogge, negara maju juga bertanggung jawab atas kondisi-kondisi kesehatan
di negara-negara berkembang jika negara-negara maju tersebut berkontribusi dalam menciptakan
kondisi-kondisi tersebut. (hlm..135,139-140)

Dalam konteks Perlindungan Varitas Tanaman, betapa perusahaan-perusahaan


bibit multinasional, seperti Monsanto, berusaha untuk memonopoli teknologi
pertanian, yang pada gilirannya merupakan perintang yang besar bagi para ilmuwan
negara berkembang dalam mengakses teknologi pertanian (tanam-tanaman) yang baru
dan juga dalam mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman yang menggunakan
teknologi baru.13 Monsanto telah banyak merugikan petani kecil dan miskin melalui
penguasaan teknologi rekayasa genetika di bidang pertanian, dengan membuat rekayasa
genetika terhadap bibit-bibit tanaman yang telah ada sebelumnya dan menuntut petani
yang melanggar hak-hak Monsanto atas paten rekayasa genetika bibit-bibit tersebut. 14

Standar minimum perlindungan hukum yang diatur dalam TRIPs ternyata


tidak memenuhi kepentingan negara-negara maju. Hal ini membuat negara-negara
maju menghendaki standar perlindungan yang tegas, yang dikenal dengan standar
TRIPs plus melalui perjanjian-perjanjian investasi, perdagangan, dan treati-treati
WIPO, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada negara-negara berkembang. 15
Melalui TRIPs plus ini negara-negara maju dapat menghilangkan pembatasan13

A. Santosa, Upaya Monsanto memanfaatkan TRIPs sebagai alat monopoli produk pertanian,
http://publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/295/760, hlm.3.
14

Ibid. hlm.7. Dalam konteks Indonesia bisa dilihat pada kasus PT.BISI melawan Tukirin. Lihat
Nurul Barizah, Intellectual Property Implications on Biological Resources Indonesias Adoption of
International Intellectual Property Regimes and the Failure to Adequately address the Policy
Challenges in the Area of Biological Resources, Jakarta: Nagara, 2010, note 89 at p.323. Salah satu
kasus yang menunjukkan dominasi perusahaan bibit multinasional Monsanto atas petani ini adalah
kasus Monsanto Canada Inc. v. Schmeiser (2004). Dalam kasus ini Monsanto dimenangkan dan
mengakibatkan Schmeiser kehilangan haknya untuk mengusahakan kanola yang telah
dikembangkannnya selama 50 tahun dan memusnahkan semua bibit kanola yang dimilikinya. Lihat
Monsanto Canada Inc. v. Schmeiser (2004) 1 S.C.R. 90,. 2004 SCC 34, 239 D.L.R. (4th) 271, 31 C.P.R.
(4th) 161.
15

Lihat Emmanuel Dalle Mulle, How human rights can inform the WIPO Development Agenda ,
2010 3D _ Trade Human Rights Equitable Economy, April 2010, hlm.8 sebagaimana yang diakses
dalam http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0
Interaksi antara perdagangan dan HKI serta akses pada obatan-obatan telah menyebabkan penerimaan
terhadap Deklarasi Doha tentang Perjanjian TRIPs dan Kesehatan Publik (Doha Ministerial
Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health). Deklarasi ini menegaskan bahwa perjanjian
TRIPS harus diinterpretasikan dan dilaksanakan dengan cara yang memungkinkan negara-negara untuk
mengambil langkah-langkah melindungi kesehatan publik dan mengedepankan akses pada obat-obatan.

pembatasan yang diakui dan dibolehkan dalam Perjanjian TRIPs dan membuat
pengaturan tersendiri, misalnya jangka waktu perlindungan HKI.

Hal ini pada

hakikatnya menunjukkan kelemahan dari pengaturan standar perlindungan minimum


dalam TRIPs.16 Kelonggaran-kelonggaran yang meliputi antara lain penundaan
implementasi Perjanjian TRIPs, lisensi wajib, penggunaan paten oleh pemerintah,
impor paralel, pengecualian terhadap hak-hak paten, pengecualian terhadap dapat
dipatenkannya suatu invensi dan batas-batas mengenai perlindungan data,
penggunaannya sering dibatasi melalui perjanjian bilateral dan perjanjian regional
serta tekanan-tekanan dari negara-negara yang kuat.17
Amerika serikat, misalnya, menekan Chili dan Singapura untuk mengadopsi
ketentuan-ketentuan

Digital

Millenium

Copyright

Act18

dalam

persetujuan

perdagangan bebas. Amerika juga memasukkan ketentuan-ketentuan yang melampaui


jangka waktu perlindungan Hak Cipta dalam persetujuan perdagangan bebas dengan
Singapura dan Australia, walaupun banyak dikritik oleh publik Amerika sendiri. 19
Dalam persetujuan perdagangan bebas dengan Australia

dan Maroko juga

dimasukkan larangan impor paralel terhadap obat-obatan generik yang murah. 20


Sementara itu, perlindungan yang penting untuk kepentingan publik, seperti previlese
16

Hal ini menimbulkan pemikiran untuk mengatur pemberlakuan standar perlindungan maksimum.
Gagasan ini antara lain dikemukakan oleh Annette Kur & Henning Grosse Ruse Khan, Enough is
Enough The Notion of Binding Ceilings in International Intellectual Property Protection, Max Planck
Institute for Intellectual Property, Competition & Tax Law Research Paper Series No. 09-01
http://ssrn.com/abstract=1326429.
17

Emmanuel Dalle Mulle, Ibid.


18

Lihat Peter K. Yu, Currents and Crosscurrents in the International Intellectual Property Regime ,
Legal Studies Research Paper Series No. 02-12 p.44, http://ssrn.com/abstract=578572; Sebagai
perbandingan lihat juga Peter K. Yu, Five Disharmonizing Trends in the International Intellectual
Property Regime, Legal Studies Research Paper Series Research Paper No. 03-28, p.17,
http://ssrn.com/abstract=923177
19

Peter K. Yu, Currents and Crosscurrents in the International Intellectual Property Regime, Ibid.

20

Ibid.

penggunaan yang wajar (fair use privilege) dalam Undang-Undang Hak Cipta
Amerika, tidak dimasukkan dalam persetujuan-persetujuan perdagangan bebas
tersebut.21
Dalam konteks Hak Cipta, masih belum adanya standar dalam menentukan
batasan penggunaan Hak Cipta orang lain tanpa merugikan kepentingan yang wajar
dari pemegang Hak Cipta masih sering menimbulkan masalah. Fleksibilitas yang
disediakan oleh Article 13 ketentuan TRIPs bagi anggota-anggota WTO untuk
melakukan pengeculian dan pembatasan ini masih menimbulkan permasalahan dalam
hal penafsiran. Dasar pembatasan dan pengecualian yang dikenal dengan three steps
test ini telah menyebabkan ketentuan pembatasan dan pengecualian dalam UndangUndang Hak Cipta Amerika Serikat diajukan ke panel WTO oleh Masyarakat Eropa
(EC).22 Penafsiran panel WTO terhadap three step test dalam Konvensi Bern dan
TRIPs sangat ekstensif, dan berpeluang mengenyampingkan pengecualian dan
pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta nasional, termasuk alasan
kepentingan umum.23
Gambaran di atas memperlihatkan betapa ketentuan-ketentuan TRIPs, dengan
syarat-syarat tertentu, yang sebenarnya memberikan kemungkinan bagi tiap negara
anggota WTO untuk melakukan upaya-upaya pembatasan dan pengecualian dalam
perundang-undangan HKI-nya terhadap hak eksklusif pemegang HKI, demi
21

Ibid.
22

Lihat putusan panel WTO WT/DS160/. Bandingkan dengan R.Henning Grosse Ruse Khan,
Policy Space For Domestic Public Interest Measures Under TRIPS, Research Paper 22 South Centre
July 2009, p. 20, http://ssrn.com/abstract=1542542 . Three steps test yang awalnya berasal dari Article
9 (2) Berne Convention yang kemudian diadopsi dalam Article 13, 17, 26 (2), dan 30 TRIPs dalam
penerapannya telah menyebabkan Undang-Undang Paten Canada, Undang-undang Hak Cipta Amerika
Serikat, dan Undang-undang Indikasi Geografis Uni Eropa diajukan ke panel WTO. Ibid.
23

Lihat Bruno de Vuyst, Alea M Fairchild, and Gunther Meyer, Exceptions to Intellectual Property
Rights: Lessons from WTO-Trips Panels, MurUEJL 31 Volume 10, Number 4 (December 2003).
Bandingkan dengan Christophe Geiger, The Role of The Three-Step Test In The Adaptation of
Copyright Law to The Information Society, e-Copyright Bulletin January - March 2007.

10

kepentingan masyarakatnya atau kepentingan umum, menjadi ketentuan yang lemah.


Ketentuan-ketentuan TRIPs tersebut menjadi tidak efektif karena dengan mudah
dikesampingkan oleh negara-negara maju melalui perjanjian bilateral atau Perjanjian
Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement, yang selanjutnya disingkat dengan FTA).
Hal ini juga memperlihatkan betapa pengutamaan hak eksklusif pemegang HKI, yang
memperlihatkan individualisme yang kuat, mengatasi kepentingan-kepentingan
negara berkembang atau negara tertinggal yang diakomodasi dalam TRIPs.
Undang-undang HKI nasional, termasuk Indonesia, yang mengakomodasi
kepentingan umum dalam ketentuan-ketentuannya, juga menjadi tidak efektif lagi
dengan adanya perjanjian bilateral atau FTA. Ada kemungkinan perjanjian bilateral
atau FTA di bidang HKI yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara maju, akan
mengabaikan prinsip-prinsip ekonomi yang terdapat UUD 1945 sebagai landasan
konstitusional dalam kegiatan ekonomi. Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 harus
dipahami sebagai kebijakan ekonomi tertinggi yang harus dijadikan acuan dan
rujukan dalam mengembangkan setiap kebijkan pembangunan ekonomi nasional. 24
Dalam perspektif Indonesia sama dengan mempertimbangkan kepentingan nasional
Indonesia. Kebijakan-kebijakan perekonomian, yang dituangkan dalam bentuk
undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, termasuk di bidang HKI, seharusnya
tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Filosofi individualisme,

yang

mendasari perjanjian bilateral atau FTA, akan bertentangan prinsip-prinsip ekonomi


UUD 1945 yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, yang menekankan adanya
keseimbangan kepentingan individu dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan
umum.
24

Undang-undang Dasar (UUD) 1945 merupakan konstitusi ekonomi karena secara tegas mengatur
kebijakan dasar di bidang ekonomi dan sosial. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta:
Kompas, 2010, hlm. xi.

11

Fakta-fakta tersebut di atas melahirkan isu hukum yang berkaitan dengan asas
kepentingan umum dalam ketentuan-ketentuan TRIPs, perjanjian internasional di
bidang HKI, maupun ketentuan-ketentuan hukum nasional di bidang HKI.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan isu hukum yang dijelaskan dalam latar belakang di atas, dapat diajukan
rumusan masalah sebagai berikut:
1.

Apakah hakikat kepentingan umum dalam perlindungan HKI?

2.

Apakah kepentingan umum merupakan landasan utama dalam perlindungan


HKI?

3.

Apakah kriteria minimum kepentingan umum dalam pengaturan HKI di


Indonesia?

3. Tujuan dan Manfaat Penelitian


3.1.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:


1. Untuk menganilisis dan menemukan hakikat

kepentingan umum dalam

perlindungan HKI.
2. Untuk menganalisis dan menemukan landasan utama dalam perlindungan HKI.
3. Untuk menganalisis dan menemukan kriteria minimum kepentingan umum dalam
pengaturan HKI di Indonesia.

3.2 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

12

1. Manfaat Teoretis
Memberikan sumbangsih dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan HKI
pada khususnya dalam menjelaskan eksistensi kepentingan umum dalam perlindungan
Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan pemahaman eksistensi kepentingan umum dalam perlindungan Hak
Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman, yang dapat digunakan sebagai dasar pemecahan
persoalan hukum yang terjadi pada saat ini ini dan di masa datang.
b. Membantu pembentuk undang-undang dalam melakukan revisi Undang-Undang
Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman.

4. Kerangka Teoretis
4.1 Hakikat Kepentingan Umum
Kepentingan umum adalah istilah atau rangkaian kata yang sering digunakan
atau terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Namun pengertian kepentingan
umum itu sendiri tidak pernah didefinisikan atau diberikan penjelasan. Hal ini karena
sulit untuk memberikan pengertian kepentingan umum itu sendiri. Definisi dan
hakikat kepentingan umum adalah bidang yang terus diperdebatkan di antara para ahli
dan praktisi administrasi negara.25 Walaupun tidak ada definisi atau pengertian
kepentingan umum yang dapat diterima secara universal, pengertian kepentingan
umum yang dikemukakan oleh beberapa sumber dapat digunakan sebagai pedoman
dalam menemukan pengertian kepentingan umum.

25

King, Stephen.M, Bradley S. Chilton, and Gary E. Roberts, Reflection on Defining the Public
Interest, http://m.aas.sagepub.com/content/41/8/954.abstract, diakses tgl.21 Juli 2012

13

Kepentingan umum (public interest) di dalam Blacks Law Dictionary


diartikan sebagai the general welfare of the public that warrants recognition and
protection dan something in which the public as a whole has a stake: especially, an
interest that justifies governmental regulation.26 Jika diartikan secara bebas, maka
kepentingan umum adalah kesejahteraan publik secara umum yang berhak atas
pengakuan dan perlindungan atau sesuatu di mana publik secara umum mempunyai
kepentingan; terutama kepentingan yang membenarkan adanya peraturan pemerintah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan
publik secara keseluruhan yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang
pengakuan dan perlindungannya dapat dituangkan dalam peraturan yang dibuat oleh
pemerintah.
Pengertian yang hampir sama juga dikemukakan dalam business dictionary,
yang menyatakan bahwa public interest (kepentingan umum) adalah welfare of the
general public (in contrast to the selfish interest of a person, group, or firm) in which
the whole society has a stake and which warrant recognition, promotion, and
protection by government and its agencies.27
Kepentingan umum juga dapat terkait dengan aktivitas pemerintah dalam
sektor publik, yang meliputi barang-barang publik, regulasi ekonomi, serta regulasi
sosial dan lingkungan.28 Menurut Maloney, barang-barang publik meliputi: a)
pertahanan nasional; b) pranata-pranata hukum, termasuk sistem hak kepemilikan dan
26

Bryan A. Garner, Chief Editor, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul : West
Publishing, 1999, hlm. 1244.
27

Business Dictionary.com dalam http://www.businessdictionary.com/definition/publicinterest.html


28

Lihat Maloney, The Theory of Government, A Study in Property Rights dalam


myweb.clemson.edu/maloney/827/19pdf (diakses 10 Juli 2012), hlm.1-3.

14

peradilan pidana; c) kesejahteraan, bantuan kemanusiaan, redistribusi pendapatan; d)


jalan tol, kanal, dan projek-projek pekerjaan publik lain, seperti retribusi sungai; e)
pendidikan; f) pelayanan penduduk kota seperti air, perlindungan kebakaran,
pembuangan sampah, dan pengumpulan sampah.29 Regulasi ekonomi bertujuan untuk
mencegah pasar ekonomi tidak dimonopoli. 30 Sedangkan regulasi sosial dan
lingkungan meliputi bidang seperti tenaga kerja anak-anak, kekejaman terhadap
binatang, kondisi kerja, kesusilaan umum, dan lainnya yang serupa dengan ketentuan
barang-barang publik. Sementara regulasi adalah bentuk khusus dari ketentuan hak
kepemilikan.31
Dalam kaitannya dengan Hak Kekayaan intelektual, menurut Steven D. Jamar,
kepentingan umum (public interest) dapat ditinjau dari penentuan ruang lingkup
domain publik dan yang non- domain publik pada hak kekayaan intelektual. 32
Sedangkan domain publik menurut Pamela Samuelson dapat didefinsikan sebagai a
sphere in which contents are free from intellectual property rights.33 Sementara yang
termasuk non-domain publik adalah pembatasan dan pengecualian terhadap
penggunaan hak eksklusif dalam HKI. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
salah satu perwujudan kepentingan umum dalam HKI adalah ketentuan-ketentuan
pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif pemegang hak.
Kepentingan umum pada dasarnya telah diatur dalam berbagai peraturan di
bidang HKI dan bidang-bidang hukum lainnya, walaupun tidak selalu dengan
29

Ibid, hlm.1-2

30

Ibid, hlm.2
31

Ibid.

32

Steven D. Jamar, Copyright and The Public Interest from The Prespective of Brown v. Board
of Education, Howard Law Journal Winter 2005, 48 How.L.J, hlm. 640.
33

Ibid. hlm. 636.

15

mengggunakan istilah kepentingan umum. Namun, konsep kepentingan umum dalam


berbagai peraturan tersebut tidak jelas atau tidak menjelaskan makna kepentingan
umum itu sendiri.
Dalam hal Hak Cipta, misalnya, dalam UU No. 19/2002 tidak ditemukan
istilah kepentingan umum sebagai dasar pembatasan Hak Cipta, tetapi menggunakan
istilah kepentingan masyarakat luas. Hal ini sebagaimana yang terlihat dalam
konsideran huruf c UU No.19/2002 yang menyatakan bahwa peningkatan
perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak Terkait dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat luas. Namun disayangkan bahwa definisi dari istilah
kepentingan masyarakat luas tersebut tidak ditemukan dalam keseluruhan naskah UU
No. 19/2002. Tidak adanya penjelasan pengertian istilah kepentingan masyarakat luas
ini dapat menimbulkan persoalan dalam penerapan undang-undang Hak Cipta ini.
Istilah kepentingan masyarakat luas dapat diidentikkan dengan kepentingan
umum, hal ini dengan merujuk pada UU No. 16/2004 jo.UU No. 5/1991 tentang
Kejaksaan RI, yang dalam Pasal 35 (c) menentukan: Jaksa Agung mempunyai tugas
dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasan
pasal tersebut menyatakan Kepentingan Umum sebagai kepentingan bangsa/negara
dan/atau kepentingan masyarakat luas. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa
kepentingan umum adalah indentik dengan kepentingan negara, kepentingan
bangsa atau kepentingan masyarakat secara luas.
Jika mengacu kepada undang-undang sebelumnya yaitu dalam UU No.6/1982,
istilah yang memiliki pengertian yang sepadan dengan istilah kepentingan masyarakat
luas adalah kepentingan umum. Pembatasan Hak Cipta menurut UU No. 6/1982
secara tegas dapat dilakukan dengan argumentasi kepentingn umum. Penjelasan
umum UU No. 6/1982 angka 2 menyatakan bahwa:

16

walaupun dalam Pasal 2 ditentukan bahwa Hak Cipta adalah hak khusus
tetapi sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, maka ia mempunyai fungsi sosial dalam arti ia dapat dibatasi
untuk kepentingan umum.
Hal ini dapat kiranya dilihat:
a.

pada kemungkinan membatasi Hak Cipta demi


kepentingan umum/nasional dengan keharusan memberikan ganti
rugi pada penciptanya (Pasal 16);

Kepentingan umum digunakan sebagai dasar pembentuk undang-undang untuk


melakukan pembatasan Hak Cipta, tetapi pengertian istilah kepentingan umum tidak
ada dalam undang-undang tersebut. Pembatasan Hak Cipta ditentukan tetapi dasar
untuk memberikan pembatasannya tidak secara eksplisit dapat dipahami. Hampir
dapat dipastikan bahwa pembentuk undang-undang dalam memberikan pembatasan
Hak Cipta dalam pasal-pasal UU No.6/1982 didasarkan pada suatu pengertian istilah
kepentingan umum yang asumtif.
Penggunaan istilah lain dari kepentingan umum juga terlihat dalam konsideran
huruf b UU No.14/2001 yang menyatakan bahwa yang diperlukan dalam rangka
menciptakan iklim persaingan usaha yang jujur serta memperhatikan kepentingan
masyarakat pada umumnya. Namun seperti halnya UU No.19/2001, tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai pengertian kepentingan masyarakat pada umumnya.
Demikian pula dalam Pasal 7 huruf a yang menentukan bahwa Paten tidak diberikan
untuk Invensi tentang proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan. Namun tidak penjelasan lebih

17

lanjut apa yang dimaksud dengan ketertiban umum. Dalam penjelasan Pasal tersebut
hanya dinyatakan cukup jelas.
Hal yang sama juga terlihat dalam UU No. 29/2000. Undang-undang ini
memang tidak menggunakan kata kepentingan umum atau masyarakat luas, namun
menggunakan kata ketertiban umum.34 Dalam penjelasan Pasal 3 tersebut dijelaskan
bahwa Yang dimaksud dengan varietas tanaman yang penggunaannya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesehatan, kesusilaan, dan
lingkungan hidup, misalnya tanaman penghasil psikotropika, sedangkan yang
melanggar norma agama misalnya varietas yang mengandung gen dari hewan yang
bertentangan dengan norma agama tertentu. Penjelasan tersebut hanya memberikan
contoh tanaman yang dipandang bertentangan dengan ketertiban umum, tetapi
pengertian ketertiban umum itu sendiri tidak dijelaskan.
Istilah kepentingan umum dapat ditemui di dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya di Indonesia mulai dari zaman Belanda sampai
sekarang. Pada zaman Hindia Belanda telah dikenal pengertian kepentingan umum
dengan istilah algemeen belang (a.l. pas. 37 KUHD), openbaaar belang (a.l.
dalam S 1906 no.348), ten algemeeene nutte (a.l. pas.570 KUHPerd) atau publiek
belang (a.l. dalam S 1920 no.574).35
Peraturan perundang-undangan setelah kemerdekaan juga banyak memuat
istilah kepentingan umum. Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang tentang Pajak
Penghasilan,36misalnya, dalam penjelasan Pasal 4 Ayat 3 I menyatakakan bahwa
34

Pasal 3 UU No.29/2000 menentukan bahwa Varietas yang tidak dapat diberi PVT adalah
varietas yang penggunaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
ketertiban umum, kesusilaan, norma-norma agama, kesehatan, dan kelestarian lingkungan hidup.
35

Sudikno Mertokusumo, dalam sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kepentingan-umum.html.


Diakses 10 Juli 2012.
36
Undang-undang ini telah diubah dan ditambah dengan diundangkannya UU No. 36 Tahun
2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

18

usaha-usaha yang semata-mata untuk kepentingan umum harus memenuhi syaratsyarat: 1. semata-mata bersifat sosial dalam bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan
dan kebudayaan; 2. semata-mata bertujuan membantu meningkatkan kesejahteraan
umum. Pasal ini mengatur mengenai pembebasan pajak terhadap subjek hukum yang
menyelenggarakan kepentingan umum. Kriteria subjek pajak yang menyelenggarakan
kepentingan umum ditentukan dalam undang-undang ini, tetapi istilah kepentingan
umum sendiri tidak diberikan penjelasan. Penjelasan pasal ini konkret bahwa usahausaha yang menyelenggarakan kepentingan umum meliputi bidang kegiatan khusus
yang telah ditentukan.
Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga
mengatur kepentingan umum. Dalam penjelasan Pasal 49 b dikatakan bahwa
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan
masyarakat bersama dan/atau kepentingan pembangunan, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Demikian pula dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda
Cagar Budaya. Dalam Pasal 4 Ayat (1) ditentukan bahwa kepentingan umum harus
dapat menunjang pembangunan nasional di bidang ilmu pengetahuan, pendidikan,
pariwisata dan lain-lain.
Kepentingan umum juga diatur dalam Pasal 138 Ayat (3) huruf c dan 146 Ayat
(1) huruf a UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pada intinya Pasal 138
Ayat (3) huruf c menentukan bahwa pemeriksaan terhadap Perseroan Terbatas dapat
diajukan oleh Kejaksaan demi kepentingan umum.37 Penjelasan Pasal 138 Ayat (3)
Penghasilan. Istilah Kepentingan Umum dalam undang-undang ini telah dihapuskan.
37
Sejalan dengan ketentuan tersebut adalah Pasal 2 Ayat (2) Undang-undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menentukan bahwa
Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat juga diajukan oleh Kejaksaan demi
kepentingan umum.

19

UU No.40/2007 menyatakan cukup jelas. Pengaturan dalam pasal tersebut dari sisi
subjeknya pemohon memang telah jelas yaitu bahwa permohonan pemeriksaan
terhadap Perseroan Terbatas dapat diajukan oleh Kejaksaan, namun demikian dari sisi
alasan permohonan pemeriksaan tidak konkret dan tidak jelas yaitu kepentingan
umum. Pasal 146 Ayat (1) huruf a menyatakan bahwa Perseroan Terbatas dapat
dibubarkan jika melanggar kepentingan umum atau peraturan perundangan-undangan.
Kedua pasal tersebut di atas dalam penjelasannya dinyatakan cukup jelas, namun
tetap saja tidak ada kejelasan dari sisi alasan yang sebenarnya lebih substantif
sifatnya.
Peraturan terbaru yang memberikan pengertian kepentingan umum adalah
Undang-Undang No.2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Dalam Pasal 1 Angka 6, kepentingan umum diberikan
pengertian sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus
diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Dalam Pasal 10 ditentukan bahwa tanah untuk kepentingan umum adalah
tanah yang digunakan untuk pembangunan:
a. pertahanan dan keamanan nasional;
b. jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi
kereta api;
c. waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan
sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya;
d. pelabuhan, bandar udara, dan terminal;
e. infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi;
f. pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
g. jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah;.hukumonline.comhw
h. tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
i. rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah;
j. fasilitas keselamatan umum;
k. tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah;
l. fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
m. cagar alam dan cagar budaya;
n. kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa;
o. penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan
untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
p. prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah;
q. prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan

20

r. pasar umum dan lapangan parkir umum.

Dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan


dengan kepentingan umum di atas, terlihat betapa luasnya pengertian yang terkandung
dalam kepentingan umum.

Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan

masyarakat luas, berapa luaskah? Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan
rakyat banyak, berapa banyakkah? Kalau kepentingan umum itu adalah kepentingan
Bangsa dan Negara apakah kepentingan umum itu sama dengan kepentingan
Pemerintah dan apakah setiap kepentingan Pemerintah adalah kepentingan umum?
Sedemikian luasnya pengertian kepentingan umum sehingga segala macam kegiatan
dapat dimasukkan dalam kegiatan demi kepentingan umum.
Dari ketentuan-ketentuan di atas juga terlihat bahwa perumusan pengertian
kepentingan umum dilakukan melalui kata-kata yang umum dan melalui daftar
peruntukan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Michael B. Kitay,
bahwa perumusan kepentingan umum dapat dilakukan melalui pedoman umum
(general guide) dan ketentuan-ketentuan daftar (list provisions), walaupun dalam
praktik kedua pendekatan tersebut sering dikombinasikan..38
Menurut Maria W. Sarjono, konsep kepentingan umum selain harus memenuhi
peruntukannya juga harus dapat dirasakan kemanfaatannya (socially profitable
atau for public use, atau actual use by the public).39 Selanjutnya ditambahkan oleh
Oloan Sitorus, bahwa selain peruntukannya dan kemanfaatannya, juga harus ada

38

Michael G. Kitay dalam Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum, (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004), hlm.8 sebagaimana dikutip dalam
Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 68-69.
39

Maria W. Sarjono, Telaah Konseptual terhadap Beberapa Aspek Hak Milik, Sebuah Catatan untuk
Chadijdjah Dalimunte, sebagaimana dikutip dalam Adrian Sutedi, Ibid., hlm.69.

21

siapakah yang dapat melaksanakan kepentingan pembangunan untuk kepentingan


umum dan sifat dari pembangunan kepentingan umum tersebut.40
Kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan
untuk dipenuhi dan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan
dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya. 41 Di dalam masyarakat terdapat
banyak sekali kepentingan, baik perorangan maupun kelompok, yang harus dihormati
dan dilindungi. Di sinilah tindakan Pemerintah harus ditujukan kepada pelayanan
umum, memperhatikan dan melindungi kepentingan orang banyak (kepentingan
umum). Memang itulah tugas Pemerintah, sehingga kepentingan umum merupakan
kepentingan atau urusan Pemerintah. Mengingat demikian banyak dan beragamnya
kepentingan di dalam masyarakat, maka dari sekian banyak kepentingan tersebut
harus dipilih dan dipastikan ada kepentingan-kepentingan yang harus didahulukan
atau diutamakan dari kepentingan-kepentingan yang lain. Penentuan kepentingan
yang satu lebih penting dari kepentingan lainnya dilakukan dengan menimbangnimbang bobotnya secara proporsional (seimbang) dengan tetap menghormati
masing-masing kepentingan dan kepentingan yang menonjol itulah yang merupakan
kepentingan umum.42
Tindakan Pemerintah dalam menentukan kepentingan mana yang lebih penting
atau utama dari kepentingan-kepentingan lain itu tentu harus berdasarkan hukum dan
mengenai sasaran atau bermanfaat. Kepentingan umum adalah kepentingan yang
harus

didahulukan

dari

kepentingan-kepentingan

yang

lain

dengan

tetap

40

Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, sebagaimana
yang dikutip dalam Adrian Sutedi, Ibid.
41

Sudikno, Loc.cit.
42

Ibid.

22

memperhatikan proporsi pentingnya dan tetap menghormati kepentingan-kepentingan


lain. Hal ini tidak berarti bahwa ada tingkatan atau hierarkhi yang tetap antara
kepentingan yang termasuk kepentingan umum dan kepentingan lainnya. Mengingat
akan perkembangan masyarakat atau hukum, maka apa yang pada suatu saat
merupakan kepentingan umum pada saat lain

bukan merupakan kepentingan umum. Makam yang merupakan bidang kepentingan


umum (UU No.2/2012) pada suatu saat nanti dapat digusur untuk kepentingan umum
yang lain.
Jika kepentingan umum merupakan kepentingan (urusan) Pemerintah, maka
dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepentingan Pemerintah belum tentu atau
tidak selalu merupakan kepentingan umum. Kepentingan (urusan) Pemerintah ada
kalanya harus mengalah terhadap kepentingan lain (kepentingan umum). Secara
teoretis dapatlah dikatakan bahwa kepentingan umum merupakan resultante hasil
menimbang-menimbang sekian banyak kepentingan di dalam masyarakat dengan
menerapkan kepentingan yang utama menjadi kepentingan umum. Secara praktis dan
konkret akhirnya diserahkan kepada hakim untuk menimbang-nimbang kepentingan
mana yang lebih utama dari kepentingan yang lain secara proporsional (seimbang)
dengan tetap menghormati kepentingan-kepentingan yang lain.43
Apa yang dikemukakan Sudikno di atas sejalan dengan pemikiran Pound.
Pound membedakan kepentingan (interest) dalam tiga kategori, yaitu individual
interests (claims or demands or desires involved immediately in the individual life
and asserted in title of that life), public interests (claims or demands or desires
involved in life in a politically organized society and asserted in title of that
43

Ibid.

23

organization), dan social interests (claims or demands or desires involved in social


life in civilized society and asserted in title of that life). 44 Menurut Pound, tidak ada
tingkatan yang tetap untuk ketiga kepentingan tersebut. Kepentingan tertentu mungkin
diprioritaskan pada saat tertentu dari pada yang lainnya, demikian pula kepentingan
lainnya harus diutamakan pada saat lainnya.45
Julius Stone, dalam The Province and Function of Law secara meyakinkan
telah membuktikan bahwa apa yang disebut dengan public interest melebur dalam
social interest atau individual interest atau dalam usaha negara mencari keseimbangan
di antara interests (kepentingan-kepentingan) tersebut. Dengan demikian secara sosiolegal: kepentingan umum adalah suatu keseimbangan antara kepentingan individu,
masyarakat, penguasa serta negara. Secara yuridis, kepentingan umum dapat berlaku
sepanjang kepentingan tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif maupun
hukum yang tumbuh hidup dan berkembang di dalam masyarakat yang penerapannya
bersifat kasuistis. Sedangkan secara sosiologis, kepentingan umum adalah adanya
keseimbangan antara kepentingan individu, masyarakat, penguasa, dan negara yang
bertujuan untuk memelihara ketertiban dan mencapai keadilan di masyarakat yang
luas dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan,
pendidikan, dan kesehatan.46
Kepentingan umum menurut Jan Gijssel merupakan pengertian yang kabur,
sehingga tidak mungkin diinstitusionalisasikan dalam suatu norma hukum, yang
apabila dipaksakan akibatnya akan jadi norma kabur. Hal ini senada dengan apa yang
44

Edgar Bodenheimer, Jurisprudence The Philosophy and Method of The Law, third printing,
(Cambridge: Harvard University Press, 1979), hlm. 111.
45

Ibid.
46
Wahyu
Wiriadinata,
Kepentingan
Umum,
http://klipingcliping.wordpress.com/2009/11/18/kepentingan-umum/diakses tgl 21 Juli 2012.

dalam

24

dikemukakan J.J.H. Bruggink bahwa kepentingan umum sebagai suatu pengertian


yang kabur, artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat,
sehingga lingkupnya tidak jelas. Dengan demikian dalam memaknai pengertian
kepentingan umum yang kabur itu, dapat dilakukan dengan menemukan kriteriakriteria dari kepentingan umum, dalam hal ini untuk memudahkan pembentukan
normanya.47
Konsep kepentingan umum dalam hukum administrasi negara, dapat dilihat
dari kriteria yang digunakan. Dalam hal pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, misalnya, dapat dilihat pada kriteria kepentingan umum apabila
tanahnya digunakan untuk pembangunan sarana-sarana yang dimaksud dalam Pasal
10 UU No.2/2012 sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Bukanlah hal yang
mudah untuk memberi batasan atau definisi yang konkret dan mutlak mengenai
kepentingan umum, dan seyogianya tidak dibuat demikian, karena kepentingan
manusia itu berkembang dan demikian pula kepentingan umum. Namun demikian
tetap diperlukan suatu rumusan umum sebagai pedoman tentang pengertian
kepentingan umum yang dapat digunakan, terutama oleh hakim, dalam memutuskan
sengketa yang berkaitan dengan kepentingan umum, yang dinamis tidak tergantung
pada waktu dan tempat. Dengan demikian, tiap kasus harus dilihat secara kasuistis.
Dengan demikian adalah tepat jika pada akhirnya yang menentukan apa saja yang
termasuk pengertian kepentingan umum adalah hakim atau undang-undang
berdasarkan rumusan yang umum.
Pengertian kepentingan umum yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada jika dikaitkan dengan kepentingan umum yang tersirat
47

Siti Kotijah, Konsep Kepentingan Umum untuk Tanah dalam Sudut Pandang Hukum Administrasi,
terdapat dalam www.sitikotijah.com/2009/01/konsep-kepentingan-umum-untuk-tanah.html. Diakses
pada tanggal 21 Juli 2012

25

dalam undang-undang Hak Cipta, bukan terletak pada jenis karya ciptanya tetapi
kepentingan umum menunjuk pada peruntukannya atau bidang kegiatan yang
dilakukan. Jenis karya cipta hanya berpengaruh pada bagaimana hak itu dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan Paten, kepentingan umum menunjuk pada produk paten dan
peruntukan paten itu sendiri. Sementara dalam Varietas Tanaman, kepentingan umum
terkait dengan peruntukannya.
Kepentingan umum juga sering terkait dengan ketertiban umum. Kata
ketertiban umum (public policy, openbare orde, ordre public) hampir ditemukan
dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia. Misalnya, dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang No. 14 Tahun 2001, Undang-Undang No. 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan Undang-Undang No.29 Tahun 2000 tentang
Varietas Tanaman. Namun demikian, sangat disayangkan karena di dalam perundangundangan tersebut tidak dijelaskan mengenai definisi atau pengertian ketertiban
umum.
Menurut Luhut M.P. Pangaribuan, untuk menafsirkan ketertiban umum maka
kita harus merujuk pada Undang-undang atau hukum yang dibuat oleh seorang
hakim.48 Lebih lanjut, Luhut mengatakan bahwa tidak ada batasan yang universal
mengenai ketertiban umum. Karenanya harus dilihat kasus per kasus. Pendapat yang
serupa dikemukakan oleh M. Yahya Harahap. Menurutnya, ketertiban umum memiliki
makna luas dan bisa dianggap dianggap mengandung arti mendua (ambiguity),
karenanya dalam praktik telah timbul berbagai penafsiran tentang arti dan makna

48
Luhut M.P.Pangaribuan, Definisi Ketertiban Umum Masih Simpang Siur, Hukumonline.com,
Minggu (29 Oktober 2000), diakses pada tanggal 19 Juli 2012.

26

ketertiban umum.49 Penafsiran tersebut dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu
penafsiran sempit dan penafsiran luas. Menurut penafsiran sempit, arti dan lingkup
ketertiban umum hanya terbatas pada ketentuan hukum positif saja. Dengan demikian
yang dimaksud dengan pelanggaran/bertentangan dengan ketertiban umum, hanya
terbatas pada pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan saja.
Oleh karena itu putusan arbitrase yang bertentangan dengan/melanggar ketertiban
umum ialah putusan yang melanggar/bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan Indonesia.50 Di sisi lain, penafsiran luas tidak membatasi
lingkup dan makna ketertiban umum pada ketentuan hukum positif saja, tetapi juga
meliputi segala nilai-nilai dan prinsip-prinsip hukum yang hidup dan tumbuh dalam
kesadaran masyarakat, termasuk di dalamnya nilai-nilai kepatutan dan prinsip
keadilan umum (general justice principle). Oleh karena itu, putusan arbitrase asing
yang melanggar/bertentangan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang hidup dalam
kesadaran dan pergaulan lalu lintas masyarakat atau yang melanggar kepatutan dan
keadilan, tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.51
Lingkup dan makna ketertiban umum berdasarkan penafsiran luas merupakan
penafsiran yang diterima dalam Hukum Perdata Internasional (HPI). Ketertiban
umum dalam HPI adalah ajaran yang menekankan bahwa jika pemakaian hukum
asing sangat bertentangan dengan perasaaan keadilan asasi dan sendi-sendi
fundamental dari sistem hukum dan tata usaha masyarakat sang hakim, maka secara
pengecualian hukum asing ini dapat dikesampingkan.52
49

M.Yahya Harahap sebagai nara sumber dalam Talk!hukumonline-discussion dengan topik


Problematika Eksekusi Putusan Aribtrase Asing di Indonesia, sebagaimana dikutip dalam
m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3e380e0157a/apa-definisi-ketertiban-umum (Rabu, 2 November
2011), diakses tanggal 19 Juli 2012.
50
Ibid.
51

Ibid.
52

27

Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah


memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.53 Damai sejahtera adalah tujuan hukum. 54
Dalam situasi damai sejahtera hukum melindungi kepentingan-kepentingan manusia
baik secara materiil maupun immaterial. Untuk menciptakan keadaan damai sejahtera
tersebut, hukum mempertimbangkan kepentingan-kepentingan secara cermat dan
menciptakan keseimbangan di antara kepentingan-kepentingan itu. Tujuan untuk
mencapai damai sejahtera itu dapat terwujud apabila hukum sebanyak mungkin
memberikan pengaturan yang adil, yaitu suatu pengaturan yang didalamnya terdapat
kepentingan-kepentingan yang dilindungi secara seimbang sehingga setiap orang
sebanyak mungkin memperoleh apa yang menjadi bagiannya.55
Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa pada hakikatnya
kepentingan umum itu adalah kegiatan yang mempunyai sifat, bentuk, dan ciri atau
karakteristik khusus. Sifat, bentuk, dan ciri khusus inilah yang harus diatur secara
umum dalam peraturan perundang-undangan.

4.2 Kepentingan Umum sebagai Landasan Perlindungan HKI


Perlindungan HKI yang memberikan hak eksklusif kepada pemegang hak,
mempunyai landasan filosofis yang berbeda-beda yang pada dasarnya terkait
dengan dasar filosofis pengakuan terhadap hak kekayaan/milik (property rights). Ada
beberapa dasar filosofis perlindungan HKI yang dikemukakan oleh para ahli.56 Dari
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta,
1987), hlm. 134.
53

H.R. Otje Salman S dan Anton F.Susanto, Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali, cet.2, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 156.
54
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, cet.3, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.149.
55

Ibid, hlm.151.

56
Jennifer Davis melihat ada dua dasar pembenaran perlindungan HKI, yaitu berdasarkan Hukum
dan Ekonomi dan berdasarkan usaha (labour), lihat Jennifer Davis, Intellectual Property Law,

28

berbagai dasar filosofis yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, yang paling sering
dijadikan acuan adalah teori hukum dan ekonomi (yang dipelopori oleh Richard
Posner), teori usaha (labour theory) dari John Locke, dan teori kepribadian
(personality theory) dari G.W.F. Hegel.
Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap kajian-kajian hukum pada
umumnya berkaitan dengan peran hukum dalam pengalokasian sumber-sumber daya
ekonomi secara efisien.57 Menurut pendukung pendekatan ini terdapat masalah
tertentu dalam penciptaan kekayaan intelektual. Mengingat sifatnya yang tidak
berwujud, kekayaan intelektual menghadapi apa yang disebut dalam ilmu ekonomi
sebagai masalah barang-barang publik. Untuk menghasilkan kekayaan intelektual
memerlukan pengorbanan

biaya besar dan memakan waktu yang lama, dan

memerlukan tingkat kebaruan atau orisinalitas yang dapat diterima. 58 Namun


demikian, ketika upaya intelektual ini telah diwujudkan dalam bentuk yang berwujud,
kekayaan intelektual relatif murah dan mudah untuk dibuat kembali. Di samping itu,
mungkin tidak ada batasan seberapa banyak kekayaan intelektual itu dapat ditiru,
dengan masing-masing tiruan bernilai sama dengan karya aslinya. Dengan demikian,
tanpa hak-hak kekayaan intelektual apa yang dapat dilakukan untuk mencegah pihak
lain untuk mengambil manfaat dari kekayaan intelektual ini, tanpa mengeluarkan

Oxford: Oxford University Press.2005., h.4.; Anne Fitzgerald & Brian Fitzgeral berpendapat bahwa ada
beberapa dasar pembenaran perlindungan HKI, yaitu: berdasarkan hak-hak alamiah dari ajaran John
Locke, teori ekonomi/utilitarian, mendorong diseminasi informsi dan gagasan, efisiensi ekonomi,
kepribadian, perencanan sosial atau pemajuan budaya, perlindungan konsumen, dan alih teknologi.
Lihat Anne Fitzgerald & Brian Fitzgeral, Intellectual Property In Principle, Lawbook Co., 2004,
hlm.10-12; Sementara Peter Drahos melihat dasar pembenaran perlindungan HKI dari teori ekonomi,
teori usaha yang dikemukakan John Locke, teori kepribadian yang dikemukakan G.W.F. Hegel, dan
teori materialisme historis dari Karl Marx, lihat Peter Drahos, A Philosophy of Intellectual Property,
Sydney : Darmouth Publishing Company, 1996. (Selanjutnya disebut Peter Drahos II)
57

Jennifer Davis, ibid. Pendekatan ekonomi terhadap hukum ini dipopulerkan oleh Aliran
Chicago yang dipelopori oleh Richard Posner. Lihat Peter Drahos II, Ibid. note 28 hlm.6
58

Jennifer Davis, Ibid.

29

biaya-biaya yang sebenarnya?59 Oleh karena itu, menurut argumen ini, hak-hak
kekayaan intelektual menawarkan insentif yang penting untuk pembuatan kekayaan
intelektual yang baru. Tanpa hak-hak kekayaan intelektual, para individu dan
perusahaan-perusahaan akan terhalang untuk melakukan upaya baru dalam
menghasilkan kekayaan intelektual, dan karenanya pasar akan menjadi lemah. Di
samping itu, dalam jangka panjang, tanpa insentif untuk menghasilkan yang
ditawarkan melalui hak-hak kekayaan intelektual, akan terdapat biaya-biaya sosial.
Domain publik tak terelakkan akan berkurang, karena pada akhirnya kekayaan
intelektual ini diharapkan menjadi bagian dari domain publik dan menjadi dasar untuk
menghasilkan karya intelektual di masa datang.60
Pendekatan Hukum dan Ekonomi terhadap hak-hak kekayaan intelektual ini
pada umunya didukung oleh para pendukung ekonomi pasar bebas. Pendekatan ini
mendasarkan pada asumsi bahwa individu-individu yang rasional akan berusaha untuk
memaksimalkan keuntungan-keuntungan ekonominya dan akan enggan untuk
bertindak jika mereka memperkirakan hanya akan mendapatkan keuntungan ekonomi
yang kecil. Oleh karena itu, diperlukan hak-hak kekayaan intelektual untuk
menyelesaikan problem barang-barang publik.
Berbeda dengan teori hukum dan ekonomi, teori usaha - yang didasarkan pada
gagasan-gagasan John Locke lebih menekankan pada hak-hak. Pendekatan John
Locke, yang didasarkan pada karyanya Second Treaties of Government, bermula dari
premis: bahwa individu-individu mempunyai hak-hak terhadap hasil-hasil upayanya. 61
Dengan kata lain, pendekatan ini mengasumsikan adanya milik bersama yang belum
59

60

61

Ibid.
Ibid.
Jennifer Davis, Ibid. Lihat juga Peter Drahos II, Op.cit. hlm.42.

30

digarap, yang ditandai dengan banyaknya barang-barang. Hak-hak kebendaan


diberikan kepada mereka yang upayanya memberikan nilai tambah pada barangbarang yang diambil dari milik bersama, dengan syarat bahwa, sebagai hasil
usahanya, persediaan milik bersama ini juga meningkat untuk dinikmati oleh orang
lain.62
Jika pandangan Locke ini diterapkan pada hak kekayaan intelektual, maka
milik bersama akan direpresentasikan melalui domain publik. Domain publik
memiliki benda-benda intelektual yang dapat dimiliki atau digunakan oleh siapapun,
atau sebaliknya, benda-benda intelektual yang bebas untuk diambilalih sebagai objek
kekayaan intelektual, dengan syarat diperlukan upaya atas benda-benda tersebut
(prasyarat substantif). Ini berarti bahwa produk intelektual yang selesai akan lepas
dari milik publik ketika memenuhi kriteria hukum yang terkait untuk mendapatkan
perlindungan,

misalnya

karya

yang

mendapatkan

Hak

Cipta

(tanpa

pendaftaran/otomatis) atau merek yang didaftarkan. 63 Para pendukung pandangan


Lock ini umumya mempertahankan bahwa

pengambilalihan dari domain publik

tersebut tidak akan melanggar syarat kecukupan barang dan barang yang baik.
Sebaliknya, pada gilirannya nanti, HKI sebenarnya akan berfungsi untuk memperkaya
domain publik. HKI akan mendorong individu-individu untuk untuk menempatkan
karya-karya mereka ke hadapan publik. Jika karya-karya ini menjadi publik, karyakarya tersebut dengan sendirinya akan menimbulkan gagasan-gagasan baru dan
mendorong kreativitas lebih lanjut. Pada akhirnya, dengan sifat hak-hak kekayaan
intelektual yang dibatasi waktu, benda-benda intelektual ini akan kembali pada

62

Jennifer Davis. Ibid, p. 7. Bandingkan Peter Drahos II, Ibid, hlm. 43.

63

Jennifer Davis. Ibid.

31

domain publik.64 Teori yang dikemukakan oleh John Locke ini sangat berpengaruh di
negara-negara yang menganut tradisi Common Law System.65
Berbeda dengan teori hukum dan ekonomi serta teori usaha, teori personality
terhadap kebendaan/hak milik (termasuk kekayaan intelektual) yang dikembangkan
oleh G.W.F Hegel, dalam karyanya Philosophy of Right, melihat bahwa
kebendaan/hak milik (property) adalah perwujudan dari kepribadian (personality).66
Perwujudan itu bermula dari pengambilan sesuatu yang tidak berada dalam pemilikan
orang lain, yang dalam istilah Locke disebut mengambil dari publik.67
Inti dari Philosophy of Right Hegel adalah konsep mengenai kehendak yang
mengalami serangkaian transisi secara evolusi. Transisi-transisi ini berawal dari
kehendak yang tidak tersalurkan melalui hubungan-hubungan sosial dan berpuncak
pada kehendak umum yang menempatkan dirinya sendiri dalam konteks sejarah
negara dan dunia.68
Pada dasarnya kehendak adalah pemikiran yang dinyatakan dalam salah satu
dimensi dari dua dimensi yang berbeda. Perbedaan tersebut adalah antara pemikiran
secara abstrak, secara universal dan pemikiran secara partikular, secara jelas dalam
pelaksanannya.69 Bagi Hegel pikiran adalah bebas dan kepribadiannya berawal ketika
pikiran memiliki kesadaran diri yang tidak terhalangi oleh pembatasan apapun.
Bentuk kebebasan universal tetapi sederhana ini tidaklah cukup, karena kepribadian
64

Ibid, hlm. 8
65

Rahmi Jened, Op.cit. hlm.15.

66

Peter Drahos II, Op.cit., hlm. 75.


67

Ibid.

68

Ibid.
69

Ibid. hlm. 76

32

harus mencapai suatu wujud yang konkret dalam dunia. Di sinilah kebendaan
berperan.70 Semakin nyata bentuk yang terjadi melalui pemilikan benda, maka
terdapat hak absolut terhadap pemilikan benda tersebut.71 Termasuk dalam kategori
benda adalah kecerdasan pikiran, pengetahuan , keterampilan artistik.72 Pemilikanpemilikan dalam diri ini, jika dieksternalisasi maka menjadi sesuatu yang memenuhi
syarat terhadap pemilikan secara hukum.73 Inilah yang menurut Hegel menjadi dasar
pembenaran HKI. Teori Kepribadian Hegel ini sangat berpengaruh pada negaranegara yang menganut tradisi hukum Civil Law System.74
Ketiga teori di atas menjadi dasar bagi setiap individu untuk mendapatkan
pengakuan dan perlindungan terhadap karya intelektualnya yang merupakan hasil
upaya, perwujudan kehendak, dan mempunyai nilai ekonomi baginya. Dalam dunia
modern, pengakuan dan perlindungan terhadap karya intelektual tersebut secara
nasional diberikan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dan secara internasional melalui konvensi-konvensi perlindungan HKI. Pengakuan
dan perlindungan tersebut dalam bentuk hak untuk menggunakan sendiri dan
melarang pihak lain untuk menggunakan karya intelektual tanpa izin dari pemegang
hak.
Filosofi perlindungan HKI yang telah dijelaskan di atas adalah filosofi yang
berasal dari negara-negara Eropa, yang filosofinya menitikberatkan pada hak-hak

70

Ibid. Bandingkan Anthony DAmato and Doris Estelle Long, International Intellectual Property
Anthology, Cincinnati: Anderson Publishing Co., 1996, hlm. 32
71

Ibid.
72

Ibid.
73

Ibid.
74

Rahmi Jened, Loc.cit.

33

individu.75 Namun demikian, walaupun ketiga teori tersebut menekankan pentingnya


pengakuan dan perlindungan HKI berdasarkan hak-hak individu, ketiga teori tersebut
juga menekankan pentingnya perlindungan kepentingan umum. Dalam teori hukum
dan ekonomi ditekankan tujuan perlindungan HKI untuk memperbanyak persediaan
barang-barang publik. Teori usaha menekankan bahwa hak untuk mengambil sesuatu
dari milik bersama itu tidak boleh menyebabkan ketidakcukupan persediaan barang
dengan kualitas yang baik. Teori kepribadiaan, juga mempertimbangkan kemungkinan
HKI dapat menimbulkan kemiskinan dan ketidakseimbangan dalam sistem sosial.76
Sejarah tujuan pengaturan perlindungan HKI di Inggris, Amerika Serikat,
Perancis, dan Jerman dengan perkembangan yang berbeda-beda memperlihatkan
bahwa tujuan perlindungan Hak Cipta dan Paten adalah untuk kepentingan umum. 77
Pengaturan Hak Cipta Anglo-Amerika, yang bersumberkan dari Statute of Anne tahun
1710 di Inggris, tujuannya adalah pengedepanan kepentingan umum. 78 Hal ini
selanjutnya dipertegas dalam konstitusi Amerika Serikat pada Article I 8 (yang
sering dirujuk sebagai klausul Hak Kekayaan Intelektual) yang menyatakan The
Congress shall have the power... [t]o promote the Progress of Science and useful Arts,
by securing for limited Times to Authors and Inventors the exclusive Right to their
respective Writings and Discoveries. Ketentuan dalam konstitusi ini dinterpretasikan
sebagai pengedepanan kemajuan dengan tujuan utama memberikan manfaat pada

75

Anthony DAmato and Doris Estelle Long, Op.cit, hlm.34

76

Peter Drahos, Op.cit., hlm.88

77

Gillian Davies, Copyright and the Public Interest, second edition, London: Thomson Sweet &
Maxwell, 2002, hlm. 32-74; 99-128; 145-177; 202-232.
78

Oren Bracha, The New Intellectual Property of The Nineteenth Century, book review, Texas
Law Review December, 2010 ( 89 Tex. L. Rev. 423), hlm.439

34

publik.79 Pengedepanan prinsip kepentingan umum juga menjadi pendirian dari


Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang berpendapat bahwa karena kepentingan
umum adalah hukum yang utama, maka setiap pertentangan antara kepentingan
publik dan kepentingan privat harus diselesaikan dengan mengutamakan kepentingan
publik.80
Tujuan pemberian perlindungan Hak Cipta, kepada pencipta, adalah untuk
memacu kreativitas dan lahirnya karya-karya baru yang pada gilirannya dapat
menambah tersedianya informasi yang dapat diakses oleh publik. Kepentingan umum
menghendaki tersedianya dan akses terhadap informasi oleh publik. Oleh karena itu,
persoalan keseimbangan pengaturan hak-hak yang dimiliki oleh pencipta dan
kepentingan publik secara umum merupakan persoalan yang penting dari masa ke
masa.81
Kepentingan umum dapat berupa pembatasan dan pengecualian terhadap hak
eksklusif yang dimiliki oleh pemegang HKI. Pembatasan dan pengecualian itu
merupakan penyeimbang terhadap perlindungan hak privat dan kepentingan umum.
Hal ini sebagaimana yang dikemukanan oleh Ning Lizhi, protection for private right
should be in the limit of balancing the interests. To maintain public interests is essential reason for
the reasonable existing of intellectual property law.82

79

Donald P. Harris , TRIPS Rebound: An Historical Analysis of How The TRIPS Agreement
Can Ricochet Back Against The United States, Northwestern Journal of International Law and Business
Fall
2004
(25
Nw.
J.
Int'l
L.
&
Bus.
99),
hlm.
100.
80

Mahkamah Agung Amerika Serikat berpendapat bahwa [C]opyright statutes must serve
public, not private, ends. Lihat dalam putusan Eldred v. Ashcroft, 123 S. Ct. 769, 803 (2003) (Breyer,
J., dissenting).
81

Ibid, hlm.33
82

Ning Lizhi, Law-economics Analysis for the Restriction of Intellectual Property Rights, Canadian
Social Science Vol.2 No.6 December 2006, hlm.5

35

Kepentingan umum sebagai alasan pembatasan dan pengecualian terhadap hak


eksklusif pemegang HKI telah diakui dan diatur dalam Konvensi-konvensi dan
perundang-undangan nasional di bidang HKI.

Hal ini secara jelas diakui dalam

Article 7 dan 8 TRIPs, tentang prinsip-prinsip TRIPs, yang memberikan kelonggaran


pada anggota WTO dalam merumuskan atau mengubah undang-undang dan
peraturan-peraturannya dengan membolehkan mengadopsi langkah-langkah yang
perlu untuk melindungi kesehatan dan nutrisi masyarakat, dan untuk mengedepankan
kepentingan umum pada sektor-sektor yang sangat penting bagi pembangunan
sosial-ekonomi dan teknologinya, dengan ketentuan bahwa langkah-langkah tersebut
sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian TRIPs. Hal ini juga diakui dalam
Konvensi Paris dan Konvensi Bern, yang memberikan kemungkinan negara peserta
konvensi untuk melakukan pembatasan-pembatasan dan pengecualian. Dalam
Konvensi Bern, negara-negara anggota dimungkinkan untuk melakukan pembatasan
dan pengecualian terhadap hak yang dimiliki pemegang Hak Cipta dengan syaratsyarat tertentu, yang dikenal dengan three step test. Dalam preambul WIPO Copyright
Treaty, juga diakui pentingnya kepentingan umum, di mana ditegaskan bahwa salah
satu tujuan perlindungan Hak Cipta adalah the need to maintain a balance
between the rights of authors and the larger public interest, particularly education,
research and access to information. Dalam hal perlindungan varietas tanaman,
Konvensi UPOV menentukan kepentingan umum adalah satu-satunya alasan yang
dapat digunakan untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang dimiliki pemegang
varietas tanaman.
Pembatasan dan pengecualian dalam TRIPs dan konvensi-konvensi HKI
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam perundang-undangan HKI nasional. UU
No.19/2002 mengatur pembatasan dan pengecualian terhadap hak eksklusif pemegang

36

Hak Cipta dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 23. Walaupun tidak secara khusus
menyebutkan kata kepentingan umum. Namun secara tersirat ketentuan dalam pasal
tersebut memenuhi kriteria sebagai kepentingan umum. Demikian pula dalam Pasal 7
dan Pasal 16 UU No.14/2001, diatur pembatasan tentang invensi yang tidak dapat
diberikan paten dan pengecualian terhadap hak eksklusif pemegang paten dalam hal
pemakaian paten untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis
sepanjang tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. Selanjutnya
dalam Pasal 3 dan Pasal 10 UU No.29/2000 juga diatur mengenai pembatasan dan
pengecualian terhadap PVT.
Dalam TRIPs, konvensi-konvensi, dan perundang-undangan HKI di atas
tampak bahwa pertimbangan kepentingan umum sangat penting dalam pembatasan
dan pengecualian terhadap hak eksklusif pemegang hak. Dalam keadaan-keadaan
tertentu, kepentingan umum merupakan pengecualian dan tidak merupakan
pelanggaran terhadap kepentingan pemegang hak. Dengan kata lain, dengan
persyaratan tertentu, kepentingan umum lebih diutamakan dari pada kepentingan
pemegang hak. Dengan demikian, pada hakikatnya kepentingan umum adalah
keadaan atau kepentingan yang membatasi atau pengecualian terhadap pelaksanaan
hak eksklusif pemilik HKI. Karena sifatnya yang merupakan pembatasan atau
pengecualian, maka pertimbangan kepentingan umum hanya digunakan dalam hal-hal
yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kepentingan umum juga dapat dijadikan pembelaan terhadap tindakantindakan yang melibatkan materi yang dilindungi Hak Cipta dan Paten dalam
pengungkapan (disclosure) kepada publik.83 Dalam sistem hukum common law hal

83
Lihat Yvonne Cripps, The Implications of Disclosure in the Public Interest, second edition,
London: Thomson Sweet & Maxwell, 1994, hlm. 178-203

37

ini disebut dengan public interest defence.84 Pengumuman materi yang dilindungi Hak
Cipta tanpa persetujuan dari pemegang hak, tidak dipandang sebagai pelanggaran Hak
Cipta jika kepentingan umum menghendaki agar materi tersebut diumumkan, karena
dengan pengumuman publik mengetahui kemungkinan bahaya yang ditimbulkan dari
materi yang dilindungi Hak Cipta.85 Demikian pula dalam hal paten, pengungkapan
sebelum pengajukan permohonan paten; setelah pengumuman permohonan paten
tetapi sebelum pemberian paten; dan pengungkapan setelah pemberian paten, tidak
dipandang sebagai pelanggaran jika pengungkapan tersebut untuk kepentingan
umum.86
Kepentingan umum sebagai pengecualian, tidak hanya dikenal dalam bidang
HKI. Di Amerika Serikat, dalam praktik peradilan dikenal juga yang namanya
public-interest exception yaitu a legal principle which describes that an appellate
court may consider and decide a moot case even if such decisions are generally
prohibited, if the case involves a question of considerable public importance, the
question is likely to arise in the future, and the question has evaded appellate review.87
Uraian di atas memperlihatkan betapa kepentingan umum dikedepankan dalam
perlindungan HKI di negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat yang bahkan
memasukkannya dalam Konstitusi negaranya, dan didukung oleh pendirian
Mahkamah Agung yang mengutamakan kepentingan umum jika terjadi pertentangan
dengan kepentingan privat. Namun demikian, memang tidak dapat dipungkiri bahwa
secara bertahap telah terjadi pergeseran, yang terlihat melalui pendekatan Amerika
84

Gillian Davies, Op.cit., hlm.63


85

Lihat kasus Lion Laboratories v. Evans (1984) 3 WLR 539 sebagaimana yang diuraikan dalam
Yvonne Cripps, Op.cit, hlm.186-187.
86

Ibid, hlm. 193-198.


87

http://definitions.uslegal.com/p/public-interest-exception/

38

Serikat terhadap hak kekayaan intelektual internasional, yang dapat dilihat melalui
TRIPs. Melalui TRIPs, Amerika Serikat berusaha untuk mencari rezim hak kekayaan
intelektual internasional yang mengedepankan kepentingan privat, terutama
perusahaan-perusahaan farmasi.88 Menurut Donald Haris, pengutamaan TRIPs pada
kepentingan privat tidak hanya akan merugikan negara-negara berkembang, tetapi
juga akan berimbas pada Amerika Serikat, karenanya menimbulkan kerugian yang
besar.89 Titik berat TRIPs tidak sesuai dengan hukum hak kekayaan Amerika Serikat
yang lazim dan mandat Konstitusi bahwa hukum hak kekayaan intelektual
mengedepankan kemajuan untuk kemanfaatan publik. TRIPs tidak sesuai dengan
mandat ini karena perjanjian ini menempatkan penghargaan pada pemilik hak
kekayaan intelektual di atas kemanfaatan pada publik. Dengan demikian, dalam
menerapkan legislasi yang sesuai dengan TRIPs, Amerika Serikat gagal dalam
kewajibannya untuk mengkaji apakah, dan memastikan bahwa, legislasi tersebut
mengedepankan kemajuan dan untuk kepentingan publik.90
Prinsip kepentingan umum dalam perlindungan HKI, tidak hanya dikenal dan
diakui oleh negara-negara berkembang saja, namun juga diakui dan dikenal oleh
negara-negara maju, yang secara teoretis mengutamakan hak-hak individu. Negaranegara maju, baik yang menganut sistem hukum common law maupun yang menganut
civil law, telah memperhatikan kepentingan umum dalam pengaturan HKInya. Oleh
karena itu, negara-negara berkembang - termasuk Indonesia seharusnya lebih berani
88

Donald P. Haris, Op.cit, hlm. 101


89

Ibid.
90

Ibid, hlm.102. Donald P. Haris pada Catatan kaki 13, memberikan dua kategori kepentingan
umum. Pertama, kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan umum domestik Amerika
Serikat. Kedua, kepentingan umum adalah kepentingan umum secara global. Dia menyamakan
kepentingan umum secara global dengan negara-negara berkembang dan kemanfaatan masyarakat
dunia secara keseluruhan. Negara-negara maju dapat disamakan dengan kepentingan privat dan negaranegara berkembang dapat disamakan dengan kepentingan umum.

39

mengedepankan kepentingan umum sebagai landasan dalam pengaturan perlindungan


HKInya. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, seharusnya dapat dan
berani menggunakan kelonggaran-kelonggaran yang dimungkinkan oleh TRIPs dalam
ketentuan-ketentuan HKInya masing-masing. Dalam melakukan penyesuaian atau
harmonisasi perundang-undangan HKI nasionalnya, negara-negara berkembang harus
berani mengutamakan kepentingan umum atau kepentingan nasionalnya di atas
kepentingan privat pemegang HKI, jika terjadi pertentangan di antara keduanya.
Kesadaran untuk memperhatikan dan menyeimbangkan kepentingan umum
dengan hak eksklusif pemegang HKI telah dirasakan dan diperjuangkan oleh dunia
internasional. Hal ini terlihat dalam Washington Declaration on Intellectual Property
and the Public Interest, dalam pertemuan kongres global yang dihadiri oleh 180 ahli
dari 32 negara dari enam benua, yang bertujuan untuk mengartikulasi kembali
dimensi kepentingan umum dalam hak kekayaan intelektual dan kebijakan. Salah satu
pernyataan yang dihasilkan dalam deklarasi ini adalah bahwa tujuan utama
perlindungan HKI adalah untuk kepentingan umum. Oleh karena itu pembatasan dan
pengecualian terhadap hak pemegang HKI harus diperkuat.91
Melihat perkembangan internasional terhadap pentingnya dimensi kepentingan
umum dalam perlindungan HKI, dapat diasumsikan bahwa pertentangan antara paham
individualisme yang mendasari perlindungan HKI dengan paham yang menekankan
pada kepentingan umum semakin mengecil. Pertentangan nilai tersebut juga dapat
dieliminasi dengan adanya kesadaran bahwa semua standar HKI internasional harus

91

Washington Declaration on Intellectual Property and the Public Interest dalam


http://infojustice.org/wp-content/uploads/2011/09/washington-declaration.pdf.

40

tunduk pada checks and balances, termasuk persetujuan badan legislatif suatu negara
dan kemungkinan untuk hak uji materiil (judicial review).92
Pertentangan nilai yang dianut oleh negara-negara maju dan negara-negara
berkembang dalam perlindungan HKI dapat ditekan dengan melakukan harmonisasi
hukum. Harmonisasi hukum yang dimaksudkan di sini adalah upaya atau proses yang
hendak mengatasi batasan-batasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan
kejanggalan dalam hukum.93 Dasar dan orientasi upaya harmonisasi hukum adalah
untuk tujuan harmonisasi, nilai-nilai, asas-asas hukum dan tujuan hukum (terjadinya
harmonisasi antara keadilan dan kepastian hukum). 94 Oleh karena itu, dalam upaya
harmonisasi pengaturan kepentingan umum dalam perlindungan HKI, Indonesia harus
berani mengedepankan nilai-nilai yang mendasari kebijakan perekonomian Indonesia,
yaitu yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai konstitusi ekonomi yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila.
Sistem ekonomi Pancasila95 yang merupakan penjabaran dari UUD 1945
mempunyai posisi sendiri yang unik di antara bentuk-bentuk ekstrim falsafah dan
sistem ekonomi yang ada, yaitu individualisme serta ekonomi laissez faire di satu
pihak dan sosialisme radikal dan ekonomi kolektif murni di pihak lain. Walaupun
sistem ekonomi Pancasila sering disebut juga sosialisme, tapi bukan sosialisme
92

Deklarasi Washington menyatakan: All new international intellectual property standards


must be subject to democratic checks and balances, including domestic legislative approval and
opportunities for judicial review, ibid.
93

Kusnu Goesniadi, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex Spesialis


suatu Masalah), (Surabaya: JP Books, 2006), hlm.71
94

L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 14 Oktober 1995, Jakarta, hlm.8-9. Dapat
dilihat pada http://www.digilib.ui.ac.id
95

Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang
dijiwai oleh kelima sila Pancasila. Lihat Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia, cet. kedua,
LP3ES, 1990, hlm. 43 Untuk uraian lebih lanjut mengenai sistem ekonomi Pancasila, lihat Mubyarto,
Ekonomi Pancasila, (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.38-42

41

radikal, dan juga lebih dari pada campuran kompromis dari kedua kubu yang
bertentangan tersebut.96 Kualitas pandangan Pancasila dan UUD 1945 dengan jelas
dan tegas menolak individualisme yang sepenuhnya tak sosial, tidak pernah menerima
sistem kemasyarakataan yang sepenuhnya diabdikan kepada kepentingan individuindividu yang terlepas satu sama lain. Tapi juga yang menolak anggapan hanya
melihat masyarakat sebagai satu-satunya kenyataan dan individu sebagai fiksi dalam
sistem ekonomi. Dalam alam pandangan Pancasila dan UUD 1945, keduanya yaitu
individu dan masyarakat, berada dalam keselarasan dan keseimbangan, sebagai bagian
dari keselarasan dan keseimbangan yang lebih besar.97

4.3 Asas Keadilan


Hal yang selalu merupakan suatu conditio sine qua non dalam hukum adalah
persoalan keadilan. Dalam kaitan ini patut diperhatikan pendapat Gustav Radbruch
yang menegaskan bahwa cita hukum tidak lain dari keadilan. 98 Keadilan adalah hal
yang selalu mengikuti peradaban dan pemikiran manusia. Walaupun bentuknya
dinamis, tetapi hakikat keadilan tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia dan
hidup bermasyarakat.99
Persoalan keadilan meliputi dua hal yaitu menyangkut hakikat keadilan dan
menyangkut isi atau norma untuk berbuat secara konkret dalam keadaan tertentu. 100

96

Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD45, cet. kedua, Bandung:
Angkasa, 1983 hlm. 38
97

Ibid.

98

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2007, hlm. 23.
99

Ibid.
100

Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hlm.77

42

Hakikat keadilan adalah penilaian terhadap suatu perlakukan atau tindakan dengan
mengkajinya dengan suatu norma yang menurut pandangan subjektif (subjektif untuk
kepentingan kelompoknya, golongannya dan sebagainya) melebihi norma-norma lain.
Dalam hal ini ada dua pihak yang terlibat, yaitu pihak yang memperlakukan dan pihak
yang menerima perlakuan.101
Menyangkut isi keadilan sukar untuk memberikan batasan. Aristoteles
membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva (distributive
justice, verdelende atau begevende gerechtigheid) dan justitia commutativa (remedial
justice, vergeldende atau ruilgerechtigheid).102 Justitia distributiva menuntut bahwa
setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau bagiannya: suum cuique tribuere
(to each his own). Bagian ini tidak sama untuk setiap orangnya, tergantung pada
kekayaan, kelahiran, pendidikan, kemampuan dan sebagainya; sifatnya adalah
proporsional.103 Sementara Justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama
banyaknya. Di sini yang dituntut adalah kesamaan. Yang adil adalah apabila setiap
orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.104
Sejalan dengan pengertian justitia distributiva dari Aristoteles, Upianus105
menggambarkan keadilan sebagai kehendak yang terus menerus dan tetap
memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya atau tribuere cuique
suum. Thomas Aquinas106 mengemukakan bahwa keadilan distributif pada dasarnya

101

Ibid, hlm.78.

102

Ibid
103

Ibid.
104

Ibid. 79
105

O. Notohamidjojo, Masalah: Keadilan. Semarang : Tirta Amerta, 1971, hlm.18-19.


106

E. Sumaryono, Etika Hukum


Kanisius, 2002, hlm.90-91.

Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta:

43

merupakan penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang (acceptio personarum)


dan keluhurannya (dignitas). Penghormatan terhadap seseorang dapat terwujud
apabila ada sesuatu yang dibagikan/diberikan kepada seseorang sebanding dengan
yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). Dengan dasar itu,
maka pengakuan terhadap seseorang harus diarahkan pada pengakuan terhadap
kepatutan (equity), selanjutnya pelayanan dan penghargaan didistribusikan secara
proporsional atas dasar harkat dan martabat manusia.
Pengarang modern juga tidak ketinggalan untuk melakukan pembagian
keadilan, antara lain John Boatright dan Manuel Velasquez 107. Mereka membagi
keadilan dalam tiga macam, yaitu: keadilan distributif (distributive justice)
mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, di mana benefits dan burdens
harus dibagi secara adil; keadilan retributif (retributive justice) berkaitan dengan
terjadinya kesalahan, dimana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang
bersalah haruslah bersifat adil; dan keadilan kompensatoris (compensatory justice),
menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, di mana orang
mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada
pihak lain yang dirugikan.
TRIPs yang merupakan instrumen hukum dalam WTO yang mengatur aspek
perdagangan yang terkait dengan HKI juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan
keadilan.108 Persoalan keadilan di sini tidak saja berkaitan dengan pihak-pihak yang

107

Ibid.
108

HKI merupakan bentuk Hak Milik (atas benda yang tidak berwujud). Pada dasarnya Hak Milik
tidak dapat dipisahkan dari keadilan, bahkan mempunyai hubungan yang erat (dwitunggal). Purnadi
Purbacaraka dan A.Ridwan Halim, Hak Milik, Keadilan, dan Kemakmuran tinjauan Falsafah Hukum,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.24.

44

terlibat dalam perjanjian TRIPs, tetapi juga keadilan secara umum untuk
kemanusiaan.
Banyak teori keadilan yang dikemukakan oleh para ahli. Namun dalam kaitan
dengan HKI ini, setidaknya ada dua pendapat ahli yang penting untuk dikemukakan,
yaitu teori keadilan oleh John Rawls109 dan Robert Nozick110, yang menunjukkan dua
kutub pemikiran yang berbeda, yang sama-sama bertitik tolak dari keadilan
distributif.111
John Rawls112 yang terkenal dengan teorinya justice as fairness, di mana di
dalamnya

juga

terdapat

konsep

keadilan

distributif

(distributive

justice),

mengemukakan dua prinsip keadilan. Pertama prinsip greatest equal liberty, yaitu
bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama terhadap kebebasan dasar yang paling
luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Kedua, ketidaksamaan sosial dan
ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga diharapkan memberikan keuntungan bagi
anggota masyarakat yang kurang beruntung (difference principle) dan setiap posisi
dan jabatan terbuka untuk semua pihak (principle of (fair) equality of opportunity).
Rawls juga mengemukakan prioritas terhadap prinsip-prinsip keadilannya.
Menurutnya, kebebasan individu yang sama (greatest equal liberty) lebih diutamakan
dari pada tuntutan-tuntutan prinsip kedua yang berkaitan kesamaan terhadap peluang
bagi semua pihak dan kesamaan dalam distribusi sumber-sumber bagi semua pihak.113
109

Lihat John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition, Cambridge : The Belknap Press of
Harvard university Press, 1999.
110

Lihat gagasan Nozick tentang keadilan dalam karyanya Anarchy, State, and Utopia, Basic Books,
1974 yang ditulis sebagai kritik terhadap teori keadilan distributif John Rawls.
111

Anupam Chander & Madhavi Sunder, Loc.cit.


112

John Rawls, Op.cit.. hlm. 53 ,107, dan 266. Bandingkan Amartya Sen, The Idea of Justice,
Penguin Book, 2009, hlm. 59
113

John Rawls, Ibid. hlm. 266.Bandingkan Amartya Sen, Ibid.,

45

Dalam hal prinsip kedua, di mana ada dua tuntutan di dalamnya, maka prinsip
equality of opportunity lebih diprioritaskan dari pada prinsip difference principle.114
Teori keadilan distributif Rawls sering disamakan juga teori keadilan sosial
(social justice).115 Dalam konteks HKI, berdasarkan teori keadilan sosial Rawls, perlu
keterlibatan negara yang lebih langsung untuk menata masyarakat yang lebih
egaliter.116 Di sisi lain Nozick berpendapat bahwa

keadilan sosial menghendaki

campur tangan pemerintah yang sekecil mungkin terhadap pengaturan-pengaturan


privat. Nozick membedakan tiga masalah keadilan sosial dalam kepemilikan ke dalam
tiga isu:117 (a) Keadilan dalam perolehan awal, (b) Keadilan dalam pengalihanpengalihan berikutnya, dan (c) keadilan berkaitan dengan perbaikan-perbaikan
(remedies) untuk pelanggaran terhadap isu pertama dan isu kedua. Mengenai
perolehan awal, Nozick sebagian besar mengikuti John Locke, yang memberikan hakhak untuk memiliki terhadap apa yang dibuat seseorang dan untuk mengambilalih
apapun yang belum dimiliki, dengan syarat pengambilalihan tersebut meninggalkan
cukup dan sama baiknya bagi lainnya. 118 Keadilan dalam pengalihan kemudian
sebagian besar tergantung pada pasar bebas; pemerintah harus menghindar untuk
campur tangan atau memaksa pengalihan (termasuk perpajakan, yang disamakan oleh
Nozick sebagai usaha yang dipaksakan). Keadilan dalam perbaikan (remedy) adalah

114

John Rawls, Ibid. hlm. 266.Bandingkan Amartya Sen, Ibid, hlm. 60.

115

Istilah ini banyak digunakan oleh para penulis yang terdapat dalam Sudhir Anand,Fabiene Peter,
and Amartya Sen (Editors), Public Health, Ethics, and Equity, Oxford University Press, 2004.
Demikian juga Anupam Chander & Madhavi Sunder, Is Nozick Kicking Rawlss Ass? Intellectual
Property and Social Justice, UC Davis Legal Studies Research Paper Series Research Paper No. 108
May/2007, hlm. 567. http://ssrn.com/abstract=982981.
116

Anupam Chander & Madhavi Sunder, Ibid.

117

Ibid.
118

Ibid.

46

pemberian ganti kerugian pada pihak yang dirugikan yang disebabkan oleh pihakpihak lain.119
Dengan kata lain, Nozick lebih menekankan pada nilai kebebasan (liberty),
yang dipandangnya sebagai kebebasan dari negara. Sementara Rawls mensyaratkan
keterlibatan negara. Lembaga-lembaga politik harus selalu berusaha untuk
memperbaiki

kekurangan-kekurangan

yang

banyak

dalam

masyarakat,

dan

keberhasilan atau kegagalan mereka bergantung pada seberapa baik mereka mencapai
tujuan ini. Inilah perbedaan utama Rawls terhadap Nozick, yang menghendaki
lembaga-lembaga politik melindungi kepemilikan privat dan kontrak yang bebas,
dengan redistribusi yang sekecil-kecilnya.120
Dengan keadilan distributif melalui HKI kurang lebih sembilan juta orang di
negara berkembang dapat dicegah dari kematian karena penyakit-penyakit menular,
baik dengan menjual obat-obat yang ada dengan harga yang murah di negara-negara
berkembang atau menambah sumber-sumber daya yang ditujukan untuk penciptaan
vaksin-vaksin baru dan pengobatan-pengobatan terhadap penyakit-penyakit yang
ada.121 Berdasarkan prinsip keadilan distributif ini, negara-negara maju mempunyai
kewajiban terhadap negara berkembang dalam masalah kesehatan.122
Di samping perlu mempertimbangkan asas keadilan, perlindungan HKI juga
memperhatikan equity. Equity mempunyai peran yang unik dalam struktur hukum
karena terpisah dari norma-norma hukum tetapi merupakan bagian dari norma-norma
hukum.123 Keunikan lainnya adalah keberadaan equity yang tidak dapat dilepaskan
119

Ibid.
Ibid, hlm. 568.

120
121

Ibid.
122

Ibid.
123

Ralph A.Newman (Editor), Equity In The Worlds Legal Systems, Brussels: Etablissements Emile
Bruylant, 1973, p. 15. Bandingkan, Patrick Parkinson (Editor), The Principles of Equity, second

47

dari keberadaan keadilan.124 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa equity dan
keadilan sangat erat kaitannya.
Berdasarkan artinya equity mempunyai beberapa makna.125 Walaupun dalam
perkembangannya pengertian yang digunakan sering mengacu pada pengertian ke
empat, namun pada dasarnya substansi yang diterapkan adalah pengertian equity yang
kedua dan ketiga, yaitu bahwa equity adalah sekumpulan prinsip yang menentukan
apa yang patut dan benar atau prinsip-prinsip keadilan untuk memperbaiki atau
melengkapi hukum ketika diterapkan pada keadaan-keadaan tertentu.126
Jika

perlindungan

HKI

harus

memperhatikan

asas

keadilan,

maka

perlindungan itu juga harus memperhatikan prinsip-prinsip equity. Dengan demikian,


dalam pelaksanaan perlindungan HKI juga harus memperhatikan

nilai-nilai

kepatutan, nilai-nilai moral, nilai-nilai agama.127

4.4. Ruang Lingkup HKI dan Kepentingan Umum


Ruang lingkup bidang HKI sebagaimana yang diatur dalam TRIPs dan
perjanjian internasional HKI adalah Hak Cipta dan hak-hak yang terkait, Paten,
edition, Lawbook Co., 2003, hlm..4.
124

Menurut Gustaf Radbruch equity adalah lebih baik dari pada keadilan dan karenanya tidak bertentangan
dengan keadilan, lebih merupakan suatu jenis keadilan. Baca Ralp A. Newman, Ibid. pada catatan kaki 1.
125

Dalam Blacks Law Dictionary, equity mempunyai 4 makna: (1) kepatutan; ketidakberpihakan; hubungan
yang adil; (2) sekumpulan prinsip yang menentukan apa yang patut dan benar; hukum alam; (3)perujukan pada
prinsip-prinsip keadilan untuk memperbaiki atau melengkapi hukum ketika diterapkan pada keadaan-keadaan
tertentu juga disebut equity alamiah (natural equity); (4) sistem hukum atau sekumpulan prinsip yang berasal
dari Peradilan Chancery Inggris (Court of Chancery) yang mengenyampingkan common law dan statute law jika
keduanya bertentangan. Lihat Bryan A. Garner, Op.cit,hlm..560
126

Yang menurut Ralph A. Newman, equity digambarkan sebagai cara untuk memperbaiki
kemalangan yang terjadi dalam hubungan-hubungan manusia berdasarkan standar-standar tindakan
yang murah hati dan mulia yaitu fakta-fakta umum dari semua sistem etika, moral dan agama. Ketika
standar-standar ini diterapkan dalam putusan-putusan peradilan terlihat bahwa standar-standar tersebut
didasarkan pada prinsip-prinsip itikad baik, kejujuran dan kemurahan hati, yang merupakan materi
dasar pembentukan
prinsip-prinsip dasar equity. Prinsip-prinsip tersebut didasari oleh konsep
persaudaraan manusia (human brotherhood). Lihat. Ralph A.Newman, Op.cit., hlm. 27. Bandingkan,
G.E. Dal Pont and D.R.C. Chalmers, Equity and Trusts in Australia, Lawbook Co., 2004, hlm. 3.
127

Yang pada intinya menekankan pada konsep persaudaraan manusia.

48

Merek, Desain Industri, Rahasia Dagang, Indikasi Geografis, Tata Letak Sirkuit
Terpadu, dan Varietas Tanaman. Ruang lingkup bidang HKI dalam penelitian disertasi
ini dibatasi pada tiga bidang, yaitu Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman. Berikut
ini diuraikan dasar-dasar pengaturan perlindungan ketiga bidang HKI tersebut.

4.4.1 Hak Cipta


a. Persyaratan Ciptaan,
Secara teoretis persyaratan suatu ciptaan dipengaruhi oleh pendekatan yang
dianut dalam perlindungan Hak Cipta. Pendekatan ini dapat dibedakan antara
pendekatan yang dianut oleh negara-negara dengan tradisi hukum Common Law
System dan Civil Law System. Common Law System menggunakan pendekatan
copyright system dengan menitikberatkan perlindungan pada Ciptaannya. Hak Cipta
dalam konteks ini adalah copyright atau right to copy atau hak untuk memperbanyak
Ciptaan. Dalam copyright sytem, Hak Cipta dipandang sebagai instrumen ekonomi
dan kebijaksanaan untuk meningkatkan pengetahuan dan mendukung perkembangan
sosial ekonomi.128 Tujuan Hak Cipta adalah sebagai perangsang (incentive) bagi
penciptaan lebih lanjut bagi produser, penerbit, dan promoter yang telah mengambil
risiko untuk pemasaran dan penjualan. 129 Dalam sistem ini, suatu Ciptaan harus
memenuhi

128

129

syarat

perwujudan (fixation), orisinalitas (originality), dan kreativitas

Rahmi Jened, Op.cit, hlm. 56

Ibid

49

(creativity).130 Pencipta dapat merupakan orang alamiah (natural person) atau badan
hukum (legal person). Hak Cipta hanya mencakup hak ekonomi (economic right).
Pendekatan di atas berbeda dengan pendekatan dalam Civil Law System yang
menggunakan pendekatan author right system yang memberikan perlindungan pada
Pencipta dan lebih menitikberatkan pada perlindungan Pencipta dari pada atas Ciptaan
itu sendiri. Dalam sistem ini tujuan Hak Cipta adalah memberikan penghargaan
(reward) bagi Pencipta, yang harus merupakan orang alamiah (natural person). Civil
Law System mensyaratkan suatu ciptaan harus memenuhi syarat orisinalitas
(originality) dan kreativitas (creativity) dengan tingkatan yang sangat tinggi, sehingga
mencerminkan kepribadian yang terpatri. Persyaratan perwujudan (fixation) tidak
mutlak. Hak Pencipta meliputi hak ekonomi (economic right) dan hak moral (moral
right).
Secara normatif, persyaratan Ciptaan diatur dalam berbagai ketentuan, baik
yang berlaku internasional maupun nasional. Tidak semua Ciptaan di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dapat dilindungi Hak Cipta. Dalam Pasal 9 Ayat (2)
TRIPs ditentukan bahwa: Copyright protection shall extend to expression and not to
idea, procedures, methods of operation or mathematical concepts as such.
Perlindungan Hak Cipta hanya berlaku pada ekspresi dan bukan pada gagasan,
prosedur, metode operasi atau teori matematika. Sementara itu dalam Pasal 2
Konvensi Bern ditentukan bahwa Ciptaan yang dapat dilindungi Hak Cipta adalah
ekspresi dalam bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni, 131 negara-negara peserta
dapat mensyaratkan agar suatu ciptaan telah diwujudkan dalam suatu bentuk yang

130

Ibid, hlm. 57

131

Ayat (1): the expression literary and artistic works shall include every production in the
literary, scientific and artistic domain, whatever may be the mode or form of its expression,

50

material (fixation).132 Sejalan dengan kedua ketentuan tersebut, UU 19/2002 pada


Pasal 1 Angka 2 dan 3 menentukan:
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas
inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam
bentuk yang khas dan bersifat pribadi. (Angka 2)
Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya
dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. (Angka 3)
UU 19/2002 memberikan perlindungan Hak Cipta pada Ciptaan yang bersifat pribadi
yang memenuhi syarat keaslian (originality), yang dihasilkan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kreativitas (creativity), dan dituangkan dalam bentuk
yang khas (fixation). Dengan demikian standar perlindungan Hak Cipta dalam UU
19/2002 sesuai dengan teori standar perlindungan Hak Cipta seperti yang telah
dijelaskan di atas.

b. Ciptaan yang Dilindungi Hak Cipta


Dalam TRIPs tidak diatur secara definitif mengenai objek perlindungan Hak
Cipta, kecuali program komputer dan kompilasi data yang diatur dalam Pasal 10.
Berdasarkan Pasal 9 TRIPs, objek perlindungan Hak Cipta dalam TRIPs mengacu
pada Konvensi Bern. Mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) sampai (8) Konvensi Bern, objek
perlindungan Hak Cipta meliputi ekspresi dibidang sastra, ilmu pengetahuan, dan seni
apapun cara dan bentuk ekspresinya, seperti: buku, pamflet, dan tulisan lainnya;
kuliah, pidato, ceramah dan karya lain yang serupa; karya drama atau drama musikal,
koreografi, dan seni pertunjukan dan pantomim; komposi musik dengan atau tanpa
syair; karya sinematografi; gambar, lukisan, arsitek, seni pahat, ukir dan litografi;
132

Ayat (2): It shall, however, be a matter for legislation in the countries of the Union to prescribe
that works in general or any specified categories of works shall not be protected unless they have been
fixed in some material form.

51

karya fotografi; seni terapan; ilustrasi, peta, rancangan, sketsa dan karya tiga dimensi
yang berhubungan dengan geografi, topografi, arsitektur atau ilmu pengetahuan;
terjemahan, adaptasi, aransemen musik dan pengalihwujudan terhadap karya seni atau
sastra; kumpulan karya sastra atau seni seperti ensiklopedia dan antologi. Dengan
demikian objek perlindungan Hak Cipta berdasarkan Pasal 2 Konvensi Bern, pada
dasarnya terdiri atas: Ciptaan asli (original works) dan Ciptaan turunan (derivative
works) dalam karya sastra (literary), ilmu pengetahuan (scientific), dan seni (artistic)
apapun cara dan bentuk ekspresinya. Di samping itu negara peserta juga diberikan
kemungkinan untuk memperluas perlindungan Hak Cipta terhadap karya seni terapan,
desain dan model industri untuk dilindungi sebagai karya artistik.
Berdasarkan ketentuan TRIPs dan Konvensi Bern di atas, Pasal 12 UU
19/2002 secara terinci mengatur Ciptaan atau Karya yang dapat dilindungi Hak Cipta
sebagai berikut:
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis
yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan
pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan
tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.

52
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga
semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu
bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 12 terlihat bahwa Karya atau Ciptaan yang
dilindungi tidak terbatas pada Ciptaan yang disebut dalam pasal tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada penggunan kalimat: Ciptaan tulis lain atau Ciptaan lain yang
sejenis Dengan demikian karya intelektual pribadi lainnya yang memenuhi unsur
keaslian dan

kreativitas, secara hukum harus dipandang sebagai Ciptaan. 133 Di

samping itu, ketentuan Pasal 12 UU 19/2002 tidak membedakan antara Ciptaan yang
memenuhi persyaratan keaslian dan kreativitas yang tinggi sebagai Ciptaan utama
yang berada langsung di bawah Hak Cipta, dengan Ciptaan turunan yang sebenarnya
berada di bawah perlindungan Hak Terkait dengan Hak Cipta karena kurangnya
tingkat keaslian dan kreativitasnya. Sebagai contoh adalah ciptaan program komputer,
perwajahan, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan
Ciptaan lain dari hasil pengalihwujudan.134
c. Perlindungan Hak Cipta bersifat Otomatis
Perlindungan Hak Cipta terhadap suatu Ciptaan lahir secara otomatis dan
seketika. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 5 Ayat (2) Konvensi Bern:
The enjoyment and the exercise of these rights shall not be subject to any
formality; such enjoyment and such exercise shall be independent of the
existence of protection in the country of origin of the work. Consequently, apart
from the provisionsthe extent of protectionshall be governed by exclusively
by the laws of the country where protection is claimed.
Prinsip tersebut juga dapat terlihat pada Pasal 2 UU No.19/2002 yang menentukan
bahwa: Hak Cipta adalah Hak Pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak
yang timbul secara otomatis. Selanjutnya di dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a
133

Rahmi Jened, Op.cit, hlm. 66

134

Ibid, hlm. 67

53

ditentukan bahwa: Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap Pencipta adalah orang
yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada Direktorat Jenderal
Dengan adanya kata-kata kecuali terbukti sebaliknya menegaskan bahwa pada
dasarnya Hak Cipta diperoleh bukan karena pendaftaran.
Pendaftaran tidak merupakan suatu keharusan, karena tanpa pendaftaran Hak
Cipta telah ada, diakui, dan dilindungi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan
oleh McKeough tentang kriteria timbulnya Hak Cipta di Australia:
There are no formal requirements to obtaining copyright protection it arises
upon the fulfillment of certain criteria and does not require a registration
process. The Copyright Act 1968 (Cth) protects certain types of subject matter
in a material form that has been created by a qualified person (as defined by
the Act) or published in Australia. Upon these four criteria being met the
owner of the copyright gains certain exclusive rights which endure for a period
of time and then finish.135
Menurut Holmes, walaupun pendaftaran tidak merupakan suatu keharusan, namun
pendaftaran penting karena beberapa alasan.136 Pertama, pendaftaran adalah prasyarat
undang-undang untuk menentukan adanya tindakan pelanggaran. Kedua, pendaftaran
adalah prasyarat untuk memperoleh ganti kerugian. Ketiga, sertifikat pendaftaran
merupakan bukti awal atau prima facie keabsahan Hak Cipta. Keempat, pendaftaran
diperlukan untuk pengalihan kepemilikan sebagai pemberitahuan secara tidak
langsung kepada pihak-pihak ketiga mengenai kepentingan penerima hak. Pengaturan
dalam Undang-Undang Hak Cipta Amerika Serikat tersebut, dalam hal sebagai bukti
awal kepemilikan dan dasar untuk menentukan adanya tindakan pelanggaran, sejalan
dengan Undang-undang Hak Cipta Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam ketentuan
Pasal 5 Ayat (1) a, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Tanpa pendaftaran,
135

Jill McKeough, Kathy Bowrey, and Philip Griffith, Intellectual Property Commentary and
Materials, third edition, Lawbook Co., 2002, hlm.45
136

William C.Holmes, Intellectual Property and Antitrust Law, New York: Clark Boardman
Company, Ltd, 1983 , hlm. 4-8

54

Ciptaan tetap diakui dan dilindungi. Namun, dari segi pembuktian, tidak dapat
disangkal bahwa sangat sulit dan rumit untuk membuktikannya jika timbul sengketa.
Pemegang Hak Cipta harus mendayagunakan berbagai alat bukti untuk membuktikan
keabsahan haknya.
d. Subjek Hak Cipta
Perundang-undangan Hak Cipta mengakui dan mengatur beberapa subjek
dengan hak yang berbeda. Pada dasarnya, subjek yang dinyatakan sebagai pencipta
adalah subjek yang sesungguhnya melahirkan suatu ciptaan atau karya. Dengan
demikian, terdapat hubungan yang nyata antara subjek hak dan ciptaan atau karya.
Melalui hubungan subjek dan ciptaan tersebut kemudian dapat ditentukan siapakah
pencipta suatu karya.137 Pengertian tersebut sejalan dengan tradisi Civil Law System
yang hanya mengenal orang alamiah (natural person) sebagai pencipta. Hanya orang
alamiah yang dapat menghasilkan suatu ciptaan dan mempunyai hubungan yang nyata
dengan ciptaannya.
Pendekatan yang berbeda digunakan dalam UU 19/2002 tentang Hak Cipta.
Hal ini terlihat dalam Pasal 5 UU 19/2002, yang dalam menentukan siapakah pencipta
suatu karya tidak menggunakan kriteria hubungan nyata antara subjek dengan
ciptaannya, tetapi didasarkan pada asumsi. Maksudnya disini adalah bahwa
pembentuk undang-undang menyatakan siapa sebagai pencipta tanpa perlu dibuktikan
adanya hubungan antara subjek dengan ciptaan.138
UU 19/2002 juga mengatur kemungkinan ciptaan yang dihasilkan oleh lebih
dari satu individu. Dalam Pasal 6 ditentukan bahwa jika suatu Ciptaan terdiri atas
137

Chryssantus Kastowo, Pembatasan dalam Perlindungan Hak Cipta, Ringkasan Disertasi,


Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2011, hlm. 34.
138

Ibid, hlm.35

55

beberapa bagian tersendiri yang diciptakan oleh dua orang atau lebih, yang dianggap
sebagai Pencipta ialah orang yang memimpin serta mengawasi penyelesaian seluruh
Ciptaan itu. Jika tidak ada orang tersebut, yang dianggap sebagai Pencipta adalah
orang yang menghimpunnya dengan tidak mengurangi Hak Cipta masing-masing atas
bagian Ciptaannya itu. Dalam hal ini dimungkinkan juga timbulnya kepemilikan
bersama terhadap Ciptaan yang dihasilkan melalui kerja sama oleh dua orang atau
lebih Pencipta secara tidak terpisah.
Terdapat kemungkinan suatu Ciptaan dirancang oleh seseorang, tetapi
diwujudkan dan dikerjakan oleh orang lain di bawah pimpinan dan pengawasan orang
yang merancang. Dalam keadaan yang demikian yang menjadi Pencipta adalah orang
yang merancang Ciptaan tersebut (Pasal 7 UU 19/2002). Rancangan tersebut harus
diwujudkan dalam bentuk yang dikehendaki pemilik rancangan. Oleh karena itu,
perancang disebut Pencipta, apabila rancangannya itu dikerjakan secara detail
menurut desain yang sudah ditentukannya dan tidak sekadar gagasan atau ide saja.
(Penjelasan Pasal 7 UU No.19/2002).
Suatu Ciptaan juga mungkin lahir dalam hubungan dinas dengan pihak lain
dalam lingkungan pekerjaannya. Dalam keadaan yang demikian, Pemegang Hak Cipta
adalah pihak yang untuk dan dalam dinasnya Ciptaan itu dikerjakan, kecuali ada
perjanjian lain antara kedua pihak dengan tidak mengurangi hak Pencipta apabila
penggunaan Ciptaan itu diperluas sampai ke luar hubungan dinas (Pasal 8 Ayat (1)
UU 19/2002). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk Ciptaan yang dibuat pihak
lain berdasarkan pesanan yang dilakukan dalam hubungan dinas (Pasal 8 Ayat (2)).
Dengan demikian, Ciptaan yang dibuat oleh seseorang yang timbul dari hubungan
dinas dengan instansi Pemerintah atau dibuat berdasarkan pesanan instansi
pemerintah, maka Hak Cipta dipegang oleh instansi Pemerintah tersebut, kecuali

56

diperjanjikan lain. Sementara itu, jika suatu Ciptaan dibuat dalam hubungan kerja atau
berdasarkan pesanan, pihak yang membuat karya cipta itu dianggap sebagai Pencipta
dan Pemegang Hak Cipta, kecuali apabila diperjanjikan lain antara kedua pihak (Pasal
8 ayat (3)). Ketentuan-ketentuan Pasal 8 UU No.19/2002, mengenai Ciptaan yang
lahir dari hubungan dinas atau kerja. Pertama, sesuai filosofis Hegel, Pencipta harus
selalu orang alamiah (natural person), sehingga jika instansi pemerintah atau swasta
yang mungkin berbentuk badan hukum (legal person/legal entity) sebagai pemberi
kerja dianggap sebagai Pemegang Hak Cipta, maka hal itu terjadi karena adanya
anggapan pengalihan hak eksploitasi yang dibuat melalui perjanjian, misalnya melalui
kontrak kerja.139 Kedua, tujuan penggunaan yang lahir dari hubungan yang demikian
bersifat terbatas, apabila penggunaan diperluas ke luar hubungan dinas, maka harus
ada izin dari Pencipta dan pemberian kompensasi yang layak kepada Pencipta. 140
Untuk ciptaan yang merupakan pesanan (commission work atau work for hire),
pemesanan merupakan perjanjian, baik tertulis ataupun tidak tertulis. Adanya pesanan
bisa dianggap sebagai adanya pengalihan hak eksploitasi, sehingga pemesan menjadi
pemegang Hak Cipta atas Ciptaan pesanan. Contohnya, pasangan pengantin yang
meminta agar mereka difoto oleh fotografer. Meskipun Hak Cipta ada pada
fotografer, tetapi karena ia bertindak berdasarkan pesanan, maka dia harus
memperhatikan kepentingan yang bersifat pribadi dari pemesan. Ketentuan ini tetap
harus memperhatikan bahwa penggunaan Ciptaan yang dipesan harus sesuai dengan
tujuan pemesanannya.141

139

Rahmi Jened, Op.cit, hlm.77

140

Ibid.
141

Ibid.

57

UU No.19/2002 juga mengakui keberadaan badan hukum sebagai Pencipta.


Jika suatu badan hukum mengumumkan bahwa Ciptaan berasal dari padanya dengan
tidak menyebut seseorang sebagai Penciptanya, badan hukum tersebut dianggap
sebagai Penciptanya, kecuali jika terbukti sebaliknya (Pasal 9). Ketentuan ini sangat
bertentangan dengan tradisi Civil Law System, yang hanya mengenal orang alamiah
sebagai Pencipta.

Seharusnya dinyatakan bahwa badan hukum hanya sebagai

Pemegang Hak Cipta yang bertindak untuk kepentingan Pencipta karena adanya
dugaan pengalihan hak eksploitasi.
Negara juga dapat menjadi pemegang Hak Cipta dalam hal Penciptanya tidak
diketahui. Hal ini dapat terjadi atas Ciptaan peninggalan prasejarah, sejarah, dan
benda budaya nasional lainnya. Demikian juga atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut, orang yang bukan warga negara
Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam
masalah tersebut (Pasal 10 UU No. 19/2002).
Negara juga dapat menjadi pemegang Hak Cipta atas Ciptaan yang tidak
diketahui Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan demi kepentingan
Penciptanya. Jika Ciptaan itu telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya atau
pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama samaran Penciptanya, Penerbit memegang
Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya. Dalam hal suatu
Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya,
maka Negara memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan
Penciptanya. (Pasal 11 UU No. 19/2002).

58

e. Hak Eksklusif Hak Cipta


Perlindungan Hak Cipta memberikan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta, yang meliputi hak moral (moral right) dan hak ekonomi
(economic right). Hak moral berkaitan dengan hubungan pribadi dan intelektual
Pencipta

dengan

Ciptaannya,

sedangkan

hak

ekonomi

terkait

dengan

pengeksploitasian atau pemanfaatan Ciptaannya.


Hak moral diatur dalam Pasal 6bis Konvensi Bern, yang meliputi hak atribusi
(the right of attribution), hak integritas (the right of integrity). Namun dalam TRIPs,
pengakuan hak moral Pencipta tidak merupakan suatu kewajiban. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) TRIPs yang menentukan:
Members shall comply with Articles 1 through 21 of the Berne Convention
(1971) and the Appendix thereto. However, Members shall not have rights or
obligations under this Agreement in respect of the rights conferred under
Article 6bis of that Convention or of the rights derived therefrom.
Dengan demikian TRIPs menyerahkan kepada negara-negara anggota WTO untuk
mengakui hak moral atau tidak.
Dalam UU No.19/2002 hak moral diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal
26. Pasal-pasal tersebut pada dasarnya menentukan bahwa::
a. Pencipta atau ahli warisnya berhak menuntut Pemegang Hak Cipta supaya
namaPencipta tetap dicantumkan dalam Ciptaannya.
b. Suatu Ciptaan tidak boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada
pihak lain, kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli
warisnya dalam hal Pencipta telah meninggal dunia.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku juga terhadap perubahan
judul dan anak judul Ciptaan, pencantuman dan perubahan nama atau nama
samaran Pencipta.
d. Pencipta tetap berhak mengadakan perubahan pada Ciptaannya sesuai dengan
kepatutan dalam masyarakat.
e. Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak Pencipta tidak boleh
ditiadakan atau diubah.
f. Hak Cipta atas suatu Ciptaan tetap berada di tangan Pencipta selama kepada
pembeli Ciptaan itu tidak diserahkan seluruh Hak Cipta dari Pencipta itu. Hak
Cipta yang dijual untuk seluruh atau sebagian tidak dapat dijual untuk kedua
kalinya oleh penjual yang sama. Dalam hal timbul sengketa antara beberapa

59
pembeli Hak Cipta yang sama atas suatu Ciptaan, perlindungan diberikan kepada
pembeli yang lebih dahulu memperoleh Hak Cipta itu.
Hak Ekonomi (economic right) diatur dalam Konvensi Bern, yang meliputi:
a. Pasal 8: Hak penerjemahan (right of translation)
b. Pasal 9: Hak perbanyakan (right of reproduction)
c. Pasal 11: Hak pertunjukan di muka umum, penyiaran serta hak-hak yang terkait
(right of public performance, broadcasting and related rights).
d. Pasal 12: Hak Adaptasi (right of adaptation)
e. Pasal 14 (1) (i): Hak mengizinkan pihak lain untuk melakukan adaptasi Ciptaan
sinematografi dan perbanyakan Ciptaan serta pendistribusiannya (right of
authorizing the cinematographic adaptation and reproduction of works and the
distribution of the works thus adapted or reproduced)
f. Pasal 14 (1) (ii): Hak pertunjukan di muka umum dan pengomunikasian dengan
kabel terhadap adaptasi Ciptaan film dan perbanyakannya (right of public
performance and communication by wire of cinematographic adaptations and
reproductions of works)
g. Pasal 14 ter (1): Hak penjualan kembali seniman (artists resale right)
Dari hak-hak ekonomi yang diatur dalam Konvensi Bern tersebut, yang paling
konvensional adalah hak penerjemahan (the right of translation) terhadap Ciptaan dan
hak perbanyakan (the right of reproduction). Hak eksklusif yang berupa hak-hak
ekonomi dalam Konvensi Bern tersebut kemudian dijabarkan dalam UU No. 19/2002
yang meliputi hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan, atau
memberikan izin orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak (Pasal 1 angka
(1) dan Pasal 2).
Pengertian pengumumana dalam UU No.19/2002 mempunyai pengertian yang luas,
yaitu meliputi tindakan pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau
penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media
internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca,
didengar, atau dilihat orang lain (Pasal

Angka (5)). Sedangkan yang dimaksud

perbanyakan meliputi tindakan untuk penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik


secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan

60

bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara


permanen atau temporer.
legaJJlitas.org
f. Jangka Waktu Perlindungan
Setiap Ciptaan yang memenuhi syarat perlindungan Hak Cipta akan mendapat
perlindungna dalam jangka waktu tertentu. Konvensi Bern menentukan jangka waktu
perlindungan bagi Pencipta adalah seumur hidup Pencipta dan ditambah 50 (lima
puluh) tahun setelah Pencipta meninggal.142 Namun untuk Ciptaan tertentu, jangka
waktu perlindungan adalah 50 (lima puluh) tahun setelah dipublikasikannya atau 50
(lima puluh) tahun setelah dibuatnya suatu Ciptaan. 143 Ketentuan Konvensi Bern
tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 12 TRIPs yang menentukan:
Whenever the term of protection of a work, other than a photographic work or
a work of applied art, is calculated on a basis other than the life of a natural
person, such term shall be no less than 50 years from the end of the calendar
year of authorized publication, or, failing such authorized publication within
50 years from the making of the work, 50 years from the end of the calendar
year of making.
Ketentuan Konvensi Bern dan TRIPs tersebut menjadi dasar penentuan jangka waktu
perlindungan dalam UU No. 19/2002. Untuk Ciptaan utama jangka waktunya adalah
selama hidup Pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun. Ciptaan
utama tersebut meliputi:144
a. buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain;
b. drama atau drama musikal, tari, koreografi;
c. segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung;
d. seni batik;
e. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
f. arsitektur;
g. ceramah, kuliah, pidato dan Ciptaan sejenis lain;
142

Pasal 7 Ayat (1) Konvensi Bern: the term of protection granted by this convention shall be
the life of the author and fifty years after his death.
143

Pasal 7 Ayat (2) dan (3) Konvensi Bern.


144

Pasal 29 Ayat (1) UU No. 19/2002

61
h. alat peraga;
i. peta;
j. terjemahan, tafsir, saduran, dan bunga rampai.
Jika Ciptaan tersebut dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih, maka jangka waktu
perlindungannya berlaku selama hidup Pencipta yang meninggal dunia paling akhir
dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.145
Sedangkan untuk Ciptaan turunan jangka waktu perlindungannya adalah 50
(lima puluh) tahun sejak pertama kali diterbitkan. Ciptaan tersebut meliputi:146
a. Program Komputer;
b. sinematografi;
c. fotografi;
d. database; dan
e. karya hasil pengalihwujudan.
Jangka waktu yang sama juga berlaku untuk

perwajahan karya tulis yang

diterbitkan.147
Ada kemungkinan pengumuman suatu Ciptaan tidak secara keseluruhan.
Untuk Ciptaan yang diumumkan bagian demi bagian jangka waktu berlakunya
dihitung mulai tanggal Pengumuman bagian yang terakhir.148 Demikian pula atas
Ciptaan yang terdiri atas 2 (dua) jilid atau lebih, juga

ikhtisar dan berita yang

diumumkan secara berkala dan tidak bersamaan waktunya, di mana setiap jilid atau
ikhtisar dan berita itu masing-masing dianggap sebagai Ciptaan tersendiri.149
Penentuan jangka waktu perlindungan terkait dengan pembenaran secara
historis, untuk memenuhi kepentingan moril dan materiil dari Pencipta dan ahli
145

Pasal 29 Ayat (2) UU No. 19/2002


146

Pasal 30 Ayat (1) UU No. 19/2002


147

Pasal 30 Ayat (2) UU No. 19/2002


148

Pasal 32 Ayat (1) UU No.19/2002

149

Pasal 32 Ayat (2) UU No. 19/2002

62

warisnya, termasuk pertimbangan bagi ahli waris dari Pencipta yang terlama hidupnya
agar Pencipta dan ahli warisnya menikmati manfaat ekonomi Hak Cipta sampai dua
generasi.150 Penentuan jangka waktu berlakunya Hak Cipta, juga merupakan
penjelmaan dari pandangan tentang hakikat pemilikan, dikaitkan dengan kedudukan
manusia sebagai makhluk pribadi sekaligus makhluk bermasyarakat di mana hak
milik itu dianggap mempunyai fungsi sosial.151
Pengaitan jangka waktu perlindungan dengan bidang Ciptaan yang dilindungi
juga sangat penting. Hal ini terkait dengan persepsi kelayakan suatu Ciptaan untuk
mendapat jangka waktu perlindungan tertentu. Misalnya, dalam UU No.19/2002
ditentukan jangka waktu perlindungan untuk program komputer adalah 50 (lima puluh
tahun). Hal ini merupakan penilaian teknologi yang berlebihan jika dihubungkan
dengan perkembangan teknologi program komputer yang sangat cepat berubah.
Jika jangka waktu perlindungan Ciptaan yang berkaitan dengan hak ekonomi
dibatasi untuk jangka waktu tertentu, tidak demikian halnya dengan hak moral. Jangka
waktu perlindungan hak moral berlangsung tanpa batas waktu.152

g. Kepentingan Umum dalam Hak Cipta


Pembatasan (limitation) merupakan keseimbangan dalam rezim perlindungan
Hak Cipta. Hal ini mengingat di satu sisi, Hak Cipta merupakan kekayaan (property)
dan monopoli terbatas pencipta atau pemegang hak yang harus dilindungi, di sisi lain
ada kepentingan umum (public interest) terhadap ketersediaan materi Hak Cipta.
Menurut Gillian Davies, pembatasan dan pengecualian terhadap Hak Cipta
150

Rahmi Jened, Op.cit, hlm.100


151

O.K. Saidin, Op.cit, hlm 110.


152

Pasal 33 UU No. 19/2002

63

merupakan jawaban terhadap kepentingan umum akan kemungkinan yang paling luas
terhadap ketersediaan materi yang mengandung Hak Cipta.153 Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa salah satu perwujudan kepentingan umum dalam hak kekayaan
intelektual adalah ketentuan-ketentuan pengecualian dan pembatasan terhadap hak
eksklusif pemegang hak.
Kepentingan umum sangat penting dalam kaitannya dengan perlindungan Hak
Cipta. Bahkan dikatakan bahwa dalam Hak Cipta, kepentingan umum adalah hal yang
utama dari pada kepentingan pencipta (author). Hal ini, misalnya, tampak dalam
putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Fox Film Corp. v. Doyal,
286 U.S. 123, 127 (1932) (The sole interest of the United States and the primary
object in conferring the monopoly lie in the general benefits derived by the public
from the labors of authors.); Sony Corp. v. Universal City Studios, Inc., 464 U.S.
417, 429 (1984) ([T]he limited grant is a means by which an important public
purpose may be achieved.)154 Dan jika ada pertentangan antara kepentingan
pemegang Hak Cipta dan kepentingan umum, maka kepentingan umum harus
diutamakan, seperti yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam
kasus Aiken.155
Kepentingan umum telah diakui dan diatur dalam Konvensi Bern, TRIPs,
WIPO Copy Right Treaty, dan WIPO Performance and Phonogram Treaty. Konvensi
153

Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Surabaya: Airlangga
University Press, 2007,hlm., 109. Bandingkan dengan Gwen Hinze yang berpendapat bahwa public
policy (menurut penulis merupakan bentuk lain dari public interest) terpenuhi melalui pengecualian dan
pembatasan. Lihat Gwen Hinze, Action needed to expand exceptions and limitations to copyright law,
Third World Network Briefing Paper 49 July 2008, hlm.2
154

L. Ray Patterson, *703 Copyright in The New Millennium: Resolving The Conflict Between
Property Rights and Political Rights, Ohio State Law Journal 2001 (62 Ohio St. L.J. 703), pada *710.
155
Victor F. Calaba , *1Quibbles N Bits: Making a Digital First Sale Doctrine Feasible,
Michigan Telecommunications and Technology Law Review Fall 2002 (9 Mich. Telecomm. & Tech. L.
Rev. 1), pada hal.18.

64

Bern

memuat

bermacam

pengecualian

dan

membolehkan

negara-negara

penandatangannya untuk menentukan pembatasan-pembatasan mengenai ruang


lingkup pengaturan perlindungan. Pengaturan pengecualian dan pembatasan dalam
Konvensi Bern secara berurutan dimulai dari Pasal 2bis. Pada Ayat (1) pasal ini diatur
kewenangan negara untuk mengecualikan dari objek perlindungan Hak Cipta terhadap
karya cipta yang berbentuk pidato politik dan pembelaan-pembelaan yang
dikemukakan pada proses peradilan. Ketentuan pengecualian dan pembatasan
selanjutnya terdapat dalam Pasal 9. Dalam Ayat (1) ditentukan bahwa pengarang atau
pencipta mempunyai hak eksklusif memberikan izin untuk membuat reproduksi atas
karya sastra dan karya seni dengan cara dan bentuk apapun. Namun dalam Ayat (2),
konvensi ini memberikan kewenangan pada negara penandatangan untuk membuat
ketentuan yang membolehkan reproduksi atas karya-karya tersebut dalam keadaankeadaan khusus yang tertentu, dengan ketentuan bahwa reproduksi tersebut tidak
bertentangan dengan penggunaan yang wajar dari karya tersebut dan tidak secara
tidak wajar merugikan kepentingan pengarang/pencipta. Ketentuan Pasal 9 ini sering
juga disebut dengan three step test. Dengan kata lain, tiga langkah pengujian ini
mempersyaratkan untuk tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau
yang dibeberapa negara dikenal juga dengan istilah fair use atau fair dealing. 156
Fair use berkaitan dengan kepentingan umum karena membolehkan informasi dan
pengetahuan dikembangkan lebih lanjut tanpa pencipta kuatir berlebihan tentang
dikotomi ide/ekpresi dan membolehkan penciptaan karya baru yang diperoleh dari
atau mengambil materi dasarnya dari karya-karya yang mengandung Hak Cipta yang
ada sebelumnya.

156

Antara lain digunakan di Amerika Serikat, Canada, Australia.

65

Selanjutnya dalam Pasal 10 diatur mengenai pengecualian terhadap hak


eksklusif pemegang Hak Cipta, yang membolehkan pengutipan dari karya yang
dilindungi Hak Cipta asalkan sesuai dengan fair practice atau praktik yang wajar,
termasuk kutipan dari artikel surat kabar dan terbitan berkala dalam bentuk press
summary (Ayat 1). Pasal tersebut juga memberikan kewenangan pada negara peserta
untuk membuat aturan atau perjanjian khusus, yang membolehkan penggunaan karya
sastra dan seni melalui ilustrasi dalam publikasi, penyiaran atau rekaman suara atau
gambar untuk tujuan pengajaran dengan ketentuan bahwa penggunaan tersebut sesuai
dengan praktik yang wajar (Ayat 2) dan menyebutkan sumbernya termasuk
pengarang/penciptanya (Ayat 3).
Konvensi Bern juga memberikan kewenangan bagi negara penandatangan
untuk membolehkan reproduksi melalui penerbitan, penyiaran atau komunikasi
kepada publik melalui kabel terhadap artikel yang diterbitkan dalam surat kabar atau
terbitan berkala tentang topik terkini di bidang ekonomi, politik atau agama, dan
menyiarkan karya-karya sejenis dalam hal reproduksi, penyiaran atau komunikasi
yang demikian tidak secara tegas dilarang. Dengan ketentuan hal tersebut dilakukan
dengan menyebutkan sumbernya. (Pasal 10bis Ayat 1). Negara penandatangan juga
diperbolehkan menentukan persyaratan - untuk tujuan pelaporan kejadian-kejadian
terkini melalui sarana fotografi, sinematografi, penyiaran atau komunikasi kepada
publik melalui kabel - dapat tidaknya karya sastra atau karya seni yang dilihat atau
didengar selama kejadian tersebut direproduksi dan dapat diakses publik. (Pasal 10bis
Ayat 2).
Dalam Pasal 11bis Ayat (1) juga dimungkinkan untuk menentukan
pengecualian dan pembatasan bagi penyiaran dan penyiaran kembali dengan
pemberian kompensasi. Selanjutnya dalam Pasal 13 diatur mengenai pembatasan dan

66

pengecualian terhadap hak eksklusif pencipta atas rekaman karya musik dan kata-kata
yang terkait di dalamnya dengan pemberian kompensasi. Terakhir, dalam lampiran
pada Pasal II konvensi ini diatur lisensi wajib khusus untuk reproduksi dan
terjemahan teks bagi negara berkembang berdasarkan persyaratan-persyaratan yang
ketat.
Selain ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pengecualian dan
pembatasan hak eksklusif, yang merupakan perwujudan dari kepentingan umum,
ketentuan lain dalam Konvensi Bern yang secara tidak langsung berkaitan dengan
kepentingan umum adalah ketentuan tentang masa perlindungan Hak Cipta. Dalam
konvensi Bern, masa perlindungan Hak Cipta adalah seumur hidup ditambah lima
puluh tahun setelah pencipta meninggal untuk karya-karya sastra dan seni selain, dari
karya sinematografi, fotografi, dan seni terapan. Untuk karya sinematografi, masa
perlindungannya adalah lima puluh tahun sejak dipublikasikan atau lima puluh tahun
setelah dibuat. Untuk karya fotografi dan seni terapan masa perlindungannya adalah
selama dua puluh tahun sejak dibuatnya karya tersebut. 157 Ketentuan ini secara tidak
langsung berkaitan dengan kepentingan umum, karena setelah berakhirnya masa
perlindungan Hak Cipta ini, karya cipta tersebut menjadi milik publik (public
domain). Salah satu fungsi utama domain publik adalah menyediakan bahan dasar
untuk karya-karya lainnya, karena sangat jarang suatu karya sepenuhnya lahir dari
gagasan sendiri.158 Domain publik yang terkait dengan Hak Cipta terutama mencakup
karya-karya yang termasuk kategori sebagai berikut: karya-karya yang Hak Ciptanya
telah berakhir; karya-karya yang Hak Ciptanya diserahkan kepada publik; dan bagianbagian dari karya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup yang dapat dilindungi
157

Lihat Article 7 Konvensi Bern.

158

Steven D. Jamar, op.cit, pada *638

67

Hak Cipta, seperti gagasan, fakta, formula, resep, proses, metode penggunaan,
penemuan, dan lainnya. Namun demikian harus diperhatikan bahwa walaupun hal-hal
tersebut merupakan domain publik terkait dengan Hak Cipta, beberapa dari hal
tersebut dapat (berdasarkan keadaan tertentu) dilindungi melalui paten (misalnya,
proses) atau rahasia dagang (misalnya, formula), dan karenanya tidak dapat
sepenuhnya merupakan domain publik untuk semua keadaan.159
Ketentuan lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan kepentingan
umum adalah ketentuan mengenai hak moral (moral rights).160 Ketentuan ini terkait
dengan kepentingan umum karena adanya pengakuan dan perlindungan terhadap
identitas diri dan keaslian karya pencipta. Dengan demikian masyarakat akan
mendapat informasi yang benar, baik mengenai jati diri pencipta maupun keaslian
karyanya. Hal ini terutama penting, ketika pencipta mengalihkan hak ekonominya
kepada pihak lain.161
Ketentuan-ketentuan

dalam

Konvensi

Bern

tersebut

selanjutnya diadopsi menjadi ketentuan-ketentuan TRIPs, dengan


beberapa tambahan pengaturan dan penegasan. Dengan demikian ketentuan
pengecualian dan pembatasan serta masa perlindungan Hak Cipta di dalam Konvensi
Bern berlaku sebagai ketentuan pengecualian dan pembatasan dalam TRIPs. Namun
demikian, pengaturan pembatasan yang dikenal sebagai three step test dalam
Konvensi Bern, yang hanya berkaitan dengan hak reproduksi dari pemegang hak,
agak berbeda dalam TRIPs. Tampaknya TRIPs mengadopsi ketentuan three step
159

Ibid.
160

Article 6bis Konvensi Bern


Karena Hak Kekayaan Intelektual umumnya dieksploitasi bukan oleh pencipta atau inventor,
yang kreativitasnya semestinya diberikan penghargaan, tetapi umumnya oleh perusahaan-perusahaan
yang berbasis informasi. Lihat Sol Picciotto, Defending the Public Interest in TRIPs and the WTO ,
terdapat dalam Peter Drahos dan Ruth Mayne, Global Intellectual Property Rights, Knowledge,
Access and Development, Oxfam, bab 14.
161

68

test dalam Konvensi Bern tersebut tidak hanya berlaku terhadap hak reproduksi saja,
namun juga untuk hak-hak yang lainnya. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan
Article 13 TRIPs yang menentukan Members shall confine limitations or exceptions
to exclusive rights to certain special cases which do not conflict with a normal
exploitation of the work and do not unreasonably prejudice the legitimate interests of
the right holder.
Terhadap hak-hak eksklusif yang mana Article 13 ini berlaku masih
menimbulkan banyak perdebatan.162 Ada yang berpendapat bahwa ketentuan ini
berlaku terhadap semua hak eksklusif dari pemegang Hak Cipta dan merupakan syarat
untuk penentuan pengecualian dan pembatasan Hak Cipta yang baru (hal ini terjadi
setelah Putusan Panel WTO berkaitan dengan ketentuan section 105 UU Hak Cipta
Amerika Serikat).163 Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa ketentuan Article 13
TRIPs harus ditafsirkan secara sempit yaitu hanya berdasarkan pengecualianpengecualian yang ada di dalam Konvensi Bern, jika tes tersebut sesuai dengan
syarat-syarat yang terdapat dalam Konvensi Bern. Namun jika melihat sejarah
perjalanan negosiasi Konperensi Konvensi Bern di Stockholm tampak bahwa
pertemuan tersebut mendukung penafsiran bahwa three step test tidak berlaku
terhadap hal-hal di mana negara-negara anggota diberikan diskresi untuk membuat
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam Konvensi Bern, seperti yang terdapat
dalam Article 10 (1) dan (2). Pandangan ini juga didukung oleh prinsip-prinsip
penafsiran yang standar dalam hukum internasional. Dengan demikian, terdapat
argumentasi yang logis bahwa negara-negara dapat membuat pengecualian untuk
162

Gwen Hinze, op.cit.


163

Ibid.

69

tujuan pengajaran berdasarkan Article 10 (2) Konvensi Bern yang tidak harus
didasarkan pada pemenuhan syarat three step test.164
Ketentuan lain dalam TRIPs yang dapat dipandang sebagai pembatasan
terhadap hak eksklusif dari pemegang hak kekayaan intelektual adalah ketentuan
mengenai prinsip exhaustion. Yang dimaksud prinsip exhaustion adalah prinsip yang
mengandung makna bahwa penjualan pertama yang sah terhadap barang-barang milik
pemegang hak kekayaan intelektual secara langsung menghilangkan hak pemilik
kekayaan intelektual untuk mengontrol penanganan selanjutnya terhadap barangbarang tersebut.165 Dengan demikian, pembeli barang bebas untuk memperlakukan
barang-barang tersebut tanpa melanggar hak-hak pemegang hak kekayaan
intelektual.166 Dari pengertian dan keadaan di atas, pada satu sisi, prinsip ini
memberikan pembatasan pada pemilik hak kekayaan intelektual, dan juga, pada sisi
lain, memberikan hak yang tidak terbatas bagi pembeli barang tidak hanya untuk
menggunakannya tetapi juga untuk menjualnya. Keadaan yang demikian ini
menyiratkan adanya unsur kepentingan umum.
Di luar dari ketentuan-ketentuan di atas, kepentingan umum dalam TRIPs juga
tersirat dan tersurat dalam ketentuan-ketentuan umum dan prinsip-prinsip dasarnya
yang terdapat dalam Article 7 (tentang tujuan) dan Article 8 (tentang prinsip dasar).
Article 7 menyiratkan adanya kepentingan umum melalui penekanan bahwa
perlindungan dan penegakan hak-hak kekayaan intelektual harus memberikan
kontribusi terhadap alih teknologi dan penyebaran teknologi dengan memperhatikan

164

Ibid, hlm.3

165

Prinsip exhaustion dikenal juga sebagai first sale doctrine.


166

M. Hawin, Intellectual Property Law on Parallel Importation, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 2010, hlm. 25.

70

kepentingan yang seimbang antara penghasil pengetahuan teknologi dan pengguna


teknologi, dan dengan cara yang mendukung kesejahteraan sosial dan ekonomi dan
menyeimbangkan hak dan kewajiban.167 Kepentingan umum tersurat dengan tegas
dalam Article 8 yang menentukan bahwa negara-negara anggota WTO dimungkinkan
dalam menyusun atau mengubah undang-undang dan peraturannya, untuk mengambil
langkah-langkah yang perlu untuk melindungi kesehatan dan nutrisi publik, dan untuk
mengedepankan kepentingan umum dalam sektor-sektor yang sangat penting bagi
perkembangan sosial ekonomi dan teknologinya.

Demikian pula dimungkinkan

negara-negara anggota WTO untuk mengambil langkah-langkah yang patut untuk


mencegah penyalahgunaan hak kekayaan intelektual oleh pemegang hak atau praktikpraktik yang yang dapat mempengaruhi alih teknologi secara internasional. Namun
semuanya itu harus dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
Perjanjian TRIPs.
Ketentuan pengecualian dan pembatasan yang dikenal dengan three step test
dalam Konvensi Bern ini juga diadopsi dalam WIPO Copy Right Treaty dan WIPO
Performance and Phonogram Treaty. Ketentuan pengecualian dan pembatasan dalam
WIPO Copy Right Treaty diatur dalam Article 10. Sementara dalam WIPO
Performance and Phonogram Treaty diatur pada Article 16.
Dalam konteks nasional, UU 19/2002 sebagai pengejawantahan konvensi dan
perjanjian internasional di bidang Hak Cipta, di samping mengakui adanya hak
eksklusif bagi pemegang Hak Cipta juga mengatur pembatasan dan pengecualian
terhadap hak eksklusif tersebut. Pengaturan pengecualian dan pembatasan terhadap

167

Menurut Profesor Gervais ketentuan ini dapat berfungsi untuk membenarkan pengecualianpengecualian terhadap hak eksklusif, di mana pemegang hak telah gagal untuk berperan serta dalam
pembangunan sosial dan ekonomi atau, dengan kata lin, telah menggunakan hak-haknya tanpa
melaksanakan kewajibannya. Lihat Peter K. Yu, op.cit, 1028.

71

hak eksklusif sebagai wujud dari perlindungan kepentingan umum terdapat dalam
beberapa pasal UU 19/2002. .
Dalam Pasal 14 ditentukan bahwa tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak
Cipta pengumuman dan/atau perbanyakan lambang Negara dan lagu kebangsaan
menurut sifatnya yang asli. Demikian juga terhadap

pengumuman dan/atau

perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas
nama Pemerintah, kecuali apabila Hak Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan
peraturan perundang-undangan maupun dengan pernyataan pada Ciptaan itu sendiri
atau ketika Ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak. Juga tidak dianggap
pelanggaran Hak Cipta terhadap pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun
sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan surat kabar atau sumber sejenis
lain, dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap.
Dalam Pasal 15 juga diatur beberapa pengecualian dan pembatasan, yaitu
dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap
sebagai pelanggaran Hak Cipta:
1.

penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian,


penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

2.

pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna


keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

3. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna


keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
atau

72

(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
4. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf
braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat
komersial;
5. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara
atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu
pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial sematamata untuk keperluan aktivitasnya;
6. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya
arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
7. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program
Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Selanjutnya dalam Pasal 16 Ayat (1) ditentukan bahwa untuk kepentingan pendidikan,
ilmu pengetahuan, serta kegiatan penelitian dan pengembangan, terhadap Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra, Menteri setelah mendengar pertimbangan
Dewan Hak Cipta dapat: a) mewajibkan Pemegang Hak Cipta untuk melaksanakan
sendiri penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan; b) mewajibkan Pemegang Hak
Cipta yang bersangkutan untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
menerjemahkan dan/atau memperbanyak Ciptaan tersebut di wilayah Negara
Republik Indonesia dalam waktu yang ditentukan dalam hal Pemegang Hak Cipta
yang bersangkutan tidak melaksanakan sendiri atau melaksanakan sendiri kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c) menunjuk pihak lain untuk melakukan

73

penerjemahan dan/atau Perbanyakan Ciptaan tersebut dalam hal Pemegang Hak Cipta
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam huruf b.
Dalam Ayat (2) ditentukan bahwa kewajiban untuk menerjemahkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, dilaksanakan setelah lewat jangka waktu
3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya Ciptaan di bidang ilmu pengetahuan dan sastra
selama karya tersebut belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lebih
lanjut dalam Ayat (3) ditentukan bahwa kewajiban untuk memperbanyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah lewat jangka waktu:
a. 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang matematika dan ilmu
pengetahuan alam dan buku itu belum pernah diperbanyak di wilayah Negara
Republik Indonesia;
b. 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya buku di bidang ilmu sosial dan buku itu belum
pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia;
c. 7 (tujuh) tahun sejak diumumkannya buku di bidang seni dan sastra dan buku itu
belum pernah diperbanyak di wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam Ayat (4) ditentukan bahwa penerjemahan atau Perbanyakan
sebagaimana hanya dapat digunakan untuk pemakaian di dalam wilayah Negara
Republik Indonesia dan tidak untuk diekspor ke wilayah Negara lain. Kemudian
ditentukan bahwa penerjemahan atau perbanyakan oleh Pemegang Hak Cipta atau
orang lain yang ditunjuk harus disertai pemberian imbalan yang besarnya ditetapkan
dengan Keputusan Presiden. (Ayat 5). Sementara itu ketentuan tentang tata cara
pengajuan Permohonan untuk menerjemahkan dan/atau memperbanyak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden. (Ayat 6).

74

Selanjutnya dalam Pasal 17 diatur tentang kewenangan Pemerintah untuk


melarang Pengumuman setiap Ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan Negara, kesusilaan, serta
ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk mencegah beredarnya Ciptaan yang apabila diumumkan dapat
merendahkan nilai-nilai keagamaan, ataupun menimbulkan masalah kesukuan atau
ras, dapat menimbulkan gangguan atau bahaya terhadap pertahanan keamanan negara,
bertentangan dengan norma kesusilaan umum yang berlaku dalam masyarakat, dan
ketertiban umum. Misalnya, buku-buku atau karya-karya sastra atau karya-karya
fotografi.168
Demikian pula Pemerintah dapat mengumumkan suatu Ciptaan

untuk

kepentingan nasional melalui radio, televisi dan/atau sarana lain dengan tidak
meminta izin kepada Pemegang Hak Cipta dengan ketentuan tidak merugikan
kepentingan yang wajar dari Pemegang Hak Cipta, dan kepada Pemegang Hak Cipta
diberikan imbalan yang layak. Lembaga Penyiaran yang mengumumkan Ciptaan
tersebut juga berwenang mengabadikan Ciptaan itu semata-mata untuk Lembaga
Penyiaran itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya, Lembaga
Penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak kepada Pemegang Hak
Cipta yang bersangkutan. Hal tersebut di atas diatur dalam Pasal 18.
Pembatasan lain terdapat dalam Pasal 21 dan Pasal 22 mengenai pembatasan
Hak Cipta atas potret. Dalam Pasal 21 ditentukan bahwa tidak dianggap sebagai
pelanggaran Hak Cipta, pemotretan untuk diumumkan atas seorang Pelaku atau lebih
dalam suatu pertunjukan umum walaupun yang bersifat komersial, kecuali dinyatakan
lain oleh orang yang berkepentingan. Sementara Pasal 22 menentukan bahwa untuk
168

Penjelasan Pasal 17.

75

kepentingan keamanan umum dan/atau untuk keperluan proses peradilan pidana,


Potret seseorang dalam keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan
diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Mengenai masa perlindungan Hak Cipta, ketentuan UU 19/2002 hampir sama
dengan Konvensi Bern. Namun untuk karya fotografi UU 19/2002 memberikan masa
perlindungan selama 50 tahun, sementara Konvensi Bern hanya memberikan masa
perlindungan selama 20 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 30 UU 19/2002.
Di samping terdapat dalam ketentuan pembatasan, kepentingan umum juga
terdapat dalam ketentuan-ketentuan lain di dalam UU 19/2002. Pertama, ketentuan
mengenai Hak Cipta atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya. Pada Pasal 10
ditentukan bahwa negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah,
sejarah, dan benda budaya nasional lainnya serta atas folklor dan hasil kebudayaan
rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad,
lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Jika ada
orang yang bukan warga negara Indonesia ingin mengumumkan atau memperbanyak
foklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, maka orang tersebut
harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut.
Hak Cipta atas ciptaan yang tidak diketahui penciptanya dipegang oleh negara,
sehingga tidak dipegang dan disalahgunakan oleh pihak-pihak lain. Demikian juga
adanya keharusan untuk mendapatkan izin dari pemerintah bagi warga negara asing
untuk mengumumkan atau memperbanyak foklor dan kebudayaan rakyat yang
menjadi milik bersama dimaksudkan untuk mencegah adanya monopoli atau
komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin
negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Dengan kata lain ketentuan
ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai

76

kebudayaan tersebut.169 Ketentuan lebih lanjut

mengenai Hak Cipta yang dipegang

oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Selanjutnya dalam Pasal 11 diatur jika suatu Ciptaan tidak diketahui
Penciptanya dan Ciptaan itu belum diterbitkan, maka negara memegang Hak Cipta
atas Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya. Jika Ciptaan telah diterbitkan
tetapi tidak diketahui Penciptanya atau pada Ciptaan tersebut hanya tertera nama
samaran Penciptanya, maka Penerbit memegang Hak Cipta atas Ciptaan tersebut
untuk kepentingan Penciptanya. Dan jika suatu Ciptaan telah diterbitkan tetapi tidak
diketahui Penciptanya dan/atau Penerbitnya, maka negara memegang Hak Cipta atas
Ciptaan tersebut untuk kepentingan Penciptanya. Ketentuan Pasal 11 ini secara tidak
langsung merupakan penjabaran dari Article 7 (3) Konvensi Bern yang melindungi
ciptaan yang tidak diketahui penciptanya.
Ketentuan lain terdapat dalam Pasal 13 yang mengatur mengenai tidak adanya
Hak Cipta untuk karya tertentu, yaitu: hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
peraturan perundang-undangan; pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau keputusan badan arbitrase atau
keputusan badan-badan sejenis lainnya. Hal ini merupakan pengaturan yang
didasarkan pada Article 2 dan 2bis Konvensi Bern.
Demikian pula dalam Pasal 24 yang mengatur tentang Hak Moral. Terakhir
adalah ketentuan tentang lisensi yang terdapat dalam Pasal 47, di mana ditentukan
perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat menimbulkan akibat yang
merugikan perekonomian Indonesia atau memuat ketentuan yang mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang169

Lihat penjelasan Pasal 10 Ayat (2) UU 19/2002.

77

undangan yang berlaku. Oleh karena itu perjanjian lisensi wajib dicatatkan di
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual agar dapat mempunyai akibat hukum
terhadap pihak ketiga, dan Direktorat Jenderal wajib menolak pencatatan perjanjian
lisensi yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud di atas.
Melihat pembahasan sebelumnya mengenai pengaturan kepentingan umum
dalam Konvensi Bern, TRIPs dan UU 19/2002, dapat terlihat ruang lingkup
pengaturannya dan kejelasan aturan yang ada. Secara umum dapat dikatakan bahwa
pengaturan kepentingan umum dalam Konvensi Bern terdapat dalam ketentuanketentuan pembatasan

terhadap hak reproduksi dari pemegang Hak Cipta

sebagaimana, hak moral, dan masa perlindungan Hak Cipta yang terbatas. Namun
demikian ketentuan-ketentuan pembatasan dan masa perlindungan ini pengaturannya
diserahkan kepada masing-masing negara penandatangan konvensi. Oleh karena itu
ketentuan pembatasan dan masa perlindungan Hak Cipta dapat berbeda antara negara
yang satu dengan lainnya.
Pengaturan kepentingan umum dalam TRIPs berkaitan dengan Hak Cipta
secara umum mengacu pada ketentuan dalam Konvensi Bern. Namun demikian ada
beberapa perbedaan pengaturan antara keduanya. Pertama, perlindungan kepentingan
umum dalam bentuk hak moral yang diatur dalam Konvensi Bern tidak diatur dalam
TRIPs. Dengan demikian diserahkan kepada negara anggota WTO untuk mengakui
adanya hak moral atau tidak. Kedua, ketentuan pembatasan yang didasarkan pada
three step test dalam Pasal 13 TRIPs berlaku untuk semua hak eksklusif pemegang
Hak Cipta, sementara dalam Konvensi Bern hanya terkait dengan hak eksklusif
reproduksi. Ketiga, dalam TRIPs diatur prinsip exhaustion sementara dalam Konvensi
Bern tidak diatur. Keempat, TRIPs memuat ketentuan-ketentuan tentang tujuan dan
prinsip perjanjian TRIPs (Pasal 7 dan Pasal 8) yang didalamnya mengandung unsur

78

kepentingan umum, sementara di dalam Konvensi Bern tidak terdapat ketentuan yang
demikian.
Pengaturan kepentingan umum dalam UU 19/2002 yang tertuang dalam
ketentuan-ketentuan pengecualian dan pembatasan Hak Cipta, serta karya cipta yang
tidak dapat dilindungi pada dasarnya merupakan penjabaran atau implementasi dari
ketentuan yang diatur dalam Konvensi Bern. Namun demikian, jika mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat UU 19/2002, pengaturan kepentingan umum dalam
UU 19/2002 lebih luas ruang lingkupnya dari pada yang diatur dalam Konvensi Bern
dan TRIPs. Hanya saja ketentuan mengenai masa berlakunya perlindungan program
komputer dalam UU 19/2002 justru kurang mencerminkan adanya kepentingan
umum. Masa perlindungan untuk program komputer (tidak diatur dalam Konvensi
Bern), yang berdasarkan ketentuan TRIPs dipandang sebagai bagian karya sastra
sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Bern, yang berlaku selama 50 tahun justru
tidak memperlihatkan adanya kepentingan umum. Hal ini mengingat perkembangan
program komputer yang begitu cepat dan mengingat teknologi tersebut kebanyakan
berasal dari luar Indonesia, sehingga dikuatirkan Indonesia akan membayar royalti
yang lebih besar dalam waktu yang cukup lama.
Prinsip exhaustion dalam TRIPs yang secara tidak langsung berkaitan dengan
kepentingan umum, tidak diadopsi dalam UU 19/2002. Justru sebaliknya impor
paralel sebagai konsekuensi prinsip exhaustion dilarang. Hal ini diatur dalam Pasal 2
Ayat (1) yang ditegaskan dalam Penjelasannya, bahwa hak eksklusif pemegang Hak
Cipta termasuk hak mengimpor barang-barang yang dilindungi Hak Cipta. Dengan
demikian, pemegang Hak Cipta dapat melarang pihak lain untuk melakukan impor
paralel terhadap barang-barang yang dilindungi Hak Cipta tanpa mendapat izin
darinya. Idealnya sebagai negara importir murni terhadap barang-barang yang

79

mengandung Hak Cipta, Indonesia seharusnya tidak melarang impor paralel, karena
impor paralel memberikan manfaat yang besar pada konsumen karena dapat
meningkatkan persaingan, memperbanyak pilihan produk, dan menurunkan harga.
Menurut M. Hawin, seharusnya Undang-Undang Hak Cipta Indonesia menerima
prinsip exhaustion nasional.170
Beberapa ketentuan pembatasan dan pengecualian terhadap Hak Cipta masih
memerlukan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun
Keputusan Presiden. Namun sangat disayangkan Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden yang dimaksud belum diterbitkan. Dengan demikian pelaksanaan dari
beberapa ketentuan pembatasan dan pengecualian tersebut masih dapat menimbulkan
ketidakjelasan dan keragu-raguan.
Pada dasarnya prinsip kepentingan umum telah diakui keberadaannya dalam
hukum kekayaan intelektual, baik secara internasional maupun nasional. Sebagaimana
telah dibahas pada bagian sebelumnya prinsip kepetingan umum terdapat dalam
beberapa ketentuan Konvensi Bern, TRIPs, dan UU 19/2002. Namun demikian,
walaupun secara normatif prinsip kepentingan umum telah diakui dan diatur dalam
ketentuan-ketentuan di atas, dalam praktiknya tidak selalu berjalan dengan mudah.
Ujian tiga tahap sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Bern dan TRIPs,
yang salah satu unsurnya adalah penggunaan yang wajar (fair use atau fair
dealing), masih sering menimbulkan perbedaan dalam menafsirkannya. Hal ini telah
menyebabkan ketentuan pembatasan dan pengecualian dalam Undang-Undang Hak
Cipta Amerika Serikat diajukan ke panel WTO oleh Masyarakat Eropa (EC).171
170

M. Hawin, op.cit, hlm. 259. Prinsip exhaustion nasional ini terutama dapat diterapkan
terhadap impor paralel di mana penjualan pertama kali barang-barang-barang yang mengandung Hak
Cipta dilakukan di Indonesia. Sebaliknya larangan impor paralel dapat diberlakukan terhadap barangbarang yang penjualan pertama kalinya dilakukan di luar negeri.
171
Henning Grosse Ruse Khan, Policy Space For Domestic Public Interest Measures Under
TRIPS, Research Paper 22 South Centre July 2009, p. 20, http://ssrn.com/abstract=1542542 . Three

80

Dalam lingkup penerapan di masing-masing negara juga masih belum ada


pedoman yang baku. Penggunaan yang wajar atau fair use masih diputuskan
berdasarkan kasus per kasus dengan prediktibilitas yang kecil. 172 Di Amerika Serikat,
doktrin fair use telah terbentuk melalui putusan pengadilan yang selanjutnya
diadopsi dalam Undang-Undang Hak Cipta.173 Untuk menilai apakah terdapat fair
use atau tidak, berdasarkan Section 107 US Copyright Act, pengadilan harus
memutuskan berdasarkan empat faktor. Pertama, tujuan dan sifat penggunaan. 174
Pengadilan sangat mungkin memutuskan penggunaan adalah fair jika penggunaannya
untuk tujuan non-komersial, misalnya tinjauan buku. Kedua, sifat karya yang
mengandung Hak Cipta. Pengadilan sangat mungkin memutuskan penggunaan adalah
fair jika karya yang diperbanyak adalah karya faktual dari pada jika karya itu karya
kreatif. Ketiga, jumlah dan substansialitas porsi yang digunakan. Pengadilan sangat
mungkin memutuskan penggunaan adalah fair jika yang digunakan adalah jumlah
yang sedikit dari karya yang dilindungi. Jika jumlah yang digunakan adalah kecil
tetapi substansial dari segi pentingnya inti dari karya yang diperbanyak sangat
sulit untuk diputuskan sebagai penggunaan yang fair. Keempat, pengaruhnya terhadap
pasar karya asli.
Di Australia untuk menentukan apakah suatu penggunaan adalah fair
dealing, berdasarkan Section 40-43 Copyright Act 1968, harus memenuhi empat
syarat, yaitu:175 bertujuan untuk penelitian atau pendidikan (section 40); kritikan atau
steps test yang awalnya berasal dari Article 9 (2) Berne Convention yang kemudian diadopsi dalam
Article 13, 17, 26 (2), dan 30 TRIPs dalam penerapannya telah menyebabkan Undang-Undang Paten
Canada, Undang-undang Hak Cipta Amerika Serikat, dan Undang-undang Indikasi Geografis Uni
Eropa diajukan ke panel WTO.
172

Steven D. Jamar , Op.cit., pada hlm. 642


173

Lihat Holger Postel, The Fair use Doctrine in The U.S American Copyright Act and Similar Regulations
in The German Law, 5 Chi.-Kent J. Intell. Prop. 142.
174
Eric Allen Engle, When is Fair Use Fair? A Comparison of E.U. and U.S. Intellectual Property Law,
Transnational Lawyer Spring 2002 (15 Transnat'l Law. 187), pada hlm. 194.
175
Anne Fitzgerald & Brian Fitzgerald. Intellectual Property in principle.Lawbook Co. 2004, hlm. 168

81

tinjauan (section 41); pelaporan berita (section 42); atau proses peradilan atau
pemberian nasihat hukum secara profesional (section 43). Sementara untuk pedoman
implementasi dari keempat syarat tersebut diatur lebih lanjut pada pasal-pasal
berikutnya.176
Uni Eropa (European Union) juga mengenal prinsip fair use melalui
pembatasan yang diberlakukan terhadap hak eksklusif pemegang hak, di mana melalui
Copy Right Directive-nya membolehkan anggota-anggota Uni untuk membuat
pengecualian dan pembatasan dalam undang-undangnya pada Hak Cipta yang tidak
menggantikan pasar utama dari suatu ciptaan. 177 Misalnya Uni membolehkan
pengecualian atau pembatasan terhadap hak reproduksi dan komunikasi dari
pemegang hak untuk tujuan-tujuan, antara lain: penyertaan secara insidental suatu
ciptaan dalam ciptaan lainnya; ilustrasi informasi yang bersifat non-komersial untuk
tujuan pengajaran atau penelitian ilmiah; perpustakaan umum yang mereproduksi atau
mengkomunikasikan bagian-bagian buku atau film; pelaporan atau penyiaran berita;
kutipan dalam kritikan atau tinjauan sesuai dengan praktik yang wajar; karikatur
atau parodi; penyebaran informasi mengenai pidato politik dan kuliah umum atau
yang sejenisnya; perayaan resmi atau keagamaan; arsitektur atau patung; demonstrasi
atau perbaikan peralatan; dan hal-hal

kurang penting tertentu lainnya jika

pengecualian atau pembatasan (non-digital) telah ada berdasarkan hukum nasional.178


Di Indonesia prinsip fair use ini secara tegas diatur dalam UU 19/2002 pada
Pasal 15, 16, dan 18. Ketentuan yang mengandung prinsip fair use, terutama terlihat
pada Pasal 15. Pada Pasal tersebut ditentukan bahwa tidak dianggap sebagai
176

Ibid., hlm.168-171
Hannibal Travis, *331 Opting Out of The Internet in The United States and The European
Union: Copyright, Safe Harbors, and International Law, Notre Dame Law Review November, 2008
(84 Notre Dame L. Rev. 331) pada hlm.341.
178
Ibid.
177

82

pelanggaran Hak Cipta dengan syarat harus disebutkan atau dicantumkan sumbernya,
penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta (Ayat 1). Demikian
juga terhadap. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian,
guna keperluan: (i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan; atau (ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran
dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta (Ayat 3).
Juga bukan merupakan pelanggaran, perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra,
kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial (Ayat 4). Dan perbanyakan suatu
Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau
proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau
pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan
aktivitasnya (Ayat 5).
Dari ketentuan Pasal 15 tersebut Ayat (1) dan Ayat (3) secara tegas
mensyaratkan prinsip fair use yaitu adanya kata-kata tidak merugikan kepentingan
yang wajar dari Pencipta. Sementara Ayat (4) dan (5) secara tersirat mensyaratkan
prinsip fair use, yaitu dengan adanya kata-kata jika perbanyakan yang dilakukan
tidak bersifat komersial. Dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (1) dijelaskan yang
dimaksud dengan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta
adalah suatu kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati
manfaat ekonomi atas suatu Ciptaan.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas memperlihatkan bahwa pengaturan
prinsip fair use dalam UU 19/2002 hampir sama dengan ketentuan-ketentuan di

83

Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia. Hanya saja penerapan prinsip fair use
dalam UU 19/2002 lebih kuat dalam penekanan pada prinsip kepentingan umum. Hal
ini terlihat pada Ayat (4) yang memungkinkan perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra tanpa
adanya pembatasan, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial. Dengan
demikian, seberapapun banyaknya perbanyakan suatu ciptaan asalkan dalam huruf
Braille guna keperluan tunanetra bukan dianggap pelanggaran Hak Cipta. Ketentuan
ini tidak sejalan dengan Ayat (5), yang mensyaratkan perbanyakan harus dilakukan
secara terbatas.
Berbeda halnya dengan praktik di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Australia,
pengujian pelaksanaan prinsip fair use dalam praktik hukum di Indonesia masih
sangat jarang. Oleh karena itu, penilaian terhadap pelaksanaan prinsip fair use di
Indonesia belum dapat dilakukan secara mendalam.
Walaupun ketentuan-ketentuan Konvensi Bern, TRIPs, dan Undang-Undang
Hak Cipta masing-masing negara secara normatif mengakui dan melindungi
kepentingan umum dalam perlindungan Hak Cipta, namun dewasa ini ada upaya
untuk menekan perlindungan kepentingan umum dalam hak kekayaan intelektual.
Konvensi Bern dan TRIPs yang mempertegas keberadaannya, hanya memberikan
pengaturan standar perlindungan minimum terhadap Hak Cipta. Hal ini membuat
negara-negara maju menghendaki standar perlindungan yang tegas, yang dikenal
dengan standar TRIPs plus melalui perjanjian-perjanjian investasi, perdagangan,
dan treati-treati WIPO, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada negara-negara
berkembang.179 Melalui TRIPs plus ini negara-negara maju dapat menghilangkan
179

Lihat Emmanuel Dalle Mulle, How human rights can inform the WIPO Development Agenda ,
2010 3D _ Trade Human Rights Equitable Economy, April 2010, hlm.8 sebagaimana yang diakses
dalam http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0. Bandingkan pula Carolyn Deere, The
Implementation Game The TRIPS Agreement and the Global of Intellectual Property Reform in

84

pembatasan-pembatasan yang diakui dan dibolehkan dalam Perjanjian TRIPs dan


membuat pengaturan tersendiri, misalnya jangka waktu perlindungan HKI. Hal ini
pada hakikatnya menunjukkan kelemahan dari pengaturan standar perlindungan
minimum dalam TRIPs.180
Amerika serikat, misalnya, menekan Chili dan Singapura untuk mengadopsi
ketentuan-ketentuan

Digital

Millenium

Copyright

Act181

dalam

persetujuan

perdagangan bebas. Amerika juga memasukkan ketentuan-ketentuan yang melampaui


jangka waktu perlindungan Hak Cipta dalam persetujuan perdagangan bebas dengan
Singapura dan Australia, walaupun banyak dikritik oleh publik Amerika sendiri. 182
Sementara itu, perlindungan yang penting untuk kepentinga publik, seperti previlese
penggunaan yang wajar (fair use privilege) dalam Undang-Undang Hak Cipta
Amerika, tidak dimasukkan dalam persetujuan-persetujuan perdagangan bebas
tersebut.183
Dengan adanya TRIPs plus, maka perlindungan kepentingan umum yang
terdapat dalam Konvensi Bern, TRIPs dan Undang-Undang Hak Cipta nasional
masing-masing negara menghadapi tantangan yang berat. Posisi tawar masing-masing

Developing Countries, Oxford : Oxford University Press, 2009, hlm. 1.


180

Hal ini menimbulkan pemikiran untuk mengatur pemberlakuan standar


perlindungan
maksimum. Gagasan ini antara lain dikemukakan oleh Annette Kur & Henning Grosse Ruse Khan,
Enough is Enough The Notion of Binding Ceilings in International Intellectual Property Protection, Max
Planck Institute for Intellectual Property, Competition & Tax Law Research Paper Series No. 09-01
http://ssrn.com/abstract=1326429.
181

Lihat Peter K. Yu, Currents and Crosscurrents in the International Intellectual Property Regime ,
Legal Studies Research Paper Series No. 02-12 p.44, http://ssrn.com/abstract=578572; Sebagai
perbandingan lihat juga Peter K. Yu, Five Disharmonizing Trends in the International Intellectual
Property Regime, Legal Studies Research Paper Series Research Paper No. 03-28, hlm.17,
http://ssrn.com/abstract=923177
182

Peter K. Yu, Currents and Crosscurrents in the International Intellectual Property Regime, Ibid.

183

Ibid.

85

negara sangat menentukan dalam mempertahankan kepentingan umum dalam


perlindungan Hak Cipta ketika membuat perjanjian dengan negara-negara maju.

4.4.2 Paten
a. Persyaratan Paten
Paten adalah bagian dari HKI yang berkaitan dengan hak kekayaan
perindustrian (industrial property rights), yang objeknya berkaitan dengan invensi di
bidang teknologi. Pada dasarnya semua invensi di bidang teknologi dapat diberikan
Paten, sepanjang memenuhi persyaratan yang ditentukan peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam Pasal 27 Ayat (1) TRIPs ditentukan persyaratan Paten
bahwa:
Subject to the provisions of paragraphs 2 and 3, patents shall be available for
any inventions, whether products or processes, in all fields of technology,
provided that they are new, involve an inventive step and are capable of
industrial application.5 Subject to paragraph 4 of Article 65, paragraph 8 of
Article 70 and paragraph 3 of this Article, patents shall be available and patent
rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field
of technology and whether products are imported or locally produced.
Berdasarkan ketentuan tersebut, paten dapat diberikan untuk semua invensi, apakah
berupa produk atau proses, dalam semua bidang teknologi, sepanjang invensi tersebut
baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Ketentuan
TRIPs tersebut menjadi dasar acuan bagi perundang-undangan paten seluruh negara
peserta WTO. Di Indonesia persyaratan paten diatur dalam Pasal 2 UU No. 14/2001,
yang menentukan: Paten diberikan untuk Invensi yang baru dan mengandung
langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Dengan demikian syarat paten
dalam UU No.14/2001 sama dengan ketentuan TRIPs.
Invensi di sini diartikan sebagai ide inventor yang dituangkan ke dalam suatu
kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk

86

atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. 184 Jadi ada
unsur kreativitas intelektual manusia yang timbul dari usaha untuk memecahkan
masalah teknis tertentu. Ada upaya untuk melakukan perubahan secara fisik.185
Selanjutnya mengenai syarat kebaruan (novelty) ditentukan bahwa suatu
invensi dianggap baru jika pada Tanggal Penerimaan, invensi tersebut tidak sama
dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya, yaitu teknologi yang telah
diumumkan di Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau
melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk
melaksanakan Invensi tersebut sebelum Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas.
Teknologi yang diungkapkan sebelumnya mencakup dokumen Permohonan yang
diajukan di Indonesia yang dipublikasikan pada atau setelah Tanggal Penerimaan yang
pemeriksaan substantifnya sedang dilakukan, tetapi Tanggal Penerimaan tersebut
lebih awal daripada Tanggal Penerimaan atau tanggal prioritas Permohonan. 186
Selanjutnya ditentukan bahwa suatu invensi tidak dianggap telah diumumkan jika
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sebelum Tanggal Penerimaan,
invensi tersebut telah dipertunjukkan dalam suatu pameran internasional di Indonesia
atau di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran
nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi atau invensi tersebut telah
digunakan di Indonesia oleh inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan
penelitian dan pengembangan. Invensi juga tidak dianggap telah diumumkan apabila
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum Tanggal Penerimaan, ternyata ada

184

Pasal 1 Angka 2 UU No. 14/2001

185

Mark J. Davision, Ann L. Monotti, and Leanne Wiseman, Australian Intellectual Property
Law, Cambridge University Press, 2008, hlm. 377.
186

Pasal 3 UU No. 14/2001

87

pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga
kerahasiaan invensi tersebut.187
Dengan syarat kebaruan terhadap suatu invensi yang akan diberikan paten,
diharapkan akan memberikan sesuatu yang baru pada masyarakat. Tidak ada paten
yang diberikan pada sesuatu yang telah diketahui. 188 Pada dasarnya kebaruan dapat
dilihat dari tiga aspek, yaitu dari sisi teknologinya, dari sisi wilayah, dan dari sisi
tenggat waktu pendaftaran setelah adanya pengungkapan.189 Dari sisi teknologi, suatu
invensi dikatakan baru jika bukan merupakan bagian dari teknologi yang telah
diungkapkan sebelumnya (prior art atau state of art) sebagai pembanding. Dari segi
wilayah, secara tradisional suatu negara biasanya hanya melihat antisipasi dari prior
art dalam wilayahnya sendiri. Namun dengan adanya perkembangan teknologi secara
internasional, ada kecenderungan untuk membedakan antisipasi prior art melalui
publikasi dokumen dan melalui penggunaan. Publikasi dokumen internasional (world
wide) merupakan antisipasi prior art atas invensi yang dapat menggugurkan nilai
kebaruan. Sedangkan antisipasi atas penggunaan hanya berlaku dalam wilayah negara
yang bersangkutan. Artinya jika seseorang mengajukan paten atas invensinya,
sepanjang tidak ada publikasi dokumentasi di negara-negara lain yang dapat dijadikan
prior art untuk mengantisipasi invensinya, maka invensinya dianggap memenuhi
unsur kebaruan. Sebaliknya, sepanjang tidak ada orang lain yang menggunakan
invensi yang sama di negaranya (walaupun di negara lain mungkin sudah ada), maka
invensinya tetap dianggap memenuhi unsur kebaruan.190 Sedangkan dari segi tenggat

187

Pasal 4 UU No. 14/2001

188

Mark J. Davision, Loc.cit.


189

Rahmi Jened, Op.cit, hlm. 118.


190

Ibid, hlm. 119.

88

waktu pendaftaran setelah pengungkapan (grace period), suatu invensi dianggap baru
jika permohonan pendaftaran paten (filling date) tidak melebihi 6 (enam) bulan dari
pengungkapan invensi yang bersangkutan.191
Selanjutnya suatu invensi dianggap mengandung langkah inventif jika suatu
invensi bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik merupakan
hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Penilaian bahwa suatu invensi merupakan
hal yang tidak dapat diduga sebelumnya harus dilakukan dengan memperhatikan
keahlian yang ada pada saat Permohonan diajukan atau yang telah ada pada saat
diajukan permohonan pertama dalam hal Permohonan itu diajukan dengan Hak
Prioritas.192
Suatu invensi dianggap dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable)
jika invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam industri sebagaimana yang diuraikan
dalam Permohonan.193 Jika Invensi tersebut dimaksudkan sebagai produk, produk
tersebut harus mampu dibuat secara berulang-ulang (secara massal) dengan kualitas
yang sama, sedangkan jika Invensi berupa proses, proses tersebut harus mampu
dijalankan atau digunakan dalam praktik.194

b. Cara Perolehan Paten


Di dunia dikenal dua sistem atau cara perolehan Paten, yaitu first to file system
(pihak yang pertama mengajukan pendaftaran) dan first to invent system (pihak yang
pertama menggunakan atau menemukan). Sistem first to file menyaratkan bahwa
191

Ibid.
192

Pasal 2 Ayat (2) dan (3) UU No. 14/2001


193

Pasal 5 UU No.14/2001
194

Penjelasan Pasal 5 UU No.14/2001

89

perlindungan paten hanya diberikan kepada inventor yang pertama kali mengajukan
pendaftaran. Sistem ini dianut hampir seluruh negara di dunia, kecuali Amerika
Serikat.195 Sebaliknya, sistem first to use atau to invent menyaratkan bahwa
perlindungan paten hanya diberikan kepada inventor yang pertama kali memikirkan
suatu invensi dan menggunakannya. Dalam sistem first to invent pun masih ada
kewajiban untuk mendaftarkan. Hanya saja bagi pihak inventor pertama diberikan
kemungkinan untuk melakukan keberatan terhadap pihak yang mendaftarkan tersebut.
Sistem ini mengatur pemberian prioritas jika terjadi dua atau lebih pemohon
perlindungan paten, yaitu dengan memberikan paten kepada pihak yang pertama kali
melakukan invensi dan bukan pada pihak yang pertama mendaftarkan invensi.
Permohonan paten dapat diajukan di setiap kantor paten negara yang dituju
atau secara internasional melalui kantor PCT dan dilakukan secara tertulis. 196 Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 24 UU No.14/2001, yang menyaratkan sebagai
berikut:
(1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat
Jenderal.
(2) Permohonan harus memuat:
a. tanggal, bulan, dan tahun Permohonan;
b. alamat lengkap dan alamat jelas Pemohon;
c. nama lengkap dan kewarganegaraan Inventor;
d. nama dan alamat lengkap Kuasa apabila Permohonan diajukan melalui Kuasa;
e. surat kuasa khusus, dalam hal Permohonan diajukan oleh Kuasa;
f. pernyataan permohonan untuk dapat diberi Paten;
g. judul Invensi;
h. klaim yang terkandung dalam Invensi;
i. deskripsi tentang Invensi, yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara
melaksanakan Invensi;
195

Namun dengan disahkan dan berlakunya Leahy-Smith Amerian Invents Act yang
diundangkan 16 September 2011 dan mulai berlaku efektif 16 Maret 2012, Amerika Serikat juga
menerapkan sistem first to file. Dengan demikian pada tgl 16 Maret 2013, seluruh negara di dunia telah
menggunakan sistem pendaftaran sebagai dasar perlindungan paten. Lihat Reena Jain, America: Last in
Line for First-to-File, The Columbia Science and Technology Law Review, 6 April 2012 sebagaimana
yang diakses pada www.stlr.org/2012/04/america-last-in-line
196

Di beberapa negara maju dapat dilakukan pendaftaran secara on line, misalnya di Jepang, Amerika
Serikat.

90
j. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukanwww.legalitas.o
k. untuk memperjelas Invensi; dan
l. abstrak Invensi
Permohonan juga dapat dilakukan dengan hak prioritas disertai dengan bukti hak
prioritas sebagaimana yang dipersyaratkan. Dalam lingkup internasional, Hak
prioritas diatur dalam Pasal 4 Konvensi Paris (Paris Convention) dan Pasal 8 PCT.
Dalam UU No. 14/2001 diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 29. Pasal 4
Konvensi Paris menentukan:

A.
(1) Any person who has duly filed an application for a patent, or for the registration of a
utility model, or of an industrial design, or of a trademark, in one of the countries of the
Union, or his successor in title, shall enjoy, for the purpose of filing in the other countries,
a right of priority during the periods hereinafter fixed.
C.
(1) The periods of priority referred to above shall be twelve months for patents and utility
models, and six months for industrial designs and trademarks.
(2) These periods shall start from the date of filing of the first application; the day of filing
shall not be included in the period.

Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang


berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the protection of
Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk
memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal
prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu
selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
berdasarkan Paris Convention tersebut.197

Untuk dapat mengajukan klaim Hak

prioritas ada beberapa persyaratan formal yang harus dipenuhi, yaitu:198


a. Permohonan prioritas harus sama dengan permohonan pertama kali atas invensi
yang
sama;
b. Pemohon harus sama;
197

Pasal 1 Angka 12 UU No.14/2001

198

Rahmi Jened, Op.cit., hlm. 125

91
c. Kedua permohonan harus untuk invensi yang sama;
d. Permohonan hak prioritas diajukan dalam kurun waktu 12 (dua belas) bulan.
Permohonan paten, baik permohonan biasa maupun dengan hak prioritas, selanjutnya
akan diberikan tanggal penerimaan pendaftaran oleh Ditjen HKI, jika seluruh
persyaratan administratif yang dipersyaratkan telah terpenuhi. Tanggal penerimaan
sangat penting karena merupakan tanggal dimulainya perlindungan Paten, jika
permohonan pendaftarannya diterima dan Paten diberikan. Jika persyaratan
administratif telah terpenuhi, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan substantif.
Pemeriksaan substantif ini berkaitan dengan syarat kebaruan, langkah inventif, dan
dapat diterapkannya dalam industri terhadap invensi yang dimohonkan paten.
Sebelum dilakukan pemeriksaan substantif, pemohon dapat mengajukan
perubahan terhadap permohonan, yaitu dengan cara mengubah deskripsi dan/atau
klaim dengan ketentuan bahwa perubahan tersebut tidak memperluas lingkup Invensi
yang telah diajukan dalam Permohonan semula.199 Permohonan juga dapat diubah dari
Paten menjadi Paten Sederhana atau sebaliknya oleh Pemohon dengan tetap
memperhatikan ketentuan undang-undang.200

Di samping dimungkinkan untuk

mengajukan perubahan, pemohon juga menarik kembali permohonannya dengan


mengajukannya secara tertulis kepada Direktorat Jenderal.201
Terhadap permohonan paten yang telah memenuhi persyaratan administratif,
serta tidak dilakukan perubahan dan penarikan kembali, akan dilakukan pengumuman.
Dalam hal Paten, segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak Tanggal Penerimaan
atau segera setelah 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal prioritas apabila
Permohonan diajukan dengan Hak Prioritas. Sedangkan dalam hal Paten Sederhana,
199

Pasal 35 UU No. 14/2001

200

Pasal 37 UU No.14/2001
201

Pasal 39 UU No.14/2001

92

segera setelah 3 (tiga) bulan sejak Tanggal Penerimaan. Pengumuman dapat dilakukan
lebih awal atas permintaan Pemohon dengan dikenai biaya.202 Pengumuman
dilaksanakan selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya
Permohonan Paten dan 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diumumkannya
Permohonan Paten Sederhana.203 Pengumuman ini dimaksudkan untuk memberikan
kesempatan kepada setiap pihak yang berkepentingan untuk dapat mengajukan secara
tertulis pandangan dan/atau keberatannya atas Permohonan dengan mencantumkan
alasannya dan Direktorat Jenderal segera mengirimkan salinan surat yang berisikan
pandangan dan/atau keberatan tersebut kepada Pemohon. Atas pandangan dan
keberatan yang diajukan, Pemohon berhak mengajukan secara tertulis sanggahan dan
penjelasan terhadap pandangan dan/atau keberatan tersebut kepada Direktorat
Jenderal. Selanjutnya Direktorat Jenderal menggunakan pandangan dan/atau
keberatan, sanggahan, dan/atau penjelasan tersebut sebagai tambahan bahan
pertimbangan dalam tahap pemeriksaan substantif.204
Setelah

dilakukan

pengumuman,

Pemohon

paten

dapat

mengajukan

permohonan pemeriksaan substantif secara tertulis kepada Direktorat Jenderal dengan


membayar biaya.205 Permohonan tersebut diajukan paling lama 36 (tiga puluh enam)
bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan dan apabila permohonan pemeriksaan
substantif tidak diajukan dalam batas waktu sebagaimana dalam jangka waktu
tersebut atau biaya untuk itu tidak dibayar, Permohonan dianggap ditarik kembali.206

202

Pasal 42 UU No. 14/2001


203

Pasal 44 UU No. 14/2001


Pasal 45 UU No. 14/2001

204

205

Pasal 48 UU No. 14/2001

206

Pasal 49 UU No. 14/2001

93

Selanjutnya Direktorat Jenderal berkewajiban memberikan keputusan untuk


menyetujui atau menolak Permohonan, yaitu untuk Paten paling lama 36 (tiga puluh
enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat permohonan pemeriksaan
substantif dan untuk Paten Sederhana, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak
Tanggal Penerimaan.207 Jika permohonan paten dikabulkan, maka kepada pemohon
akan diberikan Sertifikat Paten. Sebaliknya jika permohonan ditolak, kepada pemohon

akan diberikan surat penolakan.208


Dalam hal permohonan ditolak, pemohon diberikan kesempatan untuk
mengajukan permohonan banding kepada Komisi Banding. Jika Komisi Banding
menerima dan menyetuji permohonan banding tersebut, maka Direktorat Jenderal
wajib

melaksanakan keputusan Komisi Banding. Dalam hal Komisi Banding

menolak permohonan banding, Pemohon atau Kuasanya dapat mengajukan gugatan


atas keputusan tersebut ke Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga,
hanya dapat diajukan kasasi.209

c. Hak Eksklusif Paten


Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas
hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan
sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya.210 Dengan demikian paten adalah pengakuan negara terhadap
207

Pasal 54 UU No. 14/2001


208

Pasal 55 sampai 57 UU No. 14/2001


209

Pasal 62 UU No. 14/2001

210

Pasal 1 Angka 1 UU No. 14/2001

94

kreasi intelektual berupa invensi di bidang teknologi. Mengenai hak eksklusif


pemegang Paten, Pasal 28 TRIPs menentukan:
1. A patent shall confer on its owner the following exclusive rights:
(a) where the subject matter of a patent is a product, to prevent third parties not
having the owners consent from the acts of: making, using, offering for sale,
selling, or importing6 for these purposes that product;
(b) where the subject matter of a patent is a process, to prevent third parties not
having the owners consent from the act of using the process, and from the acts of:
using, offering for sale, selling, or importing for these purposes at least the
product obtained
directly by that process.
2. Patent owners shall also have the right to assign, or transfer by succession, the
patent and to conclude licensing contracts.
Sejalan dengan Pasal 28 TRIPs tersebut, UU No. 14/2001 mengatur hal yang
sama dalam Pasal 16, yang pada prinsipnya memberikan hak eksklusif pada
Pemegang Paten untuk melaksanakan sendiri atau memberikan izin pada pihak lain
untuk melaksanakan Patennya. Hak eksklusif untuk melaksanakan sendiri atau
memberikan izin pihak lain melalui perjanjian lisensi adalah merupakah Hak
Ekonomi Pemegang Paten. Di samping memberikan Hak Ekonomi, Paten juga
mengandung Hak Moral, yaitu bahwa nama inventor tetap dicantumkan pada Paten
jika Paten dipegang oleh pihak lain yang bukan inventor.211

d. Kepentingan Umum dalam Perlindungan Paten


Kepentingan umum dalam perlindungan Paten telah diatur baik secara
eksplisit atau implist dalam Konvensi Paris, TRIPs, dan UU No. 14/2001. Konvensi
Paris yang ditandatangani pada tahun 1883, merupakan konvensi yang mengatur hak
milik perindustrian, yang meliputi Paten, Paten sederhana, Desain Industri, Merek,
Indikasi Asal, dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.212 Karena latar belakang lahirnya
211

Lihat Pasal 68 UU No.14/2001

212
Indonesia meratifikasi Konvensi Paris pada tahun 1979 melalui Keputusan Presiden Nomor 24
Tahun 1979 sebagaimana yang diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 tentang

95

konvensi ini adalah untuk melindungi pemegang hak milik perindustrian, tidak ada
ketentuan yang secara khusus mengatur pengecualian dan pembatasan terhadap hak
eksklusif. Namun demikian, ada beberapa ketentuan dalam konvensi ini yang dapat
dikatakan sebagai pengecualian dan pembatasan terhadap pemegang hak paten.
Dalam Pasal 5, misalnya, ditentukan bahwa negara peserta konvensi berhak untuk
mengatur pemberian lisensi wajib untuk mencegah penyalahgunaan yang mungkin
terjadi karena pelaksanaan hak eksklusif yang diberikan melalui paten, misalnya,
kegagalan untuk melaksanakan paten.213 Negara peserta juga dapat membatalkan
paten jika pemberian lisensi wajib tidak mampu untuk mencegah penyalahgunaan hak
eksklusif. Namun demikian, pembatalan atau pencabutan paten tersebut tidak dapat
dilakukan sebelum berahirnya dua tahun sejak pemberian lisensi wajib yang
pertama.214 Di samping itu, lisensi wajib tidak dapat diterapkan karena alasan
kegagalan untuk melaksanakan paten atau pelaksanaan yang tidak memadai sebelum
jangka waktu dua tahun sejak tanggal pengajuan permohonan paten atau tiga tahun
sejak tanggal pemberian paten, atau jangka waktu mana berakhirnya lebih lama; dan
lisensi wajib tersebut harus non-eksklusif dan tidak dapat dialihkan, meskipun dalam
bentuk pemberian sub-lisensi.215
Selanjutnya dalam Pasal 5ter diatur beberapa penggunaan yang tidak dianggap
sebagai pelanggaran terhadap hak eksklusif pemegang paten, yaitu: (1) penggunaan
pada kapal penumpang dari negara peserta lain terhadap peralatan yang dilindungi
paten pada badan kapal, mesin, katrol, persneling, dan perlengkapan lainnya, jika
Perubahan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 1979 tentang Pengesahan Paris Covention for the
Protection of Industrial Property dan Convention Establishing The World Intellectual Property
Organization.
213

Pasal 5 Ayat (2)

214

Pasal 5 Ayat (3)

215

Pasal 5 Ayat (4)

96

kapal tersebut hanya sementara atau secara kebetulan memasuki perairan negara yang
bersangkutan, dengan ketentuan peralatan tersebut digunakan secara khusus untuk
kebutuhan kapal tersebut; (2) penggunaan peralatan yang dilindungi paten dalam
pembuatan atau pengoperasian pesawat terbang atau kendaraan darat dari negara
peserta lain, atau perlengkapan pesawat udara atau kendaraan darat tersebut, jika
pesawat udara atau kendaraan darat tersebut hanya sementara atau secara kebetulan
memasuki negara yang bersangkutan.
Ketentuan pengecualian di atas yang terbatas pada perlengkapan kapal laut,
pesawat udara, atau kendaraan darat, dapat dimaklumi mengingat perkembangan
teknologi saat dilahirkannya konvensi ini belum begitu pesat dan belum beragam
bidang teknologinya. Namun yang pasti bahwa konvensi ini juga mengakomodasi
pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif pemegang paten.
Dalam TRIPs, pengakuan dan perlindungan terhadap kepentingan umum
dalam perlindungan paten diatur secara umum dalam Pasal 7 dan Pasal 8. Pada
prinsipnya kedua pasal TRIPs tersebut menentukan bahwa perlindungan hak kekayaan
intelektual, termasuk paten, harus dilakukan dengan cara yang mendukung
kesejateraan sosial dan ekonomi dan adanya keseimbangan hak dan kewajiban.
Demikian pula diberikan kelonggaran bagi negara-negara anggota WTO untuk
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk melindungi kesehatan dan nutrisi
masyarakat, dan untuk mengedepankan kepentingan umum pada sektor-sektor yang
sangat penting bagi pembangunan sosial-ekonomi dan teknologinya, serta untuk
mencegah penyalahgunaan hak kekayaan intelektual oleh pemegang hak, dengan
ketentuan bahwa langkah-langkah tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam

97

Perjanjian TRIPs. Pasal 7 dan Pasal 8 ini merupakan titik pusat bagi implementasi dan
penafsiran Perjanjian TRIPs.216
Prinsip-prinsip yang terkandung dalam kedua pasal tersebut selanjutnya
diimplementasikan dalam ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan paten. Pada
Pasal 27 Ayat (2) dan Ayat (3), TRIPs memberikan kelonggaran pada negara-negara
anggota untuk tidak memberikan paten pada invensi-invensi tertentu untuk
melindungi ketertiban umum (ordre public) atau moralitas, termasuk untuk
melindungi kehidupan manusia, binatang atau tanaman atau kesehatan atau untk
menghindari kerusakan yang parah terhadap lingkungan, dengan ketentuan
pengecualian tersebut dibuat tidak semata-mata karena ekploitasi terhadap invensi
tersebut dilarang oleh hukumnya. Demikian juga terhadap metode-metode diagnostik,
terapi, dan operasi untuk pengobatan terhadap manusia atau binatang, serta terhadap
tanaman dan binatang selain mikro-organisme.
Pengecualian di atas menimbulkan beberapa hal yang terkait dengan
implementasinya pada tingkat nasional. Makna moralitas dan ordre public kabur dan
berubah-ubah, dan muatannya tergantung pada pandangan pejabat kantor paten atau
hakim.217 Konsep ketertiban umum ini dapat saja ditafsirkan lebih sempit dari pada
ketertiban umum atau kepentingan umum (public order or public interest).
Misalnya saja, berdasarkan Pedoman Pemeriksaan Kantor Paten Eropa, ketertiban
umum dihubungkan dengan alasan keamanan seperti

kerusuhan atau kekacauan

masyarakat, dan invensi-invensi yang dapat menimbulkan tindakan kriminal atau

216

Peter K. Yu, Op.cit, hlm. 1018


217
Carlos M. Correa, Intellectual Property Rights, the WTO and Developing Countries The
TRIPS Agreement and Policy Options, London: Third World Network, hlm. 62. Bandingkan dengan
Nurul Barizah, op.cit., hlm. 85 catatan kaki 269 yang menjelaskan asal usul konsep ordre public dan
makna yang sesungguhnya.

98

tindakan kejahatan yang lain.218 Namun demikian, tidak ada pengertian ketertiban
umum yang telah diterima secara umum. Oleh karena itu, negara-negara anggota
WTO memiliki keleluasaan untuk menentukan keadaan yang termasuk dalam
ketertiban umum, bergantung pada konsepsi masing-masing negara terhadap
perlindungan nilai-nilai masyarakat. Pasal 27 Ayat (2) sendiri menunjukkan bahwa
konsep tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan keamanan; pasal tersebut juga
berkaitan dengan perlindungan manusia, kehidupan binatang dan tanaman atau
kesehatan dan dapat diterapkan pada invensi-invensi yang dapat menimbulkan
kerusakan yang parah terhadap lingkungan. Demikian juga dengan konsep
moralitas, sangat bergantung pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilainilai tersebut tidak sama dalam kultur dan negara yang berbeda, dan ada kemungkinan
nilai-nilai itu pada suatu saat mengalami perubahan. Untuk menentukan apakah suatu
tindakan tertentu dapat dipandang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental suatu
masyarakat adalah persoalan kebijakan publik nasional.219
Ketentuan TRPs lain yang secara tidak langsung berkaitan dengan kepentingan
umum adalah Pasal 29 tentang pengungkapan invensi (disclosure), yang harus
dilakukan dengan jelas dan lengkap. Tujuan pengungkapan ini adalah agar dapat
dipahami dan dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tersebut.
Bahkan TRIPS juga membolehkan negara anggota WTO untuk mensyaratkan agar
pemohon menunjukkan cara terbaik untuk melaksanakan invensi tersebut yang
diketahui oleh inventor. Hal ini bertujuan tidak hanya untuk menjamin dapat
direproduksinya invensi oleh orang yang memiliki keahlian umum, tetapi juga untuk
mencegah inventor memperoleh perlindungan ketika menyembunyikan perwujudan
218

Ibid.
Kantor Paten Eropa telah beberapa kali menggunakan pertimbangan ketertiban umum dan
moralitas dalam melakukan pemeriksaan terhadap permohonan paten. Lebih lanjut, lihat ibid, hlm.66
219

99

invensi yang dinginkannya dari publik. Satu isu penting yang tidak diatur oleh
Perjanjian TRIPs adalah pengungkapan invensi yang berhubungan dengan
mikroorganisme, karena akses pada pengetahuan yang terkait hanyalah mungkin
melalui akses terhadap materi itu sendiri. Akses tersebut harus tersedia sesegera
mungkin, mulai dari pengumumuman permohonan, seperti yang diatur dalam hukum
Eropa.220
Selanjutnya TRIPs juga memberikan pengecualian-pengecualian terhadap hak
eksklusif pemegang paten, pengecualian mana dapat dipandang sebagai wujud
perlindungan kepentingan umum. Pasal 30 memberikan kemungkinan bagi negaranegara anggota untuk memberikan pembatasan-pembatasan secara terbatas terhadap
hak-hak ekslusif yang diberikan kepada pemegang paten, sepanjang pengecualianpengecualian itu tidak bertentangan dengan pemanfaatan yang wajar dari paten dan
secara tidak wajar merugikan kepentingan-kepentingan yang sah dari pemegang
paten, dan mempertimbangkan kepentingan yang sah dari pihak-pihak ketiga. Dari
kata-kata Pasal 30 yang sangat umum ini, terlihat bahwa pengecualian terhadap hak
eksklusif pemegang paten harus memenuhi tiga syarat, yaitu: bersifat terbatas, tidak
bertentangan dengan eksploitasi paten secara normal, dan tidak secara tidak wajar
merugikan kepentingan yang sah dari pemegang paten. Di samping ketiga syarat
tersebut, juga harus dipertimbangkan kepentingan yang sah pihak ketiga. Ketiga
persyaratan tersebut lazim juga disebut dengan three step test untuk paten.
Ketentuan Pasal 30 ini memerlukan penjelasan lebih lanjut, misalnya mengenai
istilah penggunaan yang wajar dan kepentingan sah yang dimiliki oleh pemegang
paten dan pihak ketiga. Persoalan pengertian kepentingan-kepentingan yang sah ini
telah dibawa ke forum Dispute Settlement Body WTO dalam kasus EU/Canada.
220

Carlos M. Correa, Ibid., hlm. 73. Bandingkan Nurul Barizah, op.cit., hlm. 106.

100

Dalam kasus tersebut DSB mendukung pengertian norma yang luas untuk
pertimbangan ekonomi, sosial, dan politik, yang terkait dengan konteks HIV/AIDS.221
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat kebebasan yang memadai bagi
hukum masing-masing negara untuk menentukan jenis dan lingkup pengecualian
terhadap hak eksklusif pemegang paten. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak
memberikan kebebasan tanpa batas dalam menentukan pengecualian di tingkat
nasional.222
Berdasarkan praktik di beberapa jurisdiksi, beberapa jenis pengecualian
diperbolehkan dalam lingkup Pasal 30, yaitu: kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara
pribadi dan bukan dalam lingkup komersial, atau bukan untuk tujuan komersial;
penggunaan invensi untuk penelitian; penggunaan invensi untuk tujuan pengajaran;
percobaan terhadap invensi untuk pengujian atau peningkatan terhadapnya;
pembuatan obat berdasarkan resep individu; percobaan-percobaan yang dilakukan
dengan maksud untuk mendapatkan persetujuan pengaturan bagi pemasaran suatu
produk setelah berakhirnya paten; penggunaan invensi oleh pihak ketiga yang telah
menggunakannya dengan iktikad baik sebelum tanggal permohonan paten; importasi
produk yang memiliki paten yang telah dipasarkan di negara lain dengan persetujuan
pemegang paten.223
Dari jenis-jenis pengecualian di atas, penggunaan pengecualian terhadap
percobaan atau penelitian dimungkinkan berdasarkan Pasal 30. Kebanyakan negara
221

WTO Panel Report on EU/Canada Patent Protection of Pharmaceutical Products, WT/DS


114/R, March 17, 2000, www.docsonline.wto.org. Bandingkan dengan Hans Henrik Lidgard and
Jeffery Atik, Facilitating Compulsory Licensing under TRIPS in Response to the AIDS Crisis in
Developing Countries, SSRN: http://ssrn.com/abstract =794228, hlm.6.
222

Nurul Barizah, op.cit., hlm.98

223

Carlos M. Correa, op.cit.,hlm. 75.

101

menyediakan pengecualian ini, tetapi lingkup yang tepat dari pengecualian ini telah
menjadi bahan perdebatan yang seru di antara para pakar hukum. 224 Di Amerika
pengecualian ini diterima, walaupun secara terbatas, umumnya untuk tujuan-tujuan
ilmiah.225 Di Eropa dan negara-negara lain, percobaan pada invensi tanpa persetujuan
pemegang paten juga diperbolehkan untuk tujuan-tujuan komersial. Konvensi Paten
Masyarakat Eropa, misalnya, menetapkan bahwa bukanlah merupakan pelanggaran
dalam

hal kegiatan-kegiatan yang

dilakukan untuk tujuan percobaan yang

berhubungan dengan pokok invensi yang dipatenkan.226 Di Jepang penggunaan


pengecualian percobaan didasarkan pada ketentuan undang-undang, tetapi tidak ada
rujukan lebih lanjut terhadap arti percobaan.227 Pada tahun 1991, Mahkamah Agung
Jepang memutuskan bahwa Test Ekuivalensi Biologi harus dipandang sebagai suatu
penggunaan percobaan berdasarkan Section 69 Undang-Undang Paten Jepang.228 Di
Australia, tidak terdapat ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan
percobaan sebagai pengecualian. Dengan tidak adanya ketentuan yang tegas dan
putusan pengadilan tentang penggunaan percobaan, menimbulkan ketidakpastian di
antara para peneliti. Sehingga banyak peneliti yang menganggap bahwa penggunaan
percobaan sebagai pengecualian adalah pengecualian tersirat dalam sistem paten
common law.
Dapat diterapkannya pengecualian terhadap percobaan lebih tidak jelas dalam
bidang bioteknologi. Misalnya, penggunaan informasi sekuensi cDNA untuk
224

Nurul Barizah, op.cit., hlm. 100

225

Carlos M. Correa, op.cit, hlm. 76. Juga dapat dilihat pada Nurul Barizah, ibid..

226

Carlos M. Correa, ibid.

227

Nurul Barizah, Ibid, hlm. 102

228

Ibid.

102

menghasilkan protein tertentu dipandang sebagai pelanggaran di Amerika Serikat,


sementara hal itu tidak jelas berdasarkan kebijakan di Jepang dan Eropa. 229 Pada sisi
lain, Undang-Undang Paten Meksiko mengatur pengecualian yang tegas berkaitan
dengan material yang hidup. Undang-Undang tersebut menentukan bahwa pemilik
paten tidak dapat mencegah pihak ketiga untuk menggunakan produk yang
dipatenkan, sebagai sumber awal atau perbanyakan untuk menghasilkan produk lain,

kecuali penggunaan yang demikian telah dilakukan sebelumnya.230


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis dan lingkup
penggunaan pengecualian terhadap hak eksklusif pemegang paten tergantung pada
kebijakan dan hukum yang berlaku di masing-masing negara anggota WTO,
sepanjang tidak merugikan kepentingan yang sah dari pemegang paten dan pihak
ketiga.
Ketentuan lain dalam TRIPs yang berhubungan dengan kepentingan umum
adalah Pasal 31. Ketentuan Pasal ini memberikan kemungkinan bagi negara-negara
anggota WTO untuk memberikan lisensi wajib (compulsory license). Perjanjian
TRIPs mengacu pada lima alasan untuk pemberian lisensi wajib, yaitu: 231 penolakan
untuk melakukan perjanjian (refusal to deal), keadaan darurat atau sangat urgen,
praktik-praktik yang anti-kompetitif, penggunaan non-komersial, dan paten yang
terikat (dependent patent).
Walaupun TRIPs telah mengatur beberapa alasan untuk pemberian lisensi
wajib, namun TRIPs tidak membatasi hak negara-negara anggota WTO untuk
229

Ibid., hlm.104.

230

Ibid.

231

Carlos M. Correa, op.cit., hlm.89.

103

mendasarkan lisensi wajib pada

alasan-alasan lain yang tidak secara langsung

disebutkan dalam Pasal 31, misalnya, untuk melindungi lingkungan atau alasan
kepentingan umum. Perjanjian TRIPs hanya menentukan syarat-syarat yang harus
dipenuhi untuk pemberian lisensi wajib tersebut. Sama halnya dengan ketentuan
Pasal 30, ketentuan dalam Pasal 31 juga kurang jelas mengenai beberapa hal.
Misalnya, ketentuan tersebut tidak menentukan kapan suatu keadaan darurat dapat
digunakan, sebesar apa upaya yang dilakukan untuk memperoleh perjanjian sukarela
dengan pemegang paten sebelum dikatakan gagal, berapa besarnya kompensasi royalti
yang harus diberikan kepada pemegang hak paten. Dengan demikian, semuanya
bergantung pada negara yang mengimpor. Sepanjang negara tersebut mengikuti
prosedur TRIPs, maka negara tersebut dapat menentukan sendiri keputusannya.232
Penggunaan lisensi wajib juga direkomendasikan oleh WHO dalam hal
penyalahgunaan paten atau keadaan darurat nasional dengan tujuan untuk memastikan
bahwa harga obat dapat terjangkau oleh daya beli setempat. Demikian pula, UNAIDS
juga menganjurkan penggunaan lisensi wajib, terutama di negara-negara di mana
penyebaran HIV/AIDS sangat tinggi.233 Berbeda dengan yang umumnya diharapkan,
negara-negara maju, yang memiliki sistem kesehatan publik yang baik, masih
menggunakan kemungkinan untuk memberikan lisensi wajib, sementara masih sedikit
lisensi wajib yang digunakan di negara-negara berkembang. 234 Negara-negara maju
yang paling banyak menggunakan lisensi wajib, antara lain adalah Canada dan

232

Hans Henrik Lidgard and Jeffery Atik, op.cit., hlm.7

233

Nurul Barizah, op.cit, hlm.105.

234

Kurangnya lisensi wajib digunakan di negara-negara berkembang disebabkan beberapa alasan,


antara lain: kurangnya teknologi yang memadai dan kemampuan manufaktur, kurang tersedianya
informasi yang lengkap dan handal mengenai paten-paten yang diberikan, prosedur yang rumit, dan
adanya pandangan pemegang paten yang mengganggap lisensi wajib sebagai ancaman.

104

Amerika Serikat.235 Pada sebagian besar negara yang menganut sistem civil law, telah
terdapat peraturan yang mengatur lisensi wajib, tetapi dalam kenyataannya
kesempatan tersebut jarang yang digunakan.236
Salah satu aspek yang dapat dipertimbangkan oleh negara-negara berkembang
adalah apakah lisensi wajib harus diberikan untuk pembuatan/manufaktur produk
yang dilindungi atau pengimporan. Dalam banyak situasi (seperti jika diperlukan
investasi yang besar, jika terdapat hambatan-hambatan yang menghalangi akses
terhadap teknologi yang mendukung, atau jika ada kebutuhan untuk memperbaiki
praktik-praktik yang anti-kompetitif atau untuk menghadapi situasi-situasi darurat),
satu-satunya cara yang efektif untuk menggunakan lisensi wajib adalah melalui
pengimporan.237
Ketentuan TRIPs lain yang secara tidak langsung berhubungan dengan
kepentingan umum adalah masa perlindungan paten. Pada Pasal 32 TRIPs ditentukan
bahwa masa perlindungan paten adalah sekurang-sekurangnya 20 tahun. Setelah
berakhirnya masa perlindungan paten ini, maka teknologi yang ada menjadi milik
publik (public domain).
Terakhir adalah prinsip exhaustion yang diatur dalam Pasal 6 TRIPs. Yang
dimaksud prinsip exhaustion adalah prinsip yang mengandung makna bahwa
penjualan pertama yang sah terhadap barang-barang milik pemegang hak kekayaan
intelektual secara langsung menghilangkan hak pemilik kekayaan intelektual untuk
mengontrol penanganan selanjutnya terhadap barang-barang tersebut.238 Dengan
235

Nurul Barizah, ibid,

236

Hans Henrik Lidgard and Jeffery Atik, loc.cit.

237

Carlos M. Correa, op.cit., hlm.93.

238

Prinsip exhaustion dikenal juga sebagai first sale doctrine.

105

demikian, pembeli barang bebas untuk memperlakukan barang-barang tersebut tanpa


melanggar hak-hak pemegang hak kekayaan intelektual. 239 Dari pengertian dan
keadaan di atas, pada satu sisi, prinsip ini memberikan pembatasan pada pemilik HKI,
dan juga, pada sisi lain, memberikan hak yang tidak terbatas bagi pembeli barang
tidak hanya untuk menggunakannya tetapi juga untuk menjualnya. Keadaan yang
demikian ini menyiratkan adanya unsur kepentingan umum.
UU

No.14/2001

sebagai

pengejawantahan

konvensi

dan

perjanjian

internasional di bidang Paten, di samping mengakui adanya hak eksklusif bagi


pemegang hak paten juga mengatur pembatasan dan pengecualian terhadap hak
eksklusif tersebut. Pengaturan pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif
sebagai wujud dari perlindungan kepentingan umum terdapat dalam beberapa pasal
UU 14/2001.
Pertama, dalam Pasal 7 ditentukan bahwa Paten tidak diberikan untuk Invensi
yang terkait dengan proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan atau
pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
moralitas agama, ketertiban umum, atau kesusilaan; metode pemeriksaan, perawatan,
pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan;
teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika; atau semua makhluk
hidup, kecuali jasad renik; proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman
atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikrobiologis.
Ketentuan Pasal 7 UU 14/2001 pada dasarnya sesuai dan sejalan dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) Perjanjian TRIPs. Secara substansial
tidak ada permasalahan dengan pembatasan ini. Namun yang menjadi persoalan
adalah apa yang dimaksud dengan bertentangan dengan peraturan perundang239

M. Hawin, Op.cit., hlm. 25

106

undangan yang berlaku. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai kata-kata
tersebut. Berbeda halnya dengan di Australia, walaupun tidak ada pengertian di dalam
perundang-undangan tentang kata bertentangan dengan perundang-undangan yang
berlaku, hal tersebut diatur dalam Buku Pedoman Pemeriksa. Bahkan di samping
memberikan pengertian dan penjelasan tentang hal tersebut, Buku Pedoman
Pemeriksa juga memberikan contoh-contoh

invensi yang dikategorikan

sebagai

bertentangan dengan perundang-undangan.240 Dengan tidak adanya penjelasan atau


buku pedoman, penentuan apakah invensi bertentangan dengan perundang-undangan
yang berlaku dapat dilihat melalui spesifikasi dan klaim tertulis yang diajukan.
Persoalan pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di atas juga sama halnya dalam menentukan pengertian kata ketertiban
umum dan moralitas agama. Hal ini juga tidak diberikan pengertian dalam UU
14/2001 maupun penjelasannya. Dengan demikian penentuan makna kata-kata
tersebut bergantung pada penafsiran pegawai Kantor Paten dan hakim niaga. Dengan
tidak adanya Buku Pedoman atau bentuk lainnya, maka pegawai Kantor Paten dan
hakim niaga akan mengalami kesulitan dalam menafsirkan makna kata-kata tersebut.
Untuk mengatasi hal tersebut sebaiknya pemerintah Indonesia mengeluarkan
peraturan pemerintah atau buku pedoman yang dapat menjadi pedoman dalam
menentukan dan mengklasifikasi jenis invensi yang dipandang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, dan ketertiban
umum.241
Persoalan lain yang terkait dengan ketentuan Pasal 7 adalah tidak dapat
dipatenkannya invensi yang terkait makhluk hidup, termasuk manusia, hewan atau
240

Nurul Barizah, op.cit., hlm. 260.

241

Ibid, hlm.261.

107

tanaman. Dalam Memori Penjelasan Umum UU 14/2001, dijelaskan bahwa ketentuan


yang diatur dalam Pasal 7 huruf

d dimaksudkan untuk mengakomodasi usulan

masyarakat agar bagi Invensi tentang makhluk hidup (yang mencakup manusia,
hewan, atau tanaman) tidak dapat diberi Paten. Sikap tidak dapat dipatenkannya
Invensi tentang manusia karena hal itu bertentangan dengan moralitas agama, etika,
atau kesusilaan. Di samping itu, makhluk hidup mempunyai sifat dapat mereplikasi
dirinya sendiri.242 Pertanyaan yang dapat muncul dari ketentuan di atas, adalah apakah
invensi yang terkait dengan bagian dari makhluk hidup, misalnya gen, dapat
dipatenkan. Jika membaca ketentuan Pasal 7 huruf d (i) di atas dapat ditafsirkan
bahwa yang dikecualikan dari dapat dipatenkannya suatu invensi adalah manusia,
binatang, atau tanaman secara keseluruhan. Dengan demikian, jika hanya bagian dari
makhluk hidup itu maka dapat diberikan paten.243 Jadi invensi yang terkait dengan gen
dapat dipatenkan, demikian pula bagian dari tanaman dalam bentuk varietas tanaman
dapat dilindungi melalui Perlindungan Varietas. Jika penafsiran ini dapat diterima,
maka akan menimbulkan persoalan terkait dengan nilai-nilai moral dan agama yang
berlaku.244
Kedua, adalah ketentuan Pasal 16 Ayat (3). Ketentuan pasal tersebut
menyatakan bukan pelanggaran terhadap hak eksklusif pemegang paten pemakaian
paten untuk kepentingan pendidikan, penelitian, percobaan, atau analisis sepanjang
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pemegang Paten. Ketentuan in
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi pihak yang betul-betul memerlukan

242

Ibid, hlm. 264

243

Ibid, hlm. 265.

244

Ibid.

108

penggunaan Invensi semata-mata untuk penelitian dan pendidikan.245 Pengaturan


pembatasan dengan alasan untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan percobaan ini
adalah sejalan dengan ketentuan Pasal 30 TRIPs, seperti yang telah dibahas
sebelumnya.
Ketiga, adalah ketentuan Pasal 42 47 tentang pengumuman. Ditentukan
bahwa adanya permohonan paten diumumkan

dalam Berita Resmi Paten yang

diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Jenderal dan/atau menempatkannya pada


sarana khusus yang disediakan oleh Direktorat Jenderal yang dengan mudah serta
jelas dapat dilihat oleh masyarakat (Pasal 43). Dengan adanya pengumuman yang
mudah dan jelas dapat dilihat oleh masyarakat ini, maka setiap pihak dapat melihatnya
dan dapat mengajukan secara tertulis pandangan dan/atau keberatannya atas
Permohonan yang bersangkutan dengan mencantumkan alasannya. (Pasal 45).
Keempat, adalah ketentuan Pasal 74-87 yang mengatur tentang Lisensi Wajib.
Yang dimaksud dengan lisensi wajib adalah

Lisensi-wajib adalah Lisensi untuk

melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan keputusan Direktorat Jenderal atas


dasar permohonan (Pasal 74). Untuk dapat diberikan lisensi wajib harus memenuhi
beberapa persyaratan, yaitu: Paten yang bersangkutan tidak dilaksanakan atau
dilaksanakan tidak sepenuhnya di Indonesia oleh Pemegang Paten. (Pasal 75 Ayat
(2)); paten telah dilaksanakan oleh Pemegang Paten atau Penerima Lisensi dalam
bentuk dan dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat (Pasal 75 Ayat (3)).
Ketentuan Pasal 75 Ayat (3) ini juga terkait dengan Pasal 91 huruf c, yang
menentukan bahwa jika dalam jangka waktu dua tahun setelah lisensi wajib diberikan,
keberadaan lisensi wajib tersebut ternyata tidak mampu mencegah berlangsungnya
pelaksanaan Paten dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat,
245

Penjelasan Pasal 16 (3) UU 14/2001

109

paten tersebut dimintakan pembatalan melalui gugatan.

Di samping persyaratan

di atas, pemohon juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu: 246 mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan sendiri Paten yang bersangkutan secara penuh;
mempunyai sendiri fasilitas untuk melaksanakan Paten yang bersangkutan dengan
secepatnya; dan telah berusaha mengambil langkah-langkah dalam jangka waktu yang
cukup untuk mendapatkan Lisensi dari Pemegang Paten atas dasar persyaratan dan
kondisi yang wajar, tetapi tidak memperoleh hasil; dan

Direktorat Jenderal

berpendapat bahwa Paten tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia dalam skala


ekonomi yang layak dan dapat memberikan manfaat kepada sebagian besar
masyarakat. Selanjutnya ditentukan bahwa, ketentuan lebih lanjut mengenai lisensi
wajib akan diatur melalui peraturan pemerintah.247 Namun sangat disayangkan, hingga
kini peraturan pemerintah yang dimaksud belum diterbitkan.
Kelima, adalah ketentuan Pasal 99 yang mengatur tentang Pelaksanan Paten
oleh Pemerintah. Ditentukan bahwa pemerintah dapat melaksanakan sendiri suatu
paten apabila Pemerintah berpendapat bahwa suatu Paten di Indonesia sangat penting
artinya bagi pertahanan keamanan Negara dan terdapat kebutuhan sangat mendesak
untuk kepentingan masyarakat. Kebutuhan sangat mendesak untuk kepentingan
nasional mencakup, antara lain bidang kesehatan seperti obat-obatan yang masih
dilindungi Paten di Indonesia yang diperlukan untuk menanggulangi penyakit yang
berjangkit secara luas (endemi). Demikian juga dalam bidang pertanian, misalnya
pestisida yang sangat dibutuhkan untuk menanggulangi gagalnya hasil panen secara
nasional yang disebabkan oleh hama. Sebagaimana diketahui, salah satu fungsi suatu
246

Pasal 76 UU 14/2001
247

Pasal 87 UU 14/2001

110

Paten adalah untuk menjamin kelangsungan hidup perekonomian negara serta


mengupayakan makin meningkatnya kesejahteraan masyarakat di negara yang
bersangkutan.248 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan paten oleh pemerintah
ini diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden, yaitu Peraturan Presiden No. 27
Tahun 2004 tentang Penggunaan Paten oleh Pemerintah untuk Obat Anti-Retroviral.
Tentunya diharapkan pelaksanaan paten oleh pemerintah ini tidak hanya terbatas pada
Obat Anti-Retroveral saja, tetapi juga untuk obat-obatan penting lainnya.
.Keenam, adalah ketentuan Pasal 135. Dalam pasal ini ditentukan dua alasan
pengecualian terhadap tuntutan pidana terhadap pelanggaran paten. Pertama adalah
terkait dengan impor paralel produk farmasi (obat-obatan).249 Tujuannya adalah untuk
menjamin adanya harga yang wajar dan memenuhi rasa keadilan dari produk farmasi
yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Ketentuan ini dapat digunakan
apabila harga suatu produk di Indonesia sangat mahal dibandingkan dengan harga
yang telah beredar secara sah di pasar internasional. 250 Kedua adalah memproduksi
produk farmasi yang dilindungi Paten di Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
sebelum berakhirnya perlindungan Paten dengan tujuan untuk proses perizinan
kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan Paten tersebut berakhir.251
Tujuan pengecualian ini adalah untuk menjamin tersedianya produk farmasi oleh
pihak lain setelah berakhirnya masa perlindungan Paten. Dengan demikian, harga
produk farmasi yang wajar dapat diupayakan.

248

Penjelasan Pasal 99 Ayat (1) UU 14/2001

249

Pasal 135 huruf a

250

Penjelasan Pasal 135 huruf a UU 14/2001

251

Pasal 135 huruf b

111

Namun demikian, adanya ketentuan Pasal 135 tidak berarti UU 14/2001


membolehkan impor paralel terhadap produk farmasi yang dilindungi paten. Karena
dalam Pasal 130 ditentukan bahwa impor paralel adalah pelanggaran pidana.
Ketentuan tersebut hanya mengecualikan dari tuntutan pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 130, tetapi tidak menghilangkan hak pemegang paten untuk
menuntut ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 118, yang memberikan hak
kepada pemegang paten atau penerima lisensi untuk mengajukan gugatan ganti rugi
kepada Pengadilan Niaga terhadap tindakan impor paralel. 252 Dengan demikian,
akibatnya tujuan Indonesia untuk mempermudah pengimporan paralel produk-produk
farmasi, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 135 huruf a di atas, dapat
terhalang oleh ketentuan Pasal 118 Ayat (1) tersebut.253
Melihat ketentuan-ketentuan di atas, seharusnya Indonesia tidak hanya
mengecualikan impor paralel dari sanksi pidana, tetapi harus membuat hak importasi
pemegang hak berakhir setelah penjualan pertama terhadap produk-produk farmasi.
Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. 254 Pertama adalah untuk
perlindungan konsumen. Indonesia harus membolehkan impor paralel produk-produk
farmasi untuk melindungi kepentingan konsumen yang memerlukan obat-obatan
dengan harga yang lebih murah. Penjelasan Umum UU 14/2001 sendiri menyatakan
bahwa tujuan pengecualian terhadap sanksi pidana adalah untuk menjamin agar harga
produk-produk farmasi yang dibutuhkan untuk kesehatan manusia adalah harga yang
wajar. Harga obat-obatan yang diimpor melalui distributor resmi di Indonesia sangat
mahal dibandingkan dengan kebanyakan negara lain. Misalnya, jumlah yang sama
252

Pasal 118 Ayat (1)

253

M. Hawin, Op.cit., hlm. 272

254

Ibid, hlm. 272-275.

112

terhadap antibiotik Amoxil, yang diproduksi oleh SmithKline Beecham, dijual dengan
harga 40 dolar AS, sementara harganya hanya 8 dolar AS di Pakistan, 14 dolar AS di
Canada, dan 36 dolar AS di Amerika Serikat. 255 Harga obat-obatan yang tinggi di
Indonesia telah menciptakan situasi di mana sekitar 30-40% penduduk Indonesia tidak
mampu membelinya.
Alasan kedua adalah karena Perjanjian TRIPs tidak melarang negara anggota
WTO untuk membolehkan impor paralel produk-produk farmasi. Berdasarkan Pasal
28 (1) ditentukan bahwa pemegang hak paten berhak mengontrol importasi
produknya. Namun sesuai dengan ketentuan Pasal 6, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, negara peserta dapat menundukkan hak eksklusif pada prinsip
exhaustion dalam artian bahwa pemegang hak kehilangan haknya setelah dia
menempatkan produknya di pasar. Dalam kaitannya dengan produk-produk farmasi,
interpretasi ini telah ditegaskan melalui Deklarasi tentang Perjanjian TRIPs dan
Kesehatan Publik yang dikeluarkan pada Pertemuan Menteri WTO keempat di Doha,
Qatar. Deklarasi tersebut menyatakan bahwa Perjanjian TRIPs tidak dapat digunakan
untuk menentang kebijakan yang mengizinkan impor paralel khususnya terhadap
obat-obatan yang penting. Berdasarkan kenyataan ini, Indonesia dapat mengadopsi
prinsip penjualan pertama produk-produk farmasi oleh pemegang paten atau dengan
persetujuannya menghilangkan haknya untuk mencegah tindakan selanjutnya dengan
produk-produk tersebut termasuk pengimporannya ke Indonesia.256
Alasan ketiga adalah Indonesia dapat menahan tekanan pihak luar terkait
dengan kebijakan pada pengimporan produk-produk farmasi. Salah satu pertimbangan
pelarangan impor paralel terhadap produk yang dilindungi paten adalah tekanan dari
255

Ibid, hlm. 272

256

Ibid.

113

pihak luar. Indonesia seharusnya mampu menahan tekanan pihak luar, khususnya dari
Amerika Serikat. Di samping dapat menggunakan kedua alasan di atas, Indonesia juga
dapat menggunakan alasan bahwa di Amerika Serikat sendiri terjadi tekanan yang
kuat melegalkan importasi obatan-obatan untuk mengurangi harga obat-obatan,
terutama untuk menolong orang-orang berusia lanjut. Kelompok Demokrat di
Kongres mengajukan usulan untuk membolehkan impor paralel obat-obatan dari
negara lain, seperti Canada dan Meksiko, jika harga obat-obatan di kedua negara ini
lebih murah dari pada harga di Amerika Serikat.257
Berdasarkan ketiga alasan di atas, pemerintah Indonesia harus berani
mengubah ketentuan-ketentuan impor paralel yang berkaitan dengan obat-obatan
dalam UU 14/2001.

4.4.3 Varietas Tanaman


a. Persyaratan Varietas Tanaman
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) adalah merupakah hal yang baru dalam
rezim HKI. Hal ini dapat dilihat dari pengaturannya secara internasional yang baru
muncul pada tahun 1961, yaitu dengan diterimanya The International Union for the
Protection of New Varieties of Plants atau yang biasa disingkat dengan UPOP. UPOV
adalah singkatan yang berasal dari terjemahan bahasa Perancis untuk kata-kata ini,
yaitu Union Internationale pour la Protection des Obstentions Vegetales.258
Sebelum lahirnya konvensi UPOV ini, pada awal tahun 1930, Amerika Serikat
mengenalkan satu bentuk khusus hak eksklusif yang dinamakan paten tanaman, yang,
namun demikian, hanya berlaku untuk tanaman-tanaman yang dikembangbiakkan
257

Ibid.
258

Lihat http://www.upov.int/about/fr/index/html. Bandingkan WIPO, Op.cit, hlm.332.

114

tanpa penyerbukan.259 Selanjutnya sekelompok negara Eropa berkumpul pada tahun


1961 untuk mendirikan Konvensi bagi Perlindungan Varietas Tanaman Baru. 260
Konvensi ini telah mengalami beberapa kali revisi, yaitu pada tahun 1972, 1978, dan
1991.261 Hasil revisi dari ketentuan konvensi ini pada tahun 1978 disebut dengan
Ketentuan 1978 (1978 Act), sementar untuk revisi tahun 1991 disebut dengan
Ketentuan 1991 (1991 Act). Setelah berlakunya Ketentuan 1991 pada tanggal 24 April
1998, keikutsertaan pada Ketentuan 1978 tertutup dengan pengecualian terhadap
negara-negara yang telah menginisiasi prosedur keikutsertaan pada saat itu.
Secara umum, walaupun tidak secara eksplisit, dasar pengaturan PVT juga
terdapat dalam TRIPs, sebagaimana yang terdapat Pasal 23 Ayat (3), yang
menentukan:
Members may also exclude from patentability:
(a);
(b) plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological
processes for the production of plants or animals other than non-biological
and microbiological processes. However, Members shall provide for the
protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis
system or by any combination thereof. The provisions of this subparagraph
shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO
Agreement.
Dengan demikian negara anggota WTO berkewajiban memberikan perlindungan
varietas tanaman baik melalui paten maupun melalui sistem sui generis atau gabungan
dari keduanya. Dalam UU No. 14/2001 Pasal 7 d (ii) tidak disebutkan secara eksplisit
mengenai PVT, karena itu dapat disimpulkan bahwa perlindungan varietas tanaman
diberikan secara sui generis. Demikian pula, dalam lingkup internasional, walaupun
TRIPs tidak secara eksplisit maupun implisit menunjuk pada UPOV sebagai
259

WIPO, Ibid.

260

Ibid. Bandingkan Nurul Barizah, Op.cit., hlm. 152.

261
Lihat
naskah
UPOV,
sebagaimana
yang
http://www.upov.int/upovlex/en/conventions/1991/w_up910_.html #_1

dapat

diakses

pada

115

ketentuan sui generis untuk PVT, namun karena dalam praktiknya UPOV adalah satusatunya konvensi internasional di bidang PVT, maka pengaturan sui generis PVT
didasarkan pada ketentuan-ketentuan UPOV. Hal ini juga dapat kita lihat dalam di
dalam dasar pertimbangan pembentukan UU No.29/2000 yang menyatakan bahwa
pengaturan perlindungan varietas tanaman melalui undang-undang di dasarkan pada
konvensi internasional. Walaupun tidak secara eksplisit menunjuk UPOV, tetapi
karena konvensi internasional satu-satunya tentang PVT adalah UPOV, maka sui
generis yang menjadi dasar pengaturan PVT dalam UU No.29/2000 adalah UPOV.
Hal ini lebih diperkuat dalam Penjelasan Umum Undang-Undang yang menyatakan
bahwa UU No.29/2000 adalah merupakan pelaksanaan kewajiban internasional, yang
salah satunya timbul dari UPOV.262
Semua varietas tanaman yang tidak dilindungi melalui paten dapat dilindungi
melalui PVT. Semua jenis tanaman dapat diberik hak PVT, baik yang berbiak secara
generatif maupun secara vegetatif, kecuali bakteri, bakteroid, mikoplasma, virus,
viroid dan bakteriofag.263 Namun varietas tanaman264 atau varietas tersebut harus
memenuhi persyaratan tertentu untuk mendapatkan perlindungan. Untuk mendapatkan
hak PVT berdasarkan UPOV, suatu varietas tanaman harus memenuhi syarat novelty
(baru), distinctiveness (berbeda), uniformity (seragam), stability (stabil), dan
denomination (diberi nama).265 Ketentuan UPOV tersebut tercermin dalam Pasal 2
Ayat (1) UU No.29/2000 yang menentukan bahwa: Varietas yang dapat diberi PVT
262

Paragraf keempat UU 29/2000

263

Penjelasan Pasal 2 UU 29/2000


264

Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu
jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji,
dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau
spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak
mengalami perubahan.
265

Pasal 5 sampai 9 UPOV

116

meliputi varietas dari jenis atau spesies tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan
diberi nama.
Selanjutnya Pasal 2 Ayat (2) menentukan syarat kebaruan bahwa:
Suatu varietas dianggap baru apabila pada saat penerimaan permohonan hak
PVT, bahan perbanyakan atau hasil panendari varietas tersebut belum pernah
diperdagangkan di Indonesia atau sudah diperdagangkan tetapi tidak lebih dari
setahun, atau telah diperdagangkan di luar negeri tidak lebih dari empat tahun
untuk tanaman semusim dan enam tahun untuk tanaman tahunan
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa persyaratan kebaruan tergantung pada ada
tidaknya tindakan komersialisasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dalam
jangka waktu tertentu. Dengan demikian masih dimungkinkan dalam periode tertentu
(grace period), pemulia tanaman menguji nilai jual atau komersialisasi varietas
tanamannya sebelum mengajukan permohonan pendaftaran perlindungan.
Untuk syarat unik, Pasal 2 Ayat (3) menentukan bahwa: Suatu varietas
dianggap unik apabila varietas tersebut dapat dibedakan secara jelas dengan varietas
lain yang keberadaannya sudah diketahui secara umum pada saat penerimaan
permohonan hak PVT.
Selanjutnya Pasal 2 Ayat (4) menentukan bahwa suatu varietas dianggap
serangan apabila sifat-sifat utama atau penting pada varietas tersebut terbukti seragam
meskipun bervariasi sebagai akibat dari cara tanam dan lingkungan yang berbedabeda.
Selanjutnya Pasal 2 Ayat (5) menentukan bahwa: suatu varietas dianggap
stabil apabila sifat-sifatnya tidak mengalami perubahan setelah ditanam berulangulang, atau untuk yang diperbanyak melalui siklus perbanyakan khusus, tidak
mengalami perubahan pada setiap akhir siklus tersebut.

117

Terakhir Pasal 2 Ayat (6) menentukan bahwa untuk mendapatkan PVT, suatu
varietas harus diberi penamaan yang selanjutnya menjadi nama varietas tanaman yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa:
a. nama varietas tersebut terus dapat digunakan meskipun masa perlindungan telah
habis;
b. pemberian nama tidak boleh menimbulkan kerancuan terhadap sifat-sifat varietas;
c. penamaan varietas dilakukan oleh pemohon hak PVT dan didaftarkan pada Kantor
PVT;
d. apabila penamaan menimbulkan kerancuan terhadap sifat-sifat varietas, maka
Kantor PVT berhak menolak penamaan tersebut dan meminta penamaan baru;
e. apabila nama varietas tersebut telah dipergunakan untuk varietas lain, maka
pemohon wajib mengganti nama varietas tersebut;
f. nama varietas yang diajukan dapat juga diajukan sebagai merek dagang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Perolehan Hak dan Jangka Waktu Perlindungan Varietas Tanaman


Seperti halnya perolehan Paten, sistem perolehan hak PVT didasarkan pada
first to file system. Permohonan harus diajukan pada Kantor PVT di masing-masing
negara yang dituju. Untuk mendapatkan hak PVT di Indonesia, per mohonan harus
diajukan kepada Kantor PVT secara tertulis dalam ba hasa Indonesia dengan membayar

biaya. Surat permohonan hak PVT tersebut harus memuat:266


a. tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan;
b. nama dan alamat lengkap pemohon;
c. nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan penmulia serta nama ahli
waris yang ditunjuk;
d. nama varietas;
e. deskripsi varietas yang mencakup asal-usul atau silsilah, ciri-ciri
morfologi, dan sifat-sifat penting lainnya;
f. gambar dan/atau foto yang disebut dalam deskripsi, yang diperlukan
untuk memperjelas deskripsinya.

266

Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UU No. 29/2000

118

Permohonan hak PVT dapat diajukan oleh pemulia, orang atau badan hukum
yang mempekerjakan pemulia atau yang memesan varietas dari pemulia, ahli waris,
atau konsultan PVT.

267

Untuk permohonan yang diajukan oleh pemulia, orang atau

badan hukum, dan ahli waris yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di
wilayah Indonesia, harus melalui Konsultan PVT di Indonesia selaku kuasa .268
Selanjutnya ditentukan bahwa permohonan hak PVT yang diajukan oleh orang atau
badan hukum selaku kuasa pemohon harus disertai surat kuasa khusus dengan
mencatumkan nama dan alamat lengkap kuasa yang berhak. Jika diajukan oleh ahli
waris harus disertai dokumen bukti ahli waris.269
Sebagaimana halnya dengan Paten, permohonan PVT juga dapat dilakukan
dengan menggunakan Hak Prioritas. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12
UPOV yang menentukan:
Any breeder or his successor in title who has duly filed an application for
protection of a new variety in one of the member States of the Union shall, for
the purposes of filing in the other member States of the Union, enjoy a right of
priority for a period of twelve months. This period shall run from the date of
filing of the first application. The day of filing shall not be included in such
period.
Permohonan dengan hak prioritas harus diajukan dalam waktu 12 (dua belas)
bulan dari permohonan pertama kali yang diajukan di negara peserta Konvensi UPOV
lainnya. Hak prioritas ini mulai berlaku sejak tanggal penerimaan permohonan yang
pertama kali. Klaim prioritas tergantung pada permohonan. Sejalan dengan ketentuan
UPOV tersebut, UU No. 29/2000 mengatur hak prioritas dalam Pasal 14 Ayat (1),

267

Pasal 12 Ayat (2) UU No. 29/2000


268

Pasal 12 Ayat (3) UU No. 29/2000


269

Pasal 11 Ayat (3) UU No. 29/2000

119

bahwa Permohonan hak PVT dengan menggunakan hak prioritas harus pula
memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. diajukan dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penerimaan pengajuan
permohonan hak PVT yang pertama kali di luar Indonesia;
b. dilengkapi salinan surat permohonan hak PVT yang pertama kali dan disahkan oleh
yang berwenang di negara dimaksud pada butir a paling lambat tiga bulan;
c. dilengkapi salinan sah dokumen permohonan hak PVT yang pertama di luar negeri;
d. dilengkapi salinan penolakan hak PVT, bila hak PVT tersebut pernah ditolak.
Seperti halnya dalam tahapan permohonan Paten, permohonan PVT yang telah
memenuhi persyaratan Administratif dan telah mendapatkan tanggal penerimaan
selanjutnya akan dilakukan pengumuman. Jika tidak ada tanggapan dan keberatan dari
pihak yang berkepentingan selama masa pengumuman, kantor PVT akan melakukan
pemeriksaan substantif. Pemeriksaan substantif dilakukan oleh Pemeriksa PVT,
meliputi sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan varietas yang
dimohonkan hak PVT.270
Apabila laporan tentang hasil pemeriksaan atas varietas yang dimohonkan hak
PVT yang dilakukan oleh Pemeriksa PVT menyimpulkan bahwa varietas tersebut
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang, Kantor PVT memberitahukan secara
resmi persetujuan pemberian hak PVT untuk varietas yang bersangkutan kepada
pemohon PVT. Hak PVT tersebut diberikan dalam bentuk Sertifikat hak PVT.271
Sebaliknya jika a permohonan hak PVT dan/atau hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh Pemeriksa PVT menunjukkan bahwa permohonan tersebut tidak memenuhi
syarat administratif dan substantif, maka Kantor PVT menolak permohonan hak PVT
tersebut dan memberitahukan penolakan secara tertulis kepada pemohon hak PVT.272
Terhadap penolakan permohonan hak PVT yang berkaitan dengan alasan dan dasar
270

Pasal 30 UU No. 29/2000

271

Pasal 34 UU No. 29/2000


272

Pasal 35 UU No. 29/2000

120

pertimbangan mengenai hal-hal yang bersifat substantif dapat diajukan banding.


tersebut dapat diajukan banding. Permohonan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon hak PVT atau kuasa hukumnya kepada Komisi Banding PVT disertai uraian
secara lengkap keberatan terhadap penolakan permohonan hak PVT pengiriman
alasannya selambat-lambatnya tiga bulan sejak tanggal pengiriman surat penolakan
permohonan hak PVT dengan tembusan kepada Kantor PVT.273
Berbeda halnya dengan putusan Komisi Banding dalam Paten, putusan
Komisi Banding dalam permohonan hak PVT bersifat final. Dalam hal Komisi
Banding PVT menyetujui permohonan banding, Kantor PVT wajib melaksanakan
keputusan Komisi Banding dan mencabut penolakan hak PVT yang telah dikeluarkan.
Apabila Komisi Banding PVT menolak permohonan banding, Kantor PVT segera
memberitahukan penolakan tersebut.274
Dalam hal permohonan hak PVT dikabulkan, maka pemegang hak PVT akan
mendapatkan perlindungan selama 20 (dua puluh) tahun untuk tanaman semusim dan
25 (dua puluh lima) tahun untuk tanaman tahunan. Jangka waktu perlindungan
tersebut dihitung sejak tanggal pemberian hak PVT.275

c. Hak Eksklusif Pemegang PVT


Dengan mendapatkan sertifikat Hak PVT setiap Pemegang hak PVT memiliki
hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan
hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih hasil panen yang digunakan

273

Pasal 36 UU No. 29/2000


274

Pasal 38 UU No. 29/2000

275

Pasal 4 UU No. 29/2000

121

untuk propagasi.276 Hak eksklusif Pemegang hak PVT tersebut tidak hanya berlaku
untuk varietas berupa benih hasil panen yang digunakan untuk propogasi, tetapi juga
berlaku untuk:277
a. varietas turunan esensial yang berasal dari suatu varietas yang dilindungi atau
varietas yang telah terdaftar dan diberi nama;
b. varietas yang tidak dapat dibedakan secara jelas dari varietas yang dilindungi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
c. varietas yang diproduksi dengan selalu menggunakan varietas yang dilindungi.
Hak eksklusif untuk menggunakan varietas berupa benih hasil panen yang
digunakan untuk propogasi meliputi kegiatan:
a. memproduksi atau memperbanyak benih;
b. menyiapkan untuk tujuan propagasi;
c. mengiklankan;
d. menawarkan;
e. menjual atau memperdagangkan;
f. mengekspor;
g. mengimpor;
h. mencadangkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam butir a,
b, c, d, e, f, dan g.

www.legalitas.org
Penggunaan hasil panen yang digunakan untuk propogasi yang berasal dari
varietas yang dilindungi, harus mendapat persetujuan dari pemegang hak PVT.
Demikian pula penggunaan varietas turunan esensial harus mendapat persetujuan dari
pemegang hak PVT dan/atau pemilik varietas asal dengan ketentuan sebagai
berikut:278
a. varietas turunan esensial berasal dari varietas yang telah mendapat hak PVT atau
me ndapat penanaman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan bukan merupakan varietas turunan esensial sebelumnya;
b. varietas tersebut pada dasarnya mempertahankan ekspresi sifat-sifat esensial dari
varietas asal, tetapi dapat dibedakan secara jelas dengan varietas asal dari sifatsifat yang timbul dari tindakan penurunan itu sendiri;
276

Pasal 6 Ayat (1) UU No. 29/2000


277

Pasal 6 Ayat (2) UU No. 29/2000. Ketentuan di atas sejalan dengan Pasal 14 Ayat (5) UPOV
1991.
278

Pasal 6 Ayat (5) UU No. 29/2000

122
c. varietas turunan esensial sebagaimana dimaksud pada butir a dan butir b dapat
diperoleh dari mutasi induksi, variasi somaklonal, seleksi individu tanaman, silang
balik, dan transformasi dengan rekayasa genetika dari varietas asal.
d. Kepentingan Umum dalam Perlindungan Varietas Tanaman
Kepentingan umum dalam perlindungan varietas tanaman diatur dalam
Konvensi UPOV, TRIPs, dan UU 29/2000. Konvensi mengenai Perlindungan Varietas
Tanaman atau UPOV, pada awalnya dikemukaan dan dirancang untuk kepentingan
pemuliaan komersial bagi orang

Eropa, dan menyeimbangkan kepentingan-

kepentingan ini dengan para petani Eropa.279 Titik beratnya adalah pada perlindungan
pemulia tanaman. Hal ini terlihat pada preambul konvensi yang menyatakan
pentingnya perlindungan varietas tanaman baru bukan hanya untuk pengembangan
pertanian di wilayah pemulia tanaman, tapi juga untuk melindungi kepentingan
pemulia. Titik berat pada perlindungan pemulia tanaman ini juga sangat terlihat pada
dasar pertimbangan lahirnya konvensi lainnya yaitu adanya

kekuatiran akan

diterapkannya persyaratan kepentingan umum terhadap penggunaan hak eksklusif


pemulia tanaman. Dasar pertimbang tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 1 yang
mengatur tentang tujuan konvensi, yaitu untuk mengakui dan menjamin hak pemulia
tanaman atau pengganti haknya.280 Dengan dasar pertimbangan yang demikian, maka
tidak mengherankan jika ketentuan-ketentuan dalam konvensi UPOV ini mengatur
pembatasan terhadap hak eksklusif pemulia hanya dalam satu pasal. Dalam Pasal 9
ditentukan bahwa:
The free exercise of the exclusive right accorded to the breeder or his
successor in title may not be restricted otherwise than for reasons of public
279

Graham Dutfield, Food, Biological Diversity and Intellectual Property: The Role of the
International Union for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV), Global Economic Issue
Intellectual Property Issue Paper Number 9, Quaker United Nations Office, February 2011, hlm.7
280

UPOV 1961/1978

123
interest. When any such restriction is made in order to ensure the widespread
distribution of new varieties, the member State of the Union concerned shall
take all measures necessary to ensure that the breeder or his successor in title
receives equitable remuneration.281
Dari ketentuan Pasal 9 tersebut, jelas bahwa penggunaan bebas hak eksklusif yang
diberikan kepada pemulia atau pengganti haknya tidak dapat dibatasi dengan alasan
apapun selain dari alasan kepentingan umum. Pembatasan untuk kepentingan umum
ini hanya boleh dilakukan dengan memberikan remunerasi kepada pemulia atau
pengganti haknya.
Dengan adanya Pasal 9 tersebut, maka tidak dimungkinkan bagi negara peserta
konvensi untuk mengadakan pengecualian lain, selain alasan kepentingan umum.
Yang menjadi persoalan adalah tidak adanya penjelasan tentang apa yang dimaksud
dengan kepentingan umum dalam konvensi ini. Dengan demikian, pengertian dan
ruang lingkup kepentingan umum di sini tergantung pada penafsiran masing-masing
negara peserta. Hal ini bisa menimbulkan perselisihan di antara negara-negara peserta.
Konvensi ini memberikan kemungkinan perlindungan varietas tanaman
melalui dua bentuk, melalui perlindungan khusus atau paten. 282 Namun demikian,
negara peserta yang hukum nasionalnya memberikan perlindungan berdasarkan kedua
bentuk ini dapat memberikan hanya satu bentuk perlindungan terhadap satu jenis
tanaman. Dengan demikian tidak ada kewajiban bagi negara peserta untuk hanya
memberikan satu bentuk perlindungan.
Hak eksklusif pemulia tanaman atau pewarisnya yang diberikan oleh Konvensi
UPOV 1961/1978 adalah pihak lain harus mendapat izin terlebih dahulu darinya
untuk pembuatan bahan reproduksi atau perbanyakan tanaman dari varietas baru
281

Ibid, Pasal 9.

282

Ibid, Pasal 2

124

tersebut, jika dilakukan untuk tujuan penjualan komersial dan penawaran untuk
penjualan atau pemasaran terhadap bahan tersebut.283 Izin tersebut dapat diberikan
dengan persyaratan yang ditentukan oleh pemulia atau pewarisnya. 284

Izin dari

pemulia atau pewarisnya tidak diwajibkan jika pemanfaatan varietas baru tersebut
sebagai sumber bahan awal untuk menciptakan varietas baru lainnya atau untuk
pemasaran varietas baru lainnya tersebut.285 Namun demikian izin dari pemulia
tanaman atau pewarisnya diperlukan jika penggunaan yang berulang terhadap varietas
baru tersebut diperlukan untuk produksi komersial varietas lainnya.
Dengan demikian, hak eksklusif pemulia tanaman atau pewaris yang diatur
dalam Konvensi UPOV 1961/1978 ini hanyalah pemberian izin pada pihak lain
dengan imbalan tertentu. Dengan demikian apabila perbanyakan benih varietas baru
tersebut bukan untuk tujuan komersial, maka perbanyakan tersebut bukanlah
merupakan pelanggaran hak pemulia tanaman. Demikian pula izin pemulia tanaman
tidak diberikan jika penggunaan varietas tanaman baru tersebut sebagai bahan dasar
untuk menciptakan varietas tanaman baru lainnya, kecuali jika penggunaan tersebut
harus dilakukan berulang-ulang. Dengan kata lain, secara tersirat, pengakuan terhadap
hak-hak petani (farmers right) dalam Konvensi ini cukup kuat.
Namun Konvensi UPOV 1961/1978 dianggap kurang melindungi kepentingan
pemulia tanaman, terutama pemulia tanaman yang berbentuk korporasi multinasional
(yang berasal dari negara-negara maju). Oleh karena itu kemudian UPOV/1978 ini
direvisi oleh UPOV 1991.286 Secara umum, ketentuan-ketentuan UPOV 1991 ini lebih
283

Pasal 5 Ayat (1)

284

Pasal 5 (2). Tidak jelas apakah dalam bentuk remunerasi atau bentuk lainnya.

285

Pasal 5 (3)

286

Hal ini sesuai dengan pernyataan Francois Meiberg bahwa UPOV 1991 does not seem to
correspond to the needs of developing countries. Out of 15 developing countries (12 Latin American
plus China, Kenya and South Africa) to which the 1978 Act applies, not one has ratified the 1991 Act.

125

memperjelas dan mempertegas ketentuan-ketentuan dari UPOV 1961/1978, terutama


mempertegas dan memperkuat hak-hak pemulia tanaman. Hal ini dapat dilihat dari
lingkup perlindungan hak pemulia tanaman. Dalam konvensi 1991 ini, izin dari
pemulia tanaman tidak hanya diperlukan untuk produksi bagi tujuan pemasaran
komersial, penawaran untuk penjualan, dan pemasaran terhadap perbanyakan benih
varietas baru, tetapi

juga

termasuk

untuk

persyaratan

untuk

tujuan

perbanyakan, pengeksporan, pengimporan, dan pencadangan untuk keenam kegiatan


sebelumnya.287
Penekanan perlindungan pada pemulia tanaman yang lebih kuat juga tampak
pada ketentuan Pasal 14 (2) yang mengatur tentang tindakan-tindakan yang terkait
dengan hasil panen. Ditentukan bahwa tindakan-tindakan yang terkait dengan ketujuh
tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (1) yang berkaitan dengan hasil panen,
termasuk keseluruhan tanaman atau bagian tanaman, yang diperoleh melalui
penggunaan tanpa persetujuan terhadap propagasi varietas yang dilindungi harus
mendapatkan persetujuan dari pemulia, kecuali pemulia telah mendapat kesempatan
yang wajar untuk menggunakan haknya terhadap perbanyakan benih yang
dimaksud.288 Demikian pula tindakan-tindakan yang terkait dengan produk tertentu.
Ditentukan bahwa negara peserta dapat menentukan bahwa tindakan-tindakan yang
terkait dengan ketujuh tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 (1) yang
berkaitan dengan produk yang dibuat secara langsung dari hasil panen varietas yang
dilindungi yang termasuk dalam lingkup ketentuan Ayat 2 di atas melalui penggunaan
It would appear that UPOV 1978 serves their needs better. Ratification of UPOV 1991 by developing
countries was made compulsory by trade agreements with OECD countries. Lihat Graham Dutfield,
op.cit., hlm. 9
287

UPOV/1991, Pasal 14 Ayat (1) (a)

288

Pasal 14 Ayat (2)

126

hasil panen tanpa persetujuan harus mendapatkan persetujuan pemulia tanaman,


kecuali pemulia telah mendapatkan kesempatan yang wajar untuk menggunakan
haknya terhadap hasil panen tersebut.289
Posisi pemulia tanaman yang semakin kuat dalam konvensi UPOV versi
terakhir ini juga terlihat dalam ketentuan yang memberikan kemungkinan bagi
negara-negara peserta untuk mensyaratkan persetujuan pemulia tanaman terhadap
tindakan-tindakan selain tujuh tindakan yang telah diatur pada ayat sebelumnya. 290
Dan kuatnya posisi pemulia tanaman semakin tegas terlihat pada ayat selanjutnya.
Ditentukan bahwa ketentuan keempat ayat sebelumnya juga berlaku terhadap varietas
yang merupakan turunan esensial dari varietas yang dilindungi, dimana varietas yang
dilindungi itu sendiri bukanlah varietas turunan yang esensial; terhadap varietas yang
tidak jelas daya pembedanya terhadap varietas yang dilindungi; dan terhadap varietas
yang pembuatannya selalu memerlukan penggunaan varietas yang dilindungi.291
Dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 tersebut di atas, tampak adanya upaya
untuk memperkuat dan memperluas hak-hak pemulia tanaman. Kecil sekali
kemungkinan bagi pihak lain, terutama petani, untuk menggunakan varietas tanaman
yang dilindungi, termasuk turunan esensial dari varietas yang dilindungi, tanpa izin
dari pemulia tanaman.292
Untuk menyeimbangkan hak-hak eksklusif pemulia tanaman dengan
kepentingan pihak lain, termasuk untuk kepentingan umum, konvensi UPOV versi
289

Pasal 14 Ayat (3)

290

Pasal 14 Ayat (4)

291

Pasal 14 Ayat (5) (a)

292

Walaupun ketentuan-ketentuan Pasal 14 tersebut harus memperhatikan ketentuan Pasal 15 dan


Pasal 16 yang mengatur tentang pengecualian hak eksklusif pemulia tanaman dan habisnya hak
pemulia tanaman (exhaustion rights).

127

terakhir ini memberikan beberapa pengecualian dan pembatasan terhadap hak


eksklusif tersebut. Berbeda dengan konvensi tahun 1961/1978 yang menentukan
alasan pembatasan satu-satunya adalah kepentingan umum, konvensi 1991 ini
mengatur beberapa pengecualian. Pengecualian pertama adalah pengecualian yang
bersifat wajib bagi negara peserta, yaitu terhadap: tindakan-tindakan yang dilakukan
untuk tujuan pribadi dan non-komersial; tindakan-tindakan yang dilakukan untuk
tujuan percobaan; dan tindakan-tindakan yang dilakukan untuk tujuan pemuliaan
varietas lainnya serta tindakan-tindakan yang berkaitan dengan Pasal 14 (1) sampai
(4) terkait dengan varietas lain tersebut, kecuali jika Pasal 14 (5) berlaku.293
Pengecualian kedua adalah pengecualian yang bersifat pilihan, yaitu memberikan
kemungkinan bagi negara-negara peserta, dalam batas-batas yang wajar dan tetap
melindungi kepentingan pemulia tanaman yang sah, membatasi hak pemulia yang
berkaitan dengan varietas apapun untuk mengizinkan petani menggunakan

hasil

panen yang diperoleh melalui penanaman, di lahannya sendiri, varietas tanaman yang
dilindungi atau varietas esensial atau varietas yang tidak jelas perbedaannya dengan
varietas yang dilindungi, dengan tujuan untuk perbanyakan dan dilakukan dilahannya
sendiri.294
Dalam Pasal 17 diatur pembatasan terhadap hak eksklusif pemulia tanaman.
Sama halnya dengan konvensi versi 1961/1978, konvensi versi 1991 juga menentukan
alasan pembatasan satu-satunya terhadap hak eksklusif pemulia tanaman adalah
alasan kepentingan umum. Dan jika pelaksanaan kepentingan umum itu
menyebabkan pihak ketiga diberikan persetujuan untuk melaksanakan tindakan yang
seharusnya memperoleh persetujuan pemulia, negara peserta harus memastikan bahwa
293

Pasal 15 Ayat (1)

294

Pasal 15 Ayat (2)

128

pemulia menerima remunerasi yang adil. Ketentuan Pasal 17 konvensi menentukan


bahwa:
Except where expressly provided in this Convention, no Contracting Party may
restrict the free exercise of a breeders right for reasons other than of public
interest. When any such restriction has the effect of authorizing a third party to
perform any act for which the breeders authorization is required, the
Contracting Party concerned shall take all measures necessary to ensure that
the breeder receives equitable remuneration.295
Sama halnya dengan konvensi versi sebelumnya, konvensi versi 1991 ini juga tidak
memberikan pengertian dan lingkup dari kepentingan umum. Dengan demikian
penafsiran pengertian dan lingkup kepentigan umum di sini tergantung pada masingmasing negara.
Ketentuan lain dalam Konvensi UPOV 1991 yang tidak diatur dalam versi
sebelumnya adalah ketentuan mengenai prinsip exhaustion. Ditentukan bahwa hak
eksklusif pemulia tidak mencakup tindakan-tindakan yang berkaitan dengan benih
varietas yang dilindungi, atau varietas yang termasuk dalam pengaturan Pasal 14 (5)296
yang telah dijual atau dipasarkan oleh pemulia atau dengan persetujuannya di wilayah
negara peserta yang terkait, atau dengan benih yang berasal dari benih tersebut,
kecuali tindakan-tindakan tersebut melibatkan propagasi lebih lanjut terhadap varietas
bersangkutan atau melibatkan ekspor benih varietas, yang memungkinkan propagasi
varietas tersebut, ke negara yang tidak melindungi varietas tanaman yang merupakan
kelompok atau spesies varietas tersebut, kecuali benih yang diekspor digunakan untuk
tujuan penggunaan sendiri.297
295

Pasal 17 Ayat (1) dan (2)

296

Yang meliputi varietas yang merupakan turunan esensial dari varietas yang dilindungi, di
mana varietas yang dilindungi sendiri bukan merupakan varietas turunan esensial; varietas yang tidak
jelas perbedaannya dengan varietas yang dilindungi; dan varietas yang pembuatannya selalu
menggunakan varietas yang dilindungi.
297

Pasal 16

129

Prinsip exhaustion ini biasanya terkait dengan impor paralel. Berbeda halnya
dengan impor paralel dalam paten, yang menghilangkan hak pemegang paten untuk
bertindak atas patennya setelah produk yang dilindungi paten dijual pertama kali ke
luar negeri, hak eksklusif pemulia tidak hilang jika pengimporan benih varietas yang
dilindungi ke suatu negara bukan untuk penggunaan sendiri. Dengan demikian
penggunaan prinsip exhaustion dalam varietas tanaman tidak sekuat penggunaan
prinsip exhaustion dalam paten.
Kuatnya perlindungan terhadap pemulia tanaman dalam konvensi UPOV versi
terakhir ini juga terlihat dalam kaitan dengan tindakan pengaturan perdagangan.
Ditentukan bahwa hak pemulia tidak terikat pada tindakan apapun yang diambil oleh
negara peserta untuk mengatur produksi, sertifikasi, dan pemasaran benih varietas
atau pengimporan atau pengeksporan benih tersebut. Dalam keadaan apapun,
tindakan-tindakan tersebut tidak boleh mempengaruhi penerapan ketentuan-ketentuan
konvensi.298 Dengan kata lain, negara peserta tidak boleh mencampuri mengenai
pengadaan, penentuan kualitas, dan pemasaran benih varietas yang dilindungi.
Semuanya diserahkan pada pemulia. Dengan demikian tergantung pada hukum pasar.
Sekali lagi, ketentuan ini memperlihatkan betapa kuatnya perlindungan hak pemulia
tanaman dalam Konvensi UPOV 1991 ini.
Ketentuan Pasal 19 Konvensi UPOV/1991 tentang masa perlindungan varietas
tanaman juga memperlihatkan kuatnya perlindungan terhadap hak pemulia tanaman.
Dalam Konvensi 1961/1978, masa perlindungan varietas tanaman sekurangkurangnya adalah 15 tahun untuk tanaman semusim, dan 18 tahun untuk tanaman
tahunan. Sementara itu dalam Konvensi 1991, masa perlindungannya adalah

298

Pasal 18

130

sekurang-kurangnya 20 tahun, dan sekurang-kurangnya 25 tahun untuk tanaman


tahunan.
Dari seluruh ketentuan-ketentuan Konvensi UPOV 1991 yang dibahas di atas
memperlihatkan betapa kuatnya perlindungan hak eksklusif pemulia. Walaupun
konvensi ini juga memberikan pengecualian dan pembatasan terhadap penggunaan
hak eksklusif pemulia tanaman, namun pengecualian dan pembatasan tersebut
sifatnya sangat terbatas dan sama sekali tidak dapat merugikan kepentingan ekonomi
pemulia.
Dalam TRIPs, varietas tanaman tidak termasuk dalam bidang HKI yang diatur
secara khusus, seperti halnya bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Namun
demikian dalam Pasal 27 Ayat (3) (b) nya, TRIPs mewajibkan anggota WTO untuk
memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman, apakah melalui paten atau
ketentuan tersendiri (sui generis) atau kombinasi dari keduanya. Walaupun tidak ada
ketentuan di dalam TRIPs yang mengacu pada konvensi UPOV, namun demikian dari
fakta meningkatnya jumlah anggota UPOV dan semakin banyaknya undang-undang
PVT di negara-negara berkembang yang disusun berdasarkan pada ketentuanketentuan UPOV, perlahan tapi pasti ketentuan khusus (sui generis) yang dimaksud
TRIPs mengacu pada Konvensi UPOV.299 Dengan demikian perlindungan varietas
tanaman dalam TRIPs dapat diinterpretasikan mengacu dan dapat pula diartikan tidak
mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam UPOV.
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi UPOV. Namun karena
adanya kewajiban berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) (b) TRIPs, maka, sebagai anggota
negara WTO, Indonesia mengatur perlindungan varietas tanaman dalam peraturan
khusus, yaitu Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas
299

Lihat Nurul Barizah, Op.cit., hlm, 152-153.

131

Tanaman.300 UU 29/2000 ini diundangkan setahun sebelum diundangkannya UU


14/2001 tentang Paten.301 Sebenarnya dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997,
varietas tanaman dimungkinkan dilindungi melalui paten, yaitu varietas tanaman yang
dihasilkan melalui proses non-biologis atau proses mikrobiologis sepanjang
memenuhi syarat-syarat untuk mendapatkan paten. Namun ketentuan tersebut
tampaknya tidak memadai untuk perlindungan varietas tanaman baru, karena UU
14/2001 hanya melindungi varietas tanaman yang dihasilkan melalui proses nonbiologis atau proses mikrobiologis, sementara varietas tanaman baru dapat dihasilkan
melalui proses yang lebih kompleks, baik secara biologis maupun non biologis seperti
melalui mutasi induksi, variasi somaklonal, seleksi individu tanaman, silang balik,
dan transformasi dengan rekayasa genetika dari varietas asal.302
Tujuan utama diundangkannya undang-undang ini adalah mewujudkan sistem
perlindungan bagi pemulia tanaman, yang didorong oleh beberapa pertimbangan,
antara lain: tersedianya varietas unggul untuk mendukung dan menunjang
pembangunan pertanian yang maju, efisien dan tangguh; 303 pelestarian dan
pemanfaatan sumber daya plasma nutfah untuk merakit dan mendapatkan varietas
unggul tanaman guna mendorong industri perbenihan;304 untuk memberikan
perlindungan hukum yang memadai bagi pemulia tanaman, baik perorangan maupun
300

Secara tersirat, walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi UPOV, pengaturan varietas
tanaman dalam undang-undang khusus ini juga mengacu pada Konvensi UPOV. Hal ini tersirat dalam
dasar pertimbangan diundangkannya UU 29/2000 huruf e, yang menyatakan bahwa sesuai dengan
konvensi internasional, perlindungan varietas tanaman perlu diatur dengan undang-undang. Kata-kata
konvensi internasional secara tidak langsung mengacu pada Konvensi UPOV.
301
UU 14/2001 merupakan pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten).
302

Lihat Pasal 6 Ayat (5) huruf c.

303

Dasar pertimbangan huruf b

304

Dasar pertimbangan huruf c

132

badan hukum;305 dan untuk mengimplementasikan konvensi internasional tentang


varietas tanaman ke dalam hukum nasional.306
Dasar alasan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia dalam memberikan
perlindungan terhadap varietas tanaman adalah sama dengan dasar pertimbangan
terhadap perlindungan paten - untuk meningkatkan inovasi dan mendorong
perkembangan teknologi yaitu untuk mendorong semangat dan kreativitas di bidang
pemuliaan tanaman, sehingga dapat dihasilkan penemuan berbagai varietas unggul
yang sangat diperlukan masyarakat.307 Dasar pertimbangan lainnnya adalah untuk
memfasilitasi perkembangan industri benih dan mendorong dunia usaha agar lebih
berperan dalam pengembangan varietas tanaman yang berkualitas unggul.308
Sama halnya dengan UU 14/2001, UU 29/2000 sebagai pengejawantahan
konvensi dan perjanjian internasional di bidang Varietas Tanaman, di samping
mengakui adanya hak eksklusif bagi pemegang hak varietas tanaman, juga mengatur
pembatasan dan pengecualian terhadap hak eksklusif tersebut. Pengaturan
pengecualian dan pembatasan terhadap hak eksklusif sebagai wujud dari perlindungan
kepentingan umum terdapat dalam beberapa pasal UU 29/2000.
Pertama, dalam Pasal 3 diatur mengenai varietas yang tidak dapat diberi PVT,
yaitu varietas yang penggunaannya bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku, ketertiban umum, kesusilaan, norma-norma agama,
kesehatan, dan kelestarian lingkungan hidup. Berbeda halnya dengan pengecualian
yang sama dalam UU 14/2001 yang tidak memberikan penjelasan mengenai

305

Dasar pertimbangan huruf d

306

Dasar pertimbangan huruf e

307

Memori Penjelasan paragraph 4

308

Memori Penjelasan

133

pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,


ketertiban umum, kesusilaan, norma-norma agama, UU 29/2000 memberikan
penjelasan bahwa yang dimaksud dengan varietas tanaman yang penggunaannya
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, kesehatan,
kesusilaan, dan lingkungan hidup, misalnya tanaman penghasil psikotropika,
sedangkan yang melanggar norma agama misalnya varietas yang mengandung gen
dari hewan yang bertentangan dengan norma agama tertentu.309 Penjelasan ini masih
bersifat umum dan memerlukan penjelasan lebih lengkap. Misalnya saja, apakah
memang tanaman penghasil psikotropika menganggu kelestarian lingkungan hidup.
Apakah gen-gen perusak atau genetic use restriction technology, yang digunakan
untuk memandulkan gen tanaman sehingga tidak dapat digunakan untuk menjadi bibit
di kemudian hari, termasuk yang dikecualikan dari perlindungan PVT. Oleh karena
itu, persoalan yang timbul tentang pengecualian yang berhubungan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, moralitas, kesusilaan, dan
agama dalam Undang-undang tentang Paten juga dapat timbul dalam Undang-undang
tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
Kedua, adalah

Pasal 10. Dalam Ayat (1) pasal ini ditentukan tindakan-

tindakan yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak PVT, yaitu: (a) a. penggunaan
sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk tujuan
komersial; (b) penggunaan varietas yang dilindungi untuk kegiatan penelitian,
pemuliaan tanaman, dan perakitan varietas baru; dan (c) penggunaan oleh Pemerintah
atas varietas yang dilindungi dalam rangka kebijakan pengadaan pangan dan obatobatan dengan memperhatikan hak-hak ekonomi dari pemegang hak PVT. Sementara
itu ketentuan mengenai penggunaan oleh Pemerintah atas varietas yang dilindungi
309

Penjelasan Pasal 3

134

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 310 Ketentuan dalam Pasal 10 Ayat (1)
huruf c ini sangat erat dengan kepentingan umum dan dimaksudkan untuk untuk
mengakomodasi kemungkinan terjadinya kerawanan pangan dan ancaman terhadap
kesehatan. Penggunaan oleh pemerintah setidaknya merupakan salah satu cara untuk
mengatasi

ancaman

tadi.

Namun

demikian

pelaksanaannya

harus

tetap

memperhatikan kepentingan pemulia atau pemegang hak PVT, karenanya penetapan


tersebut harus dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden.311
Ketiga, adalah ketentuan yang berkaitan dengan lisensi wajib.312 Sebagaimana
dalam paten, lisensi wajib juga dimungkinkan dalam varietas tanaman. Ditentukan
bahwa setiap orang atau badan hukum, setelah lewat jangka waktu 36 (tiga puluh
enam) bulan terhitung sejak tanggal pemberian hak PVT, dapat mengajukan
permintaan Lisensi Wajib kepada Pengadilan Negeri untuk menggunakan hak PVT
yang bersangkutan.313 Namun permintaan lisensi wajib hanya dapat dilakukan dengan
alasan hak PVT yang bersangkutan tidak digunakan di Indonesia atau hak PVT telah
digunakan dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat. 314 Dengan
adanya ketentuan lisensi wajib ini, pemegang hak PVT akan berusaha melaksanakan
haknya di Indonesia dan melaksanakannya dalam bentuk dan cara yang tidak
merugikan kepentingan masyarakat. Namun apa yang dimaksud dengan dilaksanakan
dalam bentuk dan cara yang merugikan kepentingan masyarakat tidak dijelaskan

310

Pasal 10 Ayat (2). Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 14
Tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Varietas dan Penggunaan Varietas yang
Dilindungi oleh Pemerintah.
311

Penjelaan Pasal 10 Ayat (1) huruf c

312

Lisensi wajib dimungkinkan juga berdasarkan Pasal 17 Konvensi UPOV 1991

313

Pasal 44 Ayat (1)

314

Pasal 44 Ayat (2)

135

dalam undang-undang ini. Dengan demikian penafsirannya dapat menimbulkan


permasalahan, sebagaimana halnya dengan makna ketertiban umum, moralitas, agama
dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keempat, adalah Pasal 7 yang mengatur perlindungan terhadap varietas
lokal.315 Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa varietas lokal milik masyarakat
dikuasai oleh Negara dan dilaksanakan oleh Pemerintah, dimana Pemerintah
berkewajiban memberikan penamaan terhadap varietas lokal tersebut. 316 Selanjutnya
ketentuan penanaman, pendaftaran, dan penggunaan varietas lokal, serta instansi yang
diberi tugas untuk melaksanakannya, diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.317
Secara

umum

terlihat

bahwa

Perlindungan

Varietas

tanaman

tidak

dimaksudkan untuk menutup kemungkinan bagi para petani kecil untuk menggunakan
varietas tanaman baru untuk pemakaian sendiri, dan tetap melindungi varietas lokal
untuk kemanfaatan dan kepentingan masyarakat secara luas. Hal ini sejalan dengan
Penjelasan Umum, yang menyatakan:
Sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, perkembangan sistem agribisnis harus
diarahkan untuk menggalang seluruh potensi bangsa dalam memanfaatkan
keanekaragaman hayati berupa plasma nutfah melalui perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk menghasilkan varietas unggul baru yang bermanfaat bagi
kesejahteraan petani dan masyarakat luas.

Namun demikian, dalam praktiknya undang-undang ini mempunyai kemungkinan


yang besar untuk membatasi peluang-peluang bagi petani.318
315

Yang dimaksud varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudayakan secara turun
temurun oleh petani, serta menjadi milik masyarakat
316

317

Ayat (1), (2), dan (3)

Ayat (4). Pemerintah mengatur lebih lanjut hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan
Varietas Turunan Esensial.
318
Mengacu pada Penjelasan Umum UU 29/2000 yang menyatakan bahwa undang-undang ini
disesuaikan dengan konvensi internasional, yang menyiratkan konvensi internasional yang dimaksud
adalah Konvensi UPOV 1991. Sementara konvensi UPOV sangat membatasi hak-hak petani. Lihat
pembasan Konvensi UPOV pada III B. bagian 1.

136

Terlepas dari adanya ketentuan pengecualian dan pembatasan terhadap hak


eksklusif pemegang PVT dalam undang-undang ini, tampaknya undang-undang ini
memberikan perlakuan yang tidak seimbang antara hak pemulia tanaman dan hak
petani, dan menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara kepentingan masyarakat
luas dan pemegang hak PVT.319 Undang-undang ini juga terkesan lebih ditujukan pada
hak-hak pemulia dari pada hak-hak petani. Hal ini tercermin dalam ketentuan Pasal 6
yang mengatur Hak dan Kewajiban Pemegang Hak Perlindungan Varietas Tanaman.
Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa pemegang hak PVT memiliki hak untuk
menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain
untuk menggunakan varietas berupa benih hasil panen yang digunakan untuk
propagasi.320 Dengan demikian pemegang hak PVT tidak hanya berhak atas benih
saja, tetapi juga benih hasil panen. Hak tersebut tidak hanya berlaku terhadap benih
varietas saja, tetapi juga berlaku terhadap: (a) varietas turunan esensial yang berasal
dari suatu varietas yang dilindungi atau varietas yang telah terdaftar dan diberi nama;
(b) varietas yang tidak dapat dibedakan secara jelas dari varietas yang dilindungi; dan
(c) varietas yang diproduksi dengan selalu menggunakan varietas yang dilindungi. 321
Ditentukan juga bahwa hak untuk menggunakan varietas meliputi kegiatan: (a)
memproduksi atau memperbanyak benih; (b) menyiapkan untuk tujuan propagasi; (c)
mengiklankan; (d) menawarkan; (e) menjual atau memperdagangkan; (f) mengekspor;
(g) mengimpor; dan (h) mencadangkan untuk keperluan sebagaimana dimaksud dalam
butir a, b, c, d, e, f, dan g.322 Selanjutnya UU 29/2000 menentukan bahwa penggunaan
319

Lihat Nurul Barizah, Op.cit, hlm. 280-281.

320

Ayat (1)

321

Ayat (2). Lihat juga Nurul Barizah, Op.cit, hlm. 283.

322

Ayat (3). Lihat juga Nurul Barizah, Ibid.

137

hasil panen dari varietas yang dilindungi untuk tujuan propagasi, harus mendapatkan
persetujuan dari pemegang hak PVT.323 Ketentuan ini dimaksudkan untuk memastikan
bahwa sebagian hasil panen tidak digunakan untuk propagasi benih.324 Dengan
demikian satu-satunya hak yang diberikan kepada petani adalah hak untuk
menggunakan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak
digunakan untuk tujuan komersial.325 Yang dimaksudkan tidak untuk tujuan komersial
ini adalah kegiatan perorangan terutama para petani kecil untuk keperluan sendiri dan
tidak termasuk kegiatan menyebarluaskan untuk keperluan kelompoknya. Hal ini
untuk melindungi pangsa pasar varietas yang memiliki PVT dan tidak merugikan
kepentingan pemegang hak PVT.326
Ketentuan-ketentuan di atas sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal
masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa turun-temurun melakukan pertukaran benih
antara komunitas petani. Pertukaran benih tersebut bukan untuk tujuan komersial,
melainkan untuk kesetiakawanan atau solidaritas sosial.327 Tentu saja kebiasaan
pertukaran benih tanaman ini tidak akan menimbulkan masalah, jika yang
dipertukarkan oleh para petani selama turun-temurun tersebut adalah benih
tradisional, dan bukan benih varietas baru yang dibeli dari pasar benih, sehingga tidak
masuk dalam lingkup berlakunya UU 29/2000. Namun demikian, kebiasaan
323

Ayat (4). Ketentuan-ketentuan di atas sama dengan ketentuan Pasal 14 Konvensi UPOV 1991,
bahkan untuk pengaturan lingkup penggunaan hak eksklusif, UU 29/2000 lebih luas, dengan
menambahkan penggunaan melalui pengiklanan.
324

Penjelasan Pasal 6 Ayat (4)

325

Pasal 10

326

Penjelasan Pasal 10 Ayat (1) huruf a

327

Praktik pertukaran benih ini tanpa konpensasi ini bukan hanya khas Indonesia, tetapi juga
merupakan hal yang biasa dilakukan di negara-negara berkembang pada umumnya. Lihat Rene
Salazar, et.al., Protecting Farmers New Varieties: New Approaches to Right on Collective Innovatios
in Plant Genetic Resources, World Development Vol. 35, 2007, hlm. 1520. Lihat juga, Stephen B.
Brush, Farmers Rights and Protection of Traditional Agricultural Knowledge, World Development
Vol. 35, No. 9, 2007, hlm. 1501.

138

mempertukarkan bibit tersebut akan menimbulkan masalah jika ada petani yang
memperoleh bibit varietas yang dilindungi dan mempertukarkannya. 328
Kondisi di atas menimbulkan dilema bagi para petani, karena jika mereka
mempertahankan penggunaan bibit tradisional, mereka tidak akan memperoleh
keunggulan pertanian yang ditawarkan oleh benih yang dilindungi, dan karenanya
menjadi kurang kompetitif. Untuk menjadi kompetitif, para petani harus
menggunakan benih yang dilindungi, tetapi karena hasil panen dari benih ini tidak
dapat dipertukarkan dan bahkan benih jenis tertentu tidak dapat ditanam kembali,
ketergantungan petani pada industri benih tidak dapat dihindari. Kendalanya adalah
tipikal petani Indonesia adalah petani kecil dengan lahan pertanian yang sempit dan
secara ekonomi terpinggirkan. Jika petani dipaksa untuk bergantung pada benih yang
dibeli dari industri benih, besar kemungkinan hal itu akan merusak kehidupan
mereka.329
Salah satu prinsip dalam konvensi UPOV 1991 yang tidak diadopsi dalam UU
29/2000 adalah prinsip exhaustion. Seperti yang telah dibahas pada bagian
sebelumnya, pada dasarnya penerapan prinsip exhaustion adalah pembatasan terhadap
pemegang HKI, termasuk dalam hal pemegang hak PVT. Tentu sangat disayangkan
jika peluang untuk mendapatkan keuntungan dari konvensi internasional tidak
dimanfaatkan. Dengan adanya prinsip exhaustion, setidak-tidaknya petani di
Indonesia bisa memperoleh benih dari luar Indonesia yang harganya lebih murah,
walaupun benih tersebut tidak dapat digunakan untuk bahan propagasi.

328

Nurul Barizah, Op.cit, hlm. 282.


329

Nurul Barizah, Op.cit., hlm. 282. Bandingkan Lauren Winter, Cultivating Farmers Rights:
Reconciling Food Security, Indigenous Agriculture, and Trips, Vanderbilt Journal of Transnational Law
January, 2010 (43 Vand. J. Transnatl L. 223).

139

4.5 HKI Sebagai Sistem Kepemilikan Benda


HKI atau Intellectual Property Right mengandung unsur hak dan kekayaan
atau kepemilikan (property) yang berkaitan dengan intelektual manusia. Oleh karena
itu, pembahasan tentang HKI tidak terlepas dari pemahaman tentang hak dan
kekayaan atau kepemilikan itu sendiri.
Untuk memahami konsep dasar hak milik atau kekayaan, sebagai salah satu
jenis hak, tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat pasal-pasal yang mengaturnya
dalam peraturan perundang-undangan. Pemahaman tersebut hanya dapat dilakukan
dengan melihat landasan teoretis dan filosofis yang mendasarinya. Pengertian hak
dapat dijumpai dalam teori mengenai hakikat hak. Menurut Lord Lloyd of Hamstead
dan M.D.A.Freeman, sebagaimana dikutip dalam Peter Mahmud Marzuki, 330yaitu
teori kehendak yang menitikberatkan pada kehendak atau pilihan dan teori
kepentingan atau kemanfaatan, yang keduanya berkaitan dengan tujuan hukum. Teori
kehendak dianut oleh mereka yang berpandangan bahwa tujuan hukum memberikan
sebanyak mungkin kepada individu kebebasan apa yang dikehendakinya. Teori ini
memandang bahwa pemegang hak dapat berbuat apa saja atas haknya. Sedangkan
teori kepentingan, salah satunya yang dikemukakan oleh Ihering, melihat hak sebagai
kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan itu sendiri
menurut Paton adalah suatu tuntutan atau keinginan individu atau kelompok indinvidu
yang ingin dipenuhi oleh individu atau kelompok invidividu tersebut. 331 Sejalan
dengan pandangan Paton, Meijers mendefinisikan hak sebagai suatu kewenangan
seseorang yang diakui oleh hukum untuk menunaikan kepentingannya.332
330

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 174 -175

331

Ibid, hlm. 176


332

140

Menurut Blacks Law Dictionary yang dimaksud hak (right) adalah:333


Noun. 1. That which is proper under law, morality, or ethics (know right from
wrong); 2. Something that is due to a person by just claim, legal guarantee, or
moral principle (the right of liberty); 3. A power, privilege, or immunity
secured to person by law (the right to dispose of ones estate; 4. A legally
enforceable claim that another will do or not will not do a given act; a
recognized and protected interest the violation of which is a wrong (a breach
of duty that infringes ones right); 5. (often plural) The interest, claim, or
ownership that one has in tangible or intangible property ( a debtors rights in
collateral; publishing rights).
Dari ke lima pengertian hak di atas, menurut hemat penulis, pengertian yang
paling terkait dengan HKI adalah pengertian yang keempat dan kelima, yaitu bahwa
hak merupakan tuntutan yang dapat ditegakkan agar orang lain melakukan atau tidak
melakukan suatu tindakan tertentu; bahwa hak adalah kepentingan, tuntutan, atau
kepemilikan yang dimiliki seseorang pada benda berwujud atau tidak berwujud
(misalnya, hak debitor atas barang jaminan; hak penerbitan). Sejalan dengan itu,
Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa: Hak adalah kepentingan yang dilindungi
oleh hukum. Kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan
untuk dipenuhi. Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin
dan dilindungi oleh hukum dalam melaksanakannya 334 Sedangkan Purnadi
memberikan pengertian hak sebagai peranan bagi seseorang atau suatu pihak yaitu
pemegangnya untuk bertindak atas sesuatu yang menjadi objek dari haknya itu
terhadap orang lain.335 Berdasarkan pengertian tersebut lebih lanjut dijelaskan bahwa
hak merupakan hal yang yang boleh dilaksanakan. Suatu kebolehan tidak dapat
dimaknai sebagai sesuatu yang harus, sehingga pemegang hak:
Ibid
333

Bryan A. Garner, Chief Editor, Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul: West
Publishing, 1999, hlm. 1322
334

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1989, hlm.41.

335

Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran Tinjauan
Falsafah Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hlm.10

141

a. tidak dapat dipaksa agar menggunakan haknya jika ia tidak berkehendak


menggunakan haknya.
b. tidak dapat dihalang-halangi manakala ia akan mempergunakan haknya,
sepanjang penggunaannya itu dilakukan dengan sebagaimana mestinya dan
dalam pelaksanaannya tidak merugikan kepentingan orang lain.
Hak kepemilikan (hak milik), yang merupakan salah satu hak kebendaan,
memberikan

kenikmatan sempurna bagi pemiliknya. 336 Dalam Blacks Law

Dictionary kekayaan atau kepemilikan (property) diartikan sebagai:


1. The right to possess, use, and enjoy a determinate thing (either a tract of
land or a chattel); the right of ownership (the institution of private property is
protected from undue governmental interference). 2. Any external thing over
which the rights of possession, use, and enjoyment are exercised (the airport is
city property).
Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa kekayaan atau kepemilikan adalah
hak untuk memiliki, menggunakan, dan menikmati suatu benda tertentu (apakah
sebidang lahan atau suatu benda bergerak); hak milik (pranata kepemilikan privat
dilindungi dari campur tangan pemerintah yang tidak perlu). Kekayaan adalah setiap
benda eksternal yang atasnya hak-hak kepemilikan, penggunaan, dan penikmatan
diterapkan (Bandar udara adalah kekayaan kota).
Sejalan dengan berbagai pengertian hak dan kekayaan atau kepemilikan di
atas, dapat diberikan pengertian HKI adalah kepentingan individu atau beberapa
individu yang dilindungi hukum dalam memiliki, menggunakan, dan menikmati hasil
karya intelektualnya.
Pengakuan terhadap kepemilikan atau hak milik (property) sebagai pranata
sosial dan pranata hukum, terutama terhadap hak milik pribadi (private property),
336

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional Jakarta: BPHN, hlm
45-47.

142

memiliki dasar teori yang berbeda-beda. Menurut Roscoe Pound, ada enam kelompok
utama teori yang mendasarinya, yaitu:337 (1) teori-teori hukum alam, (2) teori-teori
metafisikal, (3) teori-teori historis, (4) teori-teori positivis, (5) teori-teori psikologis,
dan (6) teori-teori sosiologis.
Teori hukum alam antara lain diwakili oleh Grotius dan Pufendorf. Menurut
Grotius, semua benda pada awalnya adalah res nullius (tidak ada pemiliknya). Tetapi
kemudian benda-benda tersebut dibagi-bagi oleh orang-orang dalam masyarakat
melalui persetujuan. Benda-benda yang tidak dibagi yang kemudian ditemukan oleh
individu-individu menjadi milik dari indinvidu yang menemukan dan tunduk pada
penguasaan individu.338 Jadi pembagian berdasarkan persetujuan tersebut menjadi
dasar adanya kepemilikan pribadi atau individu. Demikian pula penemuan dapat
menjadi dasar penguasaan atau pemilikan individu. Penguasaan pemilik terhadap
suatu benda memberikan kekuasaan sepenuhnya padanya, tidak hanya tidak hanya
kekuasaan untuk memberikan inter vivos (hibah) tetapi juga kekuasaan untuk
menentukan pengalihan hak setelah kematian sebagai pemberian yang tertunda. 339 Jadi
dasar dari kepemilikan individu berdasarkan hak-hak alamiah ini, secara langsung
atau tidak langsung, didasarkan pada persetujuan atau penemuan dan penguasaan
selanjutnya.340
Berbeda dengan Grotius, Pufendorf mendasarkan seluruh teorinya pada
persetujuan awal. Dia berpendapat bahwa pada mulanya terdapat komunitas negatif
(untuk membedakan dengan kepemilikan yang tegas oleh pemilik), yaitu semua benda
337

Roscoe Pound, An Introduction To Philosophy of Law, Eight Printing, Yale University Press,
1966, hlm. 114.
338

Ibid, hlm.115.

339

Ibid.
340

Ibid.

143

pada awalnya adalah res comunes atau tidak seorangpun yang memilikinya, sehingga
benda-benda itu tunduk pada penggunaan oleh semua orang. Dia berpendapat bahwa
pemilikan pribadi terjadi melalui persetujuan bersama di antara anggota masyarakat.341
Landasan teori perolehan kepemilikan pribadi selanjutnya adalah teori-teori
kepemilikan metafisik, yang menggantikan teori-teori hak-hak alamiah abad
ketujuhbelas dan kedelapan belas,

yang didasarkan pada hakikat manusia yang

abstrak atau pada perjanjian yang diasumsikan, melalui teori-teori metafisika.Teori


ini dipelopori oleh Immanuel Kant.342 Dia yang pertama kali menyatakan gagasan
yang abstrak mengenai kepemilikan yaitu gagasan tentang sistem meum dan tuum
terhadap benda yang ada di luar. Dia menegaskan bahwa kepribadian manusia
individu tidak boleh diganggu. Suatu benda adalah sah menjadi milik jika seseorang
memiliki hubungan yang erat dengan benda tersebut, sehingga jika ada orang lain
yang menggunakan benda tersebut tanpa persetujuannya dapat menimbulkan kerugian
padanya. Tetapi untuk memberikan justifikasi terhadap hak kepemilikan harus
dibuktikan melalui hubungan kepemilikan, yaitu adanya hubungan fisik yang sangat
erat antara benda dan subjek, sehingga tatkala timbul gangguan terhadapnya oleh
orang lain hal itu merupakan penyerangan terhadap kepribadian orang tersebut.343
Berdasarkan teori sejarah, yang didasarkan pada prinsip Von Savigny,
dikemukakan bahwa milik sebagai suatu perwujudan kebebasan gagasan. Seseorang
mengambil benda sebagai miliknya untuk menyatakan kebebasannya memilih berbuat
atau tidak berbuat sesuatu. Tuntutan untuk adanya pembagian pemilikan secara sama
adalah suatu hal yang tidak wajar, hal ini karena meskipun manusia sebagai pribadi
341

Ibid, hlm.116

342

Ibid, hlm. 117

343

Ibid.

144

yang sama, tetapi dapat memiliki kehendak yang berbeda atas benda-benda yang ada
di luar dirinya.344 Para juris penganut teori sejarah mempertahankan teorinya
berdasarkan dua proposisi:345
1. Konsepsi kepemilikan pribadi, seperti konsepsi kepribadian individu, telah
berkembang secara bertahap dari mula-mula hukum;
2. Kepemilikan individu telah berkembang dari hak-hak kelompok sebagaimana
kepentingan-kepentingan

individu

telah

dipisahkan

dari

kepentingan-

kepentingan kelompok.
Berdasarkan teori ini ada tiga tahapan terkait dengan kekuasaan atau kemampuan
orang dalam mempengaruhi tindakan orang lainnya dalam hal benda-benda yang
berwujud.346 Pertama, penguasaaan secara fisik terhadap benda. Menurut juris
Romawi pengusaan ini disebut dengan penguasaan secara alamiah (natural possesion),
sedangkan juris Anglo Amerika menyebutnya kustodi. Kedua, tahap penguasaan
secara hukum (juristic posession). Dalam penguasaan secara alamiah hukum
melindungi hubungan seseorang secara fisik terhadap objek, sedangkan dalam
penguasaan secara juridis hukum melindungi hubungan kehendak terhadap objek.
Ketiga, sebagai tingkatan tertinggi, adalah tahap pemilikan (ownership), di mana
hukum menjamin seseorang dalam menikmati secara eksklusif atau menguasai bendabenda jauh melebihi apa yang dapat diperolehnya melalui kekuatan fisik dan melebihi
apa yang dapat mereka peroleh dengan bantuan negara. Penguasaan alamiah atau
penguasaan secara hukum adalah konsepsi mengenai fakta dan hukum, yang timbul
344

Oentoeng Soerapati, Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi, Salatiga: UKSW, 1999,
hlm.12
345

Roscoe Pound, Op.cit, hlm 123


346

Ibid, hlm.125

145

karena semata-mata hubungan fakta, terlepas dari dasar hukum tetapi dilindungi dan
dipertahankan oleh hukum tanpa memperhatikan kepribadian. Kepemilikan adalah
konsepsi hukum murni yang timbul dari dan bergantung pada hukum.347
Selanjutnya menurut teori positivis, yang didasarkan pada teori Spencer, pada
dasarnya milik (property) adalah suatu deduksi dari hukum kebebasan setara yang
fundamental yang dibenarkan atas observasi terhadap fakta-fakta di dalam masyarakat
yang masih sederhana (primitif).348 Berbeda halnya dengan para penganut teori
metafisika dan sejarah yang pada umumnya mendasarkan pada pengusaan terhadap
benda-benda tanpa pemilik, para penganut teori positivis lebih menitikberatkan pada
penciptaan benda-benda baru melalui usaha.349
Terakhir adalah teori sosiologis. Teori ini sebagian adalah positivis, sebagaian
adalah psikologis, sebagian utilitarian-sosial.

Berdasarkan teori sosiologis yang

positivis, yang ditunjukkan oleh deduksi Duguit, terdapat saling ketergantungan


sosial melalui persamaan kepentingan dan melalui pembagian pekerjaan. Menurutnya
hukum hak milik menjadi memasyarakat, tetapi ini tidak berarti bahwa hak milik
menjadi kolektif. Itu berarti kita tidak dapat lagi melihatnya dari segi hak privat, tetapi
memikirkannya dari segi fungsi sosial.350 Selanjutnya dia berpendapat bahwa hukum
hak milik adalah jawaban terhadap

kebutuhan ekonomi untuk mewujudkan

kesejahteran melalui penggunaan hak milik oleh individu atau kolektif dan karenanya
masyarakat perlu menjamin dan melindungi penggunaan tersebut. Oleh karena itu,

347

Ibid.

348

Ibid, hlm. 122


349

Ibid, hlm. 123


350

Ibid, hlm. 130

146

menurutnya, hak milik adalah pranata sosial yang didasarkan pada kebutuhan
ekonomi dalam masyarakat yang terorganisasi melalui pembagian pekerjaan.
Teori sosiologis psikologis, terutama yang berkembang di Italia, melihat
landasan hak milik dalam insting atau dorongan untuk memperoleh hal yang baru,
dengan melihat perkembangan sosial atau pranata sosial berdasarkan insting atau
dorongan

tersebut.351

Sedangkan

teori

utilitarian-sosial

menjelaskan

dan

membenarkan hak milik sebagai suatu pranata yang menjamin sebesar-besarnya


kepentingan atau memenuhi sebesar-besarnya keinginan, yang dipandang rekayasa
sosial yang cukup logis dan bijaksana jika mengacu pada hasil-hasilnya.352
Konsep harta kekayaan (property) menurut hukum Indonesia, meliputi benda
dan hubungan hukum untuk memperoleh benda tersebut. Dengan kata lain meliputi
benda (zaak) dan perikatan (verbintenis).353 Harta kekayaan adalah benda milik
seseorang yang memiliki nilai ekonomi. 354 Berdasarkan Pasal 499 Burgerlijke
Wetboek (BW), pengertian benda (zaak) meliputi barang (good) dan hak (recht). Baik
harta kekayaan maupun hak yang melekat di atasnya diakui dan dilindungi
berdasarkan bukti yang sah. Sedangkan pengertian hak milik diatur dalam Pasal 570
BW, yang menentukan:
Hak kepemilikan adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan
dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu sepenuhpenuhnya asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan
umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkan dan
tidak mengganggu hak-hak orang lain dengan tidak mengurangi kemungkinan
akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan
undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi.
351

Ibid, hlm.131

352

Ibid.
353

Van Apeldoorn (terjemahan), Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1973,

hlm.63-71.
354

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Harta Kekayaan, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1994,

hlm.10-11.

147

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hak atas barang milik hanya berlaku
bagi barang bergerak, yang meliputi:
1. hak menguasai dengan bebas;
2. hak menikmati dengan sepenuhnya;
3. secara tidak bertentangan dengan undang-undang (yang diperluas tidak
bertentangan dengan hukum).
Pengertian hukum meliputi undang-undang, hukum tidak tertulis, kesusilaan,
dan ketertiban umum. Tidak bertentangan dengan hukum artinya sesuai dengan
hukum atau dapat dibenarkan dan diterima oleh pihak-pihak dalam masyarakat karena
penggunaan hak milik secara wajar, layak, dan patut. Keadilan, kelayakan, dan
kepatutan adalah esensi hukum. Menurut Pitlo ada penyalahgunaan hak, apabila
penggunaan hak itu sedemikian rupa, sehingga kerugian orang lain lebih besar dari
pada manfaat yang diperoleh pemilik yang menggunakan barang miliknya itu. Jadi,
konsep kebebasan

dalam hak milik yang tidak bertentangan dengan hukum,

mengandung arti bahwa menguasai dan menikmati hak milik tidak boleh mengganggu
orang lain, atau menyalahgunakan hak yang merugikan orang lain.355

4.6 Penyelesaian Sengketa HKI


Sengketa HKI dapat timbul karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban
yang diatur dalam TRIPs dan terhadap perundang-undangan nasional HKI. Sengketa
yang timbul karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban dalam TRIPs diatur
dalam Pasal 6 TRIPs, yang menentukan bahwa: For the purpose of dispute
settlement under this agreement, subject to the provisions of Article 3 and 4 nothing in
this agreement shall be used to address the issue of exhaustion of intellectual property
355

Ibid, hlm. 38-39

148

rights. Dengan demikian, penyelesaian sengketa yang diatur dalam TRIPs hanya
berkaitan dengan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Pasal 3 dan 4 TRIPs,
yang menyaratkan berlakunya National Treatment (perlakuan nasional) dan Most
Favored

Nations

(perlakuan

yang

paling

menguntungkan

negara-negara).

Penyelesaian sengketa dalam perjanjian TRIPs tidak berkaitan dengan exhaustion


rights, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa pemegang HKI hanya memiliki kontrol
pada saat penjualan pertama kali dan haknya sudah dianggap menyeluruh setelah
penjualan pertama tersebut. Dengan demikian penyelesaian sengketa mengenai
exhaustion rights tergantung pada perundang-undangan HKI masing-masing negara
anggota WTO.
Penyelesaian sengketa berdasarkan TRIPs diatur pada Bagian V TRIPs
mengenai Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa (Dispute Prevention and
Settlement) dalam Pasal 63 dan Pasal 64. Ketentuan-ketentuan pencegahan terjadinya
sengketa menekankan pada transparansi atau keterbukan setiap perundanganundangan dan peraturan HKI, serta putusan-putusan peradilan yang telah mengikat
dan ketentuan-ketentuan administratif dari negara-negara anggota WTO dengan
memublikasikannya, serta memberitahukan pada Dewan untuk TRIPs (Council for
TRIPs).356 Sementara ketentuan penyelesaian sengketa TRIPs didasarkan pada
ketentuan-ketentuan Pasal XXII dan Pasal XXIII GATT tahun 1994, mengenai
Consultation dan Nullification atau Impairment, yang dijelaskan melalui Dispute
Settlement Understanding (DSU), berlaku untuk konsultasi dan penyelesaian sengketa
berdasarkan perjanjian TRIPs kecuali secara khusus ditentukan lain.

DSU atau

Understanding on rules and procedures governing the settlement of disputes, yang


merupakan Lampiran II dari Perjanjian WTO, mengatur batas-batas dan tahapan
356

Pasal 63 TRIPs.

149

setiap proses penyelesaian sengketa. Ketentuan dan prosedur penyelesaian sengketa


ini dilaksanakan oleh Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body atau
DSB). DSB ini mempunyai kewenangan untuk membentuk panel, menerima laporan
panel dan lembaga/komisi banding (Appellate Body), melakukan pengawasan
pelaksanaan putusan-putusan dan rekomendasi-rekomendasi dan memberikan
otorisasi penghentian konsesi dan kewajiban lain berdasarkan perjanjian WTO.357
Tahapan penyelesaian sengketa berdasarkan DSU diawali dengan konsultasi di
antara para pihak yang bersengketa. Jika konsultasi tidak berhasil menyelesaikan
sengketa, setelah lewat waktu 60 hari sejak permohonan konsultasi, pihak yang
berkeberatan dapat mengajukan permohonan pembentukan panel.358 Setelah proses
konsultasi gagal menghasilkan penyelesaian sengketa, sebelum dibentuk panel, atas
kesepakatan para pihak yang bersengketa secara suka rela, dapat dilakukan
penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik (good offices), konsiliasi, atau mediasi.
Penyelesaian sengketa melalui jasa-jasa baik, konsiliasi, atau mediasi juga dapat
dilanjutkan sementara prose penyelesaian sengketa oleh panel berlangsung.359 Panel
kemudian memeriksa perkara yang disengketakan dan memberikan laporan kepada
DSB. Laporan panel ini dapat diterima atau tidak diterima oleh DSB. Jika laporan
panel tidak diterima oleh DSB, atau diterima oleh DSB, tetapi pihak yang bersengketa
menolak laporan panel, maka DSB akan membentuk badan/komisi banding (appellate
body).360 Untuk kasus-kasus tertentu yang isu-isu terkaitnya telah secara jelas
ditentukan oleh para pihak, penyelesaian sengketanya dapat juga menggunakan

357

Pasal 2 Ayat (1) DSU

358

Pasal 4 Ayat (7) DSU


359

Pasal 5 DSU
360

Pasal 16 Ayat (4) DSU

150

arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa.361 Jangka waktu penyelesaian


sengketa berdasarkan DSU ini, jika para pihak yang bersengketa tidak menentukan
lain, sejak tanggal pembentukan panel oleh DSB sampai dengan tanggal DSB
mempertimbangkan untuk menerima laporan panel atau badan banding, sebagai
ketentuan umum, tidak akan lewat dari sembilan bulan jika laporan panel tidak
disbanding atau dua belas bulan jika laporan panel dibanding.362
Penyelesaian sengketa HKI melalui forum WTO hanya dapat dilakukan oleh
pemerintah negara-negara peserta. Pemegang HKI tidak dapat secara langsung
menyelesaikan sengketanya melalui forum ini, tetapi harus diwakili oleh pemerintah
negaranya. Dengan demikian penyelesaian sengketa HKI melalui forum WTO adalah
antara pemerintah dengan pemerintah (government to government). Jika pemegang
HKI menghendaki untuk menegakkan sendiri hak-haknya, upaya yang dapat
dilakukan adalah melakukan tuntutan hukum berdasarkan peraturan perundangundangan HKI di suatu negara.
Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, ada beberapa
tuntutan hukum yang dapat dilakukan. Pertama, adalah tuntutan hukum perdata.
Pemegang

HKI

atau

pihak-pihak

yang

berkepentingan

dapat

mengajukan

gugatan ke Pengadilan Niaga.363 Kedua, adalah tuntutan pidana dengan melaporkan


pelanggaran pidana kepada penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS). Di samping dapat diselesaikan melalui gugatan ke Pengadilan Niaga dan
361

Pasal 25 DSU.
362

Pasal 20 DSU

363

Pengadilan Niaga mengadili sengketa HKI yang berkaitan dengan Paten, Cipta, Merek, Indikasi
Georgrafis, Desain Industri, dan Tata Letak Sirkuit Terpadu. Sementara untuk bidang Rahasia Dagang
dan Varietas Tanaman gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri. Lihat UU No.29/2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman dan UU 30/2000 tentang Rahasia Dagang.

151

Pengadilan Negeri, sengketa HKI dapat juga diselaikan melalui Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.364
5. Metode Penelitian
5.1 Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dan doktrinal. Merupakan penelitian
normatif karena penelitian ini termasuk penelitian yang menganalisis norma-norma
hukum (ketentuan-ketentuan) yang ada.365 Juga merupakan penelitian doktrinal karena
penelitian ini penelitian yang membahas secara sistematis ketentuan-ketentuan yang
mengatur bidang hukum tertentu, menganalisis hubungan antara ketentuan-ketentuan,
mengkaji hambatan-hambatan yang dihadapi, dan kemungkinan memperkirakan
pengembangan-pengembangan di masa datang.366

5.2 Pendekatan Masalah


Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pendekatan perundangan-undangan (statutory approach) adalah pendekatan
terhadap perundang-undangan nasional di bidang HKI yaitu Undang-Undang
Paten, Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang Hak
Cipta, dan terhadap konvensi/perjanjian internasional di bidang HKI, yaitu

364

Hampir semua Undang-Undang HKI Indonesia memungkinkan adanya penyelesaian sengketa


HKI melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Lihat Pasal 84 UU 15/2001 tentang Merek,
Pasal 47 UU 31/2000 tentang Desain Industri, Pasal 124 UU 14/2001 tentang Paten, Pasal 39 UU
32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Pasal 65 UU19/2002 tentang Hak Cipta, dan
Pasal 12 UU 30/2000 tentang Rahasia Dagang. Satu-satunya undang-undang HKI yang tidak mengatur
kemungkinan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa adalah UU
29/2000 tentang Varietas Tanaman.
365

Peter Mahmud Marzuki sebagaimana yang dikutip dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum
Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana, 2010, hlm.38.
366

Terry Hutchinson, Researching and Writing in Law, Lawbook Co.: 2002, p. 9

152

Konvensi Berne, Konvensi Paris, Konvensi Roma, WIPO Copyright Treaty, serta
TRIPs untuk melihat keberlakuan prinsip kepentingan umum
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach) digunakan untuk mengkaji landasan
filosofis perlindungan HKI. Konsep yang digunakan adalah konsep HKI, hak
milik, kekayaan, kepentingan umum, keadilan, dan equity.
c.

Pendekatan

perbandingan

(comparative

approach)

digunakan

untuk

membandingkan prinsip-prinsip hukum dan aturan-aturan hukum dalam hal


perlindungan HKI di beberapa negara. Dalam hal ini dengan negara-negara Civil
Law dan Common Law yang sudah mapan sistem hukumnya.
5.3 Bahan Hukum
Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari konvensi atau
perjanjian internasional dan peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang HKI,
yaitu The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works; The
Paris Convention for the Protection of Industrial Property Rights; the Convention for
the Protection of New Varieties of Plants (UPOV); WIPO Copyright Treaty; TRIPs
Agreement; the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights
(ICESCR). Peraturan perundang-undangan HKI yang terdiri dari UU No.19/Th.2002
tentang Hak Cipta, UU No. 14/Th. 2001 tentang Paten, dan UU No.29/ Th. 2000
tentang Perlindungan Varitas Tanaman. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari
referensi berupa buku, jurnal, artikel yang terkait dengan permasalahan penelitian.
5.4 Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum telah peneliti lakukan dalam penelitian
pendahuluan sebelumnya di perpustakaan Universitas Airlangga. Bahan hukum yang

153

diperoleh, baik bahan hukum primer maupun sekunder, akan diidentifikasi dan
diinventarisasi. Identifikasi dan inventarisasi ini dilakukan dengan menggunakan
sistem kartu (card system) secara sistematis agar memudahkan runutan pembahasan
dalam penelitian ini.
5.5 Analisis Bahan Hukum
Setelah bahan hukum primer dan sekunder diidentifikasi dan diinventarisasi,
bahan-bahan tersebut dianalisis dengan menggunakan pendekatan perundangundangan, pendekatan konseptual, pendekatan komparatif, untuk memperoleh
gambaran yang sistematis dan komprehensif dari seluruh bahan hukum yang
diperoleh untuk menghasilkan preskripsi atau argumentasi hukum yang baru.
6. Sistematika Penulisan
Pembahasan hasil penelitian nantinya akan terdiri dari dari lima bab. Bab I
menguraikan latar belakang permasalahan yang berkaitan dengan prinsip kepentingan
umum dalam perlindungan Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman. Bab membahas
rumusan masalah pertama yaitu hakikat kepentingan umum dalam perlindungan Hak
Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman. Bab III membahas rumusan masalah kedua
mengenai kepentingan umum sebagai landasan utama dalam perlindungan Hak Cipta,
Paten, dan Varietas Tanaman di dalam konvensi internasional, peraturan perundangundangan HKI negara lain, dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Bab IV
Membahas rumusah masalah ketiga mengenai kriteria minimum kepentingan umum
dalam perlindungan Hak Cipta, Paten, dan Varietas Tanaman. Terakhir Bab V berisi
kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian.
7. Orisinalitas Penelitian

154

Untuk menjamin kebaruan objek penelitian disertasi ini, telah dilakukan


penelusuran pustaka terutama terhadap beberapa disertasi yang berkaitan dengan Hak
Cipta, paten, dan varietas tanaman. Berdasarkan penelusuran terhadap disertasi yang
telah ditulis sebelumnya setelah diperbandingkan permasalahan yang dikaji di
dalamnya, permasalahan yang dikaji dalam disertasi ini tidak terdapat kesamaan.
Beberapa disertasi yang telah ditelusuri sebelumnya:
1. Chryssantus Kastowo, disertasi pada Universitas Airlangga, tahun 2011, dengan
judul Pembatasan Dalam Perlindungan Hak Cipta. Dalam disertasi ini dibahas
mengenai kepentingan umum sebagai salah satu pembatasan Hak Cipta, namun
pembahasannya tidak secara khusus terhadap kepentingan umum. Pengkajian
kepentingan umum dalam disertasi ini lebih mendalam dan meliputi bidang HKI
lainnya.
2. Candra Irawan, disertasi pada Universitas Padjajaran, tahun 2011, dengan judul
Politik Hukum Hak Kekayaan Intelektual Indonesia. Dalam disertasi ini
penekanannya pada politik hukum HKI Indonesia. Hal ini bukan merupakan
pembahasan dalam disertasi ini, yang secara khusus membahas mengenai
kepentingan umum.
3. Bambang Kesowo, disertasi pada Universitas Gadjah Mada, tahun 2005, dengan
judul Lisensi Wajib di Bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan
Prospek Penerapannya di Indonesia. Disertasi ini membahas arti penting dan
fungsi lisensi, serta pengaturannya secara nasional internasional. Dalam disertasi
ini kepentingan umum bukan menjadi kajian utama.
4.

Henry Soelistyo Budi, disertasi pada Universitas Gadjah Mada, tahun 2010,
dengan judul Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak Cipta di Indonesia

155

Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan, Pengaturan dan Pengelolaan Hak


Cipta. Kepentingan umum bukan merupakan kajian disertasi ini.
5.

Nurul Barizah, disertasi pada University of Technoogy Sydney, tahun 2009,


dengan judul Intellectual Property Implications on Biological Resources
Indonesias Adoption of International Intellectual Property Regimes and the
Failure to Adequately address the Policy Challenges in the Area of Biological
Resources. Dalam buku yang merupakan substansi disertasi penulisnya ini dibahas
pentingnya keseimbangan kepentingan inventor dan pengguna dalam kaitannya
dengan perlindungan sumber-sumber daya hayati (biological resources).
Kepentingan umum terkait perlindungan Varietas Tanaman bukan merupakan
kajian utama disertasi ini.

6. Rahmi Jened, disertasi pada Universitas Airlangga, tahun 2006, dengan judul
Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif. Dalam disertasi ini
pembahasannya lebih menitikberatkan pada aspek penyalahgunaan hak ekslusif
oleh pemegang hak kekayaan intelektual. Kepentingan umum dalam perlindungan
Hak Cipta disinggung dalam disertasi ini, namun bukan merupakan pembahasan
utama.

156

DAFTAR BACAAN
Buku:
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi. Jakarta: Kompas, 2010.
Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Jakarta:
BPHN, 1999.
Barizah, Nurul. Intellectual Property Implications on Biological Resources
Indonesias Adoption of International Intellectual Property Regimes and the
Failure to Adequately address the Policy Challenges in the Area of Biological
ResourcesIndonesia. Jakarta: Nagara, 2010.
Bodenheimer, Edgar. Jurisprudence The Philosophy and Method of The Law. Third
printing. Cambridge: Harvard University Press, 1979.
DAmato, Anthony and Doris Estelle Long, International Intellectual Property
Anthology, Cincinnati: Anderson Publishing Co., 1996.

157

Davis, Jennifer. Intellectual Property Law. Oxford: Oxford University Press,2005.


Davision, Mark J., Ann L. Monotti, and Leanne Wiseman. Australian Intellectual
Property Law. Cambridge University Press, 2008.
Drahos, Peter. A Philosophy of Intellectual Property. Sydney: Darmouth Publishing
Company, 1996.
Fitzgerald, Anne & Brian Fitzgerald. Intellectual Property in principle. Lawbook Co.
2004.
Garner, Bryan A. Chief Editor. Blacks Law Dictionary, Seventh Edition, St. Paul :
West Publishing, 1999.
Gautama, Sudargo. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jakarta: Bina
Cipta, 1987.
Goesniadi, Kusnu. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex
Spesialis suatu Masalah). Surabaya: JP Books, 2006.
Gunadi, Tom. Sistem Perekonomian Menurut Pancasila dan UUD45. Cet. 2.
Bandung: Angkasa, 1983.
Hatta, Mohammad. Membangun Ekonomi Indonesia. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
Hawin, M. Intellectual Property on Parallel Importation. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2010.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Kencana, 2010.
Holmes, William C. Intellectual Property and Antitrust Law. New York: Clark
Boardman Company, Ltd, 1983.
Hutchinson,Terry. Researching and Wrinting in Law. Lawbook Co.: 2002.
Jened, Rahmi. Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif. Surabaya:
Airlangga University Press, 2007.
Kartadjoemena, H.L.M.S. GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round. Jakarta: UI Press,
1997.
Kastowo, Chryssantus. Pembatasan dalam Perlindungan Hak Cipta, Ringkasan
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2011, hlm. 34.
LeFevre, Robert. The Philosophy of Ownership. Second Printing. Ludwig von Mises
Institute, 1971.

158
McKeough Jill, Kathy Bowrey, and Philip Griffith. Intellectual Property Commentary
and Materials. Third edition. Lawbook Co., 2002.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2007.
..........Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana, 2008
Maskus, Keith E. Intellectual Property Rights in the Global Economy.Washington:
Institute For International Economics, 2000.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.Yogyakarta: Liberty,
2005.
Mubyarto. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. cet. kedua. LP3ES, 1990.
Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES, 1987.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum Harta Kekayaan. Bandung: Citra Aditya Bhakti,
1994.
Neufeldt, Victoria. (Editor in Chief). Websters Third New International Dictionary.
Prentice Hall, 1991.
Newman, Ralph A. (Editor), Equity In The Worlds Legal Systems, Brussels:
Etablissements Emile Bruylant, 1973.
Notohamidjojo O., Masalah: Keadilan. Semarang : Tirta Amerta, 1971.
Parkinson, Patrick. (Editor). The Principles of Equity, second edition, Lawbook Co.,
2003.
Pogge, Thomas W. Relational Conceptions of Justice: Responsibilities for Health
Outcomes termuat dalam Sudhir Anand, Fabiene Peter, and Amartya Sen
(Editors), Public Health, Ethics, and Equity, Oxford University Press, 2004.
Pont, G.E. Dal and D.R.C. Chalmers, Equity and Trusts in Australia. Lawbook Co.,
2004.
Pound, Roscoe. An Introduction To Philosophy of Law. Eight Printing. Yale University
Press, 1966.
Purbacaraka, Purnadi dan A.Ridwan Halim. Hak Milik, Keadilan, dan Kemakmuran
tinjauan Falsafah Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia,1982.
Raharjo,Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Rawls. John. A Theory of Justice, Revised Edition. Cambridge : The Belknap Press of
Harvard university Press, 1999.

159
Saidin, H.OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Rajawali Pers, 2004.
Soerapati, Oentoeng. Hukum Kekayaan Intelektual dan Alih Teknologi. Salatiga:
UKSW, 1999.
Soemadiningrat, H.R. Otje Salman dan Anton F.Susanto. Teori Hukum Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali. cet.2. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Sumaryono, E.. Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas.
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Sutedi, Adrian. Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan. Cet.2. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Termorshuizen, Marjanne. Kamus Hukum Belanda-Indonesia. Jakarta: Jambatan,
1999.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi II. Jakarta:
Balai Pustaka, 1995.
Wojowasito, S. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997.

Artikel:
Aoki, Keith. Free Seeds, Not Free Beer": Participatory Plant Breeding, Open Source
Seeds, and Acknowledging User Innovation in Agriculture. The Social Science
Research
Network
Electronic
Paper
Collection:
http://ssrn.com/abstract=1390273.
Beckerman-Rodau, Andrew. Patent Law - Balancing Profit Maximization and Public
Access to Technology. Columbia Science & Technology Law Review, Vol. 4,
No. 1, 2002. http://ssrn.com/abstract=704663.
Bracha, Oren. The New Intellectual Property of The Nineteenth Century. Book
review. Texas Law Review December, 2010 ( 89 Tex. L. Rev. 423).
Brush,Stephen B. Farmers Rights and Protection of Traditional Agricultural
Knowledge. World Development Vol. 35, No. 9, 2007.
Calaba, Victor F. Quibbles N Bits: Making a Digital First Sale Doctrine Feasible.
Michigan Telecommunications and Technology Law Review Fall 2002 (9 Mich.
Telecomm. & Tech. L. Rev. 1)

160

Chander, Anupam & Madhavi Sunder. Is Nozick Kicking Rawlss Ass? Intellectual
Property and Social Justice. UC Davis Legal Studies Research Paper Series
Research Paper No. 108 May/2007. http://ssrn.com/abstract=982981.
Chatterjee, Ms.Sumana. Flexibilities Under Trips [Compulsory Licensing]: The
Pharmaceutical Industry In India And Canada. http://ssrn.com/abstract
=1025386
Chiariglione, L. Balancing Protection of Intellectual Property and its use. Makalah
ini disampaikan dalam: Automated Production of Cross Media Content for
Multi-Channel Distribution, 2005. AXMEDIS 2005. First International
Conference on.
Crowne-Mohammed, Emir Aly. University of Windsor - Faculty of Law and Cristina
Mihalceanu. Innovators and Generics: Proposals for Balancing Pharmaceutical
Patent Protection & Accessing Cheaper Medicines in Canada (or, Dont Noc the
Players, Hate the Regulations). http://ssrn.com/abstract=1665342
Drahos, Peter. An Alternative Framework for the Global Regulation of
Intellectual Property Rights. Forthcoming publication in Austrian Journal of
Development Studies. http://ssrn.com/abstract =850751
Dutfield, Graham. Food, Biological Diversity and Intellectual Property: The Role of
the International Union for the Protection of New Varieties of Plants (UPOV),
Global Economic Issue Intellectual Property Issue Paper Number 9, Quaker
United Nations Office, February 2011.
Engle, Eric Allen.When is Fair Use Fair? A Comparison of E.U. and U.S. Intellectual
Property Law. Transnational Lawyer Spring 2002 (15 Transnat'l Law. 187)
Gandhi, L.M. Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Responsif. Pidato Pengukuhan
Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 14
Oktober 1995, Jakarta. Dapat dilihat pada http://www.digilib.ui.ac.id
Geiger, Christophe. The Role of The Three-Step Test In The Adaptation of Copyright
Law to The Information Society.E-Copyright Bulletin January - March 2007.
Harahap, M.Yahya sebagai nara sumber dalam Talk!hukumonline-discussion dengan
topik Problematika Eksekusi Putusan Arbitrase Asing di Indonesia, sebagaimana
dikutip dalam m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e3e380e0157a/apa-definisiketertiban-umum (Rabu, 2 November 2011), diakses tanggal 19 Juli 2012
Harris, Donald P. TRIPS Rebound: An Historical Analysis of How The TRIPS
Agreement Can Ricochet Back Against The United States. Northwestern Journal
of International Law and Business Fall 2004 (25 Nw. J. Int'l L. & Bus. 99).
Hinze, Gwen. Action Needed to Expand Exceptions and Limitations to Copyright
Law, Third World Network Briefing Paper 49 July 2008.

161
Http:academy.eurochambers.eu/upload/4b66b83a4f990.pdf. (diakses pada tanggal 20
Juli 2012).
Hutchison, Cameron. Over 5 Billion Not Served: The TRIPS Compulsory Licensing
Export Restriction. http://ssrn.com/abstract =1012625
Jain, Reena. America: Last in Line for First-to-File. The Columbia Science and
Technology Law Review, 6 April 2012 sebagaimana yang diakses pada
www.stlr.org/2012/04/america-last-in-line
Jamar, Steven D. Copyright and The Public Interest from The Prespective of Brown
v. Board of Education. Howard Law Journal Winter 2005, 48 How.L.J.
Kotijah, Siti. Konsep Kepentingan Umum untuk Tanah dalam Sudut Pandang Hukum
Administrasi.
Terdapat
dalam
www.sitikotijah.com/2009/01/konsepkepentingan-umum-untuk-tanah.html. Diakses pada tanggal 21 Juli 2012.
Kur, Annette & Henning Grosse Ruse Khan. Enough is Enough The Notion of
Binding Ceilings in International Intellectual Property Protection. Max Planck
Institute for Intellectual Property, Competition & Tax Law Research Paper
Series No. 09-01. http://ssrn.com/abstract=1326429.
Lidgard, Hans Henrik and Jeffery Atik. Facilitating Compulsory Licensing under
TRIPS in Response to the AIDS Crisis in Developing Countries.
http://ssrn.com/abstract =794228
Lizhi, Ning. Law-economics Analysis for the Restriction of Intellectual Property
Rights, Canadian Social Science Vol.2 No.6 December 2006.
Maloney. The Theory of Government, A Study in Property
myweb.clemson.edu/maloney/827/19pdf (diakses 10 Juli 2012).

Rights.

Mertokusumo,
Sudikno.
sudiknoartikel.blogspot.com/2008/03/kepentinganumum.html. Diakses 10 Juli 2012.
Mulle, Emmanuel Dalle. How human rights can inform the WIPO Development
Agenda. 2010 3D _ Trade Human Rights Equitable Economy, April 2010.
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0
Pangaribuan, Luhut M.P. Definisi Ketertiban Umum Masih Simpang Siur,
Hukumonline.com, Minggu (29 Oktober 2000), diakses pada tanggal 19 Juli
2012.
Patterson, L. Ray. Copyright in The New Millennium: Resolving The Conflict
Between Property Rights and Political Rights. Ohio State Law Journal 2001
(62 Ohio St. L.J. 703)
Postel, Holger. The Fair use Doctrine in The U.S American Copyright Act and
Similar Regulations in The German Law. 5 Chi.-Kent J. Intell. Prop. 142

162

Salazar, Rene. et.al. Protecting Farmers New Varieties: New Approaches to Right on
Collective Innovatios in Plant Genetic Resources. World Development Vol. 35,
2007.
Santosa, A. Upaya Monsanto memanfaatkan TRIPs sebagai alat monopoli produk
pertanian.
http//:www/
publikasi.umy.ac.id/index.php/hi/article/viewFile/295/760.
Sarjono, Agus. The Development of Indonesian Intellectual Property Laws in The
Legal Reform Era: Between Need and Reality. Terdapat dalam http://darch.ide.go.jp/idedp/ASE/ASE007400_008.pdf (diakses pada tanggal 20 Juli
2012)
Sykes, Alan O. TRIPs, Pharmaceuticals, Developing Countries, and the Doha
Solution . The Social Science Research Network Electronic Paper Collection:
http://papers.ssrn.com/abstract=300834.
Travis, Hannibal. Opting Out of The Internet in The United States and The
European Union: Copyright, Safe Harbors, and International Law. Notre
Dame Law Review November, 2008 (84 Notre Dame L. Rev. 331)
Vuyst, Bruno de, Alea M Fairchild, and Gunther Meyer. Exceptions to Intellectual
Property Rights: Lessons from WTO-Trips Panels. MurUEJL 31 Volume 10,
Number 4 (December 2003).
Winter, Lauren. Cultivating Farmers Rights: Reconciling Food Security, Indigenous
Agriculture, and Trips. Vanderbilt Journal of Transnational Law January, 2010
(43 Vand. J. Transnatl L. 223).
Wiriadinata,
Wahyu.
Kepentingan
Umum.
http://klipingcliping.wordpress.com/2009/11/18/kepentingan-umum/diakses tgl
21 Juli 2012.
Yu, Peter K. TRIPS and Its Discontents. http://ssrn.com/abstract = 578577
.. Currents and Crosscurrents in the International Intellectual Property Regime,
Legal
Studies
Research
Paper
Series
No.
02-12:
http://ssrn.com/abstract=578572
.. Five Disharmonizing Trends in the International Intellectual Property Regime,
Legal Studies Research Paper Series Research Paper No. 03-28:
http://ssrn.com/abstract=923177
Konvensi dan Perjanjian Internasional:
Perjanjian TRIPs
Konvensi Paris

163

Konvensi Bern
Konvensi Roma/UPOV
WIPO Treaty
Undang-Undang:
Undang-Undang No.29/2000 tentang Perlindungan Varitas Tanaman.
Undang-Undang No.14/2001 tentang Paten
Undang-Undang No.19/2002 tentang Hak Cipta

Anda mungkin juga menyukai