Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU PENYAKIT ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN 2005 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang Sepsis merupakan suatu penyebab penting morbiditas dan
mortalitas pada bayi-bayi yang dirawat di rumah sakit dan pada bayi-bayi prematur.
Patofisiologi dan simptom sepsis pada orang dewasa dan anak-anak pada dasarnya
hampir sama, yaitu mengindikasikan adanya respon inflamasi sistemik yang
menyebabkan terjadinya koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan dan organ yang
tidak adekuat, dan pada akhirnya, kegagalan organ dan kematian. Walaupun kedua
kelompok usia ini menunjukkan gambaran yang hampir sama, namun sebenarnya
ada beberapa perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan peran mediator-mediator
sepsis, dan patofisiologi dari sepsis itu sendiri pada orang dewasa, anak-anak, dan
pada bayi. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah terjadi kemajuan-kemajuan pesat
akan pemahaman potofisiologi sepsis. Inflamasi, aktivasi koagulasi, dan proses
fibrinolisis yang terganggu/tersupresi, merupakan mekanisme-mekanisme penting
sebagai patofisiologi sepsis dan dikenal dengan sepsis cascade. Terapi-terapi
terbaru yang potensial terhadap sepsis kini lebih diarahkan kapada respon selular.
Pemahaman akan patofisiologi sepsis tentunya penting untuk diagnostik dengan
sensifitas dan spesifisitas yang baik untuk deteksi dini serta penatalaksanaannya.
1.2. Definisi Sepsis Pada tahun 1992, The American College of Chest Physicians and
the Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) mengembangkan suatu
konsensus tentang definisi sepsis. Beberapa diskusi dilakukan untuk membahas
tentang dapat tidaknya definisi ini diaplikasikan kepada bayi atau neonatus. Hal ini
menyangkut adanya perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada usia, seperti nilainilai normal tekanan darah, frekwensi, frekwensi pernafasan, oliguria, dan jumlah
leukosit. Selain itu, adanya beberapa sindrom seperti syok kardiogenik, syok
hemoragic, dan syok ensefalopati yang menyerupai syok septic. Konsensus
internasional ini telah diadaptasi untuk pemakaian di bagian pediatric. Pada
pembahasan patofisiologi sepsis ini, yang dipakai adalah konsensus internasional
tentang sepsis, yakni adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS)
dengan infeksi. BAB II GAMBARAN PATOFISIOLOGI SEPSIS 2.1. Patofisiologi Sepsis
Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan
tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan
patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu
hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya
mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ
yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan
akhirnya kematian. Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon
terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang
menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus).
Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya
lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang
dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai
respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponen-komponen antigen
seluler. Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai
dengan pengeluaran mediator-mediator inflamasi (Gambar 1). Mediator-mediator

inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi
makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen.
Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi
leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi
peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi
koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses
fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor
pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul
antitrombotik. (Gambar 1) Kaskade sepsis ini menghasilkan kebocoran kapiler dan
vasodilatasi yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi disfungsi organ dan syok.
Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS) dapat terjadi ketika syok, kebocoran
kapiler, dan vasodilatasi tidak distabilkan, dan dapat menyebabkan kematian. 2.2.
Wawasan Baru Tentang Patofisiologi Sepsis Sebelumnya, sepsis secara utama hanya
dipandang sebagai suatu kekacauan sistem inflamasi. Beberapa studi terakhir
mengindikasikan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi dan
terganggunya fibrinolisis yang menyebabkan terbentuknya protrombin sebagai hasil
abnormalitas endotel yang diinduksi oleh sepsis dan kemudian disfungsi organ.
Gambar 2 mengilustrasikan hilangnya homeostasis pada sepsis akibat mekanisme
ini. Gambar 2. Hilangnya homeostasis pada sepsis. Patofsiologi sepsis mencakup
aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan fibrinolisis yang terganggu. Hal ini
menciptakan ketidakseimbangan dalam homeostasis yang normal antara
mekanisme prekoagulan dan antikoagulan. (PAI-1, plasminogen activator inhibitor1; TAFIa, thrombin activatable fibrinolysis inhibitor). 2.2.1. Respon Inflamasi Pada
orang dewasa, tumor necrosis factor alpha (TNF-) merupakan mediator sepsis
yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mulamula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator
proinflamasi, termasuk TNF-, Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating
factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini
mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan
kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan
unsur-unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat
berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan
vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi
yang berat dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga
melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan
kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial.
Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang
berada di paru-paru. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di
paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non kardiogenik. Sitokin-sitokin
proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen yang esensial pada imunitas
bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada
sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk dari aktivasi
komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan

pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan adhesi


trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang toksik.
Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari mast cells dan
meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di
dalam rongga ke-tiga yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan
percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan
kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. Data-data yang
menggambarkan mediator-mediator sepsis dan antagonisnya pada orang dewasa
tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada anak-anak. Perkembangan mediatormediator sepsis dan aktivitas agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas.
Pada neonatus, didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi
sel-T. Neonatus, terutama bayi yang lahir prematur memiliki sistem komplemen
yang terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Respon mediator yang utama
pada orang dewasa lebih mudah dipahami dibandingkan dengan pada anak-anak.
Perbedaan presentasi pada neonatus dapat lebih kepada kesatuan kuantitatif (level
darah bervariasi menurut usia) versus perbedaan kualitatif (respon fisiologis
terhadap aktivasi mediator). Orang dewasa dan bayi menampakkan gejala-gejala
yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang menuju kepada koagulopati,
hipotensi, perfusi jaringan perifer serta organ yang inadekuat, dan akhirnya
kegagalan organ serta kematian. Dengan memahami respon mediator inflamasi,
dapat dicari hubungan antara gambaran klinis sepsis dengan patofisiologi yang
mendasarinya serta penting untuk memahami mekanisme terapi untuk
penatalaksanaan sepsis. Tabel 2 menggambarkan sketsa efek biologis dan klinis
dari mediator-mediator inflamasi dan menegaskan perbandingannya pada
neonatus. 2.2.2. Hubungan Inflamasi dan Koagulasi Inflamasi dan koagulasi sangat
berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator-mediator inflamasi
membangkitkan ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi
jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi
menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi. Pelepasan TNF-, IL-1, and
IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor
(TF) yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi
fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk
faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa
untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi
bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur
koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara
tidak langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta
mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin memiliki efek multiple pada
inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan
fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan
monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF-. Respon
sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi
chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis.
Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan

meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan


perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan
mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan
bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler. Tubuh memiliki mekanisme inhibisi
bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang
teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va
dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan
memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan
ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel
dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung.
Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF-
menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein
C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak
teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX
pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan
sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila
proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan menyebabkan
koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada disfungsi organ seperti yang
terjadi pada keadaan sepsis berat. Gambar 3. Kaskade koagulasi. Pada keadaan
sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya dimulai dengan jalur ekstrinsik sebagai
hasil dari peningkatan ekspresi faktor jaringan yang distimulasi oleh mediatormediator inflamasi. Walaupun bukan dalam keadaan sepsis, neonatus dan bayi-bayi
prematur memiliki predisposisi terhadap hiperkoagulasi. Kadar protein C dan protein
S dalam plasma neonatus tereduksi. Sebaliknya, kadar trombomodulin reseptor
endotel meningkat pada periode neonatal. Selama sepsis, hiperkoagulasi ini dapat
bereksaserbasi dengan meningkatkan jumlah factor-faktor inhibisi koagulasi
(antithrombin [AT], protein C, protein S, reduced thrombomodulin, dan inhibisi
fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1]). 2.2.3. Fibrinolisis yang
terganggu Fibrinolisis (lisisnya bekuan/clot) merupakan respon homeostasis tubuh
untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk
penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator
fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen
activator (t-PA) atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki
inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable
fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara
keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal
dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF-
mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah
pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin
degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediatormediator proinflamasi (IL-6 dan TNF-) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan
jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah berukuran
kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi

organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal,


dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi
yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI.
Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system
fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat
profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi
pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi
kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi.
Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan
homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu. Respon koagulasi
dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi
meningokokus. Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya
mortalitas menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari
penyakit yang mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat
kuantitas atau perbedaan faktor darah berdasarkan usia. BAB III SEPSIS
NEONATORUM Fetus dan neonatus sangat rentan terhadap infeksi. Sekitar 1-2 bayi
dari 1000 kelahiran mengalami infeksi. Ada tiga jalur utama terjadinya infeksi
perinatal: (1) infeksi transplasental (misalnya: cytomegalovirus, rubella, syphilis);
(2) infeksi asendens dengan disertai rusaknya barier plasenta (misalnya: infeksi
bakteri setelah 12-18 jam selaput amnion pecah); dan (3) infeksi yang didapat oleh
bayi saat melewati jalan lahir yang telah terinfeksi atau terpapar darah ibu yang
infeksius (misalnya: herpes simplex, hepatitis B, infeksi bakteri lainnya). Beberapa
faktor resiko klinis sepsis neonatorum: Mayor Maternal prolonged Rupture of
Membranes >24 jam Intrapartum maternal fever >38 C Chorioamnionitis
Sustained Fetal Tachycardia >160 x/menit Minor Intrapartum maternal fever >37.5
C Gemelli Premature (<37> Maternal Leukocytosis (White Blood Cell
>15.000/mm3) Rupture of Membranes > 12 hour Tachypnea (<1> Maternal Group B
Streptococcus Colonization Low APGAR ( 1 menit <5> LBW (<1500> Foul lochia
Gambar 4. Langkah-langkah evaluasi suspek infeksi neonatal dini. Sepsis
neonatorum dapat dikategorikan sebagai onset dini atau onset lanjut. Sekaitar 85%
neonatus dengan infeksi onset dini mengalami sepsis dalam 24 jam pertama
kehidupannya, 5% antara 24-48 jam, dan sejumlah kecil terjadi setelah 48 jam
pertama kehidupan. Organisme penyebab infeksi, dan lokasi primer infeksi
bervariasi tergantung dari waktu terjadinya (onset) serta tempat di mana bayi
mendapatkan infeksi tersebut, apakah di rumah atau di rumah sakit. Onset terjadi
lebih cepat lagi pada bayi-bayi prematur. Sepsis onset dini umumnya disebabkan
oleh mikroorganisme yang diperoleh dari ibunya. Organisme yang sering
menyebabkan infeksi onset dini ini antara lain; group B Streptococcus (GBS),
Escherichia coli, Haemophilus influenzae, dan Listeria monocytogenes Beberapa
kondisi perinatal berhubungan dengan meningkatnya resiko sepsis onset dini.
Sepsis onset dini umumnya sering terjadi pada prematuritas, gemelli, kelainan
kongenital, asfiksia perinatal, dan jenis kelamin laki-laki. Sindrom sepsis onset lanjut
terjadi pada hari ke-7-90 kehidupan dan umumnya didapatkan dari lingkungan.
Organisme penyebab antara lain coagulase-negative staphylococci, Staphylococcus

aureus, E coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter, Candida, GBS, Serratia,


Acinetobacter, dan anaerob. Organisme-organisme ini umumnya membentuk koloni
pada kulit bayi, traktur respiratorius, konjungtiva, traktus gastrointestinal, dan
umbilicus. Vektor yang dapat menjadi tempat kolonisasi juga mencakup kateter
urin, IV line, serta melalui kontak dengan orang yang merawat bayi tersebut. Kapsul
polisakarida menempel dengan baik pada polimer pelastik kateter. Adhesi ini
menciptakan suatu kapsul di antara mikroba dan kateter yang menghalangi
deposisi C3 dan fagositosis. Selain itu juga, protein yang terdapat pada organisme
[AtlE and SSP-1] akan meningkatkan penempelan pada permukaan kateter.
Pneumonia yang ditandai dengan distress pernafasan sering terjadi pada sepsis
onset dini, sementara meningitis umumnya sering terjadi pada sepsis onset lanjut
( 85% disebabkan oleh GBS dan L. monocytogenes). Faktor resiko ibu mencakup
kolonisasi streptokokus pada vagina, demam intrapartum, ketuban yang lambat
pecah (>18-24 jam), kala 2 memanjang, serta chorioamnionitis atau ada riwayat
infeksi saluran kemih. Bayi-bayi prematur dan bayi-bayi sakit memiliki kerentanan
yang tinggi terhadap sepsis dan umumnya tidak serta merta tampak jelas; karena
itu kelompok ini membutuhkan perhatian lebih sehingga ancaman sepsis dapat
diidentifikasi secara dini dan mendapat terapi yang efektif. Tabel 3. Tanda-tanda
Klinis pada Sepsis Neonatorum Onset dini Onset lanjut bayi tampak tidak sehat
Merintih temperatur tidak stabil Tachypnea tidak mau minum Cyanosis mengisap
lemah Perfusi buruk muntah/residu gaster Hipotonus distensi abdomen
letargi/apnoe letargi/apnoe ikterus(<24jam) fontanel tegang/konvulsi Syok syok 3.1.
Etiologi sepsis neonatorum Agen-agen infeksius penyebab sepsis neonstorum telah
banyak berubah dalam 50 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, S. aureus dan E. coli
merupakan penyebab infeksi yang tersering serta membahayakan pada kejadian
sepsis neonatorum di era tahun 1950an. Setelah itu, GBS kemudian menggantikan
S. aureus sebagai agen Gram-positif yang tersering yang menyebabkan sepsis
onset dini pada dekade selanjutnya. Selama tahun 1990an, GBS dan E. coli tetap
dihubungkan sebagai penyebab utama sepsis. Beberapa organisme yang lain yang
juga diidentifikasi dalam kejadian sepsis neonatorum antara lain: coagulasenegative S aureus, L monocytogenes, Chlamydia pneumonia, Haemophilus
influenzae, Enterobacter aerogenes, dan species Bacteroides serta Clostridium .
Meningoencephalitis dan sindrom sepsis neonatal dapat pula disebabkan karena
infeksi oleh adenovirus, enterovirus, atau coxsackievirus. Selain itu, penyakit
menular seksual dan penyakit infeksi virus, seperti gonorrhea, syphilis, herpes
simplex virus (HSV), cytomegalovirus (CMV), hepatitis, HIV, rubella, toxoplasmosis,
Trichomonas vaginalis, dan Candida species juga sering ditemukan berkaitan
dengan sepsis neonatorum. Bakteri-bakteri dengan resistensi yang tinggi terhadap
antibiotik juga sangat berbahaya serta selanjutnya akan menyulitkan penanganan
sepsis neonatorum ini. 3.2. Tinjauan Immunologis Neonatus Jika dibandingkan
dengan orang dewasa, fungsi sistem imun neonatus memiliki kekurangan pada
beberapa aspek antara lain: tipe-tipe antibodi spesifik, fungsi bakterisidal dan
fagositik, opsonosasi, komplemen yang bersirkulasi, serta kemampuan untuk
meningkatkan produksi neutrofil sebagai rerspon terhadap infeksi. Kadar serta

fungsi monosit pada neonatus sama dengan orang dewasa; namun demikian,
aktivitas kemotaksis makrofag terganggu dan berlanjut dengan penurunan
fungsinya sampai masa kanak-kanak awal. Jumlah makrofag di paru-paru, limpa,
serta hepar menurun. Aktivitas kemotaksis, bakterisidal, serta pemaparan antigen
tidak sempurna baik. Jumlah sitokin yang diproduksi oleh makrofag juga berkurang,
yang mana dapat berhubungan dengan penurunan jumlah produksi sel-T. Sel-T
ditemukan dalam sirkulasi janin pada awal kehamilan dan jumlahnya meningkat
saat kelahiran sampai usia sekitar 6 bulan. Namun, sel ini banyak yang immatur
dan tidak bertahan lama. Neonatus kekurangan fenotip sel-T dengan sel memori
pada permukaannya. Namun demikian, jumlah sel-T ini bertambah dengan makin
maturnya neonatus serta dengan stimulus paparan antigen. Sel-T neonatus yang
masih naf ini belum dapat langsung berproliferasi bila diaktivasi seperti pada sel-T
orang dewasa. Selain itu, sel-T neonatus ini belum secara efektif memproduksi
sitokin saat terjadi stimulasi dan diferensiasi oleh sel-B, serta stimulasi sum-sum
tulang oleh granulosit/monosit. Keterlambatan pembentukan fungsi memori
terhadap antigen spesifik mengikuti terjadinya infeksi primer. Fungsi sitotoksik sel-T
neonatus kurang lebih 50-100% sama efektifnya dengan sel-T orang dewasa.
Kekebalan pasif terhadap beberapa jenis organisme didapatkan melalui IgG yang
ditransfer melalui plasenta selama trimester III kehamilan. Kadar IgG antibodi dalam
darah bayi cukup bulan setara dengan kadar antibodi tersebut dalam tubuh ibunya.
Maka dari itu, bayi-bayi yang lahir prematur khususnya yang lahir pada usia
kehamilan kurang dari 30 minggu, tentu tidak memiliki antibodi ini secara
mencukupi. Bila sistem imun ibu tersupresi (immunosuppressed mother), maka
tentu akan sangat mungkin bahwa jumlah IgG yang ditransmisikan kepada janinnya
juga rendah. Janin dapat mensintesis IgM pada usia kehamilan 10 minggu; namun
levelnya sangat rendah saat lahir, kecuali jika janin terpapar agen infeksius selama
kehamilan. Hal tersebut akan menstimulasi peningkatan produksi IgM. IgG dan IgE
juga dapat disintesis oleh janin dalam kandungan namun jumlahnya dalam darah
pada saat lahir hanya sedikit. Neonatus mendapatkan IgA melalui ASI dan mulai
mensekresikan IgA pada usia 2-5 minggu. Respon terhadap antigen polisakarida
berkurang dan tetap demikian sampai 2 tahun pertama kehidupan. Pada neonatus,
kemampuan kemotaksis dan kapasitas neutrofil neonatal serta leukosit PMN untuk
mengeliminasi antigen mengalami penurunan. Berkurangnya adhesi sel-sel ini pada
pembuluh darah mengurangi kemampuannya untuk berdiapedesis meniggalkan
pembuluh darah menuju ke jaringan. Selain itu juga, PMN pada neonatal kurang
dapat bergerak melalui matriks ekstraselular jaringan untuk mencapai lokus
inflamasi dan infeksi. Kemampuan PMN untuk memfagositosis dan membunuh
bakteri terganggu saat bayi itu sakit. Yang terakhir, cadangan neutrofil dengan
mudah terdeplesi karena sum-sum tulang kurang responsif, khususnya pada bayi
prematur. Natural killer (NK) cells ditemukan dalam jumlah yang lebih besar pada
darah tepi neonatus dibandingkan orang dewasa; namun kemampuannya
berkurang dalam hal mengekspresikan antigen pada membran sel. Respon yang
berkurang ini ditemukan pada infeksi herpes virus pada neonatus. Janin mulai dapat
memproduksi protein komplemen pada usia kehamilan 6 minggu. Komposisi

komponen komplemen ini sangat bervariasi pada tiap neonatus. Aktivitas


komplemen pada neonatus dalam membunuh organisme, khususnya bakteri Gramnegatif, masih kurang efisien. Hal ini terutama terjadi pada bayi-bayi prematur.
Aktifitas sistem komplemen mulai matang pada usia 6-10 bulan. Fibronectin, suatu
protein serum yang diinduksi dengan penempelan neutrofil serta memiliki aktivitas
opsonisasi, ditemukan dalam kadar yang rendah pada neonatus. Karena itulah,
efisiensi serum neonatus rendah dalam mengopsonisasi agen infektif. 3.3. Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS) Manifestasi klinis infeksi tergantung pada
virulensi organisme yang terkena serta respon inflamasi tubuh terhadap agen
infeksi. Istilah SIRS sering digunakan untuk menjelaskan keunikan proses infeksi
serta respon sistemik yang mengikutinya. Selain infeksi, SIRS juga dapat dihasilkan
dari trauma, syok hemoragic, penyebab-penyebab iskemia yang lain, serta
pankreatitis. Pasien-pasien dengan SIRS memiliki spektrum gejala klinis yang
menampakkan proses patologis yang progresif. Batasan SIRS ialah respon inflamasi
sistemik terhadap gangguan/kerusakan klinis yang ditandai dengan adanya dua
atau lebih hal-hal berikut: (1) Temperatur tubuh yang tidak stabil (<35>38,5 C), (2)
Disfungsi respirasi (tachipnoe atau hipoksemia) (3) Disfungsi Cardiac (tachicardia,
delayed capillary refill >3 detik, hipotensi), dan (4)Abnormalitas perfusi (oliguria,
asidosis laktat, perubahan status mental). Meningkatnya permeabilitas vaskuler
menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan perifer dan paru-paru yang
mengakibatkan terjadinya udem perifer dan udem paru-paru. Kerusakan jaringan
pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian. 3.4. Tandatanda Sepsis Neonatorum Diagnosis dini umumnya dilaksanakan ketika ada
kecurigaan ke arah sepsis. Biasanya, tanda-tanda sepsis dini agak sukar ditentukan
dan nonspesifik. Tanda awal yang paling umum adalah bayi ampak tidak sehat,
serta tidak dapat minum susu atau adanya intoleransi terhadap makanan yang
masuk, rewel atau lethargy, serta temperatur tubuh yang tidak stabil. Jika
didapatkan beberapa manifestasi yang jelas secara bersamaan, maka akan
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Infeksi transplasetal (CMV, T. Pallidum, T.
gondii, rubella, parvovirus B19, dll) dapat asimtomatis saat lahir. Gejala-gejala dan
tanda tidak membantu untuk menegakkan diagnosis etiologi, namun meningkatkan
kecurigaan terhadap infeksi intrauterin serta membantu membedakan infeksi ini
dengan infeksi bakteria akut yang yang terjadi selama proses persalinan. Beberapa
gejala dan tanda antara lain: pertumbuhan intrauterin yang terbatas, mikrosefalus
atau hidrosefalus, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, katarak, miokarditis,
pneumonia, hepatosplenomegali, hiperbilirubinemia, anemia, trombositopenia,
hydrops fetalis, serta manifestasi kulit seperti; petechiae, purpura, dan vesikel.
Kebanyakan agen ini menyebabkan gejala sisa, walaupun bayi asimtomatis saat
lahir. Beberapa gejala tambahan lainnya ialah gangguan pendengaran
sensorineural, kejang, dan abnormalitas perkembangan sistem saraf. Neonatus
dengan sepsis bakterialis dapat disertai dengan gejala-gejala nonspesifik atau
tanda-tanda fokal infeksi antara lain; temperatur yang tidak stabil, hipotensi, perfusi
buruk (pucat dan atau berbercak-bercak), asidosis metabolik, takikardi atau
bradikadi, apnoe, distres pernafasan, merintih, sianosis, irritable, letargi, kejang,

intoleransi makanan, distensi abdomen, ikterus, petechiae, purpura, dan


perdarahan. Manifestasi awal biasanya terbatas pada gejala pada satu sistem organ
saja seperti apnoe saja atau takipnu dengan retraksi atau takikardi. Tetapi dapat
pula langsung bermanifestasi berat dengan disfungsi multiorgan. Bayi harus direevaluasi secara berkala untuk menilai apakah gejala telah berkembang dari ringan
menjadi berat. Komplikasi lanjut dari sepsis meliputi gagal nafas, hipertensi
pulmonal, gagal jantung, syok, gagal ginjal, disfungsi hepar, udem serebral atau
trombosis, perdarahan atau insufisiensi adrenal, disfungsi sum-sum tulang
(neutropenia, trombositopenia, anemia), dan DIC. Tabel 4. Tanda-tanda dan Gejala
infeksi Neonatus pada beberapa sistem organ UMUM CVS Demam, temperatur tidak
stabil Pucat, bercak-bercak, dingin, clammy skin Bayi tampak tidak sehat
Tachycardia Tidak mau minum Hipotensi Edema Bradikardi GI SYSTEM CNS Distensi
abdomen Irritable, letargi Muntah tremor, kejang Diare hiporefleks, hipotonus
Hepatomegali Refleks Moro abnormal Respirasi ireguler SISTEM PERNAPASAN
Fontanel tegang Apnoe, dyspnoe high-pitched cry Tachipnoe, retraksi PCH, merintih
SISTEM HEMATOLOGI Cyanosis Ikterus Splenomegali SISTEM RENAL Pucat Oliguria
Petechiae, purpura Perdarahan Karena manifestasi awal dari sepsis tidak spesifik,
diagnosis dini terhadap sepsis sukar dilakukan. Sepsis bakterialis memiliki
progresifitas yang sangat cepat sehingga klinisi harus awas terhadap gejala-gejala
dan tanda infeksi yang mungkin ada dan melakukan reevaluasi diagnosis serta
pemberian terapi antimikroba empiris. Sebagian besar klinisi merekomendasikan
untuk mulai memberikan terapi antibiotic pada neonatus yang mengalami distress
pernafasan yang membutuhkan oksigen atau bantuan ventilator, khususnya pada
bayi dengan usia kehamilan di atas 34 minggu. 3.5. Pemeriksaan Penunjang Sepsis
Dalam menentukan diagnosis sepsis, riwayat perinatal, pemeriksaan fisik, serta
perjalanan penyakit harus dievaluasi dengan cermat. Pemeriksaan darah rutin dan
hitung jenis leukosit umumnya bermanfaat walaupun tidak spesifik untuk sepsis.
Adanya leukopenia (<> 0,2, mengindikasikan prediksi yang mengarah kepada
sepsis. Bila hal-hal tersebut tidak ditemukan, maka kemungkinan sepsis adalah
minim. Akurasi prediksi ini penting untuk dibuktikan dengan reevaluasi dalam 8-24
jam. Trombositopenia, granul toksik, vakuolisasi, dan badan Dhle merupakan
perubahan lain yang dapat membantu menyingkirkan kemungkinan sepsis.
Leukositosis dan neutrophilia bukan indikator yang baik untuk kemungkinan sepsis.
Tes aglutinasi latex terhadap adanya antigen GBS umumnya dilakukan pada urin.
Namun demikian, positif palsu terjadi pada lebih dari 10% kasus. Pengukuran
mikrosedimentation rate, C-reactive protein, fibronectin, dan haptoglobin memiliki
akurasi dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan yang lebih lengkap mencakup
radiografi thorax dan biakan darah. Pada bayi dengan resiko tinggi, kurang dari 72
jam, dan asimtomatik, biakan urin dan spinal tap juga perlu dilakukan. Bayi-bayi
pada keadaan di atas biasanya tidak mungkin menderita meningitits tanpa adanya
hasil positif pada biakan darah. Meskipun demikian, walaupun biakan darah sudah
memberi hasil positif, LCS juga harus tetap diperiksa. Bila LCS positif atau bila ada
tanda yang jelas akan adanya meningitis walaupun dengan hasil biakan negatif,
pemberian terapi antibiotik harus diperpanjang. Setelah 72 jam pertama post

partum atau ketika ada kecurigaan kuat terhadap sepsis, aspirasi suprapubik dan
LCS sebaiknya dilakukan. Beberapa bayi dalam keadaan kritis, terutama bayi BBLR,
dapat diberikan antibiotik sebelum spinal tap dilakukan. Bila antibiotik sudah mulai
diberikan, biakan harus diinkubasikan selam 72 jam untuk menyediakan cukup
waktu bagi organisme untuk berkembang biak sebelum biakan dinyatakan negatif
dan terapi antibiotik intravena dihentikan. Hanya sekitar 82-90% biakan darah
sensitif pada neonatus. Karena itu, dengan adanya kecurigaan klinik yang cukup
kuat terhadap sepsis serta jumlah leukosit yang abnormal, bayi harus diterapi
lengkap dengan antibiotikwalaupun dengan hasil biakan yang negatif . Pemeriksaan
cairan serebrospinal umumnya sukar diinterpretasikan pada neonatus. LCS normal
dapat mengandung sampai 32 leukosit per mikroliter, dengan 60% sel PMN. Kadar
glukosa LCS bervariasi pada neonatus, namun secara umum 40% lebih tinggi dari
kadar glukosa dalam plasma. Protein dapat mencapai 180mg/dL atau lebih tinggi
pada bayi prematur. Organisme sebaiknya dilihat dengan pewarnaan Gram. 3.5.
Penatalaksanaan Sepsis Bila sepsis kecurigaan sudah cukup kuat ke arah sepsis,
maka beberap tes harus dilakukan segera dan pemberian antibiotic perlu dilakukan
segera. Antibiotik dilanjutkan sampai hasil ada hasil biakan dan respon klinis
terhadap intervensi dievaluasi. Mula-mula, infeksi diterapi empiris dengan antibiotik
spektrum luas seperti penisilin dan aminoglikosida untuk mencakup organismeorganisme Gram-positif dan Gram-negatif. Ketika organisme penyebab telah
diidentifikasi, antibiotik tadi mungkin perlu diganti dengan antibiotik yang lebih
sesuai. Beberapa golongan antibiotik yang biasanya dipakai untuk sindrom sepsis
neonatorum antara lain adalah: ampicillin, gentamicin, cefotaxime, vancomycin,
metronidazole, erythromycin, dan piperacillin. Pilihan antibiotik harus didasarkan
pada organisme yang bersangkutan dengan sepsis tersebut, sensitifitas agen
bakterial, serta harus mencegah tren infeksi naosokomial pada bayi. Perlu diingat
bahwa infeksi virus juga dapat menyerupai infeksi bakteri. Kategori Obat: Antibiotik
Terapi antimikroba secara empiris Empiric antimicrobial harus cukup luas dan
sebaiknya mencakup semua pathogen yang mungkin pada konteks gambaran klinis.
Nama Obat Ampicillin (Marcillin, Omnipen, Polycillin, Principen, Totacillin) Antibiotik
beta-lactam yang bersifat bacteriocidal bagi bebrapa organisms, seperti GBS,
Listeria, nonpenicillinase-producing Staphylococcus, beberapa strains of H
influenzae, dan meningokokus. Dosis Pediatrik <7 hari dan <2000 g: 50 mg/kg/dose
IV/IM q12h <7>2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q8h 7-30 hari dan <1200 g: 50
mg/kg/dose IV/IM q12h 7-30 hari dan 1200-2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q8h 7-30
hari dan >2000 g: 50 mg/kg/dose IV/IM q6h >30 hari: 100-200 mg/kg/hari IV/IM
dibagi q6h; dosis dapat digandakan pada kasus meningitis. Nama Obat Gentamicin
(Garamycin) -- Aminoglycoside yang bacteriocidal untuk beberapa organisme gramnegative seperti E coli dan Pseudomonas, Proteus, dan Serratia species. Efektif pada
kombinasi dengan ampicillin untuk GBS and Enterococcus. Dosis Pediatrik 0-4
minggu dan <1200 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q18h <7 hari dan 1200-2000 g: 2.5
mg/kg/dose IV/IM q12h <7>2000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q12h >7 hari dan 12002000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q8h >7 hari dan >2000 g: 2.5 mg/kg/dose IV/IM q8h
(IM dilakukan bila akses vena sukar) Nama Obat Cefotaxime (Claforan)

Cephalosporin generasi III. Efektif melawan GBS dan E coli serta gram-negative
enteric bacilli lainnya. Kadar dalam serum dan LCS baik. Kemampuannya melawan
drug-resistant gram-negative bacteria lebih daripada penicillin dan aminoglycoside.
Tidak efektif terhadap Listeria dan enterococci. Digunakan dalam kombinasi dengan
ampicillin. Pediatric Dose <7 hari: 50 mg/kg/dose IV/IM q12h >7 hari: 50
mg/kg/dose IV/IM q8h Nama Obat Vancomycin (Lyphocin, Vancocin, Vancoled)
Bakterisidal terhadap kebanyakan coccus dan basil gram-positif maupun
anaerob.Penting khususnya untuk terapi MRSA. Direkomendasikan bila sepsis
dicurigai disebabkan oleh coagulase-negative staphylococcal. Terapi dengan
rifampin, gentamycin, or cephalothin dilakukan pada endokarditis atau infeksi CSF
shunt oleh coagulase-negative staphylococcus. Pediatric Dose <1 month: <1200 g:
15 mg/kg/dose IV qd 1200-2000 g: 10 mg/kg/dose IV q12h >2000 g: 10 mg/kg/dose
IV q8h Drug Name Metronidazole (Flagyl) -- Antimicrobial yang efektif melawan
infeksi anaerob, terutama meningitis oleh Bacteroides fragilis. Pediatric Dose <4
minggu dan <1200 g: 7.5 mg/kg/dose PO/IV q2d <7 hari dan 1200-2000 g: 7.5 mg
PO/IV qd <7>2000 g: 7.5 mg/kg PO/IV q12h >7 hari dan 1200-2000 g: 7.5 mg/kg
PO/IV q12h >7 hari dan >2000 g: 15 mg/kg/dose q12h Nama obat Erythromycin (EMycin, Erythrocin) Macrolide antimicrobial agent terutama bersifat bacteriostatik
dan aktif melawan kebanyakan bakteri Gram-positif, seperti Neisseria species,
Mycoplasma pneumoniae, Ureaplasma urealyticum, dan Chlamydia trachomatis.
Tidak terkonsentrasi dengan baik di LCS. Dosis Pediatrik <7 hari dan <2000 g: 5
mg/kg/dose PO/IV/IM q12h <7>2000 g: 5 mg/kg/dose PO/IV/IM q8h >7 hari dan
<1200 g: 5 mg/kg PO/IV/IM q12h >7 hari dan >1200 g: 10 mg/kg PO/IV/IM q8h
Nama Obat Piperacillin (Pipracil) -- Suatu acylampicillin dengan aktivitas yang baik
melawan Pseudomonas aeruginosa. Efektif melawan Klebsiella pneumonia, Proteus
mirabilis, B fragilis, S marcescens, dan kebanyakan strain Enterobacter. Tersedia
dalam bentuk kombinasi dengan aminoglikosida. Pediatric Dose <7 hari dan 12002000 g: 75 mg/kg IV/IM q12h <7>2000 g: 75 mg/kg IV/IM q8h >7 hari dan 12002000 g: 75 mg/kg IV/IM q8h >7 hari dan >2000 g: 75 mg/kg/dose IV/IM q6h Kategori
Obat: Antiviral Infeksi viral seperti HSV, dapat menyerupai sepsis bakterialis. Pada
onset infeksi, terapi harus langsung diberikan untuk mencegah replikasi virus.
Nama obat Acyclovir (Zovirax) Digunakan untuk infeksi mukosa, kutan, dan
sistemik oleh HSV-1 and HSV-2. Dosis Pediatrik 1500 mg/m2/hari PO/IV dibagi q8h
atau 30 mg/kg/hari PO/IV dibagi q8h selama 14-21 hari; dosis 45-60 mg/kg/hari
dibagi q8h digunakan untuk bayi aterm. Bayi prematur: 20 mg/kg/hari PO/IV dibagi
q12h selama 14-21 hari. Nama Obat Zidovudine (Retrovir) Analog thymidine,
menginhibisi replikasi virus. Dipakai pada terapi penderita HIV. Dosis Pediatrik 3
bulan 12 tahun: 90-180 mg/m2/dosis PO q6h; max: 200 mg q6h 0.5-1.8 mg/kg/jam
(continuous IV); atau 100 mg/m2/dosis (intermittent IV q6h) Kategori obat: Antifungi
Infeksi fungi dapat menyerupai infeksi bacterial dan/atau dapat muncul pada
terapi antibacterial yang lama. Mekanismenya dapat mencakup perubahan
metabolisme RNA dan DNA atau akumulasi peroksida yang sangat toksik pada sel
fungi. Nama Obat Fluconazole (Diflucan) Digunakan untuk infeksi jamur, termasuk
candidiasis orofaringeal, esophageal, dan vaginal. Juga digunakan untuk infeksi

kandida sistemik dan meningitis krooptokokal. Aktivitasnya bersifat fungistatik.


Merupakan antifungal oral sintetik (broad-spectrum bistriazole) yang menginhibisi
fungal secara selektif (CYP450 dan sterol C-14 alpha-demethylation), yang
mencegah konversi which prevents conversion lanosterol menjadi ergosterol,
sehingga dengan demikian mengganggu membrane sel. Dosis Pediatrik 0-14 hari :
Oropharyngeal Candidiasis : 6 mg/kg PO/IV initial dose; setelah 3 hari, 3 mg/kg q3d
(total 14 hari). Esophageal candidiasis: 6 mg/kg PO/IV initial dose, kemudian 6-12
mg/kg q3d selama 21 hari. Systemic candidiasis: 6-12 mg/kg/dose PO/IV q3d selam
28 hari. Dosis neonatus dan bayi, sama. Diberikan tiap hari. Untuk meningitis
kriptokokal akut, dosis inisial ditingkatkan menjadi 12 mg/kg, dan 6-12 mg/kg/dose
diberikan selama 10-12 minggu setelah kultur LCS negative. Nama Obat
Amphotericin B (Amphocin, Fungizone) digunakan untuk mengobati infeksi
sistemik dan meningitis yang disebabkan oleh beberapa jenis jamur seperti Candida
dan Aspergillus species, Histoplasma capsulatum, dan Cryptococcus neoformans.
Antibiotik polyeneyang diproduksi oleh strain Streptomyces nodosus; dapat
bersifatfungistatik satau fungisidal. Berikatan dengan sterols, seperti ergosterol, di
dalam membrane sel jamur. Hal ini menyebabkan kebocoran komponen intraselular
dan akhirnya kematian sel jamur tersebut. Dosis Pediatrik Dosis percobaan: 0.1
mg/kg/dose IV; max: 1 mg/dose melalui infuse selama 20-60 menit atau 0.25 mg/kg
melalui infuse selama 6 jam; bila dapat ditolerasi, diberikan 0.25 mg/kg/hari; dosis
ditingkatkan secara bertahap sebanyak 0.25mg/kg/hari. Peningkatan ini dilakukan
sampai dicapai dosis harian yang diinginkan. Dosis pemeliharaan: 0.25-1 mg/kg/hari
IV qd melalui infus selama 4-6 jam; total dosis yang diberikan: 30-35 mg/kg selama
6 minggu. 3.7. Follow up Untuk pasien yang akan berobat jalan: Tenaga kesehatan
sebaiknya mengikuti perkembangan bayi dalam satu minggu setelah keluar dari
rumah sakit. Bayi dapat dievaluasi akan kemungkinan terjadinya superinfeksi yang
disebabkan oleh lamanya pemakaian antibiotik. Menentukan apakah jenis makanan
serta aktivitas dapat kembali normal. Penekanan pada keluarga akan pentingnya
pemberian imunisasi pada anaknya. Untuk pasien yang akan dipindahkan: Bayi
dapat dipindahkan ke perinatal center level III, khususnya bayi tersebut
membutuhkan bantuan kardiopulmoner dan/atau nutrisi parenteral. Pelayanan
multidisiplin diperlukan dalam perawatan acute compromised neonatus. 3.8.
Pencegahan Pemeriksaan obstetrik yang baik merupakan salah satu strategi dalam
pengelolaan penyakit GBS onset dini. Sebaiknya dilakukan perawatan terhadap ibu
hamil dengan GBS bakteriuria saat terdiagnosis dan saat melahirkan. Demikian pula
dengan wanita yang pada kehamilan sebelumnya melahirkan bayi dengan penyakit
GBS. Klinisi sebaiknya menggunakan strategi terapi berdasarkan skrining terhadap
ibu atau strategi perdasarkan adanya faktor-faktor resiko intrapartum untuk
meminimalisasikan terjadinya penyakit GBS onset dini. 3.9. Komplikasi Pada bayi
dengan meningitis dapat terjadi hidrosefalus dan/atau periventrikular leukomalasia.
Selain itu juga dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan
aminoglikosida, seperti gangguan pendengaran dan/atau nefrotoksisitas. 3.10.
Prognosis Dengan diagnosis dini dan terapi yang baik, bayi umumnya tidak akan
mengalami masalah kesehatan yang berhubungan dengan sepsis dalam jangka

waktu yang lama. Namun demikian, bila tanda awal dan/atau faktor-faktor resiko
terlewatkan, maka mortalitas dapat meningkat. Sequelle kerusakan neurologis
terjadi pada 15-30% neonatus yang mengalami sepsis. BAB IV KESIMPULAN
Perkembangan tentang patofisiologi sepsis telah banyak terjadi dalam dekade
terakhir. Sebelumnya, sepsis hanya dipandang sebagai suatu proses gangguan
inflamasi. Penelitian baru menunjukkan bahwa faktor-faktor hematologis yang
kompleks, termasuk aktivasi koagulasi dan gangguan fibrinolisis, membentuk
protrombotik sebagai hasil dari abnormalitas endotel serta disfungsi organ yang
diinduksi karena terjadinya sepsis. Bukti terbaru menunjukkan bahwa walaupun
fakta tentang immaturitas perkembangan system immune dan hematologi bayi
adalah benar, secara garis besarnya patofisiologi sepsis antara bayi dan dewasa
adalah sama-sama didasarkan pada inflamasi, koagulasi, dan supresi terhadap
proses fibrinolisis yang kemudian berujung pada kegagalan organ. Sepsis pada
neonatus merupakan hal penting dan berakibat fatal bila tidak terdeteksi sehingga
tidak mendapatkan pengelolaan yang baik. Pada beberapa kasus, gejala sepsis
pada neonatus tidak tampak jelas. Hal ini menjadi tantangan pada klinisi intuk
dapat mendiagnosis dini akan adanya sepsis dengan secara cermat mencari adanya
tanda awal atau pun faktor-faktor resiko yang mungkin ada dan dapat
menyebabkan terjadinya sepsis pada neonatus. DAFTAR PUSTAKA Behrman R. E.,
Kliegman R.M., Jenson H.B. 2003. Nelson textbook of pediatrics. 17th ed. China:
Saunders. Hay Jr W.W., Hayward A. R., Levin M. J., Sondheimer J.M. 2003. A LANGE
medical book CURRENT pediatric diagnosis & treatment. 16th ed. Boston: McGRAWHILL. Rudolph A.M., Kamei R.K., Overby K.J. 2002. Rudolphs fundamental of
pediatrics. 3rd ed. New York: McGRAW-HILL Medical Publishing Division.
http://www.emedicine.com Neonatal Sepsis. 2004.
http://www.medscape.com/viewarticle/493246 Linking the Sepsis Triad of
Inflammation, Coagulation, and Suppressed Fibrinolysis to Infants. 2004.
http://www.fpnotebook.com/OB7.htm Neonatal sepsis. 2005.
Copy and WIN : hhttp://bit.ly/copynwin

Anda mungkin juga menyukai