KAJIAN KEBIJAKAN
PERENCANAAN TENAGA KESEHATAN
PENGANTAR
PENGANTAR
Kualitas pelayanan publik sangat ditentukan oleh sistem dan tenaga
pelayanan. Ketenagaan pelayanan seringkali menghadapi kendala dalam hal jumlah,
sebaran, mutu dan kualifikasi, sistem pengembangan karir, dan kesejahteraan tenaga
pelaksana pelayanan. Permasalahan yang muncul dalam tataran mikro operasional
memunculkan persepsi rendahnya kualitas pelayanan, yang berawal dari kesenjangan
antara aturan dan standar yang ada dengan pelaksanaan pelayanan yang tidak dapat
menerapkannya. Pemahaman terhadap kedaaan nyata yang dihadapi di lapangan sangat
penting untuk menelaah kembali landasan kebijakan, aturan, dan standar untuk
meningkatkjan kualitas pelayanan.
Laporan ini menyampaikan hasil kajian mirko ketenagaan dalam pelayanan
kesehatan publik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan di unit pelayanan kesehatan
masyarakat terdepan, puskesmas. Hasil kajian ini dipandang penting sebagai sumber
informasi bagi pengambil keputusan untuk memahami permasalahan, mengatasinya dan
sebagai sumber pembelajaran bagi pengambil keuputusan lainnya. Kajian menunjukkan
antara lain terdapatnya kesenjangan (gap) antara kebijakan ketenagaan pemerintah pusat
dengan implementasinya di daerah dan telaahan terhadap ragam upaya pemerintah
kabupaten/kota mengatasi persoalan ketenagaan pelayanan publik yang mereka hadapi.
Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia, sudah pada tempatnya bila
melihat ketenagaan pelayanan dalam kerangka keterkaitan sistem kesehatan nasional,
sistem pendidikan nasional dan sistem lainnya. Pengelolaan ketenagaan kesehatan harus
dilakukan dengan mempertimbangkan kaitannya dengan sistem pendidikan dan
ketenagakerjaan secara menyeluruh. Sangat mungkin bahwa ketenagaan kesehatan yang
dilaporkan pada buku ini merupakan gambaran persoalan serupa dalam ketenagaan di
bidang lain sehingga jawaban pemecahan persoalan harus diupayakan secara menyeluruh
terutama melalui telaahan di bidang ketenagakerjaan dan pendidikan.
Semoga diagnosis yang dilakukan melalui kajian ini tepat dan dapat ditindaklanjuti
dengan resep dan rekomendasi yang tepat pula. Diharapkan laporan kajian ini dapat
menjadi masukan dan bahan berguna untuk pengembangan kebijakan implementatif dalam
penagagan ketenagaan untuk meningkatkan pelayanan publik.
Masukan dan saran perbaikan perbaikan kami nantikan. Terimakasih.
Jakarta, Desember 2005
Deputi Men PPN
Bidang Sumber Daya Manusia
dan Kebudayaan
ABSTRAK
Kajian ini dilakukan untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran tenaga
kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya, kebijakan perencanaan, pengadaan,
penempatan dan pelatihan tenaga kesehatan beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Kajian menggunakan desain cross sectional dan dilakukan di 7 propinsi, mencakup
32 kabupaten/kota dengan responden dinas kesehatan, kepala puskesmas dan tenaga
kesehatan puskesmas. Pengumpulan data dilakukan melalui studi literatur, diskusi, FGD
dan survei. Analisa univariate dilakukan untuk mengetahui kecenderungan sebaran dan
statistik deskriptif.
Secara umum perencanaan dilakukan untuk hampir semua jenis tenaga, walaupun
lebih dari separuh kab/kota tidak menerapkan pedoman perencanaan yang ditetapkan,
dengan alasan utama kurangnya sosialisasi. Kekurangan tenaga terjadi pada semua jenis
tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada epidemiolog, teknis medis, rontgen,
penyuluh kesehatan masyarakat dan dokter spesialis. Masalah utama ketenagaan adalah
terbatasnya formasi dan kemampuan pendanaan, serta proses pengadaan dan penempatan
yang kurang memuaskan.
Ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan rasio tenaga
kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang lebih luas, dan
proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit,
harapan terhadap insentif yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.
Jenis insentif yang paling diharapkan oleh petugas Puskesmas adalah gaji/tunjangan yang
lebih baik, peningkatan karir, dan penyediaan fasilitas.
Dalam hal perencanaan, kajian merekomendasikan sosialisasi yang lebih intensif
tentang metode perencanaan. Dalam hal pengadaan, kebijakan nasional pengadaan dokter
di Puskesmas yang masih banyak yang kosong perlu mendapat prioritas. Untuk
meningkatkan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah
insentif, fasilitas serta kemudahan karir. Peran serta pemda dalam ketenagaan kesehatan di
Puskesmas lebih ditingkatkan lagi terutama pemberian insentif yang lebih baik, sehingga
tenaga kesehatan di Puskesmas dapat bekerja lebih baik dan merasa betah bekerja di
daerah.
DAFTAR ISI
PENGANTAR ......................................................................................................................................................3
ABSTRAK ............................................................................................................................................................5
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................................6
DAFTAR TABEL ................................................................................................................................................7
DAFTAR SINGKATAN .....................................................................................................................................9
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................................................10
A.
B.
C.
Kerangka Konsep................................................................................................................................11
D.
B.
Desain Kajian.......................................................................................................................................15
C.
D.
E.
B.
C.
D.
B.
C.
D.
E.
F.
Tanggapan Masyarakat......................................................................................................................49
G.
Kesimpulan ..........................................................................................................................................52
B.
Rekomendasi........................................................................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................................55
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Tabel 3.1
Tabel 4.1
Tabel 4.2
Tabel 4.3
Tabel 4.4
Tabel 4.5
Tabel 4.6
Tabel 4.7
Tabel 4.8
Tabel 4.9
Tabel 4.10 Perbandingan rasio tenaga kesehatan per puskesmas menurut kategori .........41
kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal
Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori ...............42
kecamatan terpencil dan tidak terpencil
Tabel 4.12 Perbandingan rata-rata distribusi tenaga dan fasilitas kesehatan ....................43
di Kecamatan Terpencil dan Tidak terpencil
Tabel 4.13 Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana................45
pindah dan alasan kepindahannya
Tabel 4.14 Ketersediaan tenaga Puskesmas di daerah menurut kapasitas.........................46
Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas.........46
fiskal daerah
Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif .............................46
dan jenis insentif yang diharapkan
Tabel 4.17 Alasan Rencana Kepindahan Tenaga Kesehatan di Puskesmas ......................47
Tabel 4.18 Frekwensi Pelatihan Yang Pernah Diikuti Responden....................................47
Tabel 4.19 Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan ..............................48
Jabatan Kepala Puskesmas
Tabel 4.20 Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas .................................................41
Tabel 4.21 Insentif Yang Paling Banyak Diharapkan oleh Responden dari Pemda..........48
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Kerangka Sistem Kesehatan Nasional...........................................................12
Gambar 1.2 Kerangka konsep kajian.................................................................................12
Gambar 4.1 Penyebaran Dokter Spesialis per propinsi Tahun 2003-2004. ......................24
Gambar 4.2 Penyebaran Dokter Umum per propinsi Tahun 2003-2004...........................25
Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004.....................................25
Gambar 4.4 Penyebaran Bidan per propinsi Tahun 2003-2004 ........................................26
Gambar 4.5 Rasio Dokter Umum Puskesmas dan RS per 100.000 penduduk..................26
Gambar 4.6 Rasio Dokter Umum terhadap Puskesmas menurut propinsi .......................29
Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada ..........32
daerah kajian
Gambar 4.8 Hambatan Utama Dalam Perencanaan Kebutuhan .......................................33
Tenaga Kesehatan di Daerah Penelitian yang telah menggunakan pedoman
Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas ..36
Gambar 4.10.Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif ......44
dan jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan
DAFTAR SINGKATAN
AKABA
AKB
AKI
ASKES
BKD
BPS
CPNS
DRG
DSP
GAKY
INPRES
IDI
IBI
ISFI
JPSBK
KESLING
KIA
KS
MDGs
PDGI
PERSAGI
PERMENKES
PKPS-BBM
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
PNS
PPNI
POLTEKES
POLINDES
POSYANDU
PTT
PUSKESMAS
PUSTU
RPJM
RS
SDKI
SKM
SKN
SKRT
SMAK
SMF
SPK
SPRG
SPSS
SUSENAS
WHO
WISN
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
10
kinerja sistem kesehatan nasional yaitu subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan,
sumber daya manusia (SDM) kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan
masyarakat, dan manajemen kesehatan.
Dalam subsistem SDM kesehatan, tenaga kesehatan merupakan unsure utama yang
mendukung subsistem kesehatan lainnya. Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan adalah
semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di bidang kesehatan, yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Subsistem
SDM kesehatan bertujuan pada tersedianya tenaga kesehatan yang bermutu secara
mencukupi, terdistribusi secara adil, serta termanfaatkan secara berhasil-guna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes, 2004).
B.
Tujuan utama kajian ini adalah untuk mengetahui jumlah, mutu dan penyebaran
tenaga kesehatan terutama di Puskesmas dan jaringannya serta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat termasuk penduduk
miskin.
Keluaran (output) kajian kebijakan perencanaan bidang kesehatan antara lain meliputi:
(1) Tersedianya profil tenaga kesehatan terutama di Puskesmas berdasarkan wilayah
geografis dan sosial ekonomi; dan (2) Tersusunnya rekomendasi kebijakan jumlah, mutu
dan penyebaran ketenagaan kesehatan di Puskemas dan jaringannya sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kesehatan.
C.
Kerangka Konsep
Untuk memberi gambaran secara ringkas tentang peran subsistem tenaga kesehatan
dalam sistem kesehatan nasional (SKN), dibawah ini digambarkan kerangka keterkaitan
berbagai subsitem dalam SKN. Derajat kesehatan masyarakat ditentukan sistem kesehatan
yang dilaksanakan. Sistem kesehatan dipengaruhi oleh berbagai sistem lain di luar sistem
kesehatan seperti sistem pendidikan, sistem ekonomi, sistem lingkungan dan sebagainya.
Sistem kesehatan terdiri dari 6 subsistem yang satu sama lain saling berkaitan yaitu
subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya manusia (SDM)
kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan, pemberdayaan masyarakat, dan manajemen
kesehatan.
11
Subsistem
Output
Upaya Kesehatan
Tingkat Kesehatan
SDM Kesehatan
Responsiveness
Pemberdayaan
Masyarakat
Distribusi Biaya
Pembiayaan
Kesehatan
Kebijakan Kab/Kota:
- Proses Perencanaan
- Pelatihan
- Rekrutmen &
Penempatan
- Sistem Insentif
Pelayanan
Kesehatan
Lebih Baik
Status
Kesehatan
Meningkat
Desentralisasi
Geografis
Kemampuan Fiskal
12
D.
13
Puskesmas/Pustu (42,40%), dan praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada
umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas adalah penduduk miskin, sedangkan
pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang berada di daerah
tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya,
selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh
juga krang optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI,
2004) kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan
yang berkualitas. Paling tidak terdapat tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan
dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1)
peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2) peningkatan kualitas dan kuantitas
tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin.
Dengan melihat berbagai permasalahan ketenagaan kesehatan tersebut, maka perlu
dikaji, bagamiana kebijakan perencanaan tenaga kesehatan dalam upaya untuk menjawab
pemasalahan di atas. Khusunya, kajian diharapkan dapat menjawab beberapa pertanyaan
berikut:
1. Bagaimana kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam hal ketenagaan
kesehatan di Puskesmas?
2. Bagaimana ketersediaan tenaga kesehatan di Puskesmas dan jaringannya?
3. Bagaimana mutu tenaga kesehatan yang tersedia?
4. Bagaimana distribusi tenaga kesehatan di Puskesmas di wilayah tertinggal dan
terpencil?
5. Bagaimana pembinaan karir tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas?
6. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap pelayanan oleh tenaga kesehatan di
Puskesmas?
7. Bagaimana peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin?
8. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan tugas
tenaga kesehatan di Puskesmas?
14
B. Desain Kajian
Disain kajian adalah cross sectional, yaitu dengan memotret keadaan ketenagaan
kesehatan dari segi perencanaan kebutuhan, pendidikan dan pelatihan dan pendayagunaan
tenaga kesehatan dengan sampel kajian di beberapa provinsi, kabupaten, puskesmas, dan
tenaga kesehatan.
C. Ruang Lingkup Kegiatan
Kajian ini difokuskan untuk ketenagaan kesehatan di Puskesmas dan jaringannya.
Kajian dilakukan di 7 propinsi terpilih yang ditentukan berdasarkan katagorisasi rasio
tenaga kesehatan dan penduduk di Puskesmas serta mewakili karakteristik wilayah
Indonesia bagian Barat, dan Wilayah Timur. Pada setiap propinsi di ambil beberapa
Kabupaten/Kota berdasarkan tingkat kemajuannya. Selanjutnya di setiap Kabupaten/Kota
terpilih secara proporsional dipilih sejumlah Puskesmas yang menggambarkan daerah
perkotaan dan daerah perdesaan
Untuk melakukan kajian ini dilaksanakan beberapa kegiatan sebagai berikut:
1. Diskusi dan seminar tentang kebijakan ketenagaan kesehatan;
2. Focus Group Discussion (FGD);
3. Pengumpulan data ketenagaan kesehatan di Puskesmas meliputi jumlah, distribusi
dan kualitas;
4. Pengumpulan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ketenagaan kesehatan
di Puskesmas;
5. Pengumpulan data tentang peran Puskesmas dalam pelayanan kesehatan bagi
penduduk miskin;
6. Pengumpulan data tentang persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan di Puskesmas;
7. Mempelajari pembinaan karir bagi tenaga kesehatan di Puskesmas yang
dilaksanakan saat ini;
8. Melakukan analisis data dan menyusun laporan penelitian; dan
9. Diseminasi hasil penelitian melalui seminar dan workshop.
D. Sampel dan Variabel Kajian
Pemilihan sampel provinsi kajian dipilih secara purposif dengan memperhatikan
karakterisik wilayah yaitu yang sering dibagi ke dalam wilayah barat dan wilayah timur.
Kawasan barat diwakili oleh Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, Jawa Tengah, dan DI
Yogyakarta, sedangkan kawasan timur diwakili oleh Provinsi Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Barat dan Papua.
15
No.
a.
b.
Kriteria Wilayah
Jml.
Kab/Kota
tertinggal
Kawasan Barat
1. Sumatera
Barat
2. Jawa Barat
12
3. Jawa Tengah
4. DIY
Propinsi
Kapasitas Fiskal
Jumlah Responden
Tak
tertinggal
tinggi
sedang
rendah
Dinkes
Kapala
Puskesmas
Tenaga
Kesehatan
10
11
40
10
13
43
17
67
10
22
Kawasan Timur
1. Sulawesi
Selatan
15
10
2. NTB
10
13
3. Papua
JUMLAH
32
24
21
42
84
193
Dalam kajian ini dikumpulkan dan dianalisis berbagai variabel penting dari ketiga
unsur pokok subsistem SDM kesehatan yaitu perencanaan kebutuhan, pendidikan dan
pelatihan, dan pendayagunaan tenaga kesehatan, antara lain: unit kerja penyusun rencana,
jenis tenaga, periode penyusunan rencana, dasar penyusunan rencana, metoda penyusunan
rencana, hambatan yang ditemui, koordinasi penyusunan rencana, sistem informasi untuk
penyususan rencana.
Selain itu dikumpulkan pula kebutuhan dan ketersediaan tenaga, proses pengajuan
kebutuhan, rekrutmen tenaga di daerah, masalah yang dihadapi dalam pengadaan tenaga,
kriteria penentuan lokasi penempatan tenaga, kewenangan penempatan tenaga, pelatihan
tenaga, jenis pelatihan yang dilaksanakan, sumber pembiayaan untuk pelatihan tenaga, dan
sistem insentif yang digunakan serta minat untuk bertugas di daerah.
E. Pengumpulan dan Analisa Data
Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
berupa data dan informasi dari berbagai lietartur yang berasal dari Buku Profil Kesehatan
(Indonesia, Provinsi, Kabupaten), BPS (Kabupaten Dalam Angka, Susenas), serta bukubuku lain yang relevan. Selain itu dilakukan nara sumber yang kompeten dalam kebijakan
SDM Kesehatan antara lain Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Kepala Biro
16
17
A.
Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional di
bidang kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam
Sistem Kesehatan Nasional (SKN), tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem
SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun berbagai upaya perencanaan, pendidikan
dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu dan saling mendukung, guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Unsur utama
dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan pendayagunaan
tenaga kesehatan.
B.
18
19
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:
1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan
2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan
3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.
Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32
Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan
keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan.
Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan.
Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama.
Dalam PP ini dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang
kesehatan. Lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan
bisa pemerintah atau masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus
dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Izin
penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan bersama oleh Departemen Kesehatan
dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin penyelenggaraan pendidikan
akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan
antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan
belum serasi
2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah
belum sepadan dengan penyelenggaraan oleh swasta
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.
Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah
berdampak terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi
diluar Depdiknas termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005)
D.
PendayagunaanTenaga Kesehatan
20
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga
periode perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus
melaksanakan kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan
kepangkatan III A atau dapat ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk
PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3 tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil
diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi dengan menggunakan formasi Inpres
dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian
hampir tidak ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga
medis dilakukan melalui program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas
Permenkes No. 1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2
sampai 3 tahun. Dalam periode ini telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter
gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan
dalam penempatan dokter PTT yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT
mempunyai ciri sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
21
Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata
produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per tahun sebanyak 509 orang.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih
dulu ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir
tahun 1999 diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang
langsung diterima pendidikan spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi
dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di provinsi NAD cukup menarik minat
untuk bertugas di daerah.
Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang
diharapkan berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan.
Seperti halnya dengan dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT
dengan karakteristik kebijakan sebagai berikut:
1.
2.
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak
32.470 orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang
berkaitan dengan Bidan PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat
sebagai PNS (peningkatan status), kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji
antara daerah terpencil dengan sangat terpencil relatif kecil sehingga tidak menarik.
(Ruswendi, 2005)
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana
dengan baik. Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan
melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan
oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji
kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi, sedangkan pemberian lisensi
dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan peraturan perundangan
yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU Praktik
Kedokteran.
22
Secara umum sampai dengan tahun 2004, tenaga kesehatan (SDM Kesehatan) dapat
diidentifikasikan belum mencukupi, baik ditinjau dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, mutu
maupun penyebarannya.
1.
Sampai dengan tahun 2004 terdapat sekitar 274.383 tenaga kesehatan yang bekerja
di Rumah Sakit dan Puskesmas di seluruh Indonesia, untuk memberikan pelayanan kepada
sekitar 218 juta penduduk. Jumlah ini masih belum mencukupi untuk dapat memberikan
pelayanan yang lebih optimal. Rasio tenaga kesehatan terhadap penduduk yang relatif
masih kecil. Untuk itu dalam Indonesia Sehat 2010, jumlah tenaga kesehatan akan
ditingkatkan menjadi 1.108.913 pada tahun 2010, dengan harapan lebih banyak tenaga
kesehatan per penduduk. Tabel 4.1 menunjukkan rasio jenis tenaga kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit pada tahun 2004 dengan kondisi yang ingin dicapai pada
tahun 2010 untuk beberapa jenis tenaga kesehatan
Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di bandingkan dengan
sasaran Indonesia Sehat 2010
Tabel 4.1 Jenis tenaga kesehatan dan rasio terhadap penduduk di
bandingkan dengan sasaran Indonesia Sehat 2010
Jenis Tenaga
Dokter Spesialis
Dokter Umum
Dokter Gigi
Perawat
Bidan
Apoteker
Asisten Apoteker
SKM
Sanitarian
Ahli Gizi
23
Dokter
Jml
Thn
40,0
240,0 1998
Australia
47,2
302,0 1998
Austria
58,6
229,1 1995
Kanada
93,7
229,0 1998
Finlandia
2,07
16,0 1994
Indonesia
68,6
193,2 1996
Jepang
8,6
65,8 1997
Malaysia
47,1
251,0 1990
Belanda
52,0
123,0 1996
Filipina
39,8
164,0 1993
Inggris & Irlandia Utara
59,8
164,0 1995
Amerika
Sumber: Pusat Pendayagunaan Tenaga Kesehatan
40,0
18,6
78,0
26,0
18,9
27,1
9,1
163,0
43,3
-
1998
1998
1996
1998
1994
1996
1997
1991
1996
1989
1996
830,0
532,0
897,1
2.162,0
50,0
744,9
113,3
902,0
418,0
497,0
972,0
1998
1998
1997
1998
2001
1996
1997
1996
1996
1992
1996
1998
1997
1998
1994
1996
1997
1997
1996
1989
-
Kualitas tenaga kesehatan juga masih perlu ditingkatkan. Saat ini, misalnya, dapat
dilihat dari masih banyaknya puskesmas yang tidak mempunyai dokter umum. Akibatnya
banyak puskesmas, terutama di daerah terpencil yang hanya dilayani oleh perawat atau
tenaga kesehatan lainnya. Berbagai kajian (Bappenas, 2004; BPS dan OCR Macro, 2003)
juga menunjukkan bahwa sebagian masyarakat mempunyai persepsi bahwa tenaga
kesehatan belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi pasien, misalnya dokter yang
dianggap kurang ramah, terbatasnya informasi kesehatan yang diberikan kepada pasien,
atau lamanya waktu tunggu. Bahkan akhir-akhir ini sering muncul keluhan dan pengaduan
masyarakat atas dugaan terjadinya malpraktek dokter.
2.
Distribusi
Irja Barat
Malut
Papua
Maluku
Sultra
Gorontalo
Sulsel
Sulut
Sulteng
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Kalbar
Bali
NTB
Jatim
Banten
DI Yogya
Jabar
Jateng
Babel
DKI Jkt
Lampung
Sumsel
Bengkulu
Riau
Jambi
Sumbar
NAD
Sumut
500
24
2000
1500
1000
Irja Barat
Malut
Papua
Maluku
Sultra
Gorontalo
Sulsel
Sulut
Sulteng
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Bali
NTB
Jatim
Banten
DI Yogya
Jabar
Jateng
Babel
DKI Jkt
Lampung
Sumsel
Bengkulu
Riau
Jambi
Sumbar
NAD
Sumut
Kalbar
500
Pola penyebaran yang sama terjadi pada dokter umum. Pusat-pusat distribusi tenaga
kesehatan tersebut adalah di Pulau Jawa dan Bali serta di Provinsi Sumatera Utara dan
Sulawesi Selatan. Provinsi di Pulau Jawa yang relatif sedikit jumlahnya adalah Banten
(provinsi baru) dan DI Yogyakarta.
Gambar 4.3 Penyebaran Perawat per propinsi Tahun 2003-2004
18000
16000
14000
12000
10000
8000
6000
4000
Irja Barat
Malut
Papua
Maluku
Sultra
Gorontalo
Sulsel
Sulut
Sulteng
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Bali
NTB
Jatim
Banten
Jateng
DI Yogya
Jabar
DKI Jkt
Babel
Lampung
Bengkulu
Jambi
Sumsel
Riau
Sumut
Sumbar
NAD
Kalbar
2000
Begitu pula halnya dengan pola penyebaran tenaga perawat. Sebagian besar tenaga
perawat tersebut bertugas terutama di empat provinsi yaitu di Pulau Jawa yaitu di DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sedangkan di luar Jawa terutama
berpusat di Provinsi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
25
Irja Barat
Malut
Papua
Maluku
Sultra
Gorontalo
Sulsel
Sulut
Sulteng
Kalsel
Kaltim
Kalteng
NTT
Kalbar
Bali
NTB
Jatim
Banten
DI Yogya
Jabar
Jateng
Babel
DKI Jkt
Lampung
Sumsel
Bengkulu
Riau
Sumbar
NAD
Sumut
Jambi
1000
Pada Gambar 4.4 tampak pola penyebaran tenaga bidan sedikit berbeda dengan
tenaga perawat. Beberapa provinsi yang memiliki tenaga bidan lebih banyak antara lain
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, NAD, Sumatera Selatan
dan Sulawesi Selatan.
Apabila
menggunakan standar rasio
antara tenaga kesehatan
4.30
Jabar
dengan jumlah penduduk,
4.40
Banten
5.71
NTB
maka distribusi tenaga
6.12
NTT
6.23
Jatim
lebih menyebar. Sebagai
6.31
Jateng
6.36
Kalbar
contoh rasio tenaga dokter
6.40
Sumsel
umum
per
100.000
6.82
Lampung
7.20
Indonesia
penduduk (Gambar 4.5)
7.58
Maluku
8.09
Papua
yang tertinggi adalah di
8.39
Babel
8.46
Sultra
Propinsi Kalimantan Timur
8.51
DKI Jkt
8.59
dengan 18,23 dokter umum
Sumbar
8.90
NAD
per 100.000 penduduk dan
9.44
Sulsel
9.49
Kalsel
terendah ada di Jawa Barat
9.59
Sumut
9.65
Malut
dengan 4,3 dokter umum
10.39
Riau
10.69
DI Yogya
per 100.000 penduduk.
11.09
Sulteng
Rasio di Jawa Tengah,
11.15
Jambi
11.92
Irja Barat
Jawa Timur dan Banten
12.56
Gorontal
12.92
Sulut
juga cukup rendah di
13.20
Bengkulu
15.18
Bali
bawah rata-rata nasional.
16.00
Kalteng
Dengan
demikian
18.23
Kaltim
walaupun secara nominal
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
jumlah
dokter
umum
sebagain besar di Jawa dan Bali, namun bila dibandingkan dengan penduduk yang harus di
layani, maka tenaga dokter di Jawa masih lebih rendah di banding daerah-daerah lain.
Gambar 4.5. Rasio dokter umum Puskesmas dan
Rumah Sakit per 100.000 penduduk
26
Tingginya rasio dokter umum terhadap jumlah penduduk di daerah luar Jawa masih
belum menjamin bahwa tenaga kesehatan tersebut dapat melayani lebih banyak penduduk
dibandingkan di Jawa, karena kendala akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan.
Sebagai contoh walaupun rasio dokter di Irian Jaya Barat lebih tinggi lebih tinggi
dibandingkan dengan Jawa Timur, tetapi karena penyebaran penduduk yang tidak merata,
jarak, kendala geografis, dan sarana transportasi, masih banyak penduduk yang tidak
terjangkau oleh dokter umum dengan mudah.
3. Jenis Tenaga
Untuk jenis tenaga kesehatan tertentu seperti perawat jumlahnya sudah relatif
cukup, bahkan produksinya terus meningkat. Namun sebaliknya terdapat jenis tenaga lain
yang dapat dikatakan sebagai tenaga langka karena berbagai faktor, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah Puskesmas di Indonesia pada tahun 2004 sebanyak 7.550 buah, terdiri dari
2.010 Puskesmas Perawatan dan 5.540 Puskesmas Non Perawatan. Sedangkan jumlah
seluruh tenaga kesehatan yang bekerja di Puskesmas pada tahun yang sama sebanyak
141.566 orang, (Lihat tabel 4.3), dengan demikian rata-rata setiap puskesmas dilayani oleh
18,75 tenaga kesehatan.
27
Tabel 4.3 Jenis, Jumlah dan Rasio Ketenagaan Puskesmas Tahun 2004 (Nasional)
No.
1
Jenis
Jumlah
Dokter Umum
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
4.878
Pegawai Tidak Tetap (PTT)
4.056
2
Dokter Gigi
PNS
2.332
PTT
1.446
3
SKM
647
4
Apoteker
68
5
D-3 Kesehatan Lingkungan
2.127
6
D-3 Gizi
1.599
7
D-3 Keperawatan
6.717
8
D-3 Bidan
3.147
9
Bidan Puskesmas
15.056
10
Bidan di Desa
30.049
11
Perawat Umum
33.353
12
Perawat Gigi
4.531
13
Sanitarian
4.468
14
Pelaksana Gizi
2.966
15
Asisten Apoteker
2.815
Laboran
16
Analis
2.134
Non Analis
753
Lain-lain
17
18.424
JUMLAH
141.566
Sumber: Data Dasar Puskesmas Tahun 2004, Departemen Kesehatan
Rasio per
Puskesmas
1,18
0,50
0,09
0.01
0.28
0.21
0,89
0.42
1,99
3,98
4,42
0,6
0,59
0,39
0,37
0,28
0,10
2,44
18,75
28
Dengan kriteria ini dapat terlihat bahwa rasio dokter umum yang bertugas di
Puskesmas terhadap jumlah Puskesmas berkisar antara 0,35 di Papua dan 2,30 di
Kepulauan Riau, dengan rata-rata nasional sebesar 1,18 (Gambar 4.8). Secara umum dapat
digambarkan bahwa daerah dengan rasio lebih rendah dari 1 menunjukkan jumlah dokter
lebih kecil dari jumlah Puskemas, artinya banyak Puskesmas yang tidak memiliki tenaga
dokter umum. Di Papua misalnya, rata-rata hanya satu dari 3 puskesmas yang memiliki
dokter.
Gambar 4.6. Rasio dokter umum terhadap Puskesmas menurut propinsi
Papua
Maluku
DKI Jakarta
Irian Jaya Barat
Nusa Tenggara Timur
Jawa Barat
Sumatera Barat
Kalimantan Barat
NAD
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Utara
Bangka Belitung
Sumatera Selatan
RIau
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
INDONESIA
Banten
Maluku Utara
Jambi
Bengkulu
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Lampung
Gorontalo
Jawa Tengah
Bali
Kalimantan Timur
DI Yogyakarta
Sumatera Utara
Kepulauan Riau
0,35
0,45
0,45
0,47
0,56
0,82
0,83
0,84
0,84
0,86
0,98
0,98
0,99
1,05
1,06
1,06
1,13
1,13
1,15
1,18
1,26
1,36
1,39
1,42
1,47
1,49
1,51
1,57
1,63
1,72
1,72
1,79
1,88
2,30
Yang perlu menjadi perhatian adalah pada daerah-daerah dengan rasio dokter per
puskesmas yang kecil dan akses yang sulit, seperti di Papua dan Maluku. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Kalaupun pada akhirnya dapat mengaksesnya, pelayanan yang diterima belum memuaskan
karena ketiadaan dokter umum. Meningkatkan fasilitas dan dokter umum di daerah seperti
ini mungkin menjadi mahal dan tidak memberikan daya ungkit yang tinggi terhadap derajat
kesehatan secara nasional. Akan tetapi sebagai upya untuk memenuhi amanat undangundang dasar, pemenuhan hak dasar rakyat akan kesehatan, dan azas keadilan, upaya untuk
daerah terpencil seperti ini perlu dilakukan dengan serius.
Tenaga kesehatan yang mempunyai peran penting dalam pelayanan kesehatan ibu
dan anak, terutama pelayanan kesehatan di daerah perdesaan adalah tenaga bidan. Secara
keseluruhan jumlah bidan tercatat sebanyak 48.252 orang, terdiri dari 3.147 bidan D3,
15.056 bidan di puskesmas, dan 30.049 bidan di desa. Rata-rata rasio bidan per puskesmas
tidak termasuk bidan di desa) adalah 2,4. Jika dilihat per propinsi, maka propinsi yang
rasionya paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,4) dan Papua (5,4), sedangkan paling
rendah adalah DKI Jakarta (0,0) dan Gorontalo (0,6). Rasio tenaga bidan di desa per desa
adalah 0,4. Data ini antara lain menunjukkan bahwa kebijakan penempatan seorang bidan
untuk setiap desa secara nasional tidak atau belum terpenuhi. Jika dilihat per propinsi,
29
hanya satu propinsi, yaitu DKI Jakarta, yang rasio desa dengan bidan di desa tercatat di
atas 1 (1,5), sedangkan propinsi lainnya berkisar antara 0,2 0,8.
Tenaga kesehatan lainnya yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang penting dalam
pelaksanaan program di puskesmas antara lain adalah ahli gizi, sanitarian dan assisten
apoteker. Jumlah ahli gizi yang bekerja di puskesmas pada tahun 2004 tercatat sebanyak
4.565 orang (1.599 Gizi/D3 dan 2.966 Pelaksana Gizi), rasio ahli gizi per puksesmas
dengan ahli gizi adalah 0,6. Sementara itu, jumlah tenaga sanitarian tercatat sebanyak
4.468 orang, rasio sanitarian per puskesmas adalah 0,6. Jumlah tenaga assisten apoteker
tercatat sebanyak 2.815 orang, dengan rasio 0,4 per puskesmas.
B.
1.
Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP
tersebut antara lain dinyatakan:
Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan
yang dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);
Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan (pasal 6 ayat 4).
Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui
Kepmenkes No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan
Sumberdaya Manusia Kesehatan di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit.
Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu daerah dalam mewujudkan rencana
penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur penyusunan rencana
kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas, Rumah
Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi
bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana).
Adapun prinsip dasar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:
1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun
global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan
selaras oleh Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;
3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan
Rencana Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian
metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.
Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method,
Health Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain
yang merupakan pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List
(Daftar Susunan Pegawai atau DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau
Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja; Skenario/Proyeksi dari WHO; dan
penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.
Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan
menggunakan metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai DSP). Metode
30
ini bisa digunakan di berbagai unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain.
Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-DSP (Authorized Staffing List) adalah
sebagai berikut.
1. Menghitung produktivitas Puskesmas secara kolektif dengan mengunakan rumus:
S = O/ 300 x N;
dimana : S = Dayaguna Staf /hari (serendah-rendahnya 5);
N = Jumlah Staf; dan
O = Output Puskesmas
Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu
memindahkan tenaga Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan
atau meningkatkan output Puskesmas.
Tabel dibawah ini menjelaskan kaitan antara output Puskesmas dengan jumlah staf
yang diperlukan.
Tabel 4.4. Jumlah Staf Puskesmas Menurut Beban Kerja
No
1
2
3
4
5
Output Puskesmas
(O: Orang /Tahun)
<30.000
300.000-50.000
50.000-70.000
70.000-10.000
>100.000
Jumlah Staf
(N: Orang)
16
21
30
40
>40
Dayaguna Staf/Hari
(S)
6.25
5,2-8,8
5,5-7,7
5,8-8,3
6,6
Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit,
jika tidak dapat disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi
kekurangan tenaganya dengan sistem kontrak yang dananya berasal dari daerah.
2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas
yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK
Mendagri No. 23 Tahun 1994.
Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas
dengan bermacam macam contoh model perhitungan:
a) Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.
b) Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan
25 tenaga.
c) Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.
d) Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga.
e) Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga.
f) Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.
Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan,
diatur pula tentang jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas
tersebut.
Hasil survei di lokasi kajian menunjukkan bahwa pada dasarnya responden Dinas
Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan kegiatan penyusunan rencana
31
kebutuhan tenaga kesehatan di Puskesmas. Dalam periode satu tahun, Dinas Kesehatan
melakukan paling sedikit satu kali kegiatan penyusunan rencana kebutuhan tenaga
kesehatan dan sebagian besar pelaksananya adalah Unit Kerja Eselon III (47,1%).
Secara umum perencanaan kebutuhan sudah cukup lengkap karena meliputi hampir
semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan di daerah. Jenis tenaga yang direncanakan
oleh hampir semua Dinas Kesehatan adalah tenaga dokter, dokter gigi, perawat, bidan, ahli
gizi, sanitarian, apoteker, asisten apoteker, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM). Selain
tenaga-tenaga tersebut, ada pula Dinas Kesehatan yang merencanakan kebutuhan tenaga
dokter spesialis, terapi fisik, dan terapi medis untuk ditempatkan di puskesmas perawatan.
Dalam menyusun rencana kebutuhan tenaga, dari seluruh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di lokasi penelitian, lebih dari separuhnya (52,6%) tidak menerapkan
Pedoman Penyusunan Perencanaan Kebutuhan SDM Kesehatan seperti tercantum dalam
Surat Keputusan Menkes No.81 Tahun 2004 dan hanya 47,4% yang melaksanakan
pedoman. Alasan utama tidak digunakannya pedoman tersebut berturut-turut adalah belum
adanya sosialisasi, keterbatasan tenaga, menyerahkan ke Badan Kepegawaian daerah,
belum tahu dan belum membaca surat keputusan (SK).
Gambar 4.7 Alasan tidak dilaksanakannya SK Menkes No. 81 Tahun 2004 pada daerah
kajian
Terpusat ke BKD
5%
Keterbatasan
Tenaga
11%
Baru saja
disosialisasi
5%
Belum ada
sosialisasi
48%
Belum tahu
26%
Belum Membaca
SK
5%
32
47%
39%
37%
32%
terbatasnya dana
13%
Ya
13%
Keterbatasan tenaga
3%
Belum Dilaksanakan
3%
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Dengan demikian, sosialisasi tentang pedoman masih menjadi alasan utama tidak
diterapkannya pedoman penyusunan rencana kebutuhan tenaga SDM kesehatan. Pada
daerah yang telah menerapkan pedoman sekalipun, tidak adanya sosialisasi ini masih
menjadi hambatan/kendala utama. Oleh karena itu, jika Kepmenkes No. 81/2004 dapat
dianggap sebagai standar perencanaan tenaga kesehatan, maka sosialisasi pedoman ini
menjadi sangat diperlukan ke seluruh daerah, baik yang sudah ataupun yang belum
menggunakannya.
Sosialisasi ini dapat pula menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas tenaga
perencana di daerah yang masih menjadi kendala besar bagi perencanaan. Dalam hal ini
pemerintah pusat dan propinsi dapat mengambil peranannya. Sementara itu kendala
pendanaan serta data dan informasi menjadi tugas penting yang perlu diselesaikan oleh
daerah. Dengan pendekatan dan pembagian peran antara pusat dan daerah ini, diharapkan
perencanaan tenaga kesehatan dapat menjadi lebih baik.
Dalam proses selanjutnya, rencana kebutuhan tenaga diusulkan kepada pihak yang
berwenang di masing-masing daerah. Berdasarkan hasil survey, pihak yang berwenang
menentukan usulan ini ternyata berbeda untuk masing-masing daerah, yaitu: (1) Dinas
Kesehatan Kabupaten bersama-sama dengan Badan Kepegawaian Daerah (52,6%); (2)
Dinas Kesehatan (44,7%); dan (3) BKD (2,6%). Dalam hal ini, sebagian besar usulan
ditentukan bersama-sama oleh Dinas Kesehatan dan BKD. Demikian pula dalam hal
formasi tenaga kesehatan, pada sebagian besar Kab/Kota (52,6%) wewenang formasi ada
pada Dinas Kesehatan dan BKD. Hal ini bisa diartikan bahwa pada sebagian besar
Kab/Kota, formasi ini ditentukan setelah melakukan koordinasi antara Dinas Kesehatan
dan BKD. Akan tetapi pada sepertiga Kab/Kota (31,6%), wewenang formasi ada pada
33
BKD, dengan demikian BKD mempunyai wewenang penuh terhadap formasi yang
diusulkan oleh Dinas Kesehatan.
Perbedaan kewenangan dalam pengusulan dan penetapan formasi tenaga kesehatan
manjadi salah satu faktor yang menyebabkan adanya kesenjangan antara usulan yang
disampaikan dan formasi yang akhirnya ditetapkan dalam hal jumlah, jenis, distribusi dan
kualifikasi.
Tabel 4.5. Persentase kabupaten/kota yang merasakan kesenjangan antara usulan dengan
ketersediaan tenaga kesehatan
Jenis Kesenjangan
Jumlah
Jenis tenaga
Distribusi
Kualifikasi
Kecil
50%
53%
53%
71%
Besar
34%
24%
32%
18%
Sangat Besar
11%
11%
3%
3%
Dari tabel tersebut, dapat terlihat bahwa ketidaksesuaian antara jumlah dan jenis
tenaga yang diusulkan dengan formasi yang tersedia masih cukup dirasakan oleh sebagian
besar kab/kota. Kesenjangan besar dan sangat besar dalam dal jumlah dirasakan oleh 45%
Kab/Kota, dan kesenjangan jenis (35%) dan distribusi tenaga dirasakan 35% Kab/Kota.
Kesenjangan dalam hal kualifikasi, walaupun terasa, tapi dianggap cukup kecil oleh
sebagian besar kab/kota.
2.
Pengadaan
Kebutuhan
Ketersediaan
987
64
497
4565
4492
89
606
652
415
593
30
294
2951
3295
47
319
404
312
Kesenjangan
(%)
39,9
53,1
40,8
35,4
26,6
47,2
47,4
38,0
24,8
34
Sanitarian
Terapi Fisik
Teknis Medis
Rontgen
Perawat Gigi
Penyuluh Kes. Masy.
Epidemiolog
Laboran
Total
737
108
203
4
62
182
21
109
13.793
530
72
68
1
36
82
0
79
9.216
28,1
33,2
66,5
75,0
41,9
54,9
100,0
27,5
33,2
Kab. Tertinggal
%
9.1
0.0
9.1
18.2
63.6
0.0
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masalah utama pengadaan tenaga kesehatan baik
yang di kabupaten tertinggal maupun tak tertinggal adalah terbatasnya formasi. Sebagai
ilustrasi, pada tahun 2004, dari 12 jenis tenaga kesehatan di puskesmas, seluruh
kabupaten/kota lokasi penelitian mengajukan usulan pengangkatan tenaga kesehatan yang
terdiri dari 1.701 PNS dan 1.439 PTT. Namun dengan keterbatasan formasi yang ada, yang
berhasil direalisasikan hanya 1.085 PNS dan 1.196 PTT atau masing-masing sebesar 63,8%
dan 83,1% dari yang diusulkan. Sementara itu pada tahun yang sama 11 PNS dan 95 PTT
memasuki masa pensiun atau menyelesaikan masa baktinya. Hal semakin memperburuk
keadaaan tenaga kesehatan di daerah, apabila tidak diimbangi dengan realisasi
pengangkatan tenaga kesehatan yang lebih besar.
Berbagai upaya dilakukan oleh daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kesehatan. Karena sebagian besar kabupaten/kota dihadapkan pada jumlah formasi yang
terbatas, pemerintah daerah kemudian mengajukan tambahan formasi berupa tenaga PTT
ke Pemerintah Pusat. Sebanyak 63% kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga kesehatan
PTT (dokter umum, dokter gigi dan bidan) ke pusat. Pengajuan PTT ke pemerintah pusat
merupakan salah satu strategi dari pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga
kesehatan di daerahnya. Karenanya upaya ini dilanjutkan dengan perekrutan tenaga PTT
Pusat tersebut menjadi PNS daerah.
35
Masalah pengadaan ini tidak hanya dirasakan oleh Dinas Kesehatan, tetapi juga di
Puskesmas. Dari hasil penelitian pada Puskesmas di 38 kabupaten, 58,2 % Puskesmas di
antaranya merasa bahwa ketersediaan tenaga kesehatan kurang, 35,4 % yang menyatakan
cukup dan hanya 3,8 % yang menyatakan berlebih (gambar 4.9). Kekurangan ini terutama
sekali dirasakan untuk tenaga Sarjana Kesehatan Masyarakat (75,2%), Perawat (73,4%)
dan Perawat (71,9%) seperti terlihat pada tabel sebelumnya.
Gambar 4.9 Persepsi Responden tentang ketersediaan tenaga kesehatan di
Puskesmas
Kurang
Cukup
Berlebih
Sangat kurang
0.0
3.
58.2%
35.4%
3.8%
2.5%
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
Penempatan
% Kab/kota yang
menggunakan
kriteria
84,2%
57,9%
44,7%
31,6%
10,5%
2,6%
Bidan PTT
% Kab/kota yang
Kriteria
menggunakan
kriteria
Desa tidak ada bidan
84,2%
Desa terpencil
50,0%
Angka kesakitan
28,9%
Lainnya
7,9%
Dari tabel di atas terlihat bahwa kriteria utama (84,2%) bagi lokasi penempatan
dokter dan bidan PTT adalah puskesmas yang tidak memiliki dokter atau bidan.
Penggunaan kriteria seperti ini menunjukkan bahwa masih banyak puskesmas yang tidak
mempunyai dokter atau desa yang tidak mempunyai bidan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, lebih dari separuh Dinas Kesehatan
tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004 untuk melakukan perencanaan
kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah mengikuti pedoman,
metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method. Bila dihubungkan dengan
kriteria penempatan dokter, justru sebagian besar kab/kota secara sederhana
mengidentifikasi puskesmas yang tidak mempunyai dokter. Hal ini menunjukkan bahwa
36
perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih sederhana, yaitu dengan
melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun perencanaan
dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya
pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu
kekurangan tenaga per individu puskesmas.
Dengan melihat masih banyaknya daerah yang mempunyai rasio dokter per
puskesmas kurang dari 1, yang menunjukkan masih banyaknya puskesmas tanpa tenaga
dokter, (lihat gambar 4.8 di atas, rasio dokter per puskesmas), maka bisa diduga bahwa
penggunaan kriteria puskesmas tanpa dokter dan desa tanpa bidan masing-masing untuk
penempatan dokter dan bidan, masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun
mendatang.
Permasalahan bisa muncul, jika penempatan tenaga kesehatan terutama dokter tidak
sesuai dengan kondisi lapangan, artinya tidak pada lokasi yang telah diusulkan oleh Dinas
Kesehatan. Hal ini mungkin terjadi seandainya tidak ada koordinasi yang baik antara BKD
dan Dinas Kesehatan. Survei menunjukkan bahwa sebagain besar repsonden (47,4%)
menyatakan bahwa kewenangan penempatan ada pada Dinas Kesehatan atau DInas
Kesehatan dan BKD, 42,1 kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada Dinas
Kesehatan, 7,9% kab/kota menyatakan bahwa kewenangan ini berada pada BKD dan 2,6%
kab/kota menyatakan kewenangan pada badan lain seperti Bupati.
Proses pengadaan dan penempatan pegawai baru saat ini, menurut kepala
Puskesmas dan tenaga kesehatan masih kurang memuaskan. Rata-rata sekitar separuh
reponden menyatakan ketidakpuasan terhadap ketersediaan informasi pendaftaran pegawai
baru, proses administrasi, seleksi penerimaan, penempatan, pengadaan penerimaan
pegawai baru dan proses mutasi.
4. Mutu Tenaga Kesehatan
Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan
dengan kualitas atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:
1) Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan
yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan
2) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi tenaga kesehatan (Pasal 21)
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub
Sistem Sumberdaya Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: pembinaan dan
pengawasan praktek profesi dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan
pemberian lisensi. Institusi atau lembaga yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah
sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan
oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan oleh masing-masing
organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.
Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan
kesehatan masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga
tersebut masih lemah. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan
pelatihan merupakan salah satu tantangan yang penting untuk dapat menjamin tersedianya
tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut diatur melalui Departemen
37
38
Org. Profesi
Std.
Etika
Kepmen Std.
Registrasi Sertifikasi Lisensi
RUU
Profesi Profesi
Reg.
Komp.
DRAFT
DRAFT
1 IDI
2 PPNI
3 IBI
4 PDGI
5 ISFI
6 PERSAGI
7 HAKLI
8 IKATEMI
9 IROPIN/R.O
10 Ik.Tehniker Gigi
11 Ik. Physioterapy
12 P A R I
13 P A F I
14 P P G I
15 Otorik Prostetik
16 Tehnisi Transfusi
*) Sumber : Pusat Profesi Tenaga Kesehatan, Mei 2004
Dari tabel tersebut terlihat bahwa masih diperlukan berbagai upaya dan langkahlangkah untuk lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan praktek profesi yang
dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi.
Pada era desentralisasi, upaya pembinaan dan pengawasan praktek profesi tersebut
menjadi salah satu upaya yang penting untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
Sebagai contoh, di Propinsi Jawa Tengah, dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan
kesehatan, telah dibentuk Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (MTKP Jawa
Tengah) melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 24 Tahun 2004, Tanggal
24 Maret 2004.
Tugas MTKP Jawa Tengah adalah:
a. Melaksanakan registrasi tenaga kesehatan
b. Melakukan sertifikasi tenaga kesehatan
c. Menetapkan standar pendidikan kesehatan berkelanjutan
d. Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik sesuai keputusan organisasi
profesi
e. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan praktik kesehatan
f. Menetapkan peraturan pelaksanaan guna kelancaran pelaksanaan tugas
g. Menyampaikan hasil pelaksanaan tugas tersebut huruf a sampai dengan huruf f
kepada Gubernur.
MTKP Jawa Tengah ini dibentuk sebagai upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
untuk secara langsung maupun tak langsung, meningkatkan kualitas atau mutu pelayanan
kesehatan bagi individu maupun masyarakat yang membutuhkan dan mempersempit
kesenjangan yang ada antara harapan masyarakat dengan pelayanan yang diterimanya
sampai saat ini. MTKP juga berfungsi untuk memberikan perlindungan dan kepastian
39
hukum bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan, maupun bagi para petugas
yang memberikan pelayanan profesi kesehatan.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, MTKP Jawa Tengah mempunyai
kewenangan dalam hal:
a. Meneliti kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan registrasi tenaga
kesehatan
b. Menyetujui dan menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan
c. Menerbitkan dan mencabut sertifikasi registrasi tenaga kesehatan
d. Mengesahkan standar kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan oleh
masing-masing organisasi profesi
e. Memantau dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran pelaksanaan
praktik kesehatan.
Bersama lima Organisasi Profesi Jawa Tengah (Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan
Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, dan
Persatuan Perawat Nasional Indonesia) dan Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro,
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah telah berhasil menyusun Pedoman
Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Berkelanjutan dan Perangkat Uji Kompetensi
dengan menggunakan Sistim OSCA (Objectve Structure Competencies Assessment), yaitu
kajian kompetensi terstruktur dan obyektif bagi lima Organisasi Profesi tersebut. Sistim
OSCA tersebut juga telah digunakan oleh 5 (lima) Institusi Tenaga Kesehatan
Keperawatan dan selanjutnya akan digunakan secara menyeluruh untuk semua Institusi
Pendidikan Tenaga Kesehatan di Jawa Tengah.
Upaya terobosan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Popinsi Jawa Tengah
tersebut perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak, terutama Departemen Kesehatan
yang selama ini menyusun dan menerbitkan berbagai pedoman pelaksanaan
penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan bagi daerah.
C.
Definisi kabupaten tertinggal pada kajian ini mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 khususnya Bab 26. Dengan mengacu pada ketentuan
ini, dalam kajian dari 32 kab/kota yang menjadi lokasi kajian ini, 8 diantaranya masuk
kabupaten tertinggal dan 25 kab/kota masuk kategori tidak tertinggal.
Pada tabel 4.10 dibawah ini ditampilkan perbandingan distribusi tenaga kesehatan
di Puskesmas pada kabupaten tertinggal dan tidak tertinggal lokasi kajian. Data ini
merupakan hasil kuesioner yang diisi oleh 29 puskesmas yang pada kabupaten tertinggal
dan 37 puskesmas pada kabupaten tidak tertinggal
40
Tabel 4.10. Perbandingan rasio beberapa tenaga kesehatan per puskesmas menurut
kategori kab/kota tertinggal dan tidak tertinggal
Rasio tenaga kesehatan per Puskesmas
Kab. Tertinggal
Kab/Kota Tidak tertinggal
Menurut Jenis Tenaga
Dokter
Dokter Gigi
Bidan
Perawat
Apoteker
Ass Apoteker
Ahli Gizi
SKM
Sanitarian
Terapi Fisik
Teknis Medis
Laboran
Perawat Gigi
Total Tenaga
Menurut status kepegawaian
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Pegawai Tidak tetap (PTT)
Honor Daerah
Wiyata
1,79
0,79
5,72
10,34
0,00
0,66
1,28
0,55
1,28
0,00
0,31
0,48
0,55
27,14
2,03
1,30
9,35
11,27
0,08
0,70
1,81
1,11
1,49
0,05
0,27
0,51
0,16
33,03
19,21
3,59
0,25
0,03
27,59
2,95
0,14
0,03
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk seluruh tenaga kesehatan, rata-rata sebuah
puskesmas di daerah tertinggal mempunyai tenaga kesehatan yang lebih sedikit yaitu 27,14
tenaga, dibandingkan dengan kabupaten tidak tertinggal yaitu 33,03 tenaga. Hampir
seluruh jenis tenaga kesehatan pada kabupaten tertinggal mempunyai rasio tenaga per
puskesmas yang lebih kecil daripada kabupaten tidak tertinggal, kecuali rasio tenaga teknis
medis dan rasio perawat gigi. Dari seluruh tenaga tersebut yang perbedaan yang relatif
besar adalah pada tenaga bidan dan SKM. Namun pada kedua kategori terlihat bahwa
rasio dokter umum lebih besar dari 1, artinya secara rata-rata setiap puskesmas dilayani
lebih dari 1 dokter. Pada kabupaten tertinggal, rasio ini (1,79) sudah mendekati rasio yang
diharapkan menurut perhitungan dengan metode DSP, yaitu 2,0.
Jika dipilah menurut status kepegawaian, pada kabupaten tertinggal rasio tenaga
kesehatan per puskesmas yang berstatus PNS adalah 19,21, lebih rendah dibandingkan
27,59 pada daerah tidak tertingggal. Namun rasio PTT dan honor daerah per puskesmas
lebih tinggi pada daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan upaya untuk memenuhi
kekurangan tenaga PNS dengan tenaga PTT dan honor daerah. .
Selain pengelompokan kabupaten dalam kategori tertinggal dan tidak tertinggal,
pada kajian ini digunakan pula kategorisasi kecamatan terpencil dan tidak terpencil.
Kecamatan terpencil maupun tidak terpencil dapat saja dapat terletak dalam wilayah
administratif kab/kota tertinggal maupun tidak tertinggal, walaupun pada kenyataannya,
kecamatan terpencil lebih banyak terletak di kabupaten tertinggal. Dalam kajian,
kategorisasi terpencil dilakukan sendiri oleh responden, atau dengan kata lain
menggunakan persepsi responden. Dalam hal ini tenaga kesehatan dan kepala Puskesmas
diminta menggolongkan kecamatan asal mereka sebagai daerah terpencil atau tidak
terpencil.
41
Dalam tabel 4.11 di bawah ini, dapat dilihat perbandingan beberapa parameter
tenaga kesehatan dan fasilitas tenaga kesehatan antara kecamatan terpencil dan tidak
terpencil. Dari hasil kajian, ditemukan terdapat 12 Puskesmas yang digolongkan ke dalam
kecamatan terpencil dan 80 pusksemas di kecamatan tidak terpencil.
Tabel 4.11 Perbandingan rasio tenaga kesehatan puskesmas menurut kategori kecamatan
terpencildan tidak terpencil
JUMLAH
PUSKESMAS
Kec
Des/Kel
Desa
Terpencil
58
6
5
2
5
6
9
1
Desa
Ada
Bidan
Pddk
Dilayani
305.427
8.000
2.000
6.626
3.738
29.519
15.907
15.981
14.696
45.902
33.973
9.085
n.a
1.791.56
2
A. Kecamatan Terpencil
Ciracap, Sukabumi
Buniwangi, Sukabumi
Surade, Sukabumi
Tretep, Temanggung
Gemawang, Temanggung
Tangaya, Pangkep
Baloci, Pangkep
Taraweang, Pangkep
Layang, Makasar
Sentani, Jayapura
Dosri, Jayapura
Hom-Hom, Wamena
14,5
1
1
1
1
1
1
1
0,5*
1
2
2
2
100
6
5
6
13
10
9
5
5
7
14
11
9
11
10
75
5
4
6
8
6
4
5
5
4
2
7
19
B. Kecamatan Tidak
Terpencil**
48,5
477
36
356
Pddk
Miskin
64.284
4.101
3.000
13.517
Pustu
28
2
1
Posyandu Polindes
5.365
2.520
4.871
2.850
6.846
13.714
7.500
n.a
4
2
4
4
2
2
3
1
3
402
50
33
46
58
55
30
18
16
30
30
17
19
434.736
139
2.836
29
2
165
5
3
7
3
2
2
5
Ket *) Dalam satu kecamatan dilayani oleh dua Puskesmas, sehingga satu Puskesmas yang menjadi
Responden hanya mencakup separuh dari wialyah kecamatan
**) Untuk kepraktisan penyajian, data puskesmas di kecamatan hanya disajikan jumlah totalnya dari
82 Kecamatan tidak terpencil.
Dari tabel di atas dapat terlihat jumlah kecamatan yang dilayani oleh puskesmas di
kecamatan terpencil bervariasi dari 0,5 kecamatan (artinya satu kecamatan terdapat 2
puskesmas) di Puskesmas Taraweang, Pangkep hingga satu puskesmas yang melayani 2
kecamatan (Makasar, Jayapura, Wamena), dengan jumlah desa yang dilayani bervariasi
dari 5 desa hingga 14 desa. Fasilitas Puskesmas pada daerah terpencil ini pada umunya
juga didukung oleh keberadaan puskesmas pembantu (kecuali di Surade, Sukabumi),
polindes dan Posyandu.
Tabel 4.12 berikut ini merupakan rangkuman dan kompilasi dari tabel sebelumnya
dalam penyajian yang lebih memudahkan untuk membandingkan kondisi tenaga kesehatan
di kecamatan terpencil dan tidak terpencil.
Secara umum, dapat dilihat bahwa jumlah kecamatan yang dilayani oleh setiap
Puskesmas lebih banyak pada Puskesmas di kecamatan terpencil (1,21 kec/puskesmas).
Hal dapat diartikan bahwa pada daerah terpencil cenderung lebih banyak kecamatan yang
belum mempunyai puskesmas, sehingga satu puskesmas harus menjangkau dua kecamatan,
walaupun begitu jumlah desa yang dijangkau oleh puskesmas di kecamatan terpencil ratarata lebih kecil dibandingkan dengan kecamatan tidak terpencil.
42
Tabel 4.12
Kecamatan
Tidak terpencil
1,21
8,33
0,90
8,83
25.452
3,93
33.177
3,01
10.908
12.889
5.357
0,75
2,33
2,42
4,83
8.051
0,75
2,57
3,06
0,67
Demikian juga dengan jumlah penduduk yang harus dilayani di kecamatan terpencil
lebih kecil daripada kecamatan tidak terpencil. Hal ini menunjukkan bahwa beban
puskesmas di daerah terpencil apabila dilihat dari jumlah penduduk yang dilayani tidak
lebih besar dari puskesmas di kecamatan tidak terpencil. Tigaperempat desa di daerah
terpencil mempunyai bidan, sama dengan daerah tidak terpencil. Rasio puskesmas per
100.00 penduduk di kecamatan terpencil yang lebih tinggi (3,93) di banding kecamatan
tidak terpencil (3,01). Dibandingkan denga rata-rata nasional 3,46 angka ini menunjukkan
bahwa rasio di kecamatan terpencil masih lebih baik
Namun demikian, kita harus lebih berhati-hati dalam menyikapi hal ini. Walaupun
jumlah penduduk yang dilayani lebih sedikit dan rasio puskesmas terhadap jumlah
penduduk lebih kecil, bukan berarti akses penduduk terhadap puskesmas di daerah
terpencil lebih baik. Daerah yang digolongkan pada daerah terpencil pada umumnya adalah
daerah yang sulit di capai dengan sarana tranportasi yang ada, baik karena topografi
maupun keterbatasan sarana dan prasana tarnsportasi dan komunikasi. Wilayah
administratif daerah terpencil pada umumnya lebih luas daripada daerah tidak terpencil.
Hal ini mengakibatkan persebaran penduduk yang tidak merata serta sulit dijangkau oleh
fasilitas pelayanan kesehatan. Sebagai ilustrasi, dari distrik Yaur ke Puskesmas Yeretuar di
Nabire harus ditempuh selama 6 jam dengan transportasi laut/air; dari Yeretuar harus
menempuh 2 jam perjalanan hingga ke Pustu Napan Yaur, dan dari Napar Yaur ke desa 2
jam (Pemda Nabire, 2004). Selain itu masih banyak daerah-daerah yang hanya dapat
tempuh dengan transportasi air/ laut atau berjalan kaki berjam-jam lamanya hingga
mencapai fasilitas pustu atau puskesmas. Dengan demikian akses penduduk pada daerahdaerah seperti ini sangat terbatas.
Yang relatif masih kurang di kecamatan terpencil adalah jumlah Pustu dan
Polindes. Di kecamatan yang tidak terpencil rata-rata satu puskesmas didukung oleh 2,57
pustu dan 3,06 polindes; sementara di daerah terpencil masing-masing 2,33 pustu dan 2,43
polindes. Padahal, puskesmas kecamatan terpencil harus melayani 4,83 desa terpencil,
sementara puskesmas di kecamatan tidak tepencil hanya melayani 0,67 desa terpecil.
Dengan demikian beban kerja puskesmas di kecamatan terpencil sebenarnya lebih besar
43
dan memerlukan biaya operasional yang lebih tinggi di banding daerah tidak terpencil.
Oleh karena itu, untuk mendekatkan akses masyarakat di daerah terpencil kepada fasilitas
kesehatan, perlu dipertimbangkan upaya untuk meningkatkan jumlah pustu atau polindes
di daerah seperti ini, tentunya dengan mempertimbangkan ketersediaan tenaga kesehatan
yang tersedia.
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan jumlah tenaga
kesehatan khususnya di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang
seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil. Hasil kajian ini
justru menunjukkan bahwa insentif dari pemda lebih banyak diterima oleh tenaga di
kecamatan tidak terpencil (93% tenaga kesehatan di kecamatan tidak terpencil menerima
insentif dibandingkan dengan 64% pada tenaga kesehatan di daerah terpencil). Artinya
sebanyak 36% tenaga kesehatan didaerah terpencil merasa tidak menerima insentif dari
pemerintah.
Adapun bentuk insentif yang paling banyak diterima adalah insentif finansial,
kemudian diikuti fasilitas (rumah, kendaraan, alat informasi, dan fasilitas lainnya),
peningkatan status (karir, pangkat, pengangkatan PNS) dan percepatan masa bakti. Akan
tetapi besar insentif yang diterima masih belum sesuai dengan harapan tenaga kesehatan,
baik yang bekerja di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil (77,9% responden dari
kecamatan tidak terpencil dan 76% dari kecamatan terpencil menyatakan insentif yang
diberikan tidak sesuai dengan harapan mereka).
Gambar 4.10. Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan peningkatan insentif dan
jenis insentif yang diharapkan menurut keterpencilan kecamatan
12.8
Lainnya
Lingkungan sosial budaya
4.8
Kec. Terpencil
0
0.4
5.1
8.7
10.3
6.1
20.5
15.2
15.4
20.3
59
Peningkatan karir
66.2
69.2
62.3
92.3
92.6
Gaji/Tunjangan
20
40
60
80
100
Persen Responden
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa 3 jenis insentif yang paling diharapkan oleh
tenaga kesehatan, baik yang bertugas di kecamatan terpencil dan tidak terpencil, adalah
gaji/tunjangan, fasilitas, dan peningkatan karir. Hampir semua tenaga kesehatan
mengharapkan insentif gaji/tunjangan yang lebih baik. Sekitar 20,5% tenaga kesehatan di
daerah terpencil juga mengharapkan adanya kedekatan dengan keluarga, namun hanya
15% saja yang mengharapkan kemudahan ijin praktek dan hanya 5,1% yang mengharapkan
peluang bekerja di fasilitas kesehatan lainnya. Persentase ini lebih kecil dibandingkan
dengan persentase tenaga kesehatan di daerah tidak terpencil, mengingat peluang untuk
membuka praktek di luar atau bekerja di fasilitas kesehatan lain yang lebih kecil pada
daerah terpencil.
Sebanyak 4 dari 10 tenaga kesehatan di kecamatan terpencil menyatakan mempunyai
rencana untuk pindah ke wilayah lain. Sedangkan pada kecamatan yang tidak terpencil,
44
hanya 2 dari 10 yang mempunyai rencana untuk pindah ke wilayah lain. Alasan rencana
kepindahan tenaga kesehatan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.13. Persentase tenaga kesehatan Puskesmas yang mempunyai rencana
pindah dan alasan kepindahannya
Alasan Kepindahan
Insentif Yang Lebih Menarik
Pengembangan Karir
Dekat Dengan Keluarga
Keamanan
Peningkatan Pendidikan
Sekolah
Persentase Responden
Kec. Tidak Terpencil
Kec. Terpencil
10,9
5,9
41,8
35,3
41,8
47,1
1,8
11,8
0,4
2,6
0,4
2,6
Dua alasan utama rencana kepindahan adalah kedekatan dengan keluarga dan
pengembangan karir, baik bagi tenaga di kecamatan terpencil maupun tidak terpencil.
Sedangkan insentif yang lebih menarik hanya menjadi alasan bagi 10,9% bagi tenaga di
kecamatan tidak terpencil dan 5,9% di kecamatan tidak terpencil. Yang menarik
diperhatikan adalah kenyataan walaupun hampir semua tenaga kesehatan mengharapkan
peningkatakan insentif finansial, namun insentif bukan menjadi alasan utama rencana
kepindahan. Hal terjadi kemungkinan karena pindah ke daerah baru tidak menjamin adanya
peningkatan insentif yang lebih baik. Akan tetapi justru kedekatan keluarga dan
pengembangan karir menjadi lebih penting bagi tenaga kesehatan baik di daerah terpencil
maupun tidak terpencil. Di kecamatan terpencil, masalah keamanan masih menjadi kendala
yang cukup besar dan menjadi alasan tenaga kesehatan Puskesmas untuk pindah ke lokasi
lain.
Sebagai rangkuman, secara umum dapat dikatakan bahwa situasi ketenagaan di
kabupaten tertinggal dan kecamatan terpencil ditandai dengan rasio tenaga kesehatan per
puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang dilayani lebih luas, proporsi
PNS yang lebih sedikit dan honor daerah dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan
polindes yang lebih sedikit, harapan terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan
karir yang sangat tinggi, serta rencana kepindahan yang lebih tinggi.
D.
45
Sedangkan insentif yang diberikan oleh Pemda terhadap tenaga puskemas terutama
diberikan pada tenaga kesehatan puskesmas yang terletak pada daerah dengan fiskal
kapasitas rendah. Hal ini terbukti dari hasil analisis bahwa insentif dari Pemda yang
diterima tenaga kesehatan Puskesmas pada daerah fiskal kapasitas rendah lebih tinggi yaitu
62,6%, sedangkan pada daerah fiskal kapasitas sedang dan tinggi, masing-masing 57,8%
dan 59% tenaga yang menerima insentif.
Adapun jenis insentif yang paling banyak diterima adalah insentif dalam bentuk
finansial, fasilitas (rumah, kendaraam,dll), dan peningkatan status (karir, pangkat, dll) pada
semua responden di daerah dengan fiskal kapasitas rendah, sedang, maupun tinggi. Secara
rinci besarnya persentase masing-masing jenis insentif ditampilkan pada tabel 4.15.
Tabel 4.15 Insentif yang diterima tenaga kesehatan dari Pemda menurut kapasitas
fiskal daerah
Insentif yang Diterima dari Pemda
Finansial
Fasilitas (rumah, kendaraan, alat infomasi, dll)
Peningkatan Status (karir, pangkat,
pengangkatan PNS)
Percepatan masa Bakti
Lainnya
15.4
33.3
0.0
1.4
7.7
0
0
0
Insentif yang diterima oleh tenaga kesehatan di puskesmas ternyata masih belum
memenuhi harapan baik yang bermukim di daerah dengan fiskal kapasitas tinggi, sedang,
maupun rendah yaitu masing-masing 33,3%, 17,8%, dan 19,9%. Sedangkan jenis insentif
yang paling diharapkan oleh tenaga kesehatan adalah gaji/tunjangan, pengingkatan karir
dan fasilitas (rumah, kendaraan, dan lain-lain). Secara rinci jenis insentif yang diharapkan
oleh tenaga kesehatan di puskesmas ditampilkan pada tabel 4.16.
Tabel 4.16 Persentase tenaga kesehatan yang mengharapkan insentif dan jenis insentif
yang diharapkan
Janis Insentif yang Diharapkan
Gaji/Tunjangan
Peningkatan Karir
Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll)
Kemudahan Ijin Praktek
Kedekatan Dengan Keluarga
Akses Ke Fasilitas Umum
Peluang Bekerja Di Fasilitas Kes. Lain
Lingkungan Sosial Budaya
Lainnya
46
Frekwensi Pelatihan
Jumlah
1
2
3
4
1-3 kali
4-5 kali
6-10 kali
Lebih dari 10 kali
Jumlah
95
34
46
8
51.9
18.6
25.1
4.4
100.0
Selanjutnya, jika dirinci menurut jenis pelatihan yang diikuti, sebagian besar
(66,40%) mengikuti pelatihan teknis fungsional, sedangkan sisanya adalah pelatihan
manajemen.
Jenis pelatihan teknis fungsional yang diikuti antara lain mengenai pelatihan
keperawatan, imunisasi, penyakit menular, kesehatan reproduksi, KIA, sanitasi, dan gizi.
Sedangkan pelatihan manjemen antara lain meliputi pelatihan manajemen puskesmas,
Puskesmas Pembantu (Pustu), pengadaan barang dan jasa, dan manajemen mutu. Dilihat
dari frekwensi pelatihan dapat diasumsikan bahwa kegiatan pembinaan karir melalui
47
pelatihan relatif memadai. Begitu pula halnya dengan jenis pelatihan yang dilakukan sudah
menunjang tugas pelayanan kesehatan yang menjadi tugas pokok Puskesmas.
Pembinaan karir juga dapat dilihat dari peluang untuk memperoleh jabatan di
Puskesmas. Sebagian besar responden (61,5%) menyatakan bahwa untuk menduduki
jabatan Kepala Puskesmas latar belakang pendidikan yang diperlukan adalah dokter, dan
sekitar 36,7 % menyatakan Sarjana Kesehatan Masyarakat, sisanya sarjana lain. Pendapat
ini sudah menunjukkan kecenderungan yang berbeda dengan beberapa waktu yang lalu
bahwa Puskesmas harus dipimpin oleh seorang dokter. Saat ini di beberapa daerah,
Puskesmas telah dipimpin oleh Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Tabel 4.19. Persepsi Responden Tentang Latar Belakang Pendidikan Jabatan Kepala
Puskesmas
No.
1
2
3
Jumlah
166
99
5
270
%
61.5
36.7
1.9
100
Tour of duty (pindah tugas) dan tour of area (pindah tempat) merupakan salah satu
instrumen untuk pembinaan pegawai. Data survei menunjukkan bahwa dari keseluruhan
responden, sebagian besar (73%) menyatakan tidak merencanakan untuk pindah,
sedangkan sisanya (27%) merencanakan akan pindah. Dari responden yang menyatakan
akan pindah, sebagian besar (69%) menyatakan akan pindah setelah dua tahun.
Pertimbangan untuk pindah tempat kerja yang disampaikan oleh responden sebagian besar
adalah alasan dekat dengan keluarga (43,1%) dan pengembangan karir (40,3%).
Tabel 4.20. Alasan Pindah Tenaga Kesehatan Puskesmas
No.
1
2
3
4
5
Alasan Pindah
Insentif Yang Lebih Menarik
Pengembangan Karir
Dekat Dengan Keluarga
Keamanan
Lainnya
Jumlah
Jumlah
7
29
31
1
4
%
9.7
40.3
43.1
1.4
5.6
100.0
48
Tabel 4.21. Insentif Yang Paling Banyak Diharapkan oleh Responden dari Pemda
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Harapan Insentif
Gaji/Tunjangan
Peningkatan Karir
Fasilitas (rumah, kendaraan, alat info, dll)
Kemudahan Ijin Praktek
Kedekatan Dengan Keluarga
Peluang Bekerja Di Fasilitas Kes. Lain
Akses Ke Fasilitas Umum
Lainnya
Lingkungan Sosial Budaya
Jumlah
250
176
171
53
43
22
18
16
1
%
92.6
65.2
63.3
19.6
15.9
8.1
6.7
5.9
0.4
Tanggapan Masyarakat
49
50
51
A. Kesimpulan
1. Secara nasional dilihat dari rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di
Indonesia masih belum mencukupi. Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga,
rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa
dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk, khususnya untuk tenaga dokter
umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih menyebar. Tiga provinsi
dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bali.
Sedangkan tiga provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.
2. Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta
penempatan. Daerah juga telah melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis
tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%) Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak
menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman perencanaan, dengan alasan
utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan terbatasnya kapasitas
perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang paling
banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.
3. Dari 35 kab/kota lokasi kajian, terdapat kekurangan 66,1% tenaga kesehatan di
puskesmas, pada semua jenis tenaga kesehatan, dengan persentase tertinggi pada
Sarjana Kesehatan Masyarakat, Laboran dan Sanitarian. Masalah yang dihadapi
terutama adalah keterbatasan formasi dan keterbatasan dana. Menghadapi kekurangan
ini sebagian besar kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga ke Pemerintah Pusat.
Kekurangan tenaga juga dirasakan oleh 58,2 % puskesmas di lokasi penelitian.
4. Terdapat kesenjangan antara jumlah (di 46% kab/kota) dan jenis (36% kab/kota) tenaga
yang diusulkan dengan formasi yang tersedia. Formasi yang tersedia, sebagian besar
(52,6% kab/kota) ditentukan bersama oleh Dinas Kesehatan dan Badan Kepegawaian
Daerah (BKD) dan sepertiga (31,6% kab/kota) merupakan wenangan BKD
5. Kriteria utama penempatan dokter umum dan bidan adalah puskesmas yang tidak
mempunyai dokter dan desa yang tidak mempunyai bidan. Permasalahan dapat timbul
jika penempatan tidak sesuai dengan usulan, karena kurangnya koordinasi antara Dinas
Kesehatan dengan BKD. Proses pengadaan dan penempatan yang kurang memuaskan
juga dirasakan separuh dari responden.
6. Sebagian besar responden tenaga kesehatan di puskesmas (70,6%) menyatakan
kesesuaian antara latar belakang pendidikan dengan tugas di puskesmas. Hal ini berarti
tidak semua lulusan pendidikan tenaga kesehatan secara otomatis langsung dapat
menjalankan tugas dan fungsinya di puskesmas, tetapi masih memerlukan
orientasi/adaptasi ataupun pelatihan di puskesmas.
7. Secara umum situasi ketenagaan di daerah tertinggal dan terpencil ditandai dengan
rasio tenaga kesehatan per puskesmas yang lebih kecil, jangkauan desa terpencil yang
dilayani lebih luas, proporsi pegawai PNS yang lebih sedikit dan pegawai honor daerah
dan PTT yang lebih tinggi, dukungan pustu dan polindes yang lebih sedikit, harapan
terhadap insentif finansial, fasilitas dan peningkatan karir yang sangat tinggi, serta
rencana kepindahan yang lebih tinggi.
52
B. Rekomendasi
1. Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah,
pemerintah pusat dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan,
peningkatan kapasitas perencana dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah
daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas, dan menyediakan pendanaan.
2. Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar
tercapai keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga,
misalnya dengan menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu
terbatasnya formasi dan terbatasnya dana.
3. Untuk peningkatan akses masyarakat kepada tenaga dan fasilitas kesehatan di daerah
terpencil, perlu dipetimbangkan kemungkinan untuk memperbanyak pustu dan
polindes.
4. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga
kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan
tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan
dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas.
5. Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil,
perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di
kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir.
6. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan menyeluruh
dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan
penyediaan tenaga kesehatan.
53
54
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004Subtansi Kesehatan. Jakarta: Badan Litbangkes, 2005
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
BPS dan ORC Macro. 2003. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002-2003.
15.
Republik Indonesia. 2005. Peraturan Presiden RI No.7 Tahun 2005 Tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009
16.
17.
18.
55
19.
20.
21.
Departemen Keuangan. 2002. Keputusan Menteri Keuangan No. 538 tahun 2002
tentang Kapasitas Fiskal
22.
23.
24.
25.
56
Halaman belakang
Tenaga kesehatan merupakan salah satu pilar atau sub sistem kesehatan nasional, yang
sangat penting artinya dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Saat Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga kesehatan baik dalam hal jenis
maupun jumlahnya. Hal ini semakin diperburuk dengan distribusi tenaga kesehatan yang
masih belum merata.
Apa yang dipaparkan dalam buku ini, merupakan hasil kajian tentang kebijakan
perencanaan tenaga kesehatan di berbagai propinsi dan kabupaten pada tahun 2005. Kajian
mencoba menengok kebijakan tenaga kesehatan di tingkat kabupaten/kota, distribusi
tenaga di wilayah tertinggal dan terpencil, mutu, kendala-kendala yang dihadapi, dan
upaya-upaya yang telah dilakukan.
Banyak hal menarik yang muncul dari kajian ini baik yang menguatkan maupun
yang bertolak belakang dengan berbagai asumsi dan data yang ada, khususnya di tingkat
nasional. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Bappenas dan atau
instansi pemerintah lainnya dalam mempertajam penyusunan kebijakan pembangunan
kesehatan khususnya di bidang ketenagaan kesehatan di masa mendatang.
57