Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Brain

injury

ringan

adalah

hilangnya

fungsi

neurologi

atau

menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya (Smeltzer,


2002), sedangkan menurut Mansjoer (2000), cedera kepala ringan adalah
trauma kepala dengan GCS: 14- 15 (sadar penuh) tidak ada kehilangan
kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma, laserasi dan
abrasi . Manifestasi nyeri kepala setelah cedera kepala dapat berupa jenis
tegang, migren, neuralgia oksipital, atau sefalgia disotonomik traumatic,
dan yang paling sering ditemukan adalah nyeri kepala tipe tegang yang
bersifat terus menerus, nyeri seperti memakai ikat kepala yang terlalu
kencang, tanpa adanya gejala neurologis yang objektif, dapat disertai
keluhan lain berupa vertigo, kepala ringan, sempoyongan, kecemasan,
letih-lesu-lemah (Mansjoer, 2000). Keluhan nyeri kepala biasanya timbul
dalam 24 jam dari cedera, dan sekitar 6% terjadi beberapa hari atau
minggu kemudian. Menurut Gutman dalam Japardi (2002) nyeri kepala
terdapat lebih banyak pada minggu-minggu pertama sesudah cedera
kepala ringan. Pemakaian bantal pada leher untuk mengurangi nyeri
kepala belum banyak diketahui dan diterapkan pada pasien cedera kepala
ringan, khususnya di Ruang Bougenviel RSUD Kertosono.
Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia
10-60 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan
perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan
lalu lintas, disusul dengan jatuh ( terutama pada anak-anak) (Fauzi, 2002).
Data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 kecelakaan
lalu lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh
dunia, menelan korban sekitar 1,2 juta manusia setiap tahun. Di Indonesia
jumlah kecelakaan lalu lintas meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data
Direktorat Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan
(2005), jumlah korban kecelakaan lalu lintas pada tahun 2005 terdapat
1 | Page

33.827 kasus dengan jumlah kematian 11.610 orang (CFR=34,4%). Dari


data tahun 2005 diatas, didapatkan bahwa setiap harinya terdapat 31
orang meninggal atau dengan kata lain setiap 45 menit terdapat 1 orang
yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Menurut data rekam medik

RSUD Kertosono pada tahun 2009-2010 dijumpai cedera kepala sebanyak


347 kasus, 265 kasus ( 73,4%) adalah cedera kepala ringan, 73 kasus
(21%) cedera kepala sedang, dan 9 kasus (2,6%) adalah cedera kepala
berat. Di Ruang Bougenviel sebagian pasien yang dirawat adalah pasien
trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas. Dalam kurun waktu tiga bulan
terakhir ( Januari, Februari, Maret 2011) terdapat 45 kasus (85%) cedera
kepala ringan, 6 kasus (11%) cedera kepala sedang, dan 2 kasus (4%)
cedera kepala berat. Dalam Japardi (2002) penelitian yang dilakukan Jones
(1974) secara retrospektif terhadap 3500 pasien cedera kepala ringan
menemukan insidensi nyeri kepala, dizziness atau keduanya sebanyak
57%. Gejala-gejala ini tetap ada paling sedikit selama 2 bulan tetapi
kemudian sebagian besar menghilang, hanya tinggal 1% pasien dengan
gejala setelah 1 tahun.
diinduksi secara mental dan fisik merupakan mekanisme yang penting.
Pada kontraksi otot dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan bisa
menyebabkan kompresi pembuluh-pembuluh darah kecil dan terjadi
iskemia. Iskemia otot adalah faktor penting sebagai penyebab nyeri kepala
yang disertai kontraksi otot scalp atau leher yang terus menerus.
Nyeri kepala bisa disebabkan akibat stimulasi nosireseptor dalam
otot akibat kejang otot postural leher tetapi bisa juga akibat iskemia
(Alamsyah, 1999). Pada pasien dengan nyeri kepala cenderung akan
mengalami kecemasan dan merasa tidak nyaman , hal tersebut dapat
diatasi dengan memberikan tindakan farmakologi maupun non farmakologi
serta memberikan penjelasan mengenai penyebab, mekanisme, dan
perjalanan penyakit dari gejala- gejala yang dialami oleh pasien. Salah
satu tindakan non farmakologi untuk mengurangi nyeri kepala yaitu
dengan

memberikan

menurunkan

kontraksi

bantal

pada

otot-otot

leher,

leher

yang

sehingga

diharapkan
nyeri

kepala

dapat
bisa

berkurang. Penatalaksanaan nyeri kepala pada cedera kepala ringan dapat


2 | Page

dilakukan

dengan

pemberian

obatobatan

(farmakologis)

meskipun

manfaatnya relatif terbatas. Selain itu dapat dilakukan upaya non


farmakologis seperti kompres hangat, traksi leher, colar, dan bantal pada
leher yang mempunyai tujuan untuk mengurangi kontraksi otot-otot leher
yang secara sekunder bisa meningkatkan masalah nyeri (Japardi, 2002).
Pengaturan posisi tidur dengan menggunakan bantal pada leher
diharapkan dapat mengurangi nyeri kepala pada pasien cedera kepala
ringan. Apabila nyeri kepala yang dirasakan penderita dapat berkurang
maka penderita dapat melakukan ambulasi dini. Ambulasi dini sering
dapat mencegah gejala neurotik, dan pasien cedera kepala ringan dapat
diijinkan untuk bergerak dan mandiri sesegera mungkin (Japardi, 2002)

1.2
1.
2.

Identifikasi Masalah
Bagaimana penanganan fisioterapi kasus penyakit Brain injury?
Bagaimana implementasi intervensi pada kasus penyakit

Brain

injuryn?
1.3

Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Sebagai penambahan pengetahuan tentang trauma kepala
atau brain injury
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan teori tentang brain injury
2. Melakukan assesmen terhadap brain injury
3. Melakukan asuhan fisioterapi pada pasien brain injury
1.4
Manfaat Penulisan
1.4.1 Bagi Pendidikan
Dapat memberikan manfaat khususnya brain injury di dunia
pendidikan fisioterapi.
1.4.2 Bagi Fisioterapi
3 | Page

Dapat meningkatkan mutu pelayanan fisioterapi melalui prosesproses fisioterapi yang dilakukan secara sistematis dan teliti.
1.4.3 Bagi Penelitian
Dapat menerapkan secara tepat pemberian metode terhadap
pasien brain injury

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue, dan pericranium.

4 | Page

Gambar 1. Lapisan Kranium


B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus
5 | Page

frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi
bagian
bawah batang otak dan serebelum.

C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan
dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang
terletak antara

duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai

perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang


berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinussinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.3 Arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam

dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi


pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling
sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak
pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan
dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari
dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari pia

6 | Page

mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.


Perdarahan sub arakhnoidumumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.3. Pia mater
adarahmembrana vaskularyang dengan erat membungkus otak, meliputi
gyrus dan masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membran ini
membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri
yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg.7 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon

(otak

depan)

terdiri

dari

serebrum

dan

diensefalon,

mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri


dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Gambar 2. Lobus-lobus Otak


Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara.
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.
Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi. retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat

7 | Page

kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi


dan keseimbangan.3,8

E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.

F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).3

G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri
vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior
otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai
jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai
katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus
venosus cranialis.

2.2 Definisi Cedera Otak


Cedera otak adalah proses patologis jaringan otak yang bukan
bersifat degeneratif ataupun kongenital, akibat kekuatan mekanis dari
8 | Page

luar, yang menyebabkan gangguan fisik, fungsi kognitif, dan psikososial.


Gangguan ini dapat bersifat menetap atau sementara dan disertai
hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Valadka, 1996) sedangkan
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif,
tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi
kerusakan

atau

mengubah

kemampuan

kesadaran

kognitif

dan

yang

mana

menimbulkan

fungsi

fisik.

Berdasarkan

mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak tumpul dan cedera
otak tembus/tajam ( penetrating head injury). Kontusio serebri yang
dimaksud dalam penelitian ini didasarkan pada penilaian klinis dengan
Glasgow Coma Scale (GCS) dan CT-scan kepala, dimana didapati adanya
intracerebral hemorrhage yang tidak ada indikasi operasi. Cedera kepala
kami bagi atas:cedera kepalasedang (CKS) dengan GCS 9-13 dan cedera
kepala berat (CKB) dengan GCS 3- 8.

2.3 Patofisiologi Cedera Otak


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer
yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan
tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasideselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
9 | Page

Gambar 3. Coup dan contercoup


Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa

perdarahan,

edema

otak,

kerusakan

neuron

berkelanjutan,

iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria(bagian atas kranium) .
Pada fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau
stelata, depressed atau non depressed. Fraktur tengkorak basal sulit
tampak pada x-Ray dan biasanya perlu CT scan untuk memperlihatkan
lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari
ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Fraktura
tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara
laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktur
ini memerlukan operasi perbaikan. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi,
lebih banyak fraktur ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cederaberat . Fraktur

kalvaria linear

mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar400 kali pada pasien


yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria
linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan
ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
10 | P a g e

dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak


pasien tersebut.

Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau
kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk
hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma
intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum,
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih
jelas pada tahun-tahun terakhir ini.

Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang
potensial antara tabula interna dan duramater. Paling sering terletak
diregio temporal atau temporalparietal dan sering akibat robeknya
pembuluh arteri meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal
arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga
kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau
hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau
9%

dari

pasien

menegakkan

koma

diagnosis

cedera
dan

kepala),

ditindak

harus

segera.

selalu

Bila

diingat

ditindak

saat

segera,

prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih


terbatas. Outcome
langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien
obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

Hematoma Subdural

11 | P a g e

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara


duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi
paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan
sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan
atau substansi otak. Fraktura tengkorak
mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari
hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya
lebih buruk darihematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif.

Kontusi dan Hematoma Intraserebral.


Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada
setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Hematoma
intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim)
otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.

12 | P a g e

Gambar 1. Mekanisme Terjadinya Kontusio Kepala (Mesiano, 2010)

2.4 Klasifikasi cedera otak


Cedera Otak diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah
sebagai berikut :
1)Komosio cerebri/cedera kepala ringan/mild head injury gangguan fungsi
neurologi ringan yang terjadi sesaat, dengan gejala hilangnya kesadaran
kurang dari 10 menit, tidak mengalami gangguan orientasi, mual, muntah,
nyeri kepala, GCS 13-15, dan tanpa adanya kerusakan struktur otak.
2)Cedera

kepala

sedang/moderate

head

injury,

gangguan

fungsi

neurologik ditandai dengan hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit


sampai dengan 2-5 jam, pasien mengalami disorientasi ringan, mual,
muntah, GCS 9-12 disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas oatk
masih utuh.
3)Kontusio cerebri/cedera kepala berat/severe head injury, ditandai
dengan hilangnya kesadaran lebih dari 24 jam, pasien mengalami
disorientasi berat, GCS kurang dari 9, otak mengalami memar, laserasi
dan haemoragik.

13 | P a g e

Tabel 1. Glasgow Coma Scale

2.5 Manifestasi Klinik


Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan
yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera
(trauma).

Biasanya

disertai

hematoma

di

sekitar

mata,

proptosis

akibatadanya perdarahan, dan edema di dalam orbita. Gejala klinik berupa


penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative,
atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera

14 | P a g e

yang

mengakibatkan

kebutaan,

tarjadi

atrofi

papil

yang

difus,

menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.

c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi
umumnya

adalah

disertai

kelumpuhan

proptosis

dan

otot-otot
pupil

penggerak

yang

midriatik.

bola
Tidak

mata,
ada

pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan


latihan ortoptik dini.

d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan pengecapan
pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata, mulut
moncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.

e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea,
vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada
salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada
organ lain.

Disfasia
Secara ringkas , disfasia

dapat diartikan sebagai kesulitan untuk

memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system


saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)
merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks,
subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera
15 | P a g e

kepala

adalah

perdarahan

otak,

empiema

subdural,

dan

herniasi

transtentorial.

Sindrom pasca trauma kepala


Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan
kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita
cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup,
mudah tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah
terasa lelah,
sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.

Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara arteri
karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh
cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah
(bruit)

yang

dapat

didengar

penderita

atau

pemeriksa

dengan

menggunakan stetoskop,
proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan
otot-otot penggerak bola mata.

Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam minggu
pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy dan epilepsy yang
muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (lateposttraumatic epilepsy
yang pada umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada
beberapa kasus yang mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

2.6 Penatalaksanaan Fisioterapi Pada cedera Otak


Seseorang dengan cedera kepala yang teridentifikasi memiliki
perubahan yang signifikan pada fungsi fisiknya harus dirujuk kepada
seorang neuro-physiotherapist. Mereka membutuhkan pemeriksaan dan
16 | P a g e

treatment yang berhubungan dengan fungsi gerak. Biasanyan seseorang


yang didiagnosis dengan cedera kepala mengalami gangguan gerakan dan
jika tidak diintervensi dapat menyebabkan disabilitas, untuk itu seorang
tenaga medis harus memiliki :
Up-to-date

pengetahuan

tentang

patogenesis

gangguan

gerak,

Kemampuan untuk mengenali gangguan gerak secara umum pada


seseorang dengan cedera kepala, Kemampuan untuk menerapkan rencana
manajemen dasar sesuai dengan seseorang
Kemampuan

pemecahan

masalah

yang

dengan

disabilitas,

memungkinkan

rencana

pengobatan yang akan disesuaikan dengan kemampuan individu.


Fisioterapi dilakukan jika pasien : Terbatas pada satu atau lebih
kegiatan (transfer, postur, menjangkau dan memegang,

keseimbangan

dan gaya berjalan), Memiliki atau memiliki risiko) kemampuan fisik


menurun, Memiliki peningkatan risiko jatuh atau memiliki rasa takut jatuh,
Memiliki

kemungkinan

peningkatan

dekubitus,

Memiliki

kebutuhan

informasi atau saran mengenai gangguan, alamiah dan prognosis.

1.

Assessment
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif yang

diarahkan untuk menggali informasi yang berhubungan identitas dan


pekerjaan klien serta hobby pasien serta penyebab dan mekanisme cedera
dan keluhan subjektif klienfisioterapi yang bertujuan untuk menetapkan
bagaimana gejala yang timbul sehingga menyebabkan dampak pada
kemampuan fungsional pasien. Diskusi diawali dengan mengidentifikasi
kemampuan fungsional dan mobilitas pada sebelumnya. Beberapa terapi
medis or non medis yang pernah diberikan juga penting untuk ditanyakan.
Penilaian yang diberikan adalah disesuaikan dengan gejala dan
kelemahan yang dialami pasien. Beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam assessment antara lain : Gait, Functional activities, lying/sitting,
sit/stand, standing, TransfersMuscle strength, Coordination, Balance,
Sensation, Spasticity / spasms,
PainFatigue / exercise tolerance.
17 | P a g e

1.1 Anamnesis
Anamnesis adalah cara pengumpulan data dengan jalan tanya jawab
antara terapis dengan sumber data. Macam-macam anamnesis ada 2
yaitu autoanamnesis dan heteroanamnesis. Autoanamnesis adalah tanya
jawab

secara

langsung

dengan

pasien

itu

sendiri.

Sedangkan

heteroanamnesis adalah tanya jawab pada orang-orang terdekat yang


mengetahui keadaan pasien.
a. Anamnesis Umum
Anamnesis umum berisi tentang identitas pasien secara lengkap.dalam
anamnesis ditemukan data sebagai berikut:
1) Nama

2) Umur

3) Jenis Kelamin

4) Agama

5) Pekerjaan

6) Alamat

7) Diagnosa Medis

b.

Anamnesis Khusus

1) Keluhan Utama
Adalah keluhan yang paling dirasakan atau yang paling berat
sehingga mendorong pasien datang berobat atau mencari pertolongan
medis.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Sebagai salah satu penunjang untuk menegakkan diagnosa yang
menggambarkan riwayat penyakit secara kronologis dengan jelas dan
lengkap. Tentang bagaimana masing-masing gejala tersebut timbul dan
kejadian apa yang berhubungan dengannya. Terdapat 4 unsur utama
dalam anamnesis riwayat penyakit sekarang, yaitu kronologi atau

18 | P a g e

perjalanan penyakit, gambaran atau deskripsi keluhan utama, keluhan


atau gejala penyerta, dan usaha berobat.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Menanyakan kepada pasien tentang penyakit apa saja yang pernah
diderita oleh pasien. Misalkan apakah pasien mempunyai penyakit
diabetes mellitus, hipertensi, jantung koroner Mendapatkan informasi
tentang riwayat penyakit dahulu secara lengkap, karena seringkali keluhan
atau penyakit yang sedang diderita pasien saat ini merupakan kelanjutan
atau akibat dari penyakit-penyakit sebelumnya.

4) Riwayat Penyakit Keluarga


Mendapatkan riwayat penyakit keluarga dengan menanyakan riwayat
penyakit

orang

tuanya

atau riwayat kakek/nenek, sehingga

dapat

terdeteksi siapa saja yang mempunyai potensi untuk menderita penyakit


yang sama.

1.2 Pemeriksaan Fisik


a. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital sign terdiri dari :
1)

Tekanan darah

2)

Denyut nadi

3)

Pernafasan

4)

Suhu

5)

Tinggi badan

6)

Berat badan

b. Inspeksi
Terdapat 2 macam pemeriksaan dengan inspeksi yaitu :
1) Inspeksi Statis
Pemeriksaan
mengamati pasien dalam

ini

dilakukan

dengan

cara

melihat

dan

keadaan diam.
19 | P a g e

2) Inspeksi Dinamis
Pemeriksaan

ini

dilakukan

mengamati pasien dalam

c.

dengan

cara

melihat

dan

keadaan bergerak.

Palpasi
Palpasi adalah suatu pemeriksaan yang secara langsung

kontak dengan pasien,

dengan meraba, menekan, dan memegang

bagian tubuh pasien untuk

mengetahui

adanya

spasme,

nyeri tekan dan suhu.


d. Perkusi
Perkusi yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
mengetuk suatu bagian

organ tubuh.

e. Auskultasi
Auskultasi adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
mendengarkan.
a.

1.3 Pemeriksaan Gerak Dasar

Gerak Pasif
Pemeriksaan gerak yang dilakukan oleh terapis kepada pasien

dimana pasien
b.

dalam

keadaan rileks.

Gerakan Aktif
Pasien diminta menggerakkan anggota gerak yang diperiksa

secara aktif,

terapis melihat dan memberikan aba-aba.

c. Gerakan Aktif Melawan Tahanan (isometrik)


Tujuan
penurunan

dari

tes

ini

adalah

untuk

mengetahui

adanya

kekuatan otot atau tidak.

1.4 Pemeriksaan Kognitif, Intrapersonal, Interpersonal

Pemeriksaan kognitif meliputi komponen atensi, konsentrasi,


memori,pemecahan

masalah,

integritas

belajar

dan

pengambilan sikap.
Pemeriksaan intrapersonal merupakan kemampuan pasien
dalam memahami dirinya,

menerima

keadaan

dirinya,

20 | P a g e

motivasi, kemampuan berinteraksi dengan lingkungan dan

bekerja sama dengan fisioterapis.


Pemeriksaan interpersonal meliputi kemampuan seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain baik sebagai individu,
keluarga, masyarakat dan berhubungan dengan lingkungan
sekitarnya.

1.5 Pemeriksaan Kemampuan Fungsional


a. Fungsional Dasar
Merupakan kemampuan transfer dan ambulasi, misalnya bangun
tidur,tidur miring ke

kanan dan ke kiri, duduk, duduk ke berdiri dan

jalan.
b Fungsional Aktivitas
Merupakan aktivitas perawatan diri misalnya mandi, berpakaian
dan toileting serta

aktivitas yang di lakukan pasien sehari-hari.

c. Lingkungan Aktivitas
Adanya keterbatasan fungsional pada penderita berdampak
terhadap kemampuan beradaptasi dengan lingkungan aktivitasnya baik
di dalam rumah maupun di luar
1.6

rumah.

Pemeriksaan Spesifik

Glasgoow Coma Scale


Glasgow Coma Scale merupakan suatu sistem skoring yang
telah distandarisasi untuk menilai status neurologis pasien
dengan trauma kapitis. Nilai GCS yang akurat dipergunakan
untuk pengobatan langsung dan untuk prediksi outcome
pasien. Nilai GCS yang akurat hanya bisa didapat setelah
resusitasi tetapi sebelum diberikan sedasi ataupun intubasi
(Tintinalli et al, 2004). GCS juga merupakan faktor prediksi
yang kuat dalam menentukan prognosa, dimana suatu skor
GCS yang rendah pada awal cedera berhubungan dengan
prognosa yang buruk (Sastrodiningrat, 2007). Nilai tertinggi
dari pemeriksaan Glasgow Coma Scale adalah 15 dan
terendah adalah 3.
21 | P a g e

Alighment Scale
pemeriksaan Kesejajaran yang bertumpu dari kepala pasien
dan trunk diamati dari samping tempat tidur

Pasien,

kemudian ditempatkan dalam posisi garis tengah dengan


bantal tunggal dan diizinkan untuk menetap sebelum menilai
kesejajaran yang dinilai untuk penyimpangan jelas dari garis
tengah. Pengamatan Trunk keselarasan
dilakukan dengan palpasi dan ketentuan nilai sbegai berikut:
4. Aligned in all three planes, midline position
3. Alignment is lost in one plane, either sagittal, coronal or
transverse
2. Alignment is lost in any two planes
1. Alignment is lost in all three planes
0. Patient is fixed in a position

General Tone Scale


Subskala ini didasarkan pada skala Modified Ashworth yang
menganggap hanya ada atau tidak adanya tone . Sendi yang
bergerak melalui berbagai pasif

kemudian dinilai pada nilai

terburuk (untuk pengulangan PROM, atau sendi).


4. otot normal
3. Peningkatan Sedikit, resistensi minimal, termasuk pasien
menolak
Peningkatan yang ditandai
2. Peningkatan otot bertambah di lihat

melalui ROM, PROM

penuh
1. Kesulitan dengan gerakan pasif karena nada, PROM
berkurang
0. spastik dalam fleksi atau ekstensi, atau anggota tubuh yang

flacid.
Movement Scale
Pemeriksaan ini melihat fungsi dar gerakan aktif, apakah
normal dan selektif atau patologis. keempat anggota badan
yang dinilai secara individual dengan
Looking : Pasien yang diamati untuk setiap gerakan spontan
termasuk refleksif,
berpola atau gerakan selektif.
Asking
:Pasien diminta untuk memindahkan anggota
badan dengan cara

apapun

22 | P a g e

Positioning::Tempatkan anggota tubuh pasien dalam mid


range posisi serta mencatat
bekerja
Feeling

dan mempalpasi otot yang

: Minta pasien untuk memindahkan tubuh ke

sisi yang lain dan merasakan


apa yang di rasakan.
Lengkapi semua komponen penilaian dan kelas atas selesai,
kecuali nilai pasien 4
di mana penilaian kasus ekstremitas yang disimpulkan.
4. Gerakan tampak normal, tapi mungkin lemah atau gelisah.
3. Beberapa gerakan aktif dirasakan, di mana saja di ROM
untuk> = ROM
2. Beberapa gerakan aktif jelas

pada setiap titik dalam

jangkauan
1. Gerakan pola massa fleksi atau ekstensi, atau gerakan
refleksif
0. Tidak ada gerakan aktif

Control Scale
pemeriksaan ini mengharuskan pasien untuk duduk dengan
sanggahan yang statis with foot support. kemampuan untuk
menahan atau mempertahankan posisi ini dengan aktivitas
otot yang normal

atau abnormal

dinilai

dan

waktunya

menggunakan stopwatch. Untuk kontrol kepala, bagasi harus


didukung penuh garis tengah.
4. Mampu terus dalam garis tengah 10 detik
3. Mampu menahan dalam posisi apapun 10 detik
2. Mampu menahan posisi apapun selama 5 detik
1. Mampu menahan posisi apapun selama 1 detik
0. Tidak dapat memegang posisi, tidak ada keterlibatan aktif,
pasien sepenuhnya tergantung dan jatuh kecuali didukung
Catatan:
Skor head and trunk = 0: jika karena alasan apapun pasien
tidak mampu untuk mencapai duduk,

Alighment In Sitting
pemeriksaan menggunakan

skala

yang

sama

dengan

Alighment saat duduk. Pasien harus duduk di permukaan keras


dengan foot support dengan kepala yang tegak sesuai dengan
alighmentnya.
Catatan:
23 | P a g e

Skor head and trunk = 0: jika karena alasan apapun pasien


tidak mampu untuk mencapai duduk, untuk keterbatasan
contoh medis, keamanan, atau cedera bersamaan
Skor kepala 0: jika pasien tidak memiliki kontrol kepala (sesuai
skala control)
Skor trunk 0: jika pasien membutuhkan bantuan maksimal
untuk mempertahankan posisi duduk.

Posture
Secara keseluruhan postur yang dinilai berdasarkan penilaian
selesai nada, gerakan, keselarasan dan control.
4. monoparesis - kelemahan dalam satu ekstremitas
3. monoplegia - tidak ada atau gerakan abnormal pada salah
satu anggota badan,

mungkin kejang atau

lembek
2. Hemiparesis - kelemahan satu sisi tubuh
1. Hemiplegia - satu sisi tubuh yang terkena, ada gerakan
hadir di satu sisi, mungkin
memiliki kaki yang spastik/flaccid
0. Bilateral hemiparesis +/- spastisitas - semua

1.7 Diagnosa Fisioterapi


a. Impairment

:Kondisi

pasien

melakukan gerakan

mampu

dan

tidak

mampu

fungsional tubuh.

b. Activity Limitation : Kondisi mengenai ada atau tidaknya gangguan pada


ADL pasien.
c. Disability
dalam

:Kondisi menganai bagaimana kegiatan aktivitas pasien


lingkungan kehidupanya.

1.8 Rencana Pelaksanaan Fisioterapi


ROM Dapat di lakukan pada masa awal perawatan pasien, dalam
melakukan latihan ini pasien tidak harus dalam keadaan sadar, karena
latihan ini di lakukan dalam gerakan pasif. Tujuannya, seperti namanya,
adalah untuk menjaga Range of Motion pada client. latihan ini akan terus
di berikan selama masa perawatan pasien, perbedaannya bisa di lihat dari
pertisipasi client dalam menggerakkan anggota tubuhnya. Latihan ini
24 | P a g e

mungkin terlihat tidak evektiv, namun latihan ini sesungguhnya memiliki


peran penting dalam tubuh untuk mencegah kontraktur, meregangkan
otot dan tendon. dan hal ini sangat penting untuk menjaga semua sendi
agar tetap fleksibel.

Weight Bearing- pada latihan ini usahakan pasien dengan kondisi stabil
(sadar) karna gerakan ini di lakukan dengan menberikan transfer pada
berat badan di sisi yang berbeda, dan mempertahankan dengan adanya
keseimbangan dari pasien. weight bearing membantu melonggarkan
sendi.

Tilt Table - Ketika terapis pertama kali mencoba untuk memberikan


weight bearing, terapis tidak dapat memberikan bantuan sama sekali. Jika
keadaannya benar-benar tidak memungkinkan maka paisen bisa di berikan
alat bantu berupa meja yang miring. Sebuah meja miring adalah sebuah
peralatan di mana pasien dapat bersandar dan melakukan latihan tanpa
harus melakukan usaha untuk menjaga keseimbangan. Tali lebar yang
digunakan untuk mengamankan mereka ke meja lalu di miringkan.
Tujuannya adalah untuk berdiri di sembilan puluh derajat untuk jangka
waktu. Jika ada nada tinggi atau drop-kaki pasien mungkin tidak dapat
membuat ke sembilan puluh derajat langsung.

Standing Frame - Jika seseorang mampu berpartisipasi aktif dalam terapi


terapis

dapat

menggunakan

Standing

Frame.

Peralatan

ini

dapat

membantu seseorang yang berdiri dengan memberikan dukungan. Pasien


harus mampu menanggung berat badan. Melalui bantalan dan tali
peralatan

memberikan

dukungan.

Biasanya

frame

berdiri

dapat

mengangkat seseorang dari kursi mereka. Sebuah Standing Frame sangat


bagus untuk rumah karena memungkinkan Anda dengan aman membantu
orang untuk berdiri.

25 | P a g e

Duduk Balance - Latihan lain terapis fisik ini akan melatih keseimbangan
duduk sekaligus sebagai persiapan untuk dapat kembali berjalan.Terapis
akan membantu pasien bekerja untuk mendapatkan kembali head control,
trunk control dan weight bearing melalui kaki dan bahkan lengan.

Exerciese Balls - Latihan bola yang sering digunakan dalam terapi. Salah
satu alasan utama adalah bahwa bola mengharuskan Anda untuk
menggunakan banyak otot yang berbeda untuk menjaga keseimbangan
Anda dan tetap pada bola. Ada ukuran yang berbeda dari bola dan bahkan
dua orang bola yang tersedia. Ada juga berbagai macam latihan yang bisa
dilakukan pada bola baik dalam dan keluar dari terapi.

Gait Analysis- Stance


1. Initial Contact.
Initial contact periodenya sangat singkat. Otot2 tibialis anterior dan
extensor jari2 mempertahankan ankle dalam posisi netral selama perode
initial contact ini. Hal ini dalam rangka persiapan ankle masuk keposisi
untuk melakukan apa yang dikenal sebagai heel rocker, yang terjadi pada
loading response.
2. Loading Response (LR).
Pada saat loading response, aktifitas otot pada semua segment beraksi
melawan kecenderungan gerakan flexi yang timbul pada saat menerima
beban berat badan (terjadi di posterior ankle joint). Kontraksi eccentris
drpd otot2 anterior ankle meresponse plantar flexion torque, yang akan
membenturkan kaki kelantai (foot flap).
Aksi heel rocker ditimbulkan oleh otot2 bagian anterior, menarik tibia.
Sehingga muncul momentum kedepan dan memflexikan lututnya.
Lutut flexi 15 dengan kontrol oleh Quadriceps yang berkontraksi secara
eccentris untuk melawan kecenderungan flexion torque akibat dari heel
rocker dan posisi tubuh yang relatif berada disebelah posterior kaki.

26 | P a g e

Dengan kontrol plantar flexion dan knee flexion tadi maka weight
acceptance diabsorbsi, stabilitas tungkai tercapai dengan mantap sambil
mempertahankan momentum kedepan.
Hip tetap dalam posisi flexi 30 dan pelvis forward rotasi 5. Rapid, highintensity flexion torque, adalah torque kedua terbesar yang timbul dalam
berjalan, torque ini dilawan oleh gluteus maximus, hamstrings, adductors
magnus

dan

gracillis

yang

berkontraksi

secara

eccentris.

Pelvis

distabilisasi pada bidang frontal oleh kerja otot gluteus medius, minimus
dan tensor fascia lata. Dengan kerja otot ini maka kecenderungan
terjadinya trunk flexi dicegah
3. Mid Stance (MSt).
Selama midstance ankle perlahan bergerak kearah 10 dalam usaha
meningkatkan torque dorsi flexi. Soleus dan gastrocnemius berkontraksi
secara eccentris untuk menstabilkan tibia. Tubuh berayun diatas kaki yang
stabil tadi dan menkontrol tibia sehingga lutut bergerak kearah extensi.
Kejadian inilah yang dikenal sebagai ankle rocker.
Hip extensi bergerak ke posisi netral dengan pelvis rotasi yang
ditimbulkan oleh momentum swing drpd tungkai sisi contralateral.
Konswekwensi dari peristiwa ini adalah bahwa sebenarnya stabilitas pada
stance phase tidak membutuhkan kerja otot2 hip. Selanjutnya pelvis pada
bidang frontal distabilisasi oleh grup abductor, yang mencegah pelvis drop
disisi contralateral.
4. Terminal Stance (TSt).
Pada terminal stance, ankle terkunci pada posisi netraldorsiflexi kecil,
metarso phalangeal joint extensi 30. Dorsi flexion torque mencapai
puncaknya. Calf muscle tetap aktif untuk mencegah tibia colapse dan
membiarkan tumit terangkat sementara berat tubuh berayun kedepan
diatas

kaki.

Forefoot

rocker

meningkatkan

kemaximum

forward

progression untuk step length. Ada tiga hal kritis yang memungkinkan
terjadinya forefoot rocker yaitu : Locked ankle, heel rise dan progression
27 | P a g e

diatas kaki, semua hal tsb terjadi pada periode single limb support. Secara
universal terminal stance dikenal dengan istilah push off. (istilah ini
kurang akurat bila diterapkan pada pasien dengan amputasi below knee
dengan prosthesis).
Lutut tetap extensi saat extensi torque mulai berkurang pada akhir drpd
subphase ini. Stabilitas tanpa memerlukan kerja otot.
Hip tetap extensi netral posisi, 10 hyperextensi. Posisi ini disebabkan
oleh backward rotation pelvis 5 dan oleh extensi di lumbar spine.
5. Pre-swing (PSw).
Walaupun subphase pre-swing adalah periode dimana masih ada double
support, tetapi dimasukan dalam kelompok swing, sebab pada phase ini
gerakan yang terjadi dilutut sebenarnya adalah gerakan persiapan untuk
mengayun tungkai kedepan dan mempersiapkan kaki bebas dari lantai
untuk masuk subphase initial swing. Selama pre swing berlangsung, ankle
dalam posisi 20 plantar flexi, metetarso phalangeal joint
extensi sampai 60. Selama periode double support berlangsung, kaki
memberikan bantuan balance dan relatif tidak dibutuhkan aktifitas otot.
Torque dorsiflexi timbul.
Lutut flexi 30, secara pasif, walaupun demikian gracillis mulai aktif.
Torque flexi terjadi sebagai akibat dari penumpuan tungkai contralateral
serta oleh berayunnya tubuh kedepan melewati jari2. Pada saat inilah flexi
knee bertambah.
Hip tetap netralextension dan pelvis backward rotasi. Kedua posisi
tersebut dicapai secara pasif. M.Illiacus dan M.Rectus femoris aktif. Torque
extensi berkurang sampai nol. Tungkai bersiap untuk diayunkan.
6. Initial Swing (Isw)
Ankle bergerak ke 10 plantar flexion, otot bagian anterior ankle
mempersiapkan kaki bebas dari lantai dan masuk subphase initial swing.

28 | P a g e

Lutut flexi sampai 60 dan kaki bebas dari lantai. Selama periode ini
sering terjadi toe drag, karena tidak adequatnya flexi lutut dan dorsiflexi
ankle.
Kontribusi

dari

m.iiliacus,

adductor

longus,

gracilis

dan

sartorius

membawa hip ke 20 flexi dan pelvis mulai forward rotasi. Pelvis dan hip
bergerak secara harmonis, terjadi forward rotasi pelvis saat hip flexi.
Sedangkan rotasi backward pelvis berkaitan dengan hip extensi.
7. Midswing (MSw)
Ankle dalam posisi netral, otot bagian anterior ankle aktif, ini adalah
gerakan yang membebaskan kaki dari lantai. Tibia mencapai posisi tegak
lurus terhadap lantai saat lutut mencapai 60 flexi. Biceps femoris tetap
aktif mengkontrol dengan eccentris kontraksi, walaupun momentum
gerakan (primer) berlangsung secara pasif.
Di hip gracilis tetap aktif untuk membantu menambah hip flexi sampai
30, juga menambah momentum kepada tungkai yang berayun kedepan.
Sedangkan sartorius, adductor longus dan iliacus menjadi tidak aktif.
8. Terminal Swing (TSw)
Otot2 sebelah anterior ankle tetap aktif untuk mempertahankan ankle
dalam posisi netral selama subphase terminal swing. Ini dalam rangka
menjamin posisi ankle dalam posisi yang tepat saat heel contact di phase
weight acceptance pada subphase initial contact berikutnya.
Aktifitas quadriceps secara concentris menjamin knee extension sampai
posisi lutut netral, sedang kontrol gerakan dilakukan oleh hamstrings.
Hip tetap dalam posisi 30 flexi dan terjadi 5 forward rotasi pelvis. Otot
yang tetap aktif adalah m.gracillis sebagai flexor hip. Kombinasi gerakan
hip flexi, pelvis rotasi dan knee extensi berkontribusi pada step length

Manfaat lain disebut-sebut oleh salah satu produsen adalah kenyataan


bahwa mereka melihat keuntungan pada orang yang tidak siap untuk
29 | P a g e

berdiri sendiri menggunakan pelatih kiprah. Beberapa yang artikel


berbicara tentang menempatkan tubuh melalui gerakan berjalan dapat
membantu mempercepat kemampuan untuk berjalan lagi.

Paralel Bar - Paralel bar telah digunakan untuk waktu yang lama untuk
membantu pasien sendiri sementara mereka berlatih berjalan.untuk
melakukan latihan ini perlu memiliki kemampuan lebih dan kekuatan
untuk menggunakan Paralel Bar dalam latihan berjalan.

Pelatihan Kekuatan - kekuatan otot Building adalah salah satu fokus utama
dari terapi fisik. Seperti disebutkan di atas Therapist Fisik memahami otototot tubuh dan memahami gerakan yang diperlukan untuk tugas-tugas
tertentu dan dapat langsung satu set latihan untuk memperkuat
kelompok-kelompok otot yang ditargetkan. Pada awalnya, pelatihan
kekuatan dapat mulai dengan hanya bergerak bagian tubuh tertentu.
Kemudian resistensi dapat ditambahkan.

Beban

Sebagai

pasien

berlangsung

terapis

mungkin

ingin

menambahkan lebih banyak perlawanan dan menambahkan latihan beban


ke dalam campuran. Pada awalnya mungkin bobot sangat ringan dan
kemudian berkembang menjadi beban lebih berat dan pada angkat berat
mesin.

1.8 Prognosis
a.

Quo ad vitam

: Menyangkut hidup matinya pasien.

b.

Quo ad sanam

: Menyangkut kesembuhan pasien.

c.

Quo ad fungsional

: Menyangkut segi kosmetik pasien.

d.

Quo ad cosmeticam

: Menyangkut aktivitas sehari-hari.

1.9 Rencana Evaluasi Hasil Terapi


Untuk mengetahui tingkat keberhasilan dalam pemberian terapi maka
perlu dilakukan evaluasi sehingga fisioterapis dapat membandingkan data
30 | P a g e

sebelum dan sesudah terapi apakah perlu dirubah, diteruskan atau


dihentikan.

BAB III
31 | P a g e

Simpulan dan Saran

A. Simpulan
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah
suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan

kerusakan

kemampuan

kognitif

dan

fungsi

fisik.

Berdasarkan mekanismenya cedera otak di bagi atas cedera otak


tumpul dan cedera otak tembus/tajam ( penetrating head injury).
intervensi pada pasien brain injury dilakukan secara bertahap di mulai
dari passive exerciese, weight bearing hingga pasien siap untuk
berlatih berjalan, semua dilihat dan di kondisikan dengan Glasglow
coma scale.

DAFTAR PUSTAKA

Sugiarto,Bertha.(2003) .Anatomi dan Fisiologi Moderen.Jakarta: EGC


Acute brain injury Physical Therapy Assesment.From.
32 | P a g e

https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCgQFjAB&url=htt
p%3A%2F%2Fwww.health.qld.gov.au%2Fpahospital%2Fbiru%2Fdocs
%2Fabipa.pdf&ei=OMDAVKWPH46n8AWeqoCQCA&usg=AFQjCNG8mc7lxyrpNK06abfKiR1J-6Z7g&bvm=bv.83829542,d.dGc
The Brain Injury Recovery Network. From http://tbirecovery.org/Therapies.html
Guidline for management of serve traumatic brain injury 3rd edition from
http://www.braintrauma.org/pdf/protected/Guidelines_Management_2007
w_bookmarks.pdf
Brain

injury

prevention

Initiavites

from

http://nbia.ca/brain-injury-

prevention/

Traumatik Brain Injury:Diagnosis, Acute Management Rehabilitation


From.
http://www.acc.co.nz/PRD_EXT_CSMP/groups/external_communications/do
cuments/guide/wim2_059414.pdf, 2006

33 | P a g e

34 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai