Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori
1. Posyandu Lansia
a. Pengertian
Posyandu Lansia atau Kelopok Usia Lanjut (POKSILA) adalah
suatu wadah pelayanan bagi usia lanjut di masyarakat, dimana proses
pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan
non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik
beratkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif (Soekidjo
Notoatmodjo, 2007 : 290)
Usia lanjut atau lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih, yang secara fisik terlihat berbeda dengan kelompok
umur lainnya (Depkes RI, 2003 : 100).
b. Dasar Hukum
Pembinaan usia lanjut di Indonesia dilaksanakan berdasarkan
beberapa

undang-undang

menentukan

kebijaksanaan

dan

peraturan

pembinaan.

sebagai
Dasar

dasar

dalam

hukum/ketentuan

perundangan dan peraturan dimaksud adalah: (1) UU No. 10 tahun


1992 tentang perkembangan kependudukan, (2) UU No. 36 tahun 2009
pasal 138 tantang kesehatan usia lanjut, (3) UU No. 13 tahun 1998

10

tentang kesejahteraan lanjut usia pasal 14, (4) UU No. 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah, (5) UU No.25 tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan pusat dan daerah, (6) peraturan pemerintah No.
25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan
propinsi sebagai daerah otonomi (Depkes RI, 2003 : 110).
c. Tujuan
Tujuan umum dari Posyandu Lansia adalah meningkatkan
kesejahteraan Lansia melalui kegiatan Posyandu Lansia yang mandiri
dalam masyarakat. Tujuan khususnya, meliputi: (1) meningkatnya
kemudahan bagi Lansia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar
dan rujukan, (2) meningkatnya cakupan dan kualitas pelayanan
kesehatan Lansia, khususnya aspek peningkatan dan pencegahan tanpa
mengabaikan aspek pengobatan dan pemulihan, (3) berkembangnya
Posyandu Lansia yang aktif melaksanakan kegiatan dengan kualitas
yang baik secara berkesinambungan (Depkes RI, 2003 : 111).
d. Sasaran
Sasaran pelaksanaan pembinaan POKSILA, terbagi dua yaitu:
(1) sasaran langsung, yang meliputi pra lanjut usia (45-59 tahun), usia
lanjut (60-69 tahun), usia lanjut risiko tinggi (>70 tahun atau 60 tahun
atau lebih dengan masalah kesehatan, (2) sasaran tidak langsung, yang
meliputi keluarga dimana usia lanjut berada, masyarakat di lingkungan
usia lanjut, organisasi sosial yang peduli terhadap pembinaan kesehatan
usia lanjut, petugas kesehatan yang melayani kesehatan usia lanjut,

11

petugas lain yang menangani Kelompok Usia Lanjut dan masyarakat


luas (Depkes RI, 2003 : 113).
e. Pelayanan Kesehatan di Posyandu Lansia
Pelayanan kesehatan di Posyandu Lansia meliputi pemeriksaan
kesehatan fisik dan mental emosional. Kartu Menuju Sehat (KMS)
Lansia sebagai alat pencatat dan pemantau untuk mengetahui lebih awal
penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan
yang dihadapi dan mencatat perkembangannya dalam Buku Pedoman
Pemeliharaan Kesehatan (BPPK) Lansia atau catatan kondisi kesehatan
yang lazim digunakan di Puskesmas.
Jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada Lansia
di Posyandu adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari (activity of daily living)
meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/minum,
berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air
besar/kecil dan sebagainya.
2) Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan
mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit
(lihat KMS Usia Lanjut).
3) Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan
pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik Indeks Massa
Tubuh (IMT).

12

4) Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan


stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit.
5) Pemeriksaan hemoglobin menggunakan Talquist, Sahli atau
Cuprisulfat.
6) Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal
adanya penyakit gula (diabetes mellitus).
7) Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai
deteksi awal adanya penyakit ginjal.
8) Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bila mana ada keluhan dan atau
ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7.
9) Penyuluhan bisa dilakukan di dalam maupun di luar kelompok
dalam rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan yang
dihadapi oleh individu dan atau POKSILA.
10) Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi anggota
POKSILA yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan
kesehatan masyarakat (Publik Health Nursing).
Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi
setempat:
11) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) penyuluhan sebagai contoh
menu makanan dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi
Lansia, serta menggunakan bahan makanan yang berasal dari
daerah tersebut.

13

12) Kegiatan olah raga antara lain senam Lansia, gerak jalan santai, dan
lain sebagainya untuk meningkatkan kebugaran.
Kecuali kegiatan pelayanan kesehatan seperti uraian di atas, kelompok
dapat melakukan kegiatan non kesehatan di bawah bimbingan sektor
lain, contohnya kegiatan kerohanian, arisan, kegiatan ekonomi
produktif, forum diskusi, penyaluran hobi dan lain-lain (Depkes RI,
2003 : 124).
f. Mekanisme Pelaksanaan Kegiatan Posyandu Lansia
Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima terhadap
Lansia, mekanisme pelaksanaan kegiatan yang sebaiknya digunakan
adalah sistim 5 tahapan (5 meja) sebagai berikut:
1) Tahap

pertama:

pendaftaran

Lansia

sebelum

pelaksanaan

pelayanan.
2) Tahap kedua: pencatatan kegiatan sehari-hari yang dilakukan
Lansia, serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi
badan.
3) Tahap ketiga: pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan,
dan pemeriksaan status mental.
4) Tahap

keempat:

pemeriksaan

air

seni

dan

kadar

darah

(laboratorium sederhana).
5) Tahap kelima: pemberian penyuluhan dan konseling (Depkes RI,
2003 : 125).

14

2. Kader
a. Pengertian
Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang terdidik dan
terlatih dalam bidang tertentu yang tumbuh di tengah-tengah
masyarakat

dan

merasa

berkewajiban

untuk

melaksanakan

meningkatkan dan membina kesejahteraan masyarakat dengan rasa


ikhlas tanpa pamrih dan didasarkan panggilan jiwa untuk melaksanakan
tugas-tugas kemanusiaan (Depkes RI, 2000 : 87).
b. Kader Posyandu Lansia
Jumlah kader Posyandu Lansia di setiap kelompok tergantung
pada jumlah anggota kelompok, volume dan jenis kegiatan yaitu
sedikitnya 3 orang. Kader sebaiknya berasal dari anggota kelompok
sendiri atau bilamana sulit mencari kader dari anggota kelompok dapat
saja diambil dari anggota masyarakat lainnya yang bersedia menjadi
kader (Depkes RI, 2003 : 128).
c. Syarat Kader
Persyaratan untuk menjadi kader, antara lain: (1) dipilih dari
masyarakat dengan prosedur yang disesuaikan dengan kondisi
setempat, (2) mau dan mampu bekerja secara sukarela, (3) bisa
membaca dan menulis huruf latin, (4) sabar dan memahami usia lanjut
(Depkes RI, 2003 : 130).

15

d. Tugas Kader Posyandu Lansia


1) Menyiapkan alat dan bahan
2) Melaksanakan pembagian tugas
3) Menyiapkan materi/media penyuluhan
4) Mengundang ibu-ibu untuk datang ke Posyandu
5) Pendekatan tokoh masyarakat
6) Mendaftar Lansia
7) Mencatat kegiatan sehari-hari Lansia
8) Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan Lansia
9) Membantu petugas kesehatan dalam melakukan pemeriksaan
kesehatan dan status mental, serta mengukur tekanan darah Lansia
10) Memberikan penyuluhan
11) Membuat catatan kegiatan Posyandu
12) Kunjungan rumah kepada ibu-ibu yang tidak hadir di Posyandu
13) Evaluasi bulanan dan perencanaan kegiatan Posyandu (Depkes RI,
2003 : 138)

3. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Kader


Tentang Pelayanan Posyandu Lansia
a

Dukungan Tokoh Masyarakat


Desa yang memiliki kepala desa yang selalu memberikan
motivasi setiap pelaksanaan kegiatan posyandu lansia akan lebih baik
kinerja dan kelestarian posyandunya di bandingkan dengan desa yang

16

kepala desanya tidak memberikan motivasi sama sekali. Dukungan


motivasi tersebut dapat berupa pemberian tugas yang selalu di monitor
dan di supervisi, selalu mempertimbangkan kemampuan kader
sebelum memberi tugas, kebiasaan kepala desa untuk melakukan
peninjauan terhadap pelaksanaan kegiatan posyandu (Sarwono, 2003:
45).
Selain dukungan tokoh masyarakat, dukungan tokoh agama
juga mempunyai pengaruh di masyarakat. Selanjutnya tokoh agama ini
dapat menjembatani antara pengelola program kesehatan dengan
masyarakat. Dukungan dari tokoh agama sangat berperan penting
dalam memotivasi perilaku seorang kader dalam kegiatan posyandu
lansia ( Notoatmodjo, 2003 : 13).
Keaktifan kader erat kaitannya dengan dukungan tokoh
masyarakat. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh luluk (2003),
tentang Hubungan Tokoh Masyarakat Tentang Keaktifan Kader di
Posyandu Lansia Tulis Kota Pekalongan. Di dapatkan hasil bahwa
Posyandu Lansia sangat berhubungan dengan dukungan yang di
berikan oleh tokoh masyarakat (Luluk,2003 : 22).
b

Pendidikan kader
Tingkat

pendidikan

turut

menentukan

mudah

tidaknya

seseorang menyerap dan memahami suatu pengetahuan tentang


posyandu lansia dengan baik sesuai dengan yang mereka peroleh dari
kepentingan pendidikan itu sendiri. Tingkat rendahnya pendidikan erat

17

kaitannya dengan tingkat rendahnya pengetahuan tentang posyandu


lansia, rendahnya tingkat pemanfaatan posyandu lansia, serta
rendahnya kesadaran terhadap pemanfaatan program posyandu lansia
(Achmad Munib dkk, 2004 : 33).
Pendidikan rata-rata penduduk yang masih rendah khususnya
dikalangan kader Posyandu Lansia merupakan salah satu masalah yang
berpengaruh terhadap kegiatan pemanfaatan meja penyuluhan,
sehingga sikap hidup dan perilaku yang mendorong timbulnya
kesadaran masyarakat masih rendah. Semakin tinggi pendidikan kader,
mortalitas dan morbilitas semakin menurun, hal tersebut tidak hanya
akibat kesadaran kader kesehatan yang terbatas tetapi juga karena
adanya kebutuhan sosial ekonominya yang belum tercukupi.
Sebagaimana penelitian yang di lakukan oleh Sonia A (2001),
tentang Hubungan Pendidikan Kader Kesehatan Dalam Kegiatan
Posyandu Lansia di Desa Lerep Kecamatan Ungaran Semarang. Hasil
penelitian ini mengidentifikasikan bahwa faktor pendidikan kader
terhadap pembinaan Puskesmas memiliki hubungan yang lebih
bermakna (Sonia,2001 : 22).
c

Pekerjaan Kader
Pendidikan seseorang merupakan faktor yang penting dalam
usaha memperoleh kesempatan kerja. Seseorang yang berpendidikan
tinggi akan mendapatkan kesempatan memperoleh kerja yang lebih
baik bila dibandingkan dengan seseorang yang berpenghasilan rendah.

18

Pekerjaan yang layak tersebut akan mendapatkan upah yang lebih


tinggi di bandingkan yang berpendidikan rendah. Tingkat pendapatan
akan mempengaruhi keaktifan kader dalam memanfaatkan kegiatan
posyandu. Semakin tinggi sosial ekonomi kader maka akan semakin
aktif

kader

tersebut

dalam

kegiatan

posyandu

lansia

( Rawadi dan Suharjo, 2005 : 13).


Peran kader yang bekerja dan tidak bekerja sangat berpengaruh
terhadap jalannya Posyandu Lansia. Hal ini dapat di lihat dari waktu
yang diberikan para kader untuk aktif dalam pelayanan Posyandu
Lansia

masih

kurang

karena

waktunya

akan

habis

untuk

menyelesaikan semua pekerjaannya. Aspek lain yang berhubungan


dengan alokasi waktu adalah jenis pekerjaan kader dan tempat kader
bekerja serta jumlah waktu yang dipergunakan untuk keluarga di
rumah.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Erna Prihatini
(2003) mengenai Hubungan Antara Pekerjaan Kader dengan Cakupan
Posyandu Lansia di Wilayah Jenggot Pekalongan. Di dapatkan hasil
bahwa cakupan Posyandu Lansia sangat berhubungan dengan jenis
pekerjaan kader (Prihatini,2003 : 19).
d

Pelatihan Kader
Selain

dukungan

tokoh

masyarakat,

pendidikan

kader,

pekerjaan kader, kader juga di beri fasilitas yang memadai, misalnya


mengirimkan

kader-kader

ke

pelatihan-pelatihan

dan

seminar

19

kesehatan oleh petugas kesehatan. Memberikan penghargaan bagi


kader yang mengikuti seminar-seminar kesehatan dan pelatihan serta
pemberian modul-modul panduan kegiatan pelayanan kesehatan.
Dengan kegiatan tersebut diharapkan kader mampu dalam memberikan
pelayanan kesehatan dan aktif disetiap kegiatan posyandu lansia
( Depkes RI,2003 : 37).
Budiono (2003) menjelaskan bahwa menjadi seorang kader
harus memiliki ilmu dan pengalaman. Pengalaman ini bisa dengan
pelatihan-pelatihan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan untuk para
kader. Dengan tujuan apa yang di dapatkan dari pelatihan tersebut para
kader bisa memajukan Posyandu Lansia (Budiono, 2003 : 17)
Sebagaimana penelitian yang di lakukan oleh Misnawati Rujie
(2003) mengenai Hubungan Pengalaman dan Pelatihan Kader
Terhadap Jalannya Posyandu Lansia Kecamatan Bukit Batu Kodya
Palangkaraya. Di dapatkan hasil bahwa Posyandu Lansia sangat
berhubungan dengan pengalaman dan pelatihan yang di dapatkan oleh
kader (Rujie, 2003 : 18)

4. Pendidikan Kesehatan
a. Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan merupakan proses perubahan, yang
bertujuan untuk mengubah individu, kelompok dan masyarakat menuju
hal-hal yang positif secara terencana melalui proses belajar.

20

Perubahan tersebut mencakup antara lain pengetahuan, sikap


dan ketrampilan melalui proses pendidikan kesehatan. Pada hakikatnya
dapat berupa emosi, pengetahuan, pikiran, keinginan, tindakan nyata
dari individu, kelompok dan masyarakat (Machfoed,2005 : 129).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan kesehatan adalah usaha atau kegiatan untuk membantu
individu, keluarga atau masyarakat dalam meningkatkan kemampuan
untuk mencapai kesehatan secara optimal.
b. Tujuan Pendidikan Kesehatan
Menurut WHO (1954) yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),
tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk meningkatkan status
kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit, mempertahankan derajat
kesehatan yang sudah ada, memaksimalkan fungsi dan peran pasien
selama sakit, serta membantu pasien dan keluarga untuk mengatasi
masalah kesehatan. Secara umum tujuan dari pendidikan kesehatan
adalah mengubah perilaku individu atau masyarakat di bidang
kesehatan. Tujuan ini dapat diperinci lebih lanjut antara lain,
menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai di masyarakat,
menolong individu agar mampu secara mandiri atau kelompok
mengadakan kegiatan untuk mencapai tujuan hidup sehat, mendorong
pengembangan dan menggunakan secara tepat sarana pelayanan
kesehatan yang ada (Herawati, 2001 : 47).

21

c. Proses Pendidikan Kesehatan


Dalam proses pendidikan kesehatan terdapat tiga persoalan
pokok, yaitu masukan (input), proses dan keluaran (out put). Masuakan
(input) dalam pendidikan kesehatan menyangkut sasaran belajar yaitu
individu, kelompok dan masyarakat dengan berbagai latar belakangnya
atau mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan dan
perilaku pada diri subjek belajar. Dalam proses pendidikan kesehatan
terjadi timbal balik berbagai faktor antara lain adalah pengajar, teknik
belajar dan materi atau bahan pelajaran. Sedangkan keluaran
merupakan kemampuan sebagai hasil perubahan yaitu perilaku sehat
dari sasaran didik melalui pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2003 :
47).
d. Metode Pendidikan Kesehatan
Menurut Notoatmodjo (2003), metode pembelajaran dalam
pendidikan kesehatan dipilih berdasarkan tujuan pendidikan kesehatan,
kemampuan

tenaga

pengajar,

kemampuan

individu,

kelompok,

masyarakat, besarnya kelompok, waktu pelaksanaan pendidikan


kesehatan, dan ketersediaan fasilitas pendukung. Metode pendidikan
kesehatan dapat bersifat pendidikan individual, pendidikan kelompok
dan pendidikan massa. Metode yang sering digunakan dalam
pendidikan kesehatan yaitu bimbingan dan penyuluhan, wawancara,
ceramah, seminar, simposium, diskusi kelompok, curah gagas, forum
panel, demonstrasi, simulasi, dan permainan peran.

22

e. Sasaran Pendidikan Kesehatan


Sasaran pendidikan kesehatan adalah masyarakat atau individu
baik yang sehat maupun yang sakit. Sasaran pendidikan kesehatan
tergantung tingkat, dan tujuan penyuluhan yang diberikan. Lingkungan
pendidikan kesehatan di masyarakat dapat dilakukan melalui berbagai
lembaga dan organisasi masyarakat (Notoatmodjo, 2003 : 50).
f. Pengaruh Pendidikan Kesehatan terhadap Perubahan Perilaku
Menurut WHO (1954), sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo
(2003), bahwa pemberian pendidikan kesehatan adalah suatu upaya
untuk menciptakan perilaku masyarakat yang kondusif untuk kesehatan.
Artinya pendidikan kesehatan berupaya agar masyarakat mengetahui
atau menyadari bagaimana memelihara kesehatan mereka. Lebih dari
itu pendidikan kesehatan pada akhirnya bukan hanya meningkatkan
pengetahuan pada masyarakat, namun yang lebih penting adalah
mencapai perilaku kesehatan (healthy behaviour). Berarti tujuan akhir
dari

pendidikan

kesehatan

adalah

agar

masyarakat

dapat

mempraktekkan hidup sehat bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakat


dapat berperilaku hidup sehat.
Menurut Sudibyo Supardi (2003), bahwa penyuluhan kesehatan
dapat meningkatkan pengalaman seseorang dibandingkan dengan yang
tidak diberi penyuluhan. Pendidikan kesehatan dan peningkatan
pengetahuan dapat meningkatkan perilaku kesehatan. Berdasarkan hasil
analisa yang dilakukan oelh Winarsih dan Retno (2006), menunjukkan

23

bahwa pengetahuan dan perilaku ibu-ibu meningkat setelah diberi


pendidikan kesehatan.

5. Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni penglihatan,
pendengaran, peraba, pembau, perasa. Sebagian besar pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behavior). Berdasarkan pengalaman dan
penelitian ternyata perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih
langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan
(Notoatmodjo, 2003 : 168).
Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita
ketahui tentang suatu objek tertentu dan setiap jenis pengetahuan
mempunyai ciri-ciri spesifik mengenai apa (ontology), bagaimana
(epistemology), dan untuk apa (aksiology) pengetahuan tersebut
(Notoatmodjo, 2000 : 19).
b. Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu cara
tradisional (ilmiah) dan cara modern (non ilmiah). Cara tradisional
(ilmiah) meliputi: (a) cara coba dan salah ( trial and error), cara ini

24

telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, apabila seseorang


mengahadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahan dilakukan
dengan coba-coba, (b) cara kekerasan atau otoriter, pengetahuan
diperoleh berdasarkan pada otoriter atau kekuasaan, baik tradisi,
otoritas

pemerintah,

otoritas

pemimpin

agama

maupun

ahli

pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh tanpa terlebih dahulu


menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta
empiris atau penalaran sendiri, (c) berdasarkan pengalaman pribadi, hal
ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa
lalu, (d) melalui jalan pikiran, dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan pikirannya melalui
induksi maupun deduksi. Cara modern atau non ilmiah, yaitu dengan
cara mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam
atau

kemasyarakatan,

kemudian

hasil

pengamatan

tersebut

dikumpulkan dan diklasifikasi kemudian akhirnya diambil kesimpulan


umum (Notoatmodjo, 2000 : 22).
c. Tingkatan Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam
domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu: (a) tahu (know), (b)
memahami (comprehention), (c) aplikasi (application), (d) analisis
(analysis), (e) sintesis (syntesis), (f) evaluasi (evaluation).

25

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi tentang apa yang


telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkatan ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh
badan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu
tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja

yang

digunakan

untuk

mengukur

yaitu

menyebutkan,

menguraikan, mendefinisikan dan sebagainya.


Memahami

diartikan

sebagai

suatu

kemampuan

untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat


menginterpretasikan materi secara benar. Orang yang telah paham
terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan terhadap objek yang telah dipelajari.
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real atau
sebenarnya. Aplikasi ini dapat diartikan sebagai penggunaan hukumhukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau
situasi lain.
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam
satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian ke dalam satu bentuk keseluruhan

26

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk
dapat menyusun, dapat merencanakan terhadap suatu teori.
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, kriteriakriteria ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau
menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2000) pengetahuan dalam masyarakat
dipengaruhi beberapa faktor, meliputi: (a) tingkat pendidikan, semakin
tinggi tingkat pendidikan maka ia akan mudah menerima hal-hal baru
dan mudah menyesuaikan hal-hal baru tersebut, (b) informasi,
seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan
memberikan pengetahuan yang lebih jelas, (c) budaya, budaya sangat
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasiinformasi yang diperoleh belum sesuai dengan budaya yang ada dan
agama yang dianut, (d) pengalaman, pengalaman di sini berkaitan
dengan

umur

dan

pendidikan

individu,

maksudnya

semakin

bertambahnya umur dan pendidikan yang tinggi, pengalaman akan lebih


luas, (e) sosial ekonomi, tingkat seseorang untuk memenuhi kebutuhan
hidup (Notoatmodjo, 2000 : 87).
e. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara langsung atau dengan angket yang menanyakan tentang isi

27

materi yang ingin diukur dari responden yang ingin dilakukan atau
diukur, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan.
Hasil pengukuran tingkat pengetahuan dengan menggunakan
angket atau koesioner pada umumnya berupa persentase yang
menggambarkan tingkat pengetahuan baik, cukup atau pengetahuan
kurang. Menurut Waridjan (1999), pengetahuan seseorang tentang
sesuatu hal dikatakan baik bila nilai jawaban benar berkisar pada
rentang 80-100%, dikatakan cukup bila menjawab benar sebesar
65-79%, dan pengetahuan dikatakan kurang bila persentase nilai benar
kurang dari 65%.
B. Kerangka Teori
Berdasarkan landasan teoritis yang telah dipaparkan kerangka teori
dalam penelitian ini adalah :

Dukungan Tokoh
Masyarakat

Pendidikan
Kesehatan

Pendidikan
Pengetahuan
Pekerjaan
Pelatihan

Bagan 2.1 Kerangka Teori Penelitian


(Sumber: Notoatmodjo, 2003 yang dimodifikasi oleh Sukmadinata,2009)

28

C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Dukungan
Tokoh
Masyarakat
Pengetahuan
Kader Tentang
Pelayanan
Posyandu Lansia

Pendidikan
Kader
Pekerjaan
Kader
Pelatihan
Kader

Bagan 2.2 Kerangka Konsep

D. Hipotesis
a) Ada hubungan antara pengetahuan Kader terhadap Pelayanan Posyandu
Lansia di Desa Sukodono, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.
b) Ada hubungan antara Pendidikan Kader terhadap pengetahuan Kader
tentang Pelayanan Posyandu Lansia di Desa Sukodono, Kecamatan
Bonang, Kabupaten Demak.
c) Ada hubungan antara Pekerjaan Kader terhadap pengetahuan Kader
tentang Pelayanan Posyandu Lansia di Desa Sukodono, Kecamatan
Bonang, Kabupaten Demak.

29

d) Ada hubungan antara Pelatihan yang diberikan kepada Kader terhadap


pengetahuan Kader tentang Pelayanan Posyandu Lansia di Desa
Sukodono, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak.
e) Ada hubungan antara pengetahuan Tokoh Masyarakat terhadap dukungan
yang diberikan kepada Kader tentang Pelayanan Posyandu Lansia di Desa
Sukodono Kecamatan Bonang Kabupaten Demak.

Anda mungkin juga menyukai