Anda di halaman 1dari 137

ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 1, April 2012

MENGUJI TAFSIR
KEADILAN

Jurnal
Yudisial

Vol 5

No.1

Hal.
1-116

Jakarta
April 2012

ISSN
1978-6506

DISCLAIMER

urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan
oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap
awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusanputusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten.
Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas
hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur,
dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi
Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan
pedoman perilaku hakim.
Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masingmasing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik
Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang
dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas
kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan
Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.
Alamat Redaksi:
Gedung Komisi Yudisial Lantai 3
Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat
Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215
Email: jurnal@komisiyudisial.go.id

II

MITRA BESTARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas


sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial
Edisi April 2012. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT
1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum.

(Pakar Hukum Filsafat dan Pidana)

2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.

(Pakar Hukum

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum.

(Pakar Hukum

4. Prof. Dr. Meila Rahayu, S.H., M.H.

(Pakar Hukum

5. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.

(Pakar Hukum

6. Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.

(Pakar Hukum

7. Prof. Dr. Marwan Mas, S.H., M.H.

(Pakar Hukum

8. Laode M. Syarif, S.H., LL. M., Ph.D

(Pakar Hukum

9. Rm. Dr. Alexius Andang Listya Binawan. (Pakar Hukum

III

TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab

: Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi

: Patmoko


Penyunting/Editor

: 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani

3. Heru Purnomo

4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar

6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana

: Dinal Fedrian



Sekretariat

Arnis Duwita Purnama


: 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita

3. Romlah Pelupessy.

4. Ahmad Baihaki

5. Arif Budiman.

6. Adi Sukandar

7. Aran Panji Jaya

8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

IV

PENGANTAR

MENGUJI TAFSIR KEADILAN


dakah keadilan di muka bumi ini? Kepada siapa keadilan diperoleh? Jawaban
dua pertanyaan tersebut tidaklah mudah khususnya bagi ahli hukum lantaran
membutuhkan proses perdebatan mendalam berdasarkan beragam teori

hukum.

Secara sederhana, keadilan terbagi dalam tiga kelompok besar. Yaitu, keadilan
berdasarkan hukum, keadilan berdasarkan suara mayoritas, dan keadilan berdasarkan
ketuhanan. Kelompok di atas masing-masing memiliki alasan yang berbeda satu
dengan lainnya. Bagi kelompok pertama, keadilan akan diperoleh berdasarkan hukum
yang berlaku sehingga dikenal sebagai kelompok aliran positifisme. Bagi kelompok ini
keadilan melalui proses peradilan yang diputuskan oleh hakim. Sementara kelompok
kedua memandang keadilan diperoleh melalui suara mayoritas yang mendengungkan
semboyan vox populi vox de atau suara rakyat adalah suara Tuhan. Adapun bagi
kelompok terakhir, keadilan baru bisa diperoleh apabila bersumber pada kitab suci dan
keyakinan terhadap Tuhan.
Negara hukum seperti Indonesia lebih cenderung menganut kelompok pertama. Alhasil,
keadilan diperoleh mayoritas berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dan, sebagai representasi pemberi keadilan adalah hakim yang berada dalam lembaga
peradilan (kekuasaan kehakiman). Di Indonesia, kekuasaan kehakiman bertumpu pada
Mahkamah Agung (MA) dan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konsitusi (MK).
Keduanya memiliki wewenang berbeda guna memberikan keadilan.
Berbeda dengan hakim di MA yang memiliki Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal
hakim dan pengawasan internal melalui jejang pengadilan yang lebih tinggi/atau kasasi,
MK tidak memiliki pengawas ekternal dan jejang putusan yang lebih tinggi karena
putusannya terakhir dan mengikat, final and binding. Putusan MK Nomor 49/PUUIX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK telah mentasbihkan hal itu.
Dalam negara hukum yang mengedepankan check and balances maka tidak ada satu
pun kekuasaan yang tidak dapat diawasi, termasuk kekuasaan kehakiman. Oleh sebab
itu check and balances kekuasaan kehakiman agar mampu mewujudkan keadilan.
Kalimat sederhana yang melukiskan hal itu ialah hakim sama seperti manusia lainnya
yang dapat salah atau tergoda dengan kehidupan duniawi. Bila terjadi, maka hakim
akan melahirkan putusan yang jauh dari nilai keadilan. Berdasarkan pemikiran di atas
Menguji Tafsir Keadilan menjadi tema besar dalam jurnal edisi ini.
Sebagai akhir kata, ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada pihak-pihak lain
yang membantu kehadiran jurnal kali ini. Semoga jurnal ini memberikan manfaat.
Tertanda
Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial

JURNAL YUDISIAL
ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 1, April 2012

Kata kunci bersumber dari artikel. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya.
UDC: 342.5

UDC: 658.114.6

Chandranegara IS (Fakultas Hukum,


Universitas Muhammadiyah, Jakarta)

Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas


Indonesia, Depok)

Pengujian
Perppu
Terkait
Sengketa
Kewenangan Konstitusional Antar-Lembaga
Negara

Perluasan Tafsir Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun


1999
Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/
PN.JKT.PST

Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUUVII/2009

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal


51-63

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal


1-16

Karangan ini membahas komentar atas putusan


hakim dalam perkara P dkk v. KPPU No. 34/
Pdt.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini
bermula dari Putusan KPPU terhadap PT P
(Persero) dan tiga perusahaan lainnya yang
mempersalahkan mereka melanggar Pasal 22
UU No. 5 Tahun 1999. KPPU memutuskan
bahwa keempat perusahaan tersebut telah
melakukan persekongkolan dan diskriminasi
dalam pemilihan partner strategis. KPPU
berpendapat, bahwa pemilihan partner itu
yang dilakukan melalui beauty contest sama
dengan pengadaan barang dan jasa. KPPU
menghukum PT P dan tiga perusahaan
lainnya membayar denda. Namun proyek
tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua
terhukum tidak setuju dengan Putusan
KPPU tersebut dan mengajukan banding ke
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sebagaimana
diperkenankan oleh Pasal 44 ayat (2) UU
No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN
Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU.
Karangan ini membahas putusan PN Jakarta
Pusat dimana penulisnya tidak sependapat

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam


menguji Perppu adalah kewenangan yang
tidak didapatkan melalui Undang-Undang
Dasar namun melalui praktik peradilan.
Kewenangan
untuk
menguji
Perppu
sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah
Konstitusi dikarenakan adanya potensi
sengketa kewenagan konstitusional lembaga
negara yakni dengan DPR selaku pemegang
kewenangan konstitusional untuk menguji
Perppu dan Presiden selaku pemegang
kekuasaan mutlak legislasi dalam ihkwal
kegentingan memaksa. Oleh karena itu,
kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk
dapat atau tidak dapatnya menguji Perppu
perlu diatur di dalam Undang-Undang Dasar.
(Chandranegara IS)
Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara,
Perppu, supremasi konstitusi.

VI

UDC: 349

dengan putusan KPPU dan PN Jakarta Pusat.

Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas


Islam, Bandung)

(Erman Rajagukguk)

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan ClassAction


Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah

Kata kunci: pengadaan barang dan jasa,


pemilihan mitra strategis, persekongkolan
dan diskriminasi, bukti tidak langsung.

Kajian Putusan
PN.Bdg

UDC: 608.3

Nomor

145/Pdt.G/2005/

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal


17-35

Purwaningsih E (Fakultas
Universitas Yarsi, Jakarta)

Hukum,

Dalam perkara gugatan class action tempat


pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis
hakim memutuskan berlandaskan pada akta
perjanjian yang dibuat oleh para penggugat dan
tergugat. Berdasarkan aspek sosial, putusan
tersebut dirasakan adil karena memenuhi
tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan
oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi
kasus longsor TPA ini menyisakan persoalan
tersendiri karena terjadi ketidakadilan
ekologis. Majelis hakim sama sekali tidak
mempertimbangkan nilai ekologis yang
dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai
hal yang perlu dipertimbangkan dalam kasus
ini dan tidak memerintahkan para tergugat
untuk menangani TPA tersebut sesuai dengan
nilai-nilai ekologis. Pada hakekatnya, semua
makhluk hidup yang ada di alam semesta
memiliki nilai sehingga harus diperlakukan
sama
walaupun
dengan
pembobotan
perlakuan yang berbeda-beda. Alam semesta
dan kehidupannya masuk dalam pertimbangan
dan kepedulian moral manusia sehingga
keberadaannya tidak selalu dikorbankan hanya
untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu
perlu adanya kepedulian, tanggung jawab dan
kewajiban moral dari manusia sebagai pelaku
moral.

Penerapan World Wide Novelty dan


Function-Way-Result Test Pada Paten
Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.
Sus/2009
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,
hal 84-98
Paten
sebagai
konstruksi
hukum
memberikan perlindungan hukum bagi
penemuan yang memenuhi persyaratan
paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan;
langkah inventif yang terkandung dalam
penemuan; serta dapat atau tidaknya
penemuan diterapkan dalam industri.
Untuk menciptakan kepastian hukum dan
keadilan, hakim harus memperhatikan
spesifikasi paten (dalam klaim) dan
kebaruan penemuan tersebut di seluruh
dunia, juga function-way-result test,
terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan
paten diwajibkan untuk mengungkapkan
secara tepat unsur-unsur dari penemuan
yang dimintakan perlindungan. Dengan
demikian, dalam aplikasi hendaklah
tertulis deskripsi tentang esensi dari
penemuan. Ruang lingkup atau luasnya
perlindungan paten tergantung pada klaim,
klaim menunjukkan inti dari penemuan,
sehingga untuk menilai pelanggaran paten
VII

tergantung pada interpretasi klaim, filing


date, state of the art dan cakupan klaim
paten terdahulu (prior art).

(Rahayu MIF)
Kata kunci: class action, keadilan ekologis

(Endang Purwaningsih)

UDC: 347.956.6

Kata kunci: paten, worldwide


function-way-result test.

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas


Islam Indonesia, Yogyakarta)
Keadilan Subtantif yang Terabaikan Dalam
Sengketa Sita Jaminan

novelty,

UDC: 608.3
Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas
Yarsi, Jakarta)

Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y


Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal
36-50

Penerapan World Wide Novelty dan FunctionWay-Result Test Pada Paten

Tujuan dari kajian putusan ini adalah


untuk menguji apakah putusan majelis
hakim di pengadilan tingkat banding sudah
mencerminkan putusan yang adil baik secara
prosedural maupun substantif. Hasil kajian
menunjukkan bahwa putusan hakim sudah
mengikuti prosedur hukum acara secara
memadai, bahkan majelis hakim terkesan
sangat ketat dalam menerapkan prosedur
hukum acara berdasarkan HIR dan Rv. Namun
demikian putusan majelis hakim ini belum
sampai pada memeriksa pokok sengketa yang
didasarkan pada hukum materiil. Putusan
ini belum menyentuh substansi atau pokok
perkara yang disengketakan, sehingga belum
mencerminkan keadilan substantif. Putusan
hakim ini terasa kering dan belum menggali
nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini
dapat dilihat dari belum dielaborasikannya
faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan
hakim, akibatnya kepentingan Para Terbanding
belum mendapatkan perlindungan hukum
yang memadai dan imbang secara substansial.
Padahal keadilan substantif itulah yang harus
diwujudkan hakim pada akhir putusannya.

Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009


Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal
84-98
Paten sebagai konstruksi hukum memberikan
perlindungan hukum bagi penemuan yang
memenuhi persyaratan paten, yaitu: unsur
kebaruan dari penemuan; langkah inventif
yang terkandung dalam penemuan; serta dapat
atau tidaknya penemuan diterapkan dalam
industri. Untuk menciptakan kepastian hukum
dan keadilan, hakim harus memperhatikan
spesifikasi paten (dalam klaim) dan kebaruan
penemuan tersebut di seluruh dunia, juga
function-way-result test, terutama dalam
kasus ini. Dalam pengajuan paten diwajibkan
untuk mengungkapkan secara tepat unsurunsur dari penemuan yang dimintakan
perlindungan. Dengan demikian, dalam
aplikasi hendaklah tertulis deskripsi tentang
esensi dari penemuan. Ruang lingkup atau
luasnya perlindungan paten tergantung pada
klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan,
sehingga untuk menilai pelanggaran paten
tergantung pada interpretasi klaim, filing

VIII

date, state of the art dan cakupan klaim paten


terdahulu (prior art).

(Syamsudin M)
Kata kunci: keadilan substantif, putusan
banding, sengketa sita jaminan.

(Endang Purwaningsih)
Kata kunci: paten, worldwide novelty,
function-way-result test.

UDC: 343
Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto)
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus
Pencurian Kakao
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.
PWT
Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012, hal
99-116
Penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus
pencurian kakao sudah sesuai dengan pemikiran
dasar pemberian pidana bersyarat. Pemikiran
dasar pemberian pidana bersyarat tersebut
pada intinya terdiri dari empat aspek: Pertama,
pidana bersyarat dijatuhkan untuk menolong
terpidana agar belajar hidup produktif. Kedua,
pidana bersyarat menjadi lembaga hukum
yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati
hakim maupun masyarakat. Ketiga, pidana
bersyarat menjadi sarana koreksi yang
bermanfaat bagi terpidana dan masyarakat.
Keempat, pidana bersyarat berorientasi pada
perbuatan dan juga pelaku tindak pidana.
Oleh sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat
ini telah sesuai dengan prinsip hukum pidana
yang mengutamakan pencegahan.
(Haryanto Dwiatmodjo)
Kata kunci:
keadilan.

pidana bersyarat, pencurian,

IX

JOURNAL OF YUDISIAL
ISSN 1978-6506

Vol. 5 No. 1, April 2012

The descriptors given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission
or charge.
UDC: 342.5

UDC: 658.114.6

Chandranegara IS (Fakultas Hukum,


Universitas Muhammadiyah, Jakarta)

Rajagukguk E (Fakultas Hukum, Universitas


Indonesia, Depok)

The Review of Government Regulation in Lieu


of Law Regarding Constitutional Authority
Dispute Among The State Institutions

An Extensive Interpretation On Article 22 Of


The Law Number 5 Year 1999
An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/
KPPU/2011/PN.JKT.PST

An Analysis of Constitutional Court Decision


Number 138/PUU-VII/2009

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,


page 51-63

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,


page 1-16

This article is aimed to share some comments


on a court decision over the case of PT P c.s.
v. KPPU. The KPPU has delivered a decision
against PT P and three other companies
blaming them to commit an unlawful practice
as stated in Article 22 of Law No. 5 Year 1999.

The authority of the Constitutional Court to


review the Government Regulation in Lieu
of Law (Perppu) is not obtained through the
judicial practice, instead of the constitution.
In theory such an authority should not given
to the constitutional court since the existance
of potental disputes between the court
and other hight rangked state entity like
punishment and/or house of representatives.
In term of the state circumstances of the state
of emergency, the President has the exclusive
power to produce th Perppu. Thus, it is of
great importance that the constitutional court
showed have this authority strictly regulated
in the coming amamded constitution.

KPPU decides that the four companies have


performed conspiracy and discrimination in
selecting strategic partner. KPPU is of the
opinion that the way of partner selection
being conducted through beauty contest
is the same way with that of procurement of
goods and services. KPPU ordered the four
companies to pay a fine and the decision was
supported later on by the Jakarta Central
Distric Court. The author of this article has
different opinions with the decisions.

(Chandranegara IS)

(Erman Rajagukguk)

Keywords: constitutional review, constitutional


authority dispute, the government regulation
in lieu of law (Perppu), rule of law.

Keywords: procurement, selection of strategic


partners, conspiracy and discrimination,
indirect evidence.

UDC: 349

UDC: 347.918

Rahayu MIF (Fakultas Hukum, Universitas


Islam, Bandung)

Hikmah M (Fakultas Hukum, Universitas


Indonesia, Depok)

The Ecological Justice in Class Action Lawsuit


of Leuwigajah Final Disposal Landfill

The Refusal Of International Arbitration


Decision In The Case Of Astro All Asia
Network PLC (ASTRO)

An Analysis of Decision Number 145/


PDT.G/2005.PN.BDG

An Analysis of Decision Number 05/Pdt/


ARB-INT/2009/PNJP

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,


page 17-35

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April


2012, 64-83

In a class action lawsuit on the case of


Leuwigajah Final Disposal Landfill, the panel
of judges has passed a decision in favor of the
residents based on a deed of agreement made
by the plaintiffs and defendants. According to
the contract, the plantiffs as the class members
are entitled to get compensation. In the social
point of view, the court ruling is considered fair
enough. But in term of ecology, the decision
leaves its own problems, i.e. the ecological
injustice, since the judges never weighed up the
ecological values of nature and environment
as their main concerns. In the perspective of
ecology, every single creature in the universe
has the right to exist. In many cases like the
Leuwigajah incident, both human beings and
their environmental should be correspondingly
taken into account. The decision is supposed
to emphasize the involvement, responsibility,
and obligation of human beings as the moral
actors in such cases.

Even though Indonesia has already


had the Arbitration Law, refusals of the
international arbitration decisions still
happen. One of which is the object of
analysis in this article, that is the case of
Astro All Asia Network Plc. The application
of the international arbitration decision
from Singapore was refused by the Central
Jakarta District Court. This refusal is
confirmed by the Supreme Court. This
article discuss any courts considerations
for the refusal. It seems that some reasoning
are not in accordance with the Arbitration
Law, that come from both at the district
court level and the Supreme Court. That
such refusal, in consequence, could cause
bad impact to the international bussiness
climate. The Government was supposed
to admit and implement the international
arbitration decisions as a consequence of
Indonesias membership of the 1958 New
York Convention.

(Rahayu MIF)
Keywords: class action lawsuit, ecological
justice.

(Mutiara Hikmah)
Keywords: Arbitration Law, international
arbitration decision.

XI

UDC: 347.956.6

UDC: 608.3

Syamsudin M (Fakultas Hukum, Universitas


Islam Indonesia, Yogyakarta)

Purwaningsih E (Fakultas Hukum, Universitas


Yarsi, Jakarta)

The Overlooked Substantive Justice In A Case


Of Sequetration Dispute

The Application Of Worldwide Novelty And


Function-Way Result-Test On Patent

An Analysis of Decision Number 42/


PDT/2011/PT.Y

An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt.


Sus/2009

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,


page 36-50

Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,


page 84-98

The purpose of this study is to examine whether


a decision of the Yogyakarta Court of Appeal
has been procedurally and substantively just.
The author of this article discloses that the

Patent as legal construction gives legal


protection for the invention which fulfills
requirements for a patentable invention,
such as: novelty, non-obviousness/inventive
steps and industrial applicability. In order to
create legal certainty and justice, the judge
should pay attention to the specification of
patent (in the claim) and the application of
worldwide novelty, also function way result
test, especially in this case. In the claim, it
is required to state and clarify precisely the
elements of invention for which protection is
sought. Thus, the claim should be composed
of a description or explanation of the essence
of the invention. The scope or the extent of
patent protection is based on the claim. The
essence of protection also depends on the
claim; therefore the infringement depends on
the interpretation of the claim, filing date, state
of the art and prior art scope of the claim.

panel of judges who handled the case has


strictly applied the procedural law as stated
in the HIR and Rv so that the decision can be
regarded as the procedural justice contained.
However, the judges decision in this case
does not reflect the substantive justice, since
it has not reached the level of verifying the
subject of disputes based on substantive law.
The judges decision is too formalistic in
checking and resolving the matter, so it only
emphasizes the procedural fairness values
instead of substantive justice values. In fact,
substantive justice is of significance that must
be upheld by judges at any kind of decision
(Syamsudin M)
Keywords: substantive justice, court of appeal
decision, warranty-confiscation dispute.

(Endang Purwaningsih)
Keywords: patent, worldwide
function-way-result test.

XII

novelty,

UDC: 343
Dwiatmodjo H (Fakultas Hukum, Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto)
A Conditional Sentence Imposed Upon The
Conviction Of Theft Of Cocoa
An Analysis of Decision Number 247/
Pid.B/2009/PN. Pwt
Journal Of Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012,
page 99-116
The imposition of conditional penalties
over criminal acts in case of theft of cocoa
is in conformity with the main purpose of
conditional penalties. The main purpose of
conditional penalties essentially consists of
four aspects. First, it is imposed to help the
inmates learning to live productively. Second,
it works as an implied law institution for the
inmates better than the broad-mindedness of
the judge or the public. Third, it becomes a
medium for correction for the inmates and the
society. Fourth, it is oriented to the action and
also the criminals. Therefore, the imposition
of conditional penalties over criminal acts
has been in accordance with the principles of
criminal law that prioritizes prevention.
(Haryanto Dwiatmodjo)
Keywords:
justice.

conditional

penalties,

theft,

XIII

DAFTAR ISI

PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA


KEWENANGAN KONSTITUSIONAL
ANTAR-LEMBAGA NEGARA ....................................................................
Kajian Atas Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009
Ibnu Sina Chandranegara
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION
TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH ................................
Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg
Mella Ismelina Farma Rahayu
Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
KEADILAN SUBTANTIF YANG TERABAIKAN
DALAM SENGKETA SITA JAMINAN ......................................................
Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y
M. Syamsudin
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PERLUASAN TAFSIR PASAL 22
UU NOMOR 5 TAHUN 1999 ........................................................................
Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST
Erman Rajagukguk
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO) ..........
Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP
Mutiara Hikmah
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
PENERAPAN WORLD WIDE NOVELTY DAN
FUNCTION-WAYRESULT TEST PADA PATEN ....................................
Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009
Endang Purwaningsih
Fakultas Hukum Universitas YARSI
PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT
DALAM KASUS PENCURIAN KAKAO ..................................................
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT
Haryanto Dwiatmodjo
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

XIV

17

36

51

64

84

99

PENGUJIAN PERPPU TERKAIT SENGKETA KEWENANGAN


KONSTITUSIONAL ANTAR-LEMBAGA NEGARA
Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009
Ibnu Sina Chandranegara, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan
Email: himynameisnou@rocketmail.com

THE Review of Government Regulation in Lieu of Law


REGARDING CONSTITUTIONAL Authority Dispute among
the State Institutions
An Analysis of Constitutional Court Decision Number 138/PUU-VII/2009
Ibnu Sina Chandranegara, Faculty of law of University of Muhammadiyah Jakarta
Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan
Email: himynameisnou@rocketmail.com
ABSTRAK

Abstract

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji

The authority of the

Perppu adalah kewenangan yang tidak didapatkan

review the

melalui Undang-Undang Dasar namun melalui

Law (Perppu) is not obtained through the judicial

praktik peradilan. Kewenangan untuk menguji

practice, instead of the constitution. In theory such

Perppu sepatutnya tidak diperoleh oleh Mahkamah

an authority should not given to the constitutional

Konstitusi dikarenakan adanya potensi sengketa

court since the existance of

kewenagan konstitusional lembaga negara yakni

between the court and other hight

dengan DPR selaku pemegang kewenangan

state entity like punishment and/or house of

konstitusional untuk menguji Perppu dan Presiden

representatives. In term of the state circumstances

selaku pemegang kekuasaan mutlak legislasi dalam

of the state of emergency, the President has the

ihkwal kegentingan memaksa. Oleh karena itu,

exclusive power to produce th Perppu. Thus, it is

kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk dapat

of great importance that the constitutional court

atau tidak dapatnya menguji Perppu perlu diatur di

showed have this authority strictly regulated in

dalam Undang-Undang Dasar.

the coming amamded constitution.

Kata kunci: pengujian konstitusional, sengketa

Keywords: constitutional review, constitutional

kewenangan

authority dispute, the government regulation in lieu

konstitusional

Perppu, supremasi konstitusi.

lembaga

negara,

Constitutional Court

to

Government Regulation in Lieu of

potental disputes
rangked

of law (Perppu), rule of law.

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

|1

I.

PENDAHULUAN

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

Salah satu kewenangan Mahkamah


Konstitusi (MK) yang diamanahkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945),
yakni pengujian undang-undang (UU) terhadap
Undang-Undang Dasar (UUD) saat ini telah
mengalami perkembangan dalam praktik yang
dilakukan oleh MK sendiri. Salah satunya adalah
pengujian konstitusional peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (Perppu) terhadap
UUD yang pernah dilakukan MK. MK pernah
menguji Perppu sebanyak 2 (dua) kali, yaitu (i)
Pengujian terhadap Perppu No. 9 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diputus oleh MK pada Putusan No.
138/PUU-VII/2009 dan (ii) Pengujian terhadap
Perppu No. 4 Tahun 2008 Tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang diputus
oleh MK pada Putusan No. 145/PUU-VII/2009.

Seberat apapun permasalahan yang terjadi


di satu negara, sudah seharusnya dapat
diatasi dengan instrumen hukum yang
ada untuk tetap menjamin berjalannya
fungsi-fungsi kekuasaan yang melindungi
kepentingan seluruh rakyat. (Asshiddiqie,
2010: 57-58)

II.

Konstitusi sepatutnya mengakomodasi


ketentuan-ketentuan
prosedur-prosedur
penyelenggaraan negara sebagaimana dinyatakan
oleh Wiliam G. Andrews (i) the general goals
of society or general acceptance of the same
philosophy of government, (ii) the basis of
government, (iii) the form of institutions and
procedures (Andrews,1968: 9). Prosedures
disini dimaksudkan bahwa konstitusi tidak
hanya mengatur mengenai penyelenggaraan
negara dalam ordinary condition atau normal
condition namun konstitusi sepatutnya mengatur
penyelenggaraan negara dalam keadaan yang
tidak normal (emergency condition).

RUMUSAN MASALAH

Negara diartikan oleh R. Kranenburg


sebagai suatu organisasi kekuasaan yang
diciptakan oleh sekelompok manusia atau
bangsa, dengan tujuan untuk menyelenggarakan
kepentingan mereka bersama (Soehino, 2001:
184). Dalam menjalankan fungsinya sebagai
organisasi kekuasaan, maka negara akan memiliki
sebuah konstitusi sebagai pondasi negara
dalam menjalankan kekuasaannya sebagaimana
diungkapkan oleh Brian Thompson bahwa a
constitution is a document which contain the
rules for the operation of an organization.
(Thompson, 1997: 3).

Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK


tersebut menjadi polemik dikalangan para ahli
hukum, politisi bahkan masyarakat. Persoalan
yang muncul adalah apakah MK memang
berwenang menguji Perppu?. Selain itu,
timbul juga persoalan lain yaitu apakah dengan
adanya pengujian Perppu yang dilakukan oleh
MK, akan timbul potensi sengketa kewenangan
konstitusional lembaga negara (SKLN) antara
MK dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)?.
Tulisan ini bermaksud meneliti pengujian Perppu
yang dilakukan oleh MK dalam perspektif SKLN
dan dampak yang ditimbulkan terhadap unsur
Jika emergency condition itu terjadi, maka
darurat dalam Perppu apabila pengujian Perppu
organ-organ negara akan melakukan respon untuk
dapat pula dilakukan oleh MK selain DPR.
mengatasi keadaan tersebut. Akibat timbulnya
2|

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

keadaan darurat tersebut maka akan terjadi


dua kemungkinan yaitu (i) organ negara dan
pemerintahan mengalami syndroma disfunctie
(tidak berfungsi sebagaimana mestinya), atau (ii)
penguasa negara berubah menjadi tiran (dictator
by accident) yang dapat memanfaatkan keadaan
darurat itu untuk dijadikan alat kepentingannya
sendiri atau untuk memperkokoh kekuasaannya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan perangkat
hukum positif dalam rangka mencegah dan
menanggulangi keadaaan yang bersifat darurat
tersebut (Hamidi dan Lutfi, 2009: 41-42). Salah
satu pengaturan UUD NRI Tahun 1945 mengenai
keadaan darurat adalah apa yang disebutkan
dalam Pasal 22 sebagai berikut:
Dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa Presiden berhak mengeluarkan
peraturan pemerintah pengganti undangundang. Peraturan pemerintah itu harus
mendapat persetujuan DPR dalam
persidangan yang berikut. Jika tidak
mendapat persetujuan, maka peraturan
pemerintah harus dicabut.
Sebelum
adanya
perubahan
UUD
1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD
1945 yang menyatakan, Pasal ini mengenai
noodverordeningsrecht Presiden. Aturan seperti
ini memang diperlukan supaya keselamatan
negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam
keadaan genting, yang memaksa pemerintah
untuk bertindak lekas dan tepat. Ni matul Huda
berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah
isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting
dan amat terpaksa dan memaksa, tanpa menunggu
adanya syarat-syarat yang ditentukan oleh dan
dalam suatu undang-undang, serta bagaimana
akibat-akibat yang tidak sempat ditunggu dan
ditetapkan dalam suatu undang-undang, Presiden
berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan

suatu keadaan bahaya dan darurat (Huda, 2003:


140).
Pasal 22 tersebut menggunakan istilah
dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa
yang dapat ditafsirkan bahwa adanya suatu
kegentingan yang memaksa pihak tertentu untuk
menanggulangi suatu kegentingan tersebut
dengan cara-cara yang dibuat melalui prosedur
tidak biasanya. Kemudian frasa Presiden berhak
mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti
undang-undang menjelaskan bahwa pihak
tertentu yang mempunyai kompetensi untuk
menanggulangi kegentingan memaksa tersebut
adalah Presiden dan hal yang dapat dilakukan
oleh Presiden dalam upaya menanggulangi
kegentingan tersebut adalah dengan kekuasaan
legislatif sepenuhnya tanpa melibatkan DPR yakni
membuat sebuah undang-undang yang berbajukan
peraturan pemerintah. Konstruksi pemikiran
tersebut bersifat subjektif, hal ini dikarenakan
upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
kegentingan tersebut hanya sepihak oleh
penilaian Presiden semata. Kedudukan Perppu
sebagai norma subjektif juga dinyatakan Jimly
Asshiddiqie:
Pasal 22 memberikan kewenangan kepada
Presiden untuk secara subjektif menilai
keadaan negara atau hal ihwal yang terkait
dengan negara yang menyebabkan suatu
undang-undang tidak dapat dibentuk segera,
sedangkan kebutuhan akan pegaturan
materiil mengenai hal yang perlu diatur
sudah sangat mendesak sehingga Pasal
22 UUD 1945 memberikan kewenangan
kepada Presiden untuk menetapkan
peraturan pemerintah pengganti undangundang (Perpu) (Asshiddiqie, 2010: 209)
Perppu sebagai produk hukum darurat

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

|3

menurut Presiden sesungguhnya belum tentu


mengandung unsur darurat sebagaimana
ditentukan pada pasal 12 UUD NRI Tahun 1945
yang dinyatakan bahwa Presiden menyatakan
keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya
keadaan bahaya ditetapkan dengan undangundang. Hal tersebut dikarenakan kelahiran
Perppu yang didasarkan pada unsur kegentingan
memaksa dalam sebuah Perppu belum
tentu mengandung unsur keadaan bahaya,
dikarenakan keadaan bahaya yang diatur di
dalam Pasal 12 tersebut mengandung unsur
objektif sedangkan kegentingan memaksa secara
gramatikal mempunyai unsur subjektif.
JimlyAsshiddiqie menyatakan bahwa segala
sesuatu yang membahayakan tentu memiliki
sifat yang menimbulkan kegentingan yang
memaksa, tetapi segala hal ikhwal kegentingan
yang memaksa Presiden untuk mengeluarkan
Perppu tidak selalu membahayakan atau bernilai
dangerous threat (Asshiddiqie, 2010: 208) Jadi
apabila dibedakan, ketentuan deklarasi bahaya
yang dicantumkan oleh Presiden sebagaimana
ditentukan pada Pasal 12 adalah refleksi dari
kewenangan seorang kepala negara sedangkan
ketentuan Pasal 22 yang memberi hak kepada
Presiden untuk melahirkan Perppu pada saat
kegentingan yang memaksanya adalah refleksi
dari kewenangan kepala pemerintahan.
Kekuasaan Presiden untuk menerbitkan
Perppu juga tidak tergantung pada keadaan
bahaya yang sedang melanda. Penilaian subjektif
Presiden untuk mencegah sesuatu yang akan
membahayakan juga dapat dijadikan unsur
mengapa Perppu dilahirkan oleh Presiden.
Kelahiran Perppu ini sangat tidak tergantung oleh
deklarasi keadaan bahaya sebagaimana ditentukan
pada Pasal 12. Bahkan Jimly Asshiddiqie
menyatakan bahwa dalam kondisi negara yang
4|

normal sekalipun, apabila memang memenuhi


syarat, Presiden dapat saja menetapkan suatu
Perppu (Asshiddiqie, 2010: 207). Seharusnya Pasal
22 juga menentukan secara limitatif mengenai
unsur-unsur lain mengenai dilahirkannya sebuah
Perppu oleh Presiden selain adanya unsur tunggal
kegentingan memaksa. Kedudukan Perppu
sendiri sering menimbulkan perdebatan yang
pada umumnya dikarenakan beberapa hal, antara
lain: (Isra, 2010: 165)
1.

Perppu dapat dikatakan sebagai


peraturan yang bersifat sementara,
sebab secepat mungkin harus
dimintakan persetujuan pada Dewan
Perwakilan Rakyat yaitu pada
masa sidang berikutnya setelah
Perppu tersebut dibentuk. Walaupun
bersifat sementara namun dampak
pemberlakuan Perppu dapat saja
berlangsung lama, sekalipun Perppu
itu telah dicabut.

2.

Proses politik di DPR yang kadangkala


memunculkan kontroversi sehingga
sangat diperlukan ketegasan DPR
apakah akan menyetujui atau
tidak menyetujui Perppu tersebut.
Kadangkala pengesahan Perppu
menjadi ajang tawar menawar
pemerintah dan DPR sehingga
perdebatan dari segi substansi hukum
tidak penting.

3.

Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan


dalam bentuk pengajuan rancangan
undang-undang tentang penetapan
perppu tersebut menjadi undangundang. Dalam hal DPR menyetujui
Perppu
tersebut
kadangkala
pengesahan Perppu menjadi ajang

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

tawar menawar pemerintah dan


DPR sehingga perdebatan dari segi
substansi hukum tidak penting.
4.

mengatasi keadaan, sehingga dengan penerbitan


Perppu merupakan satu-satunya cara untuk
mengatasi keadaan tersebut.

Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan


dalam bentuk pengajuan rancangan
undang-undang tentang penetapan
Perppu tersebut menjadi undangundang. Dalam hal ini DPR
menyetujui Perppu tersebut maka
rancangan undang-undang tentang
penetapan Perppu tersebut tidak
berlaku dan Presiden mengajukan
rancangan undang-undang tentang
pencabutan Perppu tersebut yang
dapat mengatur pula segala akibat
dari penolakan tersebut. Proses ini
kadangkala berlangsung lama akibat
dari dinamika di DPR yang sangat
tidak menentu.

Dari ketiga unsur di atas, unsur ancaman


yang membahayakan (dangerous threat) lebih
berorientasi pada Pasal 12 UUD NRI Tahun
1945, khususnya mengenai keadaan bahaya,
meskipun ada pula Perppu yang dilatarbelakangi
oleh unsur ancaman yang membahayakan
(dangerous threat). (Asshidiqie, tanpa tahun).
Contohnya yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
dimana dalam Penjelasan Umumnya menegaskan
bahwa penggunaan Perppu untuk mengatur
pemberantasan tindak pidana terorisme didasarkan
pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di
berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik
materiil maupun immateriil serta menimbulkan
ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga
mendesak untuk dikeluarkan Perppu guna segera
Hingga saat ini unsur lain hanya ditemukan
dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi
oleh doktrin-doktrin para ahli seperti Jimly
pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa
Asshiddiqie dan Bagir Manan. Jimly Asshiddiqie
meninggalkan prinsip-prinsip hukum.
menyatakan ada tiga unsur penting membentuk
pengertian keadaan bahaya yang dapat
Contoh Perppu yang dilatarbelakangi
menimbulkan kegentingan yang memaksa yaitu, oleh unsur kebutuhan yang mengharuskan
(i) adanya unsur ancaman yang membahayakan (reasonable necessity) adalah Perppu Nomor 3
(dangerous threat), (ii) adanya unsur kebutuhan Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undangyang mengharuskan (reasonable necessity), dan Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang
(iii) adanya unsur keterbatasan waktu (limited Keimigrasian, dimana kebijakan Pemerintah
time) yang tersedia. Atas dasar unsur tersebut Arab Saudi yang menetapkan bahwa mulai
Jimly menyatakan adanya 3 (tiga) syarat materiil tahun 1430 Hijriyah jemaah haji dari seluruh
untuk adanya penetapan suatu Perppu, yaitu (i) negara (termasuk Indonesia) harus menggunakan
ada kebutuhan mendesak untuk bertindak atau paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku
yang diistilahkan olehnya sebagai reasonable secara internasional dijadikan sebagai ukuran
necessity, (ii) waktu yang tersedia terbatas kegentingan yang memaksa, sehingga
(limited time) atau terdapat kegentingan waktu, Pemerintah Indonesia perlu melakukan upaya
dan (iii) tidak tersedia alternatif lain atau menurut yang bersifat segera untuk menjamin tersedianya
penalaran yang wajar (beyond reasonable doubt) paspor dimaksud agar penyelenggaraan ibadah
alternatif lain diperkirakan tidak akan dapat haji tetap dapat dilaksanakan.
Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

|5

Adapun
contoh
Perppu
yang
dilatarbelakangi oleh unsur keterbatasan waktu
(limited time) yang tersedia adalah Perppu Nomor
1 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, yang mengatur
bahwa Anggota KPU yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum dan yang telah
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
tetap melaksanakan tugasnya sampai dengan
terbentuknya penyelenggara pemilihan umum
yang baru.

republik-indonesia.html)
Bagir Manan menyatakan bahwa unsur
kegentingan yang memaksa harus menunjukkan 2
(dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan
(ii) ada kemendesakan (emergency). Menurutnya
suatu keadaan krisis apabila terdapat gangguan
yang menimbulkan kegentingan dan bersifat
mendadak (a grave and sudden disturbunse).
Kemendesakan (emergency), apabila terjadi
berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan
sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera
tanpa menunggu permusyawaratan terebih
dahulu. Atau telah ada tanda-tanda permulaan
yang nyata dan menurut nalar yang wajar apabila
tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan
baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya
pemerintahan (Manan, 1999: 158-159).

Baru semenjak adanya putusan Mahkamah


Konstitusi No 138/ PUU-VII/ 2009, pengujuan
Hal ini mengingat Dewan Perwakilan
Perpu Nomor 9 tahun 2009, ditentukannya syaratRakyat
Republik
Indonesia
sedang
syarat bagi Presiden untuk mengeluarkan Perppu
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
berdasarkan putusan peradilan bukan hanya
tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum untuk
melalui dokrtin. Dengan ditetapkannya syaratmenggantikan ketentuan yang saat ini berlaku
syarat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12
ini juga masih terus menimbulkan perdebatan
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
dikarenakan nilai subjektif dari sebuah Perppu
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
berubah menjadi objektif melalui putusan MK.
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perubahan ini didasari oleh pertimbangan hakim
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Presiden
yang menyatakan bahwa Berdasarkan Putusan
berpendapat syarat hal ihwal kegentingan yang
MK Nomor.138/PUU-VII/2009,
Peraturan
memaksa telah terpenuhi untuk menetapkan
Pemerintah
Pengganti
Undang-Undang
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
diperlukan apabila:
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
mendesak untuk menyelesaikan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
masalah hukum secara cepat
(Febriansyah, http://djpp.depkumham.go.id/htnberdasarkan Undang-Undang;
dan-puu/75-eksistensi-dan-prospek-pengaturan2. Undang-Undang yang dibutuhkan
perppu-dalam-sistem-norma-hukum-negaratersebut belum ada sehingga terjadi
6|

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

kekosongan hukum, atau ada UndangUndang tetapi tidak memadai;

MK dalam sesuatu perubahan norma UUD


1945. Harusnya MK menjalani amanah UUD
1945 bukan justru malah mengoreksi UUD
3. Kekosongan hukum tersebut tidak
1945. Penulis beranggapan ada maksud baik
dapat diatasi dengan cara membuat
dalam pertimbangan majelis MK tersebut yakni
Undang-Undang secara prosedur
mencegah Presiden berbuat sewenang-wenang
biasa karena akan memerlukan
terhadap pelaksanaan kewenangan legislasi
waktu yang cukup lama sedangkan
Presiden pada saat keadaan darurat. Namun,
keadaan yang mendesak tersebut
upaya itu seharusnya dilakukan dalam perubahan
perlu kepastian untuk diselesaikan;
UUD hal ini ditakutkan akan mengaburkan posisi
Dengan perubahan ini maka jelas muncul MK sebagai pengawal konstitusi.
norma baru yang merubah konstruksi norma yang
Di dalam putusan No.138/PUU-VII/2009,
terdapat di dalam Pasal 22 UUD 1945. Dengan
tampak bahwa MK tidak saja menggunakan
ini maka bisa dikatakan bahwa terjadi perubahan
UUD 1945 sebagai batu uji terhadap apa yang
konstitusi tanpa melalui Pasal 37 UUD 1945
dimohonkan, tetapi MK juga menggunakan
namun melalui praktek peradilan. Syarat bagi
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Presiden yang sebelumnya diberi kekuasaan
Peraturan Perundang-Undangan sebagai batu
mutlak untuk menafsirkan apa makna hal
uji lainnnya sebagaimana tercantum di dalam
ikhwal kegentingan memaksa yang bercorak
Pertimbangan Mahkamah terntang kewenangan
subjektif menjadi objektif dikarenakan terdapat
Mahkamah pada poin 3.5 di dalam putusan No.
syarat kumulatif lainnya bagi Presiden yakni
138/PUU-VII/2009:
sebagaimana ditentukan oleh MK di atas.
Hal ini jelas memperketat kewenangan
Presiden dalam menentukan hal ikhwal
kegentingan memaksa. Apa yang dilakukan oleh
MK ini jelas menimbulkan kerancuan, yakni
apakah apabila Presiden membentuk Perppu
namun tidak memenuhi syarat yang ditentukan
maka Perppu tersebut menjadi tidak mengikat?
Atau apakah Presiden dapat dijustifikasi telah
melanggar konstitusi dikarenakan melanggar
pertimbangan MK di dalam putusan a quo apabila
Perppu bentukan Presiden tidak mendasari pada
putusan a quo?
Keadaan
ini
seolah-olah
menjadi
kacau dikarenakan ketika MK sedang
mempertimbangkan kewenangannya di dalam
putusan a quo tetapi tidak disengaja MK
membentuk norma baru yang justru menjebak

Bahwa dasar hukum dibuatnya Perppu


diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
1945 yang menyatakan, Dalam hal ihwal
kegentingan yang memaksa Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai
pengganti undang- undang. Kemudian
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, selanjutnya disebut
UU 10/2004, telah mendudukkan Perpu
sejajar dengan Undang-Undang Pasal 7 ayat
(1) UU 10/2004 menyatakan, Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
a.

Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun
1945;

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

|7

b. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti UndangUndang;
c. ... dst;
Penulis menilai bahwa pertimbangan
ini tidak tepat. Penulis beranggapan bahwa
sepatutnya MK tidak menggunakan undangundang sebagai dasar pertimbangan dalam menilai
apakah MK berwenang atau tidak dalam menguji
Perppu. Seharusnya MK menarik pandangannya
berdasarkan Undang-Undang Dasar.
Dengan pertimbangan yang demikian ini
menunjukan bahwa MK tidak menguji UU secara
vertikal namun secara horizontal. Di sisi lain
pertmbangan yang demikian ini menunjukkan
bahwa MK menunjukkan karakter kelembagaan
yang semestinya, yakni pengadilan norma hukum
dan produk hukum. Sejarah terbentuknya MK
sendiri didasari kebutuhan akan peradilan yang
mampu mengadili norma hukum dan produk
hukum yang mengikat secara umum, sehingga
supremasi hukum (konstitusi) dapat dijaga,
mengingat produk hukum yang lahir belum tentu
sesuai dengan konstitusi ataupun dengan sistem
hukum yang terbangun dalam suatu negara.
Salah satu sebab dikatakannya Perppu
sebagai produk hukum Presiden dalam keadaan
darurat/genting, dikarenakan kontrol dan
pengujian konstitusionalitasannya berada di DPR
melalui mekanisme political review. Sedangkan
produk hukum Presiden dalam keadaan normal
ialah UU yang telah dibahas dan disetujui
bersama DPR dan mekanisme pengujiannya dapat
dilakukan oleh dua cara yakni (i) political review/
legislative review dan (ii) judicial constitutional
review. Namun apabila MK berwenang menguji
Perppu, berarti Perppu yang dikeluarkan saat
waktu tertentu (keadaan genting) oleh Presiden
8|

maka saat itulah Perppu dapat diuji oleh MK.


Apabila demikian konstruksinya maka nilai
darurat/genting pada suatu Perppu menjadi
hilang.
Pengujian UU dilakukan oleh MK karena
UU merupakan produk hukum legislator
saat negara dalam keadaan normal tanpa
mempertimbangkan
adanya
kegentingan,
sehingga UU tersebut tidak terdapat unsur darurat
yang bersifat sementara yang dimaksudkan untuk
menanggulangi kedaruratan tersebut. UU yang
dibuat pada saat keadaan normal dimaksudkan
untuk mengakomodir kepentingan umum
(tindakan kenegaraan) sedangkan pembentukan
Perppu dikeluarkan Presiden pada saat negara
dalam keadaan yang dikecualikan dari keadaan
yang bersifat normal (state of exception). Kim
Lane Scheppele sebagaimana dikutip Jimly
menyatakan bahwa state of exception ialah:
The situation in which is confronted by
mortal threat and responds by doing things
that would never be justifiable in normal
times, given the working principles the state.
The state of exception uses justifications
that only work in extremis, when the state
is facing a challege so severe that it must
violate its own principles to save it self.
(Asshiddiqie, 2010: 58-59).
Oleh karena itu, pembentukan Perppu yang
dilakukan Presiden sesungguhnya dilakukan
untuk kepentingan menanggulangi keadaan
genting (tindakan kepemerintahan) sehingga
memaksa Presiden untuk membuat peraturan
pemerintah namun materi muatannya adalah
undang-undang yang mekanisme pengawasannya
dan pengujiannya menurut UUD NRI Tahun
1945 berada di tangan DPR. Buruk atau salahnya
suatu Perppu bukan berarti ada niat dari Presiden

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

untuk melakukan kesalahan dalam legislasi,


namun karena konstitusi menentukan demikian.
Apabila melihat kondisi kekinian setelah MK
mampu menyatakan keberwenangannya untuk
menguji Perppu maka Presiden berada di dalam
kondisi yang abu-abu apabila ingin mengeluarkan
Perppu. Hal ini dikarenakan apabila Presiden
melanggar tafsiran MK mengenai kegentingan
memaksa maka Presiden secara tidak langsung
telah melanggar konstitusi dan mengabaikan
eksistensi MK itu sendiri karena konstitusi
menyatakan bahwa sifat putusan MK adalah final
dan mengikat.
Namun perlu dicermati concurring opinion
oleh salah satu hakim yang juga Ketua MK
yakni Mahfud MD. Ia sesungguhnya setuju
bahwa MK tidaklah mempunyai kewenangan
untuk menguji Perppu, namun dikarenakan
menurutnya konstitusi bukanlah suatu produk
hukum yang mati, melainkan sebagai suatu the
living constitusion, maka ia mempertimbangkan
beberapa hal sebelum menyatakan kesetujuannya
bahwa MK dapat menguji Perppu dalam Putusan
MK No.138/PUU/2009, yakni
1.

Akhir-akhir ini timbul perdebatan,


apakah penilaian untuk memberi
persetujuan atau tidak atas Perpu
oleh DPR dilakukan pada masa
sidang berikutnya persis pada masa
sidang setelah Perppu itu dikeluarkan
ataukah pada masa sidang berikutnya
dalam arti kapan saja DPR sempat
sehingga pembahasannya dapat
diulur-ulur. Dalam kenyataannya
Perppu yang dimohonkan pengujian
dalam perkara a quo baru dibahas
oleh DPR setelah melampaui masa
sidang pertama sejak Perppu ini
dikeluarkan. Seperti diketahui Perppu

a quo diundangkan pada tanggal 22


September 2009, sedangkan masa
sidang DPR berikutnya (DPR baru,
hasil Pemilu 2009) adalah tanggal
1 Oktober sampai dengan tanggal
4 Desember 2009, tetapi Perppu a
quo tidak dibahas pada masa sidang
pertama tersebut. Kalau Perppu
tidak dapat diuji oleh Mahkamah
maka sangat mungkin suatu saat ada
Perppu yang dikeluarkan tetapi DPR
tidak membahasnya dengan cepat
dan mengulur-ulur waktu dengan
berbagai alasan, padahal Perppu
tersebut mengandung hal-hal yang
bertentangan dengan konstitusi.
Oleh sebab itu menjadi beralasan,
demi konstitusi, Perpu harus dapat
diuji konstitusionalitasnya oleh
Mahkamah Konstitusi agar segera
ada kepastian dapat atau tidak dapat
terus berlakunya sebuah Perppu;
2.

Timbul juga polemik tentang adanya


Perppu yang dipersoalkan keabsahan
hukumnya karena tidak nyatanyata disetujui dan tidak nyatanyata ditolak oleh DPR. Dalam
kasus ini DPR hanya meminta agar
Pemerintah segera mengajukan
RUU baru sebagai pengganti Perpu.
Masalah mendasar dalam kasus
ini adalah bagaimana kedudukan
hukum sebuah Perppu yang tidak
disetujui tetapi tidak ditolak secara
nyata tersebut. Secara gramatik, jika
memperhatikan bunyi Pasal 22 UUD
1945, sebuah Perppu yang tidak
secara tegas mendapat persetujuan
dari DPR mestinya tidak dapat

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

|9

dijadikan Undang-Undang atau tidak


dapat diteruskan pemberlakuannya
sebagai Perppu, tetapi secara politis
ada fakta yang berkembang sekarang
ini bahwa kesemestian tersebut
masih dipersoalkan, sehingga sebuah
Perppu yang tidak disetujui oleh DPR
(meski tidak ditolak secara nyata)
masih terus diberlakukan sampai
dipersoalkan keabsahan hukumnya
karena dikaitkan dengan satu kasus.
Dalam keadaan ini menjadi wajar
jika Mahkamah diberi kewenangan
untuk melakukan pengujian terhadap
Perppu;

10 |

3.

Terkait dengan tidak disetujuinya


sebuah Perppu oleh DPR ada juga
pertanyaan, sampai berapa lama atau
kapan sebuah Perppu yang tidak
mendapat persetujuan DPR harus
diganti dengan Undang-Undang
Pencabutan atau Undang-Undang
Pengganti. Karena tidak ada kejelasan
batas atau titik waktu maka dalam
pengalaman sekarang ini ada Perppu
yang tidak mendapat persetujuan
DPR;

4.

Dapat terjadi suatu saat Perppu


dibuat secara sepihak oleh Presiden
tetapi secara politik DPR tidak dapat
bersidang untuk membahasnya karena
situasi tertentu, baik karena keadaan
yang sedang tidak normal maupun
karena sengaja dihambat dengan
kekuatan politik tertentu agar DPR
tidak dapat bersidang. Bahkan dapat
juga dalam keadaan seperti itu ada
Perppu yang melumpuhkan lembagalembaga negara tertentu secara

sepihak dengan alasan kegentingan


yang memaksa sehingga ada Perppu
yang terus dipaksakan berlakunya
sementara persidangan-persidangan
DPR tidak dapat diselenggarakan.
Dengan memerhatikan kemungkinan
itu menjadi wajar apabila Mahkamah
diberi kewenangan untuk melakukan
pengujian atas Perpu.
Penulis menilai pendapat tersebut didasari
oleh karena ketakutan konstitusional apabila
keadaan yang semacam itu terjadi. Sehingga
MK memutuskan tidak berdasarkan UUD
yang sebenar-benarnya namun berdasarkan
asumsi mengenai sesuatu hal yang ideal bukan
berdasarkan apa yang telah ditentukan secara rigid
oleh UUD. Pemikiran yang demikian, seharusnya
berada di dalam kepala seorang politisi yang
sedang menyusun perubahan UUD. Dengan
keputusan yang demikian ini, maka dampak
yang dapat ditimbulkan adalah adanya potensi
sengketa kewenangan konstitusional lembaga
yang justru akan melibatkan MK sendiri, dan ini
secara logika hukum dapat terjadi dan tidak dapat
dihindari.( Asshiddiqie, konpres, 2006, hal.4).
Argumentasi ini disusun dengan konstruksi bahwa
mekanisme munculnya suatu Perppu akan diawali
oleh adanya pandangan subjektif Presiden sendiri
sebagai kepala negara serta pemegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut,
dan Angkatan Udara dalam melihat sesuatu
yang dikategorikan hal ikhwal kegentingan
memaksa, Pasal 10 UUD 1945.
Pandangan subyektif lahir dikarenakan
Presiden merupakan pemegang kekuasaan
pemerintahan negara, sehingga yang lebih
mengetahui keadaan suatu negara ialah si
pemegang kekuasaan untuk memerintah negara
tersebut dalam hal ini Presiden. Sehingga untuk
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

menanggulangi keadaan genting yang memaksa


tersebut Presiden diberi kekuasaan sepihak oleh
konstitusi untuk membuat undang-undang tanpa
melalui proses yang ditetapkan pada Pasal 20
UUD NRI 1945 agar tindak tanduk Presiden
dalam menanggulangi keadaan memaksa tersebut
tidak hanya berdasarkan kekuasaan namun
berdasarkan hukum.

bahwa ada beberapa alasan substantif yang


biasa dipakai dalam membatalkan produk
hukum pada pengujian konstitusional, antara
lain: (i) the ultra vire rule (excess of power),
(ii) abuse of discretional powers, yaitu berupa:
(ii.a) irrelevant consederations, (ii.b) improper
purposes, (ii.c) error of law, (ii.d) unauthorised
delegation, (ii.e) discretion may not fettered, (ii.f)
breach of a local authoritys financial duties,
(ii.g) unreasonableness (irrationality), (ii.h)
proportionality, (iii) failure to perform statutory
duty, (iv) the concept of juricdiction, (v) mistake
of fact, (vi) acting incompatibly with convention
rights (Asshiddiqie, 2006: 150).

Setelah keluarnya Perppu, DPR diberikan


amanah oleh konstitusi untuk melakukan
legislative/political review terhadap Perppu yang
dikeluarkan Presiden tersebut pada persidangan
DPR yang berikutnya. Pada tahapan inilah
norma subyektif yang diterbitkan dalam rangka
menanggulangi keadaan genting yang memaksa
Maka
yang
menjadi
pertanyaan,
diuji konstitusionalitasannya. Masalah akan Bagaimanakah nasib kewajiban yang dimiliki
timbul ketika MK berwenang menguji Perppu DPR untuk menguji Perppu pada persidangan
yang belum disidangkan dan direview oleh DPR. berikutnya apabila Perppu tersebut sudah diuji
MK? Hal ini yang akan menjadi masalah.
Apabila MK menguji Perppu maka muncul
Sesungguhnya sifat putusan MK adalah final dan
konsekuensi logis yakni akan dapat dibatalkannya
mengikat jadi seharusnya apa yang diputus oleh
Perppu tersebut, khususnya apabila (i) bertentangan
MK maka mengikat kesemua pihak termasuk ke
dengan konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), dan/
DPR itu sendiri namun disisi lain putusan MK
atau (ii) terbukti mengancam dan/atau merugikan
yang final dan mengikat itu dapat pula membawa
nilai-nilai hak asasi manusia khususnya yang
akibat hukum dalam makna negatif sebagaimana
diberikan oleh konstitusi (hak konstitusional),
dijelaskan oleh Malik bahwa akibat hukum
sehingga apabila sesaat berlakunya Perppu
dalam makna negatif putusan MK yang final dan
ada paling tidak seorang warga negara yang
mengikat, antara lain: (Malik, 2009: 92-95)
dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya
Perppu tersebut, maka warga negara tersebut
1. Membatalkan sebuah keputusan
memiliki legal standing untuk mengujinya di
politik dan atau sebuah undangMK. Selain itu, ada pula kemungkinan Perppu
undang hasil politik.
tersebut dinyatakan null and avoid apabila jelas
2. Terguncang rasa keadilan pihak-pihak
dan terbukti bertentangan dengan konstitusi dan
yang tidak puas terhadap putusanmengancam serta merugikan nilai-nilai hak asasi
putusan Mahkamah Konstitusi yang
manusia khususnya yang diberikan oleh konstitusi
final dan mengikat.
(hak konstitusional).
3. Dalam perspektif ke depan dapat
Keadaan ini juga didukung oleh A.W
Bradley dan K.D. Ewing yang menguraikan

membawa pembusukan hukum dari


dalam hukum itu sendiri.

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

| 11

Dengan adanya akibat hukum dalam makna


yang negatif tersebut, maka ada kemungkinan
pula bahwa DPR bisa tidak merasa terikat oleh
putusan MK apabila MK menyatakan telah
membatalkan suatu Perppu yang telah diujinya.
Hal yang kemungkinan akan timbul yakni (i)
DPR tetap akan membahas Perppu tersebut pada
sidang berikutnya dan (ii) DPR mempunyai legal
standing untuk menggugat MK pada sengketa
kewenangan konstitusional lembaga negara di
MK sendiri.

diuraikan sebelumnya bahwa terbentuknya


Perppu
dikarenakan
adanya
pandangan
subyektif Presiden selaku kepala negara serta
pimpinan tertinggi angkatan darat, angkatan
laut, dan angkatan udara dalam menanggulangi
kegentingan yang memaksa. Sehingga untuk
bertindak cepat, Presiden mengeluarkan Perppu
untuk melakukan tindakan yang didasarkan oleh
hukum bukan oleh karena kekuasaan belaka.
Pada hakikatnya kekuasaan membentuk
norma subyektif ini diberikan konstitusi kepada
Presiden adalah dikarenakan Presiden dianggap
satu-satunya lembaga negara yang mampu
cepat mengatasi kegentingan memaksa daripada
main state organ lainnya. Jadi apabila disaat
dikeluarkannya Perppu oleh Presiden kemudian
MK mengujinya dan membatalkannya sebelum
diuji oleh DPR, maka ada potensi Presiden tidak
mematuhi putusan MK tersebut dikarenakan
Presiden dapat masih beranggapan bahwa
kegentingan masih berlangsung dan masih
membutuhkan Perppu tersebut.

Pada kemungkinan yang pertama akan


menjadi masalah apabila pembahasan di DPR
menghasilkan kesimpulan yang bertentangan
dengan apa yang diputuskan MK. Hal ini akan
mengakibatkan merosotnya kewibawaan MK.
dan yang kedua, masalah tampak jelas bahwa
dengan telah diujinya Perppu oleh MK sebelum
adanya persetujuan DPR, maka DPR dapat
berpandangan bahwa kewenangannya (dan
kewajibanya) yang diamanahkan konstitusi di
ambil alih oleh lembaga lain dalam hal ini MK.
Sehingga akan terjadi perseteruan antara DPR dan
Adanya unsur noodrecht dalam hukum
MK, sedangkan MK sendiri lah yang merupakan
menyebabkan hukum itu sendiri jutru
lembaga pemutus sengketa kewenangan
menghalalkan segala perbuatan yang tidak
konstitusional lembaga negara.
berdasar atas hukum atau onrecht. Di dalam
Apabila keadaan sebagaimana yang hukum pidana unsur keadaan terpaksa atau
diuraikan di atas terjadi maka akan menjadi overmacht dan keadaan pembelaan diri secara
dilematis. Disatu sisi MK menguji Perppu terpaksa dalam hukum pidana menjadi dasar
dikarenakan diberikan amanah oleh konstitusi untuk adanya penghalalan serta pembenaran.
untuk mengawal nilai-nilai konstitusi, demokrasi, Keadaan overmacht atau terpaksa, dalam bidang
dan hak asasi manusia di lain pihak DPR juga hukum perdata juga dikenal, yakni ketika suatu
mempunyai alasan konstitusional (constitutional keadaan terpaksa yang menyebabkan seseorang
reason) bahwa DPR berwenang untuk menguji tidak wajib melakukan perbuatan yang wajib
Perppu tersebut.
dilakukan dalam keadaan yang normal. Kapal
laut yang membuang sebagian muatannya di
Pengujian Perppu yang dilakukan oleh MK
tengah laut karena keharusan mengutamakan
dapat pula berpotensi mengakibatkan konflik
keselamatan penumpang (zeeworp), dalam hukum
kelembagaan dengan Presiden. Sebagaimana
dagang juga dapat dibenarkan karena alasan
12 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

keterpaksaan. Ketentuan sejenis juga tercantum


Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945 pun telah
didalam Al-Quran surrah Al-Baqarah ayat 173 menentukan bahwa terdapat 7 (tujuh) jenis hak
yang menyatakan:
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun, yaitu (i) hak untuk hidup, (ii) hak
untuk tidak disiksa, (iii) hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, (iv) hak beragama, (v) hak untuk
tidak diperbudak, (vi) hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, (vii) hak untuk tidak
SesungguhnyaAllah hanya mengharamkan dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa
dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan
tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Meskipun terdapat keadaan genting dan


mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu,
konstitusi sendiri telah memberikan batasan
secara tegas bahwa hak asasi tersebut tidak dapat
dilanggar sehingga terdapat unsur obyektif yang
ditentukan pada pasal 28I UUD NRI Tahun 1945
dan harus dipatuhi dalam penerbitan Perppu yang
sarat dengan unsur subyektif. Sehingga walaupun
MK mempunyai putusan yang final dan mengikat
dalam melakukan pengujian konstitusionalitasan
Perppu maka dengan adanya potensi sengketa
kewenangan konstitusional antar lembaga negara
yang ditimbulkan justru akan dapat menjadikan
adanya kekacauan konstitusi karena akan selalu
ada kemungkinan untuk DPR dan Presiden tidak
mematuhi putusan MK dan/atau menggugat
MK karena adanya
sengketa kewenangan
konstitusional antar lembaga negara tersebut.

Berlakunya suatu keadaan bahaya atau


keadaan darurat dalam hukum tata negara
menyebabkan perbuatan yang bersifat melawan
hukum (onrecht) dapat dibenarkan untuk
dilakukan karena adanya kebutuhan yang
mengharuskan yang sulit tercapai apabila
menggunakan norma objektif. Jazim Hamidi
dan Mustafa Lutfi menyatakan bahwa meskipun
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam bidang
hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang,
dan Al-Quran menunjuk kepada kepentingan
Pengujian Perppu oleh MK justru mampu
individu yang diperkenankan menyimpang jika
merubah original intent yang terdapat di dalam
terdapat keadaan darurat yang membahayakan,
konstitusi sendiri yang bisa berakibat apa yang
hal tersebut juga berlaku bagi negara.
dicantumkan oleh konstitusi menjadi tidak
Oleh karena itu, Jazim Hamidi dan Mustafa bermakna (Saldi Isra, 2010: 62). Sesungguhnya
Lutfi menyimpulkan bahwa manakala timbul hal tersebut sudahlah diingatkan oleh Muhammad
keadaan darurat yang membahayakan, negara Alim yang pada saat itu mengajukan dissenting
harus tegas bertindak dan bahkan, apabila perlu opinion (pendapat berbeda)
dengan cara kekerasan yang melanggar hak asasi
manusia sekalipun (Hamidi dan Lutfi, 2009: 4142)

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan,


Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut UUD. Kewenangan

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

| 13

yang diberikan oleh yang berdaulat,


harus dilaksanakan sesuai dengan UUD,
tidak boleh menyimpang dari UUD 1945.
Kewenangan
Mahkamah
Konstitusi
yang tertera dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD 1945 yang hanya sebatas menguji
Undang-Undang terhadap UUD, apabila
ditambah dengan menguji Perppu, menurut
saya dilaksanakan tidak menurut UUD,
melainkan dilaksanakan menyimpang
dari UUD. (Muhammad Alim, Disenting
Opinion, Putusan Mahkamah Konstitusi
No.138/PUU-VII/2009, 31)
IV. SIMPULAN
Pada saat sekarang ini perkembangan
ketatanegaraan Indonesia menjadi dinamis pasca
kehadiran MK. Jimly Asshiddiqie merumuskan
bahwa dengan kewenangan-kewenangan yang
dimilikinya MK mempunyai 6 (enam) fungsi
penting, yakni sebagai (i) pengawal konstitusi,
(ii) pengendali dan penyeimbang demokrasi
mayoritarian, (iii) penengah dalam hubungan
antar lembaga atau antar cabang kekuasaan
negara (constitutional arbitrase between and
among state organs), (iv) pelindung hak-hak
konstitusional warga negara (protector of the
citizens constitutional rights), (v) pelindung hak
asasi manusia (protector of human rights), dan (vi)
penafsir akhir atau final atas norma konstitusi (the
final interpreter of the constitution).(Asshidiqie,
Creating A Constitutional in A New Democracy,
tanpa tahun)

Perppu terhadap UUD. Namun, terobosan MK


kali ini justru merubah nilai tekstual dari UUD
NRI Tahun 1945 yang berpotensi terjadinya
kekacauan konstitusional khususnya munculnya
potensi sengketa kewenangan yang ditimbulkan
akibat adanya pengujian Perppu oleh MK.
Potensi sengketa yang kemudian terjadi
adalah sengketa kewenangan menguji Perppu
dengan DPR dan potensi diabaikannya putusan
MK oleh Presiden atas pengujian Perppu yang
diterbitkan Presiden. Sesungguhnya gagasan
untuk menguji konstitusionalitasan Perppu
merupakan gagasan yang baik dikarenakan
Indonesia sendiri telah memiliki MK sebagai
pengawal konstitusi.
Namun, pengaturan bahwa MK dapat
menguji Perppu harus secara tegas diatur di
dalam UUD itu sendiri sehingga MK tidak
melakukan penafsiran yang menurut UUD.
Penafsiran secara progresif dan bebas merupakan
sesuatu yang baik dikarenakan hakim melihat
kesegala arah untuk mencapai titik keadilan dan
kemaslahatan itu sendiri. Namun, penafsiran
yang tidak menurut UUD justru dapat berakibat
mengacaukan nilai UUD itu sendiri.

Sehingga untuk mengakomodir adanya


peran dari kekuasaan judicial dalam mengawas
norma-norma yang dikeluarkan legislator dalam
keadaan genting (Presiden), MPR perlu meninjau
ulang mengenai prosedur dan subjek yang dapat
me-review Perppu kedepannya. Hal itu menjadi
perlu diagendakan untuk dibahas apabila adanya
perubahan UUD kelima nantinya mengingat
Salah satu terobosan yang dilakukan MK
dalam keadaan normal ataupun darurat, MK akan
dalam menjaga supremasi konstitusi adalah
mengawal konstitusi demi menjaga hak asasi
menyatakan keberwenangan MK dalam menguji
manusia dan menyeimbangkan demokrasi.

14 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran:
Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen
Agama, 1986.
Buku:
Andrews, William G. 1968. Constitutions and
Constitutionalism. New Jersey: Van
Nostrand Company.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian
Undang-Undang. Jakarta: Konpress.
-----------------------.
2006.
Model-Model
Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara. Jakarta: Konpress.
-----------------------. 2006. Perihal UndangUndang. Jakarta: Konpress.
-----------------------. 2006. Sengketa Kewenangan
Konstitusional Lembaga Negara. Jakarta:
Konpress.
-----------------------. 2010. Hukum Tata Negara
Darurat. Jakarta: Rajawali Pers.
Fadjar, Abdul Mukhtie. 2006. Hukum Konstitusi
dan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:
Konpress dan Citra Media.
Harun, Refly, et al (editor). 2004. Setahun
Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan
dan Penyelenggaraan, serta Setangkup
Harapan, dalam Refleksi Satu Tahun
Mahkamah Konstitusi: Menjaga Denyut
Konstitusi. Jakarta; Konpress.

Perundang-undangan
di
Mahkamah
Konstitusi (Dari Berpikir Hukum Tekstual
Ke Hukum Progresif). Jakarta: Mahkamah
Konstitusi bekerjasama dengan Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas
Andalas.
Kelsen, Hans. 2007. Teori Umum Hukum dan
Negara. Judul Asli: General Theory of Law
and State. Alih Bahasa Somardi. Jakarta:
Bee Media.
Lijphart, Arend. 1999. Patterns of Democracy:
Government Forms and Performance in
Thirty-Six Countries. New Heaven and
London: Yale University Press.
Mahfud. MD, Moh. 2009. Konstitusi dan Hukum
dalam Kontrovesi dan Isu. Jakarta: Rajawali
Pers.
Manan, Bagir. 1999. Lembaga Kepresidenan.
Yogyakarta: PSH-FH UII dan Gama
Media.
Palguna, I Dewa Gede. 2008. Mahkamah
Konstitusi, Judicial Review, dan Welfare
State: Kumpulan Pemikiran I Dewa Gede
Palguna. Jakarta: Konpress.
Schwartz, Herman. 2000. The Struggle for
Constitutional Justice In Post-Communist
Europe. Chicago: The University of
Chicago Press.
Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum, Suatu
Tawaran Pemikiran. Bandung: Refika
Adhitama.

Stone, Alec. 1992. The Birth of Judicial Politics


in France: The Constitutional Council
in Comparative Perspective. New YorkOxford: Oxford University Press.
Isra, Saldi, et al. 2010. Perkembangan Pengujian

Huda, Nimatul. 2003. Politik Ketatanegaraan


Indonesia. Yogyakarta: FH UII Press.

Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan Konstitusional (Ibnu Sina Chandranegara)

| 15

Thompson, Brian. 1997. Textbook On


Constitutional Law And Administrative
Law. London: Blackstone Press ltd.
Makalah dan Artikel Internet:
Jimly Asshiddiqie. Creating A Constitutional
Court In A New Democracy, bahan ceramah
di Australia.
Moh. Mahfud MD. The Role of Constitutional
Court in The Development Democracy in
Indonesia, bahan presentasi pada World
Conference on Constitutional Justice.
Cape Town, Afrika Selatan, 23- 24 January,
2009.
Reza Fikri Febriansyah. Eksistensi dan Prospek
Pengaturan Perppu Dalam Sistem Norma
Hukum Negara Republik Indonesia, http://
djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/75eksistensi-dan-prospek-pengaturanperppu-dalam-sistem-norma-hukumnegara-republik-indonesia.html, diakses
tanggal 30 Januari 2011.

16 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 1-16

KEADILAN EKOLOGIS DALAM GUGATAN CLASS ACTION


TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR LEUWIGAJAH
Kajian Putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg
Mella Ismelina Farma Rahayu, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Jl. Tamansari No.1 Bandung 40116
Email: mellaismelina@yahoo.com

THE Ecological Justice in Class Action Lawsuit of


Leuwigajah Final Disposal Landfill
An Analysis of Decision Number 145/PDT.G/2005.PN.BDG
Mella Ismelina Farma Rahayu, Faculty of law of University of Islam Bandung
Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan
Email: himynameisnou@rocketmail.com
Abstract

ABSTRAK
tempat

In a class action lawsuit on the case of Leuwigajah

pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah, majelis hakim

Final Disposal Landfill, the panel of judges has passed

memutuskan berlandaskan pada akta perjanjian yang

a decision in favor of the residents based on a deed

dibuat oleh para penggugat dan tergugat. Berdasarkan

of agreement made by the plaintiffs and defendants.

aspek sosial, putusan tersebut dirasakan adil karena

According to the contract, the plantiffs as the class

memenuhi tuntutan ganti kerugian yang dituntutkan

members are entitled to get compensation. In the

oleh para penggugat. Namun dari sisi ekologi kasus

social point of view, the court ruling is considered fair

longsor TPA ini

menyisakan persoalan tersendiri

enough. But in term of ecology, the decision leaves

karena terjadi ketidakadilan ekologis. Majelis hakim

its own problems, i.e. the ecological injustice, since

sama sekali tidak mempertimbangkan nilai ekologis

the judges never weighed up the ecological values of

yang dimiliki oleh alam dan lingkungan sebagai hal

nature and environment as their main concerns. In

yang perlu dipertimbangkan dalam kasus ini dan

the perspective of ecology, every single creature in

tidak memerintahkan para tergugat untuk menangani

the universe has the right to exist. In many cases like

TPA tersebut sesuai dengan nilai-nilai ekologis. Pada

the Leuwigajah incident, both human beings and their

hakekatnya, semua makhluk hidup yang ada di alam

environmental should be correspondingly taken into

semesta memiliki nilai sehingga harus diperlakukan

account. The decision is supposed to emphasize the

sama walaupun dengan pembobotan perlakuan yang

involvement, responsibility, and obligation of human

berbeda-beda. Alam semesta dan kehidupannya masuk

beings as the moral actors in such cases.

Dalam

perkara

gugatan

class

action

dalam pertimbangan dan kepedulian moral manusia


sehingga keberadaannya tidak selalu dikorbankan

Keywords: class action lawsuit, ecological justice

hanya untuk kepentingan manusia saja. Untuk itu perlu


adanya kepedulian, tanggung jawab dan kewajiban
moral dari manusia sebagai pelaku moral.
Kata kunci: class action, keadilan ekologis

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 17

I.

PENDAHULUAN

menyebabkan kerugian materiil dan immateriil.


Perkiraan kerugian untuk materiil mencapai
Tulisan ini akan menguraikan dan
Rp18,6 miliar dan Rp. 40 triliun kerugian
menganalisis aspek keadilan terkait keadilan
immateriil.
ekologis dalam putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/
PN.Bdg terkait perkara di Pengadilan Negeri
Sebelum terjadinya peristiwa longsor TPA
Bandung tentang class action Tempat Pembuangan Leuwigajah tanggal 21 Februari 2005, TPA
Akhir (TPA) Leuwigajah (http://news.detik.com/ Leuwigajah pernah mengalami longsor pada
read/2006/02/23/180323/546137/10/korban- tahun 1992 dengan kondisi tujuh rumah tertimbun
longsor-tpa-leuwigajah-hanya-diganti-rugi- sampah namun pada saat itu penanganannya tidak
jutaan-rupiah?nd9922036, 18 Februari 2012, maksimal dan dibiarkan bertahun-tahun. Ketika
12.00 wib).
terjadi longsor pada tahun 1992 tidak ada upaya
Gugatan tersebut diajukan pada tanggal
28 April 2005. Pihak penggugat adalah warga
korban longsor TPA Leuwigajah sedangkan
tergugat adalah Gubernur Jawa Barat, Walikota
Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan
Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung.
Tiga lokasi yang diajukan penggugat (warga),
yaitu TPA yang berada di Kp. Cireundeu RT 05/
RW 10 Kel. Leuwigajah, Cimahi Selatan, TPA
Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur,
Kec. Batujajar, dan TPA Leuwigajah, yang kini
dijadikan kuburan massal. Besaran nilai gugatan
untuk kerugian materiil mencapai Rp18,6 miliar
dan Rp40 triliun untuk kerugian immateriil.
Karenanya, jumlah ganti rugi yang diminta
sebesar Rp41 triliun. Jumlah itu harus dibayar
secara tunai, sekaligus, dan seketika saat putusan
dibacakan. Seandainya terlambat, pihak tergugat
harus membayar uang paksa (dwangsom) sekira
Rp1. 000.000,- per hari.

membangun benteng pengaman longsor dan pada


saat itu diprediksikan pembuangan sampah dengan
sistem open dumping di TPA Leuwigajah sudah
cukup mengkhawatirkan namun PD Kebersihan
tidak serius dalam menangani permasalahan ini
sehingga terjadilah kembali longsor pada tanggal
21 Februari 2005 tersebut sekitar pukul 02.30
WIB.
Sebelum terjadi longsor, ketinggian sampah
hampir 100 meter, sedangkan jarak antara TPA
dengan pemukiman penduduk hanya 1,5 kilometer
sehingga pada saat sampah bergeser karena hujan,
langsung menimbun rumah-rumah di Kampung
Cilimus dan Pojok. Longsoran sampah tingginya
lebih dari 50-60 meter lebar sekitar 600 meter.

Kondisi ketiga lokasi yang diajukan


penggugat (warga), yaitu TPA yang berada di
Kp. Cireundeu RT 05/RW 10 Kel. Leuwigajah,
Cimahi Selatan kondisi lapangan tampak tidak
ada tembok pembatas sampah, buffer zone serta
Sampah TPA Leuwigajah longsor pada dini pengelolaan sampah dan air di lokasi itu, TPA
hari tanggal 21 Februari 2005 dengan memakan Kp. Cilimus RT 02/RW 09 Kel. Batu Jajar Timur,
korban jiwa mencapai kurang lebih 147 orang. Kec. Batujajar dari lokasi ini banyak barang
Luas sawah dan pemukiman yang tertimbun bukti yang tidak bisa dibawa ke persidangan, dan
diduga lebih dari 18 ha dan ratusan warga TPA Leuwigajah, yang kini dijadikan kuburan
Kec. Batujajar kehilangan harta benda serta massal telah tertimbun sampah. Secara umum
mata pencahariannya. Longsor tersebut telah kondisi di lapangan adalah tidak adanya dinding

18 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

pembatas TPA, buffer zone (lapis penahan


kedua) sehingga memungkinkan sampah akan
mudah bergeser dan menimpa rumah penduduk,
tidak ada sistem drainase dan sanitasi air serta
pengelolaan sampah yang memadai. Pengelolaan
sampah yang dilakukan adalah kumpul, angkut
dan buang. Sampah yang datang hanya didorong,
yang kemudian ditumpuk lagi dengan sampah
yang baru datang. Pengelolaan sampah melalui
sistem sanitary landfield (sistem penumpukan
sampah yang diselingi tanah) hanya dilakukan
dalam jangka waktu pendek yaitu satu tahun
saja selanjutnya sistem pembuangan sampah
itu hanya dengan open dumping (timbunan
sampah tanpa diselingi tanah). Hal tersebut yang
memudahkan sampah bergeser, dan ini bukti
yang mengakibatkan terjadinya longsor yang
sangat besar.
Putusan dari kasus ini adalah Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung
menghukum para tergugat untuk tunduk dan
mentaati persetujuan yang telah disepakati.
Putusan tersebut disampaikan dalam sidang
perkara class action, yang diajukan para
korban longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi.
Majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut
mengambil putusan dengan mempertimbangkan
akta perdamaian yang disepakati para pihak yang
berperkara dan ditandatangani 8 Februari 2006.
Para tergugat terdiri dari Gubernur Jawa
Barat, Walikota Bandung, Bupati Bandung,
Walikota Cimahi, dan Perusahaan Daerah
Kebersihan Kota Bandung, masing-masing
sebagai tergugat I, II, III, IV, dan V bersepakat
dengan penggugat Tdy, S.H. dkk. yang bertindak
untuk dan atas nama MM dkk. sebagai penggugat
untuk membuat akta perdamaian dalam rangka
penyelesaian perkara perdata No. 145/Pdt.G/
2005/PN.Bdg. dengan jalan damai. Kedua pihak

yang berperkara sepakat untuk mengakhiri


perkara perdata yang sedang diproses oleh PN
Kelas IA Bandung dengan beberapa ketentuan
dan syarat, di antaranya tergugat mengupayakan
pemberian santunan berupa uang yang besarnya
disepakati pihak pertama dan pihak kedua setelah
tersedianya anggaran yang mendapat persetujuan
DPRD Prov. Jabar, DPRD Kota Bandung, DPRD
Kab. Bandung, dan DPRD Kota Cimahi kepada
ahli waris korban, korban, dan pemilik tanah
bangunan yang terkena bencana longsor TPA
Leuwigajah.
Dalam persidangan tersebut majelis hakim
memutuskan kepada 4 pemimpin pemerintah
daerah dan PD Kebersihan Kota Bandung untuk
mengganti rugi sebesar Rp. 30.000.000,- tiap
korban jiwa, Rp. 50.000,- tiap meter untuk tanah
dan ladang, Rp. 1.100.000,- untuk bangunan dan
Rp. 20.000.000,- untuk mengganti harta benda
yang terkubur (akan ditanggung oleh Pemkot
Bandung, Pemkot Cimahi, Pemkab Bandung,
dan Pemprov Jawa Barat sendiri). Perhitungan
jumlah sebesar itu berdasarkan jumlah sampah
yang dibuang ke TPA Leuwigajah. Pemprov Jabar
akan membayar Rp16 miliar, Pemkot Bandung
(Rp29 miliar), Kota Cimahi (Rp3 miliar), dan
Pemkab Bandung (Rp. 6.000.000.000 ,-.) ganti
rugi Rp 1.100.000,-/meter. Sedangkan untuk
rumah semipermanen akan diganti Rp. 700.000,-/
meter dan rumah panggung Rp. 400.000,-/
meter. Sedangkan untuk lahan tanah atau sawah,
pihaknya akan memberikan ganti rugi dengan
harga berdasarkan kepada nilai jual objek pajak
(NJOP) di daerah itu.
Majelis hakim menilai 4 pemimpin
pemerintah daerah, yakni Gubernur Jawa Barat,
Walikota Bandung, Bupati Bandung, Walikota
Cimahi, dan Perusahaan Daerah Kebersihan Kota
Bandung terbukti telah melawan hukum dengan

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 19

mengabaikan pengelolaan TPA Leuwigajah dalam


bidang keamanan bagi masyarakat sekitar serta
terbukti bahwa TPA Leuwigajah tersebut tidak
disertai dengan adanya tanggul pengamanan.

hukum serta environmental leadership yang perlu


ada dalam jiwa seorang hakim dan pejabat publik
dalam konteks perwujudan dan pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan yang ujungnya
menimbulkan kesejahteraan bagi masyarakat
dan lingkungan itu sendiri. Hal tersebut menjadi
menarik untuk dikaji mengingat orientasi putusan
yang diambil oleh hakim lebih cenderung hanya
memperhatikan aspek sosial saja sedangkan
aspek ekologis yang juga mempunyai peran yang
penting bagi kehidupan manusia luput dari kajian
dalam putusan tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
permasalahan diidentifikasikan sebagai berikut:

Persetujuan
tertuang
dalam
akta
perdamaian yang dibuat berdasarkan proses
mediasi yang dijalani sejak September 2005
dan akta perdamaian disepakati pada tanggal 8
Februari 2006. Akta perdamaian yang dihasilkan
dari mediasi itu merupakan upaya untuk
mengakhiri perkara perdata yang sedang diproses
oleh PN Bandung. Sementara para tergugat,
masing-masing Gubernur Jawa Barat, Walikota
Bandung, Bupati Bandung, Walikota Cimahi, dan 1.
Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung,
juga menyetujui untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 730.000,-.
Hakim menjelaskan, putusan atas class
action yang diajukan oleh korban longsor
sampah setahun silam, berisi tentang pemberian
uang santunan terhadap warga yang terkena
longsor, baik ahli waris korban maupun pemilik
tanah dan bangunan yang tertimpa longsor.
Dalam perdamaian itu kedua pihak menyetujui
agar gugatan class action yang dilakukan warga
terhadap empat pemerintah daerah dicabut.
Penandatanganan akta perdamaian dari masyarakat
TPA Leuwigajah diwakili tim pengacara Tdy,
sedangkan dari pemerintah ditandatangani Wakil
Gubernur NAH, Wakil Bupati Bandung YS,
Sekda Kota Bandung MS, Walikota Cimahi IT,
dan Dirut PD Kebersihan Kota Bandung AG.
II.

RUMUSAN MASALAH

Permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan


ini lebih menitikberatkan pada aspek keadilan
ekologis, komunikasi hukum dan budaya hukum
yang terjalin dalam interaksi hakim dengan
20 |

Sejauhmanakah aspek keadilan ekologis


menjadi pertimbangan majelis hakim
dalam menangani perkara gugatan class
action tempat pembuangan akhir (TPA)
Leuwigajah?

2.

Bagaimanakah
komunikasi
hukum
pada proses penanganan gugatan class
action tempat pembuangan akhir (TPA)
Leuwigajah yang dibangun oleh majelis
hakim dalam konteks kontruksi budaya
hukum?

3.

Bagaimanakah persoalan environmental


leadership dalam kajian putusan perkara
gugatan class action tempat pembuangan
akhir (TPA) Leuwigajah?

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS


Menimbang Keadilan Ekologis
Akhir-akhir ini berkembang dan mulai
banyak muncul gerakan atau kelompok yang
memandang dan memperlakukan alam semesta
ini secara keseluruhan dan bukan parsial. Selama
tiga puluh tahun terakhir, krisis lingkungan
mendorong berlangsungnya proses penghijauan

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

pemikiran religius ketika para pemikir religius


dari berbagai tradisi mulai memberikan tanggapan
secara bermakna pada semakin besarnya
kesadaran tentang makhluk yang begitu rapuh,
mudah rusak, dan saling bergantung (Chapman.
Et.al., 2007: 153).
Meskipun banyak tradisi religius memiliki
cukup banyak sumber, namun belum banyak
yang telah mengembangkan sepenuhnya etika
lingkungan yang sistematis yang relevan dengan
masalah-masalah kontemporer. Lynn White,
seorang sejarawan yang mengkhususkan diri
pada abad pertengahan, mengatakan bahwa sain
dan teknologi modern sebagai sumber masalah
lingkungan kontemporer yang saling terkait satu
sama lain (White Jr, 1967: 1203-1207). Banyak
hal yang muncul dan krisis yang luar biasa besar
dari hal yang disebutkan di atas. Oleh karena
itu, menjelang tahun 1970-an sebuah gerakan
eko-keadilan yang berupaya mengintegrasikan
ekologi, keadilan (masyarakat) dan hal yang
religius mulai mengungkapkan pemikiran mereka
dalam berbagai telaah teologis, etis, historis,
biblikal dan kebijakan umum yang berlangsung
di belahan Amerika (Bakken. Et.al., 1995: 6-8).
Salah satu konsep yang relevan dengan
kajian putusan Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Bdg
ini adalah ecoliteracy. Konsep ecoliteracy
ini sebenarnya perlu ada dalam pandangan hakim
dalam memutus perkara yang berkaitan dengan
kasus lingkungan. Ecoliteracy, merupakan
perpaduan dari dua kata, yakni ecological dan
literacy. Pengertian ecological diartikan
sebagai terkait dengan prinsip-prinsip ekologi
sedangkan pengertian literacy memiliki arti
melek huruf dalam pengertian sebagai situasi
seseorang yang telah faham atau memiliki
pengertian atas suatu hal. Dengan demikian,
ecoliteracy bisa diartikan sebagai situasi

melek huruf, paham, atau memiliki pengertian


terhadap bekerjanya prinsip-prinsip ekologi
dalam kehidupan bersama di planet bumi.
Ecoliteracy merupakan tahap dasar atau
tahap pertama dalam pembangunan komunitaskomunitas berkelanjutan. Selanjutnya tahap
kedua adalah ecodesign (perancangan bercorak
ekologis) dan tahap ketiga atau tahap terakhir
adalah
terbentuknya
komunitas-komunitas
berkelanjutan. Konsep ecoliteracy dapat
dikatakan sebuah strategi untuk menggerakkan
masyarakat luas agar bisa memeluk secepatnya
pola pandangan baru atas realitas kehidupan
bersama mereka di planet bumi dan melakukan
pembaruan-pembaruan
yang
diperlukan.
Hal tersebut didasarkan pada pemahaman
bahwa kehidupan bersama di planet bumi
harus dipandang bukan lagi secara mekanistik
melainkan secara ekologis serta sistemik. Jadi apa
yang perlu dipahami dari ecoliteracy adalah
wisdom of nature (kebijaksanaan alam) yang
digambarkan oleh Fritjof Capra (2004) sebagai
kemampuan sistem-sistem ekologis planet bumi
mengorganisir dirinya sendiri melalui cara-cara
halus dan kompleks. Cara sistem-sistem ekologis
ini mengorganisir diri sendiri telah teruji sangat
handal untuk melestarikan kehidupan di planet
bumi (Purwadianto, 2004: 42-45).
Kemampuan ecoliteracy yang perlu
dimiliki oleh para hakim yang menangani kasus
lingkungan tentu perlu pula didukung dengan
pemahaman hakim tentang etika lingkungan.
Hal ini menjadi penting bagi seorang hakim
agar dalam memutus perkara lingkungan dapat
memutus dengan pandangan yang holistik dan
komprehensif.
Berdasarkan pandangan etika biosentrisme,
manusia hanya bisa hidup dan berkembang sebagai

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 21

manusia utuh tidak hanya dalam komunitas sosial


saja tetapi juga dalam komunitas ekologis yaitu
makhluk yang kehidupannya tergantung dari
dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di
alam semesta (Keraf, 2010: 5). Dengan kata lain,
manusia sebagai makhluk sosial tidak akan lepas
dalam perannya juga sebagai makhluk ekologi.
Kehidupan manusia tidak saja ditentukan oleh
komunitas sosialnya tetapi juga komunitas ekologis
yaitu makhluk yang kehidupannya tergantung dari
dan terkait erat dengan semua kehidupan lain di
alam semesta (Keraf, 2010: 5).
Manusia dengan unsur-unsur lingkungan
lainnya yaitu biotik dan abiotik satu sama lain
saling ketergantungan dan saling berinteraksi
membentuk suatu keseimbangan, keharmonisan
dan kestabilan. Dalam berinteraksi tersebut
tentu manusia tidak ditempatkan lebih unggul
dibandingkan unsur-unsur lingkungan lainnya
dalam pencapaian segala apa yang dibutuhkannya.
Dengan demikian, posisi manusia adalah sejajar
dengan alam, manusia tidak berada di luar, di atas
dan terpisah dengan alam. Manusia merupakan
bagian dari keseluruhan alam semesta bukan
merupakan pusat dari seluruh alam semesta.
Sejalan dengan hal tersebut, Aldo Leopold, salah
seorang holisme lingkungan menganggap bahwa
kita harus meninggalkan etika antroposentrik
dan berpandangan bahwa semua makhluk baik
manusia maupun dunia fauna dan flora berhak
memperoleh martabat yang sama sebagai sesama
warga komunitas biotik (Wilardjo, Kompas, 13
Januari 2002).

adalah apakah hanya manusia saja yang dianggap


bermoral sedangkan makhluk lainnya tidak pantas
diperlakukan secara bermoral?
Terdapat beberapa argumen mengenai hal
tersebut antara lain argumen dari Aristoteles,
Thomas Aquinas dan Immanuel Kant, yang
menyatakan bahwa hanya manusia yang
mempunyai kemampuan moral berupa akal budi
dan kehendak bebas untuk melakukan pilihan
moral secara bebas dan rasional, karena makhluk
hidup atau spesies lain tidak mempunyai
kemampuan ini, maka etika tidak berlaku bagi
mereka (Keraf, 2010: 5). Argumentasi yang sama
disampaikan oleh John Passmore. Passmore
mendasarkan argumennya pada reciprocity
assumption. Suatu asumsi yang beranggapan
bahwa kewajiban moral hanya berlaku kalau ada
kewajiban timbal balik diantara para pihak yang
terlibat dalam sebuah relasi moral (Keraf, 2010:
81).

Argumen tersebut benar jika melihat


hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek
moral karena hanya manusia yang mempunyai
kemampuan moral dan manusia lah pelaku moral.
Namun argumen tersebut tidak menjawab mengapa
makhluk hidup lainnya yang bukan merupakan
subyek moral tidak perlu diperlakukan secara
moral oleh manusia sebagai pelaku moral dan
hal itu sering kita lakukan ketika kita berinteraksi
dengan alam dan lingkungan hidup kadangkala
kita menganggap alam tidak mempunyai nilai
pada dirinya sendiri sehingga alam tidak pantas
mendapatkan pertimbangan dan kepedulian
Adalah menjadi tidak bermoral jika manusia moral.
memandang rendah unsur lingkungan hidup yang
Etika biosentrisme berupaya melakukan
lainnya karena pada hakekatnya manusialah yang
sebuah revolusi dan loncatan moral yang menuntut
banyak menggantungkan pemenuhan hidup dan
agar komunitas biotis dan ekologis diperlakukan
kehidupannya pada alam dan lingkungannya.
juga sebagai komunitas moral. Dasar moral dari
Berbicara tentang moral yang menjadi pertanyaan
22 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

perluasan perlakuan moral itu adalah keluhuran


kehidupan (baik pada spesies manusia dan spesies
lainnya) pada dirinya sendiri (Keraf, 2010: 81).

dan menghargai atas keberadaan unsur-unsur


lingkungan hidup dan timbul sikap ingin menjaga
dan melestarikan fungsi lingkungan hidup.

Berdasarkan pandangan biosentrisme,


tidak hanya manusia saja yang mempunyai nilai
tetapi alam pun mempunyai nilai pada dirinya
sendiri lepas dari kepentingan manusia sehingga
alam pantas mendapatkan pertimbangan dan
kepedulian moral. Yang menjadi titik berat dari
etika biosentrisme adalah kehidupan sehingga
setiap kehidupan di muka bumi ini mempunyai
nilai moral yang sama sehingga perlu dilindungi
dan diselamatkan. Konsekuensi dari pandangan
ini adalah alam semesta adalah sebuah komunitas
moral, di mana setiap kehidupan dalam alam
semesta ini, baik manusia maupun alam samasama mempunyai nilai moral. Dengan demikian,
terdapat perluasan lingkup keberlakuan etika dan
moralitas untuk mencakup seluruh kehidupan di
alam semesta tidak hanya berlaku bagi komunitas
manusia saja (Keraf, 2010: 66).

Ada hal yang perlu diperhatikan pula


ketika kita membahas teori biosentrisme yaitu
pembedaan antara pelaku moral (moral agents)
dan subjek moral (moral subjects). Kedua hal
tersebut dapat menjawab pertanyaan mengapa
manusia memiliki kewajiban dan tanggung
jawab terhadap mahkluk lain dan alam semesta.
Menurut Paul Taylor, pelaku moral adalah
makhluk yang memiliki kemampuan berupa
akal budi, kebebasan dan kemauan yang dapat
digunakannya untuk bertindak secara moral
sehingga mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab dan dapat dituntut untuk bertanggung
jawab atas tindakannya (accountable beings).
Melalui kemampuan tersebut, pelaku moral dapat
membuat pertimbangan moral sebelum bertindak
agar terhindar dari tindakan yang salah secara
moral. Pelaku moral juga dapat memahami mana
yang baik dan buruk secara moral (Keraf , 2010:
Melalui pandangan tersebut, etika tidak
70).
lagi dibatasi hanya bagi manusia tetapi berlaku
bagi semua makhluk hidup dan tuntutan moral
Berlainan dengan pelaku moral, subjek
tidak hanya berlaku pada komunitas sosial saja moral adalah makhluk yang bisa diperlakukan
tetapi berlaku pula terhadap komunitas ekologis. secara baik atau buruk dan pelaku moral
Demikian pula dengan persoalan tanggung mempunyai kewajiban dan tanggung jawab
jawab moral manusia tidak dibatasi terhadap moral terhadapnya. Keadaan subjek moral untuk
sesama manusia saja tetapi juga terhadap semua lebih baik atau buruk sangat ditentukan oleh
kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan sikap dan perilaku pelaku moral. Yang termasuk
di bumi memiliki status moral yang sama. Hal subjek moral menurut teori biosentrisme adalah
tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh semua organisme hidup dan kelompok organisme
Singer dan Rachels, semua spesies mempunyai tertentu, sedangkan benda-benda abiotik bukan
kedudukan dan status moral yang sama. Oleh termasuk pada subjek moral tetapi keberadaannya
karena itu, diantara semua spesies harus berlaku juga penting dalam interaksi dengan manusia dan
prinsip moral perlakuan yang sama (equal subjek moral dalam mewujudkan keseimbangan
treatment) (Keraf, 2010: 86). Melalui pandangan kehidupan sehingga perlu pula diperlakukan
seperti itu, diharapkan manusia dalam berinteraksi secara baik dan etis oleh pelaku moral (Keraf,
dengan lingkungan hidupnya, timbul rasa hormat 2010: 71).
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 23

Bias Penyelesaian dan


Pengelolaan Sampah

Penyelenggaraan

Dalam
konteks
kehidupan
kemasyarakatan, administrasi negara diserahi
tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum
(bestuurszorg) yang dilakukan pemerintah
yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan.
Adanya bestuurszorg tersebut menjadikan
tanda adanya suatu welfare State.
Dalam kasus perkara gugatan class action
tempat pembuangan akhir (TPA) Leuwigajah
ditemukan beberapa hal yang terkait tindakan
administrasi negara yang bertugas melakukan
pelayanan publik dalam konteks pelayanan
kepada masyarakat, yang tidak dilakukan oleh
para tergugat sebagai pejabat publik yang menjadi
pertimbangan hakim.

timbang, penataan sampah yang memadai, dan alat


pengolah sampah, dan tidak pernah dibangunnya
fasilitas keamanan bagi kampung yang terletak di
bawah TPA Leuwigajah.
Berdasarkan hal di atas, nampak bahwa
orientasi dalam pengelolaan sampah yang
dilakukan oleh para tergugat masih berorientasi
pada paradigma antroposentrisme. Cara pandang
antroposentrisme tersebut membatasi keberlakuan
etika hanya pada komunitas manusia saja dan
hanya manusia saja yang mempunyai nilai dan
kepentingan yang harus dihargai (Keraf, 2010:
85-86). Hal tersebut terungkap di mana tergugat
tidak memperhatikan daya dukung dan daya
tampung TPA Leuwigajah dan persyaratan
Amdal yang tidak dipenuhi. Hal tersebutlah yang
menjadi salah satu pemicu terjadinya longsor.

Pandangan antroposentrisme juga nampak


ketika hakim hanya memfokuskan pada
pemberian ganti rugi kepada para korban tanpa
upaya penanganan pencemaran dan kerusakan
lingkungan yang terjadi serta upaya perubahan
dalam kesadaran manusia dan sistem ekonomi.
Penekanan yang dilakukan lebih pada gejala dari
sebuah isu lingkungan hidup bukan pada akar
permasalahannya karena yang pertama dilihat
Ada beberapa hal yang luput dari adalah dampak langsung dari kasus longsor yaitu
pengawasan dan pengamatan yang sebenarnya kerugian yang dialami oleh para korban longsor
harus dilakukan oleh tergugat sebagai pejabat TPA Leuwigajah sedangkan pencemaran dan
publik yaitu terkait kajian daya dukung dan kehancuran sumber daya alam kurang menjadi
daya tampung TPA Leuwigajah, persyaratan perhatian yang serius.
Amdal yang tidak dipenuhi, tidak dilakukannya
Jadi dalam kasus ini, majelis hakim belum
evaluasi kerja atau pemeriksaan secara berkala
melihat permasalahan lingkungan hidup dalam
mengingat sebelumnya juga telah terjadi longsor
suatu perspektif relasional yang lebih luas dan
di TPA Leuwigajah, tidak terdapat batas wilayah
holistik serta tidak memusatkan perhatian pada
pembuangan sampah Kota Bandung, Cimahi,
dampak lingkungan hidup yang terjadi secara
dan Kabupaten Bandung. Kemudian tidak ada
keseluruhan ekosistem dan mengatasi dampak
tanggul penahan (retaining wall), penampung
tersebut secara teknis dan parsial.
air lindi, zona pengaman (buffer zone), jembatan

Kejadian longsoran sampah ini merupakan


kelalaian dari para tergugat yang berawal
dari ketidakpedulian dan ketidakpatutan
mereka melaksanakan tanggung jawab. Tugas
perencanaan, koordinasi dan pengawasan hingga
proses pengelolaan pembuangan sampah ke TPA
Leuwigajah yang merupakan tanggung jawab
tergugat tidak dilakukan sebagaimana mestinya.

24 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

Penanganan kasus longsor TPA Leuwigajah


membutuhkan sudut pandang yang lebih
komprehensif dan holistik dengan memperhatikan
relasional yang lebih luas dengan memandang
kasus ini secara keseluruhan ekosistem.
Penanganan kasus ini tidak cukup dengan
hanya memberikan ganti rugi pada para korban
longsor, mencari teknologi untuk mencegah dan
mengatasi meluasnya pencemaran dan perusakan
lingkungan yang terjadi, dan membuat undangundang terkait pengelolaan sampah saja tetapi
diperlukan upaya penanganan yang seimbang
antara aspek sosial, ekonomi dan ekologi sehingga
terjadi keseimbangan antara keadilan sosial dan
keadilan ekologis.
Keadilan ekologis akan tercapai apabila
manusia memandang alam semesta beserta
isinya dalam perspektif yang lebih luas. Di mana
alam semesta beserta isinya tidak direduksi dan
dilihat semata-mata dari segi nilai dan fungsi
ekonomisnya saja tetapi dilihat pula nilai dan
fungsi budaya, sosial, spiritual dan religius, medis
dan biologis. Dalam pandangan ini alam semesta
beserta isinya mempunyai nilai yang lebih luas
tidak hanya sekedar nilai ekonomis.

terhadap sikap atau perilaku manusia, dapat


dilihat dari berbagai sudut pandang diantaranya
dapat dilihat dari isi hukum dan tujuan hukum.
Kaum positivistik umumnya melihat bahwa
ketaatan seseorang terhadap hukum diukur
seberapa jauh orang itu bersikap sesuai dengan
harapan pembentuk hukum yang tercermin
dalam isi hukum dan tujuan hukum. Tujuan
hukum dianggap tercapai apabila hukum berhasil
mengatur tingkah laku manusia sesuai dengan
tujuan hukum tertentu, Mengenai hal tersebut,
Friedman menyatakan bahwa (Soekanto, 1989:
5-6 & 10):
Compliance is, in other words, knowing
conformity with a norm or command, a
deliberate instance of legal behavior that
bends toward the legal act that evokade it.
Compliance and deviance are two poles
of a continuum. Of the legal behavior in
the middle, one important type might be
called evasion. Evasive behavior frustrates
the goals of a legal act, but falls short of
noncompliance or, as the case may be, legal
culpability.

Atas dasar pendapat Friedman tersebut, maka


dalam kaitan pengaruh hukum dengan sikap tindak
Komunikasi Hukum dan Budaya Hukum
manusia dapat diklasifikasikan ke dalam ketaatan
Dalam bagian ini pembahasan lebih (compliance), ketidaktaatan atau penyimpangan
difokuskan pada interaksi manusia dengan (deviance) dan pengelakan (evasion). Klasifikasi
hukum dalam konteks komunikasi hukum dan tersebut berkaitan dengan hukum yang berisikan
budaya hukum yang dibangunnya. Hal tersebut larangan atau suruhan. Namun untuk hukum
menjadi penting untuk dibahas dikarenakan para yang yang berisi kebolehan, klasifikasinya adalah
hakim dalam memutus sebuah perkara tidak akan penggunaan (use), tidak menggunakan (nonuse)
terlepas dengan persoalan komunikasi hukum dan penyalahgunaan (misuse).
dan apa yang dibangun dalam komunikasi hukum
Berkaitan dengan tujuan dari kaidah hukum,
tersebut akan bermuara pada kontruksi budaya
Gusfield membedakannya antara tujuan kaidah
hukum tertentu.
hukum yang bersifat simbolis dengan yang bersifat
Untuk menjelaskan pengaruh hukum instrumental dalam sebuah artikel yang berjudul

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 25

Moral Passage: The Symbolic Process in Public


Designations of Deviance. Suatu kaidah hukum
bersifat instrumental apabila tujuannya terarah
pada suatu perilaku konkret, sehingga efek hukum
akan kecil sekali apabila tidak diterapkan dalam
kenyataannya, sedangkan kaidah hukum simbolis
tidak tergantung pada penerapannya tetapi lebih
diarahkan pada sikap seseorang. Tujuan dari
kaidah hukum simbolis ini dapat ditemukan di
dalam penjelasan suatu peraturan (Soekanto,
1989: 5-6 & 10). Di sisi lain, pandangan yang lebih
kontemporer melihat bahwa ketaatan masyarakat
berkaitan dengan seberapa jauh masyarakat
mampu mengaktualisasikan kearifan-kearifan
yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Artinya,
isi hukum tidak dilihat semata-mata sebagai
harapan pembentuk undang-undang tetapi juga
mengakomodasi harapan dan cita masyarakat.
Agar perilaku manusia dapat selaras dengan
tujuan hukum, dibutuhkan kondisi-kondisi
pendukung diantaranya proses komunikasi
atau interaksi. Berkaitan dengan hal tersebut,
Friedman menegaskan bahwa A legal act (rule,
doctrine, practice) whatever functions it serves,
is a message (Soekanto, 1989: 17).
Komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian dan penerimaan lambanglambang yang mengandung arti-arti tertentu.
Tujuan dari komunikasi adalah menciptakan
pengertian bersama dengan maksud agar terjadi
perubahan pikiran, sikap ataupun perilaku.
Namun, komunikasi hukum lebih banyak tertuju
pada sikap. Oleh karena sikap merupakan suatu
kesiapan mental (predisposition) sehingga
seseorang
mempunyai
kecenderungankecenderungan untuk memberikan pandangan
yang baik atau buruk yang kemudian terwujud
di dalam perilaku nyata. Dengan demikian, sikap
mempunyai komponen kognitif, afektif maupun
26 |

konatif. Komponen kognitif menyangkut


persepsi terhadap keadaan sekitarnya yang antara
lain mencakup pengetahuan. Komponen afektif
berhubungan dengan perasaan senang atau tidak
senang. Komponen konatif berkaitan dengan
kecenderungan untuk bertindak atau berbuat
terhadap sesuatu. Ketiga komponen tersebut
berkaitan erat dengan komunikasi hukum
(Soekanto, 1989: 18).
Kadangkala komunikasi hukum yang
dilakukan tidak dapat berjalan dengan lancar
disebabkan karena apa yang diatur dalam hukum
tidak erat hubungannya dengan masalah-masalah
yang secara langsung dihadapi oleh masyarakat,
akibatnya mungkin hukum tidak mempunyai
pengaruh sama sekali atau mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap sikap masyarakat. Dalam
kondisi seperti itu, maka masyarakat dapat bersikap
acuh tak acuh atau bahkan melawan hukum. Hal
tersebut disebabkan oleh karena kebutuhan mereka
tidak dapat dipenuhi dan tidak dipahami, sehingga
kemungkinan besar mengakibatkan terjadinya
frustasi, tekanan atau bahkan konflik. Oleh karena
itu, dalam proses komunikasi hukum senantiasa
harus diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut
(Soekanto, 1989: 19) :
1.

Komunikasi langsung, peningkatan


kepercayaan kepada komunikator,
daya tarik maupun kewibawaan.

2.

Besar-kecilnya jumlah penerima


pesan, semakin kecil jumlah penerima
pesan, semakin efektif komunikasi
hukumnya.

3.

Isi pesan adalah sekhusus mungkin.


Sebaiknya digunakan jalan pikiran
yang bersifat induktif.

4.

Memperhatikan relevansi pesan dari


sudut penerima pesan.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

5.

Kesadaran
bahasan
dan
pemahamannya. Gunakan bahasa
yang dipergunakan oleh sasaran
komunikasi.

Komunikasi hukum yang berkaitan


dengan suatu keputusan hukum, maka dapat
dilakukan secara langsung kepada masyarakat
sasaran melalui tatap muka sehingga dapat
langsung diketahui apakah pesannya diterima
dan dimengerti oleh si penerima pesan atau tidak.
Komunikasi langsung harus dapat dilakukan
dalam masyarakat-masyarakat kecil yang
mendasarkan pola interaksinya pada komunikasi
tatap muka.

Di samping persoalan hukum harus


dikomunikasikan, perlu pula diperhatikan
mengenai subyek hukum, apakah ia dapat
melakukan atau tidak melakukan hal-hal
yang diatur oleh hukum. Oleh karena itu,
perlu diperhatikan faktor-faktor yang menjadi
pendorong bagi manusia untuk berperilaku
Berlainan jika sasaran komunikasi
tertentu. Menurut Soerjono Soekanto, faktorhukum adalah masyarakat luas, maka pembuat
faktor pendorong seseorang patuh terhadap
hukum harus dapat memproyeksikan saranahukum karena (Soekanto, 1989: 19) :
sarana yang diperlukan, agar kaidah hukum
1. Perhitungan untung rugi, artinya yang dirumuskannya mencapai sasaran dan
kalau dia patuh pada hukum maka benar-benar dipatuhi, sedangkan kaitan dengan
keuntungannya
lebih
banyak masalah dan relevansi suatu kaidah hukum, maka
daripada kalau dia melanggar hukum semakin khusus ruang lingkup suatu kaidah,
(konsekuensinya maka penegakan semakin efektif kaidah hukum tersebut dari
hukum senantiasa harus diawasi sudut komunikasi hukum. Demikian pula dalam
penggunaan bahasa harus digunakan bahasa yang
secara ketat.
2. Hukumnya sesuai dengan hati dapat dipahami oleh masyarakat. Penentuan
nuraninya
(seseorang
memilih masyarakat yang menjadi sasaran perundanghukum adat untuk menyelesaikan undangan pun perlu diperhatikan.
sengketanya karena menganggap
lebih sesuai dengan hati nurani).
3.

Untuk menjaga hubungan baik


dengan sesamanya atau penguasa.

4.

Adanya tekanan-tekanan tertentu.

5.

Dianggapnya hal yang paling praktis


untuk patuh pada hukum.

Apabila hukum telah dikomunikasikan


kepada masyarakat, maka kepatuhan terhadap
hukum sangat dipengaruhi oleh budaya hukum
yang ada di masyarakat di mana hukum itu akan
diimplementasikan.

Istilah budaya hukum muncul seiring


dengan perkembangan lebih lanjut dari studi
Dalam komunikasi hukum, peranan hukum dan masyarakat serta kebudayaan.
ahli hukum sangat diharapkan untuk dapat Pembahasan budaya hukum dapat bertitik tolak
menjelaskan hukum kepada masyarakat dengan dari pendapat Philip Selznick yang menyatakan
berpegang pada dasar-dasar komunikasi maupun bahwa hukum itu erat sekali berkaitan dengan
psikologi agar masyarakat dapat memahami serta usaha untuk mewujudkan nilai-nilai tertentu
dan latar belakang susunan masyarakat tertentu,
mematuhi hukum.
sedangkan Montesquieu dalam bukunya Spirit

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 27

of Law berpendapat bahwa hukum merupakan


bagian integral dari kebudayaan masyarakat.
Hukum merupakan hasil dari beberapa faktor
dalam masyarakat seperti adat istiadat, lingkungan
fisik dan perkembangan masa lampau, sehingga
hukum hanya dapat dimengerti di dalam
kerangka kehidupan masyarakat di mana hukum
itu berkembang (Sismarwoto, 2004: 419).
Bermula dari telaahan mengenai hal tersebut
kemudian dikajilah mengenai konsep tentang
budaya hukum. Hubungan antara kebudayaan
dan hukum digambarkan oleh Koentjaraningrat
sebagai suatu sistem nilai budaya yang terdiri dari
konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal
yang mereka harus anggap amat bernilai dalam
hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi
bagi kelakuan manusia. Sistem tata kelakuan
manusia yang tingkatnya lebih konkret, seperti
norma-norma, hukum, dan aturan-aturan khusus,
semua berpedoman kepada sistem nilai budaya
(Koentjaraningrat, 1987: 25).

sebagaimana terwujud dalam tingkah laku dan


tindakan-tindakannya (Budimanta. Et.al., 2005:
xxv).
Terkait hal tersebut, Friedman menyatakan
bahwa budaya hukum itu mengacu kepada
bagian-bagian dari budaya pada umumnya yang
berupa kebiasaan, pendapat, cara-cara berperilaku
dan berpikir yang mendukung atau menghindari
hukum. Kemudian Podgorecki menggunakan
istilah subbudaya hukum untuk menunjukkan
relevansi antara hukum dengan kebudayaan.
Menurut pandangan Podgorecki, gagasan
subbudaya hukum dimulai dari pembahasan
tentang kebudayaan yang berlaku secara umum
dalam suatu masyarakat.

Kebudayaan
dirumuskan
sebagai
seperangkat nilai-nilai sosial umum seperti
gagasan-gagasan, pengetahuan, seni, lembagalembaga, pola-pola sikap, pola-pola perilaku dan
hasil-hasil material (Riswandi dan Syamsudin,
2004: 145). Podgorecki membedakan tiga jenis
subbudaya hukum menurut fungsinya bagi
sistem hukum, yaitu subbudaya hukum positif,
Thurnwald seperti yang dikutip oleh subbudaya hukum negatif, dan subbudaya hukum
Soekanto mengemukakan bahwa hukum harus netral. Subbudaya hukum menjadi sangat penting
dianggap sebagai ekspresi suatu sikap kebudayaan, karena menjadi penyebab atau penentu tipe-tipe
artinya tertib hukum harus dipelajari dan dipahami sikap dan perilaku hukum masyarakat (Riswandi
secara fungsional dari sistem kebudayaan. dan Syamsudin, 2004: 145-146 & 153).
Kebudayaan menurut Spradley, seperti dikutip
Jika kita melihat sistem hukum, maka
Bambang Rudito, adalah pengetahuan yang
budaya hukum merupakan salah satu faktor yang
diperoleh, yang digunakan oleh manusia untuk
menentukan dalam sistem hukum suatu negara
menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan
selain struktur dan substansi hukum. Konsep
tingkah laku (Budimanta et.al., 2005: xxiv)
budaya hukum sebagai salah satu komponen dari
atau dengan kata lain, kebudayaan merupakan
sistem hukum, mulai diperkenalkan pada tahun
serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk,
enam puluhan oleh Friedman dalam artikel yang
resep-resep, rencana-rencana dan strategi-strategi
berjudul Legal Culture and Social Development
yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif
(Riswandi dan Syamsudin, 2004: 154).
yang dipunyai manusia dan yang digunakan
secara selektif dalam menghadapi lingkungannya
Menurut Friedman, hukum itu tidak
28 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

layak hanya dibicarakan dari segi struktur dan


substansinya saja melainkan juga dari segi
budaya hukum. Tanpa budaya hukum, sistem
hukum itu tidak akan berdaya karena budaya
hukum menentukan bekerjanya sistem hukum.
Komponen budaya adalah komponen yang terdiri
dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang merupakan
pengikat sistem serta menentukan tempat
sistem hukum di tengah-tengah budaya bangsa
secara keseluruhan. Jadi, budaya hukum adalah
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana
sistem hukum memperoleh tempat yang logis
dalam kerangka budaya milik masyarakat umum
(lihat lebih lanjut, Soekanto dan Abdullah, 1980:
9-24).
Budaya hukum adalah suasana pikiran sosial
dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana
hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan
(Friedman, 2001: 8). Istilah budaya hukum pertama
kali dikemukakan oleh Friedman untuk menyebut
kekuatan-kekuatan sosial yang mempengaruhi
bekerjanya hukum di masyarakat, yang berupa
elemen-elemen nilai dan sikap masyarakat yang
berhubungan dengan institusi hukum. Friedman
membedakan budaya hukum secara internal dan
eksternal. Budaya hukum internal adalah budaya
hukum warga masyarakat yang melaksanakan
tugas-tugas hukum secara khusus sedangkan
budaya hukum eksternal adalah budaya hukum
masyarakat pada umumnya (Riswandi dan
Syamsudin, 2004: 147-148).

digunakan untuk menunjukkan suatu kekuatan


sosial yang ikut menentukan terhadap bekerjanya
suatu sistem hukum. Faktor sosial tersebut
berproses bersamaan dengan bekerjanya sistem
hukum dalam sebuah konteks kebudayaan.
Faktor sosial tersebut dapat mendukung atau
menghambat bekerjanya sistem hukum, hal itu
bergantung pada unsur adat istiadat, nilai, sikap
masyarakat berkaitan dengan hukum (Riswandi
dan Syamsudin, 2004: 149).
Friedman mencoba untuk menelaah budaya
hukum dari pelbagai perspektif. Dia menganalisis
budaya hukum nasional yang dibedakannya dari
subbudaya hukum yang mungkin berpengaruh
secara positif atau negatif terhadap hukum
nasional. Selanjutnya Friedman membedakan
budaya hukum internal dari yang eksternal.
Budaya hukum internal merupakan budaya
hukum warga masyarakat yang melaksanakan
tugas-tugas hukum secara khusus, sedangkan
budaya hukum eksternal merupakan budaya
hukum masyarakat pada umumnya (Lumbuun,
2002: 30).

Lebih lanjut, Friedman berpendapat bahwa


budaya hukum menunjuk pada dua hal yaitu
pertama, unsur adat istiadat organis yang berkaitan
dengan kebudayaan secara menyeluruh dan kedua,
unsur nilai dan sikap sosial (Lumbuun, 2002:
148). Daniel S. Lev memerinci budaya hukum ke
dalam nilai-nilai hukum prosedural dan nilai-nilai
hukum substantif. Nilai-nilai hukum prosedural
Friedman merumuskan budaya hukum mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan
sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang masyarakat dan manajemen konflik sedangkan
berhubungan dengan hukum, bersama-sama nilai-nilai hukum substantif dari budaya hukum
dengan sikap-sikap dan nilai-nilai yang berkait terdiri dari asumsi-asumsi fundamental mengenai
dengan tingkah laku yang berhubungan dengan distribusi maupun penggunaan sumber-sumber di
hukum dan lembaga-lembaganya, baik secara dalam masyarakat, apa yang dianggap adil dan
positif maupun negatif (Rahardjo, 1980: 82). tidak oleh masyarakat dan sebagainya (Lumbuun,
Dengan demikian, istilah budaya hukum 2002: 87).
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 29

Menurut Lawrence M. Friedman, budaya


hukum berfungsi sebagai motor penggerak
keadilan yang menjembatani antara sistem hukum
dengan sikap-sikap manusia dalam masyarakatnya.
Pendapat yang senada dilontarkan pula oleh Esmi
Warassih bahwa faktor budaya hukum memegang
peranan penting karena merupakan jembatan
antara sistem hukum dengan tingkah laku
masyarakatnya (HZ, 2004: 10 dan Salman dan
Susanto, 2004: 52). Perubahan yang terjadi dalam
masyarakat pada gilirannya berimbas kepada
perubahan dalam bidang hukum. Perubahan
dalam bidang hukum itu dapat terjadi disebabkan
karena hukum digunakan atau tidak digunakan
dalam masyarakat atau terjadi kekeliruan dan
penyalahgunaan hukum oleh masyarakat dalam
kehidupannya.

dalam mewujudkan tujuannya tergantung pada


budaya hukum masyarakat yang hendak dikenai
hukum.
Dalam upaya mencapai tujuan hukum,
maka hukum yang dibuat harus sesuai dengan
nilai-nilai yang hidup (living law) dalam
masyarakat atau dengan kata lain, hukum yang
dibentuk harus sesuai dengan budaya hukum
masyarakat dan merupakan pencerminan modelmodel masyarakatnya, sehingga perilakuperilaku masyarakat sesuai dengan apa yang
telah ditentukan di dalam aturan-aturan hukum
yang berlaku (Raharjo, 1980: 49).

Untuk dapat bertingkah laku sesuai dengan


hukum, maka dibutuhkan adanya kesadaran
hukum dalam masyarakat. Menurut Esmi
Warassih, kesadaran hukum merupakan jembatan
Konsep budaya hukum digunakan untuk
yang menghubungkan antara peraturan-peraturan
menjawab pertanyaan bagaimana sesungguhnya
hukum dengan tingkah laku hukum masyarakat.
masalah-masalah hukum itu diselesaikan oleh
Sedangkan kesadaran hukum masyarakat
masyarakat dan mengapa terdapat perbedaan
dipengaruhi oleh budaya hukum yaitu nilai-nilai,
dalam jalannya kehidupan hukum di antara
pandangan serta sikap-sikap yang mempengaruhi
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang
bekerjanya hukum (Raharjo, 1980: 49).
lainnya.
Hukum adalah sebagai sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dan sebagai
sarana
menyalurkan
kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam bentuk perundang-undangan.
Setiap kebijakan yang dibuat selalu mencerminkan
nilai-nilai dari pembuat kebijakan sehingga
kadangkala hukum yang dibuat tidak sejalan
dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat atau
tidak sejalan dengan kesiapan masyarakat dalam
menerima hukum itu. Hukum yang dijalankan
dalam masyarakat banyak ditentukan oleh nilainilai, sikap-sikap serta pandangan-pandangan
yang telah dihayati oleh anggota-anggota
masyarakat (Salman dan Susanto, 2004: 125).
Dengan demikian, keberhasilan suatu peraturan
30 |

Lebih lanjut, Darmodiharjo dan Shidarta


mengungkapkan bahwa budaya hukum identik
dengan pengertian kesadaran hukum, yaitu
kesadaran hukum dari subyek hukum secara
keseluruhan. Kesadaran hukum merupakan
abstraksi mengenai perasaan hukum dari suatu
subyek hukum. Indikator-indikator kesadaran
hukum tersebut adalah pengetahuan tentang
peraturan-peraturan hukum, pengetahuan tentang
isi pengaturan hukum, sikap terhadap peraturanperaturan hukum dan pola perilaku hukum
(Riswandi & Syamsudin, 2004: 158). Sementara
itu, Soekanto dan Taneko mengemukakan bahwa
kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai,
yaitu konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

manusia tentang keserasian antara ketertiban


dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang
sepantasnya (Riswandi dan Syamsudin, 2004:
158).
Berdasarkan
pembahasan
di
atas,
dapat diambil kesimpulan bahwa hukum dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang sangat
erat di mana hukum merupakan penjelmaan dari
nilai-nilai budaya atau sistem nilai-nilai budaya
suatu masyarakat.
Environmental Leadership
Pembahasan environmental leadership
menjadi penting untuk dibahas dalam tulisan ini
karena terjadinya kasus longsor TPA Leuwigajah
tersebut tidak lepas dari kurang kepedulian
pemimpin termasuk para hakim (penegak hukum)
terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Hal
tersebut mengindikasikan lemahnya pemahaman
dan komitmen pemimpin dan para penegak hukum
kita di dalam mengimplementasikan gagasan
pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Dengan kata lain, telah terjadinya kegagalan
kepemimpinan
lingkungan
(environmental
leadership). Di sisi lain, kebijakan desentralisasi
pemerintah di tahun 2000 membawa implikasi
semakin terabaikannya isu-isu lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan oleh isu-isu yang
lebih mengedepankan kepentingan ekonomi
dan politik (Budimanta. Et.al., 2005: iv). Setiap
bencana alam yang terjadi tidak jarang memakan
korban yang tidak sedikit seperti korban longsor
TPA Leuwigajah. Namun hal tersebut sepertinya
tidak membuat sadar para pemimpin dan penegak
hukum untuk lebih memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan dalam setiap kebijakan dan
putusan yang diambilnya.
Ketidakefektifan

pengaturan

dan

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan


tidak terlepas dari rendahnya kapasitas sumber
daya manusia dalam mengelola, memfasilitasi,
mengkomunikasikan,
mengkoordinasikan
kepentingan dan membangun kerjasama antar
stakeholders. Dengan demikian, persoalan yang
muncul adalah persoalan kapasitas leadership
serta persoalan integritas moral. Selain itu, dalam
kenyataannya dalam setiap pembangunan yang
dilakukan pengintegrasian antara aspek ekonomi,
ekologi, dan sosial belum terintegrasi dalam setiap
kebijakan pembangunan selama ini. Dengan
demikian, persoalan ini merupakan persoalan
mendasar yang harus dicari jalan keluarnya.
Kepemimpinan lingkungan (environmental
leadership) pada prinsipnya adalah sebuah proses
membangun kesadaran kritis terhadap isu-isu
lingkungan, memotivasi dan mengembangkan
kapasitas dan kapabilitas untuk melakukan aksi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Rachmat Witoelar
menyatakan bahwa kepemimpinan lingkungan
(environmental leadership) merupakan kapasitas,
sikap dan pengalaman praktis seseorang dalam
mewujudkan usaha-usaha untuk memajukan
kesejahteraan manusia dan keadilan lingkungan,
melalui kemampuan memperkuat nilai-nilai
demokrasi, kepekaan terhadap potensi dan
persoalan lingkungan, serta keterbukaan pada
pendekatan interdisciplinary dalam pengelolaan
lingkungan (Budimanta. Et.al., 2005: v).
Salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam
menumbuhkan sifat kepemimpinan lingkungan
adalah dengan memberikan pembekalan
pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan melalui program
pelatihan yang berkaitan dengan lingkungan
dan kepemimpinan lingkungan. Peningkatan
pengetahuan dan pemahaman tentang pengelolaan
lingkungan hidup tersebut menjadi penting

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 31

guna menumbuhkan kesadaran dan motivasi


serta membentuk visi dan misi lingkungan bagi
kepemimpinan lingkungan yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi tindakan-tindakan mereka
yang diwujudkan oleh kelembagaan lingkungan
yang dipimpinnya.
Kepemimpinan
lingkungan
yang
dikehendaki adalah seseorang yang memiliki
kapabilitas yang integratif dalam penanganan
permasalahan lingkungan, memahami aturanaturan hukum mengenai lingkungan dan
memahami manajemen pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan dengan baik. Selain
itu, seorang pemimpin diharapkan mampu
mengintegrasikan tiga pilar pembangunan
berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan
lingkungan (ekologi) dalam setiap kebijakan
yang dibuatnya sehingga terlihat ada keterkaitan
antara lingkungan dan good governance. Upaya
mewujudkan prinsip-prinsip good governance
haruslah sejalan dengan perjuangan mewujudkan
kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya
alam yang baik (Santosa. Et.al., 2000: 41).

adalah eksploitasi sumber daya alam di mana


manusia adalah subjek dan sumber daya alam
adalah objek pembangunan. Sumber daya alam
diartikan sebagai sumber kehidupan sehingga
pengelolaan sumber daya alam lebih berkonotasi
pemanfaatan untuk kehidupan bukan merupakan
asset alam yang perlu dikelola dengan bijak
(Budimanta. Et.al, 2005: xi).
Berlainan
dengan
pembangunan
konvensional, pembangunan berkelanjutan
lebih mengutamakan pembangunan yang
memberlanjutkan kehidupan ekonomi, sosial
dan lingkungan. Keberlanjutan ekonomi bisa
dijamin apabila ketimpangan pendapatan antar
manusia bisa diminimalkan dan kemiskinan
diberantas. Keberlanjutan sosial memerlukan
ditingkatkannya kualitas sumber daya manusia
dan modal sosial dalam perikehidupan sosialpolitik, sedangkan keberlanjutan lingkungan
dimungkinkan apabila daya dukung lingkungan
dan daya tampung lingkungan terjaga dengan
baik sehingga ekosistem penopang kehidupan
terlestarikan (Budimanta. Et.al, 2005: x). Selain
itu, paradigma pembangunan berkelanjutan
menempatkan ekosistem sebagai subsistem
pembangunan juga menempatkan posisi manusia
bukan sebagai makhluk yang dominan tetapi
menempatkan manusia sebagai makhluk sosial
dalam hubungan harmonis dengan Tuhan, alam
dan masyarakat.

Dalam konteks kepemimpinan lingkungan,


maka ada keperluan untuk merubah paradigma
pembangunan dari pembangunan konvensional
menuju
ke
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable development) (Budimanta. Et.al.,
2005: x). Selama kepemimpinan pembangunan
masih berpegang pada paradigma konvensional
maka malapetaka lingkungan akan semakin
Dengan konsep seperti itu, maka terdapat
besar.
perubahan nilai interaksi antara manusia dengan
lingkungannya yang semula bersifat transenden
Pembangunan
konvensional
pada
menjadi holistik di mana manusia menempati
umumnya lebih mengarah kepada pandangan
posisi yang sejajar dengan lingkungannya
hidup yang lebih berorientasi ekonomi yang
sehingga ada saling ketergantungan antara
menekankan nilai-nilai yang bersifat egomanusia dengan lingkungannya di mana manusia
sentris individualistis. Berdasarkan paradigma
membutuhkan lingkungan untuk pemenuhan
pembangunan konvensional, pembangunan
kebutuhan hidupnya sedangkan lingkungan
32 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

membutuhkan peran manusia untuk menjaga


keseimbangan daya dukung lingkungan dan daya
tampung lingkungan. Jadi dalam pembangunan
berkelanjutan terjadi perubahan nilai dari
pandangan manusia sebagai subyek pembangunan
dan lingkungan sebagai obyek pembangunan
menjadi pandangan atau nilai saling membutuhkan
diantara manusia dan lingkungan. Namun dalam
perubahan nilai atau pandangan tersebut tidak
hanya dibutuhkan pola pikir manusianya saja
tetapi harus lebih melibatkan hati nurani dalam
kepemimpinan lingkungan.

semesta. Hal itu karena manusia adalah pelaku


moral yang mempunyai kemampuan bertindak
secara moral. Kewajiban dan tanggung jawab
moral tersebut yaitu menghargai dan menghormati
alam dengan tidak melakukan sesuatu yang
menimbulkan dampak negatif terhadap alam
semesta dan lingkungan hidup serta kewajiban
dan tanggung jawab untuk memulihkan kembali
kondisi alam semesta yang telah tercemar
dan rusak kepada keadaan semula agar fungsi
lingkungan tetap termanfaatkan dengan baik.
Putusan majelis hakim dalam kasus longsor
TPA Leuwigajah yang mendasarkan putusannya
hanya pada kesepakatan para pihak yang tertuang
dalam akta perdamaian dari sisi keadilan sosial
mungkin telah terpenuhi karena para penggugat
telah memperoleh ganti rugi sesuai dengan yang
disepakati bersama. Namun di sisi lain, ada hal
yang perlu diperhatikan juga yaitu terkait dengan
keadilan ekologis. Hal ini menjadi penting karena
pelestarian fungsi lingkungan juga merupakan
hal yang harus diperhatikan bagi keberlanjutan
hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.
Selain itu, permasalahan lingkungan tidak dapat
diselesaikan secara parsial dan terkotak-kotak
tetapi permasalahan lingkungan hidup hanya
bisa teratasi melalui pendekatan yang holistik,
multidisipliner dan interdisipliner.

Pada akhirnya, paradigma pembangunan


berkelanjutan itulah yang kini harus ada di
setiap kepemimpinan. Khusus berkaitan dengan
pengelolaan lingkungan hidup maka, pola
kepemimpinan
lingkungan
(environmental
leadership) yang diperlukan adalah kepemimpinan
yang memiliki visi terhadap masa depan yang
berkelanjutan, berpikir holistik dan integratif dan
dapat berperan sebagai komunikator yang baik
sehingga mampu menjembatani kepentingan
seluruh pihak serta mempunyai integritas
moral lingkungan (Budimanta. Et.al, 2005:
xvii). Selain itu, dukungan politik sangat perlu
bagi berkembangnya kapasitas kepemimpinan
lingkungan (environmental leadership) di
Indonesia. Politik menjadi penting dalam
memberikan ruang bagi berkembangnya good
Demikian pula dalam kasus longsor TPA
governance dalam pengelolaan sumber daya
Leuwigajah, penyelesaian kasus tersebut harus
alam dan lingkungan.
dilakukan secara holistik dengan memperhatikan
semua kepentingan baik kepentingan para korban
IV. SIMPULAN
juga kepentingan ekologis agar daya dukung
Kasus
longsor
TPA
Leuwigajah dan daya tampung lingkungan TPA Leuwigajah
menyadarkan kita bahwa alam semesta beserta dapat dipulihkan kembali sehingga fungsinya
isinya memiliki nilai yang harus dihargai, dan dapat digunakan kembali sesuai dengan rencana
manusia memiliki kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang akan menggunakan
moral terhadap makhluk hidup lain dan alam kembali TPA Leuwigajah sebagai pembuangan
sampah setelah ganti rugi pada para korban selesai
Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 33

dilakukan. Dengan kajian yang holistik terhadap


Jakarta: PT. Tata Nusa.
kasus lingkungan maka diharapkan adanya
Edi Setiadi, HZ. 2004. Reformasi Sistem Hukum
keseimbangan antara kepentingan pelestarian
Indonesia. Makalah Diskusi Rutin Dosen
fungsi lingkungan dan pemanfaatan lingkungan
Fakultas Hukum Unisba. Bandung.
hidup. Selain itu, adanya environmental leadership
menjadi hal yang penting untuk ditumbuhkan Keraf, A.Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup.
pada setiap pemimpin dan penegak hukum kita
Jakarta: Kompas.
agar setiap kebijakan dan putusan yang diambil
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas
selalu berpatokan pada konsep pembangunan
dan Pembangunan. Cetakan ke 13. Jakarta:
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
PT. Gramedia.
Lumbuun, T. Gayus. 2002. Confucianisme
DAFTAR PUSTAKA
dan Lingkungan Hidup, Budaya Hukum
Masyarakat Pasiran. Jakarta: Program
Bakken, Peter W., Joan Gibb Angel & J. Ronald
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Engel. 1995. A Critical Survey dalam
Indonesia.
Ecology, Justice and Christian Faith:A
Critical Guide to The Literature. Westport, Purwadianto, Agus. Et.al. 2004. Jalan Paradoks;
Conn, Greenwood Press.
Visi Baru Fritjof Capra tentang Kearifan
dan kehidupan Modern. Bandung: Teraju,
Budimanta, Arif. Et.al. 2005. Seri Kajian
Mizan.
Sustainable
Future,
Environmental
Leadership. Jakarta: Indonesia Center for Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat.
Sustainable Development (ICSD).
Bandung: Angkasa.
Capra, Fritjof. 2004. Hidden Connection; Strategi Riswandi, Budi Agus dan M. Syamsudin. 2004.
Sistemik Melawan Kapitalisme Baru.
Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Jogyakarta: Jalasutra.
Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
------------------. 2004. Titik Balik Peradaban, Rudito,
Bambang.
2005.
Pentingnya
Sain, Masyarakat dan Kebangkitan
Environmental
Leadership
Sebuah
Kebudayan. Jogyakarta: Bentang.
Pengantar, dalam Budimanta,
Arif.
Et.al. Seri Kajian Sustainable Future,
Chapman, Audrey R. Rodney L. Petersen &
Environmental Leadership. Jakarta: ICSD.
Barbara Smith Moran. 2007. Bumi yang
terdesak; Perspektif Ilmu dan Agama Salman, Otje dan Susanto, Anthon F. 2004.
mengenai Konsumsi, Populasi, dan
Beberapa Aspek Sosiologi Hukum.
Keberlanjutan. Bandung: Mizan.
Bandung: Alumni.
Friedman, Lawrence M. 2001. American Santosa, Mas Achmad. Et.al.. 2000. Membentuk
Law an Introduction. Second Edition.
Pemerintahan Peduli Lingkungan Dan
Diterjemahkan Wishnu Basuki. Hukum
Rakyat. Jakarta: Indonesia Center for
Amerika Sebuah Pengantar. Cet, Pertama.
Environmental Law (ICEL).
34 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 17-35

Soekanto, Soerjono. 1989. Fungsi Hukum dan


Perubahan Sosial. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti.
Soerjono, Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1980.
Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Pers.
White Jr, Lynn. 1967. The Historical Roots of
Our Ecological Crisis. Science 155.
Sumber lain:
Eddy

Sismarwoto.
2004.
Celah-Celah
Pemberdayaan Hukum dalam Masyarakat
(Analisis Teoritis Hukum dan Masyarakat).
Jurnal Hukum. Vol.14, No.3.

L. Wilardjo, Ekologi dalam, Kompas, 13 Januari


2002.
http://news.detik.com/read/2006/02/23/18
0323/546137/10/korban-longsor-tpaleuwigajah-hanya-diganti-rugi-jutaanrupiah?nd9922036, 18 Februari 2012,
12.00 wib.

Keadilan Ekologis Dalam Gugatan Class Action Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah (Mella Ismelina)

| 35

KEADILAN SUBSTANTIF YANG TERABAIKAN


DALAM SENGKETA SITA JAMINAN
Kajian Putusan Nomor 42/PDT/2011/PT.Y
M. Syamsudin, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta
Email: sm.syamsudin@yahoo.com.au

THE OVERLOOKED SUBSTANTIVE JUSTICE IN A CASE OF


SEQUESTRATION DISPUTE
An Analysis of Decision Number 42/PDT/2011/PT.Y
M.Syamsudin, Faculty of law of the islamic university of Indonesia
Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan
Email: himynameisnou@rocketmail.com
ABSTRAK

Abstract

Tujuan dari kajian putusan ini adalah untuk menguji

The purpose of this study is to examine whether a

apakah putusan majelis hakim di pengadilan tingkat

decision of the Yogyakarta Court of Appeal has been

banding sudah mencerminkan putusan yang adil

procedurally and substantively just. The author of

baik secara prosedural maupun substantif. Hasil

this article discloses that the panel of judges who

kajian menunjukkan bahwa putusan hakim sudah

handled the case has strictly applied the procedural

mengikuti prosedur hukum acara secara memadai,

law as stated in the HIR and Rv so that the decision

bahkan majelis hakim terkesan sangat ketat dalam

can be regarded as the procedural justice contained.

menerapkan prosedur hukum acara berdasarkan HIR

However, the judges decision in this case does not

dan Rv. Namun demikian putusan majelis hakim

reflect the substantive justice, since it has not reached

ini belum sampai pada memeriksa pokok sengketa

the level of verifying the subject of disputes based on

yang didasarkan pada hukum materiil. Putusan ini

substantive law. The judges decision is too formalistic

belum menyentuh substansi atau pokok perkara

in checking and resolving the matter, so it only

yang disengketakan, sehingga belum mencerminkan

emphasizes the procedural fairness values instead of

keadilan substantif. Putusan hakim ini terasa kering dan

substantive justice values. In fact, substantive justice

belum menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat.

is of significance that must be upheld by judges at any

Hal ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya

kind of decision.

faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan hakim,

Keywords: substantive justice, court of appeal

akibatnya kepentingan Para Terbanding belum


mendapatkan perlindungan hukum yang memadai

decision, warranty-confiscation dispute

dan imbang secara substansial. Padahal keadilan


substantif itulah yang harus diwujudkan hakim pada
akhir putusannya.
Kata kunci: keadilan substantif, putusan banding,
sengketa sita jaminan.

36 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

I.

PENDAHULUAN

Kasus ini diawali oleh adanya hubungan


hukum pinjam meminjam sertifikat tanah hak
milik (SHM) oleh Ny. E dan DS kepada Ny. SR
dan SAH. Ny. E dan DS adalah anak kandung
dari Ny. SR dan SAH. Peminjaman SHM tersebut
dituangkan dalam bentuk Akta Notariil Nomor 4,
tanggal 6 April 2005 di hadapan Notaris/PPAT
BHS, S.H berkedudukan di Yogyakarta. Tujuan
peminjaman adalah untuk dijadikan agunan oleh
peminjam di Bank Mandiri Cabang Kebon Sirih
Jakarta. Akan tetapi kenyataannya peminjaman
tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan perjanjian dalam akte notariil tersebut,
yakni untuk agunan di Bank Mandiri Cabang
Kebon Sirih Jakarta, justru dijaminkan kepada
Drs. IK dan GS, S.H untuk jaminan hutangpiutang di antara mereka.

Sleman No.02/Pdt.E.Del/2007/PN.Slmn tentang


Pelaksanaan Sita Jaminan.
Selanjutnya, para tergugat I dan II dan
turut tergugat III dan IV melakukan perlawanan
dan mengajukan gugatan perlawanan kepada
para penggugat I dan II ke PN Sleman. Hasilnya
putusan PN Sleman memenangkan para pelawan
(tergugat I, II, III dan IV). Atas putusan tersebut
pihak terlawan (penggugat I dan II) tidak
menerima dan mengajukan banding ke Pengadilan
Tinggi Yogyakarta. Hasilnya PT Yogyakarta
memenangkan pihak pembanding (para terlawan
I dan II). Sampai saat ini posisi perkara ini belum
mempunyai kekuatan hukum tetap karena pihak
terbanding mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung (MA).

Secara substansial, kasus yang diputus oleh


Pengadilan Tinggi Yogyakarta ini merupakan
Dalam perjalanan hutang-piutang antara perkara perlawanan terhadap eksekusi putusan
Drs. IK dan GS, S.H dengan Ny. E dan DS yang sudah berkekuatan hukum tetap. Dalam
mengalami masalah dan berakhir pada gugatan kasus ini terkandung beberapa masalah yaitu
yang dilakukan oleh Drs. IK dan GS, S.H di satu sisi pelawan memiliki kepentingan
(penggugat I dan II) menggugat Ny. SR dan kepemilikan terhadap tanah yang akan dilelang
SAH (tergugat I dan II) serta Ny. E dan DS oleh terlawan I dan II yang tentu harus dilindungi
(turut tergugat III dan IV) ke Pengadilan Negeri oleh hukum.
Cibinong, Bogor. Hasilnya Pengadilan Negeri
Di sisi lain dalam perlawanan tersebut juga
Cibinong memenangkan gugatan penggugat I
terjadi pelanggaran hukum acara yang dilakukan
dan II. Disebabkan tidak ada upaya banding dari
oleh majelis hakim di Pengadilan Negeri Sleman.
para tergugat dan turut tergugat, maka putusan
Bentuk pelanggarannya adalah alamat terlawan
PN Cibinong mempunyai kekuatan hukum tetap.
III dan IV yang merupakan anak dari para
Oleh karena itu untuk melaksanakan/ pelawan yang juga merupakan pihak yang telah
eksekusi putusan tersebut, Ketua PN Cibinong menjaminkan sertifikat tersebut kepada terlawan
meminta bantuan untuk melaksanakan Sita I dan II dicantumkan dalam gugatan perlawanan
Jaminan kepada Ketua PN Sleman, DIY oleh para pelawan dengan alamat yang tidak valid,
dikarenakan objek sengketanya ada di wilayah padahal majelis hakim seharusnya menilai tentang
kompetensi PN Sleman. Permohonan Ketua PN keabsahan panggilan itu dengan membaca relaas
Cibinong tersebut dipenuhi oleh Ketua PN Sleman panggilan yang telah ditandatangani oleh Kepala
dengan diterbitkan Surat Penetapan Ketua PN Desa atau Lurah Ciangsana, yang menyatakan

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 37

bahwa terlawan III dan IV telah 5 (lima) tahun diskriminasi dan berdasarkan hati nurani (Luthan,
pindah dari tempat tinggal semula.
2009: 2).
Inilah yang dinilai oleh majelis hakim
di Pengadilan Tinggi Yogyakarta telah terjadi
pelanggaran hukum acara dalam perkara ini,
karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan
langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini
mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi
cacat formil. Sementara itu, dilihat dari pihak
terlawan I dan II adalah kreditur yang telah
menyerahkan dana sebesar 2 (dua) milyar rupiah
kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin
dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang
yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang
begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan.

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS


A.

Studi Pustaka

Putusan hakim adalah hukum yang


sebenar-benarnya (the real law). Asumsi dasar itu
dikemukakan oleh aliran realisme hukum yang
menyatakan bahwa all the law is judge made law,
artinya semua hukum itu pada hakikatnya adalah
putusan hakim, sehingga posisi dan kedudukan
hakim menjadi pusat lahirnya hukum (Gray
dalam Darmodiharjo dan Shidarta, 2004: 138).
Oleh karena itu putusan hakim sebagai hukum
yang sejatinya, harus dapat mewujudkan tujuan
hukum itu sendiri. Setidak-tidaknya terdapat 3
II. RUMUSAN MASALAH
(tiga) tujuan hukum itu yaitu keadilan, kepastian
Berangkat dari latar belakang masalah yang dan kemanfaatan (Ali, 1996: 84-96).
telah diuraikan di bagian pendahuluan, dapat
Ketiga tujuan hukum tersebut (keadilan,
dirumuskan permasalahan hukum dalam bentuk
pertanyaan akademik yaitu: Apakah putusan kemanfaatan dan kepastian) dalam praktik sulit
majelis hakim di pengadilan tingkat banding diwujudkan secara bersamaan sekaligus. Dalam
dalam kasus ini sudah mencerminkan putusan praktik sering terjadi benturan atau ketegangan
yang adil, baik dilihat secara prosedural maupun antara kepastian hukum dengan kemanfaatan,
antara keadilan dengan kepastian, dan pula
substantif?
keadilan dengan kemanfaatan. Menurut Radbruh
Untuk mengukur hal tersebut akan (dalam Ali, 1996: 96), jika terjadi hal seperti
digunakan konsep keadilan prosedural dan itu disarankan agar digunakan asas prioritas, di
substantif sebagaimana dikemukakan oleh Salman mana prioritas pertama jatuh pada keadilan, baru
Luthan yang dielaborasikan dengan konsep- diikuti kemanfaatan dan kepastian. Achmad Ali
konsep keadilan lainnya. Keadilan prosedural sendiri menyarankan menggunakan asas prioritas
adalah keadilan terkait dengan perlindungan yang kasuistis. Artinya ketiga tujuan hukum itu
hak-hak hukum para pihak (penggugat, tergugat diprioritaskan sesuai dengan konteks kasusnya
dan para saksi) dalam setiap tahapan proses yang dihadapi. Oleh karena itu dapat saja kasus
peradilan. Keadilan substantif adalah keadilan A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan,
terkait dengan putusan hakim dalam memeriksa, kasus B prioritasnya pada kepastian, dan kasus C
mengadili, dan memutus suatu perkara yang harus prioritasnya pada keadilan (Ali, ibid: 96).
dibuat berdasarkan pertimbangan kejujuran,
Keadilan dalam konteks putusan hakim
objektivitas, tidak memihak (imparsiality), tanpa
38 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

dapat dilihat dari dua sisi yaitu keadilan prosedural


dan keadilan substantif. Keadilan prosedural
adalah keadilan terkait dengan perlindungan
hak asasi manusia (HAM) dan hak-hak hukum
para pihak (tersangka, terdakwa, terpidana,
saksi, dan korban, serta penggugat dan tergugat)
dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan
substantif adalah keadilan terkait dengan
putusan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara harus dibuat berdasarkan
pertimbangan kejujuran, objektif, tidak memihak
(imparsiality), tanpa prasangka, diskriminasi
dan sesuai dengan hati nurani. Sepanjang putusan
hakim dibuat berdasarkan pertimbangan tersebut
dapat dikualifikasikan sebagai adil secara
substantif (Luthan, 2009: 3).
Jujur artinya, hakim dalam membuat
putusan atas perkara yang disengketakan tidak
menyembunyikan kebenaran. Fakta-fakta (buktibukti) yang terungkap dalam persidanganlah yang
dijadikan dasar pembuatan putusan. Objektivitas
berarti bahwa fakta-fakta yang digunakan dalam
suatu kasus adalah fakta-fakta yang sesuai
dengan objek perkara yang disengketakan. Tidak
memihak berarti bahwa hakim tidak bersikap berat
sebelah kepada pihak yang bersengketa maupun
terhadap fakta-fakta yang diajukan pihak-pihak
yang bersengketa dalam memperjuangkan hak
dan kepentingannya. Tanpa prasangka artinya
bahwa hakim tidak membuat kesimpulan atas
seseorang tanpa mendengarkan keterangan atau
penjelasannya (Luthan, 2009: Ibid).
Proses pembuatan putusan oleh hakim
di pengadilan, merupakan suatu proses yang
kompleks dan sulit dilakukan sehingga memerlukan
pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan.
Menurut Artidjo Alkostar, sebagai figur sentral
penegak hukum, para hakim memiliki kewajiban
moral dan tanggung jawab profesional untuk

menguasai knowledge, memiliki skill berupa


legal technical capacity dan kapasitas moral yang
standar. Dengan adanya kecukupan pengetahuan
dan keterampilan teknis, para hakim dalam
memutus suatu perkara akan dapat memberikan
pertimbangan hukum (legal reasoning) yang
tepat dan benar. Jika suatu putusan pengadilan
tidak cukup mempertimbangkan (onvoldoende
gemotiveerd) tentang hal-hal yang relevan
secara yuridis dan sah muncul di persidangan,
maka akan terasa adanya kejanggalan yang akan
menimbulkan matinya akal sehat (the death of
common sense).
Putusan pengadilan yang tidak logis akan
dirasakan pula oleh masyarakat yang paling
awam, karena putusan pengadilan menyangkut
nurani kemanusiaan. Penegak hukum bukanlah
budak kata-kata yang dibuat pembentuk undangundang, tetapi lebih dari itu mewujudkan
keadilan berdasarkan norma hukum dan akal
sehat (Alkostar, 2009: 3).
Menurut Sudikno Mertokusumo, seorang
sarjana hukum, khususnya hakim, selayaknya
menguasai kemampuan menyelesaikan perkara
yuridis (the power of solving legal problems), yang
terdiri dari tiga kegiatan, yaitu: (i) merumuskan
masalah hukum (legal problem identification);
(ii) memecahkannya (legal problem solving); dan
(iii) mengambil putusan (decision making). Oleh
karena itu dibutuhkan langkah-langkah penalaran
hukum yang tepat dalam proses memecahkan
masalah hukum itu (Mertokusumo, 1990: 4).
Setidak-tidaknya terdapat enam langkah
utama dalam proses penalaran hukum dalam
proses pembuatan putusan hakim, yaitu:
pertama, mengidentifikasi fakta-fakta untuk
menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang
sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 39

kasus yang riil terjadi. Kedua, menghubungkan


(mengsubsumsi) struktur kasus tersebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga
ia dapat menetapkan perbuatan hukum dalam
peristilahan yuridis (legal term);

Karakter keadilan substantif yang bertumpu pada


respon masyarakat, dengan indah membentuk
penyelesaian permasalahan bersandar pada
hukum yang mendalami suara hati masyarakat.
Artinya, hukum mampu mengenali keinginan
publik dan punya komitmen bagi tercapainya
Ketiga, menyeleksi sumber hukum dan
keadilan substantif (Ridwan, 2008:170).
aturan hukum yang relevan untuk kemudian
mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam B. Analisis
aturan hukum itu (the policies underlying those
Analisis hukum adalah kegiatan penelaahan
rule), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta)
aturan yang koheren. Keempat, menghubungkan dan interpretasi atas fakta-fakta hukum yang telah
struktur aturan dengan struktur kasus. Kelima, dikemukakan, dikaitkan dengan bahan-bahan
mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang hukum yang relevan. Penelaahan dan interpretasi
mungkin, dan keenam, menetapkan pilihan ini didasarkan pada isu atau masalah hukum yang
atas salah satu alternatif untuk kemudian telah diajukan untuk dicari pemecahannya atau
diformulasikan sebagai putusan akhir (Shidarta,
2004: 177, penjelasan detail dari langkah-langkah
tersebut baca hlm. 199-229).
Penalaran hukum tersebut perlu memberikan
ruang kepada pendekatan-pendekatan socio
legal. Dengan pendekatan socio legal akan dapat
memahami persoalan hukum dalam masyarakat
lebih konstektual terkait dengan kondisi sosiokultural masyarakatnya Hal-hal demikian itulah
yang dianggap melahirkan keadilan substantif.
Keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif
sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal,
tapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada
moralitas publik dan nilai-nilai kemanusian dan
mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan
bagi masyarakat (Umar, 2011: 44).

penyelesaiannya dari segi hukumnya. Bahanbahan hukum tersebut berfungsi sebagai patokan
dan dasar yang dipergunakan untuk menilai
fakta-fakta hukum yang ada, sehingga akan dapat
ditemukan hukumnya dari pertanyaan hukum
yang diajukan. Jika isu atau masalah hukum
itu sudah dapat ditemukan hukumnya, berarti
masalah hukum itu sudah terpecahkan atau sudah
terjawab (Syamsudin, 2008: 40).

Jawaban atas isu atau masalah hukum


itu ada kemungkinan benar atau salah. Benarsalahnya jawaban masalah hukum yang
dipecahkan, sangat tergantung dari kejelian,
kekritisan, dan kemahiran penulis (baca hakim)
dalam mengemukakan fakta-fakta hukum dan
bahan-bahan hukum yang diajukan. Jika penulis
(baca hakim) salah atau keliru dalam melakukan
Putusan keadilan substantif tidak hanya analisis hukum, maka akan berakibat pula pada
mengakomodir aturan yang berlaku dalam kesalahan atau kekeliruan dalam pengambilan
tahapan penemuan keadilan yang paling kesimpulan nantinya. Pengambilan kesimpulan
sosial. Menurut Roscoe Pound, keadilan bukan yang salah atau keliru, akan berakibat pula pada
semata-mata persoalan yuridis semata, akan pembuatan pendapat hukum (legal opinion)
tetapi masalah sosial yang dalam banyak hal yang salah atau keliru. Oleh karena itu dalam
disoroti oleh sosiologi hukum (Umar, 2011: 44). proses analisis ini dituntut ketelitian sekaligus
40 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

kecerdasan dalam memaknai fakta-fakta hukum konsep-konsep hukum. Pada level hukum positif,
dengan sumber-sumber hukum yang relevan.
konsep-konsep hukum pada umumnya sudah
terumuskan secara jelas dan pasti dalam bahasa
Dengan mengacu pada bahan-bahan
perundang-undangan.
hukum yang ada, hakim dapat menemukan
pengertian, konsep, asas, ajaran atau teori yang
Indikator-indikator perilaku atau perbuatan
dapat digunakan untuk menilai fakta-fakta yang dilarang, dibolehkan dan diperintahkan pada
hukum yang ada, sehingga akan dapat diketahui umumnya sudah terumuskan dalam perundangstatus hukumnya, hubungan hukumnya, unsur- undangan. Peneliti tinggal menafsirkan faktaunsurnya, akibat hukumnya, sanksinya, dan juga fakta atau kejadian atau disebut peristiwa itu
kategori-kategori hukum yang lainnya. Oleh dengan patokan atau ukuran atau indikatorkarena itu dalam melakukan analisis hukum, indikator yang ada dalam norma undang-undang
dibutuhkan perspektif yang luas sehingga akan itu. Jika perilaku itu memenuhi unsur-unsur atau
menambah luas dan mendalamnya makna hukum masuk dalam kualifikasi konsep hukum tersebut
yang dapat diberikan atau dijawab oleh hakim.
maka implikasinya perbuatan itu akan membawa
Untuk melakukan analisis hukum, berikut
ini diuraikan langkah-langkah yang dapat
dilakukan, yaitu dimulai dari mengemukakan
fakta hukum, melakukan telaah atas fakta hukum
dengan bahan-bahan hukum yang relevan, dan
yang terakhir menentukan hukumnya. Langkah
awal dalam proses analisis hukum ini adalah
mengemukakan fakta-fakta hukum atau kejadian
yang revelan dengan norma-norma hukum. Oleh
karena itu langkah awal dalam analisis ini adalah
mengumpulkan fakta-fakta hukum selengkaplengkapnya. Fakta-fakta hukum bisa berupa
perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Pembunuhan
adalah perbuatam hukum, kelahiran adalah
peristiwa hukum dan di bawah umur adalah
suatu keadaan. Fakta-fakta hukum ini diuraikan
secara obyektif dan naratif sesuai dengan urutan
kejadian atau peristiwanya.

akibat hukum. Akibat hukum itu dapat berupa


sanksi hukum, yang dapat berupa kurungan,
denda ganti rugi dan sebagainya.

Contoh misalkan pada Pasal 1365 BW:


Setiap perbuatan melanggar hukum yang
menimbulkan kerugian, mewajibkan yang
menimbulkan kerugian itu untuk membayar
ganti kerugian. Dalam pasal tersebut konsep
utama yang harus dijelaskan adalah: (i) Konsep
perbuatan. Dalam konsep ini harus dijelaskan
secara gamblang sehingga tidak menimbulkan
kesulitan. Misalnya apakah gempa bumi termasuk
konsep perbuatan. Jika termasuk perbuatan,
itu perbuatan siapa? dan bisakah perbuatan itu
dipertanggungjawabkan?; (ii) Konsep melanggar
hukum. Konsep ini harus dimaknai secara jelas
terutama unsur-unsurnya. Dalam Yurisprudensi
melanggar hukum terjadi dalam hal: melanggar
hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban
Dalam tradisi civil law seperti Indonesia,
hukumnya, melanggar kepatutan, dan melanggar
hukum utamanya adalah perundang-undangan
kesusilaan; (iii) Konsep kerugian. Konsep
(legislasi). Oleh karena itu setelah mengumpulkan
kerugian meliputi: kerusakan yang diderita,
fakta-fakta hukum secara lengkap, langkah
keuntungan yang diharapkan dan biaya yang
selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan atau
telah dikeluarkan.
telaah perundang-undangan untuk menemukan

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 41

Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa


tidak cukup hanya dengan berdasarkan norma
hukum yang tertulis langsung diterapkan pada
fakta hukumnya. Rumusan norma sifatnya
abstrak dan konsep pendukungnya dalam banyak
hal merupakan konsep terbuka atau konsep
yang kabur. Dalam kondisi yang demikian maka
dibutuhkan adanya kegiatan penemuan hukum,
rechtsvinding.

pada konsep keadilan sebagaimana dikemukakan


oleh Salman Luthan yang membagi dalam dua
macam yaitu keadilan prosedural dan keadilan
substantif. Keadilan prosedural adalah keadilan
terkait dengan perlindungan hak-hak hukum
para pihak (penggugat, tergugat dan para saksi)
dalam setiap tahapan proses peradilan. Keadilan
substantif adalah keadilan terkait dengan putusan
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang harus dibuat berdasarkan
Penemuan hukum sendiri dapat dilakukan
pertimbangan kejujuran, objektivitas, tidak
dengan 2 (dua) teknik, yaitu: (i) Interpretasi,
memihak (imparsiality), tanpa diskriminasi dan
dan (ii) Konstruksi hukum yang meliputi:
berdasarkan hati nurani.
analogi, penghalusan atau penyempitan hukum
dan argumentum a contrario. Fungsi penemuan
Dari konsep keadilan prosedural ini
hukum adalah menemukan norma konkret untuk indikator yang digunakan adalah apakah putusan
diterapkan pada fakta hukum terkait. Setelah hakim tersebut telah mengikuti prosedur hukum
menemukan norma konkret langkah berikutnya acara secara tepat. Dari indikator tersebut
adalah menentukan hukumnya atas fakta hukum dijabarkan lebih rinci menjadi poin-poin kriteria
tersebut. Sebagaimana contoh di atas, setelah sebagai berikut, pertama, apakah putusan hakim
menemukan norma konkret dari perbuatan tersebut sudah memuat hal-hal yang harus ada
dalam konteks Pasal 1365 BW, dapat dijadikan dalam suatu putusan pengadilan sebagaimana
parameter untuk menjawab pertanyaan apakah ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48
gempa bumi merupakan perbuatan? (Ibid).
Tahun 2009 dan Pasal 184 HIR/195 RBG, yang
Analisis di sini dimaksudkan adalah
cara untuk memilah-milah, mengurai dan
mengelompokkan data atau informasi yang
didapat agar dapat ditetapkan relasi-relasi tertentu
antara kategori-kategori data yang satu dengan
lainnya, sehingga data tersebut mempunyai
makna. Tujuan akhir analisis adalah menetapkan
hubungan-hubungan antara suatu variable/gejala
/unsur tertentu dengan variabel/gejala/unsur yang
lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di
situ.

mencakup: (i) Kepala putusan; (ii) Identitas para


pihak; (iii) Ringkasan nyata gugatan & jawaban;
(iii) Alasan atau pertimbangan hakim dalam
putusan; (iv) Amar putusan; (v) Hari/tanggal
musyawarah dan pembacaan putusan; (vi) Biaya
perkara.

Kedua, apakah putusan hakim tersebut


sudah mencermati alat-alat bukti yang sah sesuai
dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR atau 284, 180,
dan 181 RBG, yang digunakan di dalam putusan
hakim PN, yang mencakup: (i) surat; (ii) saksi;
(iii) persangkaan; (iv) pengakuan; (v) sumpah;
Untuk menganalisis apakah putusan majelis
(vi) pemeriksaan setempat; (vii) keterangan ahli;
hakim di pengadilan tingkat banding sudah
(3) Apakah hakim tersebut telah menggunakan
mencerminkan putusan yang adil baik secara
alat bukti tambahan selain yang dimuat dalam
prosedural maupun substantif akan didasarkan
putusan hakim PN?; (4) Apakah penerapan
42 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/


undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi?;
(5) Apakah hakim tersebut sudah memuat secara
proporsional antara argumen penggugat dan
tergugat di dalam pertimbangannya?; (6) Apakah
hari/tanggal dilakukan musyawarah majelis
hakim PT (dalam pengambilan keputusan)
berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan?
Untuk konsep keadilan substantif indikator
yang digunakan adalah: (i) Apakah putusan hakim
telah dapat membuktikan unsur yang digugat
(terkait dengan hukum materiil)?; (ii) Apakah
putusan hakim telah mencerminkan penalaran
hukum yang logis (runtut dan sistematis)?; (iii)
Apakah putusan hakim telah menggali nilainilai yang hidup dalam masyarakat (aspek nonyuridis)?; (iv) Apakah hakim telah berlaku
profesional dalam penyelesaian perkara?
Berdasarkan data atau informasi yang
terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi
Yogyakarta Nomor 42/PDT/2011/PT.Y dan hasil
penggalian data berdasarkan wawancara dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini.
Mengenai aspek putusan hakim memuat
hal-hal yang harus ada dalam suatu putusan
pengadilan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal
2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 dan Pasal 184
HIR/195 RBG, isi putusan menunjukkan sudah
terpenuhinya unsur-unsur yang harus termuat
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 dan
pasal 184 HIR/195 RBG, yaitu: (1) kepala putusan
tertulis DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA; (2)
Identitas para pihak, Drs IK dan GS sebagai
para pembanding dan Ny. SR dan SAH sebagai
para terbanding serta Ny. E dan DS sebagai para
turut terbanding; (3) Ringkasan nyata gugatan &
jawaban sudah tercantum dalam pertimbangan

hanya saja pihak terbanding dan turut terbanding


tidak mengajukan jawaban atau kontra memori
banding; (4) alasan atau pertimbangan hakim dalam
putusan sudah tercantumkan; (5) Amar putusan
sudah diantumkan; (6) Hari/tanggal musyawarah
dan pembacaan putusan sudah dicantumkan; (7)
Biaya perkara sudah dicantumkan.
Mencermati tentang alat-alat bukti yang
sah sesuai dengan Pasal 164, 153, dan 154 HIR
atau 284, 180, dan 181 RBG, dalam putusan
tidak terlihat majelis hakim mencermati alat-alat
bukti seperti pada pasal-pasal tersebut, yakni
surat, saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah,
pemeriksaan setempat dan keterangan ahli.
Dalam pertimbangan hakim hanya dikemukakan
bahwa para pihak telah mengajukan bukti-bukti
yang cukup.
Apabila dianalisis apakah hakim tersebut
telah menggunakan alat bukti tambahan selain
yang dimuat dalam putusan hakim PN, dalam
putusan tidak terbaca hakim menggunakan alat
bukti tambahan selain yang dimuat dalam putusan
hakim. Sementara, dari ukuran apakah penerapan
hukum pembuktian sesuai dengan perjanjian/
undang-undang, doktrin dan/atau yurisprudensi,
dalam putusan terlihat bahwa hakim dalam
penerapan hukum pembuktian bersesuaian
dengan perjanjian, doktrin dan yurisprudensi. Ini
dibuktikan dengan pencantuman: (1) Perjanjian
Pinjam Meminjam Sertifikat Tanah Hak Milik
antara para turut terbanding semula terlawan III
dan IV (Ny. E dan DS) dengan para terbandingsemula pelawan I dan II (Ny. SR dan SAH) yang
dituangkan dalam akte notariil No. 4 tanggal 6
April 2005; (2) Perjanjian Pinjam Uang antara
para pembanding semula terlawan I dan II
dengan para turut terbanding semula terlawan
III dan IV yang diputus oleh PN Cibinong No.
51/Pdt.G/2006/PN.Cbn; (3) Yurisprudensi MA

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 43

No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j.


No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak
harus ada hubungan hukum; (6) Pasal 390 ayat (1)
HIR dan Pasal 1 Rv; panggilan harus disampaikan
di tempat tinggal atau tempat domisili pilihan
tergugat; dan (7) Undang-Undang No. 20 Tahun
1947.
Dari segi perimbangan dan proporsionalitas
antara argumen penggugat dan tergugat di dalam
pertimbangannya, dalam putusan terlihat bahwa
hakim sudah berupaya menampilkan secara
berimbang argumen penggugat (pembanding)
akan tetapi karena pihak terbanding tidak
mengajukan kontra memori banding maka
jawaban terbanding tidak terbaca dalam putusan
tersebut. Majelis hakim lantas mengacu pada
jawaban para pelawan pada saat sidang di
pengadilan tingkat pertama.

hukum?; (5) Apakah putusan hakim menggunakan


sumber berupa nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat, yaitu berupa hukum adat,
hukum lokal, dan/atau kebiasaan?; (6) Apakah
hakim mempertimbangkan semua unsur dasar
gugatan yang digunakan dalam putusan PN?; (7)
Apakah amar putusan hakim PT ini menguatkan,
menolak, memperbaiki atau lainnya; (8) Adakah
dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan?
Berdasarkan data atau informasi yang
terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi
Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini:
Dari ukuran dasar gugatan/jawaban yang
digunakan para pihak, dalam putusan terbaca
bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding)
yang digunakan pihak pembanding adalah sangat
keberatan dan sangat tidak sependapat dengan
seluruh pertimbangan hukum yang menjadi
dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/
PN.Slm. Akan tetapi dalam putusan tidak terbaca
bahwa pihak terbanding mengajukan kontra
memori banding/jawaban pengajuan banding
tersebut.

Dilihat dari ukuran apakah hari/tanggal


dilakukan musyawarah majelis hakim PT (dalam
pengambilan keputusan) berbeda dengan hari/
tanggal putusan diucapkan, dalam putusan terbaca
bahwa hari/tanggal dilakukan musyawarah
majelis hakim PT (dalam pengambilan keputusan)
berbeda dengan hari/tanggal putusan diucapkan
Ditelaah dari ukuran apakah dasar gugatan
yakni musyawarah dilakukan pada hari Kamis,
diputuskan secara berbeda oleh hakim, dalam
3 November 2011 dan putusan dijatuhkan pada
putusan terlihat bahwa putusan majelis hakim
hari Senin, 7 Nopember 2011.
di tingkat banding mengabulkan permohonan
Selanjutnya, untuk menganalisis tentang banding dari para pembanding dan membatalkan
Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/PN.Slm
42/PDT/2011/PT.Y apakah putusan tersebut yang dimohonkan banding tersebut. Dilihat
telah dapat membuktikan unsur yang digugat, dari ukuran apakah hakim juga menggunakan
akan didasarkan pada kriteria: (1) Apa dasar yurisprudensi, dalam putusan terlihat bahwa hakim
gugatan/jawaban yang digunakan para pihak?; menggunakan yurisprudensi dalam membuat
(2) Apakah dasar gugatan diputuskan secara pertimbangan hukum yaitu Yurisprudensi MA
berbeda oleh hakim?; (3) Apakah hakim juga No. 2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/Pdt/1983 j.
menggunakan yurisprudensi?; (4) Apakah hakim No. 343 K/Sip/1975 bahwa di antara pihak-pihak
juga menggunakan sumber hukum berupa doktrin harus ada hubungan hukum. Dari ukuran apakah

44 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

hakim juga menggunakan sumber hukum berupa


doktrin hukum, terbaca dalam putusan bahwa
hakim menggunakan doktrin dalam pertimbangan
hukumnya yaitu ajaran tentang gugatan kumulasi
subjektif yakni gugatan yang terdiri dari beberapa
orang penggugat dan beberapa orang tergugat.
Sayangnya ajaran tersebut tidak dijelaskan secara
memadai.

sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2


atas nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi,
Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang
tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826
M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi,
Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah
dan cacat/malanggar hukum serta mengikat
para terbanding, sehingga permohonan lelang
eksekusi yang diajukan oleh para pembanding
tidak mempunyai kekuatan hukum dengan segala
akibat hukumnya, sehingga telah terjadi kesalahan
obyek sita dan lelang dalam perkara ini?

Apabila diteliti apakah putusan hakim


menggunakan sumber berupa nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat, yaitu hukum
adat, hukum lokal, dan/atau kebiasaan, dalam isi
putusan tidak terlihat bahwa hakim menggunakan
Untuk menganalisis apakah Putusan
sumber hukum berupa nilai-nilai yang hidup Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/
dalam masyarakat, berupa hukum adat, hukum PT.Y telah dapat membuktikan unsur yang
lokal dan/ atau kebiasaan.
digugat, akan didasarkan pada kriteria, yaitu:
(1) Apakah hakim tersebut memberikan analisis
Hal lainnya, dari ukuran apakah hakim
yang secara tuntas terhadap fakta dan hukumnya
mempertimbangkan semua unsur dasar gugatan
(sebelum menjatuhkan amar)?; (2) Apakah amar
yang digunakan dalam putusan, dalam putusan
putusan hakim tersebut merupakan kesimpulan
terlihat bahwa hakim sudah mempertimbangkan
yang logis terkait dengan fakta dan hukum?;
semua unsur dasar pengajuan permohonan banding
(3) Apakah fakta hukum (judex facti) yang
dari para pembanding yang berkonsekuensi pada
diungkapkan dalam putusan hakim tersebut ini
dikabulkannnya permohonan banding dari para
disusun secara sistematis/runtut sehingga mudah
pembanding. Dilihat dari ukuran apakah amar
dipahami?; (4) Apakah dalam menjatuhkan
putusan hakim PT ini menguatkan, menolak,
putusan, hakim tersebut melakukan penafsiran
memperbaiki atau lainnya, dalam putusan terbaca
terhadap hukum dan/atau klausula perjanjian
bahwa putusan hakim mengabulkan permohonan
dengan menggunakan metode penemuan hukum
banding para pembanding dan membatalkan
penafsiran di luar penafsiran gramatikal dan
Putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/
otentik?; (5) Apakah dalam menjatuhkan putusan,
PN.Slm yang dimohonkan banding. Mengenai
hakim tersebut melakukan penemuan hukum
dasar pertimbangan hakim dalam amar putusan,
dengan menggunakan metode konstruksi hukum?;
nampak dalam putusan diuraikan dasar-dasar
(6) Apakah teridentifikasi bahwa konklusi
pertimbangan hakim sebelum memutuskan
dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan
perkara.
sistematis yang didukung oleh pertimbangan
Dasar-dasar pertimbangan tersebut pada fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi
intinya dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa yang dipaksakan?
yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah:
apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM)

Berdasarkan data atau informasi yang


terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 45

Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y


dikemukakan hal-hal sebagai berikut ini.

Dilihat dari analisis terhadap fakta dan


hukumnya (sebelum menjatuhkan amar),
dalam putusan terlihat bahwa hakim sudah
memberikan analisis yang tuntas terhadap fakta
dan hukumnya sebelum menjatuhkan amar. Hal
itu ditunjukkan dengan dasar-dasar pertimbangan
yang disusun sebagai berikut: (i) Permohonan
banding dari para pembanding; (ii) Isi memori
banding dari para pebanding, yang pada intinya
adalah keberatan atas putusan PN No. 106/Pdt.
Plw/2010/PN.Slm; (iii) Para terbanding, yang
tidak mengajukan kontra memori banding; (iv)
Pertimbangan-pertimbangan hukum hakim pada
putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/
PN.Slm; (v) Pertimbangan hukum majelis hakim
PT dapat dikemukakan bahwa pokok sengketa
yang harus dibuktikan dalam perkara ini adalah:
apakah penyerahan Sertifikat Hak Milik (SHM)
sebidang tanah SHM No. 5507 seluas 711 M2 atas
nama Ny. SR terletak di Desa Sendangadi, Kec.
Mlati, Kabupaten Sleman, DIY dan sebidang
tanah dan bangunan SHM No. 5995 seluas 2.826
M2 atas nama Ny. SR terletak di Desa Sinduadi,
Kec. Mlati, Kabupaten Sleman, DIY, Tidak sah
dan cacat/malanggar hukum serta mengikat
para terbanding, sehingga permohonan lelang
eksekusi yang diajukan oleh para pembanding
tidak mempunyai kekuatan hukum dengan
segala akibat hukumnya, sehingga telah terjadi
kesalahan obyek sita dan lelang dalam perkara
ini? Untuk menjawab pertanyaan tersebut majelis
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a.

46 |

Peminjaman sertifikat untuk Agunan


di Bank antara para terbanding
dengan para turut terbanding.
Hubungan hukum tidak langsung
terjadi antara para terbanding dengan
para turut terbanding didasarkan pada
perjanjian pinjam uang yang telah
diputus oleh PN Cibinong Nomor:
51/Pdt.G/2006/PN.Cbn. Hubungan
ini dalam teori hukum disebut bentuk
gugatan kumulasi subjektif (terdiri
dari beberapa orang penggugat
dan beberapa orang tergugat) yang
berdasar Yurisprudensi MA No.
2177 K/Pdt/1983 j. No. 1742 K/
Pdt/1983 j. No. 343 K/Sip/1975
di antara pihak-pihak harus ada
hubungan hukum. Berdasarkan hal
tersebut maka peranan para turut
terbanding mempunyai kedudukan
dan peran yang penting/sentral dalam
menyelesaikan pokok sengketa dalam
perkara ini.

dapat

Terdapat dua bentuk hubungan


hukum yaitu hubungan langsung dan
tidak langsung. Hubungan langsung
terdapat pada Akta Notariil No. 4,
tanggal 6April 2005 tentang Perjanjian

b.

Majelis hakim di PT tidak sependapat


dengan pertimbangan majelis hakim
di tingkat pertama (PN) khusus untuk
para terbanding yang menyatakan
bahwa para turut terbanding tidak
pernah hadir di persidangan meski
telah dipanggil secara sah dan patut.
Menurut majelis hakim, pemanggilan
tersebut tidak dilakukan dengan tata
cara pemanggilan yang sah menurut
hukum, sehingga dapat dianggap
tidak pernah ada. Berdasarkan Pasal
390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv,
bahwa panggilan harus disampaikan
di tempat tinggal atau domisili pilihan
tergugat.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

c.

Bahwa menurut majelis hakim,


peranan para turut terbanding sangat
penting dan menentukan dalam
penyelesaian pokok sengketa secara
adil dan manusiawi, sedangkan
alamat atau tempat tinggal para turut
terbanding salah atau tidak benar
sehingga mengakibatkan gugatan/
perlawanan para terbanding menjadi
cacat formil. Dengan demikian
panggilan sidang termasuk relaas
pemberitahuan putusan kepada turut
terbanding selama persidangan di
PN dianggap tidak pernah ada atau
tidak pernah dilakukan secara sah,
maka menurut majelis dengan tanpa
mempertimbangkan lebih lanjut
tentang pokok sengketa dalam
perkara ini, gugatan/perlawanan para
terbanding harus dinyatakan tidak
dapat diterima (niet ontvanklijke
verklaard). Dengan demikian putusan
majelis hakim di tingkat pertama
tidak dapat dipertahankan lagi dan
harus dibatalkan.

runtut sehingga mudah dipahami, dalam putusan


tidak nampak karena putusan di tingkat banding
tersebut tidak memeriksa fakta hukum dan yang
diperiksa hanya penerapan hukum oleh majelis
hakim di tingkat pertama. Dari ukuran apakah
dalam menjatuhkan putusan, hakim tersebut
melakukan penafsiran terhadap hukum dan/atau
klausula perjanjian dengan menggunakan metode
penemuan hukum di luar penafsiran gramatikal
dan otentik?
Dalam putusan tidak terlihat bahwa
hakim melakukan penafsiran hukum dengan
menggunakan metode penemuan hukum di luar
penafsiran gramatikal dan otentik. Selanjutnya,
dari ukuran apakah teridentifikasi bahwa konklusi
dalam putusan hakim tersebut sudah runtut dan
sistematis yang didukung oleh pertimbangan
fakta dan hukum, sehingga tidak ada konklusi
yang dipaksakan? Dalam putusan dapat dikatakan
bahwa konklusi dalam putusan sudah runtut dan
sistematis dan didukung oleh pertimbangan fakta
dan hukumnya sehingga tidak nampak konklusi
yang dipaksakan.

Untuk menganalisis tentang Putusan


Pengadilan Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/
Dilihat dari ukuran apakah amar putusan
PT.Y apakah putusan hakim telah menggali nilaihakim tersebut merupakan kesimpulan yang logis
nilai yang hidup dalam masyarakat (aspek nonterkait dengan fakta dan hukum, dalam putusan
yuridis), akan didasarkan pada kriteria, yaitu: (1)
terlihat bahwa amar putusan hakim tersebut
apakah teridentifikasikan adanya pertimbangan
merupakan kesimpulan yang logis terkait dengan
faktor-faktor non-yuridis (psikologis, sosial,
fakta dan hukum. Hal ini ditunjukkan dengan
ekonomi, edukatif, lingkungan, religius)?; (2)
penalaran hukum yang logis, yakni sinkron
Apakah faktor-faktor tersebut sejalan dengan
antara dasar pertimbangan dengan amar putusan.
bunyi amar putusan tersebut?
Namun putusan ini belum menyentuh substansi
atau pokok perkara disengketakan, sehingga
Berdasarkan data atau informasi yang
belum mencerminkan keadilan substantif.
terdapat dalam isi Putusan Pengadilan Tinggi
Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y dapat
Dilihat dari ukuran apakah fakta hukum
dikemukakan
bahwa dalam putusan tidak
(judex facti) yang diungkapkan dalam putusan
nampak hakim mempertimbangkan faktor-faktor
hakim tersebut ini disusun secara sistematis/
Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 47

non-yuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif,


lingkungan, religius). Putusan hakim ini masih
sangat kering dan belum menggali nilai-nilai
yang hidup di masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dari belum dielaborasikannya faktor-faktor nonyuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif,
lingkungan, religius) dalam pertimbangan hakim.
Akibatnya kepentingan para terbanding (pemilik
SHM) yang dipinjam oleh para turut terbanding
dan SHM tersebut ternyata tidak digunakan
sebagaimana mestinya seperti yang tercantum
dalam perjanjian pinjam-meminjam sertifikat
semula, belum mendapatkan perlindungan yang
memadai secara substansial.
Dikarenakan
majelis
hakim
tidak
nampak mempertimbangkan faktor-faktor nonyuridis (psikologis, sosial, ekonomi, edukatif,
lingkungan, religius) maka konsekuensi logisnya
faktor-faktor tersebut tidak dapat diukur apakah
sejalan atau tidak dengan bunyi amar putusan.
Untuk menganalisis tentang Putusan Pengadilan
Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y
apakah hakim telah berlaku profesional dalam
penyelesaian perkara, akan didasarkan pada
kriteria sebagai berikut: (1) Apakah hakim tersebut
telah berlaku profesional dalam menjalankan
tugasnya?; (2) Apakah penilaian tersebut sejalan
dengan deskripsi umum dari hasil pengkajian
data primer?

hakim masih ditunjukkan sebatas profesional


artian yang formal dan belum menyentuh hal-hal
yang substansial, padahal yang dibutuhkan para
pihak pada akhirnya adalah keadilan substansial.
Penilaian tersebut sejalan dengan hasil
pengkajian data primer (hasil wawancara) yang
menunjukan bahwa responden sebagai hakim
mengetahui dan menyadari bahwa kasus ini
merupakan perkara perlawanan terhadap eksekusi
putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap,
di mana dalam kasus ini terkandung beberapa
masalah yaitu di satu sisi pelawan memiliki
kepentingan kepemilikan terhadap tanah yang
akan dilelang oleh terlawan I dan II yang tentu
harus dilindungi. Di sisi lain dalam perlawanan
tersebut juga terjadi pelanggaran hukum acara
oleh majelis hakim di tingkat pertama di mana
alamat terlawan III dan IV yang merupakan
anak dari para pelawan yang juga merupakan
pihak yang telah menjaminkan sertifikat tersebut
kepada terlawan I dan II dicantumkan dalam
gugatan perlawanan oleh para pelawan dengan
alamat yang tidak valid, padahal majelis hakim
seharusnya menilai tentang keabsahan panggilan
itu dengan membaca relaas panggilan yang
telah ditandatangani oleh Kepala Desa atau
Lurah Desa Ciangsana, yang menyatakan bahwa
terlawan III dan IV telah lima tahun pindah dari
sana. Inilah yang oleh majelis dinilai telah terjadi
pelanggaran hukum acara dalam perkara ini,
karena seharusnya surat panggilan itu diserahkan
langsung kepada terlawan III dan IV. Hal ini
mengakibatkan gugatan perlawanan itu menjadi
cacat formil (hasil wawancara dengan Hakim
Pengadilan Tinggi (H) pada Hari Rabu, 14 Maret
2012 di Fakultas Hukum UII, Jl. Tamansiswa No.
158 Yogyakarta).

Berdasarkan
data
atau
informasi
yang terdapat dalam isi Putusan Pengadilan
Tinggi Yogyakarta No. 42/PDT/2011/PT.Y
dapat dikemukakan hal-hal bahwa dari segi
profesionalisme, majelis hakim masih terkesan
sangat positivistik dan formalistik dalam
memeriksa dan menyelesaikan perkara, sehingga
terkesan hanya mengedepankan nilai keadilan
prosedural dan mengesampingkan nilai keadilan
Sementara itu, majelis juga menyadari
substantif. Oleh karena itu nilai profesionalisme bahwa dari segi moral majelis hakim menilai
48 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

bahwa terlawan I dan II adalah kreditur yang


telah menyerahkan dana sebesar dua milyar
kepada terlawan III dan IV, yang tidak mungkin
dikalahkan begitu saja, mengingat jumlah uang
yang sebesar itu tidak mungkin dibiarkan hilang
begitu saja karena akan tercipta ketidakadilan.
Dari fakta-fakta yang telah diuraikan, yang
patut dipertanyakan dari profesionalisme hakim
dalam menangani perkara ini adalah: mengapa
majelis hakim yang sudah mengetahui pokok
perkara seperti itu tidak membuat pertimbangan
hukum yang lebih substansial dan tidak hanya
mendasarkan pada segi formalitas belaka?
Bukankah setiap putusan hakim itu harus
mencerminkan dua keadilan sekaligus yaitu
keadilan prosedural dan keadilan substantif.
IV. SIMPULAN
Putusan majelis hakim PT Yogyakarta
sudah mencerminkan putusan yang mengandung
keadilan prosedural. Hal ini ditunjukkan oleh
majelis hakim dalam menangani perkara
sudah mengakomodir hak-hak tergugat dan
penggugat secara berimbang dalam prosedur
hukum acara. Bahkan majelis hakim terkesan
sangat ketat dalam menerapkan prosedur hukum
acara berdasarkan HIR dan Rv. Putusan majelis
hakim ini belum sampai pada memeriksa pokok
sengketa yang didasarkan pada hukum materiil.
Unsur-unsur yang dibuktikan sebatas pada unsurunsur yang terdapat pada hukum acaranya, yaitu
ketidakhadiran para turut terbanding yang pada
persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama
dianggap tidak dipanggil secara patut dan benar
berdasarkan Pasal 390 ayat (1) HIR dan Pasal 1 Rv
yang mengakibatkan perlawanan para terbanding
cacat formil. Dalam putusan tersebut terbaca
bahwa dasar gugatan (dalam hal ini banding)

yang digunakan pihak pembanding adalah sangat


keberatan dan sangat tidak sependapat dengan
seluruh pertimbangan hukum yang menjadi
dasar putusan PN Sleman No. 106/Pdt.Plw/2010/
PN.Slm.
Dalam pertimbangannya, tidak terlihat
bahwa hakim menggunakan sumber hukum berupa
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, berupa
hukum adat, hukum lokal dan/atau kebiasaan. Hal
ini dapat dilihat dari belum dielaborasikannya
faktor-faktor non-yuridis dalam pertimbangan
hakim. Akibatnya kepentingan para terbanding
(pemilik SHM) yang dipinjam oleh para turut
terbanding sebagaimana SHM tersebut ternyata
tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti
yang tercantum dalam perjanjian sebelumnya,
belum mendapatkan perlindungan hukum yang
memadai secara substansial. Dari segi penalaran
hukum, putusan ini telah menunjukkan penalaran
hukum yang logis, yakni sinkron antara dasar
pertimbangan dengan amar putusan.
Dalam putusan ini tidak terlihat bahwa
hakim melakukan penafsiran hukum dengan
menggunakan metode penemuan hukum di luar
penafsiran gramatikal dan otentik. Konklusi
dalam putusan sudah runtut dan sistematis dan
didukung oleh pertimbangan hukum yang cukup
sehingga tidak nampak konklusi yang dipaksakan,
akan tetapi lagi-lagi putusan ini tidak menyentuh
substansi dari pokok sengketa sehingga belum
memberikan keadilan yang sebenar-benarnya
(keadilan substansi).
Dari fakta-fakta yang diuraikan di atas
dapat disimpulkan bahwa majelis hakim masih
terkesan sangat formalistik dalam memeriksa
dan menyelesaikan perkara ini, sehingga terkesan
hanya mengedepankan nilai keadilan prosedural
dan mengabaikan nilai keadilan substantif. Oleh

Keadilan Substantif Yang Terabaikan Dalam Sengketa Sita Jaminan (M. Syamsudin)

| 49

karena itu nilai profesionalisme hakim masih Mertokusumo, Sudikno. 1990. Pendidikan
ditunjukkan sebatas profesional dalam artian
Hukum di Indonesia dalam Sorotan. Harian
yang formal dan belum menyentuh hal-hal yang
Kompas. 7 Nopember 1990.
substansial.
Shidarta. 2004. Karakteristik Penalaran Hukum
dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung:
CV.Utama.
DAFTAR PUSTAKA
Luthan, Salman. 2009. Aksesibilitas Pencari
Ali, Ahmad. 1996. Menguak Tabir Hukum (Suatu
Keadilan Miskin Mendapatkan Bantuan
Kajian Filosofis dan Sosiologis). Jakarta:
Hukum di Pengadilan. Makalah dalam
Chandra Pratama.
Rangka Seleksi Hakim Agung 2009.
Alkostar, Artidjo. 2009. Peran dan Upaya
Mahkamah Agung dalam Menjaga dan
Menerapkan Hukum yang Berkepastian
Hukum, Berkeadilan dan Konsisten
melalui Putusan-Putusan MA. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional
PROSPEK POLITIK PENEGAKAN
HUKUM DI INDONESIA: Pemberdayaan
Peran Institusi Penegakan Hukum dan
HAM dalam Menjunjung Tinggi Peradilan
Bermartabat, Berwibawa, dan Berkeadilan
oleh Center for Local Law Development
Studies UII di Auditorium UII Lt. 3, Jl Cik
Dik Tiro No. 1 Yogyakarta, Sabtu, 7 Maret
2009.

---------------------. 2009. Mewujudkan Putusan


Hakim Agung Berkeadilan Substantif.
Makalah disampaikan pada Fit and Proper
Test Hakim Agung di Gedung DPR RI.
Syamsudin, M. Cet.2 2008. Mahir Menulis Legal
Memorandum. Jakarta: Prenada Media
Group.
Umar, Sholehudin. 2011. Hukum & Keadilan
Masyarakat, Setara Press, Malang.
Ridwan.
2008.
Mewujudkan
Karakter
Hukum Progresif dari Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang baik Solusi Pencarian
dan Penemuan Keadilan Substantif, Jurnal
Hukum Pro Justicia Vol.26 No.2,

Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2004. PokokPokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta Nomor
42/PDT/2011/PT.Y
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi
Yogyakarta (H) pada Hari Rabu, 14
Putra, Heddy Shri Ahimsa. 2011. Paradigma
Maret 2012 di Fakultas Hukum UII, Jl.
Profetik Sebuah Konsepsi. Makalah
Tamansiswa No. 158 Yogyakarta.
disampaikan dalam Diskusi Pengembangan
Ilmu Profetik, di Pusat Studi Hukum
Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 18
Nopember 2011. diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum - UII, Yogyakarta, 18
November 2011.

50 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 36-50

PERLUASAN TAFSIR PASAL 22 UU NOMOR 5 TAHUN 1999


Kajian Putusan Nomor 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST
Erman Rajagukguk, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Kampus Baru UI, Depok 16424
Email: ermanrajagukguk@yahoo.com

An extensive interpretation on aRTICLE 22 OF the


Law NUMBER 5 Year 1999
An Analysis of Decision Number 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST
Erman Rajagukguk, Faculty of law of the University of Indonesia
Jl. K.H Ahmad Dahlan, Cirendeu-Jakarta Selatan
Email: himynameisnou@rocketmail.com
ABSTRAK

Abstract

Karangan ini membahas komentar atas putusan

This article is aimed to share some comments on a

hakim dalam perkara P dkk v. KPPU No. 34/Pdt.G/

court decision over the case of PT P c.s. v. KPPU.

KPPU/2011/PN.JKT.PST. Perkara ini bermula dari

The KPPU has delivered a decision against PT P

Putusan KPPU terhadap PT P (Persero) dan tiga

and three other companies blaming them to commit an

perusahaan lainnya yang mempersalahkan mereka

unlawful practice as stated in Article 22 of Law No.

melanggar Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999. KPPU

5 Year 1999. KPPU decides that the four companies

memutuskan bahwa keempat perusahaan tersebut

have performed conspiracy and discrimination in

telah melakukan persekongkolan dan diskriminasi

selecting strategic partner. KPPU is of the opinion

dalam pemilihan partner strategis. KPPU berpendapat,

that the way of partner selection being conducted

bahwa pemilihan partner itu yang dilakukan melalui

through beauty contest is the same way with that

beauty contest sama dengan pengadaan barang

of procurement of goods and services. KPPU ordered

dan jasa. KPPU menghukum PT P dan tiga

the four companies to pay a fine and the decision was

perusahaan lainnya membayar denda. Namun proyek

supported later on by the Jakarta Central Distric

tersebut tetap dapat diteruskan. Kesemua terhukum

Court. The author of this article has different opinions

tidak setuju dengan Putusan KPPU tersebut dan

with the decisions.

mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta

Keywords: procurement, selection of strategic

Pusat, sebagaimana diperkenankan oleh Pasal 44 ayat


(2) UU No. 5 Tahun 1999. Pada tingkat banding, PN
Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU. Karangan

partners, conspiracy and discrimination, indirect


evidence.

ini membahas putusan PN Jakarta Pusat dimana


penulisnya tidak sependapat dengan putusan KPPU
dan PN Jakarta Pusat.
Kata kunci: pengadaan barang dan jasa, pemilihan
mitra strategis, persekongkolan dan diskriminasi,
bukti tidak langsung.

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 51

I.

PENDAHULUAN

beberapa faktor tertentu menunjukkan bahwa


beauty contest dilaksanakan untuk memenangkan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
pemohon, yaitu fakta bahwa Term of Reference
tingkat banding telah memperkuat putusan KPPU
yang digunakan dalam beauty contest dibuat
yang menyatakan PT P dkk telah melanggar Pasal
mengambang, bahwa terdapat perbedaan sistem
22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
penilaian yang digunakan oleh PT P dan PT
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
M, dan bahwa permintaan atas proposal yang
Usaha Tidak Sehat. Pasal 22 tersebut menyatakan,
mengikat (binding proposal) dibuat setelah
bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol
pemberian pertanyaan tambahan kepada Mitsui
dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
dan pemohon (Putusan KPPU No. 35/KPPUmenentukan pemenang tender sehingga dapat
I/2010: 222-223).
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat. Putusan Komisi Pengawas Persaingan
Kelima, tindakan diskriminatif yang
Usaha (KPPU) menyatakan, terlapor I PT P mengarah pada dinyatakannya pemohon sebagai
(Persero), terlapor II PT M., terlapor III PT pemenang dalam beauty contest merupakan
M&P T dan terlapor IV MC terbukti secara sah tindakan yang tidak jujur atau melawan hukum
dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU No. 5 atau menghambat persaingan usaha sehingga
Tahun 1999.
menyebabkan terjadinya persaingan usaha
Pertimbangan hukumnya sebagaimana
dalam Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010,
antara lain, pertama, beauty contest yang diadakan
PT P dan PT M memiliki tujuan menciptakan
persaingan untuk pasar dan dengan demikian
merupakan suatu bentuk tender dalam arti yang
dimaksudkan dalam Pasal 22 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Putusan
KPPU No. 35/KPPU-I/2010: 215. Kedua, beauty
contest dilakukan dengan cara diskriminatif karena
tidak semua peserta beauty contest diberikan
kesempatan yang halnya dengan pemohon yang
dapat memberikan presentasi kepada PT P dan
PT M pada tanggal 7, 23, dan 24 Februari,
16 Maret dan 4 September 2006 dan membahas
hal-hal terkait dengan proyek Donggi Senoro
sebelum dan selama beauty contest berlangsung.
Ketiga, terdapat indikator-indikator atau bentuk
persekongkolan sesuai dengan pedoman Pasal 22,
antara pemohon, PT P, PT M karena adanya
kesempatan eksklusif dan penciptaan persaingan
semu demi keuntungan pemohon Keempat,
52 |

tidak sehat. Keenam, permintaan pemohon atas


informasi tentang data hulu dan hilir kepada PT P
dan PT M menyebabkan PT M memfasilitasi
peninjauan oleh pemohon atas informasi yang
terkait dengan pekerjaan awal LNGI. Ketujuh,
pemohon menggunakan informasi hasil due
diligence dalam mempersiapkan proposalnya di
mana informasi tersebut masuk dalam definisi
rahasia dagang dengan merujuk pada definisi yang
ditemukan dalam UU No. 30/2000. Kedelapan,
terdapat indikator-indikator atau bentuk-bentuk
persekongkolan antara PT M dan pemohon
karena PT M memfasilitasi Mitsubishi dalam
meninjau data milik LNGI dan data tersebut
digunakan oleh pemohon untuk tujuan bisnisnya
sendiri dan demi kepentingannya sendiri.
Kesembilan, pemohon membuat proposalnya
berdasarkan hasil due diligence tersebut, di
mana merupakan tindakan yang tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha sehingga menyebabkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

KPPU menghukum terlapor I PT P untuk


membayar denda sebesar Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar rupiah), menghukum terlapor
II PT M membayar denda sebesar Rp.
5.000.000.000,- (lima milyar rupiah), menghukum
terlapor III PT MPT Sulawesi membayar denda
sebesar Rp. 1. 000.000.000,- (satu milyar rupiah),
dan menghukum terlapor IV MC membayar denda
sebesar Rp 15.000.000.000,- (lima belas milyar
rupiah). Dalam Tingkat Banding Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat memperkuat putusan KPPU
No. 35/KPPU-I/2010.
Pada tingkat banding, pemohon PT P
menyatakan tidak terbukti Pasal 22 UndangUndang No. 5 Tahun 1999 dalam pemilihan
mitra yang dilakukan dalam proyek Donggi
Senoro. Alasannya antara lain, termohon dalam
hal ini KPPU telah keliru dalam memberikan
pertimbangan hukum yang menganggap proses
pemilihan mitra yang dilaksanakan oleh pemohon
sebagai proses tender dalam lingkup pengertian
Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
Pasal 22 tersebut jelas-jelas mengatur mengenai
tender untuk pengadaan barang dan jasa, dan
sangat tidak relevan untuk diterapkan pada proses
pemilihan mitra.

lain, bahwa pertimbangan hukum yang dibuat


termohon keberatan, KPPU tersebut telah tepat
dan benar. Pengadilan mengambil seluruh
pertimbangan itu untuk menguatkan putusan
KPPU (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 34/PDT.G/KPPU/2011/PN.JKT.PST.:
275). Para pemohon tidak puas dengan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dan
mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung
RI. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 45 ayat
(3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
II.

RUMUSAN MASALAH

Paling sedikit ada tiga hal yang menjadi


pokok analisis sehubungan dengan putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/Pdt.G/
KPPU/2011/PN.JKT.PST.:
a.

Apakah pemilihan partner usaha


adalah sama dengan pengadaan
barang dan jasa seperti yang
dimaksud Pasal 22 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999?

b.

Apakah KPPU berwenang untuk


memperluas pengertian Pasal 22
tersebut?

Tender adalah tawaran mengajukan


harga untuk memborong suatu pekerjaan,
c. Apakah pembuktian Pasal 22
untuk mengadakan barang-barang atau untuk
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
menyediakan jasa. Bahwa dalam proses
boleh menerapkan pembuktian tidak
pemilihan mitra proyek Donggi Senoro, calon
langsung (indirect evidence)?
mitra tidak mengajukan penawaran harga. Tujuan
pemilihan mitra bukan dimaksudkan untuk
memilih kontraktor atau pembeli barang (Putusan III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/PDT.G/
1. Studi Pustaka
KPPU/2011/PN.JKT.PST.: 61).
Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
pertimbangan hukumnya menyatakan, antara

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 53

Persaingan Usaha Tidak sehat menyatakan:


Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan
pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan
pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

direncanakan. Manipulasi lelang menghancurkan


proses kompetitif ini. Mekanisme manipulasi
lelang dapat berupa tekanan penawaran,
penawaran pelengkap, dan rotasi penawaran
(Anderson. Et.al., : 28).

Ketentuan ini adalah mencakup konspirasi


tender, yaitu suatu hambatan persaingan yang
sering kali dianggap sangat serius. Jika hasil
pengumuman tender menguntungkan salah satu
peserta yang mengambil bagian, maka tender
tersebut secara tersirat mengandung pembatasan
persaingan harga. Tender kolusif terjadi bila
para pesaing sepakat untuk mempengaruhi hasil
tender demi kepentingan salah satu pihak dengan
tidak mengajukan penawaran atau mengajukan
penawaran pura-pura saja (Hansen.
Et.al.,
2002: 312-313). Maksud diadakannya tender
untuk mendapatkan barang yang murah dan
baik tidak terpenuhi. Persekongkolan ini adalah
persekongkolan horisontal antara para pelaku
usaha.

Persekongkolan dalam pengadaan barang


dan jasa, ataupun dalam mekanisme tender
dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan
baik tertulis maupun tidak tertulis. Kolusi dalam
tender dapat terjadi melalui kesepakatan antara
para pelaku usaha, antara pemilik pekerjaan
maupun antar kedua pihak tersebut. Sebenarnya
persekongkolan dalam pengadaan barang dan
jasa tidaklah terjadi hanya pada saat penetapan
pemenang tender semata. Sebagai contoh,
terjadinya kolusi antara penyedia dana atau
pembuat anggaran dengan produsen atau supplier
barang dan jasa (Pardede, 2010: 162-163).

Tender adalah memborongkan pekerjaan/


menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau
memborong pekerjaan-pekerjaan seluruhnya
atau sebagian pekerjaan atau kontrak yang dibuat
oleh kedua belah pihak sebelum pemborongan
itu dikerjakan. Kegiatan tender melebar kepada
kegiatan pengadaan barang dan jasa (Lubis.
Et.al., 2009: 148-150).
Tender adalah sama dengan lelang.
Manipulasi lelang adalah kesepakatan antara
para pihak agar pesaing memenangkan suatu
lelang. Kesepakatan ini dapat dicapai oleh satu
atau lebih peserta lelang yang sepakat menahan
diri untuk tidak mengajukan penawaran, atau
oleh para peserta lelang yang menyepakati satu
peserta dengan harga lebih rendah dan kemudian
menawarkannya di atas harga perusahaan yang

54 |

Pada permulaan abad ke-21, banyak


pemerintahan di Eropa mengalokasikan hak
untuk memakai frekuensi telepon mobil kepada
pihak swasta. Mekanisme alokasi yang diterapkan
berbeda dari negara ke negara. Suatu negara
memilih untuk menggunakan satu atau lain bentuk
dari lelang untuk mengalokasikan hak, sementara
negara lainnya menggunakan beauty contest, di
mana pelaku usaha dipilih berdasarkan proposal
yang diajukannya.
Ini adalah salah satu metode dalam memilih
penyedia jasa yang berhak atas frekuensi telepon
mobil. Pengalihan hak ini meluas kepada operasi
angkutan umum seperti bus dan kereta api, pompa
bensin, dan lain sebagainya (Janssen, Edt., 2004 :
xii). Dari studi kepustakaan di atas, beauty contest
dipraktikkan dalam penyediaan jasa.
2.

Pembahasan dan Analisis

Istilah beauty contest tidak terdapat dalam


Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Istilah ini


berasal dari kepustakaan Hukum Persaingan di
luar negeri (Dykstra dan Windt, 2004: 85). Beauty
Contest tidak sama dengan pemilihan mitra untuk
mendapatkan calon partner guna mengembangkan
suatu proyek. Pemilihan mitra tidak sama dengan
tender pengadaan barang/jasa.

tawaran mengajukan harga untuk memborong


suatu pekerjaan, untuk mengadakan barangbarang, atau untuk menyediakan jasa. Pasal
22 tersebut berkenaan dengan persekongkolan
tender yaitu suatu bentuk kerjasama antara para
pelaku usaha dengan maksud untuk menguasai
pasar yang bersangkutan. Dengan demikian Pasal
22 memiliki unsur:

Pemilihan mitra adalah pemilihan calon


partner untuk mengembangkan suatu proyek,
a. pelaku usaha;
bukan mengenai pelaksanaan pengadaan barang/
b. persekongkolan;
jasa. Dalam konteks ini PT P dan PT M
c. pihak lain;
mencari partner usaha yang akan menanamkan
d. barang/jasa;
investasi, mempunyai kemampuan teknologi,
e. pasar bersangkutan.
mempunyai akses terhadap pasar internasional
(dalam konteks penjualan gas), dan calon partner
Ad. a. Pelaku Usaha.
akan menanggung risiko kerugian usaha. PT
P dan PT M tidak mencari supplier atau
Yang dimaksud pelaku usaha di sini adalah
pemasok barang dan jasa.
pelaku usaha yang mengikuti tender bukan
pelaku usaha penyelenggara tender. Pelaku usaha
Ruang Lingkup Pasal 22 Undang-Undang No. penyelenggara tender tidak berkepentingan untuk
5 Tahun 1999
bekerjasama dengan pelaku usaha peserta tender,
karena pelaku usaha penyelenggara tender
Pemilihan mitra tersebut tidak masuk
menyelenggarakan untuk mendapatkan hasil yang
dalam ruang lingkup Pasal 22 Undang-Undang
efisien, yaitu harga yang semurah-murahnya dan
No. 5 Tahun 1999 karena pemilihan mitra adalah
barang/jasa yang sebaik-baiknya.
pemilihan calon partner untuk membangun
suatu usaha, bukan mengenai pengadaan barang/
Ad. b. Persekongkolan.
jasa. Pemilihan partner sebagai mitra strategis
dalam membangun suatu usaha didasarkan
Menurut Pasal 1 butir 8 persekongkolan
kepada kemampuan permodalan, keahlian, atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama
dan pengalaman calon partner tersebut untuk yang dilakukan pelaku usaha dengan pelaku
mengadakan investasi, bukan mengenai usaha lain dengan maksud untuk menguasai
pengadaan barang/jasa.
pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
menyatakan pelaku usaha dilarang bersekongkol
dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak
sehat. Penjelasan pasal ini berbunyi, tender adalah

usaha yang bersekongkol. Dalam hal ini menurut


penulis persekongkolan itu dilakukan antara para
pelaku usaha dalam tingkat horisontal, untuk
menghilangkan persaingan di antara mereka,
bukan persekongkolan vertikal karena antara
pelaku usaha penyelenggara tender dan pelaku
usaha peserta tender tidak ada persaingan.

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 55

Pasal 22 berasumsi bahwa persekongkolan


terjadi di antara para pelaku usaha. Pihakpihak tersebut harus menyepakati suatu
persekongkolan untuk mempengaruhi hasil
tender demi kepentingan salah satu pihak dengan
tidak mengajukan penawaran atau mengajukan
penawaran pura-pura saja. Misalnya dengan
penawaran harga tinggi dan satu-satunya yang
terkoordinasi dengan pengharapan pihak yang
tidak menang tender yang bersangkutan akan
mendapat giliran menang pada tender yang akan
datang berdasarkan kegiatan kolusif.

atau prestasi yang diperdagangkan dalam


masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen
atau pelaku usaha.Pemilihan partner strategis
yang ikut berinvestasi tidak termasuk dalam
klasifikasi barang dan atau jasa.
Ad. e. Pasar bersangkutan.

Persekongkolan dalam tender diperlukan


untuk menentukan pasar bersangkutan, karena
tujuan persekongkolan tersebut adalah untuk
menguasai pasar. Tidak ditentukannya pasar
bersangkutan menyebabkan tidak terpenuhinya
Tender kolusif biasanya bermaksud untuk semua unsur dari Pasal 22.
meniadakan persaingan harga dan menaikkan
Pasar bersangkutan adalah pasar yang
harga. Persekongkolan ini bertujuan untuk
berkaitan dengan jangkauan atau daerah
menaikkan harga tender. Dalam pemilihan
pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang
mitra, kegiatan pemilihan partner adalah menilai
dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi
kemampuan calon partner, umpamanya dalam
dari barang dan atau jasa tersebut sebagaimana
permodalan maupun pengalaman. Hal ini
dalam Pasal 1 butir 10 Undang-Undang No. 5
berlainan dengan pengadaan barang/jasa.
Tahun 1999. Persekongkolan harus ditujukan
untuk menghambat persaingan berdasarkan suatu
Ad. c. Pihak lain.
pertukaran informasi antar para peserta tender.
Menurut penulis adalah pelaku usaha lain
Dalam hal ini harus ada pertukaran
dalam tingkat horisontal untuk menghindarkan
informasi yang relevan bagi persaingan, informasi
persaingan di antara mereka, bukan dalam tingkat
tersebut harus berhubungan dengan strategi
vertikal.
persaingan rahasia yang dimiliki para pesaing.
Hal tersebut tidak akan terjadi di dalam pelaku
Ad. d. Barang/Jasa.
usaha untuk memilih mitra, seperti dalam kasus
ini. Pelaku usaha yang memilih mitra adalah
berdasarkan kemampuan calon mitra, yaitu
kemampuan permodalan karena mitra ikut jadi
pemegang saham dan kemampuan berdasarkan
pengalaman.

Ketentuan umum Pasal 1 butir 16 dan


butir 17 telah menerangkan secara jelas sekali
apa yang dimaksud dengan barang/jasa. Pasal
1 butir 16 menyatakan barang adalah setiap
benda, baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat
Dalam hal pemilihan mitra ini, tidak
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau
dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha. ada persekongkolan pertukaran informasi dari
Sementara Pasal 1 butir 17 menyatakan jasa para pelaku usaha yang membuat pelaku usaha
adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan bersikap pura-pura sehingga ia terpilih. Tender
adalah bertujuan untuk mencari penawar dengan
56 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

harga terendah atau best value (kombinasi harga


dan kualitas). Sedangkan Pemilihan Mitra
adalah bertujuan untuk mencari mitra yang akan
menanggung risiko bisnis bersama-sama (sharing
risk). Dalam proses pemilihan mitra harus
dilakukan diskusi dengan pihak yang berminat
untuk berinvestasi. Diskusi tersebut adalah
tentang maksud dan tujuan investasi serta untuk
mendapat informasi dari peminat investasi.

1999 tentang Larangan Persekongkolan dalam


Tender tidak bisa memperluas penafsiran Pasal
22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

Peraturan KPPU bukanlah sumber hukum


dalam hierarki peraturan perundang-undangan
Republik Indonesia sebagaimana dinyatakan
dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
sebagaimana diganti dengan Undang-Undang
Sebagai kesimpulan Pasal 22 Undang- Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Undang No. 5 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan Peraturan Perundang-undangan. Peraturan KPPU
kepada pelaku usaha yang memilih mitra untuk No. 2 Tahun 2010 telah memperluas penafsiran
pengembangan suatu proyek. Pemilihan mitra persekongkolan tender dari persekongkolan
bukan merupakan pengadaan barang/jasa, horizontal, memasukan juga persekongkolan
tetapi mitra untuk menyertakan modal sebagai vertikal.
pemegang saham dan mempunyai pengalaman
Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun
serta kemampuan.
1999 sudah sangat jelas menyatakan bahwa
Pemilihan mitra yang dilakukan oleh PT tender adalah mengenai barang dan jasa.
P bersama-sama PT M untuk monetisasi Memberikan jasa yaitu mengerjakan sesuatu
lapangan gas Area M dan Blok S melalui bisnis dengan mendapat upah. Pemilihan partner yang
LNG dengan skema hilir bukanlah merupakan dilakukan oleh PT P adalah suatu kegiatan
pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud investasi yang mengandung unsur untung dan
pada SK Direksi No. Kpts-036/C00000/2004- rugi suatu perusahaan yang nantinya berbentuk
SO tanggal 24 Agustus 2004 tentang Manajemen joint venture.
Pengadaan Barang/Jasa.
Perluasan pengertian tersebut dikatakan
Pada waktu Undang-Undang ini diajukan berdasarkan pendapat Maarten C.W. Janssen
oleh DPR untuk menjadi Undang-Undang, saya dalam kata pengantar bukunya. Maarten C.W.
ingat benar sebagai Wakil Ketua Tim Pemerintah Janssen sebagai editor dalam buku Auctioning
dalam pembahasan Undang-Undang ini di DPR, Public Asset:
Analysis and Alternatives,
pada waktu itu tidak terpikirkan penerapan Pasal sebenarnya menguraikan pemilihan penyedia
22 ini kepada hal-hal di luar pengadaan barang barang atau jasa dengan cara antara lelang
dan jasa, apalagi sampai kepada pemilihan partner (auction) dan beauty contest, bukan mengenai
usaha. Menjadi pertanyaan sekarang, apakah pemilihan partner usaha.
KPPU boleh memperluas pengertian barang dan
In the beginning of the 21st century, many
jasa tersebut sampai kepada pemilihan partner
European governments have allocated
usaha?
the right to use third generation mobile
telephony (UMTS-) frequencies to private
Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang
telecom parties. The allocation mechanism
Pedoman Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun
Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 57

that was adopted differed widely between


countries. Some countries chose to use one
or another from of aution for allocating
the rights, whereas others chose a Beauty
Contest in which market players were
selected on the basis of the proposals they
had submitted how to use the frequencies
(Janssen (Ed), 2004: xii).
Auctions and their alternatives are ways
to select the private parties that get a license
to operate the market. The efficiency of the
market, one of the most important goals
from an economic point of view, defends
to a large extent on the way the market is
designed (how is the license defined and
how many license are allocated) (Janssen,
2004: 9).

pembuat undang-undang sendiri yaitu DPR RI


bersama Pemerintah. Di samping itu, hakim
pengadilan dapat menafsirkan suatu undangundang, tetapi Komisi Pengawas Persaingan
Usaha bukan hakim sebagai lembaga yudikatif
yang boleh menafsirkan suatu undang-undang.
Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999. Pasal 48 ayat (2) UndangUndang No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa
pelanggaran Pasal 22 diancam dengan pidana
denda serendah-rendahnya Rp. 5.000.000.000,(lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp.
25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya 5 (lima) bulan. Berdasarkan ketentuan
tersebut pembuktian bahwa pelaku usaha
melanggar pasal ini harus dilakukan dengan
menggunakan pembuktian pidana sebagaimana
dimaksud Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun
1999.

Jelas sekali uraian dalam buku tersebut


tetap mengenai pengadaan barang dan jasa, dan
bukan mengenai pemilihan partner untuk suatu
Dalam hal ini KPPU menggunakan alat
usaha seperti yang dilakukan oleh PT P dan
bukti lain, yaitu dugaan, penafsiran, asumsi yang
PT M.
menurut saya adalah alat bukti tidak langsung
KPPU tidak berwenang untuk memperluas
(indirect evidence). Hal ini tidak boleh dilakukan
ruang lingkup suatu undang-undang. Peraturan
untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha
KPPU No. 2 Tahun 2010 telah memperluas
sebagaimana diuraikan berikut ini.
penafsiran pengadaan barang dan jasa kepada
Pelanggaran terhadap Pasal 22 Undangpemilihan partner untuk melaksanakan suatu
usaha. Selain itu KPPU telah memperluas Undang No. 5 Tahun 1999 diancam dengan
pengertian
persekongkolan
tender
dari hukuman pidana sebagaimana disebut dalam
persekongkolan horizontal, memasukan juga Pasal 48 ayat (2). Pembuktian tentang adanya
pelanggaran pasal tersebut haruslah memakai
persekongkolan vertikal.
alat-alat bukti sebagaimana dimaksud oleh Pasal
KPPU tidak dapat memperluas penafsiran
42, yaitu:
suatu undang-undang, apalagi dengan mengutip
a. keterangan saksi,
pendapat ahli luar negeri. Pendapat ahli luar
negeri tidak dapat dipakai untuk menafsirkan
undang-undang Indonesia berdasarkan azas
kedaulatan (soveregnity). Yang bisa merubah
isi penafsiran undang-undang tersebut adalah
58 |

b.

keterangan ahli,

c.

surat dan atau dokumen,

d.

petunjuk,

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

e.

keterangan pelaku usaha.

Pengawas Persaingan Usaha No. 1 Tahun


2006 tentang Tata Cara Penanganan di KPPU
Pemakaian alat bukti lainnya seperti alat
telah menyatakan juga bahwa Majelis Komisi
bukti tidak langsung (indirect evidence) yang
menentukan sah atau tidak sahnya suatu alat bukti
terdiri dari antara lain (OECD, 2007: 2):
dan menentukan nilai pembuktian berdasarkan
1. Penafsiran atau interpretasi, dugaan kesesuaian sekurang-kurangnya 2 (dua) alat
bukti yang sah.Sedangkan Undang-Undang No.
dan asumsi.
5 Tahun 1999 telah menyebutkan secara rinci
2. Logika.
atau limitatif alat-alat bukti yang sah menurut
tidak dikenal dalam hukum pembuktian undang-undang yaitu:
persaingan usaha di Indonesia.
a. keterangan saksi,
Alat-alat bukti tersebut dalam Undangb. keterangan ahli,
Undang No. 5 Tahun 1999 sama dengan alat-alat
c. surat dan atau dokumen,
bukti yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
d. petunjuk,
Hukum Acara Pidana Pasal 184, dengan mengganti
e. keterangan pelaku usaha.
Keterangan Terdakwa menjadi Keterangan Pelaku
Usaha, dan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun
Di luar ini, tidak dapat dipergunakan
2006 diubah menjadi Keterangan Terlapor.
sebagai alat bukti yang sah. Dengan demikian di
Dengan demikian pelanggaran pidana dalam luar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menganut untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha/
prinsip yang sama dengan Kitab Undang-Undang terlapor.
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Azas minimum
pembuktian merupakan prinsip yang mengatur
batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan
kesalahan pelaku usaha atau dengan kata lain,
azas pembuktian ialah suatu prinsip yang harus
dipedomani dalam menilai cukup atau tidaknya
alat bukti membuktikan salah atau tidaknya
pelaku usaha.
Untuk menjelaskan masalah ini, titik tolak
berpijak berdasarkan prinsip Pasal 183 KUHAP,
yaitu tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
pelaku usaha/terlapor kecuali dengan sekurangkurang dua alat bukti yang sah, harus diperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa pelaku usahalah yang
melakukannya.

Pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No.


5 Tahun 1999 mempunyai sanksi pidana, maka
semestinya pembuktian pelanggaran tersebut
mengikuti prinsip Hukum Acara Pidana yang
lazim, seperti yang disebutkan oleh Pasal 184
sampai dengan Pasal 189 Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai
berikut ini:
Ad.a. Keterangan saksi

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan


pembuktian keterangan saksi, perlu diperhatikan
beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi
oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan
seorang saksi dapat dianggap sah sebagai alat
bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian,
Pasal 64 ayat (2) Peraturan Komisi harus dipenuhi aturan ketentuan sebagai berikut:

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 59

keterangan itu dipercaya.

1.

Harus mengucapkan sumpah atau


janji.

2.

Keterangan saksi yang bernilai


sebagai bukti adalah apa yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut
alasan dan pengetahuannya itu.

3.

Keterangan saksi harus diberikan di


sidang KPPU.
Ad.b. Keterangan ahli

4.

Keterangan seorang saksi saja


dianggap tidak cukup untuk
membuktikan bahwa terlapor bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.

5.

Keterangan beberapa saksi yang

Keterangan dari saksi yang tidak disumpah


meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak
merupakan alat bukti namun apabila keterangan
itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang
disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan
alat bukti sah yang lain.

Keterangan ahli adalah keterangan yang


diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara guna kepentingan
pemeriksaan.

berdiri
sendiri-sendiri
tentang Ad.c. Surat
suatu kejadian atau keadaan dapat
Surat sebagaimana tersebut dibuat atas
digunakan sebagai suatu alat bukti
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
yang sah apabila keterangan saksi itu
adalah:
ada hubungannya satu dengan yang
a. berita acara dan surat lain dalam
lain sedemikian rupa, sehingga dapat
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
membenarkan adanya suatu kejadian
umum yang berwenang atau yang
atau keadaan tertentu.
dibuat dihadapannya, yang memuat
Baik pendapat maupun rekaan, yang
keterangan tentang kejadian atau
diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
keadaan yang didengar, dilihat atau
merupakan keterangan saksi. Dalam menilai
yang dialaminya sendiri, disertai
kebenaran keterangan seorang saksi, KPPU harus
dengan alasan yang jelas dan tegas
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
tentang keterangannya itu;

60 |

a.

persesuaian antara keterangan saksi


satu dengan yang lain;

b.

persesuaian antara keterangan saksi


dengan alat bukti lain;

c.

alasan yang mungkin dipergunakan


oleh saksi untuk memberi keterangan
tertentu;

d.

cara hidup dan kesusilaan saksi serta


segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya

b.

surat yang dibuat menurut ketentuan


peraturan
perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenal hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan
bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;

c.

surat keterangan dari seorang ahli


yang memuat pendapat berdasarkan
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

d.

keahliannya mengenai sesuatu hal saksi, surat dan keterangan pelaku usaha/terlapor
atau sesuatu keadaan yang diminta sebagai sumber yang dapat melahirkannya, dan
secara resmi dan padanya;
hanya boleh diambil dan diperoleh dari ketiga
surat lain yang hanya dapat berlaku alat bukti yang lain tersebut.
jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.

Ad. d. Petunjuk

Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya


tidak ada diperiksa dalam persidangan KPPU,
dengan sendirinya tidak akan pernah ada alat
bukti petunjuk. Sebaliknya alat bukti yang lain
bisa saja ada tanpa kehadiran alat bukti petunjuk
di sidang KPPU. Tanpa alat bukti petunjuk, sidang
KPPU mungkin saja mencapai nilai pembuktian
yang cukup dari alat bukti yang lain. Akan tetapi,
alat bukti petunjuk tidak akan pernah mampu
mencukupi nilai pembuktian tanpa adanya alat
bukti yang lain.

Pasal 188 ayat (1) Undang-Undang No.


8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menyebutkan petunjuk adalah perbuatan, kejadian
atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik
antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa
pelakunya. Petunjuk sebagaimana dimaksud di
atas menurut prinsip Pasal 188 ayat (2) hanya Ad.e. Keterangan pelaku usaha/terlapor
dapat diperoleh dari:
Pasal 189 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan:
a. keterangan saksi;
b.

surat;

c.

keterangan pelaku usaha.

Penilaian atas kekuatan pembuktian dari


suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
seharusnya dilakukan dengan arif lagi bijaksana,
setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan.
Alat bukti petunjuk pada umumnya, baru
diperlukan apabila alat bukti yang lain belum
mencukupi batas minimum pembuktian yang
ditentukan undang-undang. Alat bukti petunjuk
baru bisa dipergunakan jika telah ada alat bukti
yang lain. Petunjuk sebagai alat bukti, bukan alat
bukti yang memiliki bentuk substansi tersendiri.
Dia tidak mempunyai wadah sendiri jika
dibandingkan dengan alat bukti yang lain.
Petunjuk sebagai alat bukti adalah
asessor (tergantung) pada alat bukti keterangan

1.

Keterangan terdakwa ialah apa yang


terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2.

Keterangan terdakwa yang diberikan


di luar sidang dapat digunakan
untuk membantu menemukan bukti
di sidang, asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang
sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.

3.

Keterangan terdakwa hanya dapat


digunakan terhadap dirinya sendiri.

4.

Keterangan terdakwa saja tidak


cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang
lain.

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 61

Kata-kata terdakwa dalam pasal ini diganti Nasional Indonesia.


dengan kata-kata pelaku usaha dalam UndangUndang No. 5 Tahun 1999 kemudian diganti lagi IV. SIMPULAN
dengan kata terlapor dalam Peraturan KPPU
Sebagai kesimpulan dari uraian di atas
No. 1 Tahun 2006, sehingga prinsip dalam Pasal
189 KUHAP dapat diterapkan untuk pembuktian adalah sebagai berikut:
keterangan pelaku usaha/terlapor.
1. Beauty contest bukan istilah
Undang-Undang No. 5 Tahun
Pembuktian tidak langsung tidak sama
1999
tetapi istilah sarjana luar
dengan alat bukti menurut Pasal 42 Undangnegeri. Hukum asing tidak dapat
Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
dipakai untuk menafsirkan undangPraktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
undang Indonesia berdasarkan azas
Sehat, karena pembuktian tidak langsung
kedaulatan (soveregnity), kecuali
menggunakan prinsip lain. Misalnya:
telah ditetapkan sebagai undang1. Penafsiran atau interpretasi, suatu
undang Indonesia oleh pembentuk
yang terlarang dalam pembuktian
undang-undang. Oleh karena itu
pidana menurut prinsip Hukum Acara
beauty contest tidak sama dengan
Pidana. Pendapat atau rekaan yang
tender. Begitu pula tender tidak sama
diperoleh bukan merupakan bukti.
dengan pemilihan mitra. Sementara
2. Logika, tidak membuktikan apa
ruang lingkup Pasal 22 Undangyang dilihat, didengar, atau dialami
Undang No. 5 Tahun 1999 adalah
sendiri.
mengenai penawaran barang dan jasa,
dan persekongkolan tender adalah
Sebagai kesimpulan, pembuktian tidak
persekongkolan antara para pelaku
langsung tidak sama dengan alat bukti dalam
usaha para peserta tender (horisontal),
Pasal 42 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan
bukan
persekongkolan
antara
tidak dikenal dalam peraturan perundang-undang
peserta tender dan penyelenggara
di Indonesia. Pembuktian tidak langsung (indirect
tender (vertikal). Pemilihan mitra
evidence) tidak sama dengan alat bukti Petunjuk.
tidak masuk ruang lingkup Pasal 22
Petunjuk harus diperoleh dari keterangan saksi,
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.
surat maupun keterangan pelaku usaha/terlapor;
sedangkan pembuktian tidak langsung bisa
2. KPPU tidak dapat memperluas ruang
berdasarkan dugaan, penafsiran atau interpretasi
lingkup suatu Undang-Undang.
dan logika. Ketiganya itu dilarang dalam
Peraturan KPPU No. 2 Tahun
pembuktian tindak pidana di Indonesia.
2010 tentang Pasal 22 UndangPrinsip pembuktian yang diterapkan dalam
putusan-putusan kasus-kasus luar negeri baru bisa
dipergunakan di Indonesia, bila prinsip-prinsip
tersebut sudah dianut oleh Undang-Undang

62 |

Undang No. 5 Tahun 1999 tentang


Persekongkolan dalam Tender, telah
memperluas penafsiran Pasal 22
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
yang bukan wewenang KPPU. Yang
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 51-63

boleh merubah penafsiran undangundang adalah pembentuk undangundang dan hakim. KPPU bukan
hakim sebagai organ yudikatif.
3.

Pembuktian Pasal 22 Undang-Undang


No. 5 Tahun 1999 harus mengikuti
pembuktian pidana sebagaimana
yang dimaksud Pasal 42 UndangUndang No. 5 Tahun 1999, bukan
berdasarkan dugaan, penafsiran, dan
asumsi.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Robert. Et.al., Kerangka Rancangan
dan
Pelaksanaan
Undang-Undang
Kebijakan Persaingan. Terjemahan Pahala
Tamba. Washington D.C.: Bank DuniaOECD Paris.

Sumber lain:
Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 tentang
Pedoman Pasal 22 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Persekongkolan Dalam Tender.
Putusan KPPU No. 35/KPPU-I/2010.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 34/
Pdt.G/KPPU/2011/ PN.JKT.PST.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan
Peraturan
PerundangUndangan.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.

Hansen, Knud. Et.al. 2002. Law Concerning


Prohibition of Monopolistic Practices and
Unfair Business Competition. Jakarta:
Katalis Publishing-Media Services.
Janssen, Maarten C.W. Edt. 2004. Auctioning
Public Assets, Analysis and Alternatives.
New York: Cambridge University Press.
Lubis, Andi Fahmi. Et.al. 2009. Hukum
Persaingan Usaha, Antara Teks & Konteks.
Jakarta: GTZ.
OECD. 2007. Prosecuting Cartels without
Direct Evidence of Agreement.
Pardede, Soy Martua. 2010. Persaingan Sehat
& Akselerasi Pembangunan Ekonomi.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Perluasan Tafsir Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 (Erman Rajagukguk)

| 63

PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM


KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC
Kajian Putusan Nomor 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP
Mutiara Hikmah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Kampus Baru UI, Depok 16424
Email: muti_h@ui.ac.id atau mtiara90@yahoo.com

THE REFUSAL OF INTERNATIONAL ARBITRATION DECISION


IN THE CASE OF ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC (ASTRO)
An Analysis of Decision Number 05/Pdt/ARB-INT/2009/PNJP
Mutiara Hikmah, Faculty of law of University of Indonesia
Kampus Baru UI, Depok 16424
Email: muti_h@ui.ac.id atau mtiara90@yahoo.com
ABSTRAK

Abstract

Meskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang

Even though Indonesia has already had the Arbitration

Arbitrase, penolakan keputusan arbitrase internasional

Law, refusals of the international arbitration decisions

masih terjadi. Salah satunya adalah objek analisis

still happen. One of which is the object of analysis in

dalam artikel ini, yaitu kasus Astro Jaringan

this article, that is the case of Astro All Asia Network

Semua Plc Asia. Penerapan keputusan arbitrase

Plc. The application of the international arbitration

internasional dari Singapura ditolak oleh Pengadilan


Negeri Jakarta Pusat. Penolakan ini diperkuat oleh
Mahkamah Agung. Artikel ini membahas seksama
pertimbangan pengadilan untuk penolakan tersebut.
Terdapat beberapa alasan yang tidak sesuai dengan
UU Arbitrase, baik di tingkat pengadilan maupun
Mahkamah

Agung.

Penolakan

tersebut

dapat

menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan


perdagangan

internasional,

khususnya

terhadap

pengusaha asing. Pemerintah seharusnya mengakui


dan melaksanakan keputusan arbitrase internasional
sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di
Konvensi New York tahun 1958.
Kata kunci: UU Arbitrase, keputusan arbitrase

decision from Singapore was refused by the Central


Jakarta District Court. This refusal is confirmed by
the Supreme Court. This article discuss any courts
considerations for the refusal. It seems that some
reasoning are not in accordance with the Arbitration
Law, that come from both at the district court level and
the Supreme Court. That such refusal, in consequence,
could cause bad impact to the international bussiness
climate. The Government was supposed to admit and
implement the international arbitration decisions as
a consequence of Indonesias membership of the 1958
New York Convention.
Keywords: Arbitration Law, international arbitration
decision.

internasional.

64 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

I.

PENDAHULUAN

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan


umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan
Indonesia telah menjadi anggota Konvensi
di luar negeri (Gautama (a), 2004: 1). Walaupun
New York 1958 (Convention on The Recognition
dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia
and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958)
yang dipilih untuk menyelesaikan sengketa,
melalui Keputusan Presiden RI (Keppres) No.
namun pelaksanaan pemeriksaan arbitrasenya
34 Tahun 1981 dan diterbitkan dalam Lembaran
dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan
Negara RI Tahun 1981 No. 40 (Gautama, 1981:
pemeriksaan dan proses arbitrase berlangsung di
214). Dengan ikut sertanya negara Indonesia
luar negeri, ketika putusan arbitrase diucapkan
dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia
dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah
terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di
pihak dari Indonesia, maka hal ini akan berakibat
dalam konvensi tersebut mengenai pengakuan
pihak yang menang dalam proses arbitrase
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase
(Rajagukguk, 2001: 65).
internasional tersebut di Indonesia.
Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia
(dalam hal ini Mahkamah Agung RI), tidak
mengakui pelaksanaan putusan arbitrase
internasional. Akan tetapi, kesadaran bahwa
negara Indonesia akan terus tumbuh menjadi
bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka
Pemerintah Indonesia harus memikirkan langkah
ke depan untuk dapat mengakui dan melaksanakan
putusan-putusan
arbitrase
internasional.
Khususnya dalam upaya menarik perhatian para
investor untuk memilih Indonesia sebagai tempat
utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara
Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti
model penyelesaian sengketa melalui arbitrase
yang diikuti dengan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase internasionalnya (Simanjuntak,
2002: 85).

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase


internasional, sangat terkait dengan pemahaman
dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan
(Prodjodikoro,
1954:
74).
Pengadilanpengadilan mempunyai peranan penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang
perdagangan, walaupun para pihak telah sepakat
untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan
melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta
campur tangan manakala proses arbitrase telah
selesai dan salah satu pihak tidak bersedia
melaksanakan putusan arbitrase tersebut
(Rajagukguk, 2001: 4).

Dalam proses pelaksanaan putusan arbitrase,


lembaga arbitrase tidak dapat memaksakan
pelaksanaan putusannya (Zuraida, 2009: 222),
melainkan lembaga pengadilan yang harus
Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi
memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan
pada akhir-akhir ini, dalam kontrak-kontrak yang
putusan arbitrase tersebut. Dalam prakteknya,
ditandatangani oleh Badan Usaha Milik Negara
pengadilan dapat sewaktu-waktu campur tangan
(BUMN) atau perusahaan negara di satu pihak
dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang
dengan pihak asing, baik dalam bentuk Kerja Sama
berjalan.
Operasi (KSO)/Joint Operation Contract (JOC)
atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang
Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi
bersifat internasional, dipakai klausul mengenai New York 1958 pada tahun 1981, pada kurun

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 65

waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah


Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia
(untuk selanjutnya disingkat dengan Perma),
masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku
usaha asing dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase
internasional di Indonesia. Mahkamah Agung RI
sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia
berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional
tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Setelah Mahkamah Agung RI mengeluarkan
Perma, pelaksanaan putusan arbitrase internasional
di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena
hukum acara yang mengatur tentang tata cara
pelaksanaan putusan arbitrase internasional
sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dalam hierarki perundangundangan di Indonesia, pada 12 Agustus 1999
diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (untuk selanjutnya disingkat dengan UU
Arbitrase) terdiri dari XI Bab dan 82 Pasal. Pada
Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Kanada). Pembatalan putusan arbitrase Swiss


oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut
kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung
RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASITINT/2002, tanggal 8 Maret 2004.
Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase
internasional asal Singapore International
Arbitration
Center/SIAC
yang
ditolak
pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, serta penolakan tersebut kemudian
dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Kasus
tersebut merupakan salah satu kasus arbitrase
internasional yang juga diajukan banding ke
Mahkamah Agung adalah kasus antara AAAN
dengan PT APM, anak perusahaan. PT APM
sebagai pemilik PT DV bersama dengan AG,
di mana A memiliki saham sebanyak 49%. Dan
sisanya dimiliki Silver Concord sebesar 51%.
APM sendiri, dimiliki oleh PT FM, sebanyak 99%
dalam bentuk nilai penyertaan sebesar Rp.34,54
juta dan PT MVC dengan nilai penyertaan Rp.35
ribu (1%).

Gugatan bermula dari perselisihan terkait


kerja sama televisi swasta AAAN dengan LG
Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu- melalui PT DV. Kerja sama ini mewajibkan LG
satunya putusan arbitrase internasional yang menanamkan 50 persen saham mereka di Astro,
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat namun tidak dipenuhi. Akhirnya, keputusan
adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss pengadilan arbitrase menetapkan PT DVharus
(tanggal 18 Desember 2000), yaitu pada perkara membayar US$230 juta. Sementara FM dan PT
KBC vs. PT P dan PL (Putusan No. 86/Pdt-G/2002, APM, juga anak perusahaan milik LG, diwajibkan
tanggal 19 Agustus 2002 dengan Ketua Majelis membayar sejumlah US$95 juta.
Hakim HS, S.H). Kasus tersebut mengundang
Menurut keterangan dari kuasa hukum pihak
perhatian berbagai pihak dari dalam dan luar
AAAN, PT APM telah gagal dalam menyelesaikan
negeri, karena selain melibatkan beberapa saksi
rencana kerjasama antara AAAN dan LG di
ahli dari berbagai negara, juga putusan arbitrase
dalam PT DV, sehingga AAAN menggunakan
tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak
haknya dengan mendaftarkan masalah tersebut
KBC di beberapa negara, sehubungan dengan
ke persidangan arbitrase di Singapura, SIAC.
aset pihak PT P yang terdapat di beberapa negara
Majelis arbitrase SIAC memutuskan bahwa pihak
(antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan
66 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

PT APM harus membayar denda sebesar US$


230 juta kepada AAAN, dengan putusan SIAC
No. 62 of 2008 tanggal 7 Mei 2009. Oleh kuasa
hukum pihak AAAN, putusan arbitrase asal SIAC
tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dengan nomor pendaftaran No. 05/2009,
tanggal 1 September 2009. Pada keesokan harinya,
secara terpisah PT DV mengajukan permohonan
pembatalan atas putusan Arbitrase SIAC dengan
Register Nomor: 177/PDT.P/2009/PN.JKT.
PST, tanggal 2 September 2009. Demikian pula
dengan PT APM, juga mengajukan permohonan
pembatalan putusan arbitrase internasional asal
SIAC dengan Register Nomor: 178/PDT.P/2009/
PN.JKT.PST. Berdasarkan Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat tertanggal 28 Oktober
2009, permohonan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional oleh pihak AAAN tersebut ditolak
oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2.

Bagaimana
analisis
mengenai
pertimbangan Mahkamah Agung RI
yang telah menguatkan penolakan
terhadap
putusan
arbitrase
internasional pada kasus AAAN?

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS


1.

Studi Pustaka

Kajian mengenai putusan arbitrase


internasional merupakan salah satu kajian di
bidang Hukum Perdata Internasional (untuk
selanjutnya disingkat dengan HPI), karena adanya
unsur-unsur asing (foreign elements) dalam suatu
putusan arbitrase internasional. Perumusan
yang diberikan oleh ahli HPI Inggris Chesire,
adalah That part of English Law known as
Private International Law comes into operation
whenever the court is seized of a suit that contains
as foreign element. (Terjemahan bebas dari
penulis: Bagian dari Hukum Inggris yang dikenal
II. RUMUSAN MASALAH
dengan Hukum Perdata Internasional adalah
Pada kasus AAAN di atas, Pengadilan berasal dari hubungan-hubungan yang memiliki
Negeri Jakarta Pusat telah menolak pelaksanaan unsur asing).
putusan arbitrase asal Singapore International
Adanya unsur-unsur asing tersebut,
Arbitration Center, dan penolakan tersebut
dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI. Dengan ditandai dengan adanya hal-hal atau keadaan
terikatnya Indonesia pada Konvensi New York yang menyebabkan berlakunya suatu stelsel
1958, Pemerintah RI seharusnya berhati-hati hukum. Hal ini disebut juga sebagai suatu titikdalam menolak putusan arbitrase internasional titik pertalian, yang dalam pembahasan tentang
yang dimohonkan pelaksanaannya di Indonesia. HPI, terdiri dari Titik-titik Pertalian Primer (untuk
selanjutnya disingkat dengan TPP), Titik-titik
Berdasarkan pemaparan latar belakang Pertalian Sekunder (untuk selanjutnya disingkat
tersebut di atas, maka terdapat beberapa masalah dengan TPS), serta Titik-titik Pertalian Lebih
yang dapat dirumuskan, antara lain:
Lanjut.
1.

Bagaimana
analisis
mengenai
pertimbangan
pengadilan
yang
memberikan penolakan terhadap
putusan arbitrase internasional pada
kasus AAAN?

Yang dimaksud dengan TPP adalah halhal dan keadaan-keadaan yang melahirkan
atau menciptakan suatu hubungan HPI. Karena
terdapatnya TPP ini, maka lahirlah hubunganhubungan HPI. Macam-macam TPP dalam

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 67

HPI antara lain (Gautama, 1986: 24-62):


kewarganegaraan, bendera kapal, domisili,
tempat kediaman, tempat kedudukan badan
hukum, dan pilihan hukum. Selain TPP, juga
ada TPS, yaitu hal-hal atau keadaan yang
menentukan hukum mana yang berlaku dalam
suatu peristiwa HPI. Macam-macam TPS terdiri
dari: kewarganegaraan, bendera kapal, domisili,
tempat kediaman, tempat kedudukan badan
hukum, pilihan hukum, tempat letaknya benda,
tempat dilangsungkannya perbuatan hukum,
tempat dilaksanakannya perjanjian, tempat
terjadinya perbuatan melawan hukum.
Sedangkan yang termasuk ke dalam Titiktitik Pertalian Lebih Lanjut, adalah (Gautama
1986: 63-72): Titik pertalian kumulatif, adalah
terdapat suatu kumulasi (penumpukan) dari titiktitik pertalian. Kumulasi ini dapat berlangsung
dalam dua bentuk tertentu. Salah satu dari stelsel
hukum yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel
hukum nasional dan yang lainnya adalah stelsel
hukum asing.
Bentuk yang lainnya adalah stelsel hukum
yang berlaku bersamaan ini adalah stelsel hukum
yang kebetulan dipertautkan. Titik pertalian
alternatif, yaitu adanya lebih dari satu titik
pertalian yang dapat menentukan hukum yang
berlaku. Salah satu dari dua atau lebih faktorfaktor ini dapat merupakan faktor yang berlaku.
Titik pertalian pengganti, adalah titik-titik
pertalian yang diperlakukan apabila titik taut yang
seharusnya dipergunakan tidak terdapat. Titik
pertalian tambahan, bahwa titik taut penentu yang
harus berlaku adanya tidak mencukupi. Dalam hal
ini diperlukan titik taut tambahan. Titik pertalian
accessoir, adalah penempatan suatu hubungan
hukum di bawah satu stelsel hukum yang sudah
berlaku untuk lain hubungan hukum yang lebih
utama.
68 |

Mengenai titik pertalian ini, Chesire


memberikan uraian dengan mengemukakan
bahwa connecting factor merupakan some
outstanding fact which establishes a natural
connection between the factual situation before
the court and a particular system of law(Chesire
dan North, 1992: 10). (Terjemahan bebas dari
penulis: Beberapa faktor utama yang timbul
sebagai hubungan antara keadaan sesungguhnya
yang menyangkut sistem hukum yang khusus).
Pembahasan tentang pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia berhubungan
dengan salah satu teori HPI, yaitu teori tentang
hak-hak yang telah diperoleh (vested rights
theory) ). Istilah hak-hak yang telah diperoleh
dalam bidang HPI tidak hanya mencakup hakhak kebendaan, hak-hak kekeluargaan dan
status personal, tetapi juga mencakup hak-hak
yang timbul dari tiap-tiap hubungan hukum atau
keadaan hukum (Gautama, 1986: 257-258).
Jika mempelajari sejarahnya, teori tentang
hak-hak yang telah diperoleh, merupakan
teori yang sudah tua usianya (Gautama, 2008:
274). Dalam abad pertengahan, teori ini sudah
ditemukan di dalam pemikiran-pemikiran sarjana
hukum pada saat itu. Hal ini dapat dilihat pada
pendapat-pendapat sarjana asal Belanda dan
Jerman. Dalam abad ke-18 teori tentang hakhak yang telah diperoleh ini disandarkan pada
teori hukum alam (natuurrecht). Terutama
di Jerman teori ini telah memperoleh banyak
pengikut dalam permulaan abad ke-19. Jika
terdapat pertemuan (kollisie) kaidah-kaidah
hukum, maka diberikan prioritas kepada kaidahkaidah hukum negara di mana hubungan hukum
bersangkutan telah tercipta. Dengan demikian
dikedepankan pengertian tentang hak-hak yang
telah diperoleh.

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

Beberapa penulis seperti Frankenstein,


telah menerima prinsip hak-hak yang telah
diperoleh. Menurut pendapatnya, bahwa jika
diadakan perubahan kewarganegaraan seseorang
atau perubahan letaknya benda karena terdapat
hubungan hukum dengan sistem hukum lain,
maka hak-hak yang telah diperoleh itu tetap
berlaku (Frankenstein, 1926: 132). Pendapat
tersebut juga didukung oleh Raape dan Martin
Wolff (Wolff, 1950: 2).
Martin Wolff memberikan penjelasan
bahwa tidak ada suatu negara dalam HPI-nya akan
boleh mengatur sesuatu sedemikian rupa hingga
kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya
berkenaan dengan hak-hak orang asing dapat
dilanggar begitu saja. Dalam hubungan ini
beliau menunjuk kepada apa yang dinamakan
teori tentang hak-hak yang diperoleh. Menurut
beliau, jika suatu hubungan hukum telah terjadi
di negara asing antara warga negara dari negara
itu menurut hukum yang berlaku di sana, maka
lain-lain negara akan mengakuinya sebagai
tercipta secara sah, sekalipun dalam hal bahwa
kemudian hubungan ini telah dipindahkan ke
dalam negeri dan menurut hukum dalam negeri
ini harus dipandang sebagai tidak sah adanya
(Wolff, 1950. :1).

hukum yang telah memberikan inspirasi kepada


pembuat undang-undang daripada suatu kaidah
hukum yang berdiri sendiri (zelfstandige regel),
pengakuan status personil orang asing pemakaian
lex rei sitae, pengakuan sahnya suatu perbuatan
yang sesuai dengan syarat-syarat formal di luar
negeri, semua ini boleh dianggap disandarkan
atas asas hak-hak yang diperoleh itu. Asas
ini dapat dianggap telah tersirat (verwerkt)
dalam kaidah hukum bersangkutan (Gautama,
1998: 307).

Dicey merupakan sarjana HPI Inggris


yang telah mengedepankan teori tentang vested
rights. Dalam pandangan Dicey dikemukakan
lagi perbedaan antara kaidah-kaidah hukum asing
(laws) dan hak-hak (rights) yang telah diperoleh di
luar negeri. Yang hendak diberikan perlindungan
ialah hak-hak yang disebut terakhir ini. Atas
dasar apakah dianggap perlu untuk menghargai
hak-hak yang telah diperoleh di luar negeri ini?
Dasarnya menurut pandangan Dicey bukan
semata-mata courtoisie (comity). Tidaklah
tergantung kepada kehendak sendiri pihak negara
yang berdaulat untuk memperhatikan hak-hak
yang telah diperoleh di negara-negara lain. Yang
menjadi dorongan ialah kenyataan bahwa jika
tidak dihargai hak-hak yang telah diperoleh di
luar negeri ini akan timbullah banyak kesulitan
Ahli HPI Belanda yang kenamaan seperti
dan inconveniences serius serta ketidak-adilan
Meijers dan Van Brakel juga menerima teori
yang sangat, hingga dengan demikian ini akan
tentang hak-hak yang telah diperoleh. Menurut
diperlambat atau dihalang-halangi perkembangan
Van Brakel, harus diadakan pengakuan terhadap
hubungan dalam HPI.
hak-hak yang telah tercipta di luar negeri. Tanpa
pengakuan itu tidak akan mungkin hubungan lalu
Jika mempelajari perkembangan teori
lintas internasional HPI akan dapat berkembang. hak-hak yang telah diperoleh di Indonesia,
Pengakuan hak-hak yang telah diperoleh, Mahkamah Agung RI (di bawah Ketua Prof.
merupakan salah satu pikiran fundamental di Wirjono Prodjodikoro) menganggap lebih
mana gedung HPI telah dibangun. Menurut beliau tepat untuk mempergunakan istilah pelanjutan
doktrin tentang hak-hak yang telah diperoleh keadaan hukum. Prof. Wirjono menjelaskan:
lebih banyak harus dilihat sebagai suatu asas Dalam perkataan-perkataan recht, right atau
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 69

droit tidak berarti sebagai hak hukum, melainkan


keadaan hukum atau perhubungan hukum. Beliau
menambahkan, bahwa sebetulnya tidak berarti
melindungi hak-hak atau kekuasaan hukum,
melainkan berarti melanjutkan suatu keadaan
hukum. Menurut beliau, dalam banyak peristiwa,
untuk mana hukum perdata asing harus berlaku,
memang alasannya dapat diketemukan pada suatu
pelanjutan keadaan hukum. Akan tetapi, menurut
beliau pelanjutan keadaan hukum ini bukan satusatunya alasan untuk menunjuk kepada hukum
perdata asing (Gautama, 1998: 312).
Secara hukum positif ditunjuk pula
kepada ketentuan yang termaktub pada Pasal
16 A.B. yang berhubungan dengan Pasal 3 A.B.
Pasal ini menunjuk kepada hukum perdata bagi
orang-orang asing yang berada di Indonesia.
Pasal ini mengedepankan prinsip nasionalitas
(nationaliteits-beginsel) untuk status personal
seseorang. Pasal 16 A.B. ini secara letterlijk hanya
mengenai status para warga negara Republik
Indonesia yang berada di luar negeri.
Secara analogi, juga status personal orangorang asing yang berada di Indonesia tetap takluk
di bawah hukum nasionalnya, sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 A.B.
bahwa hukum perdata dan hukum dagang pada
pokoknya adalah sama, baik untuk para warga
negara maupun untuk orang asing.
Menurut Wirjono Prodjodikoro kata-kata
dalam Pasal 16 A.B. mengandung penafsiran
pelanjutan keadaan. Dengan demikian dapatlah
ditarik kesimpulan seolah-olah prinsip pelanjutan
keadaan hukum atau penghormatan terhadap
hak-hak yang telah diperoleh termasuk pula
dalam peraturan-peraturan tertulis yang berlaku
untuk Indonesia (Gautama, 1998: 313).
Teori tentang hak-hak yang telah diperoleh
70 |

mempunyai hubungan erat dengan masalah


ketertiban umum. Menurut pandangan berbagai
sarjana hukum tujuan daripada hak-hak yang
diperoleh ini justru adalah sebaliknya daripada
tujuan ketertiban umum dalam HPI. Ketertiban
umum internasional merupakan dasar kuat untuk
melakukan hukum perdata nasional sang hakim,
padahal menurut kaidah-kaidah HPI sang hakim
sendiri, kaidah-kaidah hukum perdata asing yang
harus dipergunakan.
Ajaran hak-hak yang diperoleh justru
menghendaki kebalikannya, bukan hukum asing
yang dikesampingkan, tetapi justru hukum asing
inilah yang diakui dan dipergunakan. Prinsip hakhak yang diperoleh ini dalam prakteknya dapat
dipergunakan untuk memperbaiki pelaksanaan
prinsip ketertiban umum. Di mana pemakaian
prinsip ketertiban umum ini akan menghasilkan
dikesampingkannya hukum perdata asing,
padahal hukum asing ini perlu diperhatikan juga
demi terpenuhinya rasa keadilan para pihak.
Pemakaian prinsip hak-hak yang diperoleh
dapat memperbaiki dan melembutkan pelaksanaan
prinsip ketertiban umum.
Dalam kajian Hukum Perdata Internasional,
tidak ada definisi khusus yang dirumuskan untuk
istilah ketertiban umum. Tetapi pada esensinya,
hakim suatu negara dapat mengenyampingkan
berlakunya kaidah hukum asing, jika hukum
asing tersebut bertentangan dengan sendi-sendi
asasi hukum sang hakim. Relativitas merupakan
sifat dari ketertiban umum, artinya ketertiban
umum bersifat relatif, berlakunya tergantung pada
faktor-faktor waktu, tempat dan intensitas (dalam
bahasa Jerman Inlandsbeziehungen) (Gautama
1998: 142).
Juga dalam hubungan hak-hak yang telah
diperoleh pembahasan asas resiprositas adalah

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

penting. Prinsip saling harga-menghargai juga


harus diperhatikan dalam hubungan ini. Memang
tidak dapat disangkal bahwa soal timbal balik
memegang peranan penting dalam seluruh
bidang HPI. Jika timbal-balik penting baik untuk
ketertiban umum maupun untuk hak-hak yang
telah diperoleh, perlu diperhatikan pula bahwa
dalam wujudnya terdapat perbedaan tertentu.

sedemikian rupa, sehingga pelanjutan keadaan


hukum itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal ini, ditambahkan oleh beliau bahwa jika
inconcreto harus disebutkan suatu alasan tertentu
untuk membatasi pengakuan prinsip hak-hak
yang telah diperoleh ini, maka akan kembali
lagi kepada alasan berdasar atas ketertiban umum
negara awal.

Dalam wujudnya, timbal balik ini adalah


berlainan dalam hal ketertiban umum dan dalam
hal hak-hak yang telah diperoleh. Letak
perbedaannya adalah, dalam hal ketertiban umum
resiprositas mengakibatkan bahwa hakim menjaga
supaya berhati-hati dalam menggunakan asas
ini sebagai alasan untuk mengutamakan hukum
nasional, sedangkan dalam hal hak-hak yang
telah diperoleh resiprositas adalah mendorong
hakim supaya mengetahui seberapa boleh
memperhatikan hak-hak yang telah diperoleh
(atau melanjutkan keadaan hukum).

Ketertiban umum dalam hal ini merupakan


pembatasan dari berlakunya hak-hak-yang telah
diperoleh. Mengenai hal tersebut, Konvensi New
York 1958 pun mengatur mengenai ketertiban
umum yang dapat dijadikan dasar untuk
penolakan terhadap berlakunya putusan arbitrase
internasional di suatu negara. Konvensi New
York 1958 merupakan konvensi internasional
yang diprakarsai oleh PBB mengenai pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Indonesia merupakan salah satu negara peserta
dari 145 jumlah negara yang menjadi anggota
Konvensi New York 1958.

Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam


hubungan mengenai hak-hak yang telah diperoleh
ini: jika suatu negara kurang memperhatikan
hak perlanjutan keadaan hukum ini terhadap
lain negara, maka tidak boleh diharapkan,
bahwa negara lain itu akan memperhatikan
hal perlanjutan keadaan hukum itu sepatutnya
terhadap negara yang tersebut pertama tadi.

Dengan ikut sertanya negara Indonesia


dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia
terikat pada ketentuan-ketentuan yang terdapat
di dalam konvensi tersebut. Salah satu pasal
dari konvensi tersebut dengan jelas menyatakan,
bahwa apabila terdapat suatu klausul arbitrase
(Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York 1958), yaitu
perjanjian yang dibuat oleh para pihak, dalam hal
timbul sengketa, mereka akan menyelesaikan
sengketa ini dengan jalan arbitrase, maka pihak
hakim dari pengadilan harus menyatakan dirinya
tidak berwenang serta mempersilahkan para pihak
untuk melanjutkan perkara mereka di hadapan
forum arbitrase.

Sebagai kelanjutan tinjauannya beliau


telah menjelaskan lebih jauh persoalan sampai
di manakah negara masing-masing akan
memperhatikan prinsip hak-hak yang telah
diperoleh itu. Paling tegas hanya dapat dikatakan,
bahwa suatu negara akan mungkin menghentikan
perhatian prinsip hak-hak yang telah diperoleh
ini, jika ternyata, bahwa dengan diakuinya hakBadan-badan peradilan dari negara peserta
hak yang telah diperoleh di luar negeri ini, rasa konvensi, apabila diminta untuk mengadili suatu
keadilan rakyat sang hakim akan tersinggung perkara di mana para pihak telah mengadakan

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 71

persetujuan secara tertulis untuk memilih


forum arbitrase, para pihak dipersilahkan untuk
menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase.
Kecuali apabila badan peradilan yang berwenang
menganggap bahwa perjanjian arbitrase yang
telah dibuat oleh para pihak telah dianggap batal
adanya atau tidak dapat dilaksanakan.
Prinsip dalam Konvensi New York 1958
ini, dikenal dengan istilah Limitation of Court
Involvement. Di mana menurut prinsip ini,
terdapat pembatasan campur tangan pengadilan
di dalam proses arbitrase. Dengan kata lain,
jika para pihak sudah sepakat memilih arbitrase
sebagai tempat penyelesaian sengketa, maka
pengadilan harus menolak untuk memeriksa
sengketa tersebut. Hal ini seperti yang diatur
di dalam Pasal 2 ayat (3) Konvensi New York
1958. Prinsip dalam Konvensi New York 1958
tersebut merupakan penghormatan terhadap asas
kebebasan berkontrak.
2.

Analisis

LLC (perseroan terbatas yang berkedudukan di


UEA).
Para pihak tersebut secara keseluruhan
disebut sebagai pemohon pada arbitrase SIAC
Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB 062/08/JL) pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan pemohon
kasasi terhadap penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009
pada Mahkamah Agung RI, melawan pihak:
PT APM, PT FM Tbk dan PT DV/PT
DV (perseroan terbatas yang berkedudukan di
Indonesia). Para pihak tersebut secara keseluruhan
disebut sebagai termohon pada arbitrase SIAC,
termohon penetapan pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008
(ARB 062/08/JL) pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dan termohon kasasi terhadap penetapan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 05/
Pdt/ARB-INT/2009 pada Mahkamah Agung RI.
B. Intisari Kasus

AN adalah stasiun televisi satelit


2.1. Analisis Terhadap Penolakan Putusan
berlangganan di Indonesia yang beroperasi sejak
Arbitrase Internasional asal SIAC oleh
28 Februari 2006 hingga 19 Oktober 2008. AN
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
dioperasikan oleh PT DV, dimana kepemilikan
Dalam sub bahasan ini akan diuraikan sahamnya adalah 49% oleh PT APM dan 51% oleh
beberapa hal sehubungan dengan kasus posisi, Silver Concord Holding Limited (Badan Hukum
antara lain:
BVI), keduanya adalah anak perusahaan milik LG.
PT DV memperoleh pasokan siaran dari AAAN
A. Para Pihak
PLC, operator televisi satelit berlangganan Astro
di Malaysia dan Brunei Darussalam, dan juga
Para pihak yang bersengketa adalah: ANI
berhak menggunakan nama A melalui suatu
B.V., ANH B.V., AMC N.V., AM N.V. (adalah
perjanjian lisensi penggunaan merek dagang
beberapa perseroan terbatas yang berkedudukan
(Trademark License Agreement). Kedua pihak
di Belanda), AOL (perseroan terbatas yang
juga menyepakati Subsciption and Shareholder
berkedudukan di Bermuda), AAAN PLC
Agreement (untuk selanjutnya disingkat dengan
(perseroan terbatas yang berkedudukan di
SSA) dalam waktu dua tahun AAAN akan turut
Inggris), MBNS Sdn Bhd (perseroan terbatas
serta menjadi pemegang saham di PT DV.
yang berkedudukan di Malaysia) dan AAMN FZ72 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

Pada tanggal 11 Maret 2005 diadakan


penutupan SSA antara pihak pemohon dan PT
DV. Berdasarkan SSA, Astro harus melakukan
penyetoran modal sebesar tiga puluh sembilan
juta Dollar Amerika ditambah dukungan teknis
sebesar seratus tiga puluh enam juta Dollar
Amerika kepada PT DV. Pada 26 Agustus 2005,
Pemerintah Indonesia memberlakukan UndangUndang Penyiaran yang mewajibkan semua
operator, termasuk yang telah memiliki ijin
multimedia seperti PT DV untuk mengajukan ijin
penyelenggaraan penyiaran berdasarkan UndangUndang Penyiaran yang membatasi kepemilikan
asing menjadi 20%.

Negeri Jakarta Selatan, dengan AAAN, MBNS,


Sdn Bhd, AAMN FZ-LLC, MSS Sdn Bhd, RM,
SD, NM, LT, PT AKV, TAS (pemilik PT AKV),
PT KMA (perusahaan yang berkedudukan di
Indonesia, penyelenggara jasa penyiaran televisi
berlangganan dengan merek dagang Aora), PT
AB (perusahaan yang berkedudukan di Indonesia
yang diperkenalkan oleh AAN sebagai pemegang
saham sebesar tiga puluh satu persen pada PT
DV), sebagai tergugat dan PT DV sebagai turut
tergugat. Gugatan didasarkan atas perbuatan
melawan hukum berkenaan dengan pendanaan
dan pengaturan PT DV dengan petitum pada
AAAN, MBNS, Sdn Bhd, All Asia MN FZ-LLC
untuk meneruskan pendanaan dan jasa pada
Konsekuensinya, L dan A kemudian
PT DV serta membayar US$1,62 miliar atas
membicarakan lebih lanjut untuk restrukturisasi
pencemaran nama baik PT APM.
PT DV agar dapat memenuhi ketentuan dalam
Undang-Undang Penyiaran yang baru. Badan
Sementara itu, AAAN mengajukan perkara
Koordinasi Penanaman Modal kemudian mengenai SSA pada SIAC tanggal 6 Oktober
memberikan ijin, bahwa hingga tahun 2010 Astro 2008. Pengajuan perkara pada SIAC didasarkan
diperbolehkan memiliki hingga 51% saham.
pada Pasal 17.4 SSA. Pada tanggal 7 Mei 2009
Perundingan dilanjutkan kembali pada
bulan Mei 2007. Hingga akhir Mei 2007, perkiraan
biaya yang telah dikeluarkan pihak Astro adalah
US$107,6 juta dalam bentuk pendanaan awal dan
jasa. Hingga akhir Agustus 2007, tidak ada tanda
bahwa SSA akan ditutup, namun para pihak
mulai memikirkan pilihan untuk keluar. Astro
menyatakan tidak akan melanjutkan pemberian
dukungan berupa dana maupun jasa pada PT
DV. Pada bulan Juli dan Agustus 2008, pemohon
menerbitkan dan mengirimkan tagihan pada PT
DV atas jasa dan meminta pengembalian atas
dana yang telah diberikan. Di lain pihak, Lippo
bersikeras bahwa Astro berkewajiban memberi
dana dan jasa pada PT DV.
Tanggal 4 September 2008, PT APM
mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan

SIAC mengeluarkan Putusan Arbitrase SIAC


No. 062 Tahun 2008. Salah satu isi Putusan
Arbitrase SIAC adalah memerintahkan PT APM
menghentikan proses perkara di Indonesia selama
berkaitan dengan AAAN, MBNS Sdn Bhd,
AAMN FZ-LLC, dan RM.
C. Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase yang dimintakan
pelaksanaannya di Indonesia adalah Putusan
Arbitrase SIAC Nomor: 062 Tahun 2008 (ARB
062/08/JL). Putusan ini dikeluarkan oleh lembaga
arbitrase SIAC yang berkedudukan di Singapura.
Ketika para pihak memilih SIAC sebagai forum
penyelesaian sengketa berdasar Pasal 17.4 SSA,
maka ada beberapa hukum yang berlaku, yaitu:
1.

Hukum

Singapura

sebagai

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

lex

| 73

arbitri (hukum tempat arbitrase


berlangsung).

pihak memilih SIAC sebagai institusi


arbitrase serta menyatakan bahwa
SIAC Rules akan berlaku dalam proses
arbitrase. Sesuai dengan asas pacta
sunt servanda (perjanjian bersifat
mengikat bagi para pembuatnya)
maka mahkamah arbitrase dalam
menjalankan proses arbitrase tunduk
pada SIAC Rules tahun 2007. SIAC
sendiri juga mengadopsi Uncitral
Model Law on International
Commercial Arbitration.

Singapura memiliki dua undangundang arbitrase, satu yang berlaku


untuk arbitrase nasional dan satu
lagi untuk arbitrase internasional.
Untuk perjanjian-perjanjian arbitrase
internasional,
undang-undang
yang berlaku adalah International
Arbitration Act (untuk selanjutnya
disebut IAA), Chapter 143 A, yang
berlaku untuk arbitrase internasional
maupun arbitrase non-internasional
apabila para pihak memperjanjikan
secara tertulis bahwa Part II IAA
dan Model Law akan berlaku. IAA
memberikan Model Law kekuatan
berlaku di Singapura, dengan
pengecualian Chapter VIII (tentang
Pengakuan
dan
Pelaksanaan
Putusan).
Hukum Singapura merupakan lex
arbitri, mengingat SIAC merupakan
institusi arbitrase yang berkedudukan
di Singapura. Maka ketentuan IAA
berlaku pula untuk arbitrase antara
PT APM dan Astro. SIAC sebagai
lembaga yang berwenang, selain
harus tunduk pada procedural law
dan menerapkan substantive law
dalam penyelesaian sengketa, juga
tunduk pada ketentuan arbitrase
internasional Singapura dalam IAA.
2.

SIAC Rules tahun 2007 sebagai


procedural law (hukum yang
mengatur tatacara dalam proses
berarbitrase).
Berdasarkan Pasal 17.4 SSA, para

74 |

3.

Hukum Singapura sebagai substantive


law (hukum yang mengatur mengenai
materi perjanjian).
Berdasarkan Pasal 18.5 SSA, This
Agreement shall be governed by and
construed in accordance with the laws
of the Republic of Singapore. sesuai
dengan asas pacta sunt servanda,
maka mahkamah arbitrase ketika
memeriksa sengketa antara para
pihak yang timbul berdasarkan SSA,
memperlakukan hukum Singapura.

D.

Penetapan Pengadilan

Setelah memperoleh Putusan Provisi


Arbitrase SIAC, pihak Astro mendaftarkan
putusan tersebut di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 1 September
2009 untuk dimintakan eksequatur di Indonesia.
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 05/Pdt/ARB-INT/2009
Dalam
Internasional
Nomor: 062
2009, Ketua

Penetapan Putusan Arbitrase


berdasarkan Peraturan SIAC
Tahun 2008 tanggal 07 Mei
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

berpendapat bahwa substansi Putusan Provisi


Arbitrase SIAC bukanlah substansi dalam bidang
perdagangan; bahwa Putusan Provisi Arbitrase
SIAC merupakan intervensi pelaksanaan proses
peradilan di Indonesia; dan bahwa Putusan Provisi
Arbitrase SIAC bukanlah merupakan putusan
final mengenai pokok perkara; oleh karenanya
menetapkan bahwa Putusan Provisi Arbitrase
SIAC tidak dapat dilaksanakan.
Dalam kasus PT A di atas, Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menolak permohonan pelaksanaan
putusan arbitrase asal SIAC yang diajukan oleh
pihak PT A . Adapun yang menjadi alasan ketua
pengadilan dalam menolak pelaksanaan putusan
arbitrase internasional asal SIAC tersebut
adalah:

dalam Pasal 66 butir (b) UndangUndang No. 30 Tahun 1999;


-

Bahwa untuk mencegah kekeliruan


yang timbul di kemudian hari, apabila
permohonan eksekuatur tersebut
tetap dilaksanakan, maka Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat memandang
perlu untuk menyatakan bahwa
Putusan Arbitrase SIAC tidak dapat
dilaksanakan (non eksekuatur).

Atas penetapan Ketua Pengadilan Negeri


Jakarta Pusat terhadap putusan Arbitrase SIAC,
dalam hal ini penulis tidak sependapat. Adapun
beberapa alasannya adalah:
1. Bahwa putusan arbitrase tersebut telah
melebihi kewenangan yang sudah ditetapkan
yaitu telah mengintervensi pelaksanaan
proses peradilan di Indonesia. Hal tersebut
kurang tepat, mengingat di dalam UndangUndang Arbitrase dinyatakan di dalam
Pasal 3, bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase. Kemudian di dalam Pasal 11
ayat (1) dinyatakan bahwa, adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak
para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat
dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri.

Bahwa substansi Putusan Arbitrase


Internasional berdasarkan SIAC, telah
melebihi kewenangan yang sudah
ditetapkan yaitu telah mengintervensi
pelaksanaan proses peradilan di
Indonesia yang telah berjalan sesuai
dengan perundang-undangan yang
berlaku, maka Putusan Arbitrase
Internasional dimaksud tidak dapat
dijalankan (Non Eksekutorial);

Bahwa setelah diteliti dan dipelajari


permasalahan dalam berkas perkara
Putusan Arbitrase Internasional
berdasarkan SIAC yang diputus
2. Bahwa adalah ternyata Putusan Arbitrase
tanggal 7 Mei 2009, adalah ternyata
Internasional tersebut bukan merupakan
Putusan Arbitrase Internasional
putusan akhir/final. Hal tersebut kurang
tersebut bukan merupakan putusan
tepat, mengingat prinsip umum dalam
akhir/final;
perjanjian arbitrase, bahwa putusannya
Bahwa sengketa dalam putusan
bersifat final dan binding. Hal ini seperti
arbitrase SIAC, bukanlah sengketa
yang diatur di dalam Undang-Undang
mengenai ruang lingkup hukum
Arbitrase Pasal 60 dan di dalam Konvensi
perdagangan sebagaimana ditentukan
New York 1958, Pasal 3.

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 75

3. Bahwa sengketa dalam putusan arbitrase


SIAC, bukanlah sengketa mengenai ruang
lingkup hukum perdagangan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 66 butir (b) UndangUndang No. 30 Tahun 1999. Menurut penulis
hal ini kurang tepat, mengingat kerjasama di
bidang penyiaran televisi adalah kerjasama
di bidang jasa, dalam hal ini termasuk ke
dalam bidang perniagaan. Di samping itu
kerjasama mengenai permodalan yang
berupa saham, juga termasuk dalam bidang
keuangan, sehingga ruang lingkup putusan
arbitrase SIAC tersebut termasuk ke dalam
ruang lingkup hukum perdagangan, sesuai
dengan penjelasan Pasal 66 butir (b) UU
Arbitrase.
2.2. Analisis Putusan Mahkamah Agung RI,
menguatkan penolakan putusan SIAC
Astro mengajukan kasasi terhadap penetapan
Putusan Provisi Arbitrase SIAC oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Mahkamah Agung dalam
Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/ 2010 berpendapat
bahwa penolakan pemberikan eksequatur
oleh pengadilan negeri sudah benar dan tepat,
karena perintah dalam Putusan Provisi Arbitrase
SIAC untuk menghentikan proses peradilan di
Indonesia adalah melanggar asas sovereignty
Negara Republik Indonesia, bahwa tidak ada
suatu kekuatan asing pun yang dapat mencampuri
proses hukum yang sedang berjalan di Indonesia.
Hal ini dipandang melanggar ketertiban umum
(public orde) di Indonesia; materi yang termuat
dalam Putusan Provisi Arbitrase SIAC bukan
termasuk dalam bidang perdagangan tetapi
termasuk dalam hukum acara.

hukum, dari segi hukum acara dan dari segi


hukum materiil. Kedua, bahwa dari segi hukum
materiil, penolakan pemberian eksekuatur oleh
Judex Facti adalah sudah benar dan tepat.
Ketiga, bahwa perintah dalam putusan
arbitrase SIAC, untuk menghentikan proses
peradilan di Indonesia, adalah melanggar asas
souvereignty dari Negara Republik Indonesia.
Tidak ada sesuatu kekuatan asing pun yang dapat
mencampuri proses hukum yang sedang berjalan
di Indonesia. Hal ini jelas melanggar ketertiban
umum di Indonesia dan materi yang termuat
dalam Putusan Arbitrase SIAC tersebut bukan
termasuk dalam bidang perdagangan, tetapi
termasuk dalam hukum acara.
Menurut penulis penolakan pelaksanaan
putusan arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung
RI, adalah kurang tepat. Sehubungan dengan
pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah
Agung RI, dalam hal ini penulis berpendapat,
bahwa: seharusnya, hakim pada instansi ini lebih
cermat lagi memeriksa penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal 66
Undang-Undang Arbitrase diteliti dan diterapkan
dengan seksama. Selain itu, apakah dasar-dasar
penolakan yang diberikan oleh hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar
penolakan yang diatur di dalam Konvensi New
York 1958.

Dalam hal penolakan putusan arbitrase


internasional, Konvensi New York 1958 memberi
kesempatan kepada negara peserta konvensi
untuk melakukan penolakan terhadap putusan
arbitrase internasional, jika memenuhi syaratBeberapa pendapat yang dijadikan alasan syarat seperti yang diatur di dalam Pasal V (1)
oleh Mahkamah Agung RI adalah, pertama Judex Konvensi, antara lain:
Facti (pengadilan negeri) tidak salah menerapkan a. Para pihak dalam perjanjian seperti yang
76 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

diatur dalam Pasal II, menurut hukum


yang berlaku, tidak mempunyai kapasitas,
atau perjanjian tersebut tidak sah menurut
hukum yang berlaku, atau tidak ada petunjuk
bahwa perjanjian tersebut sah, berdasarkan
hukum negara di mana putusan itu dibuat;
b. Pihak yang diminta untuk melaksanakan
putusan tidak mendapat pemberitahuan
yang wajar mengenai penunjukan para
arbitrator atau dalam proses arbitrase ia
tidak dapat menyampaikan kasusnya;
c. Putusan berkenaan dengan hal yang berbeda
atau tidak sesuai dengan hal-hal yang
diajukan kepada arbitrator, atau putusan
mengandung hal-hal di luar ruang lingkup
pengajuan arbitrase;
d. Komposisi dari kekuasaan arbitrase atau
prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak,
atau persetujuan itu gagal, jika tidak sesuai
dengan hukum negara di tempat arbitrase
berlangsung;

SIAC, maka dapat diketahui bahwa Singapura


dan Indonesia adalah sesama anggota Konvensi
New York 1958. Keanggotaan Singapura pada
konvensi tersebut, terhitung sejak 21 Agustus
1986. Jika mempelajari, bahwa kedua negara
adalah sesama anggota Konvensi New York 1958,
maka hal ini telah memenuhi asas resiprositas,
seperti yang diatur di dalam Pasal 66 butir (a)
Undang-Undang Arbitrase.
Berdasarkan Pasal 66 butir (b) UndangUndang Arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase
internasional hanya berlaku terbatas pada bidang
hukum perdagangan. Jika mempelajari lebih
jauh mengenai penjelasan pasal tersebut, bahwa
yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum
perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara
lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak kekayaan
intelektual. Berdasarkan Hukum Indonesia,
pendirian perusahaan patungan merupakan bentuk
penanaman modal secara langsung di Indonesia.
Bila mempelajari ruang lingkup sengketa, maka
sengketa pada perkara A termasuk ruang
lingkup hukum perdagangan. Sehingga putusan
arbitrase tersebut seharusnya dapat dilaksanakan
di Indonesia.

e. Putusan belum mempunyai kekuatan


mengikat terhadap para pihak, atau telah
dikesampingkan atau ditangguhkan oleh
Berdasarkan Pasal 66 butir (c) Undangotoritas yang berwenang di negara atau
berdasarkan hukum negara di mana putusan Undang Arbitrase, putusan arbitrase yang dapat
dilaksanakan di Indonesia adalah putusan yang
itu dibuat.
tidak bertentangan dengan ketertiban umum
Pada prinsipnya, putusan arbitrase
di Indonesia. Mahkamah Agung berpendapat,
internasional seharusnya mendapat pengakuan
bahwa jika pelaksanaan putusan arbitrase asal
dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini
SIAC di atas diberikan, maka akan melanggar
disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981,
ketertiban umum di Indonesia. Pertanyaan
Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian
selanjutnya adalah, ketertiban umum yang mana
Internasional yang mengatur tentang pengakuan
yang dilanggar, apabila putusan arbitrase tersebut
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
dilaksanakan di Indonesia. Mengingat sampai
Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal
saat ini, tidak ada batasan yang jelas mengenai
dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu
ketertiban umum. Hal ini dikarenakan sifat
Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 77

ketertiban umum yang bersifat sangat relatif.


Pada Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No.
1 Tahun 1990, mengenai Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing Di Indonesia, dikatakan
yang dimaksud dengan Ketertiban Umum
adalah sendi-sendi asasi dan susila sang hakim.
Dari definisi tersebut, dapat dikatakan masih
abstraknya konsep ketertiban umum. Hal ini akan
membuat hakim menafsirkan konsep tersebut
berbeda-beda.
Mengenai penolakan terhadap putusan
arbitrase internasional seperti yang disebutkan
dalam Pasal V ayat (2) butir (b) karena alasan
bertentangan dengan ketertiban umum, banyak
dilakukan dalam praktek pengadilan di negaranegara lain. Dapat dilihat penerapan Pasal V
ayat (2) butir (b) yang membolehkan penolakan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional
karena alasan ketertiban umum dalam beberapa
putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dan
bagaimana Mahkamah Agung Amerika Serikat
menafsirkan konsep ketertiban umum.
Hal ini seperti terlihat dalam perkara antara
Bremen melawan Zapata Off-Shore (5th Circuit,
1972). Dalam perkara antara Vimar Seguros y
Reaseguros, S.A. melawan M/V Sky Reefer (1995),
Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan
bahwa klausula arbitrase dalam sebuah bill of
lading dapat dilaksanakan berdasarkan Federal
Arbitration Act, sekalipun klausula tersebut
mencakup penyelesaian sengketa melalui
arbitrase di Jepang berdasarkan Hukum Jepang
dan dalam Underlying Contract terdapat klausula
yang menyimpangi hukum Amerika Serikat, yaitu
Carriage of Goods by Seas Act (COGSA).

bahwa putusan arbitrase yang memenangkan


pihak kontraktor New Zealand atas sub-kontraktor
AS dapat dilaksanakan. Pihak termohon eksekusi
(perusahaan AS) mengajukan argumen bahwa
putusan arbitrase ini bertentangan dengan
ketertiban umum AS karena adanya benturan
kepentingan antara pihak penasehat hukum
perusahaan AS itu dengan pihak kontraktor New
Zealand.
Benturan kepentingan ini terjadi karena
penasehat hukum tersebut pernah mewakili sebuah
perusahaan joint venture salah satu anggotanya
adalah pemerintah New Zealand dan operator
mesin yang sedianya akan mengoperasikan mesin
yang seharusnya dibangun oleh perusahaan AS
tersebut. Namun argumentasi ini ditolak oleh
pengadilan karena pihak termohon eksekusi
dianggap kurang dapat membuktikan bahwa
benar penasehat hukum tersebut pernah mewakili
perusahaan joint venture.
Selain itu, pengadilan berpendapat bahwa
pihak termohon eksekusi tidak dapat membuktikan
bagaimana sesungguhnya hubungan antara
penasehat hukum tersebut dan perusahaan joint
venture akan dapat mempengaruhi hasil putusan
arbitrase (Andrew M. Campbell Refused to
Enforce Foreign Arbitral Awards on Public
Policy Grounds. https://web2.westlaw.com/find/
default.wl?care.html, 1 November 2010).

Jika memperhatikan tentang teori hakhak yang telah diperoleh, seharusnya hakim
di pengadilan maupun di Mahkamah Agung
RI, menghormati tentang hak-hak yang telah
diperoleh pihak ASTRO yang memenangkan
perkara di hadapan lembaga arbitrase SIAC.
Dalam perkara antara Fitzroy Engineering, Menurut penulis, penolakan putusan arbitrase
Ltd. v. Flame Engineering, Inc., 1994 (N.D. 1994), internasional asal SIAC di atas, hanya menambah
Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan deretan panjang mengenai kurang kondusifnya

78 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

negara Indonesia bagi pelaksanaan putusan


arbitrase internasional.

pelaksanaan proses peradilan di


Indonesia. Hal tersebut kurang tepat,
mengingat di dalam Undang-undang
Arbitrase dinyatakan di dalam Pasal
3, bahwa pengadilan negeri tidak
berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase. Kemudian di
dalam Pasal 11 ayat (1) dinyatakan
bahwa, adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para
pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke
pengadilan negeri.

Hal ini bisa berakibat menjadi preseden


buruk bagi pelaku usaha-pelaku usaha asing
yang akan memohon pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia. Berdasarkan
data di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per
31 Desember 2011, sejak ditolaknya putusan
arbitrase internasional asal SIAC pada perkara
ASTRO, belum ada lagi pendaftaran permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Salah satu pakar dan praktisi hukum
menilai, bahwa dengan ditolaknya putusan
arbitrase internasional tersebut, memberikan
dampak negatif yang signifikan terhadap
kepercayaan investor asing atau pelaku usaha
asing di Indonesia (Lubis, Media Indoneasia.
com, 23 Februari 2010).

b.

Putusan
arbitrase
internasional
tersebut bukan merupakan putusan
akhir/final. Hal tersebut kurang
tepat, mengingat prinsip umum
dalam perjanjian arbitrase, bahwa
putusannya bersifat final dan binding.
Hal ini seperti yang diatur di dalam
Undang-Undang Arbitrase Pasal 60
dan di dalam Konvensi New York
1958, Pasal 3.

c.

Sengketa dalam putusan arbitrase


SIAC, bukanlah sengketa mengenai
ruang lingkup hukum perdagangan

IV. SIMPULAN
Dari pemaparan tulisan di atas, ada
beberapa hal yang dapat disimpulkan oleh penulis
sehubungan dengan penolakan putusan arbitrase
internasional asal SIAC, antara lain:
1. Bahwa penolakan putusan yang dilakukan
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
terhadap putusan arbitrase internasional asal
SIAC dalam perkara PT A , adalah kurang
tepat, mengingat dasar-dasar penolakan
yang diberikan oleh hakim masih belum
berpedoman dengan konvensi New York
dan Undang-Undang Arbitrase; Adapun
beberapa alasannya adalah:
a.

Putusan arbitrase tersebut telah


melebihi kewenangan yang sudah
ditetapkan yaitu telah mengintervensi

sebagaimana ditentukan dalam Pasal


66 butir (b) Undang-Undang No. 30
Tahun 1999. Menurut penulis hal ini
kurang tepat, mengingat kerjasama
di bidang penyiaran televisi adalah
kerjasama di bidang jasa, dalam
hal ini termasuk ke dalam bidang
perniagaan. Di samping itu kerjasama
mengenai permodalan yang berupa
saham, juga termasuk dalam bidang
keuangan, sehingga ruang lingkup

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 79

putusan arbitrase SIAC tersebut


termasuk ke dalam ruang lingkup
hukum perdagangan, sesuai dengan
penjelasan Pasal 66 butir (b) UndangUndang Arbitrase.
2. Putusan Mahkamah Agung RI yang
menguatkan
penolakan
pelaksanaan
putusan arbitrase internasional asal SIAC
dalam perkara PT A, adalah kurang tepat,
mengingat peran Mahkamah Agung sebagai
Guardian of The Awards. Seharusnya
penelitian yang dilakukan oleh Mahkamah
Agung mengenai penolakan putusan
arbitrase internasional tersebut dilakukan
secara seksama dan mendalam. Menurut
penulis penolakan pelaksanaan putusan
arbitrase asal SIAC oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung
RI, adalah kurang tepat. Sehubungan
dengan pertimbangan yang disampaikan
oleh Mahkamah Agung RI, dalam hal ini
penulis berpendapat, bahwa: Seharusnya,
hakim pada instansi ini lebih cermat lagi
memeriksa penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, mengenai sudahkan Pasal
66 Undang-Undang Arbitrase diteliti
dan diterapkan dengan seksama. Selain
itu, Apakah dasar-dasar penolakan yang
diberikan oleh hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sesuai dengan dasar-dasar
penolakan yang diatur di dalam Konvensi
New York 1958.
Pada prinsipnya, putusan arbitrase
internasional seharusnya mendapat pengakuan
dan dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini
disebabkan, karena sejak tanggal 7 Oktober 1981,
Indonesia telah terikat dalam suatu Perjanjian
Internasional yang mengatur tentang pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
80 |

Jika melihat putusan arbitrase tersebut berasal


dari lembaga arbitrase di Singapura, yaitu SIAC,
maka dapat diketahui bahwa Singapura dan
Indonesia adalah sesama anggota Konvensi New
York 1958. Keanggotaan Singapura pada konvensi
tersebut, terhitung sejak 21 Agustus 1986. Jika
mempelajari, bahwa kedua negara adalah sesama
anggota Konvensi New York 1958, maka hal ini
telah memenuhi asas resiprositas, seperti yang
diatur di dalam Undang-Undang Arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abrurrachman A. 1991. Ensiklopedia Ekonomi,
Keuangan dan Perdagangan. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Abdurrasyid, Priyatna. 2002. Arbitrase &
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Cetakan
pertama. Jakarta: PT Fikahati Aneska
bekerjasama dengan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.
Adolf, Huala. 1991. Arbitrase
Komersial
Internasional. Jakarta: Rajawali Press.
-----------------. 1990. Pelaksanaan Keputusan
Badan Arbitrase Komersil Intenasional
Menurut Konvensi New York 1958. Varia
Peradilan, No.58, Juli 1990. Jakarta: Ikatan
Hakim Indonesia.
-----------------. 1994. Hukum Arbitrase Komersial
Internasional. Jakarta: Radjagrafindo.
-----------------. 2008. Dasar-dasar Hukum
Kontrak Internasional. Cetakan kedua.
Bandung: Refika Aditama.
Black, Henry Campbell. 1968. Blacks Law

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

Dictionary. Revised fourth edition. St.Paul,


Minnesota: West Publishing Co.

Internasional Indonesia. Jilid II bagian 4,


buku kelima. Bandung: Alumni.

Cheshire & Norths. 1992. Private International


Law.
Twelfth
edition.
London:
Butterworths.

-----------------. 1995. Indonesian Business Law.


Cetakan I. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.

Elkouri, Frank & Edna Elkouri. 1974. How


Arbitration Works. Washington D.C.

-----------------. 1996. Aneka Hukum Arbitrase


(Ke Arah Hukum Arbitrase Indonesia Yang
Baru). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Gautama, Sudargo. 1979. Arbitrase Dagang


Internasional. Cetakan I. Bandung:
Alumni.
-----------------. 1982. Soal-soal Aktual Hukum
Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung:
Alumni.
-----------------. Konsep Rancangan UndangUndang Hukum Perdata Internasional
Indonesia, disajikan dalam Lokakarya
Hukum Perdata Internasional Indonesia,
yang
diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman RI, di Jakarta 29 September
1983.
-----------------. 1985. Aneka Masalah Hukum
Perdata Internasional. Cetakan I. Bandung:
Alumni.
-----------------. 1989. Perkembangan Arbitrase
Dagang Internasional Di Indonesia.
Bandung: PT. Eresco.
-----------------. 1991. Hukum Dagang Dan
Arbitrase Internasional. Cetakan I.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
-----------------.
1992.
Hukum
Perdata
Internasional Indonesia. Jilid I, buku 1.
Cetakan V. Bandung: Alumni.
-----------------.

1995.

Hukum

Perdata

-----------------.
1998.
Hukum
Perdata
Internasional Indonesia. Cetakan ketiga.
Jilid III bagian 2. Buku ke-8. Bandung:
Alumni.
Hartono, Sunarjati. 1976. Pokok-pokok Hukum
Perdata Internasional Indonesia. Cetakan
I. Bandung: Binacipta.
-----------------. 1982. In Search of New Legal
Principles. Bandung: Binacipta.
-----------------. 1976. Kapita Seleka Hukum
Ekonomi. Jakarta: Binacipta.
Janvan Den Berg, Albert. 1981. The New
York Arbitration Convention of 1958.
Netherlands: Kluwer Law & Taxation
Publishers.
Kusumah Atmadja, Asikin Z. 1973. Commercial
Arbitration, Present and future Role of
Commercial. Jakarta: The Law Association
for The Asia And The Western Pacific.
-----------------. 1998. Arbitrase Perdagangan
Internasional. Bunga Rampai Eksekusi
Putusan
Arbitrase
Asing.
Jakarta:
Mahkamah Agung RI.
Longdong, Tineke Tuegeh. 1998. Asas Ketertiban
Umum dan Konvensi New York 1958.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 81

Prodjodikoro, Wirjono. 1954. Asas-Asas Hukum


Perdata Internasional. Cetakan kedua.
Jakarta: Van Dop & Co.

Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa


Perdagangan di Indonesia. Surabaya:
Disertasi Universitas Airlangga.

Purbacaraka, Purnadi dan Agus Brotosusilo. 1991. Zuraida, Tin. 2006. Prinsip Eksekusi Putusan
Sendi-sendi Hukum Perdata Internasional
Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori
(Suatu Orientasi). Cetakan III. Jakarta:
dan Praktek Yang Berkembang. Surabaya:
Rajawali Pers.
Disertasi Universitas Airlangga.
Rajagukguk, Erman. 2000. Arbitrase Dalam Internet:
Putusan Pengadilan. Jakarta: Chandra
Budidjaja, Tony. Pembatalan Putusan Arbitrase
Pratama.
di Indonesia. Akses 30 Oktober 2007.
Sumampouw, Mathilde. 1958. Pilihan Hukum
http://cms.sp.co.id/hukumonline/detail.
Sebagai Titik Pertalian Dalam Hukum
asp?id=13217&cl=Kolom>.
Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi
Blum, George L. Setting Aside Arbitration award
Doktor FHUI.
on Ground of interest or bias arbitrators,
Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum Arbitrase
commercial,bussiness. Akses 1 November
dalam Sengketa Komersial Untuk
2007.
https://web2.westlaw.com/find/
Penegakan Keadilan. Jakarta: Tatanusa.
default.wl?care.html.
Yuhassarie, Emmy. (editor). 2003. Proceedings, Campbell, Andrew M. Refused to Enforce
Arbitrase dan Mediasi. Jakarta: Pusat
Foreign Arbitral Awards on Public Policy
Pengkajian Hukum.
Grounds. Akses 1 November 2007. https://
web2.westlaw.com/find/default.wl?care.
Zuraida, Tin. 2009. Prinsip Eksekusi Putusan
html.
Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori
dan Praktek Yang Berkembang. Surabaya: Hakim Dan Mafia Peradilan. Akses 17 Maret
PT Wastu Lanas Grafika.
2008. http://www.kompas.com/31 Agustus
2007.
Karya Ilmiah/Disertasi:
Mathilde, Sumampouw. 1958. Pilihan Hukum
Sebagai Titik Pertalian dalam Hukum
Perjanjian Internasional. Jakarta: Disertasi
Doktor FHUI.

Hukum Online, Pengguna SIAC Asal Indonesia


Terus Meningkat, Bagaimana nasib
BANI?,(Jakarta, 28/11/2006). Akses 24
Januari 2008. http://hukumonline.com/
detail.asp?id.

Suparman, Eman. 2004. Pilihan Forum


Parish, Matthew. The Proper Law of an
Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk
Arbitration Agreement. Akses 25
Penegakan Keadilan. Semarang: Disertasi
November 2010. http://login.westlaw.
Universitas Diponegoro.
co.uk/maf/wluk/app/delivery?&docguide.
Wibowo, Basuki Rekso. 2007. Arbitrase
82 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 64-83

Rosenhouse, Michael.A. Confirmation of


Agung RI tentang Tata Cara Pelaksanaan
Foreign Arbitral Awards Under Convention
Putusan Arbitrase Asing di Indonesia.
on Recognition and Enforcement of Foreign
Perma RI No. 1 Tahun 1990.
Arbitral Awards. Akses 1 November 2007.
Geneva Convention on The Execution of Foreign
https://web2.westlaw.com/find/default.
Arbitral Awards 0f 1927.
wl?care.html.
New York Convention on The Recognition and
Rubins, Noah.The Enforcement and Annulment
Enforcement of Foreign Arbitral Awards of
of International Arbitration in Indonesia.
1958.
Akses 1 November 2007. https://web2.
westlaw.com/World
Journals/default. United Nation Commission on International
wl?n=top&rs.html.
Trade Law. Model Law on International
Commercial Arbitration.
UNCITRAL. UNCITRAL Model Law on
International Commercial Arbitration.
Akses 30 Oktober 2010. <http://www.
uncitral.org/pdf/english/texts/arbitration.
ml-arb/06-54671/Ebook.pdf.
Peraturan Perundang-undangan dan
Konvensi Internasional:
Indonesia. Keputusan Presiden RI tentang
Pengesahan Konvensi New York tahun
1958. Keppres No.34, L.N. No.40 Tahun
1981.
--------. Undang-Undang tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.UU No.
30, L.N. No.138 Tahun 1999.
-------. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas).
-------. Keputusan Presiden RI tentang
Penangguhan/Pengkajian Kembali Proyek
Pemerintah, BUMN Dan Swasta yang
berkaitan Dengan Pemerintah BUMN.
Keppres No. 39 Tahun 1997.
-------. Keppres No. 5 Tahun 1998.
Mahkamah Agung RI. Peraturan Mahkamah

Penolakan Putusan Arbitrase Internasional Dalam Kasus Astro All Asia Network PLC (Mutiara Hikmah)

| 83

PENERAPAN WORLD WIDE NOVELTY DAN


FUNCTION-WAYRESULT TEST PADA PATEN
Kajian Putusan Nomor 075 PK/Pdt.Sus/2009
Endang Purwaningsih, Fakultas Hukum Universitas YARSI
Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta
Email: e.purwaningsih@yarsi.ac.id atau enda_purwa@yahoo.com

the application of worldwide novelty AND


function-way result-test ON PATENT
An Analysis of Decision Number 075 PK/Pdt.Sus/2009
Endang Purwaningsih, Faculty of law of University of YARSI
Jalan Letjen Suprapto Cempaka Putih Jakarta
Email: e.purwaningsih@yarsi.ac.id atau enda_purwa@yahoo.com
Abstract

ABSTRAK
memberikan

Patent as legal construction gives legal protection

perlindungan hukum bagi penemuan yang memenuhi

for the invention which fulfills requirements for a

persyaratan paten, yaitu: unsur kebaruan dari penemuan;

patentable invention, such as: novelty, non-obviousness/

langkah inventif yang terkandung dalam penemuan;

inventive steps and industrial applicability. In order

serta dapat atau tidaknya penemuan diterapkan dalam

to create legal certainty and justice, the judge should

industri. Untuk menciptakan kepastian hukum dan

pay attention to the specification of patent (in the

keadilan, hakim harus memperhatikan spesifikasi

claim) and the application of worldwide novelty, also

paten (dalam klaim) dan kebaruan penemuan tersebut

function way result test, especially in this case. In the

di seluruh dunia, juga function-way-result test,

claim, it is required to state and clarify precisely the

terutama dalam kasus ini. Dalam pengajuan paten

elements of invention for which protection is sought.

diwajibkan untuk mengungkapkan secara tepat unsur-

Thus, the claim should be composed of a description

unsur dari penemuan yang dimintakan perlindungan.

or explanation of the essence of the invention. The

Dengan demikian, dalam aplikasi hendaklah tertulis

scope or the extent of patent protection is based on

deskripsi tentang esensi dari penemuan. Ruang

the claim. The essence of protection also depends on

lingkup atau luasnya perlindungan paten tergantung

the claim; therefore the infringement depends on the

pada klaim, klaim menunjukkan inti dari penemuan,

interpretation of the claim, filing date, state of the art

sehingga untuk menilai pelanggaran paten tergantung

and prior art scope of the claim.

Paten

sebagai

konstruksi

hukum

pada interpretasi klaim, filing date, state of the art dan


cakupan klaim paten terdahulu (prior art).

Keywords: patent, worldwide novelty, function-wayresult test.

Kata kunci: paten, worldwide novelty, function-wayresult test.

84 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

I.

PENDAHULUAN

atas barang berupa dispenser yang dilengkapi


dengan pintu untuk menutup keran, di Indonesia
Dalam rangka mendapatkan paten,
barang dispenser tersebut diperoleh dari eksportir
suatu penemuan harus memenuhi syarat
di Cina.
substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty),
bisa dipraktekkan dalam industri (industrial
Penggugat telah mendistribusikan dan/atau
applicability)
mempunyai
nilai
langkah memperdagangkan barang berupa dispenser yang
inventif (inventive step), juga memenuhi syarat dilengkapi dengan pintu tersebut di Indonesia
formal. Penentuan bahwa suatu penemuan sejak tahun 2004 dan setelah menjalankan
yang dimintakan paten dapat diberi atau tidak usahanya tersebut selama sekitar 5 (lima) tahun,
dapat diberi paten dilakukan antara lain dengan penggugat baru mengetahui bahwa SE (tergugat)
mempertimbangkan: (1) kebaruan penemuan telah memiliki paten sederhana atas dispenser
(novelty); (2) langkah inventif yang terkandung yang dilengkapi dengan pintu untuk menutup
dalam penemuan (inventive step); (3) dapat atau keran tersebut tertanggal 4 Januari 2005 dengan
tidaknya penemuan diterapkan atau digunakan nomor Pendaftaran ID 0 000553 S. Penggugat
dalam industri (industrial applicable); (4) merasa berkepentingan terhadap masalah ini,
penemuan yang bersangkutan tidak termasuk sehingga mengajukan gugatan pembatalan paten
dalam kelompok penemuan yang tidak dapat sederhana tersebut; dengan alasan bahwa invensi
diberikan paten; (5) penemu atau orang yang tersebut tidak memiliki kebaruan lagi karena
menerima lebih lanjut hak penemu berhak atas sudah diungkapkan sebelumnya.
paten bagi penemuan tersebut; dan (6) penemuan
Sebaliknya dalam eksepsinya tergugat (SE)
tersebut tidak bertentangan dengan peraturan
mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio
perundang-undangan, ketertiban umum serta
Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur
kesusilaan. Jadi pada hakikatnya, sebuah
Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya
penemuan dapat dikatakan Ppatentable bila
sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan
memenuhi ketiga syarat substantif tersebut, yaitu
kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya
novelty, dapat diterapkan dalam industri, dan
juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi
mengandung langkah inventif.
dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan
Berdasarkan fictie hukum, maka sejak gugatan kabur serta prematur. Menurut tergugat,
diundangkannya Undang-Undang Nomor 14 invensinya merupakan invensi baru terbukti telah
Tahun 2001 tentang Paten, maka berlakulah dilakukan pemeriksaan substantif di Direktorat
materi yang tertuang dalam UU tersebut. Dalam Paten dengan dokumen pembanding US-5 348
kasus SE versus PT NEI diketahui bahwa SE 192 dan US 5 718 261.
selaku tergugat pada kasus patent infringement ini
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat
telah dikalahkan oleh PT NEI selaku penggugat,
melalui putusan nomor 42/PATEN/2008/
baik pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri)
PN.NIAGA.JKT.PST telah mengabulkan gugatan
maupun pada tingkat kasasi (Mahkamah Agung)
penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa
sehingga mengajukan Peninjauan Kembali (PK)
invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor
yang akhirnya tetap memenangkan penggugat
ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur
(PT NEI). PT NEI adalah pabrikan dan distributor
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 85

kebaruan yang disyaratkan oleh UU Paten serta


membatalkannya. Demikian pula Mahkamah
Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt.
Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut,
yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat
(SE).

yang diajukan tergugat (pemohon Kasasi) bukan


merupakan invensi baru.
Mahkamah Agung dengan memperhatikan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004, UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, serta
memperhatikan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2001 maka telah memutuskan untuk menolak
permohonan peninjauan kembali dari pemohon
PK (SE) tersebut dan menghukum pemohon PK
untuk membayar biaya perkara pemeriksaan PK
sebesar Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).

Selanjutnya tergugat (SE) mengajukan


peninjauan kembali atas kasus tersebut dengan
bukti baru (novum) berupa surat tembusan Buku
Register Hak Paten nomor Hak Paten 0234861.5
tanggal 19 September 2002 dan gambar Mesin
Air Minum (dispenser) tanpa dilengkapi dengan
pintu yang dikeluarkan Direktorat HKI RRC
dengan nomor klasifikasi 3100 dan hak paten telah
berakhir pada 19 September 2003 dikarenakan
tidak melunasi iuran tahunan dalam waktu II. RUMUSAN MASALAH
yang ditentukan. Dalam hal ini SE mendalilkan
Dari uraian latar belakang di atas, menurut
bahwa Sertifikat Paten dari RRC tersebut cacat
hukum sehingga menjadi batal hukum dan tidak Hukum Paten, diajukan rumusan masalah sebagai
berikut:
berkekuatan hukum.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa (1). Apakah syarat patentability invention


khususnya worldwide novelty diterapkan
alasan-alasan peninjauan kembali tersebut tidak
secara tepat pada kasus tersebut oleh
dibenarkan karena bukti yang diajukan SE (sebagai
hakim?
pemohon kasasi) bukanlah novum. Bukti yang
diajukan pemohon kasasi ternyata telah diajukan (2). Bagaimanakah seharusnya penerapan
function-way-result test pada kasus
sebagai bukti pada peradilan tingkat pertama di
tersebut?
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sehingga bukti
tersebut tidak bersifat menentukan karena telah
dipertimbangkan oleh hakim di PN tersebut.
III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Demikian pula ternyata produk model
dispenser yang didistribusikan/diperdagangkan
oleh SE merupakan produk terbaru tahun
2003 yang telah beredar di pasaran Medan dan
Palembang pada bulan Maret 2004, sedangkan
pendaftaran Paten Sederhananya dengan judul
Dispenser yang dilengkapi dengan pintu
penutup keran adalah pada tanggal 15 April
2004, sehingga MA berpendapat bahwa invensi

86 |

A.

Studi Pustaka

Telah diketahui bahwa berdasarkan


Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten, dalam rangka memperoleh paten
maka suatu penemuan harus memenuhi syarat
substantif tertentu, yaitu kebaruan (novelty), bisa
dipraktekkan dalam perindustrian (industrial
applicability), mempunyai nilai langkah inventif

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

(inventive step/non obviousness), juga memenuhi penemuan (invensi) tersebut sebelum tanggal
penerimaan atau tanggal prioritas (Purwaningsih,
syarat formal.
2005: 221).
Menurut Saidin (2010: 127) bahwa
Invensi bisa saja dihasilkan oleh masyarakat
kelemahan inventor Indonesia itu terletak pada
ketidakmampuannya untuk melakukan langkah umumnya, maupun oleh masyarakat kampus.
inventif terhadap invensi yang sudah ada Invensi yang patentable harus memenuhi
sebelumnya. Di AS dan Jepang di Kantor Paten novelty, non obviousness/inventive step, dan
setiap hari dipenuhi oleh tenaga-tenaga ahli industrial applicable. Dosen dan mahasiswa
peneliti untuk mempelajari formula paten yang dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah, jadi
telah ada dan mereka mencari langkah inventif bisa saja menghasilkan produk tangible seperti
untuk dapat dilindungi menjadi paten baru. mesin atau robot, ataupun formula obat dan
Merujuk pendapat tersebut, kelengkapan online sebagainya. Pembukaan wawasan tentang HKI
digital library atau fasilitas discovery search mutlak diperlukan, serta akses ke Ditjen HKI juga
harus digalakkan baik di Ditjen HKI maupun di penting untuk mengetahui apakah invensi yang
dihasilkan oleh dosen dan mahasiswa ini tidak
lembaga riset dan kampus.
anticipated by patented invention. Kesadaran
Khusus mengenai kebaruan, sifat baru
hukum akan perlunya perlindungan terhadap
pada penemuan mutlak akan hilang apabila ada
invensi dan eksploitasi terhadap invensi tersebut
publikasi dengan cara bagaimanapun, dan di
harus ditanamkan bersama dengan pembangunan
negara manapun, atau pernah diketahui dengan
budaya paten (Purwaningsih, 2009: 30).
cara bagaimanapun, dan di negara manapun
Banyak perguruan tinggi yang menghasilkan
sebelum aplikasi diajukan. Kebaruan relatif
berarti sifat baru dari suatu temuan itu akan akademisi yang handal. Lembaga penelitian,
hilang apabila ada publikasi di negara manapun pengembangan dan penerapan teknologi disesaki
atau penggunaan setempat yang diketahui umum oleh peneliti yang hebat. Banyak kegiatan riset
sebelum aplikasi diajukan. Jadi, Indonesia yang dilakukan. Anggaran sudah dikucurkan
dalam hal syarat kebaruan menganut sistem walaupun perlu diakui juga tidak terlalu besar
kebaruan yang luas (world wide novelty), hal jumlahnya oleh pemerintah, tapi kontribusinya
itu dapat dilihat dari ketentuan yang tercantum terhadap pembangunan berbagai sektor belum
dalam peraturan perundang-undangan mengenai optimal (Lakitan, 2009: 179). Demikian pula
paten, baik pada peraturan yang lama maupun menurut Endang (2012: 64) tanpa adanya
pada peraturan perundang-undangan yang baru. perlindungan hukum maka kegiatan dalam
Ketentuan Pasal 3 Undang-Undang tentang Paten, bidang penelitian dan pengembangan tidak akan
menunjukkan syarat kebaruan yang luas, yaitu: bergairah, juga diperlukan insentif serta jaminan
bahwa suatu penemuan tidak dianggap baru, jika dari pemerintah agar setiap hasil kreativitas
pada saat pengajuan permintaan paten, penemuan intelektual tidak mudah ditiru oleh pihak lain.
tersebut telah diumumkan di Indonesia atau di Landasan pembenaran paten antara lain adalah
luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan insentif untuk kegiatan R&D, rewarding dan paten
atau melalui peragaan, atau dengan cara lain yang sebagai sumber informasi bagi improvement and
memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan improvement on the improvement. Jadi merujuk
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 87

pendapat tersebut, pembenaran terhadap peranan


paten dalam pertumbuhan industri dan teknologi
masih dipertanyakan, perlu diterapkan supaya
lebih berperan potensial sesuai prinsip-prinsip
paten.
Prinsip-prinsip umum dalam UU Paten
antara lain: (1) asas teritorial, (2) paten diberikan
atas dasar permohonan (di Indonesia dengan first
to file system); (3) kewajiban mengungkapkan
penemuan (disclosure clause) dan (4) jangka
waktu perlindungan. Dihubungkan dengan
patentablility invention dan pemenuhan syarat
tersebut, sebenarnya syarat kebaruan (novelty)
dapat ditentukan berdasarkan pembatasanpembatasan tertentu, misalnya daerah (territory),
kapan penemuan itu diketahui, dan cara
pengumuman penemuan itu kepada masyarakat.
Syarat kebaruan (novelty), yaitu bahwa
penemuan yang dimintakan paten tidak boleh lebih
dahulu diungkapkan di manapun dan dengan cara
apapun. Mengenai syarat kebaruan, bisa bersifat
mutlak atau relatif, bersifat mutlak atau dikenal
dengan world wide novelty. Di lain pihak, karena
kondisi dan kepentingan negara berkembang ada
bentuk novelty lokal atau national novelty yang
bersifat relatif (Purwaningsih, 2005: 222).

dalam suatu pameran nasional di


Indonesia yang resmi atau diakui
sebagai resmi.
2.

invensi tersebut telah digunakan di


Indonesia oleh penemunya dalam
rangka percobaan dengan tujuan
penelitian dan pengembangan.

Invensi juga dianggap telah diumumkan


apabila dalam jangka waktu 12 bulan sebelum
penerimaan ternyata ada pihak lain yang
mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban
untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut.
Suatu penemuan mengandung langkah inventif
jika penemuan tersebut bagi seorang yang
mempunyai keahlian biasa dalam bidang teknik
yang bersangkutan merupakan hal yang tidak
dapat diduga sebelumnya (non obviousness).
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (3)
Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang
Paten, penilaiannya dengan mengacu pada kriteria
bahwa suatu invensi merupakan hal yang tidak
dapat diduga sebelumnya dengan memperhatikan
keahlian yang ada pada saat permohonan
diajukan atau yang telah ada pada saat diajukan
permohonan pertama dalam hal permohonan itu
diajukan dengan hak prioritas.

Sebuah penemuan agar dilindungi paten


harus memenuhi syarat bahwa penemuan itu
dapat diterapkan dalam industri. Penemuan yang
bersangkutan dapat diproduksi atau digunakan di
dalam berbagai jenis industri. Pengertian industri
merupakan pengertian yang luas, misalnya apa
yang sekarang dipandang sebagai agrobisnis
juga merupakan bidang industri. Salah satu hal
yang penting dan perlu mendapat perhatian
invensi tersebut telah dipertunjukkan adalah sangat terbatasnya data, dokumentasi, dan
dalam suatu pameran internasional informasi mengenai pengetahuan tradisional yang
di Indonesia atau di luar negeri yang sebenamya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu,
resmi atau diakui sebagai resmi atau

Kebaruan yang disyaratkan di Indonesia


sebenarnya bersifat luas (world wide novelty), akan
tetapi dalam UUPaten Indonesia, syarat kebaruan
luas (Pasal 3 UU Paten) ini kemudian diterapkan
secara relatif (dibatasi), ini dapat dilihat dari Pasal
4 UU Paten, yaitu: suatu penemuan tidak dianggap
telah diumumkan jika dalam jangka waktu paling
lama 6 bulan sebelum tanggal penerimaan:
1.

88 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

habis penemuan menjadi public domain. Sebagai


public domain eksploitasi terhadap penemuan itu
tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran hukum.
Dengan kata lain, paten juga memungkinkan
pengembangan teknologi atau sebagai insentif
Dengan merujuk pada disclosure clause
pengembangan industri.
yang terdapat pada prinsip hukum paten, UndangUndang tentang Paten memungkinkan terjadinya
Menurut pendapat Haryani (2010: 161pengembangan teknologi melalui improvement 162), di samping perlindungan hukum terhadap
dan improvement on the improvement. Artinya paten, juga dikenal adanya perlindungan hukum
bahwa pengungkapan teknologi melalui terhadap Paten Sederhana. Paten Sederhana hanya
publikasi sesuai dengan first to file diharapkan diberikan untuk satu invensi yang dapat terdiri
mampu menjadi pendobrak jumlah paten. Selain dari beberapa klaim. Jika menyimak pendapat ini
itu, technological interest dan economic interest maka bisa saja rancu antara pengertian paten biasa
mempunyai hubungan saling ketergantungan sebagai perlindungan hukum terhadap invensi
dengan paten. Suatu penemuan muncul karena (bisa mungkin beberapa invensi yang merupakan
kepentingan untuk mengembangkan teknologi dan satu kesatuan/patent family) berhadapan dengan
memajukan perekonomian (industri), sebaliknya paten sederhana yakni satu invensi dengan
hasil dari penemuan tersebut juga menghasilkan beberapa klaim. Perlu ditegaskan baik dalam teori
keuntungan di bidang teknologi dan ekonomi, atau praktek, sebenarnya UU Paten Indonesia
bahkan merangsang inovasi selanjutnya untuk menganut pendapat yang mana.
makin maju.
Dalam aplikasi paten, fungsi klaim
Masalah yang paling memerlukan keuletan adalah menentukan seberapa jauh luasnya hak
dan ketekunan serta keterampilan adalah membuat atau sempitnya perlindungan paten diberikan,
supaya invensi dapat memenuhi syarat dapat yang sangat tergantung pada seberapa luas
dipatenkan; yakni novelty, inventive step dan atau sempitnya suatu klaim dibuat. Klaim
industrial applicable. Selain itu juga pembuatan yang terlalu luas belum tentu menguntungkan
klaim pada spesifikasi invensi yang didaftarkan. penemunya sebab mungkin kurang spesifik
Dalam permohonan paten harus disertai dengan atau bahkan melanggar klaim paten lainnya.
spesifikasi penemuan yang mengandung deskripsi Demikian pula klaim yang terlalu sempit akan
lengkap tentang penemuan tersebut. Jika deskripsi merugikan penemu baik dari segi kepentingan
itu layak untuk mendapatkan paten, negara lalu ekonomi maupun kepentingan teknologi, karena
memberi paten untuk penemuan tersebut. Dengan cakupannya terlalu sempit.
diberikannya paten, pemegang paten merasa
Mengenai sempit atau luasnya perlindungan
terlindungi, dengan demikian akan memacu
yang didasarkan pada klaim ini terdapat berbagai
pemegang paten itu untuk mengembangkan
aturan ataupun doktrin yang berbeda, yang
industrinya.
dicerminkan baik dari perundangan-undangan
Oleh karena, pemberian paten hanya dalam paten maupun putusan pengadilan. Jadi Klaim
waktu 20 tahun, maka bila jangka waktu telah dibuat guna mencakup kepentingan teknologi
telah menjadi salah satu sebab diberikannya paten
oleh Kantor Paten dengan pertimbangan tidak
adanya dokumen pembanding (prior art) yang
dapat menggugurkan invensi yang bersangkutan.

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 89

dan kepentingan ekonomi si inventor yang ingin Demikian pula ada teori yang bermaksud untuk
diraup dalam dunia industri, yang nantinya mengetes fungsi, cara dan hasil, yang dikenal
berwujud monopoly patent right.
dengan tes function-way-result yang pertama
kali diperkenalkan pada kasus Graver Tank tahun
Pieoroen dalam Beschermingsomvang van
1950. Intinya, bahwa jika secara substansial invensi
Octrooien in Nederland, Duitsland en Engeland
milik seseorang sama atau mirip dengan fungsi,
(1988) menyatakan bahwa dimungkinkan
cara dan hasil yang (terkover klaim) dilindungi
terjadi discrepancy antara the words of the
paten, maka telah terjadi infringement.
claim dan the extent (scope) of protection.
Kesulitan pembuatan rumusan klaim dipahami B. Analisis
memungkinkan terjadinya perlindungan melebihi
Memahami bahwa esensi dan luasnya
kata-kata klaim. Jadi terdapat penafsiran secara
luas (broad interpretation) dan penafsiran secara perlindungan paten merupakan sesuatu yang
sempit (narrow interpretation), yang kesemuanya substansial, maka scope of claims sangat
bertujuan menciptakan keadilan dan kepastian berpengaruh terhadap pelaksanaan paten itu sendiri
dalam dunia industri. Dari segi teknologi, penafsiran
hukum.
yang terlalu luas terhadap klaim akan menyebabkan
Sehubungan dengan esensi dan batas setiap perbaikan atau penyempurnaan terhadap
lingkup perlindungan itulah, pengadilan sangat penemuan yang dipatenkan dianggap sebagai
penting peranannya untuk menerangkan makna pelanggaran, sebaliknya apabila terlalu sempit
sebenarnya isi peraturan perundang-undangan, akan bermunculan teknologi yang mirip-mirip
juga untuk menggali dan menginterpretasikannya. dan sangat mempersempit hak monopoli pemilik
Misalnya mengenai pelanggaran paten, luas paten.
sempitnya scope paten dan lain-lain, peraturan
Dari segi ekonomi, sempit atau luasnya
perundangan tidak mengatur secara detail atau
kurang jelas, sehingga pengadilan lah yang perlindungan akan menimbulkan persaingan, baik
berperan besar menentukan arti klaim, batasan pada saat aplikasi maupun pada saat pelaksanaan
pelanggaran dan lain-lain; guna mencapai paten di pasar industri. Demikian juga klaim
kepastian hukum, keseimbangan dan keadilan. merupakan substansi yang dapat memicu
Di dalam prakteknya, ketiga hal tersebut sangat terjadinya sengketa, antara para penemu dengan
sulit diwujudkan bahkan saling bertentangan satu penemuan yang mirip, yang terdahulu maupun
yang kemudian, juga antara berbagai negara yang
sama lain (Purwaningsih, 2005: 25).
mengadakan transaksi paten.
Untuk menentukan perbedaan secara
Dengan demikian, inti ruang lingkup
substantif antara pelbagai invensi, bisa dilakukan
dengan pelbagai metode. Banyak teori juga perlindungan paten tidak sama antara berbagai
sudah dikemukan oleh banyak ahli misalnya negara, ada yang didasarkan pada kata-kata dalam
teori equivalensi, means plus function, history klaim dan ada pula yang berdasarkan makna/
estoppel/wrapper estoppel dan teori yang telah intisarinya. Jadi perlu dikaji mengenai esensi
dikemukakan Pieroen mengenai The qualifying perlindungan paten, penentuan batas-batasnya
principle of due care, risk and predictability. dihubungkan dengan technological interest

90 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

dan economic interest, serta akibat luasnya


perlindungan tersebut.

putusan nomor 42/PATEN/2008/PN.NIAGA.


JKT.PST yang telah mengabulkan gugatan
penggugat (PT NEI) dan menyatakan bahwa
Paten dari sudut pandang kepentingan
invensi yang dimuat pada Paten Sederhana nomor
teknologi, melibatkan berbagai kepentingan
ID 0000 553 S tersebut tidak memenuhi unsur
yakni dari teknologinya sendiri dan fungsinya,
kebaruan yang disyaratkan oleh UUPaten serta
cara kerja, novel atau tidak, applicable atau tidak
membatalkannya. Demikian pula Mahkamah
dan bagaimana improvementnya. Di Jepang untuk
Agung RI melalui putusan nomor 861 K/Pdt.
mengkualifikasi suatu teknologi dapat dipatenkan
Sus/2008 telah menguatkan putusan PN tersebut,
atau tidak; dikenal tes Way, Result and Function.
yakni menolak permohonan kasasi dari tergugat
Di Amerika juga dikenal discovery system untuk
(SE), bahkan selanjutnya peninjauan kembali
mengecek semua teknologi terdahulu yang pernah
(PK) pun ditolak.
dipatenkan. Di Indonesia juga telah dimulai
Jika mencermati eksepsi tergugat (SE)
penelusuran paten melalui web-site, dan sedang
dipelajari kemungkinan sistem online aplikasi mengajukan exceptio Disqualificative, Exceptio
Plurium Litis Consortium dan Exceptio Obscuur
paten diterapkan.
Libel, yakni mendasarkan pada sudah terbitnya
Dari segi ekonomi, menyangkut berbagai
sertifikat paten sederhana atas nama SE, gugatan
kepentingan khususnya cakupan luasnya monopoli
kurang pihak yang menurut tergugat seharusnya
pada saat pemasaran produk, lisensi, persaingan
juga Ditjen HKI dijadikan tergugat (akan tetapi
dan sebagainya. Di samping kepentingan antara
dilakukan pembatalan pihak oleh penggugat) dan
individu (penemu) dan pihak lain yang bertransaksi,
gugatan kabur serta prematur.
kepentingan nasional dan masyarakat umum patut
Menurut tergugat, invensinya merupakan
dipertimbangkan. Setelah mengkaji esensi dan
batas perlindungan paten, secara filosofis perlu invensi baru terbukti telah dilakukan pemeriksaan
pula untuk mengkaji penyelesaian hukum atas substantif di Direktorat Paten dengan dokumen
terjadinya sengketa paten yang mungkin timbul pembanding US-5 348 192 dan US 5 718 261.
antara para pihak, yang dalam penelitian ini dikaji Memang perlu dikaji kenapa tergugat berani
penyelesaian sengketa melalui litigasi. Selain menyampaikan bahwa kurang pihak, karena
itu perlu dikaji secara mendalam bahwa dengan perlu diingat bahwa Ditjen HKI adalah instansi
adanya paten akan mendorong pengembangan yang bertanggungjawab terhadap pendaftaran
teknologi di Indonesia, yang antara lain dan pemberian sertifikat paten.
meliputi penguasaan teknologi dan usaha untuk
menciptakan penemuan.
1.

Penerapan Syarat Patentability Invention


oleh Hakim Khususnya Novelty

Tergugat (SE) dalam peradilan tingkat


pertama telah dikalahkan berdasarkan putusan
Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat melalui

Jika mencermati pertimbangan hakim


PN, hakim PN selanjutnya memutuskan untuk
memenangkan penggugat untuk seluruhnya dan
menyatakan bahwa invensi yang dimuat pada
Paten Sederhana nomor ID 0000 563 S, tertanggal
4 Januari 2005 atas nama tergugat tidak memenuhi
unsur kebaruan sebagaimana dipersyaratkan oleh
UUPaten serta menyatakan batal pendaftaran atas

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 91

data invensi berpaten yang selalu up to


date, jadi Ditjen HKI harus mengikuti
perkembangan paten dunia dan
memberi akses seluas-luasnya bagi
perkembangan teknologi Indonesia.
Jangan sampai ketika seorang WNI
bersusah payah melakukan R&D,
dengan makan biaya dan waktu
banyak, ternyata karena kekurangan
informasi dan rujukan, ternyata di
luar negeri sudah ada patennya,
maka invensinya tidak mungkin bisa
mendapatkan paten, apalagi jika pihak
asing menggunakan hak prioritas
dengan mendasarkan filing date di
negara pertama pemberi paten.

paten tersebut dengan memerintahkan Direktorat


Jenderal Hak Kekayaan Intelektual untuk
membatalkan paten sederhana yang berjudul
Dispenser yang dilengkapi dengan pintu untuk
menutup keran tersebut. Merujuk pada putusan
tersebut, maka terdapat beberapa hal penting yang
harus diperhatikan baik oleh Ditjen HKI maupun
ilmuwan/teoritisi bahwa:
1.

2.

92 |

State of the art harus dinilai


secara fungsional substantif oleh
skilled in the art dengan dokumen
pembanding yang cukup (prior art),
artinya seharusnya semakin banyak
pembanding maka akan semakin tipis
kesalahan penafsiran klaim terjadi,
apalagi kalau sampai terjadi literal
infringement di mana judulnya pun
sama (atau terkover). Dengan digital
library/ online yang ada di dunia ini,
Ditjen HKI bisa mencari data tentang
paten secara tak terbatas, jangan
hanya USPTO (paten Amerika)
dan JPO (paten Jepang). Dengan
mengemukannya kasus ini terbukti
bahwa online system (di USA
discovery system) perlu dibenahi,
penjelajahan situs web paten kurang
luas maupun informasi paten kurang
menjangkau lapisan masyarakat, baik
aparat Ditjen HKI (yang senyatanya
tidak tahu sudah ada paten terdahulu
yang mirip/sama tersebut), maupun
pihak yang berkepentingan;
Ditjen HKI juga bertanggungjawab
atas terbitnya paten sederhana
tersebut, sehingga untuk selanjutnya
Ditjen HKI harus lebih berhati-hati
dan menghidupkan akses online yang
berguna bagi calon inventor terhadap

3.

Demikian pula hubungan dengan


penerapan novelty, bahwa untuk
saat ini dan seterusnya, jika memang
novelty tidak dibatasi teritorialnya,
harus dinyatakan secara tegas dalam
UUPaten, bahwa Indonesia menganut
syarat kebaruan luas yang bersifat
mutlak. Artinya bahwa mungkin
dengan alasan mendukung terciptanya
WTO-TRIPS, dan persaingan industri
dan teknologi.

Indonesia tidak perlu membatasi


novelty secara teritorial, akan tetapi
ingin melahirkan teknologi (berpaten)
yang tidak kalah canggihnya secara
internasional. Jadi unsur kebaruan
luas (world wide novelty) layak
diterapkan di Indonesia ketika sudah
tersedia akses yang signifikan terhadap
informasi paten seluruh dunia, di
dukung fasilitas online yang selalu
di-update oleh Ditjen HKI. Memang
Pasal 3 UU Paten telah menyatakan
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

secara jelas tentang hal tersebut,


akan tetapi dalam penjelasan Pasal
3 perlu diperhatikan karena hanya
memuat sebagai berikut: Penjelasan
Pasal 3 ayat (3)..yang dimaksud
dengan teknologi yang diungkapkan
sebelumnya pada ayat ini mencakup
dokumen permohonan yang diajukan
di Indonesia dan dipublikasikan pada
atau setelah tanggal penerimaan atau
tanggal prioritas dari permohonan
yang sedang diperiksa substantifnya.

4.

Tanggal
penerimaan
atau
tanggal prioritas dokumen yang
dipublikasikan tersebut lebih awal
daripada tanggal penerimaan atau
tanggal prioritas dari permohonan
yang substantifnya sedang diperiksa.
Jika diperhatikan kata-kata yang
tercetak tebal dari penulis di atas,
dikembalikan pada Pasal 3 ayat
(1) dan Pasal 3 ayat (2) tentu tidak
sinkron, karena pada Pasal 3 ayat (2)
tertera: teknologi yang diungkapkan
sebelumnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah teknologi yang
telah diumumkan di Indonesia
atau di luar Indonesia dalam suatu
tulisan, uraian lisan atau melalui
peragaan, atau dengan cara lain
yang memungkinkan seorang ahli
untuk melaksanakan invensi tersebut
sebelum: a. tanggal penerimaan atau
tanggal prioritas.
Dalam kasus tersebut terdapat
keganjilan bahwasanya utuk kelas
dispenser
seharusnya
memang
masuk ke dalam peralatan sederhana
atau rumah tangga sehingga lebih

tepat dikualifikasi ke dalam paten


sederhana, bukan paten biasa (dalam
kasus tersebut di Cina peralatan
ini masuk ke dalam paten biasa).
Diketahui bahwa paten biasa memiliki
teknologi
lebih
rumit/canggih
daripada paten sederhana, selain itu
pada paten sederhana yang diperiksa
dalam pemeriksaan substantif hanya
meliputi kebaruan (novelty) dan dapat
diterapkan dalam industri (industrial
applicable). Dalam paten biasa selain
kedua hal itu masih ditambah lagi
dengan langkah inventif (inventive
step/non obviousness).

Demikian pula pada paten sederhana


hanya terdapat satu klaim. Jadi
seharusnya, jika memang Ditjen HKI
mengkualifikasi invensi semacam
dispenser tersebut dan peralatan rumah
tangga yang lain, untuk lain waktu
(setelah kasus ini) tidak perlu diadakan
pemeriksaan substantif mengenai
inventive step/non obviousness,
serta harus memperhatikan apakah
klaim ada satu atau banyak. Ketika
mencermati kasus tersebut di mana
dikualifikasi oleh Ditjen HKI sebagai
paten sederhana, ternyata terdapat
enam klaim, padahal seharusnya
untuk paten sederhana hanya terdapat
satu klaim.

5.

Dalam
pemeriksaan
substantif
seharusnya juga diperhatikan clarity
dan unity (jika paten biasa) dari klaim,
selain novelty, inventive step (paten
biasa) dan industrial applicable.
Lebih khusus tentang novelty, invensi
yang dipatenkan harus merupakan

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 93

94 |

sebuah penemuan baru yang tidak


persyaratan untuk mendapatkan
pernah ada sebelumnya, karena justru
pengecualian, jika orang lain telah
akan menjadi suatu hal yang buruk,
mengajukan sebuah aplikasi paten
bukannya baik bagi masyarakat untuk
untuk penemuan yang sama, penemu
memberikan hak eksklusif berupa
terdahulu tidak bisa mendapatkan
paten kepada sebuah penemuan yang
paten karena aplikasinya diajukan
telah dikenal luas. UUPaten tidak akan
lebih kemudian daripada orang lain
memberikan paten bagi penemuan
itu (Purwaningsih, 2005: 30).
yang kurang memiliki unsur kebaruan.
Demikian pula hakim pada tingkat kasasi
Jadi jika sebuah penemuan kurang
sebagi judex yuris seharusnya lebih jeli terhadap
unsur kebaruannya, maka penemuan
penerapan hukum yang telah diputuskan oleh
tersebut dikatakan kekurangan unsur
hakim PN sebagai judex factie, apakah benar dan
kebaruan.
tepat penerapan hukumnya pada kasus tersebut.
Masalah Kebaruan hilang ditentukan Jadi sebaiknya Judex Yuris mempertimbangkan,
berdasarkan atas waktu aplikasi paten kenapa terhadap dispenser tersebut bisa dikategori
diajukan, yang mungkin saja dalam hal pada kelas yang berbeda, kenapa bisa jadi paten
ini jam, menit dalam aplikasi tersebut biasa dan paten sederhana, kenapa kalau paten
diajukan sama pentingnya dengan sederhana kok Ditjen HKI membolehkan
tanggal. Ketika sebuah penemuan banyak klaim, dan sebagainya, kenapa prior art
telah kehilangan kebaruanpenemuan yang di Cina terlewati dari kacamata Ditjen HKI,
tersebut bisa mendapatkan bantuan bagaimana pemeriksaan substantif dilakukan, atau
hukum eksepsional (pengecualian mungkin kenapa Ditjen HKI tidak dipersalahkan
terhadap kurangnya kebaruan) dengan (sebagai tergugat II) oleh penggugat.
syarat tertentu dengan alasan bahwa
Jika merujuk pada tulisan Haryani (2010:
penemuan tersebut dianggap belum
161-162), maka sebenarnya pada paten sederhana
kehilangan kebaruannya. Setiap orang
pun boleh dengan banyak klaim, hanya saja
yang ingin mengajukan permohonan
dibatasi untuk satu invensi. Jadi dimaksudkan
untuk memperoleh pengecualian
bahwa paten biasa adalah banyak invensi (dalam
harus mengajukan aplikasi paten
satu kesatuan) dan banyak klaim dan paten
bagi penemuan tersebut dalam
sederhana adalah satu invensi dengan boleh
jangka waktu 6 bulan terhitung mulai
lebih dari satu klaim. Dengan banyak pendapat
tanggal ketika kebaruannya hilang
yang berbeda tersebut, seharusnya kembali pada
dan menyerahkan sebuah pernyataan
ketentuan dalam UUPaten.
tertulis berkaitan dengan permasalahan
tersebut dan dokumentasi lainnya
Merujuk pada alasan-alasan peninjauan
untuk membuktikan permasalahan kembali (PK) yang menurut MA tidak dibenarkan
tersebut dalam jangka waktu yang karena bukti yang diajukan SE (sebagai pemohon
telah ditentukan. Meskipun aplikasi kasasi) bukanlah novum, maka sudah tepatlah
paten yang demikian memenuhi kiranya putusan MA tersebut. Memang benar,

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

jika bukti yang diajukan pemohon kasasi ternyata


telah diajukan sebagai bukti pada peradilan tingkat
pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, maka
seharusnya pun si pemohon kasasi mengetahui
tentang hal tersebut.
Jadi ketika terbukti produk model dispenser
yang didistribusikan/diperdagangkan oleh SE
merupakan produk terbaru tahun 2003 yang
telah beredar di pasaran Medan dan Palembang
pada bulan Maret 2004, sementara pendaftaran
Paten Sederhananya (filing date) dengan judul
Dispenser yang dilengkapi dengan Pintu
Penutup Keran adalah pada tanggal 15 April
2004, sehingga MA secara jelas berpendapat
bahwa invensi yang diajukan tergugat (pemohon
Kasasi) memang bukan merupakan invensi baru.
Mengenai pemakai terdahulu, sebenarnya dalam
UUPaten Indonesia mengenal pemakai terdahulu,
akan tetapi dengan syarat asalkan tidak merugikan
kepentingan si pemilik/pemegang paten.
Berdasarkan bahasan di atas, secara hukum
memang putusan baik pada tingkat pertama,
maupun kasasi adalah tepat, hingga PK pun
ditolak; hanya saja perlu dipertimbangkan
beberapa hal penting khusus mengenai penerapan
novelty yang luas secara mutlak ini antara lain:
1.

Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat


paten sederhana, yang ternyata telah
dipatenkan di Cina sebelum paten
sederhana tersebut diberikan (bahkan
sebelum filing date) dan bagaimana
iktikad baik dapat dibuktikan ketika
ternyata dokumen di Cina tersebut
tidak digunakan sebagai prior art
atau sebagai dokumen pembanding
pada saat pemeriksaan substantif.
2. Penerapan Function-Way-Result
oleh Hakim

Test

Berkenaan dengan infringement; suatu


pelanggaran membutuhkan 2 langkah: (1)
pengadilan harus menafsirkan klaim-klaim yang
dinyatakan sebagai telah dilanggar menurut
hukum; untuk menetapkan maksud dan scope
klaim-klaim tersebut; dan (2) klaim-klaim
sebagaimana telah ditafsirkan, dibandingkan
dengan pelanggaran yang telah ditetapkan baik
alat maupun proses. Dalam menafsirkan klaim,
reference (prior art yang dilanggar) pertama-tama
dibuat menjadi bukti intrinsik yakni: spesifikasi
paten, prosecution history, dan klaim-klaim
lain dalam paten. Hanya jika terjadi ambiguitas
mengenai maksud klaim-klaim , diperbolehkan
untuk menggunakan extrinsic evidence yakni
expert testimony (saksi ahli), perjanjian (treaty),

2.

Pertimbangan
hukum
tentang
penerapan
worldwide
novelty
seharusnya dinyatakan secara tegas, dictionary (kamus), dan prior art sejenis lainnya.
demi menjamin kepastian hukum dan Ekstrinsik evidence demikian tidak boleh
digunakan untuk merubah meaning of a claim
keadilan.
term, seperti yang ditentukan oleh intrinsik
Hakim harus bisa memilah mana yang
evidence yang ini sudah menjadi catatan umum.
benar secara hukum, kenapa Ditjen
HKI bisa memberikan sertifikat
Penelitian kedua (perbandingan alat dan
paten sederhana terhadap invensi proses) meliputi membandingkan produk atau
dengan lebih satu klaim, yang tentu metode tergugat dengan klaim invensi. Pelanggaran
menyalahi UUPaten.
terhadap patent claim bisa digambarkan secara

3.

Hakim juga harus bisa menilai kenapa harfiah (literal infringement) suatu produk atau

Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 95

melalui doktrin equivalen. Dalam menentukan


literal infringement, masing-masing elemen
dalam suatu klaim dipertimbangkan secara
material dan esensial.
Untuk terjadinya literal infringement
masing-masing
pembatasan
klaim
yang
ditunjukkan harus ditemukan dalam metode
ataupun dengan alat tergugat. Oleh karena klaimklaim paten merupakan sekumpulan bagian
yang tidak terpisahkan dan membatasi invensi,
klaim-klaim yang dipersengketakan (yang
telah ditafsirkan) harus dibandingkan dengan
metode atau produk tergugat. Infringement tidak
ditentukan oleh suatu perbandingan hanya oleh
produk atau proses tergugat dan embodiment
yang digambarkan dalam sebuah paten, atau oleh
suatu perbandingan dengan commercial product
pemilik paten.
The tripartite test function-way-result
menyatakan bahwa infringement melalui doktrin
equivalen bisa ditemukan ketika alat-alat tergugat
dan klaim invensi menunjukkan secara substansial
fungsinya sama, secara substansial memiliki cara
yang sama dan secara substansial menghasilkan
produk yang sama pula. Jadi doktrin ini didasarkan
pada tes tersebut pada invensi khusus yang
disengketakan dan bagaimana cara pembuatan
klaim itu sendiri. Dalam membandingkan suatu
alat tergugat dengan klaim invensi, tes equivalensi
harus digunakan pada elemen per elemen
pokok, di mana perbandingan antara masingmasing elemen klaim paten dan masing-masing
elemen alat tergugat dibuat lebih daripada hanya
perbandingan invensi secara keseluruhan dan alat
tergugat secara keseluruhan.
Beberapa faktor untuk mengidentifikasikan
adanya substantially of differences adalah: (1)
interchangeability (dapat dipertukarkan) antara

96 |

elemen tergugat dengan elemen klaim, yang


harus menunjukkan insubstantially of differences,
(2) evidence of copying (bukti peniruan) yang
menunjukkan insubstantially of differences dan
(3) evidence of designing around the patent
claims (bukti design yang tercakup klaim), yang
menunjukkan insubstantially of differences
(Purwaningsih, 2005: 97-98). Mengingat kasus
dispenser tersebut di Cina dikualifikasi/didaftar
sebagai paten biasa (dan dengan banyak klaim),
sementara di Indonesia ternyata milik tergugat
(SE) didaftarkan sebagai paten sederhana dan
Ditjen HKI memberikan paten sederhana (dengan
banyak klaim), maka perlu diperhatikan sebagai
berikut:
1.

Dispenser sebenarnya hanyalah


peralatan rumah tangga, apalagi jika
hanya ditambah dengan penutup
keran, tentu bisa dimasukkan ke
dalam paten sederhana, akan tetapi
tentu mengubah banyak klaim
menjadi satu klaim. Dengan menilai
bahwa segala macam dispenser bisa
terkualifikasi (terkover) dengan
kata dispenser, maka meskipun
ditambah keran atau apa (misal
kipas angin dan sebagainya), yang
secara substansial tidak berbeda
jelas, tetap saja dikategorikan dengan
dispenser, sehingga invensi milik
tergugat (meskipun paten sederhana)
terantisipasi (terkover) oleh invensi
berpaten penggugat.

2.

Perlunya
pemeriksa
substantif
menerapkan tes/pemeriksaan tentang
fungsi, cara dan hasil, apakah mirip/
sama secara substansial atau tidak.
Hal ini sangat menentukan pokok
invensi yang terlihat dalam klaim.
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

Jadi antara penemuan terdahulu dan kesimpulan sebagai berikut:


penemuan baru dipersandingkan,
1. Secara hukum putusan baik pada tingkat
jika nampak mirip (equivalen),
pertama, maupun kasasi adalah tepat,
maka demi kepastian hukum tetap
hingga PK pun ditolak; hanya saja perlu
diadakan tes mengenai fungsi, cara
dipertimbangkan beberapa hal penting
dan hasil, apakah memang benar
khusus mengenai penerapan novelty yang
sama/mirip secara substansial, karena
luas secara mutlak ini antara lain: (1)
paten mendasarkan diri pada aspek
Pertimbangan hukum tentang penerapan
fungsionalitas, bukan estetis atau pun
worldwide novelty seharusnya dinyatakan
tampilan.
secara tegas, demi menjamin kepastian
3. Pemeriksa substantif (pada saat
hukum dan keadilan; (2) Hakim harus bisa
pemeriksaan di Ditjen HKI) dan hakim
memilah mana yang benar secara hukum,
(pada saat litigasi) seharusnya juga
Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat
berpedoman pada bukti yang nyata
paten sederhana terhadap invensi dengan
dilandasi oleh iktikad baik para pihak.
lebih satu klaim, perlu dikembalikan pada
Diskresi hakim memang dibolehkan
ketentuan UUPaten; harus ditegaskan baik
sepanjang tidak mengesampingkan
dalam penjelasan UUPaten maupun aturan
bukti yang nyata serta jangan sampai
organik serta prakteknya; dan (3) Hakim
terjadi kurang update informasi atau
juga harus bisa menilai kenapa Ditjen
ketinggalan informasi, khususnya bagi
HKI bisa memberikan sertifikat paten
Ditjen HKI dalam hal pendaftaran
sederhana, yang ternyata telah dipatenkan
paten di dunia, karena Ditjen HKI
di Cina sebelum paten sederhana tersebut
merupakan gerbang utama terbitnya
diberikan (bahkan sebelum filing date) dan
sertifikat paten.
bagaimana iktikad baik dapat dibuktikan
ketika ternyata dokumen di Cina tersebut
Dari bahasan di atas, bahwa meskipun tidak
tidak digunakan sebagai prior art atau
tertera hakim menerapkan tes atau pemeriksaan
sebagai dokumen pembanding pada saat
terhadap fungsi, cara dan hasil pada invensi
pemeriksaan substantif;
berpaten tersebut, tercermin bahwa berdasarkan
pertimbangan khususnya mengenai interpretasi 2. Meskipun tidak tertera hakim menerapkan
klaim (claim interpretation) dan judul serta
tes atau pemeriksaan terhadap fungsi, cara
klaim invensi yang mirip (dan terkover), maka
dan hasil pada invensi berpaten tersebut,
sudah tepatlah putusan hakim menerapkannya
tercermin bahwa berdasarkan pertimbangan
pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi literal
khususnya mengenai interpretasi klaim
infringement juga lebih substansial infringement
(claim interpretation) dan judul serta klaim
pada fungsi, cara dan hasil.
invensi yang mirip (dan terkover), maka sudah
tepatlah putusan hakim menerapkannya
pada kasus tersebut. Jadi selain terjadi
IV. SIMPULAN
literal infringement juga lebih substansial
Dari uraian analisis di atas, dapat ditarik
infringement pada fungsi, cara dan hasil.
Penerapan World Wide Novelty dan Function-Way-Result Test Pada Paten (Endang Purwaningsih)

| 97

Perlunya pemeriksa substantif menerapkan


tes/pemeriksaan tentang fungsi, cara dan
hasil, apakah mirip/sama secara substansial
atau tidak. Hal ini sangat menentukan pokok
invensi yang terlihat dalam klaim. Jadi
antara penemuan terdahulu dan penemuan
baru dipersandingkan, jika nampak mirip
(equivalen), maka demi kepastian hukum
tetap diadakan tes mengenai fungsi, cara
dan hasil, apakah memang benar sama/
mirip secara substansial, karena paten
mendasarkan diri pada aspek fungsionalitas,
bukan estetis atau pun tampilan. Pemeriksa
substantif (pada saat pemeriksaan di
Ditjen HKI) dan hakim (pada saat litigasi)
seharusnya juga berpedoman pada bukti
yang nyata dilandasi oleh iktikad baik para
pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Domestik dalam Buku Sains & Teknologi 2.


Jakarta: Gramedia.
Oda, Shigeaki. 2003. Usage of information on
IPR, Internet, patent Abstracts of Japan.
JIII/AOTS.
Pieroen, A.P. 1988. Beschermingsomvang van
Octrooien in Nederland, Duitsland en
Engeland. Kluwer-Deventer.
Purwaningsih, Endang. 2005. Paten sebagai
Konstruksi Hukum Perlindungan Invensi
dalam Bidang Teknologi dan Industri.
Jurnal Pro Justitia. UNPAR.
-----------------------------. 2005. Perkembangan
Hukum Intellectual Property Rights.
Jakarta: Ghalia Yudistira.
-----------------------------. 2006. Paten sebagai
Penentu Besarnya Monopoly Patent Rights
dalam Dunia Industri. Jurnal Gloria Yuris.
Unika Atmajaya.

European Patent Office. 2000. Case Law of The


Boards of Appeal of The EPO 1987-1992. -----------------------------.
2009.
Model
EPO.
Pengembangan Budaya Paten di Kampus
dalam rangka Menumbuhkembangkan
Haryani, Iswi. 2010. Prosedur Mengurus HAKI
Indigenous Technological Capabilities.
yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Laporan Hibah Penelitian DIKTI.
JPO. 1990. Comparative study of patent practices
in the field of biotechnology related mainly -----------------------------. 2012. HKI DAN
LISENSI. Bandung: CV Mandar Maju.
to microbiological inventions (EPO, JPO,
USPTO). Japan.
Saidin, O.K. 2010. Aspek Hukum Hak Kekayaan
Intelektual. Jakarta: Rajawali Press.
JPO. 1998. Comparative Study on The Japanese
The United States and The European Patent Sumber lain:
Systems. Japan: Japan Institute of Invention
Direktori Putusan MA RI. Akses 20 Februari
and Innovation.
2012. putusan.mahkamahagung.go.id.
JPO. 2000. Drafting Claim and Specification.
Dirjen Paten. Akses 20 Februari 2012. http://
Japan.
www.dgip.go.id.
Lakitan, Benyamin. 2009. Teknologi Berorientasi
98 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 84-98

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT


DALAM KASUS PENCURIAN KAKAO
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT
Haryanto Dwiatmodjo, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122
Email: haryanto_dwiatmodjo@yahoo.com

a conditional sentence imposed upon the


conviction of theft of cocoa
An Analysis of Decision Number 247/Pid.B/2009/PN. Pwt
Haryanto Dwiatmodjo, Faculty of law of Jenderal Soedirman University, Purwokerto
Jalan Prof. Dr. H.R. Boenyamin 708 Grendeng Purwokerto 53122
Email: haryanto_dwiatmodjo@yahoo.com
ABSTRAK

Abstract

Penjatuhan pidana bersyarat dalam kasus pencurian

The imposition of conditional penalties over criminal

kakao sudah sesuai dengan pemikiran dasar pemberian

acts in case of theft of cocoa is in conformity with

pidana bersyarat. Pemikiran dasar pemberian pidana

the main purpose of conditional penalties. The main

bersyarat tersebut pada intinya terdiri dari empat

purpose of conditional penalties essentially consists

aspek: Pertama, pidana bersyarat dijatuhkan untuk

of four aspects. First, it is imposed to help the inmates

menolong terpidana agar belajar hidup produktif.

learning to live productively. Second, it works as an

Kedua, pidana bersyarat menjadi lembaga hukum

implied law institution for the inmates better than the

yang lebih baik dari sekedar kelapangan hati hakim

broad-mindedness of the judge or the public. Third,

maupun masyarakat. Ketiga, pidana bersyarat menjadi

it becomes a medium for correction for the inmates

sarana koreksi yang bermanfaat bagi terpidana dan

and the society. Fourth, it is oriented to the action

masyarakat. Keempat, pidana bersyarat berorientasi

and also the criminals. Therefore, the imposition of

pada perbuatan dan juga pelaku tindak pidana. Oleh

conditional penalties over criminal acts has been in

sebab itu, penjatuhan pidana bersyarat ini telah sesuai

accordance with the principles of criminal law that

dengan prinsip hukum pidana yang mengutamakan

prioritizes prevention.

pencegahan.

Keywords: conditional penalties, theft, justice.

Kata kunci: pidana bersyarat, pencurian, keadilan.

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 99

I.

PENDAHULUAN

Setiap penjatuhan sanksi pidana setidaknya


harus mendasarkan pada perbuatan yang
dilakukan oleh si pelaku maupun keadaankeadaan yang ada dalam diri pelaku. Kenyataan
dalam praktik banyak variasinya sehingga dapat
dimengerti apabila tidak selalu tercapai apa
yang dinamakan pemidanaan yang konsisten
(consistency of sentencing). Sekalipun demikian
yang harus dicapai adalah konsistensi dalam
pendekatan terhadap pemidanaan (consistency
of approach to sentencing). Hal ini dibutuhkan
mengingat kegagalan dalam menciptakan
konsistensi ini menimbulkan rasa injustice.
Karena seorang pelaku tindak pidana mungkin
akan memperoleh pidana yang lebih berat
dari yang lain dan sebaliknya. Demikian pula
pandangan masyarakat terhadap persamaan hak
dalam peradilan akan terganggu apabila terjadi
fluctuation in sentencing (Muladi, 1995: 111).

Pembahasan Hukum Pidana dengan segala


aspeknya (sifat melawan hukum, kesalahan dan
pidana) akan selalu menarik berhubung dengan
sifat dan fungsinya yang istimewa. Muladi
(2002: 15) bahkan menyatakan hukum pidana
itu memotong darah dagingnya sendiri serta
memiliki fungsi ganda yang rasional (sebagai
bagian dari politik kriminal) dan sekunder
sebagai sarana pengaturan tentang kontrol sosial
sebagaimana dilaksanakan secara spontan atau
dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.
Sedangkan esensi jaminan perlindungan hak
seorang justru terletak pada tahap ajudikasi.
Sebab pada tahap sidang pengadilanlah terdakwa
(dan juga pembelanya) dapat berdiri tegak sebagai
pihak yang sama derajatnya berhadapan dengan
penuntut umum (Lestijono, 2005: 96). Hal ini
bermakna bahwa pengadilan wajib sepenuhnya
menjamin hak-hak kedua belah pihak, baik
Beberapa waktu yang lalu Pengadilan
penuntut umum sebagai pendakwa maupun Negeri Purwokerto dalam Perkara Nomor 247/
terdakwa dalam membela dirinya.
Pid.B/2009/PN.Pwt telah menjatuhkan Pidana
Bersyarat kepada seorang perempuan tua usia
Pemidanaan merupakan bagian penting
55 tahun, Mbok Mnh namanya yang didakwa
dalam hukum pidana karena merupakan puncak
telah mencuri 3 (tiga) kilogram buah Kakao
dari seluruh proses mempertanggungjawabkan
(bukan hanya tiga biji sebagaimana diberitakan
seseorang yang telah bersalah melakukan tindak
di beberapa media massa).
pidana. Chairul Huda (2006: 125) menyatakan A
criminal law without sentencing would morely be
Kasus ini menjadi menarik bukan hanya
a declaratory system pronouncing people guilty karena banyaknya tanggapan masyarakat yang
without any formal consequences following berempati pada peristiwa yang dialami Mnh
that guilt. Hukum pidana tanpa pemidanaan karena dianggap melukai hati masyarakat serta
berarti menyatakan seorang bersalah tanpa melukai rasa keadilan rakyat yang akhirnya
ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya. oleh majelis hakim dinyatakan terbukti bersalah
Dengan demikian konsepsi tentang kesalahan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pidana pencurian sebagaimana diatur Pasal 362
pengenaan pidana dan proses pelaksanaannya. Kitab Undang-undang Hukum Pidana sehingga
Jika kesalahan dipahami sebagai dapat di cela hakim menjatuhkan sanksi berupa pidana
maka pemidanaan merupakan perwujudan dari penjara selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas) hari
celaan.
walaupun pidana tersebut tidak perlu dijalaninya
100 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang konsekuensi dan implikasi, sebagai berikut:
menjatuhkan pidana kepada terdakwa karena
1. semua subsistem akan saling
telah melakukan tindak pidana sebelum habis
tergantung (interdependent) karena
masa percobaan selama 3 (tiga) bulan.
produk (output) suatu subsistem
merupakan masukan (input) bagi
II. RUMUSAN MASALAH
subsistem lainnya,
Dengan latar belakang masalah yang telah
diuraikan di atas, maka permasalahan dibatasi:
Apakah penjatuhan pidana dalam perkara Nomor
247/Pid.B/2009/Pn.Pwt telah sesuai dengan ide
dasar pemberian pidana bersyarat?

2.

pendekatan
sistem
mendorong
adanya interagency consultation an
co-operation yang pada gilirannya
akan meningkatkan upaya-upaya
penyusunan strategis dari keseluruhan
sistem; dan

III. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS

3.

kebijakan yang diputuskan yang


diputuskan dan dijalankan oleh suatu
subsistem akan berpengaruh pada
subsistem lain.

Sistem peradilan pidana (criminal justice


system) sebagai salah satu implementasi nyata
dari teori sistem pada dasarnya merupakan
open system akan selalu mengalami interface
(interaksi, koneksi dan interdependensi) dengan
lingkungannya serta subsistem-subsistem yang
ada di dalam sistem peradilan pidana itu sendiri
secara terpadu sehingga sistem peradilan pidana
tidak hanya dapat dilihat dari sudut pendekatan
sosial. Dengan demikian sistem peradilan pidana
tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial lainnya
(sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya)
yang berlaku di negara tersebut.
Adapun ciri-ciri pendekatan sistem
dalam peradilan pidana antara lain berfokus
pada koordinasi dan sinkronisasi komponen
peradilan pidana, pengawasan dan pengendalian
pengggunaan kekuasaan peradilan pidana,
efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih
utama dari pada efisiensi penyelesaian perkara
dan penggunaan hukum sebagai instrumen untuk
memantapkan the administration of justice
(Atmasasmita, 1996: 9-10). Kajian Tim Fakultas
Hukum Universitas Indonesia (2001: 25) terhadap
sistem peradilan pidana pada umumnya memiliki

Sifat saling ketergantungan di antara tiap-tiap


subsistem dalam sistem peradilan pidana (pembuat
undang-undang, kepolisian, kejaksaan, kehakiman/
peradilan, advokat, lembaga pemasyarakatan
dan masyarakat) maka konsultasi dan kerjasama
terpadu merupakan suatu conditio sine qua non
guna mewujudkan suatu sistem peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice system).
Salah satu prinsip utama dalam
penyelenggaraan sistem peradilan pidana terpadu
adalah equality before the law, merupakan
prinsip yang dijamin konstitusi sebagaimana
tercantum dalam Pasal 27 Undang-Undang
Dasar 1945. Implementasi asas equality before
the law dalam sistem peradilan pidana selama
ini pada umumnya hanya berorientasi pada
masyarakat sebagai salah satu pihak yang terlibat
dalam perkara pidana baik sebagai saksi, pelaku
maupun korban khususnya bagi mereka yang
dikenakan status sebagai tersangka, terdakwa
maupun terpidana (sehingga idealnya tidak perlu
ada pembedaan perlakuan hukum terhadap tiap-

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 101

tiap warganegara). Padahal asas equality before


the law seharusnya juga berorientasi terhadap
para aparat penegak hukum khususnya hakim
sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman.
Implementasi asas equality before the
law bagi para hakim sangat penting karena
dengan diterapkannya sistem majelis hakim
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
maka ada persamaan hak dan kewajiban di
antara para hakim dalam suatu majelis guna
menghindari adanya pengaruh internal (yang
berasal dari dalam kekuasaan kehakiman itu
sendiri) yang dapat mempengaruhi kemandirian
dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Salah
satu implementasi nyata dari asas equality before
the law bagi para hakim adalah terjaminnya
kebebasan tiap-tiap anggota majelis hakim untuk
mengemukakan pertimbangan dan pendapatnya
dalam menghasilkan putusan.
Dalam proses peradilan pidana ekspresi
equality before the law digambarkan Kaligis
(2006: 131) mengutip pendapat Trapman:
Het standpunt van de verdachte
karakteriseerde hij als de subjectieve
beoordeling van een subjective positie
dat van de raadsman als de objective
beordeling van een subjective positie, dat
van de openbare minister als de subjective
beoordeling van een objective positie, dat
van de rechter als de objective beoordeling
van een objective positie.

sedangkan hakim mempunyai pertimbangan


yang obyektif dalam posisi yang obyektif
pula).
Pertimbangan obyektif yang dilakukan
dalam posisi obyektif oleh seorang hakim
hanya dapat dilakukan manakala kemandirian
dan kekuasaan kehakiman di negara itu telah
dilaksanakan secara baik. Posisi obyektif hakim
didasarkan pada tugasnya dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara, sedangkan
suatu pertimbangan obyektif hakim merupakan
sesuatu yang amat sulit untuk dicapai karena
dalam setiap pertimbangan-pertimbangannya
untuk menentukan keputusan manusia akan
selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor subyektif
yang bersifat internal (dari dalam dirinya sendiri)
seperti pengalaman hidup, pola pemikiran,
wawasan, tingkat pendidikan, keyakinankeyakinan subyektif dan sebagainya, sehingga
jika dalam suatu perkara terdapat kepentingan
langsung atau tidak langsung dari hakim maka
dapat dipastikan hakim tersebut tidak akan
mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang
obyektif. Oleh karena itu aspek-aspek psikologis
hakim akan sangat mempengaruhi hasil dan
kualitas putusan pengadilannya.
Peran hakim dalam mengembangkan
konsep-konsep dasar (hukum pidana) sangat
signifikan melalui putusan-putusannya. Hakim
juga harus mampu bersifat a-politik, sehingga
hakim akan memiliki kepekaan terhadap rasa
keadilan masyarakat. Seorang hakim tidak
mungkin berinisiatif mengadakan perkara
melainkan sebaliknya harus bersifat pasif
menunggu perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya dalam suatu sidang pengadilan.

(bahwa dalam peradilan pidana terdakwa


mempunyai pertimbangan yang subyektif
dalam posisi yang subyektif, penasehat
hukum mempunyai pertimbangan yang
obyektif dalam posisi yang subyektif,
Proses
pembentukan
hukum
dan
penuntut umum mempunyai pertimbangan
pengambilan putusan menurut Roeslan Saleh
yang subyektif dalam posisi yang obyektif,
102 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

sebagaimana dikutip Mudzakir (2001: 166)


adalah suatu proses pemositifan asas-asas hukum
materiil melalui institusi yang berwenang untuk
itu. Putusan pengadilan terhadap perkara tindak
pidana merupakan hasil dari suatu proses panjang
dan kompleks yang memerlukan teknik-teknik
tertentu dari aparat penegak hukum khususnya
hakim sehingga putusan pengadilan harus
mengandung suatu proses pemikiran hakim
yang dapat diikuti oleh orang lain secara baik,
khususnya oleh terdakwa sebagai pihak yang
paling berkepentingan atas putusan pengadilan.

sesuatu perbuatan sesuai dengan hukum atau


mendiskualifikasikan sebagai melawan hukum
(Sudarto, 1986: 111).
Di Indonesianpun terdapat masalahmasalah yang universal yaitu ketidakpuasan
masyarakat terhadap perampasan kemerdekaan
yang dalam berbagai penelitian terbukti sangat
merugikan baik terhadap individu yang dikenai
pidana maupun terhadap masyarakat.

Salah satu cara mengatasinya antara lain


dalam bentuk peningkatan pemidanaan yang
bersifat non-institusional seperti pendayagunaan
Karakter produk hukum atau pengambilan
pidana bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal
keputusan hukum (putusan pengadilan) umumnya
14a-14f Kitab Undang-undang Hukum Pidana
sangat dipengaruhi oleh pandangan dasar tentang
(KUHP) berikut peraturan pelaksanaannya
keadilan dan teori hukum yang diikuti penegak
Staatblad 1926 No. 251 jo 486, pada bulan Januari
hukum (khususnya hakim) meskipun berpijak
1927 yang kemudian diubah dengan Staatblad
pada ketentuan hukum yang sama (Mudzakir,
No. 172 (Muladi, 2002: vii).
2001: 167). Adanya ketentuan yang diatur Pasal
5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Dalam tingkatan penggunaan hukum secara
Kekuasaan Kehakiman menuntut para hakim agar sadar untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang
menjadi manusia hukum yang cinta keadilan, dikehendaki seperti yang dialami oleh negaramembenci ketidakadilan serta berani mengambil negara modern sekarang ini maka persoalannya
keputusan atas keyakinannya berdasar hati bergeser kepada ketegangan antara idekepastian
nurani yang murni sehingga berani menghadapi hukum dan penggunaan hukum untuk
siapapun kecuali terhadap Tuhan Yang Maha melakukan perubahan-perubahan. Idekepastian
Esa. Dengan demikian hakim diharapkan dapat hukum menghendaki adanya stabilitas di
memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dalam masyarakat sedangkan pengggunaan
dan rasa keadilan masyarakat.
secara instrumental adalah untuk menciptakan
Norma atau kaidah hukum ditujukan
terutama kepada pelakunya yang konkret, yaitu
si pelaku pelanggar yang nyata-nyata berbuat
bukan untuk penyempurnaan manusia melainkan
untuk kepentingan masyarakat agar masyarakat
tertib, agar jangan sampai jatuh korban kejahatan.
Hukum mengatur masyarakat secara patut dan
bermanfaat dengan menempatkan apa yang
diharuskan ataupun yang diperbolehkan dan
sebaliknya. Hukum dapat mengkualifikasikan

perubahan melalui pengaturan tingkah laku


warga masyarakat menuju kepada sasaran yang
dikehendaki (Rahardjo, 1986: 113).
Pidana bersyarat menurut Muladi (2002:
62) bukan merupakan pidana pokok melainkan
cara penerapan pidana sebagaimana pidana
yang tidak bersyarat. Pengaturan mengenai
pidana bersyarat ini sendiri di dalam KUHP,
yang terdapat dalam:

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 103

Pasal 14a KUHP:

itu ada.

5. Perintah tersebut dalam ayat (1) harus


1. Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara
disertai hal-hal atau keadaan yang menjadi
paling lama satu tahun atau kurungan,
alasan perintah itu.
tidak termasuk kurungan pengganti, maka
dalam putusannya dapat memerintahkan Pasal 14b KUHP:
pula di kemudian hari ada putusan hakim
yang menentukan lain, disebabkan karena 1. Masa percobaan bagi kejahatan dan
pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 492,
terpidana melakukan suatu perbuatan
504, 505, 506 dan 536, paling lama adalah
pidana sebelum masa percobaan yang
tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya
ditentukan dalam perintah tersebut di atas
paling lama dua tahun.
habis atau terpidana selama masa percobaan
tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang 2. Masa percobaan dimulai pada saat putusan
telah menjadi tetap dan telah diberitahukan
mungkin ditentukan dalam perintah itu.
kepada terpidana menurut cara yang
2. Hakim yang mempunyai kewenangan
ditentukan dalam undang-undang.
seperti di atas kecuali dalam perkaraperkara yang mengenai penghasilan dan 3. Masa percobaan itu tidak dihitung selama
terpidana dihilangkan kemerdekaannya
persewaan negara apabila menjatuhkan
karena tahanan yang sah.
pidana denda tetapi harus ternyata
kepadanya bahwa pidana denda atau
Pasal 14c ayat (1) KUHP:
perampasan yang mungkin diperintahkan
pula akan sangat memberatkan si terpidana. 1. Dalam perintah yang dimaksud Pasal 14a,
kecuali jika dijatuhkan pidana denda,
Dalam menerapkan ayat ini kejahatan dan
selain menetapkan syarat umum bahwa
pelanggaran candu hanya dianggap sebagai
terpidana tidak akan melakukan perbuatan
perkara mengenai penghasilan negara, jika
pidana, hakim dapat menetapkan syarat
terhadap kejahatan dan pelanggaran itu
khusus bahwa terpidana dalam waktu
di tentukan bahwa dalam hal dijatuhkan
tertentu, yang lebih pendek daripada masa
pidana denda tidak diterapkan ketentuan
percobaannya, harus mengganti segala atau
Pasal 30 ayat 2.
sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh
3. Jika hakim tidak menentukan lain, maka
perbuatan pidana tadi.
perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana tambahan.
4. Perintah tersebut dalam ayat 1 hanya
diberikan
jika
hakim
berdasarkan
penyelidikan yang teliti yakin bahwa dapat
diadakan pengawasan yang cukup untuk
dipenuhinya syarat dipenuhinya syarat
umum yaitu bahwa terpidana tidak akan
melakukan perbuatan pidana dan sysratsyarat khusus jika sekiranya syarat-syarat
104 |

2. Apakah hakim menjatuhkan pidana penjara


lebih dari tiga bulan atau kurungan atas
salah satu pelanggaran tersebut dalam Pasal
492, 504, 505, 506 dan 536, maka boleh
ditetapkan syarat khusus yang lainnya
mengenai tingkah laku terpidana yang
harus dipenuhi selama masa percobaan
atau selama bagian dari masa percobaan.
3. Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh
Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

mengurangi kemerdekaan agama atau


kemerdekaan politik terpidana.
Pasal 14d KUHP:
1. Yang diserahi mengawasi supaya supaya
syarat-syarat dipenuhi ialah pejabat
yang berwenang yang akan menyuruh
menjalankan putusan.
2. Jika ada alasannya hakim dalam perintahnya
boleh mewajibkan kepada lembaga yang
berbentuk badan hukum atau kepada
pimimpin suatu rumah penampung atau
kepada pejabat tertentu supaya memberi
pertolongan dan bantuan kepada terpidana
dalam memenuhi syarat-syarat khusus.

di atas, atas usul tersebut Pasal 14d ayat (1),


hakim yang memutus perkara dalam tingkat
pertama dapat memerintahkan supaya
pidananya dijalankan atau memerintahkan
supaya atas namanya diberi peringatan pada
terpidana, yaitu jika terpidana selama masa
percobaan melakukan perbuatan pidana dan
karenanya ada pemidanaan yang menjadi
tetap, atau jika salah satu syarat lainnya tidak
terpenuhi atau jika terpidana sebelum masa
percobaan habis dijatuhi pemidanaan yang
menjadi tetap karena melakukan perbuatan
pidana sebelum masa percobaan mulai
berlaku. Dalam memerintah pemberian
peringatan, hakim harus menentukan juga
bagaimana cara memberi peringatan itu.

3. Aturan-aturan lebih lanjut mengenai


2. Setelah masa percobaan habis, perintah
pengawan dan bantuan tadi serta mengenai
supaya dijalankan tidak dapat diberikan
penunjukkan lembaga dan pemimpin rumah
lagi kecuali jika sebelum masa percobaan
penampung yang dapat diserahi memberi
habis, terpidana dituntut karena melakukan
bantuan itu diatur dengan undang-undang.
perbuatan pidana di dalam masa percobaan
dan penuntutan itu kemudian berakhir
Pasal 14e KUHP:

dengan pemidanaan yang menjadi tetap,


hakim masih boleh memerintahkan supaya
pidananya dijalankan, karena melakukan
perbuatan pidana tadi.

1. Atas usul pejabat tersebut Pasal 14d ayat


(1) atas permintaan terpidana hakim yang
memutus perkara dalam tingkat pertama
selama masa percobaan, dapat mengubah
Usaha untuk menerapkan pidana bersyarat
syarat-syarat khusus atau lamanya waktu
berlaku syarat-syarat khusus di dalam menurut Muladi (2002: 197) harus diarahkan
masa percobaan. Hakim juga boleh pada manfaat:
memerintahkan orang lain daripada orang
a. Pidana bersyarat tersebut di satu pihak harus
yang diperintahkan semula, supaya meberi
dapat meningkatkan kebebasan individu,
bantuan kepada terpidana dan juga boleh
dan di lain pihak mempertahankan tertib
memperpanjang masa percobaan satu kali,
hukum serta memberikan perlindungan
paling banyak dengan separo dari waktu
kepada masyarakat secara efektif terhadap
yang paling lama dapat ditetapkan untuk
pelanggaran hukum lebih lanjut;
masa percobaan.
b. Pidana bersyarat harus dapat dapat
meningkatkan
persepsi
masyarakat
Pasal 14f KUHP:
terhadap falsafah rehabilitasi dengan cara
1. Tanpa mengurangi ketentuan tersebut pasal
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 105

memelihara kesinambungan hubungan Tani, Pendidikan Kelas 1 Sekolah Dasar.


antara narapidana dengan masyarakat
b. Dakwaan
secara normal;
c. Pidana bersyarat berusaha menghindarkan
dan melemahkan akibat-akibat negatif
dari pidana perampasan kemerdekaan
yang seringkali menghambat usaha
pemasyarakatan kembali narapidana ke
dalam masyarakat;

Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S pada

hari Minggu, tanggal 2 Agustus 2009 sekitar


jam 13.00 WIB atau setidak-tidaknya pada
suatu waktu di tahun 2009, bertempat di areal
perkebunan cokelat atau kakao Blok A9 milik PT
RSA IV Darmakradenan ikut D D, Kecamatan
d. Pidana bersyarat mengurangi biaya-biaya Aji, Kabupaten B atau setidak-tidaknya di suatu
yang harus dikeluarkan oleh masyarakat tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan
untuk membiayai sistem koreksi yang Negeri Purwokerto, mengambil suatu barang
berdaya guna;
yang sama sekali atau sebagian termasuk
e. Pidana bersyarat diharapkan dapat kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
membatasi kerugian-kerugian dari pidana dimiliki barang itu dengan melawan hukum.
pencabutan
kemerdekaan
khususnya
Pada waktu dan tempat tersebut di atas
terhadap mereka yang kehidupannya
ketika terdakwa berada di areal perkebunan
tergantung kepada si pelaku tindak pidana;
cokelat atau kakao Blok A9 milik PT RSA IV
f. Pidana bersyarat diharapkan dapat
Darmakradenan ikut Desa D kemudian saat itu
memenuhi tujuan pemidanaan yang
melihat buah-buah kakao atau cokelat yang
bersifat integratif dalam fungsinya sebagai
bergelantungan di pohonnya maka seketika saja
sarana pencegahan (umum dan khusus)
timbul niat terdakwa untuk mengambil buah
perlindungan masyarakat, memelihara
kakao milik PT RSA IV Darmakradenan tersebut
solidaritas masyarakat dan pengimbalan.
tanpa ijin.
Sebagaimana telah disebutkan di atas
Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Perkara
Nomor
247/Pid.B/2009/PN.PWT
telah
menjatuhkan Pidana Bersyarat kepada Mbok Mnh
yang didakwa mencuri 3 (tiga) kilogram buah
kakao atau cokelat. Dari putusan tersebut dapat
dikemukakan fakta hukum sebagai berikut:

Selanjutnya
terdakwa
melaksanakan
niatnya secara diam-diam tanpa sepengetahuan
pemiliknya mengambil 3 (tiga) biji buah cokelat
atau kakao berat sekitar 3 (tiga) kilogram dengan
cara dipetik dengan menggunakan tangan
terhadap buah cokelat yang masih berada di
pohonnya dan terdakwa juga membawa 1 (satu)
buah kandi untuk menaruh buah kakao atau
a. Identitas
cokelat tersebut, tapi belum sempat terdakwa
Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S. Tempat membawanya meninggalkan tempat kejadian,
lahir Banyumas, umur 55 tahun, tahun lahir ternyata perbuatan terdakwa diketahui oleh
1955. Jenis kelamin Perempuan. Kebangsaan mandor perkebunan yaitu saksi T bin S dan saksi
Indonesia. Tempat tinggal desa D Kecamatan R alias D bin A yang sedang melakukan patroli
Aji, Kabupaten B. Agama Islam, Pekerjaan rutin telah memergoki dan menangkap basah

106 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

terdakwa setelah buah kakao atau cokelat tersebut


berada di tangan terdakwa.
Akhirnya terdakwa diamankan oleh pihak
kepolisian Polsek Aji untuk proses selanjutnya.
Akibat perbuatan terdakwa maka pihak PT RSA
IV Darmakradenan mengalami kerugian sekitar
Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Perbuatan
terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana
sesuai Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP).
c.

Barang Bukti dan Keterangan Saksi

1. Barang Bukti
Untuk memperkuat pembuktiannya, jaksa
penuntut umum mengajukan barang bukti ke
persidangan berupa:

Darmakradenan mengambil 3 (tiga)


biji buah cokelat atau kakao yang
bila dijual di pasaran hanya seharga
Rp2.100,- (dua ribu seratus rupiah)
namun menurut pihak PT RSA IV
mengalami kerugian Rp30.000,- (tiga
puluh ribu rupiah);
-

Saksi Mandor T bin S dan saksi R


alias D bin A yang ikut menangkap
terdakwa dilakukan dengan niat agar
ada efek jera saja;

Terdakwa mengambil untuk bibit


karena tidak mampu untuk membeli;

Terdakwa menyesali perbuatannya


dan tidak akan mengulangi perbuatan
tersebut, terdakwa baru pertama kali
melakukan hal tersebut.

a.

3 (tiga) kilogram basah buah cokelat e. Tuntutan Jaksa


atau kakao berikut biji dan kulitnya.
Setelah didengar keterangan para saksi
b. 1 (satu) buah kandi.
dan keterangan terdakwa selanjutnya hakim
2. Keterangan Saksi
memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut
umum untuk mengajukan tuntutannya. Jaksa
Untuk membuktikan dakwaannya jaksa
penuntut umum dalam tuntutan hukumnya yang
penuntut umum juga telah mengajukan 3 (tiga)
dibacakan yanggal 12 Nopember 2009, Nomer
orang saksi yakni: Saksi J bin WS, saksi T bin S
Reg. Perk. PDM.147.PKRTO/Ep.1/10.09 yang
dan saksi R alias D bin A, yang masing-masing
pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim
telah memberikan keterangannya di bawah
Pengadilan Negeri Purwokerto yang memeriksa
sumpah di persidangan.
dan mengadili perkara ini memutuskan:
d. Keterangan Terdakwa

1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S


binti S terbukti secara sah dan meyakinkan
Terdakwa memberikan keterangannya
bersalah melakukan tindak pidana
di persidangan yang pada pokoknya sebagai
pencurian sebagaimana diatur dan
berikut:
diancam pidana dalam Pasal 362 KUHP;
-
Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S, pada 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
hari Minggu pahing 2 Agustus 2009
Mnh alias Ny. S binti S dengan pidana
sekitar pukul 13.00 WIB tertangkap
penjara 6 (enam) bulan dikurangi selama
basah Petugas PT RSA IV Blok A9
terdakwa ditahan dengan perintah agar

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 107

menyampaikan
keprihatinannya
dan mendatangi DPRD agar ikut
memberikan
dukungan
moral,
tujuannya agar majelis hakim
bisa menegakkan keadilan yang
sesungguhnya untuk masyarakat;

terdakwa tetap ditahan;


3. Menyatakan barang bukti:
a.

b.

3 (tiga) kilo gram buah cokelat


atau kakao berikut biji dan kulitnya
dikembalikan pada pihak PT RSA
IV Darmakradenan ikut desa
Darmakradenan.
1 (satu) kandi dirampas untuk
dimusnahkan.

4. Memetapkan supaya terpidana membayar


biaya perkara sebesar Rp. 1.000,- (seribu
rupiah).
Terhadap tuntutan pidana tersebut terdakwa
mengajukan pembelaan atau pledoi pada tanggal

3.

Pendapat

pakar

Hukum

Pidana

dari Fakultas Hukum Unsoed


yang menyatakan Hakim dalam
menjatuhkan
putusan
harus
mempertimbangkan rasa keadilan
yang sesungguhnya untuk masyarakat
dan individu bukan hanya yuridis
normatif saja.

Menimbang bahwa terhadap pembelaan


atau pledoi atau permohonan terdakwa tersebut
dan pemberitaan media massa yang disampaikan
Terdakwa menyesali perbuatannya dalam persidangan, penuntut umum menyatakan
dan berjanji tidak akan mengulangi tetap pada tuntutan pidananya sedangkan terdakwa
tetap pada pembelaannya atau pledoinya atau
lagi;
Terdakwa baru pertama kali permohonannya. Terhadap hal-hal yang relevan
sebagaimana termuat dan tercatat dalam berita
melakukan perbuatan tersebut;
acara persidangan diambil alih dan dianggap
Terdakwa
mohon
maaf
atas
termuat dalam putusan ini.
perbuatannya;

19 Nopember 2009 yang pada pokoknya


mengemukakan sebagai berikut:
1.

2.
3.
4.

Terdakwa mohon hukuman yang


Untuk memidana seseorang harus
seringan-ringannya
dan
seadil- dibuktikan tentang adanya tindak pidana dan
adilnya.
terdakwalah yang harus bertanggung jawab
atas tindakan pidana tersebut. Mengenai hal
f. Pertimbangan Hukum Hakim
adanya perbuatan pidana harus dibuktikan
dengan dipenuhinya semua unsur pasal-pasal
Menimbang bahwa di media massa dimuat
dari peraturan perundang-undangan yang
secara luas, pemberitaan yang pada pokoknya
didakwakan kepadanya dan tidak ditemukan
mengemukakan:
adanya alasan pembenar, sedangkan mengenai
1. Simpati dan dukungan kepada pertanggungjawaban atas terjadinya tindak pidana
Mnh atau Ny. S (55 tahun) warga tersebut dan ditemukan alasan pemaaf yang dapat
Darmakradenan,
Kecamatan menghapus pertanggungjawaban pidana.
Ajibarang terus mengalir;
Sehubungan dengan hal tersebut majelis
2. Sejumlah
penggiat
gender
hakim terlebih dahulu mempertimbangkan
108 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

dimaksudkan untuk menimbulkan


efek jera.

mengenai ada tidaknya tindak pidana dengan cara


menghubung-hubungkan fakta hukum yang ada
dengan semua unsur pasal-pasal dari peraturan
perundang-undangan yang didakwakan kepada
terdakwa, apabila terpenuhi semua unsur maka
terdakwa yang telah terbukti melakukan tindak
pidana seperti yang didakwakan kepadanya,
selanjutnya akan dipertimbangkan lebih lanjut
mengenai pertanggungjawaban pidana dengan
cara menghubung-hubungkan fakta hukum yang
ada dengan semua unsur pertanggungjawaban
pidana.

Terhadap fakta-fakta tersebut dihubungkan


dengan unsur-unsur dari perundang-undangan
yang didakwakan kepada terdakwa untuk
dianalisa apakah fakta-fakta tersebut semua
unsur pasalnya dari peraturan perundangan yang
didakwakan kepada terdakwa terpenuhi atau
tidak. Dalam perkara ini terdakwa oleh penuntut
umum didakwa melakukan tindak pidana
melanggar Pasal 362 KUHP: Barang siapa
mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
Berdasar keterangan saksi-saksi dan sebagian kepunyaan orang lain dengan maksud
terdakwa yang telah memberikan keterangan di untuk dimiliki secara melawan hukum diancam
persidangan, dihubungkan pula dengan barang karena pencurian, dengan pidana paling lama 5
bukti yang telah disita secara sah dan telah (lima) tahun atau pidana denda paling banyak
dibenarkan oleh saksi-saksi dan terdakwa, yang sembilan ratus rupiah.
satu dan lainnya saling berhubungan, terdapat
Pasal 362 KUHP memuat unsur-unsur
fakta-fakta hukum sebagai berikut:
sebagai berikut:
1.

2.

3.

4.
5.

Terdakwa Mnh alias Ny. S binti


S, perempuan tua, umur 55 tahun
kelahiran Banyumas, bertempat
tinggal di Desa Darmakradenan RT
04/RW 09, Kecamatan Ajibarang,
Kabupaten Banyumas;

1.

Barang siapa;

2.

Mengambil;

3.

Yang sama sekali atau sebagian


termasuk kepunyaan orang lain;

4.

Dengan maksud memiliki barang


dengan melawan hukum.

Terdakwa Mnh sebagai petani


terpaksa mengambil 3 (tiga) buah
kakao untuk bibit diladangnya pada Ad. 1) Barang siapa
2 Agustus 2009, Minggu siang pukul
Yang dimaksud barang siapa adalah
13.00 WIB;
orang sebagai pendukung hak dan kewajiban
3 (tiga) buah kakao tersebut yang identitasnya jelas diajukan ke persidangan
tumbuh di pohon pada Perkebunan karena telah didakwa melakukan tindak pidana
PT RSA IV Darmakradenan ikut dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan
desa Darmakradenan, Kecamatan kepadanya. Penuntut umum telah menghadapkan
Ajibarang, Kabupaten Banyumas;
seorang terdakwa bernama: Mnh alias Ny. S binti
PT RSA IV Darmakradenan dirugikan S yang identitas selengkapnya seperti dalam surat
Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah); dakwaan penuntut umum.
Penangkapan

terdakwa

Mnh

Setelah

mendengar

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

keterangan

saksi| 109

saksi dan keterangan terdakwa di persidangan,


didapat fakta-fakta hukum bahwa tidak ada
kekeliruan orang (eror in persona) yang disangka
telah melakukan tindak pidana tersebut adalah
benar Mnh alias Ny. S binti S. Berdasarkan
pertimabangan hukum tersebut di atas maka
unsur kesatu ini telah terbukti.

Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang


dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat
oleh keterangan terdakwa di muka persidangan
maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa
benar telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau
cokelat seberat lebih 3 (tiga) kilo gram yang
seluruhnya milik PT. RSA IV Darmakradenan
dan terdakwa mengambil barang tersebut di
Ad. 2) Mengambil sesuatu barang
atas tanpa ijin dan sepengetahuan pemiliknya
yaitu PT. RSA IV Darmakradenan dengan
Yang dimaksud mengambil sesuatu
maksud akan memiliki untuk bibit tanaman dan
barang adalah memindahkan barang ke suatu
perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan PT.
tempat ke tempat lain, dan berdasarkan faktaRSA IV Darmakradenan menderita kerugian Rp.
fakta yang terungkap di persidangan terdakwa
30.000,- (tiga puluh ribu rupiah). Berdasarkan
Mnh alias Ny. S binti S pada hari Minggu Pahing
pertimbangan hukum tersebut di atas, maka unsur
tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB
keempat terpenuhi.
telah mengambil 3 (tiga) buah kakao/cokelat
dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan
Oleh karena semua unsur-unsur yang
PT RSA IV di Blok A9 Darmakradenan di desa terkandung dalam Pasal 362 KUHP telah terpenuhi
Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Kabupaten maka hakim berkeyakinan bahwa terdakwa Mnh
Banyumas dan hingga tertangkap tangan oleh alias Ny. S binti S dinyatakan terbukti secara sah
saksi mandor T bin S dan saksi R alias D dan akibat dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
perbuatan terdakwa PT. RSA IV Darmakradenan sebagaimana dakwaan melanggar Pasal 362 KUHP
mengalami kerugian Rp. 30.000,-. Berdasarkan karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan
pertimbangan hakim maka unsur kedua ini telah perbuatannya tersebut. Terhadap hal tersebut di
terpenuhi.
atas majelis hakim mempertimbangkan apakah
ada alasan pembenar yang dapat meniadakan/
Ad.3) Yang sama sekali atau sebagian termasuk
menganulir tindak pidana yang telah dilakukan
kepunyaan orang lain
oleh terdakwa tersebut; bahwa alasan pembenar
Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang yang tertulis sebagaimana ditentukan dalam Pasal
dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51
oleh keterangan terdakwa di muka persidangan ayat (1) KUHP.
maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa
Karena telah terbukti semua unsur tindak
benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah
pidana dari delik yang didakwakan kepada
kakao atau cokelat seluruhnya milik PT. RSA
terdakwa yang ternyata diatur dalam KUHP
IV Darmakradenan bukan milik terdakwa Mnh.
sebagai Hukum Pidana Materiil, maka tindakan
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut di
yang dilakukan terdakwa tersebut telah terbukti
atas, maka unsur ketiga inipun telah terbukti.
sebagai tindakan yang melawan hukum, dengan
Ad.4) Dengan maksud memiliki barang dengan demikian tidak ditemukan alasan pembenar
melawan hukum
ketiadaan sifat melawan hukum materiil.
110 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

Terdakwa bukanlah dokter maupun


berprofesi sebagai paramedis, tindakan yang
dilakukan terdakwa tersebut tidak terkait
dengan masalah kedokteran dengan demikian
tidak ditemukan alasan pembenar eksepsi
kedokteran; berdasarkan hal-hal yang telah
dipertimbangkan di atas, tidak ditemukan alasan
pembenar baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis (keadaan sifat melawan hukum materiil
dan eksepsi kedokteran).

tertulis adalah Avas atau tidak


tercela.

Sepanjang
persidangan
berlangsung
menurut pengamatan majelis, terdakwa dalam
keadaan sehat jasmani maupun rohani, mampu
mengikuti jalannya persidangan dengan baik dan
diperoleh fakta bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa atas kehendak sendiri, bukan karena
perintah jabatan yang tidak sah, dikira sah dan
tidak pernah diketemukan alasan pembelaan
Setelah terbukti adanya tindak pidana darurat, sehingga menurut majelis hakim tidak
tersebut dan tidak ditemukan alasan pembenar, diketemukan alasan pemaaf sebagaimana
selanjutnya majelis hakim mempertimbangkan ditentukan dalam Pasal 44 KUHP, Pasal 48
mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap KUHP, Pasal 48 ayat (2) KUHP dan Pasal
terdakwa yang mengandung unsur-unsur sebagai 51 ayat (2) KUHP, sehingga terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang
berikut:
dilakukannya.
1. Barang siapa (pelaku subjek
Fenomena kasus Mnh ini menjadi menarik
hukum).
2. Kesalahan
(sengaja/dolus
atau masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan,
melukai keadilan rakyat dimejahijaukan ambil
kealpaan/culpa).
3 (tiga) biji kakao/cokelat senilai Rp21.999,-.
3. Tidak ada alasan pemaaf.
Aktivis Dukung Ny. Mnh dibebaskan
mestinya polisi, jaksa dan majelis hakim bisa
Ad. 1 dan 2:
melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan
Unsur
kesatu
dan
kedua
telah si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu
dipertimbangkan sebagaimana tersebut di atas merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak
dan kedua unsur ini telah terbukti dan terpenuhi. korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain
dulu, tidak terus semua diproses pidana.
Ad. 3:
Perbuatan terdakwa merupakan gejala tidak
Alasan pemaaf yang tertulis dalam KUHP
diberdayakannya masyarakat setempat sekitar PT.
ada 4 (empat) macam, yaitu:
RSA IV Darmakradenan sehingga menimbulkan
1. Tidak mampu bertanggung jawab ketimpangan dan kecemburuan sosial. Lebih jauh
lagi bahwa yang terpenting putusan haruslah
(Pasal 44 KUHP)
membawa makna, makna itu disiratkan melalui
2. Daya paksa (Pasal 48 KUHP)
fantasi dan imajinasi yang divisualisasikan fantasi
3. Pembelaan darurat yang melampaui
dan imajinasi hakim haruslah memimpin sebuah
batas (Pasal 49 ayat (2) KUHP)
peradaban. Ketentuan pidana yang tercantum
4. Sedangkan alasan pemaaf yang
dalam pasal perundangan yang didakwakan

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 111

kepada terdakwa masih bersifat umum, masih


bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu
perkara dan di hadapkan ke pengadilan, maka
hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan
roh keadilan kepada pencari keadilan di dalam
kasus melalui putusannya.

dijatuhkan terhadap diri terdakwa sebagaimana


tersebut dalam amar putusan ini adalah sudah
sesuai dengan kadar kesalahan terdakwa dan
tidak bertentangan dengan rasa keadilan rakyat.

Oleh karena terdakwa ditahan maka masa


penahanan yang telah dijalani terdakwa haruslah
Sebelum hakim menjatuhkan hukuman dikurangkan seluruhnya dari pidana yang
kepada terdakwa, maka perlu dikemukakan hal-hal dijatuhkan.
yang meringankan dan memberatkan terdakwa,
Menimbang, bahwa mengenai barang bukti
selain itu dalam mempertimbangkan berat
akan dipertimbangkan statusnya masing-masing
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
sebagai berikut:
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa yang
dipertimbangkan sebagai berikut:
1. 3 (tiga) kilo gram buah cokelat
atau kakao berikut biji dan kulitnya
dikembalikan ke PT. RSA IV
Darmakradenan melalui saksi T bin
S.

Hal-hal yang memberatkan:


Tidak dijumpai pada terdakwa Mnh.

Hal-hal yang meringankan:

2.

1 (satu) buah kandi dirampas untuk


dimusnahkan.

1.

Terdakwa Mnh sudah lanjut usia;

2.

Terdakwa Mnh adalah petani yang g. Amar Putusan


tidak punya apa-apa;

3.

Tiga buah kakao, sangatlah berarti


bagi petani Mnh, buat benih untuk
ditanam kembali, sedang dari sisi
perusahaan perkebunan tidak terlalu
merugi;

4.

Semangat terdakwa Mnh, haruslah


diapresiasi, menghadiri persidangan
tepat waktu mesti letih tertatih-tatih;

5.

Karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka


harus dibebani membayar biaya perkara (Pasal
222 ayat (1) KUHAP, mengingat Pasal 362 KUHP,
Pasal 197 KUHAP serta perundang-undangan
lain yang berlaku. Selanjutnya majelis hakim
yang memeriksa perkara ini telah mengambil
putusan dalam rapat permusyawaratan Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto pada hari
Kamis, tanggal 19 Nopember 2009, putusan mana
pada hari itu juga diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum oleh majelis hakim tersebut,
putusannya sebagai berikut:

Terdakwa mengambil kakao tiga


buah, bagi Mnh selaku terdakwa
sudah merupakan hukuman baginya,
mengganggu ketenangan jiwa, melalui
1. Menyatakan terdakwa Mnh alias Ny. S binti
hati, menguras tenaga dan harta serta
S yang lengkap dengan segala identitasnya
membuat keropos jiwa raga.
tersebut di atas, telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
Mempertimbangkan hal-hal tersebut di
pidana pencurian;
atas menurut majelis hakim pidana yang akan
112 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu


kepada terdakwa pidana penjara selama 1
(satu) tahun 15 (lima belas) hari dengan
ketentuan pidana tersebut tidak usah
terdakwa jalani kecuali apabila dikemudian
hari ada putusan hakim yang menjatuhkan
pidana kepada terdakwa karena terdakwa
melakukan tindak pidana sebelum habis
masa percobaan selama 3 (tiga) bulan;
3. Memerintahkan supaya barang bukti:
a.

3 (tiga) kilo gram buah cokelat


atau kakao berikut biji dan kulitnya
dikembalikan pada PT. RSA IV
Darmakradenan melalui saksi T bin
S;

b.

1 (satu) buah kandi dirampas untuk


dimusnahkan;

c.

Membebankan kepada terdakwa


biaya perkara sebesar Rp. 1.000,(seribu rupiah).

Alasan yang menjadi dasar bagi hakim


dalam menjatuhkan pidana bersyarat dalam
perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT menurut
penuturan salah seorang hakim yang menyidangkan
perkara tersebut bertujuan untuk membimbing
atau memberi peringatan pada terpidana agar
tidak mengulangi tindak pidana dan untuk sarana
edukasi agar pelakunya sadar bahwa tindak pidana
yang dilakukan merupakan perbuatan tercela yang
mengakibatkan pemidanaan.

Terdakwa seperti mbok Mnh yang sudah tua hanya


gara-gara mencuri buah kakao yang nilainya tidak
seberapa itu harus dipenjara. Oleh karena itu demi
rasa keadilan masyarakat dan demi keadilan serta
kepentingan terdakwa sendiri penjatuhan pidana
bersyarat oleh hakim sudah tepat.
Penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara
Nomor
247/Pid.B/2009/PN.PWT
dengan
segala pertimbangan hukumnya juga sudah
sesuai dengan ide dasar atau pemikiran dasar
dari ketentuan pidana bersyarat sebagaimana
dikemukakan Muladi yakni bahwa pemikiran
dasar yang melandasi sanksi pidana bersyarat
sangat sederhana. Pidana yang dijatuhkan secara
keseluruhan untuk menghindari tindak pidana
lebih lanjut dengan cara menolong terpidana
agar belajar hidup produktif dalam mayarakat
yang telah dirugikan olehnya. Cara yang sebaikbaiknya untuk mencapai tujuan ini adalah
dengan cara mengarahkan pelaksanaan sanksi
pidana dalam masyarakat, daripada mengirim
ke lingkungan yang bersifat buatan tidak normal
dalam bentuk perampasan kemerdekaan.

Hal ini tidak berarti bahwa sanksi pidana


bersyarat bisa digunakan untuk semua kasus atau
akan selalu menghasilkan sesuatu yang lebih baik
dari sanksi pidana pencabutan kemerdekaan. Yang
harus ditekankan dalam hal sanksi pidana bersyarat
adalah bahwa sanksi pidana bersyarat harus dapat
menjadi suatu lembaga hukum yang lebih baik
dari sekedar merupakan suatu kebaikan atau
Di samping itu tujuan penjatuhan pidana kelonggaran atau kemurahan hati sebagaimana
bersyarat pada terdakwa karena adanya keyakinan dihayati oleh sebagian besar masyarakat dewasa
hakim bahwa pidana tersebut dapat memperbaiki ini dan menjadi sarana koreksi yang tidak hanya
perilaku terdakwa. Selain itu menurut Dr. bermanfaat bagi terpidana melainkan juga
Noor Aziz Said, S.H, M,S pengajar Magister bermanfaat bagi masyarakat (Muladi, 2002: 175).
Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Lebih jelas lagi penjatuhan pidana
berpendapat bahwa penjatuhan pidana bersyarat
bersyarat oleh hakim dalam perkara Nomor 247/
untuk mengurangi dampak buruk pidana penjara.
Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 113

Pid.B/2009/PN. PWT, dapat diketahui dari amar


putusan hakim yang antara lain menyatakan:
a.

Terdakwa Mnh alias Ny. S binti S


yang lengkap dengan segala identitas
tersebut di atas, telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana pencurian;

b.

Menjatuhkan pidana oleh karena


itu kepada terdakwa pidana penjara
selama 1 (satu) tahun 15 (lima belas)
hari dengan ketentuan pidana tersebut
tidak usah terdakwa jalani kecuali
apabila di kemudian hari ada putusan
hakim yang menjatuhkan pidana
kepada terdakwa karena terdakwa
melakukan tindak pidana sebelum
habis masa percobaan selama 3 (tiga)
bulan.

1.

Simpati dan dukungan kepada Mnh


atau Ny. S (55 tahun) warga Desa
D, Kecamatan Aji terus mengalir;

2.

Sejumlah
penggiat
gender
menyampaikan
keprihatinannya
dan mendatangi DPRD agar ikut
memberikan
dukungan
moral,
tujuannya agar majelis hakim
bisa menegakkan keadilan yang
sesungguhnya untuk masyarakat;

3.

Pendapat salah seorang akademisi


Hukum Pidana dari Fakultas Hukum
Unsoed yang menyatakan Hakim
dalam menjatuhkan putusan harus
mempertimbangkan rasa keadilan
yang sesungguhnya untuk masyarakat
dan individu bukan hanya yuridis
normatif saja.

c. Fenomena kasus Mnh ini menjadi


menarik masyarakat karena menyentuh
sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat
dimejahijaukan ambil 3 (tiga) biji kakao/
cokelat senilai Rp 21.999,-. Aktivis
a. Pembelaan atau pledoi tanggal 19 Nopember
Dukung Ny. Mnh dibebaskanmestinya
2009 yang pada pokoknya dikemukakan:
polisi, jaksa dan majelis hakim bisa melihat
dampak yang ditimbulkan dari perbuatan
1. Terdakwa menyesali perbuatannya
si pelaku. Kalau dampaknya tidak begitu
dan berjanji tidak akan mengulangi
merugikan masyarakat secara luas termasuk
lagi;
pihak korban itu bisa ditangani dengan
2. Terdakwa baru pertama kali
pendekatan lain dulu, tidak terus semua
melakukan perbuatan tersebut;
diproses pidana.
3. Terdakwa
mohon
maaf
atas
perbuatanya;
d. Di samping itu perbuatan terdakwa
Penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim
dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN.
PWT, juga didasarkan pada pertimbanganpertimbangan:

4.

Terdakwa mohon hukuman yang


seringan-ringannya
dan
seadiladilnya.

merupakan gejala tidak diberdayakannya


masyarakat sekitar PT. RSA IV
Darmakradenan sehingga menimbulan
ketimpangan dan kecemburuan sosial.

b. Media masa juga memuat secara luas


pemberitaan yang
pada pokoknya e. Lebih jauh lagi bahwa yang terpenting
putusan haruslah membawa makna, makna
mengemukakan:
114 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

itu disiratkan melalui fantasi dan imajinasi


yang divisualisasikan fantasi dan imajinasi
hakim haruslah memimpin sebuah
peradaban.

institusional) kecuali terdapat faktor-faktor


yang memberatkan dalam kasus-kasus
tertentu. Di dalam konteks ini pemanfaatan
sanksi pidana bersyarat akan meningkatkan
daya pencegahan hukum pidana dengan
segala
keuntungan-keuntungannya
dibandingkan dengan pidana perampasan
kemerdekaan;

f. Ketentuan pidana yang tercantum dalam


pasal perundangan yang didakwakan
kepada terdakwa masih bersifat umum,
masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala
e. Pidana bersyarat sesuai dengan variabel
terjadi suatu perkara dan dihadapkan
hukum pidana yang berperikemanusiaan,
ke pengadilan, maka hakimlah yang
yaitu sebagai hukum pidana yang
berkewajiban untuk memberikan roh
bercirikan: mengutamakan pencegahan,
keadilan kepada pencari keadilan melalui
tidak hanya berorientasi kepada perbuatan
putusan pengadilan.
tetapi juga kepada orang yang melakukan
Sedangkan penjatuhan pidana bersyarat
tindak pidana.
dalam perkara Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT,
dalam hubungannya dengan ide dasar penjatuhan IV. SIMPULAN

pidana bersyarat telah sesuai dengan pemikiran


Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut
dasar yang melandasi pidana bersyarat, ini dapat
di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa
disimpulkan dari hal-hal berikut:
penjatuhan pidana bersyarat dalam perkara
a. Pidana bersyarat untuk menghindari Nomor 247/Pid.B/2009/PN. PWT, telah sesuai
terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan dengan ide dasar penjatuhan pidana bersyarat
cara menolong terpidana agar belajar hidup karena telah didasarkan pada pertimbanganproduktif dalam masyarakat yang telah pertimbangan: Sanksi tersebut untuk menghindari
terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan
dirugikan olehnya;
b. Pidana bersyarat harus menjadi lembaga cara menolong terpidana agar belajar hidup
hukum yang lebih baik dari sekedar produktif dalam masyarakat yang telah dirugikan
merupakan suatu kebaikan atau kelonggaran olehnya; dan menjadi sarana koreksi yang tidak
atau kemurahan hati dari hakim maupun hanya bermanfaat bagi terpidana melainkan juga
bermanfaat bagi masyarakat.
masyarakat;
c. Pidana bersyarat dapat menjadi sarana
koreksi yang tidak hanya bermanfaat bagi
terpidana melainkan juga bermanfaat bagi
masyarakat;
d. Adanya premis yang menyatakan bahwa
tanggapan terhadap kejahatan yang utama
adalah sanksi pidana bersyarat (pidana non

Putusan ini sesuai dengan variabel hukum


pidana yang berperikemanusiaan, yaitu sebagai
hukum pidana yang bercirikan: mengutamakan
pencegahan, tidak hanya berorientasi kepada
perbuatan tetapi juga kepada orang yang
melakukan tindak pidana.

Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Haryanto Dwiatmodjo)

| 115

DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli. 1996. Cet. Ke-2. Sistem
Peradilan Pidana (Perspektif Eksestialisme
dan Abolisionisme). Bandung: Binacipta.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Tim).
2001. Sinkronisasi Ketentuan Perundangundangan Mengenai Sistem Peradilan
Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asasasas Umum. Jakarta.
Huda, Chairul. 2006. Dari Tiada Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan: Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana
dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Kaligis, O.C. 2006. Edisi Pertama. Cet. Ke-1.
Perlindungan Hukum Atas Hak Tersangka,
Terdakwa dan Terpidana. Bandung: PT
Alumni.
Lestijono, Agus Dwi. 2005. Telaah Konsep Hak
Asasi Manusia dalam Kaitannya dengan
Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Hukum
Vol. 01 No. 1 Tahun 2005, hal. 96.
Mudzakir. 2001. Posisi Hukum Korban Kejahatan
Dalam Sistem Peradilan Pidana. Disertasi.
Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Muladi. 2002. Lembaga Pidana Bersyarat.
Bandung: Alumni.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat.
Bandung: Angkasa.

116 |

Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, April 2012: 99-116

BIODATA PENULIS
Ibnu Sina Chandranegara, adalah Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta Bagian Hukum Tata Negara, lahir di Jakarta, pada tanggal 11 Oktober 1989. Memperoleh
gelar Sarjana Hukum (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dan saat
ini masih melanjutkan studi pada Program Magister Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta dengan Konsentrasi Hukum Tata Negara. Penulis juga merupakan
Anggota Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Di
samping itu Penulis juga merupakan Anggota Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Periode 2010-2015. Email: himynameisnou@rocketmail.com. HP:
+6281311075760.
Mella Ismelina FR, adalah Dekan dan pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
sekaligus pengajar pada Pascasarjana Universitas Islam Bandung dan Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak. Gelar kesarjanaan diperoleh dari Fakultas Hukum
Universitas Islam Bandung, gelar magister diperoleh dari Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung dan gelar doktor ilmu hukum diperoleh dari Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang serta memperoleh jabatan Guru Besar di bidang
Ilmu Hukum. Beliau aktif melakukan penelitian dan menulis di jurnal ilmiah.
M. Syamsudin, lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 4 September 1969. Menyelesaikan Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Semarang 1994, Magister Hukum
di Program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 2002, dan Program Doktor
Ilmu Hukum di Pascasarjana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, 2010. Bekerja sebagai
Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (Program S1,
S2 dan S3) mengampu matakuliah: Hukum Adat, Antropologi Hukum, Metode Penelitian Hukum,
Filsafat Hukum, dan Teori Hukum. Jabatan yang pernah dipegang Kepala Pusat Penelitian
Sosial Lembaga Penelitian UII Yogyakarta (2002-2005), Kepala Pusat Studi Hukum Fakultas
Hukum UII (2010-sekarang), Sekretaris Senat FH UII (2005-2010), Konsultan Peneliti di Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan Republik Indonesia
(2002-sekarang), Ketua Penyunting Jurnal Fenomena Pusat Penelitian Sosial UII (2003-2005).
Peserta pada Training on Social-Legal Studies in Promoting and Protecting Indigenous Rigths:
A Harmonization between Modern Law and Customary Law in Indonesia, 15 March 1 April
2010, di Van Vollenhoven Institute, Leiden University Belanda. Peserta Program Sandwich Like
di School of Law, Flinders University, Adelaide South Australia, September-Desember 2008. HP:
08562880013.

Erman Rajagukguk, lahir di Padang 1 Juni 1946. Mendapat S.H. (Sarjana Hukum) dari
Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1975). Melanjutkan studi ke Amerika Serikat (1982
1988) dan mendapat LL.M dari University of Washington, School of Law, Seattle (1984) dan
Ph.D dari universitas yang sama (1988). Pada tahun 1997 diangkat sebagai Gurubesar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Setahun kemudian diangkat menjadi Direktur Jenderal Hukum
& Perundang-Undangan Departemen Kehakiman Republik Indonesia (1998). Delapan bulan
kemudian diangkat sebagai Wakil Sekretaris Kabinet RI sampai dengan April 2005. Ditunjuk
sebagai Wakil Ketua Team Pemerintah dalam penyusunan dan pembahasan RUU Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dengan DPR. Sekarang selain mengajar pada
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dekan Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia
(2005sekarang). Buku yang telah diterbitkan antara lain Hukum Agraria, Pola Penguasaan
Tanah, dan Kebutuhan Hidup (Jakarta: Ghalia, 1990), Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan
(Jakarta: Chandra Pratama, 1998), Nyanyi Sunyi Kemerdekaan: Menuju Indonesia Negara
Hukum Demokratis (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2006), Hukum
Investasi di Indonesia (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi FH UI, 2007), Perseroan
Terbatas, Keuangan Negara, Dan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi FH UI, 2009), Butir-Butir Hukum Ekonomi (Jakarta : Lembaga Studi Hukum dan
Ekonomi FH UI, 2011).
Mutiara Hikmah, lahir di Jakarta pada 21 Januari 1970. Berkarir sebagai Dosen Tetap di
Fakultas Hukum UI sejak Mei 1996. Saat ini menjabat Lektor Kepala dengan Pangkat/Golongan
IV-b. Gelar Sarjana Hukum dengan skripsi di Bidang Hukum Perdata Internasional, dicapai pada
tahun 1995. Kemudian Gelar Magister di bidang Hukum Ekonomi pada tahun 2002. Mengikuti
Program Doktor Pada Program Pasca sarjanaa FHUI pada tahun 2003, dan pada tahun 2010
memperoleh Gelar Doktor dari Universitas Pelita Harapan. Matakuliah yang diasuh di Fakultas
Hukum UI adalah Hukum Antar Tata Hukum/ HATAH, Hukum Perdata Internasional, Konvensikonvensi Hukum Perdata Internasional, Kapita Selekta Hukum Perdata Internasional, serta mata
kuliah Hukum dan Hak Asasi Manusia. Di Fakultas Ekonomi UI mengajar untuk Kelas Khusus
Internasional, sejak tahun 2006 pada mata kuliah Economics and Business Law in Indonesia.
Dosen yang aktif dalam menulis, meneliti dan juga mengikuti training, workshop dan konferensi
baik yang bersifat nasional maupun internasional. Penulis juga aktif memuat tulisannya di
dalam jurnal-jurnal ilmiah, antara lain Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jurnal Keadilan dan
Jurnal Hukum Internasional. Buku-buku yang pernah ditulis, antara lain Aspek-Aspek Hukum
Perdata Internasional Pada Perkara-Perkara Kepailitan (Penerbit Refika Aditama, 2007) dan
Bunga Rampai Hukum Antar Tata Hukum dan Hak Asasi Manusia (Penerbit Fakultas Hukum UI,
2011).

Endang Purwaningsih, lahir di Purworejo, Jawa Tengah pada 04 September 1968, menamatkan
pendidikan dasar dan menengah di SDN Kaligondang I Pituruh, SMPN Pituruh dan SMAN
Kutoarjo, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah; lulus S1 Ilmu Hukum (Hukum Keperdataan)
Universitas Diponegoro/UNDIP 1991 dengan Skripsi: Pelaksanaan Joint Venture Indonesia
dan Jepang di Indonesia; lulus S2 Ilmu Hukum (Hukum Ekonomi) Universitas Gadjah Mada/
UGM 1998 dengan Tesis: Peranan Lisensi Paten dalam Pertumbuhan Teknologi dan Industri
Indonesia, dan lulus S3 Ilmu Hukum (Hukum Hak Kekayaan Intelektual) Universitas Airlangga/
UNAIR 2005, dengan Disertasi: Perlindungan Paten Menurut Hukum Paten Indonesia (Studi
Komparatif). Saat ini Penulis menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta
(2009-2013). Pengalaman penelitian Penulis antara lain Penelitian Hibah Kompetensi DIKTI
2011/2012 tentang Traditional Knowledge (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI
2009 tentang Perlindungan Tapis Lampung (sebagai Ketua); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI
2008 tentang Patentability Invention di Kalangan Kampus se-Provinsi Lampung dalam rangka
menumbuhkembangkan Indigenous Technological Capabilities (sebagai Ketua); Penelitian Hibah
Bersaing DIKTI 2008-2010 tentang Perlindungan Foklor Jawa oleh Masyarakat Transmigran
Jawa di Lampung (sebagai anggota), Penelitian Fundamental DIKTI 2008 tentang Kawin Lari
Sebambangan sebagai Media Pembelajaran Sosial Mayarakat Adat Lampung (sebagai anggota);
Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2007 (sebagai Ketua) mengenai Patent Culture Building di
Sentra Industri Kecil dan Menengah Jawa Timur; Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2008 (sebagai
anggota) mengenai Model Rehabilitasi Napi Wirogunan Yogyakarta; Penelitian Hibah Bersaing
DIKTI 2007 (sebagai anggota); Penelitian Hibah Bersaing DIKTI 2006 mengenai Konflik PT
Freeport dan Masyarakat Adat Timika (sebagai anggota); Penelitian tentang Pengaruh Kesadaran
Hukum, Sosialisasi Pemerintah tentang BIO-PIRACY, dan Budaya hukum terhadap Motivasi
Produsen Jamu dan Obat Tradisional untuk Memperoleh Perlindungan Hukum HKI, 2006 (sebagai
Ketua) dan lain lain. Buku cetak yang telah diterbitkan antara lain Perkembangan Hukum
Intellectual Property Rights (Ghalia Yudistira, 2005) dan Kapita Selekta Hukum Ekonomi
(Jenggala Pustaka Utama, 2009); Hukum Bisnis (Ghalia Yudistira, 2010); dan Hak Kekayaan
Intelektual dan Lisensi (Mandar Maju, 2012). HP: 081280400620
Haryanto Dwiatmodjo, lahir di Yogyakarta tanggal 25 Februari 1957 adalah Staf Pengajar di
Fakultas Hukum UNSOED Purwokerto dan sekarang menjabat sebagai Ketua Bagian Hukum
Pidana di Fakultas Hukum UNSOED. Pendidikan S1 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Lulus tahun 1985 dan Pendidikan S2 di Universitas Diponegoro Semarang Lulus tahun 1997.

PEDOMAN PENULISAN
Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu
kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia
maupun luar negeri.
FORMAT NASKAH
Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan
langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau
Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi
terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.
Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000
kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran
12 poin.
Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.
SISTEMATIKA NASKAH
I. JUDUL NASKAH
Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin,
diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center
text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan
huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:
PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT
DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU
Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG
A. Nama dan identitas penulis
Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang.
Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga
tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold),
tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New
Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:
Mohammad Tarigan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,
email mohtarigan@yahoo.co.id.

b. Abstrak
Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang
abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords)
sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.
II. PENDAHULUAN
Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum
(posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.
III. RUMUSAN MASALAH
Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab
nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk
pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab
sebelumnya.
IV. STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS
Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui
bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga
hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka
tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian
berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus,
yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita
porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.
V. SIMPULAN
Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA


Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note)
dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya
adalah sebagai berikut:
Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ...
Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);
Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);
Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).
Kutipan tersebut harus ditunjukkan dalam daftar pustaka (bibliografi) pada akhir naskah. Tata
cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York:
St. Martins Press.
Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral
Problems. New Jersey: Prentice-Hall.
Cornell University Library. 2009. Introduction to Research. Akses 20 Januari 2010. <http://
www.library.cornell.edu/resrch/intro>.
PENILAIAN
Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting.
Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan
terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak
mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.
CARA PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:
jurnal@komisiyudisial.go.id
dengan tembusan ke:
a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com.
Personalia yang dapat dihubungi (contact persons):
Nur Agus Susanto (085286793322);
Dinal Fedrian (085220562292); atau
Arnis (08121368480).
Alamat redaksi:
Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta
Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

Anda mungkin juga menyukai