Anda di halaman 1dari 14

TAFSIR

Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Alif laam miin


Sesungguhnya para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai huruf-huruf yang terputus-putus pada awal
beberapa surat. Diantara mereka ada yang mengatakan : bahwa itu merupakan huruf-huruf yang
hanya Allah sendiri yang mengetahui maknanya. Jadi mereka mengembalikan ilmu mengenai hal itu
kepada Allah dengan tidak menafsirkannya. pEndapat ini di nukil oelh al-Qurtubhi dalam tafsirnya dari
Abu Bakar, ustman, Ali dan Ibnu Masud semoga Ridho allah tercurah kepada mereka semua.
Abdurahman bin Zaid bin Aslam berkata : Bahwa huruf-huruf itu adalah namma-nama surat al-Quran.
Dalam tafsir Az Zamakhsyari, beliau menyatakan bahwa hal tersebut menjadi kesepakatan banyak
ulama. Beliau juga menukil dari Sibawaih bahwa ia menegaskan dan memperkuat hal itu. Berdasarkan
hadist dalam sahih Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah r.a, bahwa Rasulullah shalallahu alaihi
wasallam pernah membaca surat Alif laam miim as-sadjah (Surah as-sadjah) dan Hal ata ala al-Insan
(Surah al-Insan) pada shat subuh pada hari jumat
Sebagian ulama berpendapat dan merangkum masalah ini dengan menyatakan, tidak diragukan lagi
bahwa huruf-huruf ini tidak diturunkan oleh Allah dengan sia-sia tanpa makna. Orang yang tidak tahu
mengatakan bahwa : Di dalam al-Quran terdapat suatu hal yang tidak memiliki makna sama sekali. Ini
merupakan kesalahan besar, karena sesuatu yang dimaksud itu pada hakekatnya memiliki makna, jika
kami mendapatkan riwayat yang benar dari Nabi Shalallahu alaihi wasallam tentu kami akan
menerimanya, dan jika tidak maka kami akan meyerahkan maknanya kepada Allah Subhana Wa Taala,
seraya berucap: Kami beriman kepadanya, semuanya berasal dari Rabb kami.
Para ulama sendiri belum memiliki kesepakatan huruf-huruf tersebut dan mereka masih berbeda
pendapat. Barang siapa yang menemukan pendapat yang didasarkan pada dalil yang kuat, maka
hendaklah ia mengikutinya, jika tidak maka hendaklah ia meyerahkan kepada Allah hingga diperoleh
kejelasan mengenai hal tersebut.

AYAT 2:

Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (al Baqarah :
2)





berarti Kitab ini. Hal yang sama
Ibnu Juraij menceritakan bahwa Ibnu Abbas mengatakan

jug adikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, as-Suddi, Muqatil bin hayyan, Zaid bin Aslam,
} itu berarti {
( } ini)
Ibnu Juraij, bahwa {

Bangsa Arab berbeda pendapat mengenai kedua ismul insyarah (kata petunjuk) tersebut. Mereka
sering memakai keduanya secara tumpang tindih. Dalam percakapan hal seperti itu sudah mendaji
suatu yang dimaklumi. Dan hal itu juga telah di ceritakan oleh Imam Bukhori dari Muamamar bin
Mutsanna, dari Abu Ubaidah.

}
{
} yang dimaksud dalam ayat diatas adalah al-Quran. Dan ar-Raib maknanya adalah {
adalah ragu-ragu. {
} berarti tidak memiliki keraguan didalamnya, yaitu bahwa al Quran ini

sama sekali tidak mengandung keraguan didalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah,
sebagaimana difirmankan dalam surah as-Sajdah:












Turunnya Al Quran yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Tuhan semesta alam. (as-Sajdah :
2)
Sebagian mufasir mengatakan bahwa arti dari {
} adalah janganlah kalian mengingkarinya.
Diantara ahli Qura ada yang menghentikan bacaan ketika samapa pada ayat {
} , dan
memulainya kembali dengan firman-Nya, yaitu {

} . Dan ada juga yang menghendtikan


bacaaan pada kata {
} . Bacaan yang terakhir inilah yang dipandang paling tepat, karena
dengan bacaan seperti itu Firman-Nya, yaitu {
} menjadi sifat bagi al-Quran itu sendiri. Dan yang
demikian itu lebih baik dan mendalam dari sekedar pengertian yang menyatakan adalanya petunjuk
didalamnya.
Jika ditinjau dari bahasa lafazh {
} berkedudukan marfu sebagai naat (sifat) dan bisa juga
Manshub sebagai hal (keterangan keadaaan). Dan {
} /petuunjuk itu hanya diperuntukan bagi
orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana Firman Allah :












Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman. (Yunus : 57)
As Suddi menceritakan, dari Abu malik dan dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas dan dari Murrah alHamdani, dari Ibnu masud dari beberapa sahabat Rasulullah shalalllahu alaihi wasallam, bahwa
makna {

} adalah cahaya bagi orang-orang yang bertaqwa.


Abu Rauq menceritakan dari adh Dhahaq, dari Ibnu Abbas, ia mengatakan {al-mutaqqiin} adalah
orang-orang mumin yang sangat takut berbuata syitik kepada Allah dan senantiasa berbuat taa
kepada-Nya.







Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abi Muhammad Maula, Zaid bin tsabit, dari Ikrimah atau
said bin Jubair dari Ibnu abbas, ia mengatakan : al Muttaqqin adalah orang-orang yang senantiasa
menghindari siksaaan Allah taala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan
mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung di dalam petunjuk tersebut.
Sufyan ats-Tsauri menceritakan dari seseorang, dari Haasan al bashri, ia berkata : Firman Allah {


} adalah orang-orang yang benar-benar takut terhadap siksaan Allah bila mengerjakan apa yang

telah diharamkan Allah kepada mereka, serta menunaikan apa yang telah diwajibkan kepada mereka.
Sedangkan Qatadah berkata {

} adlaah mereka yang disifati Allah dalam firman-Nya :



(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (al-Baqarah : 3)
Dan pendapat yang diambil oleh Ibnu Jarir adalah bahwa ayat ini mencakup kesemuanya dan itulah
yang benar.

AYAT 3

Tafsir Surat al Baqarah

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, (alBaqarah : 3)
{} , (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, Abu jafar ar-Razi menceritakan
dari Abdullah, ia berkata: Iman itu adalah kebenaran.





Ali bin Abi Thalhah dan juga lainnya, berkata, dari Ibnu Abbas, ra :mereka beriman maksudnya adalah
mereka membenarkan. Sedangkan muamar, dari az-zuhri : Iman adalah amal.
Ibnu Jarir berkata bahwa yang lebih baik dan tepat adalah mereka harus mensifati diri dengan iman
kepada yang ghoib baik melalui ucapan maupun perbuatan. Lafazh Iman kepada yang ghoib itu adalah
Keimanan kepada Allah, Kitab-kitabnya dan Rasul-rasul-Nya sekaligus membenarkan pernyataan itu
melalui perbuatan.
Berkenan dengan ini, Ibnu Katsir berkata secara asal-usul kata bahwa Iman berarti pembenaran
semata. Al Quran sendiri terkadang menggunakan kata ini untuk pengertian tersebut, sebagaimana
dikatakan oleh Yusuf a.s kepada ayah mereka:

Artinya : dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang
yang benar. (Yusuf : 17)
Demikian pula jika kata iman itu dipergunakan beriringan dengan amal shalih, sebagaimana firman
Allah dalam al-Ashr : 3

Artinya : kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh


Adapun jika kata Iman itu dipergunakan secara mutlak, maka iman menurut syariat tidak mungkin
ada kecuali yang diwujudkan melalui keyakinan, ucapan dan amal perbuatan.

Demikian itulah yang menjadi pegangan mayoritas ulama, bahkan telah ijma Imam asy-SyafiI, Imam
Ahmad bin Hanbal, Abu Ubaidah, dan lain-lain

Artinya : Bahwa iman itu adalah pembenaran dengan ucapan dan amal perbuatan, bertambah dan
berkurang.
Sebagian mereka mengatakan bahwa beriman kepada yang ghoib sama seperti beriman kepada yang
nyata, dan bukan seperti yang difirmankan Allah mengenai orang-orang munafik

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: Kami telah
beriman. Dan bila mereka kembali kepada syaitan-setan mereka, mereka mengatakan:
Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok. (al-baqarah : 14)
Dengan demikian Firman-Nya { } /kepada yang ghoib adalah berkedudukan sebagai
menerangkan keadaan (haal), artinya pada saaat keadaaan mereka ghoib dari penglihatan manusia.
Sedangkan mengenai makna ghoib yang dimaksud disini berbagai ungkapan ulama terdahulu (salaf)
yang beragam, semua benar maksudnya.
Mengenai firman Allah {
} yaitu mereka yang beriman kepada yang ghoib

Abu jafar ar Razi menceritakan dari ar-Rabi bin Anas, dari Abu Aliyah, ia berkata :



















Mereka beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari akhir,
Surga dan neraka, serta pertemuan dengan Allah, dan juga beriman akan adanya kehidupan setelah
kematian, serta adanya kebangkitan. Dan semuanya itu adalah hal yang ghoib.
















Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan bahwa ia pernah mengatakan kepada
Abu Jamah: Beritahukan kepada kami sebuah hadist yang engkau dengan dari Rasulullah sholallahu
alahi wasallam, ia pun berkata : Baiklah aku akan beritahukan sebuah hadist kepadamu. Kami pernah
makan siang bersama Rasulullah, dan bersama kami terdapat Abu Ubaidillah bin al-Jarrah, lalu ia
bertanya: Ya Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik daripada kami? Sedangkan kami telah
masuk Islam bersamamu dan berjihad bersamamu juga?, Rasulullah menjawab :

Ya ada, yaitu suatu kaum setelah kalian, mereka beriman kepadaku padahal mereka tidak melihatku.

yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada
mereka, (QS : al Baqarah : 3)

Ibnu Abbas berkata {


} adalah mendirikan shalat, berarti mendirikan shalat dengan
segala kewajibannya,
Dari Ibnu Abbas, adh Dhahhak, ia berkata :mendirikan Shalat berarti mengerjakan dengan sempurna
ruku, sujud, bacaa, serta penuh ke khusyuan
Dan Qatadah berkata : {
} berarti, berusaha mengerjakannya tepat waktunya, berwudhu,
ruku dan bersujud.
Sedangka Muqatil bin Hayyan berkata {
} , yaitu menjaga untuk selalu mengerjakannya
pada waktunya, menyempurnakan wudhu ruku, sujud, bacaaan al Quran, tasyahhud, serta membaca
sholawat kepada Rasulullah. Demikian itulah makna mendirikan shalat.
Mengenai Firman Allah { } ,Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan
kepada mereka.. Ali Bin Abi Thalhah dan yang lainnya berkata, dari Ibnu Abbas, ia berkata maksud
ayat ini ialah : mengeluarkanzakat dari harta kekayaan yang dimiliknya.
As Suddi, menceritakan dari Ibnu Abbas, dari Ibnu Masud dan dari beberapa sahabat Rasulullah, ia
berkata { } , yakni pemberian nafkah seseorang kepada keluarganya.



















Sedangkan Ibnu Jarir Ath Thobary, menentukan pilihannya bahwa ayat diatas bersifat umum
mencakup segala bentuk zakat dan infak. Ia berkata, sebaik-baiknya tafsir mengenai sifat kaum itu
(beriman) adalah hendaklah mereka menunaikan semua kewajiban yang ada pada harta benda
mereka, baik berupa zakat ataupun memberi nafkah kepada orang-orang yang harus ia jamin dari
kalangan keluarganya, anak-anak dan yang lainnya dari kalangan orang-orang yang wajib dia nafkahi
karena hubungan kekerabatan, kepemilikan (budak) atau faktor lainnya. Yang demikian itu karena
Allah mensifati dan memuji mereka dengan hal itu secara umum. Setiap Zakat dan infaq merupakan
sesuatu yang terpuji.
Ibnu Katsir berkata : Seringkali Allah Taala menyandingkan antara shalat dan infaq (zakat) karena
shalat merupakan hak Allah sekaligus sebagai bentuk ibadah kepada-Nya, dan ia mencakup peng-Esaan, penyanjungan, pengharapan, pemujian, pemnajatan doa, serta tawakal kepada-Nya. Sedangkan
infak/zakat merupakan salah satu bentuk perbuatan baik kepada semua makhluk dengan memberikan
manfaat kepada mereka. Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat
serta orang-orang terdekat. Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib tercakup
dalam firman Allah { } artinya dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami
anugerahkan kepada mereka.

















Oleh karena itu dalam Kitab Bukhari dan Muslim, Ibnu Umar r.a bahwa Rasulullah sholallahu alahi
wasallam pernah bersabda : Islam itu didirikan diatas lima landasan, (1) Bersaksi bahwa tidak ada Ilah
selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di
bulan Ramadhan, serta melaksanakan ibadah haji.

AYAT 4



(4)





dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab
yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. ( al-Baqarah :
4)

Mengenai Firman Allah dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu,, Ibnu Abbas berkata : mereka
membenarkan apa yang engkau (Muhammad) bawa dari Allah dan apa yang dibawa olehpara Rasul
sebelum dirimu. Mereka sama sekali tidak membedakan antara para Rasul tersebut serta tidak ingkar
terhadap apa yang mereka bawa dari Rabb mereka.

{
} , yaitu mereka yakin akan adanya hari kebangkitan, kiamat, surga, neraka,


perhitungan dan timbangan. Dan disebut akhirat karena ia setelah kehidupan dunia.

Para Ulama berbeda pendapat mengenai orang-orang yang disebut dalam ayat tersebut, apakah
mereka ini yang disifati Allah dalam firmannya :



(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian
rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka, (al-Baqarah : 3)
Mengenai siapakah mereka ini, terdapat tiga pendapat yang di ungkapkan oleh Ibnu Jarir, diantaranya:
Pertama : Orang-orang yang disifati Allah dalam ayat ketiga surat al-baqarah itu adalah mereka yang
Dia sifati dalam ayat setelahnya, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab dan yang
selainnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Mujahid, Abul Aliyah, ar-Rabi bin Anas, dan Qatadah.
Kedua : Mereka itu adalah satu, yaitu orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab. Dengan
demikian berdasarkan kedua hal tersebut diatas, maka wau dalam ayat rini berkedudukan sebagai
wawu athof (penyambung) satu sifat dengan sifat lainnya.
Ketiga : mereka yang disifati pertama kali (ayat ketiga) adalah orang-orang yang beriman dari bangsa
Arab dan yang disifati ayat berikutnya adalah orang-orang yang beriman dari kalangan Ahlul Kitab.
Berkenaan dengan hal diatas, Ibnu Katsir berkata : yang benar adalah pendapat Mujahid, ia berkata :
Empat ayat pertama dar surah al-Baqarah mensifati orang-orang beriman, dan dua ayat berikutnya
mensifati orang-orang kafir, tiga belas ayat mensifati orang-orang munafik.
Ke-empat ayat tersebut bersifat umum bagi setiap mukmin yang menyandang sifat-sifat tersebut, baik
dari kalangan Bangsa Arab maupun bukan Arab serta Ahlul Kitab, baik umat manusia maupun jin.
Salah satu sifat ini tidak akan bisa sempurna tanpa adanya sifat-sifat lainnya, bahkan masing-masing
sifat salaing menuntut adanya sifat yang lainnya. Dengan demikian, beriman kepada yang ghaib,
shalat dan zakat tidak dianggap benar kecuali dengan adanya iman kepada apa yang dibawa oleh
Rasulullah sholallahu alaihi wasalam, juga apa yang dibaweh para Rasul sebelumnya serta keyakinan
akan adanya kehidupan akhirat.
Dan Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memenuhi hal itu melalui FirmanNya

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. (an-Nissa : 136)
Allah juga berfirman :













Hai orang-orang yang telah diberi Al Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (Al
Quran) yang membenarkan Kitab yang ada pada kamu. (an-Nissa : 4)
Dan Allah telah menyebutkan tentang orang mukmin secara keseluruhan yang memenuhi semua itu,
yaitu :

Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun
(dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya, (al-Baqarah : 285)

AYAT 5

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS. Al Baqarah : 5)

} , artinya mereka itulah, yaitu orang-orang yang menyandang sifat-sifat


Allah Taala berfirman {
pada ayat sebelumnya, yakni beriman kepada hal-hal yang ghaib, mendirikan shalat, mengeluarkan
infak dari rizki yang Allah berikan kepada mereka, berimana kepada apat yang diturunkan kepada
Rasul-Nya dan para Rasul sebelumnya, serta meyakini adanya kehidupan akhirat. Dan semua itu
mengharuskan mereka bersiap diri untuk menghadapinya dengan mengerjakan amal shalih dan
meninggalkan semua yang di haramkan-Nya.
{
} artinya Yang tetap mendapat petunjuk, maksudnya mereka senantiasa mendapat

pancaran cahaya, penjelasan serta petunjuk dari Allah Taala.

} , artinya mereka itulah atas petunjuk dari


Dari Ibnu Abbas, bahwa makna {




tuhan mereka, yaitu mereka tetap mendapatkan cahaya dari Tuhan mereka dan tetap istiqomah
kepada al Quran yang disampaikan kepada mereka.
} artinya dan mereka itulah orang-orang yang beruntung yaitu orang-orang
{






yang mendapatkan apa yang mereka inginkan dan yang selamat dari kejahatan yang mereka jauhi.

} ialah sesungguhnya
Dan berkata Ibnu Jarir bahwa makna firman-Nya, {




mereka tetap memperoleh cahaya dari Tuhannya, pembuktian, istiqamah dan bimbingan serta taufik
Allah buat mereka.
} ialah merekalah orang-orang yang beruntung dan
Takwil firman-Nya {






memperoleh apa yang mereka dambakan disisi Allah melalui amal perbuatan mereka dan iman
mereka kepada Allah, kitab-kitab-Nya dan Rasul-rasul-Nya, dambaan tersebut berupa keberuntungan
memperoleh pahala, kekal di surga dan selamat dari siksaaan yang telah disediakan oleh Allah buat
musuh-musuh-Nya


















Artinya : Dari Abdullah bin Amr dari Nabi Shalallhu alahi wasallam, Rasulullah pernah ditanya, Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kami tetap membaca al-Quran hingga hamper saja kami berputus asa.
Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda, Maukah kalian aku beritakan tentang penduduk
surga dan penduduk neraka? Mereka mejawab tentu saja kami mau, wahai Rasulullah Nabi
shalallahu alaihi wasallam membacakan firman-Nya:





Artinya : Alif Lam Mim. Kitan Al Quran ini tidak ada keraguan didalamnya, petunjuk bagi mereka yang
bertakwa, hingga firman Allah Taala Orang-orang yang beruntung (QS. Al Baqarah : 1 5)
Rasulullah bersabda {
} artinya Mereka semua penduduk Surga,

.



.

:



Kemudian para Sahabat Rasulullah berkata Sesungguhnya kami berharap semoga diri kami termasuk
bagian dari mereka Kemudian Nabi shalallahu alaihi wasallam membaca firman-Nya:















Artinya : Sesungguhnya orang-orang kafir sama saja bagi mereka, hingga dengan firman Allah
(siksaan) amat berat. Mereka (para sahabat) berkata Wahai Rasulullah, tentunya kami bukan
terbasuk bagian dari mereka. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menjawab YA

Edisi

XVIII
AYAT 6
























Orang-orang yang kafir, sama saja bagi mereka, apakah engkau memberi peringatan
kepada mereka atau tidak, mereka tak akan beriman. (QS. Al Baqarah : 6)

Allah berfirman,


(Sesungguhnya, orang-orang kafir), Yaitu orang-orang yang menutupi kebenaran dan
menyembunyikannya. Dan Allah telah menetapkan bagi mereka, baik diberikan peringatan
maupun tidak, maka mereka akan tetap kafir dan tidak mempercayai apa yang engkau
(Muhammad) bawa kepada mereka. Demikian pula, Allah berfirman,




Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah
akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka
menyaksikan azab yang pedih (Yunus: 96-97)
Maksudnya, orang yang ditetapkan Allah hidup dalam kesengsaraan, maka ia tidak
akan pernah kebahagiaan, dan orang yang disesatkan-Nya, maka ia tidak akan pernah
mendapatkan petunjuk. Maka janganlah biarkan dirimu binasa karena kesedihan terhadap
mereka, dan sampaikanlah risalah (Islam) kepada mereka.

AYAT 7







Allah menutup hati mereka dan pendengaran mereka, sedangkan di mata mereka terdapat
tabir yang menutupi, dan bagi mereka azab yang besar. (QS. Al Baqarah : 7)

Mengenai FirmanNya, (), as-Suddi mengatakan artinya: bahwa allah


Tabaraka wa Taala telah mengunci mati. Masih berkaitan dengan ayat ini, Qatadah
mengatakan, Syaitan telah menguasai mereka karena mereka telah menaatinya. Maka
Allah mengunci mati hati, dan pendengaran serta pandangan mereka di tutup, sehingga
mereka tidak dapat melihat petunjuk, tidak dapat mendengarkan, memahami, dan berfikir.
Ibnu Juraij menceritakan, Mujahid mengatakan, Allah mengunci mati hati mereka. Dia
berkata artinya melekatnya dosa dihati, maka dosadosa itu senantiasa mengelilinginya
dari segala arah sehingga berhasil menemui hati tersebut. Pertemuan dosa dengan hati itu
merupakan kunci mati.

Lebih lanjut ibnu Juraij mengatakan, kunci mati dilakukan terhadap hati dan pendengaran
mereka.
Ibnu Juraij juga menceritakan, Abdullah bin Katsir memberitahukan kepadaku bahwa ia
pernah mendengar Mujahid mengatakan penghalangan lebih ringan dari pada penutupan
dan pengucapan, dan lebih ringan dari pada pengundian.
Al-Amasy mengatakan, Mujahid mengisyaratkan kepada kami dengan tangannya, lalu ia
menuturkan, mereka mengetahui bahwa hari itu seperti ini, yaitu telapak tangan. Jika
seorang berbuat dosa, maka dosa itu menutupinya, sambil membengkokkan jari
kelingkingnya, ia(Mujahid) mengatakan, seperti ini. Jika ia berbuat dosa lagi, maka dosa
itu menutupinya, Mujahid membengkokkan jarinya yang lain ke telapak tangannya.
Demikian selanjutnya hingga seluruh jari-jarinya menutupi telapak tangannya. Setelah itu
mujahid mengatakan, Hati mereka itu terkunci mati.
Mujahid mengatakan, mereka memandang bahwa hal itu adalah kotoran; dosa.
Hal yang sama juga diriwayatkan Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dari Waki, dari Al-Amasy, dari
Mujahid.
Al-Qurthubi mengatakan, ummat ini telah sepakat bahwa Allah telah menyifati diriNya
dengan menutup dan mengunci mati hati orang-orang kafir sebagai balasan atas kekufuran
mereka itu, sebagaimana yang di firmankannya:

Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya, karena
itu mereka tidak beriman kecuali sebahagian kecil dari mereka. (An-Nisaa: 155)
Dan Al-Qurthubi juga menyebutkan hadits Hudzaifah yang terdapat didalam kitab as-Shahih,
dari Rasulullah, beliau bersabda:
Fitnah-fitnah itu menimpa hati bagaikan tikar yang di anyam sehelai demi sehelai. Hati
mana yang menyerapnya, maka di goreskan titik hitam padanya. Dan hati mana yang
menolaknya, maka di goreskan padanya titik putih. Sehingga hati manusia itu terbagi pada
dua macam: hati yang putih seperti air jernih, dan ia tidak akan di celakakan oleh selagi
masih ada langit dan bumi. Dan yang satu lagi berwarna hitam kelam seperti tempat minum
yang terbalik, tidak mengenal kebaikan dan tidak pula mengingkari kemungkaran
Ibnu Jarir mengatakan, shahih menurutku dalam hal ini adalah apa yang bisa dijadikan
perbandingan, yaitu hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah. Dari Abu Hurairah, ia
menceritakan, Rasulullah bersabda:
Sesungguhnya seorang mukmin, jika ia mengerjakan suatu perbuatan dosa, maka akan
timbul noda hitam dalam hidupnya. Jika ia bertuabat, menarik diri dari dosa itu, dan
mencari ridho Allah, maka hatinya menjadi jernih. Jika dosanya bertambah, maka
bertambah pula noda itu sehingga memenuhi hatinya. Itulah ar-an (penutup), yang disebut
oleh Allah taala dalam firmannya: sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu
mereka usahakan itu menutupi hati mereka
Hadits di atas diriwayatkan Imam At-Tirmidzi dan An-NasaI dari Quthaibah, Al-Laits bin Saad
serta Ibnu Majah, Dari Hisyam bin Ammar, dari Hatim bin Ismail dan al-Walid bin Muslim
Ketiganya dari Muhammad bin Ajlan. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan
shohih.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, Rasulullah memberitahuka melalui sabdanya bahwa dos
aitu jika sudah bertumpuk-tumpuk di hati, maka ia akan menutupnya, dan jika sudah
menutupnya, maka di datangkan padanya kunci mati dari sisi Allah Taala, sehingga tidak
ada lagi jalan bagi iman untuk menuju kedalamnuya, dan tidak ada jalan keluar bagi
kekufuran untuk lepas darinya. Itulah kunci mati yang disebutkan Allah dalam Firman-Nya:
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran meraka
Iman tidak akan sampai kedalam hati orang yang telah terkunci mati hati dan
pendengarannya, kecuali dengan membongkar dan kunci mati tersebut dari hatinya.
Setelah menyifati orang-orang mukmin pada empat ayat pertama surat al-Baqarah, lau
memberitahukan keadaan orang-orang kafir dengan kedua ayat diatas, kemudian Allah
menjelaskan keadaan orang-orang munafik. Ketika keberadaan mereka semakin samar di
tengah-tengah umat manusia, Allah semakin gencar menyebutkan berbagai sifat

kemunafikan mereka sebagaimana Allah menurunkan surat at-Taubah, al-Munafiqun, anNuur, dan surat-surat lainnya untuk menjelaskan keadaan mereka agar orang-orang
menghindarinya dan tidak terjerumus kepadanya

Ayat 8-9

Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian," pada
hal m ereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan
orang-orang yang beriman, Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
(Al-Baqarah : 8-9)

Nifaq atau munafik ialah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan kejahatan. Sifat munafik
itu bermacam-macam. Ada yang berkaitan dengan aqidah; jenis ini menyebabkan pelakunya kelak di
dalam neraka. Ada yang berkaitan dengan perbuatan, jenis ini merupakan salah satu dosa besar.
Menurut ibnu Juraij, orang munafik ialah orang yang ucapannya bertentangan dengan perbuatanya,
keadaan batinnya bertentangan dengan sikap lahirnya, bagian dalamnya bertentangan dengan bagian
luarnya, dan penampilannya bertentangan dengan kepribadiannya.
Sesungguhnya sifat orang munafik diterangkan di dalam sutat madaniyah, karena di Makkah tidak
ada sifat munafik, bahkan kebalikannya. Dan di antara orang - orang Makkah ada yang menampakkan
kekufuran karena terpaksa, padahal batinnya orang mukmin tulen, ketika Nabi SAW, hijrah ke Madinah,
padanya telah ada kaum Ansar yang terdiri atas kalangan Kabilah Aus dan Kabilah Khasraj. Dahulu di
masa jahiliyah, mereka termasuk penyembah berhala sebagaimana kaum musyrik Arab. Di Madinah
terdapat orang-orang Yahudi dari kalangan ahli kitab yang memeluk agama nenek moyang mereka.
Ketika Rasulullah SAW, tiba di Madinah dan orang-orang Ansar dari kalangan kabilah Aus dan
kabilah Khazraj telah masuk Islam, tapi sedikit sekali dari kalangan orang-orang yahudi yang masuk
Islam, bahkan hanya satu orang, yaitu Abdullah ibnu Salam r.a. pada saat itu (periode pertama
Madinah) muslim belum tedapat nifaq, mengingat kaum muslim belum mempunyai kekuatan yang
berpengaruh, bahkan Nabi Saw, hidup rukun bersama orang-orang yahudi dan kabilah-kabilah Arab
yang berada di sekitar Madinah, hingga terjadi perang Badar Besar, dan Allah memenangkan kelimanya dan memberikan kejayaan kepada Islam dan pemeluknya.
Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul adalah seorang pemimpin di Madinah, berasal dari Kabilah Khazraj.
Dia adalah pemimpin kedua kabilah di masa jahiliyah, mereka bertekad akan menjadikan sebagai raja
mereka. Kemudian datanglah kebaikan (Agama Islam), kepada mereka, dan mereka semua masuk
Islam, menyibukkan dirinya dengan urusan Islam, sedangkan Abdullah ibnu Ubay bin Salul tetap pada
pendiriannya seraya memperhatikan perkembangan Islam dan para pemeluknya. Akan tetapi, ketika
terjadi perang Badar (dan kaum muslim memperoleh kemenangan), dia berkata,Ini merupakan suatu
perkara yang benar-benar telah mengarah
(kepada kekuasaan). Akhirnya dia menampakkan
lahiriyahnya msuk Islam, dan sikapnya ini diikuti oleh orang-orang yang mendukungnya, juga oleh
orang lain dari kalangan ahli kitab.
Sejak itulah muncul nifaq (kemunafikan) di sebagin penduduk Madinah dan orang- orang Badui
yang berada di sekitar kota Madinah. Adapun kaum Muhajirin, tidak ada kaum munafik pun di kalangan
mereka karena tiada seorang pun yang berhijrah karena dipaksa, bahkan setia Muhajirin berhijrah
meniggalkan harta benda dan anak-anaknya karena mengharapkan pahala di sisi Allah kelak di hari
kemudian.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Muhammad,
dari Ikrimah atau said ibnu Jubair, dari ibnu Abas sehubungan dengan firman-Nya:

di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian pada
hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (Al-Baqoroh : 8)
Yang dimaksud adalah orang-orang munafik dari kalangan kabilah Aus dan Khazraj serta orang
orang yang mengikuti mereka. Hal yang sama ditafsirkan oleh Abul Aliyah, Al- Hasan, Qatadah, AsSaadi yaitu mereka adalah orang-orang dari kabilah Aus dan Khazraj.
Melalui ayat ini Allah memperingatkan kaum mukminin agar jangan terbujuk oleh lahiriah sikap
mereka yaitu dengan menerangkan sifat-sifat dan ciri khas orang munafik karena hal terebut akan
mengakibatkan kerusakan yang luas sebagai akibat tidak bersikap waspada terhadap mereka dan
sebagai akibat meyakini keimanan mereka padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang kafir.
Hal ini merupakan larangan besar yaitu menduga baik pada orang-orang ahli dalam kemaksiatan
Dengan kata lain mereka katakan tersebut hanya dengan lisannya saja, padahal di balik itu tiada
satu iman pun yang terdapat di hati mereka sebagaimana yang difirmankan-Nya:


Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu
benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benarbenar orang pendusta. (Al-Munaafiqun:1)

Dengan kata lain, sesungguhnya mereka mengatakan demikian bila datang kepadamu saja,
padahal kenyatannya tidak demikian. Firman Allah: yukhadiunallah walladzina amanu, Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman karena mereka hanya menampakkan
keimanannya pada lahiriyah saja, sedangkan batin mereka memendam kekufuran. Karena kebodohan
mereka sendiri, mereka menduga bahwa diri mereka menipu Allah. Dengan sikap
tersebut,
dan
hal tersebut menghasilkan manfaat di sisi-Nya, dapat mengelabuhi Allah. Sebagaimana mereka dapat
mengecoh sebagian kaum mukminin, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya:

(ingatlah) hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah lalu mereka bersumpah kepada-Nya
(bahwa mereka bukan musyrikin) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka
menyangka bahwa mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
merekalah orang-orang pendusta. (Al-Mujadalah : 18)
Karena itu Allah membantah apa yang mereka yakini itu dengan firmannya



Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (Al-Baqarah : 9)

Dengan kata lain. Mereka tidak mengelabuhi melalui perbuatannya yang demikian itu, tidak pula
menipu, melainkan hanya diri mereka sendiri, sedang diri mereka tidak merasakan hal itu,
sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran:

Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
(An-Nisa :142)

Di antara ahli qiraah ada yang membaca wama yakhdauna illa an-fusahum menjadi wama
yukhodiuna illa an-fusahum yang artinya tiada lain diplomasi yang mereka lalukan itu melainkan
terhadap diri mereka sendiri. Akan tetapi kedua qiraah tersebut mempunyai makna yang sama.
Ibnu Jarir mengatakan, jika seseorang mengatakan mengapa orang munafik kepada Allah dan
kepada kaum mukmini dapat dikatakan sebagai penipu, sedangkan orang munafik itu tidak sekali-kali
mengatakan apa yang bertentangan dengan batinnya hanyalah karena taqiyyah semata? Sebagai
jawabannya dapat dikatakan bahwa orang-orang Arab menamakan ucapan yang bertentangan dengan
hati dinamakan sikap taqiyyah, untuk menyelamatkan diri dari hal yang ditakuti dinamakan dengan
mukhodi (orang yang menipu) Allah dan orang-orang mukmin dengan mengatakan kata-kata yang
dapat menyelamatkan dirinya dari pembunuhan, penahanan dan siksaan yang segera, padahal di balik
penampilan luarnya dia memendam kebencian. Yang demikian itu adalah salah satu dari sikap orang
munafiq; sekalipun dia menipu orang-orang mukmin dalam kehidupan di dunia ini, tetapi dia dengan
perbuatannya itu sama saja menipu dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena perbuatan yang
ditampakkannya itu menurutnya dapat memberikan apa yang dicita-citakannya dan kebahagiaan,
padahal kenyataannya justru merupakan sumber kejatuhannya dan berakibat siksaan di hari kemudian
serta murka Allah dan adzab-Nya yang amat pedih tiada bandingannya. Tipuan yang ia lancarkan
tersebut diduganya sebagai perbuatan yang baik buat dirinya padahal sesungguhnya dia berbuat jahat
terhadap dirinya sendiri bagi kehidupannya di akhirat nanti sebagaimana yang disebutkan di dalam
firmannya, Tiadalah yang mereka tipu muslihatkan melainkan diri mereka sendiri, sedangkan mereka
tidak merasakannya.
Bahwa ciri khas orang munafik pada umumnya ialah berakhlak rendah, percaya dengan lisan
tapi ingkar dengan hati, dan berbeda dengan perbuatan serta sepak terjangnya, di pagi hari berada
dalam suatu keadaan, sedangkan di petang harinya berada dalam keadaan lain, begitu pula
sebaliknya, di petang hari dalam satu sikap, sedangkan di pagi harinyabersikap lain, ia terombangambing bagaikan perahu yang ditiup angin kencang dan hanya bersikap mengikuti arah angin saja

Anda mungkin juga menyukai