Anda di halaman 1dari 55

STEP 7

1. PENYAKIT INFEKSI DAN DEGENERATIVE TULANG


A. Osteoartritis
a) Defenisi
Osteoartritis adalah penyakit peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut.
Jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas
60 tahun.

b) Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap, namun beberapa
faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah :
1. Umur.
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya
umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40
tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.
2. Jenis kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena
osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan dibawah 45 tahun
frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki
Dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari
pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetic
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang
wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih

sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung


mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dananak perempuan dari wanita tanpa
osteoarthritis.
4. Suku.
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan
diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara
orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai
pada orang orang amerika asli dari pada orang kulit putih.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk
timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak
hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga
dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).

c) Patofisiologi.
Umur jenis kelamin genetik suku kegemukan perubahan metabolisme tulang, dan
menurunkan kadar proteoglikan (berkurangnya kadar proteoglikan akan meningkatkan
aktivitas enzim yang merusak makro molekul matriks tulang rawan sendi, menyebabkan
kerusakan fokal tulang rawan pembentukan tulang baru pada sendi yang progresif tulang
rawan, sendi dan tepi sendi akan terjadi pula ), perubahan sifat sifat kolagen,
berkurangnya kadar air tulang rawan sendi, dan permukaan tulang rawan sendi terbelah
pecah dengan robekan timbul laserasi

d) Menifestasi klinis

Gejala-gejala utama ialah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu
bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan, mula-mula rasa kaku, kemudian
timbul rasa nyeri yang berkurang saat istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan
sendi, kaku pagi , krepitasi, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan.
e) Klasifikasi Osteoartritis
Idiopatik
Tangan:
1

- nodus Heberden dan Bouchard (nodal)

- artritis erosif interfalang

- karpal-metakarpal I

Kaki:
1

- haluks valgus

- haluks rigidus

- jari kontraktur (hammer/cock-up toes)

- talonavikulare

Coxa:
1

- eksentrik (superior)

- konsentrik (aksial, medial)

- difus (koksa senilis)

Vertebra :
1

- sendi apofiseal

- sendi intervertebral

- spondilosis (osteofit)
- ligamentum (hiperostosis, penyakit Forestier,diffuse idiopathic skeletal
hyperostosis=DISH)

Tempat lainnya:
1

- glenohumeral

- akromioklavikular

- tibiotalar

- sakroiliaka

- temporomandibular

Menyeluruh:
Meliputi 3 atau lebih daerah yang tersebut diatas (Kellgren-Moore)

Sekunder
Trauma
1

akut

kronik (okupasional, port)

Kongenital atau developmental:


1

Penyakit Leg-Calve-Perthes

Dislokasi koksa kongenital

Slipped epiphysis

Faktor mekanik
1

Panjang tungkai tidak sama

Deformitas valgus / varus

Sindroma hipermobilitas

Metabolik
1

Okronosis (alkaptonuria)

Hemokromatosis

Penyakit Wilson

Penyakit Gaucher

Endokrin
1

Akromegali

Hiperparatiroidisme

Diabetes melitus

Obesitas

Hipotiroidisme

Penyakit Deposit Kalsium


1

deposit kalsium pirofosfat dihidrat

artropati hidroksiapatit

Penyakit Tulang dan Sendi lainnya Setempat:


1

Fraktur

Nekrosis avaskular

Diagnosis
Seperti pada penyakit reumatik umumnya diagnosis tak dapat didasarkan hanya pada satu
jenis pemeriksaan saja. Biasanya kita lakukan pemeriksaan reumatologi ringkas berdasarkan
prinsip GALS (Gait, arms, legs, spine) dengan memperhatikan gejala-gejala dan tanda-tanda
sebagai berikut:
Tanda:
1

- krepitus

- keterbatasan gerak

- nyeri tekan pada sendi dan periartikular

- tonjolan tulang

- pembengkakan jaringan lunak

- pincang

- deformitas

- kelemahan otot/atrofi

- kulit permukaan sendi hangat/efusi sendi

10 - instabilitas
11
Langkah-langkah penetapan diagnosis
Untuk kepentingan penyeragaman diagnosis maka seyogyanya dipergunakan acuan berupa
criteria diagnosis yang antara lain seperti berikut ini.
Kriteria diagnosis OA lutut
Klinis:
1

1. nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:

2. krepitus saat gerakan aktif

3. kaku sendi < 30 menit

4. umur > 50 tahun

5. pembesaran tulang sendi lutut

6. nyeri tekan tepi tulang

7. tidak teraba hangat pada sendi lutut.

Diagnosis OA jika : Bila ditemukan nyeri sendi serta osteofit dari gambaran radiologik dan 3
dari kriteria 2-7. Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.

Klinis, dan radiologis:


1

1. nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini:

2. kaku sendi <30 menit

3. umur > 50 tahun

4. krepitus pada gerakan sendi aktif

Diagnosis OA jika didapatkan butir 1 disertai osteofit pada gambaran radiologik disertai
kriteria 2, 3 atau 4. Paling sedikit satu kriteria 2-4 harus ditemukan.
Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.
Klinis dan laboratoris:
1

1. Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di bawah ini:

2. usia >50 tahun

3. kaku sendi <30 menit

4. Krepitus

5. nyeri tekan tepi tulang

6. pembesaran tulang

7. tidak teraba hangat pada sendi terkena

8. LED<40 mm/jam

9. RF <1:40

10 10. analisis cairan sinovium sesuai OA

Diagnosis OA ditegakkan bila ditemukan nyeris sendi lutut disertai 5 dari kriteria 2-10.
Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.
Catatan: LED=laju endap darah; RF=rheumatoid factor.

Kriteria diagnosis oa Tangan


Klinis:
1

1. nyeri tangan, ngilu atau kaku pada sebagian besar waktu di bulan yang lalu

2. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan

3. pembengkakan MCP < 3

4. pembengkakan jaringan keras > 2 DIP

5. deformitas pada > 2 diantara 10 sendi tangan

Diagnosis OA jika butir didapatkan 1, 2, 3 dan 4 atau 1, 2, 3 dan 5 atau kriteria 1 ditambah 3
dari kriteria 2-5.
Sensitivitas 92% dan spesifisitas 98%.
Catatan:
10 sendi yang dimaksud adalah: DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC 1 masing-masing tangan.
DIP = distal interphalangea; PIP = proximal interphalangea; CMC = carpo metacarpal; MCP
= metacarpo-phalanea.

Kriteria diagnosis oa panggul


1

1. nyeri sendi coxa pada sebagian besar waktu selama bulan lalu

2. osteofit femoral dan atau asetabular pada gambaran radiologik

3. penyempitan celah sendi secara radiologik (superior, axial dan atau medial)

4. LED < 20 mm/jam

Diagnosis OA jika didapatkan butir 1 dan 2 dari 3 kriteria 2-4.


Sensitivitas 89% dan spesifisitas 91%.

Penyulit osteoartritis
Pada dasarnya penyulit yang timbul tergantung dari sendi mana yang mengalami OA serta
kelainan, lokasi dan arah kelainan tersebut. Penyulit tersebut bisa diakibatkan berbagai
patologi. Beberapa diantaranya adalah efusi sinovial, osteofit dan degenerasi jaringan sekitar
sendi.
Kerusakan sendi pada OA dapat mengakibatkan malalignment dan subluksasi. Penyempitan
celah sendi asimetris mengakibatkan varus atau valgus. Ankilosis jarang terjadi pada OA,
dapat mengenai sendi sakro-iliaka dan simfisis. Fragmentasi permukaan sendi yang terjadi
berupa debris pada kavum sinovial atau osteochondral bodies yang tetap melekat pada
permukan sendi asalnya. Pada sendi lutut, efusi sinovial dapat menyebabkan timbulnya kista
Baker pada fosa poplitea.

Penatalaksanaan
Pembedahan
Keadaan pasien dan kebutuhannya dapat berubah dari waktu ke waktu. Hal ini memerlukan
pemantauan yang baik dan pemilihan modalitas terapi yang tersedia.
Yang perlu diperhatikan pada pengelolaan penderita OA
1

- lamanya OA

- lokasi dan jumlah sendi yang terkena

- sejak kapan mulainya gejala, eksaserbasi dan remisi

- pengobatan sebelumnya beserta efeknya

- efek samping obat sebelumnya

- pengobatan yang dilakukan selain oleh dokter

- injeksi steroid

- injeksi hialuronan intra artikular (Hyalgan, osflex)

- tindakan bedah termasuk artroskopi

10 - penggunaan alat bantu seperti tongkat, deker, korset dll.


11 - Adakah riwayat tukak peptik, perdarahan GIT.

- Penyakit kronik penyerta : PJK, payah jantung, hipertensi, penyakit ginjal, hati, status
hormonal, penyakit kulit kronik, dll.

- Terapi antikoagulan dan warfarin

- Pemakaian steroid saat ini


Penting sekali mengetahui kwalitas hidup pasien sebelum dimulainya pengelolaan:

- rasa nyaman atau persepsi pasien mengenai kehidupannya

- sejauh mana pasien dapat melakukan aktifitas fisik, interaksi emosional dan intelektual

- kemampuan berperan serta dalam kehidupan sosial, keluarga dan lingkungan kerja.

f) Pemeriksaan penunjang
Rontgen sendi : untuk mengetahui keadaan sendi
Rentang gerak sendi

g) Penatalaksanaan
Terapi Nonfarmakologi
1. Edukasi
Edukasi sangat penting bagi semua pasien OA, bahkan pada pasien tertentu mungkin
merupakan hal yang terpenting. Dua hal yang menjadi sasaran utama program edukasi
adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas. Beberapa penelitian menunjukkan
pasien OA simtomatik yang mendapat program edukasi memperoleh manfaat yang lebih
besar (20-30%) dibanding kelompok yang hanya mendapat NSAID saja. Hal ini
dikarenakan edukasi meningkatkan pola hidup sehat, meningkan aktivitas fisik, dan
meningkatkan kemampuan pasien dalam mengatasi rasa nyeri.

Tujuan edukasi meliputi: mengurangi kecemasan, meningkatkan kepatuhan pengelolaan,


perubahan perilaku yang sesuai, meningkatkan fungsi dan citra diri.
Karena OA merupakan penyakit yang kronik, maka pasien harus kita ajak untuk
memahami bahwa mungkin dalam derajat tertentu mungkin akan tetap ada rasa nyeri,
kaku dan keterbatasan gerak serta fungsi. Hal tersebut perlu difahami dan disadari
sebagai bagian dari realitas kehidupannya. Kepada pasien kita terangkan bagaimana cara
mengurangi rasa nyeri, mempertahankan mobilitas dan menyesuaikan diri dengan
lingkungan untuk mengakomodasi keterbatasan.
Edukasi pada hal khusus seperti:
1

- pemahaman penyakit dan fungsi sendi

- perlindungan sendi

- konservasi energi

- seksual dan psikososial

2.Latihan / program rehabilitasi medik


3. Diet
Diet untuk menurunkan berat badan pasien osteoartritis yang gemuk harus menjadi
program utama pengobatan osteoartritis. Penurunan berat badan seringkali dapat
mengurangi timbulnya keluhan dan peradangan.
4. Dukungan psikososial
Dukungan psikososial diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang menahun
dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya. Disatu pihak pasien ingin
menyembunyikan ketidakmampuannya, dipihak lain dia ingin orang lain turut
memikirkan penyakitnya. Pasien osteoartritis sering kali keberatan untuk memakai alatalat pembantu karena faktor-faktor psikologis.

5. Persoalan seksual
Gangguan seksual dapat dijumpai pada pasien osteoartritis terutama pada tulang
belakang, paha dan lutut. Sering kali diskusi karena ini harus dimulai dari dokter karena
biasanya pasien enggan mengutarakannya.
6. Fisioterapi
Fisioterapi berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi pemakaian
kompres panas dan dingin dan program latihan ynag tepat. Pemakaian panas yang sedang
diberikan sebelum latihan untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan.
Pada sendi yang masih aktif sebaiknya diberi kompres dingin dan obat-obat gosok jangan
dipakai sebelum pamanasan. Berbagai sumber panas dapat dipakai seperti hidrokolator,
bantalan elektrik, ultrasonic, inframerah, mandi paraffin dan mandi dari pancuran panas.
Program latihan bertujuan untuk memperbaiki gerak sendi dan memperkuat otot yang
biasanya atropik pada sekitar sendi osteoartritis.
latihan isometric lebih baik dari pada isotonic karena mengurangi tegangan pada sendi.
Atropi rawan sendi dan tulang yang timbul pada tungkai yang lumpuh timbul karena
berkurangnya beban ke sendi oleh karena kontraksi otot. Oleh karena otot-otot
periartikular memegang peran penting terhadap perlindungan rawan senadi dari beban,
maka penguatan otot-otot tersebut adalah penting.
7. Operasi
Operasi perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan sendi yang
nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi. Tindakan yang dilakukan adalah
osteotomy untuk mengoreksi ketidaklurusan atau ketidaksesuaian, debridement sendi
untuk menghilangkan fragmen tulang rawan sendi, pebersihan osteofit.

FARMAKOLOGIS
A. Sistemik:
1) Analgetik;
1 a. Non narkotik: parasetamol
2 b. Opioid:
3 - kodein
4 - tramadol
2) Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)
5 - Oral
6 - injeksi
7 - suppositoria
3) DMOADs (disease modifying OA drugs)
Pada kongres OARSI di Sidney, telah ditetapkan bahwa sekelompok zat yang
sebelumnya dikenal sebagai food supplement, berdasarkan berbagai penelitian yang telah
dilakukan diakui sebagai nutraceutical atau disease modifying osteorthritis drugs. Bahan
yang tergolong nutraceutical ini berfungsi memperbaiki metabolisme kartilago sendi
apabila dipergunakan dalam jangka panjang ( 2-3 tahun). Disamping itu beberapa
penelitian juga membuktikan bahwa obat ini bersifat anti inflamasi ringan dengan
memperbaiki konstituen cairan sinovial. 3,4,5 Diantara nutraceutical yang saat ini tersedia
di Indonesia adalah Glucosamine sulfate dan Chondroitine sulfate (Cartin plus, Flexor
DS, Oste, Osmetin)
Karena tersedia dalam berbagai dosis dan kombinasi dengan vitamin C atau mineral,
maka dianjurkan untuk mempelajari konstituen masing-masing sediaan.
1
2

B. Topikal:
1) Krim rubefacients dan capsaicin.
Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan carakerja pada umumnya
bersifat counter irritant .
2) Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan campuran
yang dipergunakan untuk penetrasi kulit.3,4,5 Salah satu yang dapat digunakan adalah
gel piroxicam, dan sodium diclofenac (Voltaren emulgel)
C. Injeksi intraartikular/intra lesi:

Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan utama dalam
penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas dalam penggunaan
modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang bersifat lokal maupun sistemik.
Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni penanganan simtomatik
dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk modifikasi perjalanan
penyakit. Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya melakukan tindakan, adalah dokter
yang telah melalui pendidikan tambahan dalam bidang reumatologi.
a.

Steroid:
( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )

Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan inflamasi yang
kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat mentolerir NSAIDs atau ada
komorbiditas yang merupakan kontra indikasi terhadap pemberian NSAIDs. Teknik
penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari penyulit yang timbul.
Sebagian besar literatur tidak menganjurkan dilakukan penyuntikan lebih dari sekali
dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali terutama untuk sendi besar penyangga tubuh.
Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil
biasanya digunakan dosis 10 mg.
b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight
Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan. Penyuntikan intra artikular biasanya
untuk sendi lutut (paling sering), sendi bahu dan koksa. Diberikan berturut-turut 5 sampai
6 kali dengan interval satu minggu @ 2 sampai 2,5 ml Hyaluronan. Teknik penyuntikan
harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak dapat timbul berbagai penyulit seperti artritis
septik, nekrosis jaringan dan abses steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap
unsur/bahan dasar hyaluronan misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur. (ada 3
sediaan di Indonesia diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex)

B. Artritis Septik

Artritis septik karena infeksi bakterial merupakan penyakit yang serius yang cepat
merusak kartilago hyalinartikular dan kehilangan fungsi sendi yang ireversibel.
Diagnosis awal yang diikuti dengan terapi yang tepat dapat menghindari terjadinya
kerusakan sendi dan kecacatan sendi.
Insiden septik artritis pada populasi umum bervariasi 2-10 kasus per 100.000 orang per
tahun.Insiden ini meningkat pada penderita dengan peningkatan risiko seperti artritis
rheumatoid 28-38 kasus per 100.000 per tahun, penderita dengan prostesissendi 40-68
kasus/100.000/tahun. Puncak insiden pada kelompok umur adalah anak-anak usia
kurang dari 5 tahun (5 per 100.000/tahun) dan dewasa usia lebih dari 64 tahun (8,4
kasus/100.000 penduduk/tahun).
Kebanyakan artritis septik terjadi pada satu sendi sedangkan keterlibatan poliartikular
terjadi 10-15% kasus.Sendi lutut merupakan sendi yang paling sering terkena sekitar 4856%, diikuti oleh sendi panggul 16-21%, dan pergelangan kaki 8%. Artritis septik masih
merupakan tantangan bagi para klinisi sejak dua puluh tahun terakhir, dengan
penanganan yang dini dan tepat maka diharapkan dapat menurunkan kehilangan fungsi
yang permanen dari sendi dan menurunkan mortalitas.
Sumber infeksi
Sinovium merupakan struktur yang kaya dengan vaskular yang kurang dibatasi oleh
membran basal,memungkinkan mudah masuknya bakteri secara hematogen. Di dalam
ruang sendi, lingkungannya sangat avaskular (karena banyaknya fraksi kartilago hyalin)
dengan aliran cairan sendi yang lambat, sehingga suasana yang baik bagi bakteri berdiam
dan berproliferasi.

Gambar 1. Cara masuknya kuman ke dalam ruang sendi


Sumber infeksi pada artritis septik dapat melalui beberapa cara yaitu secara hematogen,
inokulasi langsung bakteri ke ruang sendi, infeksi pada jaringan musculoskeletal sekitar
sendi. Kebanyakan kasus artritis bakterial terjadi akibat penyebaran kuman secara
hematogen ke sinovium baik pada kondisi bakteremia transien maupun menetap.
Penyebaran secara hematogen ini terjadi pada 55% kasus dewasa dan 90% pada anakanak.
Sumber bakterimia adalah : (1) infeksi atau tindakan invasif pada kulit, saluran nafas,
saluran kencing, rongga mulut, (2) pemasangan kateter intravaskular termasuk
pemasangan vena sentral, kateterisasi arteri femoral perkutaneus, (3) injeksi obat
intravenus.
Inokulasi langsung bakteri ke dalam ruang sendi terjadi sebesar 22%-37% pada sendi
tanpa prostetik dan sampai 62% pada sendi dengan prostetik. Pada sendi dengan

prostetik, inokulasi bakteri biasanya terjadi pada saat prosedur operasi dilakukan. Pada
sendi yang intak mengalami inokulasi bakteri selama tindakan operasi sendi atau
sekunder dari trauma penetrasi, gigitan binatang, atau tusukan benda asing ke dalam
ruang sendi.

Penyebaran infeksi dari jaringan sekitarnya terjadi pada kasus osteomyelitis yang sering
terjadi pada anak-anak karena anak-anak kurang dari 1 tahun,pembuluh darah
memperforasi diskus pertumbuhan epifisal menimbulkan lanjutan infeksi dari tulang
keruang sendi, atau pada anak yang lebih lanjut, infeksi pada tulang dapat merusak
bagian korteks dan menyebabkan artritis septik sekunder jika tulang berada di dalam
kapsul sendi, seperti pada sendi koksae dan bahu.
Pada orang dewasa penyakit dasar infeksi kulit dan penyakit kaki diabetik sering sebagai
sumber infeksi yang berlanjut ke ruang sendi. Kuman penyebab yang paling banyak
adalah Staphylococcus aureus disusul oleh Streptococcus pneumoniae, Streptococcus
pyogenes merupakan kuman yang sering ditemukan dan sering pada penderita penyakit
autoimun, infeksi kulit sistemik, dan trauma. Pasien dengan riwayat intra venous drug
abuse (IVDA),usia ekstrim, imunokompromis sering terinfeksi oleh basil gram negatif
yang sering adalah Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli. Kuman anaerob dapat
juga sebagai penyebab hanya dalam jumlah kecil yang biasanya didapatkan pada pasien
DM dan pemakaian prostesis sendi.
Faktor predisposisi seseorang terkena arthritis septik adalah faktor sistemik seperti usia
ekstrim, arthritis rheumatoid, diabetes melitus, pemakaian obat imunosupresi, penyakit
hati, alkoholisme, penyakit hati kronik, malignansi, penyakit ginjal kronik, memakai obat
suntik, pasien hemodialisis, transplantasi organ dan faktor lokal seperti sendi prostetik,
infeksi kulit, operasi sendi, trauma sendi,osteoartritis.
Patogenesis

Patogenesis artritis septik merupakan multifaktorial dan tergantung pada interaksi


pathogen bakteri dan respon imun hospes. Proses yang terjadi pada sendi alami dapat
dibagi pada tiga tahap yaitu kolonisasi bakteri, terjadinya infeksi, dan induksi respon
inflamasi hospes.
Kolonisasi bakteri
Sifat tropism jaringan dari bakteri merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya
infeksi sendi. S.aureus memiliki reseptor bervariasi (adhesin) yang memediasi
perlengketan efektif pada jaringan sendi yang bervariasi. Adhesin ini diatur secara ketat
oleh factor genetik, termasuh regulator gen asesori (agr), regulator asesori stafilokokus
(sar), dan sortase A. Faktor virulensi bakteri Selain adhesin, bahan lain dari dinding sel
bakteri adalah peptidoglikan dan mikrokapsul polisakarida yang berperan mengatur
virulensi S. aureus melalui pengaruh terhadap opsonisasi dan fagositosis. Mikrokapsul
(kapsul tipis) penting pada awal kolonisasi bakteri pada ruang sendi yang memungkinkan
faktor adhesin stafilokokus berikatan dengan protein hospes dan selanjutnya produksi
kapsul akan ditingkatkan membentuk kapsul yang lebih tebal yang lebih resisten terhadap
pembersihan imun hospes. Jadi peran mikrokapsul disini adalah resisten terhadap
fagositosis dan opsonisasi serta memungkinkan bakteri bertahan hidup intraseluler.
Respon imun hospes Sekali kolonisasi dalam ruang sendi, bakteri secara cepat
berproliferasi dan mengaktifkan respon inflamasi akut. Awalnya sel sinovial melepaskan
sitokin proinflamasi termasuk interleukin-1b (IL-1b), dan IL- 6. Sitokin ini mengaktifkan
pelepasan protein fase akut dari hepar dan juga mengaktifkan sistem komplemen.
Demikian juga terjadi masuknya sel polymorphonuclear (PMN) ke dalam ruang sendi.
Tumor necrosis factor-a (TNF-a dan sitokin inflamasi lainnya penting dalam
mengaktifkan PMN agar terjadi fogistosis bakteri yang efektif. Kelebihan sitokin seperti
TNF-a, IL-1b, IL-6, dan IL-8 dan macrophage colony-stimulating factor dalam ruang
sendi menyebabkan kerusakan rawan sendi dan tulang yang cepat. Sel-sel fagosit
mononoklear seperti monosit dan makrofag migrasi ke ruang sendi segera setelah PMN,
tetapi perannya belum jelas. Komponen lain yang penting pada imun inat pada infeksi
stafilokokus adalah sel natural killer (NK), dan nitric oxide (NO). Sedangkan peran dari
limfosit T dan B dan respon imun didapat pada artritis septik tidak jelas.

ganbaran klinis
Gejala klasik artritis septik adalah demam yang mendadak, malaise, nyeri lokal pada
sendi yang terinfeksi, pembengkakan sendi, dan penurunan kemampuan ruang lingkup
gerak sendi. Sejumlah pasien hanya mengeluh demam ringan saja.Demam dilaporkan
60-80% kasus, biasanya demam ringan, dan demam tinggi terjadi pada 30-40% kasus
sampai lebih dari 390C. Nyeri pada artritis septik khasnya adalah nyeri berat dan terjadi
saat istirahat maupun dengan gerakan aktif maupun pasif. Evaluasi awal meliputi
anamnesis yang detail mencakup faktor predisposisi, mencari sumber bakterimia yang
transien atau menetap (infeksi kulit, pneumonia, infeksi saluran kemih, adanya
tindakantindakan invasiv, pemakai obat suntik, dll), mengidentifikasi adanya penyakit
sistemik yang mengenai sendi atau adanya trauma sendi.Sendi lutut merupakan sendi
yang paling sering terkena pada dewasa maupun anak-anak berkisar 45%-56%, diikuti
oleh sendi panggul 16-38%. Artritis septic poliartikular, yang khasnya melibatkan dua
atau tiga sendi terjadi pada 10%-20% kasus dan sering dihubungkan dengan arthritis
reumatoid. Bila terjadi demam dan flare pada artritis reumatoid maka perlu dipikirkan
kemungkinan artritis septik. Pada pemeriksaan fisik sendi ditemukan tandatanda eritema,
pembengkakan (90% kasus), hangat, dan nyeri tekan yang merupakan tanda penting
untuk mendiaganosis infeksi. Efusi biasanya sangat jelas/banyak, dan berhubungan
dengan keterbatasan ruang lingkup gerak sendi baik aktif maupun pasif. Tetapi tanda ini
menjadi kurang jelas bila infeksi mengenai sendi tulang belakang, panggul, dan sendi
bahu.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah tepi

Terjadi peningkatan lekosit dengan predominan neutrofil segmental, peningkatan laju


endap darah dan C-reactive Protein (CRP). Tes ini tidak spesifik tapi sering digunakan
sebagai petanda tambahan dalam diagnosis khususnya pada kecurigaan artritis septik
pada sendi. Kultur darah memberikan hasil yang positif pada 50-70% kasus.9,13
Pemeriksaan cairan sendi Aspirasi cairan sendi harus dilakukan segera bila kecurigaan
terhadap artritis septik, bila sulit dijangkau seperti pada sendi panggul dan bahu maka
gunakan alat pemandu radiologi. Cairan sendi tampak keruh, atau purulen, leukosit cairan
sendi lebih dari 50.000 sel/mm3 predominan PMN, sering mencapai 75%-80%. Pada
penderita dengan malignansi, mendapatkan terapi kortikosteroid, dan pemakai obat suntik
sering dengan leukosit kurang dari 30.000 sel/mm3. Leukosit cairan sendi yang lebih dari
50.000 sel/mm3 juga terjadi pada inflamasi akibat penumpukan kristal atau inflamasi
lainnya seperti artritis rheumatoid. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan cairan sendi
dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi untuk mencari adanya kristal.
Ditemukannya kristal pada cairan sendi juga tidak menyingkirkan adanya artritis
septik yang terjadi bersamaan. Pengecatan gram cairan sinovial harus dilakukan,
dan menunjukkan hasil positif pada 75% kasus arthritis positif kultur stafilokokus dan
50% pada artritis positif kultur basil gram negatif. Pengecatan gram ini dapat menuntun
dalam terapi antibiotika awal sambil menunggu hasil kultur dan tes sensitivitas. Kultur
cairan sendi dilakukan terhadap kuman aerobik, anaerobik, dan bila ada indikasi untuk
jamur dan mikobakterium. Kultur cairan sinovial positif pada 90% pada artritis septik
nongonokokal.

Pemeriksaan polymerase chain reaction (PCR).

Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) bakteri dapat mendeteksi adanya asam
nukleat bakteri dalam jumlah kecil dengan sensitifitas dan spesifisitas hampir 100%.
Beberapa keuntungan menggunakan PCR dalam mendeteksi adanya infeksi antara lain :
1. mendeteksi bakteri dengan cepat,
2. dapat mendeteksi bakteri yang mengalami pertumbuhan lambat,
3. mendeteksi bakteri yang tidak dapat dikultur,
4. mendeteksi bakteri pada pasien yang sedang mendapatkan terapi,

5. mengidentifikasi bakteri baru sebagai penyebab.


Tapi PCR juga mengalami kelemahan yaitu hasil positif palsu bila bahan maupun reagen
yang mengalami kontaminasi selama proses pemeriksaan.

Pemeriksaan Radiologi

Pada pemeriksaan radiologi pada hari pertama biasanya menunjukkan gambaran normal
atau adanya kelainan sendi yang mendasari. Penemuan awal berupa pembengkakan
kapsul sendi dan jaringan lunak sendi yang terkena, pergeseran bantalan lemak, dan
pelebaran ruang sendi. Osteoporosis periartikular terjadi pada minggu pertama artritis
septik. Dalam 7 sampai 14 hari, penyempitan ruang sendi difus dan erosi karena destruksi
kartilago. Pada stadium lanjut yang tidak mendapatkan terapi adekuat, gambaran
radiologi nampak destruksi sendi, osteomyelitis, ankilosis, kalsifikasi jaringan
periartikular, atau hilangnya tulang subkondral diikut dengan sklerosis reaktif.

Pemeriksaan USG

Pemeriksaan USG dapat memperlihatkan adanya kelainan baik intra maupun


ekstraartikular yang tidak terlihat pada pemeriksaan radiografi. Sangat sensitif
untuk mendeteksi adanya efusi sendi minimal (1-2 mL),termasuk sendi-sendi yang dalam
seperti pada sendi panggul. Cairan sinovial yang hiperekoik dan penebalan kapsul sendi
merupakan gambaran karakteristik arthritis septik.
Pemeriksaan lain yang digunakan pada arthritis septik dimana sendi sulit dievaluasi
secara klinik atau untuk menentukan luasnya tulang dan jaringan mengalami infeksi yaitu
mengunakan CT, MRI , atau radio nuklead.

Diagnosis

Diagnosis klinis artritis septik bila ditemukan adanya sendi yang mengalami nyeri,
pembengkakan, hangat disertai demam yang terjadi secara akut disertai dengan
pemeriksaan cairan sendi dengan jumlah lekosit > 50.000 sel/mm3 dan dipastikan dengan
ditemukannya kuman patogen dalam cairan sendi.
Terapi
Tujuan utama penanganan artritis septik adalah dekompresi sendi, sterilisasi sendi, dan
mengembalikan fungsi sendi.Terapi atrhritis septik meliputi terapi
nonfarmakologi,farmakologi, dan drainase cairan sendi.
Terapi non-farmakologi.
Pada fase akut, pasien disarankan untuk mengistirahatkan sendi yang terkena.
Rehabilitasi merupakan hal yang penting untuk menjaga fungsi sendi dan mengurangi
morbiditas artritis septik. Rehabilitasi seharusnya sudah dilakukan saat munculnya
arthritis untuk mengurangi kehilangan fungsi. Pada fase akut,
fase supuratif, pasien harus mempertahankan posisi fleksi ringan sampai sedang yang
biasanya cenderung membuat kontraktur. Pemasangan bidai kadang perlu untuk
mempertahankan posisi dengan fungsi optimal; sendi lutut dengan posisi ekstensi, sendi
panggul seimbang posisi ekstensi dan rotasi netral, siku fleksi 900, dan pergelangan
tangan posisi netral sampai sedikit
ekstensi. Walaupun pada fase akut, latihan isotonik harus segera dilakukan untuk
mencegah otot atropi. Pergerakan sendi baik aktif maupun pasif harus segera dilakukan
tidak lebih dari 24 jam setelah keluhan membaik.

Terapi farmakologi
Sekali artritis septik diduga maka segera dilakukan pengambilan sampel untuk
pemeriksaan serta pemberian terapi antibiotika yang sesuai dan segera dilakukan drainase
cairan sendi.
Pemilihan antibiotika harus berdasarkan beberapa pertimbangan termasuk kondisi klinis,
usia, pola dan resisitensi kuman setempat, dan hasil pengecatan gram cairan sendi.
Pemilihan
jenis antibiotika secara empiris seperti pada tabel 1 yang dikutip dari panduan The British
Society for Rheumatology tahun 2006. Modifikasi antibiotika dilakukan bila sudah ada
hasil kultur dan sensitivitas bakteri. Perlu diingat bahwa vankomisin tidak dilanjutkan
pada pasien dengan infeksi stafilokokus atau streptokokus yang sensitif dengan Blaktam.
Perjalanan klinik pasien juga perlu sebagai bahan pertimbangan karena korelasi
pemeriksaan
sensitivitas dan resistensi bakteri in vitro dengan in vivo tidak absolut sesuai. Secara
umum rekomendasi pemberian antibiotika intravenus paling sedikit selama 2 minggu,
diikuti dengan pemberian antibiotika oral selama 1-4 minggu. Pemberian antibiotika
intravenus yang lebih lama
diindikasikan pada infeksi bakteri yang sulit dieradikasi seperti P aerogenosa atau
Enterobacter spp. Pada kasus yang bakterimia S aureus dan arthtritis sekunder aureus
diberikan antibiotika parenteral 4 minggu untuk mencegah infeksi rekuren. Pemberian
antibiotika intra artikular tidak efektif dan justru dapat menimbulkan sinovitis kemikal.

Drainase cairan sendi


Drainase yang tepat dan adequat dapat dilakukan dengan berbagai metode. Teknik yang
bisa dilakukan antara lain aspirasi dengan jarum, irigasi tidal, arthroskopi dan arthrotomi

Aspirasi jarum sebagai prosedur awal drainase sendi yang mudah diakses seperti sendi
lutut, pergelangan kaki, pergelangan tangan, dan sendi-sendi kecil. Drainase dilakukan
sesering yang diperlukan pada kasus efusi berulang. Jika dalam waktu 7 hari terapi
jumlah cairan, jumlah sel dan persentase PMN menurun setiap aspirasi maka tindakan
dengan aspirasi jarum tertutup dapat diteruskan sesuai kebutuhan. Tapi bila efusinya
persisten selama 7 hari yang menunjukkan indeks perburukan efusi sendi atau cairan
purulen tidak dapat dievakuasi maka harus dilakukan arthroskopi atau drainase terbuka
harus segera dilakukan. Beberapa indicator prognostik buruk pada artritis septik sehingga
memerlukan tindakan yang invasif. Indikator ini termasuk lamanya penundaan terapi dari
onset penyakit, usia ekstrim, adanya penyakit sendi yang mendasari, pemakaian obat
imunosupresan, serta adanya osteomyelitis ekstra artikular.

C. Artritis Rematoid
a) DEFINISI
Artritis Rematoid adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya
sendi tangan dan kaki) secara simetris mengalami peradangan, sehingga terjadi
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam
sendi.
Artritis rematoid juga bisa menyebabkan sejumlah gejala di seluruh tubuh.
Penyakit ini terjadi pada sekitar 1% dari jumlah penduduk, dan wanita 2-3 kali lebih
sering dibandingkan pria. Biasanya pertama kali muncul pada usia 25-50 tahun,
tetapi bisa terjadi pada usia berapapun.

b) PENYEBAB
Penyebab yang pasti tidak diketahui, tetapi berbagai faktor (termasuk kecenderungan
genetik) bisa mempengaruhi reaksi autoimun.

c) GEJALA
Artritis rematoid bisa muncul secara tiba-tiba, dimana pada saat yang sama banyak
sendi yang mengalami peradangan.
Biasanya peradangan bersifat simetris, jika suatu sendi pada sisi kiri tubuh terkena,
maka sendi yang sama di sisi kanan tubuh juga akan meradang. Yang pertama kali
meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki, pergelangan
tangan, sikut dan pergelangan kaki.
Sendi yang meradang biasanya menimbulkan nyeri dan menjadi kaku, terutama pada
saat bangun tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas.
Beberapa penderita merasa lelah dan lemah, terutama menjelang sore hari.
Sendi yang terkena akan membesar dan segera terjadi kelainan bentuk. Sendi bisa
terhenti dalam satu posisi (kontraktur) sehingga tidak dapat diregangkan atau dibuka
sepenuhnya.
Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah kelingking, sehingga
tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.
Pembengkakan pergelangan tangan bisa mengakibatkan terjadinya sindroma
terowongan karpal.
Di belakang lutut yang terkena, bisa terbentuk kista, yang apabila pecah bisa
menyebabkan nyeri dan pembengkakan pada tungkai sebelah bawah.
Sekitar 30-40% penderita memiliki benjolan keras (nodul) tepat dibawah kulit, yang
biasanya terletak di daerah sekitar timbulnya penyakit ini. Bisa terjadi demam ringan
dan kadang terjadi peradangan pembuluh darah (vaskulitis) yang menyebabkan
kerusakan saraf atau luka (ulkus) di tungkai.
Peradangan pada selaput di sekitar paru-paru (pleuritis) atau pada kantong di sekitar
jantung (perikarditis) atau peradangan dan pembentukan jaringan parut pada paru-

paru bisa menyebabkan nyeri dada, gangguan pernafasan dan kelainan fungsi
jantung.
Penderita lainnya menunjukkan pembengkakan kelenjar getah bening, sindroma Sj?
gren atau peradangan mata. Penyakit Still merupakan variasi dari artritis rematoid
dimana yang pertama muncul adalah deman tinggi dan gejala umum lainnya.
Sindroma Felty terjadi jika pada penderita artritis rematoid ditemukan pembesaran
limpa dan penurunan jumlah sel darah putih.

d) DIAGNOSA
Criteria for Rheumatoid Arthritis
1. Kaku pagi hari
2. Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih
3. Artritis pada persendian tangan
4. Artritis simetris
5. Nodul reumatoid
6. Faktor reumatoid serum positif
Perubahan gambaran radiologisMembedakan artritis rematoid dari berbagai keadaan
lainnya yang bisa menyebabkan artritis, tidaklah mudah.
Keadaan-keadaaan yang menyerupai artritis rematoid adalah:
- Demam rematik
- Artritis gonokokal
- Penyakit Lyme
- Sindroma Reiter

- Artritis psoriatik
- Spondilitis ankilosing
- Gout
- Pseudogout
- Osteoartritis.

Pola gejalanya sangat khas, tetapi untuk memperkuat diagnosis perlu dilakukan:
Pemeriksaan darah
- 9 dari 10 penderita memiliki laju endap eritrosit yang meningkat
- sebagian besar menderita anemia
- kadang jumlah sel darah putih berkurang
- 7 dari 10 penderita memiliki antibodi yang disebut faktor rematoid; biasanya
semakin tinggi kadar faktor rematoid dalam darah, maka semakin berat penyakitnya
dan semakin jelek prognosisnya. Kadar antibodi ini bisa menurun jika peradangan
sendi berkurang dan akan meningkat jika terjadi serangan.
Pemeriksaan cairan sendi.
Biopsi nodul.
Rontgen, bisa menunjukkan adanya perubahan khas pada sendi.

Mengenali artritis rematoid :


Seseorang yang memiliki 4 dari 5 gejala berikut, kemungkinan menderita artritis
rematoid:

Kekakuan di pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam (selama minimal 6 minggu)
Peradangan (artritis) pada 3 atau lebih sendi (selama minimal 6 minggu)
Artritis pada persendian tangan, pergelangan tangan atau jari tanan (selama minimal
6 minggu)
Faktor rematoid di dalam darah
Perubahan yang khas pada foto rontgen.

e) PENGOBATAN
Prinsip dasar dari pengobatan artrtitis rematoid adalah mengistirahatkan sendi yang
terkena, karena pemakaian sendi yang terkena akan memperburuk peradangan.
Mengistirahatkan sendi secara rutin seringkali membantu mengurangi nyeri.
Pembidaian bisa digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau
beberapa sendi, tetapi untuk mencegah kekakuan, perlu dilakukan beberapa
pergerakan sendi yang sistematis.
Obat-obatan utama yang digunakan untuk mengobati artritis rematoid adalah obat
anti peradangan non-steroid, obat slow-acting, kortikosteroid dan obat
imunosupresif.
Biasanya, semakin kuat obatnya, maka semakin hebat potensi efek sampingnya,
sehingga diperlukan pemantaun ketat.

Obat anti peradangan non-steroid.


Yang paling banyak digunakan adalah ibuprofen.

Obat ini mengurangi pembengkakan pada sendi yang terkena dan meringankan rasa
nyeri.
Aspirin merupakan obat tradisional untuk artritis rematoid; obat yang lebih baru
memiliki lebih sedikit efek samping tetapi harganya lebih mahal.
Dosis awal adalah 4 kali 2 tablet (325 mgram)/hari.
Telinga berdenging merupakan efek samping yang menunjukkan bahwa dosisnya
terlalu tinggi.
Gangguan pencernaan dan ulkus peptikum, yang merupakan efek samping dari dosis
yang terlalu tinggi, bisa dicegah dengan memakan makanan atau antasida atau obat
lainnya pada saat meminum aspirin.
Misoprostol bisa membantu mencegah erosi lapisan lambung dan pembentukan
ulkus gastrikum, tetapi obat ini juga menyebabkan diare dan tidak mencegah
terjadinya mual atau nyeri perut karena aspirin atau obat anti peradangan non-steroid
lainnya.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) umum nya diberikan pada penderita AR
sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat
inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang
bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek
analgesik yang sangat baik.
OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklooxygenase sehingga
menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan enzim
lipooxygenase juga berperanan dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS
berkerja dengan cara:
Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal
Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin,
enzim lisosomal dan enzim lainnya).

Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan


Menghambat proliferasi seluler
Menetralisasi radikal oksigen
Menekan rasa nyeri
Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR,
walaupun OAINS bukanlah merupakan satu satunya obat yang dibutuhkan dalam
pengobatan AR. Hal ini di sebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat
yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR.
Untuk mengatasi proses destruksi tersebut masih diperlukan obat obatan lain yang
termasuk dalam golongan DMARD.

Efek Samping OAINS pada Pengobatan Penderita AR


Semua OAINS secara potensial umumnya ber-sifat toksik. Toksisitas OAINS yang
umum dijumpai adalah efek sampingnya pada traktus gastrointestinalis terutama jika
OAINS digunakan bersama obat obatan lain, alkohol, kebiasaan merokok atau dalam
keadaan stress. Usia juga merupakan suatu faktor risiko untuk mendapatkan efek
samping gastrointestinal akibat OAINS. Pada penderita yang sensitif dapat
digunakan preparat OAINS yang berupa suppositoria, pro drugs, enteric coated,
slow release atau non-acidic. Akhir akhir ini juga sedang dikembangkan OAINS
yang bersifat selektif terhadap jalur COX-2 metabolisme asam arakidonat. OAINS
yang selektif terhadap jalur COX-2 umumnya kurang berpengaruh buruk pada
mukosa lambung dibandingkan dengan preparat OAINS biasa.
Efek samping lain yang mungkin dijumpai pada pengobatan OAINS antara lain
adalah reaksi hiper-sensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta pe-nekanan
sistem hematopoetik.
Selama duapuluh tahun terakhir ini, berbagai jenis OAINS baru dari berbagai
golongan dan cara penggunaan telah dapat diperoleh di pasaran. Dalam memilih

suatu OAINS untuk digunakan pada seorang penderita AR, seorang dokter umumnya
harus mempertimbangkan beberapa hal seperti:
Khasiat anti inflamasi
Efek samping obat
Kenyamanan / kepatuhan penderita
Biaya.
Karena faktor seperti khasiat anti inflamasi, efek analgesik, beratnya efek samping
atau biaya dari berbagai jenis OAINS saat ini umumnya masih tidak jauh berbeda,
sejak beberapa tahun terakhir ini pilihan OAINS lebih banyak bergantung pada
faktor kenyamanan dan kepatuhan penderita dalam menggunakan OAINS.

Obat slow-acting.
Obat slow-acting kadang merubah perjalanan penyakit, meskipun perbaikan
memerlukan waktu beberapa bulan dan efek sampingnya berbahaya. Pemakaiannya
harus dipantau secara ketat.
Obat ini biasanya ditambahkan jika obat anti peradangan non-steroid terbukti tidak
efektif setelah diberikan selama 2-3 bulan atau diberikan segera jika penyakitnya
berkembang dengan cepat.Yang sekarang ini digunakan adalah senyawa emas,
penisilamin, hydroxycloroquinine dan sulfasalazine.

Senyawa emas.

Senyawa emas berfungsi memperlambat terjadinya kelainan bentuk tulang. Biasanya


diberikan sebagai suntikan mingguan.
Suntikan mingguan diberikan sampai tercapai dosis total 1 gram atau sampai
timbulnya efek samping atau terjadinya perbaikan yang berarti.
Jika obat ini efektif, dosisnya dikurangi secara bertahap.

Kadang perbaikan dicapai setelah diberikannya dosis pemeliharaan selama beberapa


tahun.
Senyawa emas bisa menimbulkan efek samping pada beberapa organ, karena itu obat
ini tidak diberikan kepada penderita penyakit hati atau ginjal yang berat atau
penyakit darah tertentu.
Sebelum pengobatan dimulai dan setiap seminggu sekali selama pengobatan
berlangsung, dilakukan pemeriksaan darah dan air kemih.
Efek sampingnya berupa ruam kulit, gatal dan berkurangnya sejumlah sel darah.
Jika terjadi efek samping yang serius, maka pemakaiannya segera dihentikan.

Penisilamin.

Efeknya menyerupai senyawa emas dan bisa digunakan jika senyawa emas tidak
efektif atau menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi.
Dosisnya secara bertahap dinaikkan sampai terjadinya perbaikan.
Efek sampingnya adalah penekanan terhadap pembentukan sel darah di dalam
sumsum tulang, kelainan ginjal, penyakit otot, ruam kulit dan rasa tidak enak di
mulut. Jika terjadi efek samping tersebut, maka pemakaian obat harus dihentikan.
Obat ini juga bisa menyebabkan miastenia gravis, sindroma Goodpasture dan
sindroma yang menyerupai lupus.
Selama pengobatan berlangsung, dilakukan pemeriksaan darah dan air kemih setiap
2-4 minggu sekali.

Hydroxycloroquine.

Digunakan untuk mengobati artritis rematoid yang tidak terlalu berat.

Efek sampingnya biasanya ringan, yaitu berupa ruam kulit, sakit otot dan kelainan
mata. Tetapi beberapa kelainan mata bisa menetap, sehingga penderita yang
mendapatkan obat ini harus memeriksakan matanya sebelum dilakukan pengobatan
dan setiap 6 bulan selama pengobatan berlangsung.
Jika setelah 6 bulan tidak menunjukkan perbaikan, maka pemberian obat ini
dihentikan. Jika terjadi perbaikan, pemakaian obat ini bisa dilanjutkan sesuai dengan
kebutuhan.

Sulfasalazine.

Obat ini semakin banyak digunakan untuk mengobati artritis rematoid.


Dosisnya dinaikkan secara bertahap dan perbaikan biasanya terjadi dalam 3 bulan.
Sulfasalazine bisa menyebabkan gangguan pencernaan, kelainan hati, kelainan sel
darah dan ruam kulit.

Kortikosteroid.
Kortikosteroid (misalnya prednison) merupakan obat paling efektif untuk
mengurangi peradangan di bagian tubuh manapun.
Kortikosteroid efektif pada pemakaian jangka pendek dan cenderung kurang efektif
jika digunakan dalam jangka panjang, padahal artritis rematoid adalah penyakit yang
biasanya aktif selama bertahun-tahun.
Kortikosteroid biasanya tidak memperlambat perjalanan penyakit ini dan pemakaian
jangka panjang menyebabkan berbagai efek samping, yang melibatkan hampir setiap
organ.

Efek samping yang sering terjadi adalah penipisan kulit, memar, osteoporosis,
tekanan darah tinggi, kadar gula darah yang tinggi dan katarak.
Karena itu obat ini biasanya digunakan untuk mengatasi kekambuhan yang
mengenai beberapa sendi atau jika obat lainnya tidak efektif.
Kortikosteroid juga digunakan untuk mengobati peradangan diluar sendi, seperti
peradangan selaput paru-paru (pleuritis) atau peradangan kantong jantung
(perikarditis).
Untuk menghindari resiko terjadinya efek samping, maka hampir selalu digunakan
dosis efektif terendah.
Obat ini bisa disuntikkan langsung ke dalam sendi, tetapi bisa menyebabkan
kerusakan jangka panjang, terutama jika sendi yang terkena digunakan secara
berlebihan sehingga mempercepat terjadinya kerusakan sendi.

Obat imunosupresif.
Obat imunosupresif (contohnya cyclophosphamide) efektif untuk mengatasi artritis
rematoid yang berat.
Obat ini menekan peradangan sehingga pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau
diberikan kortikosteroid dosis rendah.
Efek sampingnya berupa penyakit hati, peradangan paru-paru, mudah terkena
infeksi, penekanan terhadap pembentukan sel darah di sumsum tulang dan
perdarahan kandung kemih (karena cyclophosphamide).
Sselain itu cyclophosphamide bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker.
Metotreksat diberikan per-oral (ditelan) 1 kali/minggu, digunakan untuk mengobati
artritis rematoid stadium awal.

Cyclophosphamide,Siklosporin bisa digunakan untuk mengobati artritis yang berat


jika obat lainnya tidak efektif.

Terapi lainnya.
Bersamaan dengan pemberian obat untuk mengurangi peradangan sendi, bisa
dilakukan latihan-latihan, terapi fisik, pemanasan pada sendi yang meradang dan
kadang pembedahan.
Sendi yang meradang harus dilatih secara halus sehingga tidak terjadi kekakuan.
Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan aktif yang rutin, tetapi jangan
sampai terlalu lelah. Biasanya latihan akan lebih mudah jika dilakukan di dalam air.
Untuk mengobati persendian yang kaku, dilakukan latihan yang intensif dan kadang
digunakan pembidaian untuk meregangkan sendi secara perlahan.
Jika pemberian obat tidak membantu, mungkin perlu dilakukan pembedahan.
Untuk mengembalikan pergerakan dan fungsinya, biasanya dilakukan pembedahan
untuk mengganti sendi lutut atau sendi panggul dengan sendi buatan.
Persendian juga bisa diangkat atau dilebur (terutama pada kaki), supaya kaki tidak
terlalu nyeri ketika digunakan untuk berjalan.
Ibu jari bisa dilebur sehingga penderita bisa menggenggam dan tulang belakang di
ujung leher yang tidak stabil bisa dilebur untuk mencegah penekanan terhadap urat
saraf tulang belakang.
Penderita yang menjadi cacat karena artritis rematoid bisa menggunakan beberapa
alat bantu untuk menyelesaikan tugas sehari-harinya. Contohnya adalah sepatu
ortopedik khusus atau sepatu atletik khusus.

D. Artritis gout

E. Osteomyelitis
Osteomielitis adalah infeksi tulang, lebih sulit di sembuhkan dari pada infeksi jaringan
lunak, karena terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi , tingginya
tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (Pembentukan tulang baru disekeliling
jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis yang akan
mempengaruhi kualitas hidup atau mengakibatkan kehilangan ekstremitas.
Infeksi disebabkan oleh penyebaran hematogen (melalui darah) dari fukos infeksi di
tempat lain ( misalnya : tonsil yang terinfeksi, lepuh, gigi terinfeksi, infeksi saluran
nafas ). Osteomielitis akibat penyebaran hematogen biasanya terjadi di tempat di mana
terdapat trauma atau di mana terdapat resistensi rendah, kemungkinan akibat trauma
subklinis.
Infeksi dapat berhubungan dengan penyebaran infeksi jaringan lunak (misalnya : ulkus
dekubitus yang terinfeksi atau ulkus vaskuler) atau kontaminasi langsung tulang
(misalnya : fraktur terbuka, cedera traumatic seperti luka tembak, pembedahan tulang).
Pasien yang beresiko tinggi mengalami Osteomielitis adalah mereka yang nutrisinya
buruk, lansia, kegemukan, atau penderita diabetes mellitus. Selain itu, pasien yang
menderita artitis rheumatoid, telah di rawat lama di rumah sakit, mendapat terapi
kortikosteroid jangka panjang, menjalani pembedahan sendi sebelum operasi sekarang,
atau sedang mengalami sepsis rentan, begitu pula yang menjalani pembedahan ortopedi
lama, mengalami infeksi luka mengeluarkan pus, mengalami nefrosis insisi margial atau
dehidrasi luka, atau memerlukan evakuasi hematoma pascaoperasi.
Etiologi
* Staphylococcus aureus 70% 80 %
* Proteus
* Pseudomonas
* Escerehia Coli
Faktor predisposisi
1. Umur, terutama mengenai bayi dan anak-anak
2. Jenis kelamin; lebih sering pada laki-laki
3. Trauma; hematoma akibat trauma pada daerah metafisis

4. Lokasi; pada daerah metafisis, karena merupakan daerah aktif terjadinya pertumbuhan
tulang
5. Nutrisi; lingkungan dan imunitas yang buruk serta adanya fokus infeksi sebelumnya
Patofisiologi
Staphylococcus aureus merupakan penyebab 70% sampai 80% infeksi tulang. Organisme
patogenik lainnya yang sering dijumpai pada Osteomielitis meliputi : Proteus,
Pseudomonas, dan Escerichia Coli. Terdapat peningkatan insiden infeksi resistensi
penisilin, nosokomial, gram negative dan anaerobik.
Awitan Osteomielitis stelah pembedahan ortopedi dapat terjadi dalam 3 bulan pertama
(akut fulminan stadium 1) dan sering berhubngan dengan penumpukan hematoma atau
infeksi superficial. Infeksi awitan lambat (stadium 2) terjadi antara 4 sampai 24 bulan
setelah pembedahan. Osteomielitis awitan lama (stadium 3) biasanya akibat penyebaran
hematogen dan terjadi 2 tahun atau lebih setelah pembedahan.
Respon inisial terhadap infeksi adalah salah satu dari inflamasi, peningkatan
vaskularisasi, dan edema. Setelah 2 atau 3 hari, trombisis pada pembuluh darah terjadi
pada tempat tersebut, mengakibatkan iskemia dan nefrosis tulang sehubungan dengan
penigkatan tekanan jaringan dan medula. Infeksi kemudian berkembang ke kavitas
medularis dan ke bawah periosteum dan dapat menyebar ke jaringan lunak atau sendi di
sekitarnya. Kecuali bila proses infeksi dapat dikontrol awal, kemudian akan membentuk
abses tulang.
Pada perjalanan alamiahnya, abses dapat keluar spontan namun yang lebih sering harus
dilakukan insisi dan drainase oleh ahli bedah. Abses yang terbentuk dalam dindingnya
terbentuk daerah jaringan mati (sequestrum) tidak mudah mencari dan mengalir keluar.
Rongga tidak dapat mengempis dan menyembuh, seperti yang terjadi pada jaringan
lunak. Terjadi pertumbuhan tulang baru (involukrum) dan mengelilingi sequestrum. Jadi
meskipun tampak terjadi proses penyembuhan, namun sequestrum infeksius kronis yang
ada tetap rentan mengeluarkan abses kambuhan sepanjang hidup pasien. Dinamakan
osteomielitis tipe kronis.
Penyebaran osteomyelitis terjadi melalui dua cara, yaitu :

1. Penyebaran umum
Melalui sirkulasi darah berupa bakteriemi dan septikemi,
Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah lain.
2. Penyebaran local
Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periosteum,
Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit,
Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septic.
Penyebaran ke medulla tulang sekitarnya sehingga system sirkulasi dalam tulang
terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan terbentuknya tulang mati
(sekuester)
Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu :
1. Teori vascular (Trueta)
Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok, membentuk sinus-sinus dengan
akibat aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran ini akan menyebabkan mudahnya bakteri
untuk berkembang biak.
2. Teori fagositosis (Rang)
Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan RES. Bila terjadi infeksi, bakteri akan
difagosit oleh sel-sel fagosit matur di tempat ini. Meskipun demikian, di daerah ini
terdapat juga sel-sel fagosit immatur yang tidak dapat memfagosit bakteri, sehingga
beberapa bakteri tidak difagositer dan berkembang biak di daerah ini.
3. Teori trauma
Bila trauma artificial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi hematoma
pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntkkan bakteri secara intravena, akan terjadi
infeksi pada daerah hematoma tersebut..
Pada tahap selanjutnya, penyakit akan berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada
daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang
membentuk abses tulang kronis (abses Brodie).
Bedasarkan umur dan pola vaskularisasi pada daerah metafisis dan epifisis, trueta
membagi proses patologi pada osteomyelitis hematogen akut atas tiga jenis :
1. Bayi

Adanya pola vaskularisasi foetal menyebabkan penyebaran infeksi dari metafisis dan
epifisis dengan masuk kedalam sendi, sehingga seluruh tulang termasuk sendi dapat
terkena.lempeng epifisis biasanya lebih resisten terhadap infeksi.
2. Anak
Dengan terbentuknya lempeng epifisis serta osifikasi yang sempurna, resiko infeksi pada
epifisis berkurang karena lempeng epifisis merupakan barier terhadap infeksi. Selain itu,
tidak ada hubungan vaskularisasi yang berarti antara metafisis dan epifisis. Infeksi pada
sendi hanya dapat terjadi bila ada infeksi intraartikular.
3. Dewasa
Osteomyelitis hematogen akut sangat jarang terjadi karena lempeng epifisis telah hilang.
Walaupun infeksi dapat menyebar ke epifisis, namun infeksi intraartikuler sangat terjadi.
Abses subperiosteal juga sulit terjadi karena periosteum melekat erat dengan korteks.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis osteomielitis hematogen tergantung dari stadium patogenesis dari
penyakit. Osteomielitis hematogen akut berkembang secara progresif/cepat. Pada
keadaan ini mungkin dapat ditemukan adanya infeksi bacterial pada kulit dan saluran
nafas bagian atas.Gejala dapat berupa nyeri yang konstan pada daerah infeksi, nyeri
tekan dan terdapat gangguam anggota gerak yang bersangkutan.
Klasifikasi
Osteomielitis dapat diklasifikasikan dua macam yaitu:
* Osteomielitis Primer
Penyebarannya secara hematogen dimana mikroorganisme berasal dari focus ditempat
lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
* Osteomielitis Sekunder (Osteomielitis Perkontinuitatum)
Terjadi akibat penyebaran kuman dari sekitarnya akibat dari bisul, luka fraktur dan
sebagainya.
Tanda dan Gejala
Gambaran klinis osteomielitis tergantung dari stadium patogenesis dari penyakit, dapat
berkembang secara progresif atau cepat. Pada keadaan ini mungkin ditemukan adanya

infeksi bacterial pada kulit dan saluran napas bagian atas. Gejala lain dapat berupa nyeri
yang konstan pada daerah infeksi dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang
bersangkutan.
Manifstasi Klinis
Jika infeksi dibawa oleh darah, biasanya awaitan mendadak, sering terjadi dengan
manifetasi klinis septikema (misalnya : menggigil, demam tinggi, tachycardia dan
malaise umum). Gejala sistemik pada awalnya dapat menutupi gejala local secara
lengkap. Setelah infeksi menyebar dari rongga sumsum ke korteks tulang, akan
mengenai posterium, dan jaringan lunak, dengan bagian yang terinfeksi menjadi nyeri,
bengkak, dan sangat nyeri tekan. Pasien menggambarkan nyeri konstan berdenyut yang
semakin memberat dengan gerakan dan berhubungan dengan tekanan pus yang
terkumpul.
Bila osteomielitis terjadi akibat penyebaran dari infeksi di sekitarnya atau kontaminasi
langsung, tidak akan ada gejala septikemia. Daerah terinfeksi membengkak, hangat,
nyeri, dan nyeri tekan.
Pada pasein dengan osteomielitis kronik ditandai dengan pus yang selalu mengalir keluar
dari sinus atau mengalami periode berulang nyeri, inflamasi, pembengkakan dan
pengeluaran pus. Infeksi derajat rendah terjadi pada jaringan parut akibat kurangnya
asupan darah.
Evaluasi Diagnostik
Pada Osteomielitis akut ; pemeriksaan sinar-x hanya menunjukan pembengkakan
jaringan lunak. Pada sekitar 2 minggu terdapat daerah dekalsifikasi ireguler, nefrosis
tulang, pengangkatan periosteum dan pembentukan tulang baru. Pemindaian tulang dan
MRI dapat membantu diagnosis definitive awal. Pemeriksaan darah memperhatikan
peningkatan leukosit dan peningkatan laju endap darah. Kulur darah dan kultur abses
diperlukan untuk menentukan jenis antibiotika yang sesuai.
Pada Osteomielitis kronik, besar, kavitas ireguler, peningkatan periosteum, sequestra atau
pembentukan tulang padat terlihat pada sinar-x. Pemindaian tulang dapat dilakukan
untuk mengidentifikasi area terinfeksi. Laju sedimentasi dan jumlah sel darah putih

biasanya normal. Anemia, dikaitkan dengan infeksi kronik. Abses ini dibiakkan untuk
menentukan organisme infektif dan terapi antibiotic yang tepat.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah
Sel darah putih meningkat sampai 30.000 L gr/dl disertai peningkatan laju endapan
darah.
2. Pemeriksaan titer antibodi anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur darah untuk menentukan bakteri (50% positif) dan diikuti dengan uji
sensitivitas.
3. Pemeriksaan feses
Pemeriksaan feses untuk kultur dilakukan apabila terdapat kecurigaan infeksi oleh
bakteri Salmonella.
4. Pemeriksaan Biopsi tulang.
5. Pemeriksaan ultra sound
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya efusi pada sendi.
6. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan photo polos dalam 10 hari pertama tidak ditemukan kelainan radiologik,
setelah dua minggu akan terlihat berupa refraksi tulang yang bersifat difus.

Prinsip penatalaksanaan
Daerah yang terkena harus diimobilisasi untuk mengurangi ketidaknyamanan dan
mencegah terjadinya fraktur. Dapat dilakukan rendaman salin hangat selama 20 menit
beberapa kali per hari untuk meningkatkan aliran darah.
Sasaran awal terapi adalah mengontrol dan menghentikan proses infeksi. Kultur darah,
swab dan kultur abses dilakukan untuk mengidentifikasi organisme dan memilih
antibiotika yang terbaik. Kadang, infeksi disebabkan oleh lebih dari satu pathogen.
Begitu spesimen kultur diperoleh dimulai terapi antibiotika intravena, dengan asumsi
bahwa dengan infeksi staphylococcus yang peka terhadap peningkatan semi sintetik atau
sefalosporin. Tujuannya adalah mengontrol infeksi sebelum aliran darah ke daerah
tersebut menurun akibat terjadinya trombosis. Pemberian dosis antibiotika terus menerus
sesuai waktu sangat penting untuk mencapai kadar antibiotika dalam darah yang terus-

menerus tinggi. Antibiotika yang paling sensitif terhadap organisme penyebab yang
diberikan bila telah diketahui biakan dan sensitivitasnya. Bila infeksi tampak telah
terkontrol antibiotika dapat diberikan per oral dan dilanjutkan sampai 3 bulan. Untuk
meningkatkan absorpsi antibiotika oral, jangan diminum bersama makanan.
Bila pasien tidak menunjukkan respons terhadap terapi antibioka, tulang yang terkena
harus dilakukan pembedahan, jaringan purulen dan nekrotik dinagkat dan daerah itu
diirigasi secara langsung dengan larutan salin fisiologis steril. Terapi antibiotika
dilanjutkan.
Pada osteomielitis kronik, antibiotika merupakan ajuvan terhadap debridemen bedah.
Dilakukan sequestrektomi (pangangkatan involukrum secukupnya supaya ahli bedah
dapat mengangkat sequestrum). Kadang harus dilakukan pengangkatan tulang untuk
menjalankan rongga yang dalam menjadi cekungan yang dangkal (saucerization). Semua
tulang dan kartilago yang terinfeksi dan mati diangkat supaya dapat terjadi penyembuhan
yang permanen.
Luka dapat ditutup rapat untuk menutup rongga mati (dead space) atau dipasang tampon
agar dapat diisi oleh jaringan grunulasi atau dilakukan grafting dikemudian hari. Dapat
dipasang drainase berpenghisap untuk mengontrol hematoma dan membuang debris.
Dapat diberikan irigasi larutan salin normal selama 7 sampai 8 hari. Dapat terjadi infeksi
samping dangan pemberian irigasi ini.
Rongga yang didebridemen dapat diisi dangan grafit tulang kanselus untuk merangsang
penyembuhan. Pada defek yang sangat besar, rongga dapat diisi dengan transfer tulang
berpembuluh darah atau flap otot (dimana suatu otot diambil dari jaringan sekitarnya
namun dengan pembuluh darah yang utuh). Teknik bedah mikro ini akan meningkatkan
asupan darah, perbaikan asupan darah kemudian akan memungkinkan penyembuhan
tulang dan eradikasi infeksi. Prosedur bedah ini dapat dilakukan secara bertahap untuk
menyakinkan penyembuhan. Debridemen bedah dapat melemahkan tulang, yang
kemudian memerlukan stabilisasi atau penyokong dengan fiksasi interna atau alat
penyokong eksterna untuk mencegah terjadinya patah tulang.
Pencegahan

Pencegahan Osteomielitis adalah sasaran utamanya. Penanganan infeksi fokal dapat


menurunkan angka penyebaran hematogen. Penanganan infeksi jaringan lunak dapat
mengontrol erosi tulang. Pemilihan pasien dengan teliti dan perhatikan terhadap
lingkungan operasi dan teknik pembedahan dapat menurunkan insiden osteomielitis
pascaoperasi.
Antibioika profilaksis, diberikan untuk mencapai kadar jaringan yang memadai saat
pembedahan dan Selma 24 sampai 48 jam setelah operasi akan sangat membantu. Teknik
perawatan luka pascaoperasi aseptic akan menurunkan insiden infeksi superficial dan
potensial terjadinya osteomielitis.
Osteomyelitis Hematogen Subacute
Gejala Osteomyelitis hematogen subacute lebih ringan oleh karena organisme yang
menyebabkan kurang purulen dan penderita lebih resisten
Etiologi
Osteomyelitis hematogen subacute biasanya disebabkan oleh staphylococcus aureus dan
umumnya berlokasi dibagian distal femur dan proksimal tibia.
Patologi
Biasanya terdapat cavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung
cairan semipurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri dari sel-sel
inflamasi acute dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula
Gambaran Klinis
Atrofi otot
Nyeri local
Sedikit pembengkakan
Dan dapat pula penderita menjadi pincang
Terdapat rasa nyeri pada daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin
berbulan-bulan.
Suhu tubuh penderita biasanya normal
Diagnosis
Foto roentgen biasanya ditemukan kavitas berdiameter 1-2 cm, terutama pada daerah
metafisis dari tibia dan femur atau kadang-kadang pada daerah diafisis tulang panjang.
Pemeriksaan labratorium
Leukosit normal

LED meningkat
Pengobatan
Pengobatan yang diberikan berupa pemberian antibiotic yang adekuat selam 6 minggu,
apabila diagnosis ragu-ragu, maka dapat dilakukan biopsy dan kuretase.
Osteomyelitis Sklerosing/Garre
Adalah suatu osteomyelitis subacute dan terdapat kavitas yang dikelilingi jaringan
sclerotic pada daerah metafisis, dan diaphisis tulang panjang. Penderita biasanya remaja
dan orang dewasa, terdapat rasa nyeri dan sedikit pembengkakan pada tulang
Pemeriksaan radiologist terlihat adanya kavitas yang dilingkari jaringan sklerotis dan
tidak ditemukan kavitas yang sentral, hanya berupa suatu cavitas yang difus.
Pengobatan
Eksisi
Kuretase
Osteomyelitis Pasca Trauma
Osteomyelitis akibat fraktur terbuka merupakan osteomylitis yang paling sering
ditemukan pada orang dewasa. Pada suatu fraktur terbuka dapat ditemukan kerusakan
jaringan, kerusakan pembuluh darah, edema, hematoma dan hubungan antara fraktur dan
dunia luar. Sehingga pada fraktur terbuka umumnya menjadi infeksi,
Etiologi
Staphylokokus aureus, E. Colli, pseudomonas dan kadang-kadang oleh bakteri anaerobic,
seperti clostridium, streptococcus anaerob atau bakteriodes.
Gambaran Klinis
Demam
Nyeri
Pembengkakan pada daerah fraktur
Dan sekresi pus pada luka
Laboratorium
Pada fraktur terbuka perlu dilakukan pemeriksaan biakan kuman guna menentukan
kuman penyebabnya, pada pemeriksaan darah ditemukan leukositosis dan peningkatan
LED.
Pengobatan

Prinsip penanganan pada kelainan ini sama dengan osteomyelitis lainnya, pada fraktur
terbuka sebaiknya dilakukan pencegahan infeksi melalui pembersihan dan debridement
luka. Luka dibiarkan terbuka dan diberikan antibiotic adekuat.
Osteomyelitis Pasca Operasi
Osteomyelitis jenis ini terjadi setelah suatu operasi tulang (terutama pada operasi yang
menggunakan implant), dimana invasi bakteri disebabkan oleh lingkungan bedah. Gejala
infeksi dapat timbul segera setelah operasi atau beberapa bulan kemudian
Osteomyelitis pasca operasi yang paling ditakuti adalah osteomyelitis setelah suatu
operasi artoplasty. Pada keadaan ini pencegahan lebih penting dari pada pegobatan.
Pengobatan
Pada operasi tanpa implant : pengobatannya sama dengan ostemyelitis post trauma
dengan kerusakan jaringan yang sedikit.
Pada fraktur yang difiksasi internal : Antibiotik IV dengan dosis besar, bila ada abses
harus didrainase dan luka dibiarkan terbuka sampai bersih, jika gagal eksisi bagiang yang
infeksi dan nekrosis, dan diirigasi dengan antibiotic secara intermitten dan suction
drainasse mungkin dapat mengontrol infeksi dan mencegah terjadinya osteomyelitis
kronis.
Osteomyelitis Kronis
Osteomyelitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomyelitis akut yang tidak
terdiagnosis, atau tidak diobati dengan baik. Osteomyelitis kronis dapat juga terjadi
setelah fraktur terbuka atau setelah operasi pada tulang
Etiologi
Bakteri penyebab osteomyelitis kronis terutama oleh staphylokokus aureus atau E. Colli,
proteus, pseudomonas. Staphylokokus epidermidis merupakan penyebab utama
osteomyelitis kronis pada operasi-operasi orthopedic yang menggunakan implant.
Patologi dan Patogeneses
Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya
resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekustrum ini merupakan
benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka (pada tulang) dan
sinus (pada kulita) sekuetrum diselimuti oleh involucrum yang tidak dapat keluar atau

dibersihkan dari medulla tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses selanjutnya
terjadi destruksi dan sclerosis tulang yang dapat ditunjukanan melalui foto roentgen.
Gambaran klinis
Keluarnya cairan dari luka atau sinus setelah operasi, yang bersifat menahun.
Demam
Nyeri local yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu
Pada Pemeriksaan Fisik : adanya sinus, fistel, atau sikatrik bekas operasi dengan nyeri
tekan, mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit.
Biasanya terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomyelitis pada penderita
Laboratorium
Peningkatan LED
Leukositosis
Peningkatan titer antibody anti staphylococcus
Pemeriksaan kultur dan uji sensitifitas diperlukan untuk menentukan organisme
penyebabnya
Pemeriksaan radiologist
Foto polos : ditemukan tanda-tanda porosis dan sclerosis tulang, penebalan periost,
elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuetrum
Radiology scanning : membantu menegakkan diagnosis osteomyelitis kronis.
CT Scan dan MRI : bermanfaat untuk membuat rencana pengobatan serta untuk melihat
sejauh mana kerusakan tulang yang terjadi.
Pengobatan
1. Pemberian antibiotic : untuk mencegah terjadinya penyebaran infeksi pada tulang
sehat lainnya, mengontrol eksaserbasi akut
2. Tindakan opertif : dilakukan bila fase eksaserbasi akut telah reda, setelah pemberian
antibotik yang adekuat, operasi yang dilakukan bertujuan untuk mengeluarkan seluruh
jaringan nekrotik, baik jaringan lunak maupun jaringan tulang (sekuestrum) sampai
jaringan sehat sekitarnya. Selanjutnya dilakukan drainasse kemudian irigasi secara
kontinu selama beberapa hari. Adakalanya diperlukan penanaman rantai antibiotic
didalam bagian tulang yang infeksi. Sebagai dekompresi pada tulang dan memudahkan
antibiotik mencapai sasaran dan mencegah penyebaran osteomyelitis lebih lanjut.
Komplikasi
1. Kontraktur sendi
2. Penyakit ameloid
3. Fraktur patologis

4. Perubahan menjadi ganas pada jaringan epidermis


5. Kerusakan epiphisis sehingga terjadi gangguan pertumbuhan.
Infeksi tuberkulosa
Tuberkolosis Tulang dan Sendi
Faktor predisposisi tuberculosis adalah :
- Nutrisi dan sanitasi yang jelek
- Ras ; banyak ditemukan pada orang Asia, Meksiko, Indian dan Negro
- Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris
- Umur ; terutama ditemukan setelah umur satu tahun, paling sering pada umur 2-10
tahun.
- Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisela dapat memprovokasi kuman.
- Masa kehamilan dan pubertas dapat mengaktifkan tuberculosis.
Patologi :
1. Primer kompleks
Lesi primer biasanya pada paru-paru, faring atau usus dan kemudian pada saluran limfe
menyebar ke limfonodus regional dan disebut sebagai kompleks primer
2. Penyebaran Sekunder
Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi
darah menghasilkan tuberculosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah
beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstrapulmoner.
3. Lesi tersier
Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberculosis paru
akan menyebar dan berakhir sebagai tuberculosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasuskasus tuberculosis paru masih tinggi dan kasus tuberculosis tulang dan sendi juga
diperkirakan masih tinggi.
Osteomyelitis Tuberkulosa.
Osteomyelitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan
tuberkulosa dari tempat lain terutama dari paru-paru.Seperti pada osteomyelitis
hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya
mengenai anak-anak.Perbedaannya, osteomyelitis hematogen akut umumnya terdapat
pada daerah metafisis sementara osteomyelitis tuberkulosa terutama mengenai daerah
tulang belakang.
Spondilitis Tuberkulosa (Penyakit Pott)
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh

mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi


sekunder dari focus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793) adalah penulis
pertama tentang penyakit ini dan menyatakan terdapat hubungan antara penyakit ini
dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga
penyakit Pott.
Insidens
Spondilitis tuberkulosa mrupakan 50% dari seluruh tuberkulosis tulang dan sendi yang
terjadi. Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok umur 2-10 tahun
engan perbandingan yang sama antara wanita dan pria.
Etiologi
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat
lain dari tubuh.90-95 % disebabkan oleh M.tuberculosis typik, 5-10 % oleh
M.tuberkulosis atypik. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra
torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu
tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebabnya melalui vena paravertebralis.
Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari
bagian sentral bagian depan atau daerah epifisial corpus vertebra. Kemudian terjadi
hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus.
Selanjutnya terjadi kerusakan pada kortek epifisis, discus intervertebralis dan vertebra
sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, caseosa, tulang yang fibrosis serta
basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi.
Gambaran Klinis
Riwayat sakit lama (tulang belakang )
Cold abces, paresthesia, weakness, gangguan vegetatif
Pemeriksaan Fisik
Look : deformitas berupa gibbus
adanya abses ( cold abcess )
Feel : Teraba tnjolan di tulang belakang
Adanya fluktuasi abses
Gangguan sensoris
Move : Terbatasnya gerak tulang

Berkurangnya kekuatan otot


Pemeriksaan Penunjang
LED meningkat
Mantoux test (+)
Biopsi jarum
PCR
Radiologis :
Adanya destruksi corpus vertebra
Angulasi ke posterior (gibbus)
Paravertebral abses
Penyempitan disus intervertebralis
Penatalaksanaan
Obat TB : Rifampicin : Dosis oral10mg/KgBB per hari
Pirazinamid : maximal dose 1500 mg
INH : Dosis oral 5 mg/KgBB per hari.
Etambutol : Dosis oral 15-25 mg/KgBB per hari
Standar pengobatan terbagi dua kategori, yaitu :
1. Kategori I
Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/Rontgen (+), diberikan dalam dua tahap,
yakni :
Tahap I : Diberikan Rifampicin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg dan
Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama dua bulan pertama (60 kali)
Tahap II : Diberikan Rifampicin 450 mg, INH 600 mg. Obat diberikan tiga kali
seminggu (intermiten) selama empat bulan (54 kali)
2. Kategori II
Untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih dari sebulan,
termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal, yang diberikan dalam dua
tahap, yaitu :
Tahap I : Diberikan Streptomycin 750 mg (injeksi), INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari, Streptomycin
injeksi hanya dua bulan pertama, dan obat lainnya selama tiga bulan (90 kali)
Tahap II : Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama lima bulan (66 kali)

Kriteria penghentian penggunaan obat dilakukan apabila :


1. Keadaan Umum penderita bertambah baik.
2. LED menurun
3. Gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang
4. Gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebrae yang terserang.
Syarat Konservatif :
Tidak ada abses
Tidak adadefisit neurologis
Tidak ada kifosis

2. . KRITERIA PEMBEDAHAN OSTEOARTRITIS


Terapi pembedahan. Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis dan rehabilitasi
tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit; dan juga untuk melakukan koreksi
apabila terjadi deformitas yang menimbulkan gangguan mobilisasi sendi yang
mengganggu aktifitas sehari-hari1,3. Operasi dipertimbangkan pada pasien dengan
kerusakan sendi yang nyata, dengan nyeri yang menetap dan kelemahan fungsi4.
Berdasarkan algoritma management OA lutut yang baru terdiagnosa, terapi
pembedahan pada OA bisa dilakukan setelah 18 minggu nyeri OA lutut yang tidak
dapat dikontrol dengan baik. Namun algoritma ini tidak mutlak mengingat terapi OA
yang sebaiknya bersifat individual dan fleksibel6. Teknik yang digunakan adalah
total joint arthroplasty dan revision arthroplasty. Sebelum diputuskan untuk
melakukan terapi pembedahan, harus dipertimbangkan terlebih dahulu risiko dan
keuntungannya.
Pada pasien ini tidak sampai dilakukan terapi pembedahan karena nyeri yang dirasa
pasien tidak sampai membuat pasien tidak melakukan aktivitas sehari-harinya.
Selain itu bila didasarkan pada algoritma penatalaksanaan OA lutut yang baru

3. PROSES KALSIFIKASI TULANG


Faktor tumbuh kembang memegang peranan penting dalam bidang ortodonsi,
terutama tumbuh kembang tulang oleh karena akan menentukan status kematangan
tulang. Evaluasi kematangan tulang sangat penting dalam rencana dan perawatan
ortodonsi oleh karena terdapat variasi individual dalam waktu, durasi dan kecepatan
pertumbuhan. Perkiraan potensi pertumbuhan penting diketahui pada perawatan
dengan penarikan ekstra oral, penggunaan alat ortodonsi fungsional dan tindakan
ortodonsi bedah. Perkiraan baik waktu maupun jumlah aktif pertumbuhan,
khususnya kompleks kraniofasial akan sangat berguna bagi ahli ortodonsi.
Tulang selain berguna untuk menetapkan kematangan tulang, dalam bidang
ortodonsia sangat penting peranannya oleh karena kualitas tulang sangat menentukan
keberhasilan pergerakan gigi. Kualitas tulang ditentukan oleh banyaknya kalsifikasi
tulang. Kematangan tulang dapat ditentukan dari banyaknya kalsifikasi tulang.
Kalsifikasi tulang pada dasarnya adalah pengendapan mineral terutama kalsium dan
fosfor ke dalam matriks organik tulang. Terdapat beberapa metode untuk mengukur
kematangan tulang, yaitu: 1) radiografi tulang tangan dan telapak tangan, salah
satunya adalah dengan Tanner White House 2 (TW2).
Banyaknya kalsifikasi pada tulang akan menyebabkan gambaranradiopaque yang
menandai pemunculan tulang karpal dan tulang telapak tangan kemudian
dibandingkan dengan atlas standar pertumbuhan tulang; 2) penggunaan sefalometri
radiografi vertebra servikal dengan mengukur pemunculan lempeng epifisis dari
prosesus odontoid servikal; 3) pengukuran densitas tulang dengan beberapa metode
diantaranya adalah DXA (X-ray absorptiometry)6 dan fotodensitometri; 4) secara
histologis dengan mengukur lebar lempeng epifisis pada tulang panjang, misalnya:
femur, radius, dan ulna. Secara histologis ketebalan lempeng epifisis menunjukkan
potensi tumbuh kembang tulang, dengan demikian dapat digunakan untuk mengukur
kualitas dan kematangan tulang.
Pertumbuhan memanjang pada tulang panjang disebabkan oleh adanya proliferasi
pada zona tenang dan zona proliferasi lempeng efifisis.

Terdapat dua metabolisme utama dalam pembentukan tulang yang rentan terhadap
kekurangan nutrien, diantaranya adalah protein, yaitu: proses sintesis protein untuk
membentuk matriks organik tulang yang terdiri dari jaringan kolagen dan non
kolagen protein. Sintesis protein yang normal diperlukan untuk perkembangan
jaringan lunak dan keras diantaranya tulang.
Kekurangan protein akan menyebabkan perubahan pada timbunan asam amino,hal
tersebut mengakibatkan hambatan reaksi sintesis protein sehingga menimbulkan
hambatan juga dalampembentukan matriks organik tulang.
Proses berikutnya adalah kalsifikasi tulang, pada tahap ini mineral diantaranya
kalsium dan fosfor diendapkan dalam matriks tulang. Jika terdapat hambatan dalam
pembentukan matriks organik, maka akan ada hambatan juga dalam proses
kalsifikasi tulang sehingga terjadi penurunan kadar mineral tulang, diantaranya
kalsium dan fosfor tulang.
Protein merupakan nutrien yang sangat penting dalam masa kehamilan untuk
tercapainya perkembangan optimal anak termasuk tulang.2023 Protein yang cukup
tetap dibutuhkan anak sesudah kelahiran untuk mendukung tumbuh kembang yang
optimal. Kekurangan bahan tersebut pada masa pertumbuhan akan menghambat
pertumbuhan.
Protein berfungsi untuk membentuk matriks organic tulang, sehingga kekurangan
protein sejak prenatal akan menghambat pembentukan matriks organik. Pada proses
kalsifikasi tulang, mineral diantaranya kalsium dan fosfor dideposisikan ke dalam
matriks organik, salah satu fungsi protein dalam hubungannya dengan kalsium
adalah bahwa plasma kalsium (40%) terikat dengan protein sebagai timbunan.
Dengan banyaknya persentase plasma kalsium yang terikat dengan protein, dapat
diartikan protein sangat penting untuk pengikatan kalsium. Kekurangan protein akan
menyebabkan hambatan metabolisme kalsium. Hal ini juga dapat dibuktikan dari
hasil penelitian ini, yaitu terdapat penurunan yang bermakna kadar kalsium tulang.
Hambatan pembentukan matriks organik oleh karena kekurangan protein akan

menyebabkan berkurangnya deposisi mineral terutama kalsium dan fosfor dalam


matriks tersebut, sehingga menyebabkan penurunan kadar kalsium dan fosfor tulang.
Hal ini terbukti dengan penurunan kadar kalsium, fosfor tulang pada kelompok
dengan kekurangan protein pre dan post natal. Penurunan
kadar kalsium dan fosfor tulang menyebabkan hambatan kalsifikasi tulang, hal
tersebut dapat dibuktikan dengan masih lebarnya lempeng epifisis pada kelompok II.
Matriks tulang merupakan komponen organik, terutama terdiri dari kolagen tipe I
yang dapat memberikan daya rentang dan komponen anorganik terutama hidroksi
apatit yang dapat memberikan kekakuan terhadap tekanan.23 Penelitian pada
anak tikus dengan diet tanpa protein selama 3050 hari mengakibatkan banyak sekali
pengurangan pada kekuatan pembengkokan dan kekakuan tulang. Perubahan
tersebut berhubungan dengan parahnya kerusakan dalam jumlah dan atau susunan
arsitektur materi tulang, yaitu: volume, rasio dinding dan lumen, pengurangan
jumlah kalsium dan elastisitas jaringan tulang.
Kalsifikasi tulang akan menentukan kualitas tulang dengan demikian akan
menentukan kematangan tulang, oleh karena kematangan tulang ditentukan oleh
jumlah deposisi mineral dalam matriks tulang. Penentuan kematangan dan evaluasi
potensi pertumbuhan penting dalam bidang ortodonsia, oleh karena selama
pertumbuhan setiap tulang mengalami perubahan berurutan yang relative konsisten
untuk setiap tulang pada individu.
Variasi dalam waktu perubahan tulang terjadi oleh karena tiap individu mempunyai
jadwal biologik tersendiri. Terdapat hubungan antara kematangan tubuh yang dapat
diketahui dari menstruasi, kematangan tulang, kematangan gigi dan pertumbuhan
fasial. Kelambatan dalam perkembangan tulang akan menyebabkan kelambatan pola
pertumbuhan fasial.

Anda mungkin juga menyukai